PENGUATAN PARTISIPASI WARGA NEGARA DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERBASIS KONSEP GREEN MORAL.

(1)

PENGUATAN PARTISIPASI WARGA NEGARA DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERBASIS

KONSEP GREEN MORAL

(Studi Kasus di Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang dan Kota Batu)

DISERTASI

Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam Bidang Pendidikan Kewarganegaraan

Oleh: M. Syahri 0907650

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Promotor,

Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si NIP. 196203161988031003

Ko. Promotor,

Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita NIP. 195102711978021001

Anggota,

Prof. Dr. Sapriya, M.Ed NIP. 196308201988031001

Mengetahui,

Ka.Prodi PKn Sekolah Pasca Sarjana UPI

Prof. Dr. Sapriya, M.Ed NIP. NIP. 196308201988031001


(3)

PERNYATAAN

De ga i i saya e yataka bahwa disertasi ya g berjudul “PENGUATAN PARTISIPASI WARGA NEGARA DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERBASIS KONSEP GREEN MORAL” ini dan seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan tersebut, saya siap menanggung risiko yang dijatuhkan kepada saya apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap karya saya.

Bandung, Februari 2013

Yang membuat pernyataan,

Ttd.

M. Syahri NIM. 0907650


(4)

ABSTRAK

PENGUATAN PARTISIPASI WARGA NEGARA DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERBASIS KONSEP GREEN MORAL

M. Syahri (0907650)

Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si

Disertasi ini menyajikan hasil penelitian tentang penguatan partisipasi warga negara dalam pembangunan berkelanjutan berbasis konsep green moral yang dilakukan di Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, dan Kota Batu melibatkan warga masyarakat, pemerintah, dan sekolah. Masalah pokok penelitian adalah krisis lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini berakar pada kesalahan perilaku manusia, dan kesalahan prilaku manusia berakar pada kesalahan perspektif manusia tentang dirinya, alam dan hubungan antara manusia dengan alam atau tempat manusia dalam keseluruhan alam semesta. Teori yang digunakan untuk memecahkan pokok masalah tersebut adalah teori sibernatika (Talcot Parson) yang menjelaskan semua sistem yang hidup dimana sub sistem sosial ialah masyarakat, yang berfungsi mengintegrasikan sistem sosial. Pertanyaan penelitiannya adalah (1) Bagaimana bentuk-bentuk partisipasi warga negara dalam pelestarian lingkungan hidup; (2) Bagaimana bentuk kompetensi kewarganegaraan agar warga negara dapat berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan hidup; (3) Bagaimana bentuk penguatan partisipasi warga negara dalam pelestarian lingkungan hidup; (4) Bagaimana bentuk partisipasi warga negara dalam pelestarian lingkungan hidup berdasar konsep green moral pada pembangunan berkelanjutan; (5) Apa faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam membangun partisipasi warga negara dalam lingkungan hidup. Untuk menjawab pertanyaan tersebut digunakan data partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan hidup yang dilakukan masyarakat, dan sekolah di tempat penelitian. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Data dianalisis menggunakan model Milles dan Hubberman (2004) melalui tahap-tahap: (1) pengumpulan data (data collection); (2) reduksi (data reduction); (3) displai data (datadisplay); dan (4) kesimpulan (conclusion; drawing/verifying). Hasil analisis data sebagai berikut: (1) Bentuk-bentuk partisipasi Warga Negara terhadap pelestarian lingkungan hidup dilakukan melalui kegiatan masyarakat dan dunia pendidikan; (2) Kompetensi kewarganegaraan diperlukan agar warga Negara dapat berpartisipasi dalam lingkungan hidup dengan pembekalan knowledge, skill dan disposition tentang lingkungan hidup; (3) Bentuk penguatan partisipasi warga Negara dalam Pelestarian Lingkungan Hidup dilaksanakan melalui pelatihan, kegiatan KMDM di SD dan sekolah konservasi di SMP, sukarelawan lingkungan hidup dan kerjasama dengan berbagai kalangan; (4) Partisipasi warga negara dalam pelestarian lingkungan hidup berdasar konsep green moral dalam pembangunan berkelanjutan melalui sosialisasi, kerjasama dengan instansi terkait sekolah konservasi dan gerakan menanam serta perlindungan lingkungan hidup; (5) Faktor pendukung dalam pengembangan kapasitas kompetensi kewarganegaraan dalam pelestarian lingkungan hidup adalah adanya dukungan dari berbagai pihak melalui berbagai aktivitas sekolah konservasi dan lomba, sedangkan faktor penghambatnyadisebabkan ada beberapa birokrasi yang kurang mendukung dalam rogram pelestarian lingkungan dan masyarakat sendiri kurang berpartisipasi dalam menanam tanaman keras.


(5)

ABSTRACT

STRENGTHENING CITIZEN PARTICIPATION IN SUSTAINABLE DEVELOVMENT ON THE BASIS OF GREEN MORALITY CONCEPT

M. Syahri (0907650)

Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si

This dissertation presents the results of study on strengthening citizen participation in sustainable development based on green morality concept. The study was conducted in the District of Blitar, the District of Malang, and the City of Batu, and involved community members, government, and schools. The main problem of the study is current environmental crisis due to human misbehaviors, which originated from the wrong perspective of humanity, nature, and relation between human beings and nature or universe as a whole. Theory adopted to solve the problem is Talcot

Parson’s cybernetics that describes all living systems in which social sub-system is communities. The communities in turn have a function to integrate the social systems. The research questions are (1) What are kinds of citizen participation in environmental conservation?; (2) What is citizenship competence that enables the citizens to participate in environmental conservation?; (3) What are kinds of citizen participation strengthening in environmental conservation; (4) What are kinds of citizen participation strengthening in environmental conservation on the basis of green morality for sustainable development; and (5) What factors that support and hamper the improvement of citizen participation in environmental conservation. To answer those questions, the study has made use of data on participation carried out by research participants in environmental conservation. The data were collected through observation, interview, and documentary analysis. Data analysis was conducted by applying a model developed by Milles and Hubberman (2004) in the stages of (1) data collection, (2) data reduction, (3) data display, and (4) conclusion. Data analysis revealed the following findings: (1) kinds of citizen participation in environmental conservation; (2) citizenship competence that enables the citizens to participate in environmental conservation by the provision of environmental knowledge, skills, and disposition; (3) kinds of citizen participation strengthening in environmental conservation through training course, elementary school KMDM Program (planting in childhood and harvesting in adulthood) and conservation junior high school, environmental volunteers, and collaboration with various parties ; (4) citizen participation in environmental conservation on the basis of green morality concept for sustainable development through socialization and cooperation with relevant institutions and by replanting and conserving the nature; and (5) factor that supports the development of citizenship capacity in environmental conservation is support given by various parties to conservation school activities and contests, while the hampering factor is bureaucratic practices that provide less support and poor community participation rate in planting hard wooden trees.


(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Penelitian ... 1

B.Rumusan Masalah ... 24

C.Tujuan Penelitian ... 24

D.Manfaat Penelitian ... 25

E. Struktur Organisasi Disertasi ... 26

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 27

A. Partisipasi Warga Negara ... 27

1. Konsep Partisipasi ... 27

2. Derajat Partisipasi ... 39

B. Teori Etika dan Moralitas Serta Teori-Teori Etika Lingkungan ... 45

1. Pengertian Etika dan Moralitas ... 45

2. Pengertian Etika Lingkungan ... 47

C. Pengaruh Revolusi Hijau Terhadap Faktor Ekologi, Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat ... 47

1. Program Revolusi Hijau ... 47

2. Dampak Program Revolusi Hijau ... 48

D. Pelestarian Lingkungan Hidup ... 49


(7)

1. Pendidikan Moral: Prinsip dan Praktek ... 50

2. Karakter dan Kebajikan ... 52

3. Teori Karakter Moral Aristoteles ... 57

4. Alam dan Pemeliharaan dalam Etika Kebajikan... 60

5. Kebajikan, Karakter dan Pendidikan ... 62

F. Pendekatan Pengelolaan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan . 67 G. Prinsip-Prinsip Menuju Kehidupan yang Berkelanjutan ... 71

1. Prinsip-Prinsip Kehidupan yang Berkelanjutan ... 71

2. Asal-usul Pembangunan Berkelanjutan ... 74

3. Perkembangan Pembangunan Berkelanjutan ... 75

4. Pembangunan Berkelanjutan: Membuat Arus Utama ... 77

5. Mainstream Pembangunan Berkelanjutan ... 79

6. Menyampaikan Arus Utama Pembangunan Berkelanjutan ... 80

H. Resistensi Terhadap Pengembangan ... 86

I. Protes untuk Keberlanjutan ... 88

J. Melembagakan Kembali Kearifan-kearifan Lokal Tradisional ... 90

K. Teori Struktural Fungsional Talcot Parson... 92

L. Kewarganegaraan Ekologis ... 108

M. Pendidikan Lingkungan sebagai Dasar Sikap dan Perilaku bagi Kelangsungan Hidup ... 119

N. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 123

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 126

A. Pendekatan Penelitian ... 126

B. Teknik Penelitian ... 133

C. Penjelasan Istilah ... 138

D. Instrumen Penelitian ... 140

E. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 141

F. Tahap-tahap Penelitian ... 143

G. Teknik Analisis Data ... 144


(8)

I. Uji Validasi Data Penelitian ... 148

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 150

A. Gambaran Lokasi Penelitian ... 150

B. Hasil Penelitian ... 157

1. Bentuk-bentuk Partisipasi Warga Negara dalam Pelestarian Lingkungan Hidup ... 157

2. Bentuk Kompetensi Kewarganegaraan Agar Warga Negara Berpartisipasi dalam Pelestarian Lingkungan Hidup... 165

3. Bentuk Penguatan Partisipasi Warga negara daam Pelestarian Lingkungan Hidup ... 172

4. Partisipasi Warga Negara dalam Pelestarian Lingkungan Hidup Berdasar Konsep Green Moral Dalam Pembangunan Berkelanjutan 176 5. Faktor Pendukung dan Penghambat Kapasitas Kompetensi Kewarganegaraan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup ... 180

C. Pembahasan ... 186

1. Bentuk-Bentuk Partisipasi Warga Negara dalam Pelestarian Lingkungan Hidup ... 186

2. Kompetensi Kewarganegaraan Agar Warga Negara Berpartisipasi dalam Pelestarian Lingkungan Hidup ... 190

3. Bentuk Penguatan Partisipasi Warga Negara Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup ... 195

4. Partisipasi Warga Negara Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup Berdasar Konsep Green Moral Dalam Pembangunan Berkelanjutan ... 200

5. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pembangunan Partisipasi Warga Negara dalam Lingkungan Hidup ... 209


(9)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 217

A. Kesimpulan ... 217

1. Kesimpulan Umum ... 217

2. Kesimpulan Khusus ... 218

B. Saran ... 219

DAFTAR PUSTAKA ... 221

LAMPIRAN ... 228 RIWAYAT PENULIS


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Bentuk-bentuk Partisipasi Warga Negara dalam Pelestarian Lingkungan Hidup ... 164 Tabel 4.2 Bentuk Kompetensi Kewarganegaraan Agar Warga

Negara Dapat Berpartisipasi dalam Pelestarian Lingkungan Hidup ... 171 Tabel 4.3 Bentuk Penguatan Partisipasi Warga Negara dalam

Pelestarian Lingkungan Hidup ... 175 Tabel 4.4 Partisipasi Warga Negara dalam Pelestarian Lingkungan

Hidup Berdasar Konsep Green Moral Pada Pembangunan Berkelanjutan ... 179 Tabel 4.5 Faktor Pendukung Dan Penghambat Kapasitas

Kompetensi Kewarganegaraan Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup ... 184


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tangga Partisipasi Sherry Arnstein ... 41 Gambar 3.1 Alur Penelitian ... 147 Gambar 4.1 Model M. Syahri ... 214


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

1. Partisipasi Warga Negara dalam Menjaga Pelestarian Lingkungan Hidup

Salah satu tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya untuk mencerdaskan bangsa salah satunya adalah dengan pendidikan. Suatu bangsa kehidupannya akan maju dan sejahtera apabila bangsa tersebut cerdas.

Penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan pendidikan yang hendak dicapai berdasarkan pembangunan nasional yang hakekatnya dilaksanakan oleh bangsa Indonesia meliputi seluruh bidang kehidupan. Salah satu bidang pendidikan yang diajarkan di sekolah adalah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Dalam kenyataannya, PKn sering dikatakan sebagai mata pelajaran yang membosankan, tidak menarik, penuh dengan teori dan sebagainya. Perspektif mengenai mata pelajaran PKn yang membosankan dapat semakin kuat apabila guru kurang menerapkan pembelajaran yang membangkitkan motivasi belajar siswa sehingga yang terjadi adalah minimnya keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar dan kecerdasan siswa kurang terasah. Apabila dibiarkan maka fungsi pendidikan tidak dapat tercapai.


(13)

Partisipasi warga negara dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup di dasari karena manusia merupakan bagian dari lingkungan hidup itu sendiri. Kerusakan pada lingkungan hidup pada dasarnya juga merusak pada diri manusia itu sendiri. Prinsip-prinsip deep ecology (Arne Naess dalam Mudhofir, 2010: 197) adalah:

1. Kesejahteraan dan perkembangan manusia dan non manusia di muka bumi memiliki nilai di dalam dirinya sendiri (seperti nilai intrinsic atau nilai inheren). Nilai-nilai tersebut tidak tergantung dari nilai non-manusia untuk tujuan-tujuan manusia.

2. Kekayaan dan keragaman bentuk-bentuk kehidupan berkontribusi pada kesadaran nilai-nilai mereka sendiri dan juga nilai-nilai inherennya (dalam dirinya sendiri).

3. Manusia tak memiliki hak untuk mengurangi kekayaan dan keragamannya kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok saja.

4. Perkembangan hidup dan budaya manusia sepadan dengan pengurangan subtansial populasi manusia. Perkembangan kehidupan non manusia memerlukan pengurangan semacam ini.

5. Intervensi manusia modern atas dunia non manusia terlalu berlebihan, dan kondisi ini makin memburuk.

6. Karena itu, kebijakan-kebijakan harus berubah. Kebijakan-kebijakan tersebut mempengaruhi struktur dasar ekonomi, teknologi, dan juga ideologi. Keadaan yang dihasilkannya akan berbeda dari keadaannya semula.


(14)

7. Perubahan ideologi yang utama adalah penghormatan pada kualitas hidup (yakni berada dalam kondisi-kondisi nilai inheren) bukannya mempertahankan standar hidup yang makin tinggi. Selanjutnya akan muncul kesadaran mendalam terhadap perbedaan antara yang besar dan besar sekali (the difference between big and great).

8. Mereka yang mendukung poin-poin diatas memiliki kewajiban untuk menerapkan perubahan-perubahan mendesak tersebut, langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan pengetahuan dan pemahaman akan konteks tersebut, diharapkan akan membangun rasa kesadaran dan perasaan memiliki sebagai bagian dari suatu bangsa. Namun pada kenyataannya partisipasi Warga Negara dalam melestarikan lingkungan hidup perlu ditingkatkan, mengingat bukan hanya di Indonesia melainkan dunia saat ini sedang mengalami krisis lingkungan yang berakar pada kesalahan perilaku manusia yang berakar pada kesalahan perspektif manusia tentang manusia sendiri, alam, dan hubungan antara manusia dengan seluruh alam semesta (Keraf, Sony, 2006:123).

Untuk memperbaiki kesalahan perilaku dan kesalahan pandang manusia tentang dirinya dengan lingkungannya serta melakukan perubahan fundamental tentang cara pandang tersebut, bisa melalui “Citizenship Education” atau “Civic

Education”. Dengan kata lain “Citizenship Education” atau “Civic Education”

dapat merubah cara pandang dan perilaku manusia atau warga negara dalam memandang lingkungannya. Civic Education, seyogyanya memiliki jati diri: diorganisasikan secara lintas bidang ilmu; difasilitasi dengan pembelajaran yang bersifat partisipatif dan interaktif; isi dan prosesnya dikaitkan pada kehidupan


(15)

nyata; diselenggarakan dalam situasi yang demokratis; diupayakan agar mewadahi keanekaragaman sosial budaya masyarakat; dan dikembangkan bersama secara kolaboratif oleh sekolah, orang tua dan masyarakat termasuk pemerintah (Budimansyah, 2007: 29). Pengembangan Civic Education ini juga berkaitan erat dengan karakteristik warga negara yang disampaikan Cogan (1998). Cogan mengidentifikasi delapan karakteristik yang perlu dimiliki warga Negara sehubungan dengan semakin beratnya tantangan yang harus dihadapi dimasa mendatang. Karakteristik warga negara tersebut meliputi:

(1) Kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga Negara masyarakat global;

(2) Kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat;

(3) Kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya;

(4) Kemampuan berfikir kritis dan sistematis;

(5) Kemauan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan; (6) Kemauan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah bisa,

guna melindungi lingkungan hidup;

(7) Memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak azasi manusia (seperti hak kaum wanita, minoritas etnis, dsb.);

(8) Kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan politik pada tingkatan pemerintahan lokal, nasional, dan internasional (Sapriya, 2004:9).

Dalam permasalahan lingkungan hidup khususnya Indonesia masih kurang adanya partisipasi Warga Negara salah satunya partisipasi hanya sebatas proyek selain itu kenyatannya masih banyak anggota masyarakat dalam hal ini oknum-oknum tertentu kurang sadar akan makna lingkungan hidup sehingga berdampak buruk pada lingkungan hidup, misalnya illegal logging, limbah industri pabrik, pencemaran udara, tanah, air, penebangan pohon dan lain-lain. Oleh karena itu partisipasi Warga Negara sangat dibutuhkan bukan hanya mengajak Warga Negara dalam proses pelaksanaan program ataupun proyek tetapi memberikan


(16)

kesempatan untuk mengidentifikasi masalah, memecahkannya, membuat keputusan, melaksanakan, memonitoring, dan mengevaluasi.

Sejatinya, masyarakat bangsa kita yang telah sedemikian rupa digembleng habis-habisan melalui berbagai program Pendidikan Kewarganegaraan (baca: Citizenship Education) akan menjelma sebagai warga negara yang memiliki kekuatan karsa. Setidak-tidaknya jika kita mendefinisikan “Citizenship

Education” sebagai program pendidikan yang mencakup pengalaman belajar di

sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media (Cogan & Derricott, 1998). Akan tetapi, kenyataannya hingga saat ini masyarakat bangsa kita masih dihiasi oleh suatu gejala kelemahkarsaan, suatu mentalitas yang sangat tidak cocok untuk pembangunan. (Budimansyah, 2006: 305). Hal ini juga akan berpengaruh terhadap kesadaran warga negara dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai peran penting dalam penanaman nilai, karena koridornya value based, nilai tersebut harus diajarkan dalam pendidikan formal maupun non formal seperti PKn kemasyarakatan (community civics). Sedangkan objek studi Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) adalah warga negara dalam hubungannya dengan organisasi kemasyarakatan, sosial, ekonomi, agama dan negara. Sebagaimana dipaparkan oleh Somantri (2001: 276), dalam Lokakarya Metodologi Pendidikan Kewarganegaraan, (1973: 214) yang termasuk ke dalam objek studi civics ialah:

a) Tingkah laku,

b) Tipe pertumbuhan berfikir,


(17)

d) Hak dan kewajiban, e) Cita-cita dan aspirasi,

f) Kesadaran (patriotisme, nasionalisme, pengertian internasional, dan moral Pancasila),

g) Usaha, kegiatan, partisipasi, dan tanggung jawab.

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu wadah pembentukan warga negara yang baik (good citizenship), cerdas, terampil dan berkarakter setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD NRI 1945.

Penanaman nilai-nilai lingkungan hidup sudah diintegrasikan kepada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di dalam pendidikan formal meskipun pada proses pembelajaran belum sebagian guru PKn hanya sebatas memberikan materi saja belum sampai pengamalan nilai-nilai dan melestarikan lingkungan hidup.

Berbicara tentang Pendidikan Kewarganegaraan selain di persekolahan Pendidikan Kewarganegaraan juga dapat kita pelajari di masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Cogan dalam Budimansyah dan Suryadi (2008:5) :

citizenship education or education for citizenship...The more inclusive term and encompasses both these in-school experiences as well as out-of-school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media etc, which help to shape the totality of the citizen.

Berdasarkan kutipan di atas citizenship education atau education for citizenship merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan dan dalam media.


(18)

Ekologi dalam (deep ecology) adalah cabang dari ekosofi yang memandang umat manusia bagian integral dari lingkungannya. Ia merupakan tubuh pemikiran yang menempatkan nilai pada spesies non manusia, ekosistem dan proses-prosesnya di alam lebih dari sekedar membangun gerakan lingkungan dan gerakan hijau. Ekologi dalam (deep ecology) telah meletakkan sebuah sistem etika lingkungan baru. Prinsip inti deep ecology awalnya dikembangkan oleh doktrin egalitarianisme biosfer Arne Naess yang menyatakan bahwa sebagaimana manusia, lingkungan hidup (the living environment) adalah sebagai keseluruhan utuh yang memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang. (Mudhofir, 2010: 194). Selanjutnya, menurut tradisi bio ekosistem dalam lingkungan terdapat dua komponen yakni komponen produsen dan komponen konsumen. Proses ekosistem dalam lingkungan hakekatnya merupakan proses daur energi, materi dan informasi antar komponen. Oleh karena itu, tata lingkungan akan tetap dalam keadaan seimbang jika komponen-komponen dalam ekosistem tersebut berproses secara normal tidak terganggu atau mengganggu. Artinya masing-masing komponen bertindak sesuai dengan peran niche ekologisnya. Apabila komponen-komponen tersebut bertindak di luar jalur niche ekologisnya sudah barang tentu akan terjadi ketidakseimbangan ekosistem. Akibat lebih serius lagi adalah terjadinya kerusakan penyangga kehidupan, ekosistem (Abdilah, 2001: 165).

2. Kelestarian Lingkungan Hidup

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan mempunyai arti penting bagi manusia, dengan lingkungan fisik manusia dapat menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan


(19)

materialnya, dengan lingkungan biologi manusia dapat memenuhi kebutuhan jasmaninya, dan dengan lingkungan sosial manusia dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya. Oleh karena itu antara manusia dan lingkungan hidup selalu terjadi interaksi timbal balik.

Dewasa ini ada empat isu global menyangkut agenda pelestarian lingkungan hidup ( Ismawan, 1999: 22), keempat isu tersebut, yaitu:

a) Polusi; antara lain polusi udara, hujan asam, perubahan iklim, polusi air, polusi akibat bahan-bahan kimia, limbah industri, limbah nuklir, dan seterusnya;

b) Sumber alam; antara lain isu deforestasi, hilangnya sumber-sumber genetika, erosi tanah dan disertifikasi, problema lahan kritis, kerusakan sumber-sumber kelautan, degradasi kemampuan lahan, hilangnya lahan-lahan pertanian, dan sebagainya;

c) Perkotaan; antara lain penggunaan tanah di kota besar, sanitasi lingkungan, air bersih, manajemen pertumbuhan kota, kesejahteraan sosial dan pendidikan, lingkungan dan perumahan kumuh, penghijauan di kota besar, dan seterusnya;

d) Manajemen; antara lain monitoring dan pelaporan, analisis investasi, analisis biaya manfaat (cost benefit analysis), efektifitas biaya (cost effectiveness), analisis resiko, juga mencakup AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dalam sebuah proyek.

Keempat problema tersebut telah memasuki stadium yang sangat krusial. Polusi misalnya, menimbulkan problema yang harus dipikul secara bersama oleh seluruh umat manusia. Dampak berkumpulnya gas polutan merusak lapisan ozon.


(20)

Penurunan kualitas sumber daya alam sangat berpengaruh terhadap kehidupan pada masa berikutnya.

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka sendiri agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (Al Qur’an Surat. A r-Ruum, 30:41). Makna ayat diatas menggambarkan betapa eratnya keterkaitan antara sikap manusia dan lestari tidaknya lingkungan tempat manusia itu tinggal. Keseimbangan ekosistem yang akan mempengaruhi kelangsungan hidup manusia merupakan prasyarat mutlak untuk menciptakan kehidupan yang harmoni dalam segala aspek, baik sosial, ekonomi, maupun budaya. Pembangunan yang integralistik dan holistik adalah langkah ideal dalam menciptakan keharmonisan dan keseimbangan ekosistem di alam. Kenyataanya, pembangunan lebih diarahkan atau dititikberatkan pada aspek ekonomi semata dan mengabaikan nilai-nilai humanis. Pandangan manusia terhadap alam lingkungan (ekosistem) dapat dibedakan atas dua golongan yakni pandangan imanen (holistik) dan transcendent. Menurut pandangan holistik, manusia dapat memisahkan dirinya dengan sistem biofisik sekitarnya, seperti dengan hewan, tumbuhan, sungai dan gunung, namun merasa adanya hubungan fungsional dengan faktor-faktor biofisik itu sehingga membentuk satu kesatuan sosio-biofisik. Menurut pandangan transcendent, kehidupan secara ekologi merupakan bagian dari lingkungannya, manusia merasa terpisah dari lingkungannya, lingkungan dianggap sebagai sumber daya yang diciptakan untuk dieksploitasi sebesar-besarnya (Iskandar, 2001: 27).


(21)

Keterkaitan alami atau keterkaitan ekosistem mendefinisikan batas alam interaksi keberadaan seluruh unsur alam, kehidupan dan manusia dalam satu ruang yang sama (Purwasasmita, 2011: 27). Pemanasan global (global warming) beberapa tahun terakhir ini menjadi isu sentral, hal ini menjadi pembicaraan masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Peningkatan temperatur bumi dari tahun ke tahun akibat akumulasi gas di atmosfer yang menyelimuti bumi merupakan fenomena alam. Di Indonesia tanda-tanda terjadinya perubahan iklim tampak jelas, mulai dari pergeseran musim kemarau dan musim penghujan, terjadinya ombak yang tinggi, meluasnya kekeringan, terjadinya banjir dimana-mana dan angin puting beliung, kerusakan lingkungan tidak terelakan. Gunung gundul, hutan meranggas, tanah gersang ada di mana-mana, debit air sungai berkurang, sumber mata air banyak yang mati, sementara orang-orang tidak ambil peduli, masing-masing berpacu mencari rizki untuk hidupnya sendiri-sendiri. Mereka lupa bahwa pemanasan global mengejar manusia, lapisan ozon tiap detik, tiap menit, tiap jam semakin menipis. Akibat itu semua adalah perubahan iklim yang tidak menentu, munculnya penyakit-penyakit baru baik yang menimpa manusia, hewan maupun tumbuhan, yang lebih fatal sinar matahari langsung menembus bumi tanpa ada penghalang lapisan ozon sehingga panas luar biasa dan semua benda di muka bumi terbakar. Melihat kondisi yang sudah amat mengawatirkan tersebut selain mengadakan seminar-seminar nasional, regional maupun internasional yang diselenggarakan di hotel-hotel berbintang yang membicarakan kerusakan lingkungan, perlu juga adanya langkah kongkrit untuk penyadaran dan penguatan masyarakat tentang pentingnya menjaga pelestarian lingkungan hidup.


(22)

3. Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan ekonomi nasional sebagai mana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan perinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Hal tersebut didasarkan pada kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Selain itu, pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua elemen baik itu pemerintah maupun Warga Negara. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menegaskan adanya prinsip berkelanjutan yang terkandung dalam azas demokrasi ekonomi yang dianut oleh konstitusi Negara kita. Pasal 33 ayat (4) itu menyatakan bahwa “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip berkelanjutan, berwawasan lingkungan”. Masalahnya adalah apa yang dimaksudkan dengan kata-kata “berkelanjutan” dan “berwawasan lingkungan” dalam ketentuan pasal 33 ayat (4) itu (Asshiddiqie, 2010: 133). Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan salah satu perwujudan dari wawasan lingkungan dimaksud dalam UUD 1945 dan prinsip pembangunan yang berkelanjutan juga harus diterapkan dalam kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan (Asshiddiqie, 2010: 134). Harapan akan “pembangunan yang berkesinambungan” didasarkan pada hasil pengamatan bahwa tidak semua “pembangunan” merusak lingkungan. Tujuan awal kelompok pembela lingkungan menuju nol”, jika pertumbuhan tersebut mengandung arti tidak lebih dari


(23)

pertumbuhan nol bagi aktivis yang merusak lingkungan, tidak akan cukup untuk mencegah kerusakan jangka panjang terhadap biosfer, dikatakan Jacobs (Low, 2009: 17). Selain itu, penjaminan terhadap kesinambungan lingkungan hidup ditentukan oleh struktur ekosistem, perkembangan nilai, dan perkembangan kelembagaan. (Purwasasmita,2011: 29).

Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses sosial dan ekologis untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan tetap mempertahankan kualitas lingkungan hidup. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan dapat dibagi menjadi 3 aspek : keberlanjutan lingkungan hidup, keberlanjutan secara ekonomi, dan berkelanjutan secara sosial politik. UNESCO tahun 2001 mendeklarasikan “bahwa keberagaman budaya sangat penting bagi manusia, seperti halnya keberagaman hayati bagi alam”. Dalam hubungan ini beberapa peneliti mendefinisikan bahwa lingkungan (environment) adalah kombinasi dari alam (nature) dan budaya (culture). Jadi pembangunan berkelanjutan di dunia harus mengintegrasikan multidisiplin dan menginterpretasikan keragaman budaya sebagai elemen utama strateginya. Environmental Sustainability didefinisikan sebagai kemampuan lingkungan untuk berfungsi secara berkelanjutan, termasuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa membahayakan kebutuhan generasi yang akan datang.

Ciri-ciri pembangunan berkelanjutan memiliki karakteristik yang khas yang berbeda dengan pola pembangunan lainnya yang selama ini dilaksanakan. Ciri-ciri tersebut antara lain:

a. Menjamin pemerataan dan keadilan; strategi pembangunan yang berkelanjutan dilandasi oleh pemerataan distribusi lahan dan faktor


(24)

produksi, lebih meratanya kesempatan perempuan, dan pemerataan ekonomi untuk kesejahteraan.

b. Menghargai keanekaragaman hayati; keanekaragaman hayati merupakan dasar bagi tatanan lingkungan. Pemeliharaan keanekaragaman hayati memiliki kepastian bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berlanjut untuk masa kini dan masa yang akan datang.

c. Menggunakan pendekatan integratif; dengan menggunakan pendekatan integratif, maka keterkaitan yang kompleks antara manusia dengan lingkungan dapat dimungkinkan untuk masa kini dan yang akan datang. d. Menggunakan pandangan jangka panjang; untuk merencanakan pengelolaan

dan pemanfaatan sumber daya yang mendukung pembangunan agar secara berlanjut dapat digunakan dan dimanfaatkan.

Dari gambaran di atas dapat kita kemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan berusaha menyatukan tiga dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi suatu sinergi dalam meningkatkan kualitas manusia. Dimensi ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan tetap memfokuskan kepada pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas serta menyertakan eko-efisiensi di dalamnya. Dimensi sosial mencakup pemberdayaan, peran serta, kebersamaan, mobilitas, identitas kebudayaan, pembinaan kelembagaan, dan pengentasan kemiskinan. Dimensi ekologi itu sendiri bertujuan untuk integritas ekosistem, ramah lingkungan dan hemat sumber daya alam, pelestarian keanekaragaman hayati, dan tanggapan isu global.

Pembangunan berkelanjutan pada kenyataannya merupakan proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “ memenuhi


(25)

kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan” menurut Brundtland Report dari PBB 1987 (Chuzaemi, 2008:1).

Berdasarkan laporan WCED ( World Commission on Environment and Development) dalam proses pembangunan berkelanjutan ada empat syarat yang harus dipenuhi :

1. Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi yang secara ekologis benar,

2. Pemanfaatan sumber daya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi potensi lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumber daya tak terbarukan (non-renewable resources).

3. Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran,

4. Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity) (Chuzaemi, 2008: 1).

Pembangunan berkelanjutan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan.

Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai dengan melaksanakan pembangunan disegala bidang. Pembangunan merupakan proses pengolahan Sumber Daya Alam dan pendayagunaan Sumber Daya Manusia dengan memanfaatkan teknologi. Dalam pola pembangunan tersebut, perlu memperhatikan fungsi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia, agar dapat terus menerus menunjang kegiatan atau proses pembangunan yang berkelanjutan. Pengertian pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah: Perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas politiknya


(26)

tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya (Sumarwoto, 2008: 161).

Konsep pembangunan berkelanjutan memberikan implikasi adanya batas yang ditentukan oleh tingkat masyarakat dan organisasi sosial mengenai Sumber Daya Alam, serta kemampuan biosfer dalam menyerap berbagai pengaruh aktivitas manusia. Proses pembangunan berkelanjutan secara langsung ditentukan oleh kualitas manusia dan lingkungannya. Pembangunan dapat meningkatkan kesejahteraan untuk generasi yang mendatang meskipun tidak membatasi generasi yang akan datang untuk lebih meningkatkan kesejahteraan hidup.

4. Konsep Green Moral

Kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai kebutuhan bersama yang membutuhkan adanya partisipasi Warga Negara dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sehingga setiap Warga Negara mempunyai hak yang sama atas pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup yang baik dan sehat yaitu setiap orang memilki hak dan kewajiban untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup serta memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup, mencegah dan penanggulangi pengrusakan lingkungan hidup.

Orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat berpengaruh. Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem lingkungannya, mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi dunia saat ini. Cara pandang dikhotomis yang dipengaruhi oleh paham antroposentrisme yang memandang bahwa alam merupakan bagian terpisah dari manusia dan bahwa


(27)

manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan (White,,1967, Ravetz,1971, Sardar, 1984, Mansoor, 1993 dan Naess, 1993). Cara pandang demikian telah melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya. Disamping itu paham materialisme, kapitalisme dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah ikut pula mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan baik dalam lingkup global maupun lokal, termasuk di negara kita.

Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.

Masalah lingkungan hidup terkait dengan moral dan perilaku manusia karena lingkungan hidup lestari atau tidak tergantung dari moral dan perilaku manusia yang ada di sekitar. Oleh karena itu, pembenahan terhadap moral dan perilaku manusia melalui etika bersama yang menikat secara transenden. Etika dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dapat digali


(28)

dari Pancasila yang merupakan dasar negara yang memancarkan nilai-nilai etikan dan moral yang harus ditumbuhkembangkan dan diimplementasikan oleh setiap Warga Negara yang ada di Indonesia khususnya dalam penelitian ini berkaitan dengan hubungan antara manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas dalam totalitasnya, dan hubungan manusia dengan manusia yang lainnya yang berdampak langsung atau tidak langsung pada lingkungan hidup secara keseluruhan.

Cara mengatasi masalah lingkungan hidup menurut (Keraf dalam Arne Naess 2006: xiv), ...dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi secara baru dalam alam semesta. Krisis lingkungan global bersumber dari kesalahan fundamental-filosofis dalam memahami dan perspektif manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Dalam menghadapi kesalahan pandang dari etika antroposentrisme, perlu pengembangan konsep Kewarganegaraan multidemensi, terdiri dari empat dimensi pokok yaitu, dimensi pribadi, dimensi sosial, dimensi spasial, dan dimensi temporal. Dimensi pribadi dari kewarganegaraan multidimensi membutuhkan pengembangan satu kapasitas pribadi dan komitmen untuk etika warga negara yang dikarakteristikan oleh kebiasaan pikiran, perasaan dan tindakan secara individu dan sosial. Sebagai warga negara, setiap individu harus meningkatkan:

(a) kapasitas kita untuk berfikir secara kritis dan sistematis; (b) pemahaman dan kepekaan kita terhadap masalah-masalah perbedaan-perbedaan budaya; (c) pilihan kita terhadap pemecahan dan penyelesaian masalah yang bertanggung jawab, kooperatif dan tanpa kekerasan, dan; (d) keinginan kita untuk melindungi lingkungan hidup, membela hak azasi manusia, dan ikut serta dalam kehidupan masyarakat (Budimansyah, 2008: 63).


(29)

Selanjutnya untuk memperbaiki salah pandang dari etika antroposentrisme selain pengembangan konsep Kewarganegaraan multidemensi, juga pengembangan pendidikan karakter bangsa. Dalam pengertian harfiah, istilah “karakter” lebih condong memiliki makna psikologis atau sifat kejiwaan karena terkait dengan aspek kepribadian (personality), akhlak atau budi pekerti, tabiat, watak, sifat kualitas yang membedakan seseorang dari yang lain atau kekhasan (particular quality) yang dapat menjadikan seseorang terpercaya dari orang lain. Dari konteks inipun, karakter mengandung unsur moral, sikap bahkan perilaku karena untuk menentukan apakah seseorang memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, hanya akan terungkap pada saat seseorang itu melakukan perbuatan atau perilaku tertentu (Sapriya, 2007: 105). Menurut Lickona, karakter dikonsepsikan memiliki tiga bidang yang saling terkait, yakni moral knowing, moral feeling, dan moral behavior. Oleh karena itu, karakter yang baik terdiri mengandung tiga kompetensi, yakni mengetahui hal yang baik (knowing the good), ada keinginan terhadap hal yang baik (desiring the good), dan melakukan hal yang baik (doing the good) sehingga pada gilirannya ia akan menjadi kebiasaan berfikir (habits of the mind), kebiasaan hati (habits of heart), dan kebiasaan bertindak (habits of action) (Sapriya, 2007: 108-109).

Etika antroposentrisme berasal dari pemikiran barat Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern meskipun terdapat kesalahan perspektif khususnya tentang norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuannya bagi manusia. Dalam paham ini, hanya manusia yang merupakan pelaku moral, yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan untuk bertindak secara moral berdasarkan akal budi dan kehendak bebasnya. Etika tidak berlaku bagi makhluk lain diluar manusia. Ketiga,


(30)

kesalahan cara pandang pada antroposentrisme tersebut diperkuat lagi oleh cara pandang atau paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang Cartesian dengan ciri utama mekanistis-reduksionistis. Dalam paradigma ilmu pengetahuan yang Cartesian, ada pemisahan yang tegas antara alam sebagai obyek ilmu pengetahuan dan manusia sebagai subyek. Demikian pula, ada pemisahan yang tegas antara fakta dan nilai. Maka paradigma ilmu pengetahuan modern yang mekanistis-reduksionis ini membela paham bebas nilai dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bersifat otonom, sehingga seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dikembangkan dan diarahkan hanya demi ilmu pengetahuan. Dengan demikian, penilaian mengenai baik buruk ilmu pengetahuan dan teknologi beserta segala dampaknya dari segi moral atau agama, adalah penilaian yang tidak relevan. Hal ini melahirkan krisis ekologi sekarang ini yang berawal dari sikap dan perilaku manusia. Masyarakat modern, perlu melindungi kualitas lingkungan, keanekaragaman hayati, dan tatanan hidup manusia. Diperlukan mekanisme yang efektif termasuk peraturan yang ketat, insentif, denda, pemantauan lingkungan, dan penilaian secara berkelanjutan. Nilai-nilai dasar dari masyarakat kita saat ini sering kali bersifat materialistik. Untuk mengubahnya diperlukan pendekatan yang komprehensif dan saling melengkapi, Wens (Indrawan,2007: 76). Etika Lingkungan perlu disosialisasikan kepada masyarakat Indonesia, jika masyarakat kita sadar dan menganut prinsip-prinsip etika lingkungan maka pelestarian lingkungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dapat berjalan dengan baik.

Prinsip-prinsip etika lingkungan telah dibuktikan oleh banyak budaya tradisional yang ada di tanah air kita, mereka telah berhasil menyatu dengan lingkungannya, selama berabad-abad telah mencapai harmoni dengan alam.


(31)

Dalam budaya tradisional tersebut etika dan norma bermasyarakat telah mendorong individu atau perorangan untuk bertanggung jawab dan memanfaatkan sumberdaya alam secara efisien. Kondisi ini seharusnya bisa menjadi contoh dan sekaligus prioritas bagi masyarakat modern dewasa ini, kenyataannya keserakahan yang tercermin dalam perilaku manusia yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Dalam pendekatan antroposentrisme dapat dikemukakan bahwa pandangan manusia terhadap lingkungan hidup menempatkan kepentingan manusia (kepentingan ekonomi, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan) terhadap lingkungan di pusatnya.

Kegiatan ekonomi yang berlebihan dapat mempengaruhi lingkungan hidup, karena penggunaan beberapa sumberdaya, produksi limbah dan modifikasi lingkungan hidup. Jika dampak itu melampaui kemampuan lingkungan hidup untuk memulihkan dirinya, maka perubahan itu sering mempengaruhi kemampuan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan manusia atau bahkan hilang sama sekali. Pandangan hidup kita berpindah dari ekosentris menjadi antroposentris, yaitu sebuah pandangan hidup yang menganggap alam diciptakan untuk kepentingan manusia. Pandangan hidup itu bersifat eksploitatif, yaitu sistem biogeofisik adalah sumberdaya yang dapat dieksploitasi semaksimal mungkin untuk mendukung pola hidup konsumtif. Akibatnya terjadilah deplesi sumberdaya dan rusaknya fungsi ekologi lingkungan hidup kita. (Soemarwoto, 2008: 85). Untuk menjawab permasalah tersebut perlu adanya pengelolaan lingkungan hidup. Ada beberapa hal sebagai alasan mengapa perlu dilakukan pengelolaan lingkungan hidup. Kenyataan yang ada di masyarakat saat ini kurang sadar dan kurang tumbuh sikap, perilaku yang ramah lingkungan. Menurut Budi (2003: 19).


(32)

Hal yang mempengaruhi kelestarian lingkungan yaitu orientasi pertumbuhan ekonomi, sikap hidup masyarakat.

Seringkali kegiatan yang pro lingkungan dipandang sebagai kegiatan yang anti pembangunan. Dengan demikian pertimbangan ekonomi sangat dipengaruhi pandangan bahwa aktivitas pro lingkungan adalah mahal. Disisi lain pandangan ini juga secara implisit mengandung asumsi bahwa lingkungan hidup hanya berfungsi sebagai sumber daya ekonomi. Fungsi eklogisnya dianggap tidak ada, sehingga tidak perlu diperhitungkan. Manusia tidak sadar akan pentingnya fungsi ekologi ini. Fungsi ekologi merupakan layanan masyarakat yang bernilai ekonomis, kesehatan, dan sosial budaya, akan tetapi nilai itu tidak nampak dalam bentuk material (uang).

Para pakar ekonomi lingkungan memang telah mengembangkan metode untuk menghitung nilai ekonomi lingkungan, akan tetapi nilai itu hanya merupakan nilai potensi, nilai pengganti atau juga sering disebut dengan nilai bayangan (shadow price), seperti nilai keanekaragaman hayati, nilai genetis (plasma nutfah) yang salah satunya sebagai bahan baku obat-obatan. Kesulitan diperbesar dengan adanya jarak waktu dan ruang antara perbuatan dan dampak, sedang manfaat perubahan dapat dinikmati langsung.

Sikap hidup masyarakat, secara pasti dikatakan bahwa kebudayaan mempengaruhi sikap manusia terhadap lingkungan hidup. Sebenarnya manusia mempunyai ajaran untuk hidup yang serasi dengan lingkungan hidupnya, atau lingkungan alam. Ajaran ini baik dari segi Agama maupun Budaya. Ajaran ini yang menjadi dasar acuan untuk pembangunan yang berwawasan lingkungan. Sikap hidup yang sepenuhnya berorientasi pada materialism akan membuat


(33)

manusia bersikap serakah. Seolah-olah sepenuhnya harus dimiliki. Misalnya, hutan dieksploitasi kemanfaatannya untuk kepentingan ekonomi tanpa mempertimbangkan: (a) keperluan generasi mendatang dalam konteks ekonomi dan kelestarian alam, dan (b) keperluan penyelamatan hutan itu sendiri.

Sikap hidup sebagian masyarakat yang serakah ini merupakan yang paradoksal dengan sikap hidup yang diajarkan agama agar manusia hidup dalam kesederhanaan. Agama hadir untuk memberikan petunjuk dan jalan yang benar bagi manusia. Dengan demikian kaum agamawan saat ini hendaknya dituntut untuk memberikan pengajaran yang mengakar mengenai keselamatan lingkungan hidup.

Etika yang dimilki seseorang merupakan alasan yang sahih, untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati. Argumentasi ini timbul dari tatanan nilai berbagai agama, filosofi, dan budaya sehingga dapat dimengerti oleh kebanyakan anggota masyarakat. Argumentasi etika untuk melestarikan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati dapat menyentuh naluri dan sisi baik orang-orang. Argumentasi ini timbul dari penghargaan atas kehidupan, alam, kelemahan, rasa keindahan, keunikan, kecantikan dunia kehidupan, serta percaya pada ciptaan dan kebesaran Tuhan. Masyarakat seringkali dapat menerimanya, paling tidak sebagian besar masyarakat dapat mempertimbangkan argumentasi ini dalam tatanan kepercayaan mereka, pendapat Callicott (Indrawan, 2007;77)

Berbagai argumentasi etika dapat diajukan untuk melestarikan seluruh spesies dan komponen lain keanekaragaman hayati. Dengan demikian,


(34)

argumentasi-argumentasi di bawah ini penting bagi konservasi dan pelestarian lingkungan hidup:

1) Setiap spesies memiliki hak untuk hidup.

2) Spesies bukan manusia memang sering kali tidak memiliki moralitas hak dan kewajiban, dan bahkan seringkali tidak memiliki kesadaran.

3) Semua spesies saling tergantung satu sama lainnya. 4) Manusia bertanggung jawab sebagai penjaga bumi.

5) Manusia bertanggung jawab kepada generasi yang akan datang.

6) Menghargai kehidupan manusia dan memperhatikan kepentingan umat manusia adalah serasi dengan menghargai keanekaragaman hayati.

7) Alam memiliki nilai spiritual dan estetika yang melebihi nilai ekonominya. 8) Keanekaragaman hayati dibutuhkan untuk memahami asal kehidupan.

Sebuah lingkungan memiliki arti yang sangat penting atas eksistensi manusia sebagai makhluk yang memilki multi potensi sehingga perilaku dan etika moral Warga Negara yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan pencapaian lingkungan hidup berdasarkan aspek filosofi dengan konsep green moral adalah nilai kemandirian, kekeluargaan, dan keaneka ragaman budaya bangsa Indonesiam yang membudayakan pelestarian lingkungan hidup seperti dalam konsep Jawa memayu hayuning bawana yang memiliki arti membuat keselamatan untuk buana dan dunia demi masa depan.

Berdasarkan aspek yuridis secara nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai aturan dasar pencapaian lingkungan hidup yang baik dan sehat Kota Batu sesuai dengan peraturan daerah no 16 tahun 2009 tentang Perlindungan,


(35)

Pelestarian dan Pengelolaan Lingkungan, Kabupaten Malang sesuai dengan peraturan daerah no 23 tahun 2006 tentang Pengendalian dan Kerusakan Lingkungan Hidup.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas fokus masalah penelitian yaitu : Penguatan Partisipasi Warga Negara Dalam Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Konsep Green Moral. Berdasarkan masalah pokok penelitian di atas, maka masalah pokok tersebut peneliti jabarkan dalam beberapa sub masalah yaitu :

1. Bagaimana bentuk-bentuk partisipasi warga negara dalam pelestarian lingkungan hidup?

2. Bagaimana bentuk kompetensi kewarganegaraan agar warga negara dapat berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan hidup?

3. Bagaimana bentuk penguatan partisipasi warga negara dalam pelestarian lingkungan hidup?

4. Bagaimana bentuk partisipasi warga negara dalam pelestarian lingkungan hidup berdasar konsep green moral pada pembangunan berkelanjutan? 5. Apa faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam membangun

partisipasi warga negara dalam lingkungan hidup?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menggali, mengkaji, dan menganalisis tentang:


(36)

1. Bentuk-bentuk partisipasi warga negara dalam pelestarian lingkungan hidup.

2. Kompetensi kewarganegaraan agar warga negara dapat berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan hidup.

3. Bentuk penguatan partisipasi warga negara dalam pelestarian lingkungan hidup.

4. Partisipasi warga negara dalam pelestarian lingkungan hidup berdasar konsep green moral pada pembangunan berkelanjutan.

5. Faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam membangun partisipasi warga negara dalam lingkungan hidup.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan kontribusi:

1. Kontribusi Pada Bidang Ilmu

Sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi pengembang PKn, khususnya pengembangan kesadaran warga negara terhadap pelestarian lingkungan hidup.

2. Pengambil Kebijakan

Dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam pengambil kebijakan yang ada hubungannya dengan pelestarian lingkungan hidup.

3. Masyarakat Sasaran Penelitian

Dapat lebih meningkatkan partisipasinya dalam ikut melestarikan lingkungan hidup.


(37)

E. Struktur Organisasi Disertasi

Disertasi ini terdiri dari lima bab. Adapun isi masing-masing bab adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini berisi tentang teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini mulai dari status sosial ekonomi, kualitas partai, partisipasi politik, dan pendidikan kewarganegaraan.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tentang bagaimana metode yang digunakan dalam proses penelitian meliputi: Lokasi dan Objek Penelitian, Pendekatan dan Metode Penelitian, Definisi Operasional, Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data, Proses Pengembangan Instrumen, Teknik Pengumpulan Data, Analisis Data, Prosedur Penelitian, Variabel dan Kisi-Kisi Instrumen Penelitian.

BAB IV PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian, hasil penelitian, pembahasan dan temuan penelitian.

BAB V KESIMPULAN


(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah pendekatan kualitatif, yaitu suatu pendekatan menurut Van Dyke pada prinsipnya adalah ukuran-ukuran untuk memilih masalah-masalah dan data-data yang bertalian satu sama lainnya. Rumusan selengkapnya Van Dyke (1965: 114) mengemukakan” An approach consists or criteria of selection-criteria employed in selecting the problems or questions to consider and in selecting the data to bring to bear, it consists of standards governing the inclusion of questions and data.”

Suatu pendekatan terdiri dari ukuran pemilihan, ukuran-ukuran yang dipergunakan dalam memilih masalah-masalah atau pernyataan-pernyataan untuk dipertimbangkan dan dalam memilih data yang perlu diadakan; ini terdiri dari ukuran-ukuran-ukuran baku yang menetapkan pemasukan atau pengeluaran pernyataan-pernyataan dan data.

Kerlinger (1973:3) memperjelas pernyataan tersebut, dengan menggunakan istilah pendekatan ilmiah yang dapat dilihat secara sistematis dari seluruh pemikiran dalam menelaah pendekatan dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang ataupun tinjauan dari berbagai satu kesatuan karakteristik maupun cabang ilmu seperti; sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, geografi, ekonomi, politik, dan sebagainya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dijadikan ukuran secara konsisten. jadi dalam penelitian ini penulis tidak


(39)

menggunakan perhitungan-perhitungan secara matematis dan statistik, melainkan lebih menekankan kepada kajian deskriptif dan interpretasi.

Strauss dan Corbin (1997:11) dalam bukunya Basic of Qualitative Research, yang dimaksud penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi. Selanjutnya, sebagaimana dikatakan Bogdan dan Biklen (1982:27), bahwa pendekatan kualitatif memiliki bingkai aslinya (natural setting), karena data dikumpulkan dari sumbernya langsung dan peneliti sebagai instrumen utama penelitian. Dengan aktivitas awal mengidentifikasi konsep inovasi dan reorientasi terhadap teori warga Negara dan teori lingkungan hidup, penelitian ini dirancang dalam dua aktivitas. Aktivitas pertama menggali data terkait dengan upaya mendeskripsikan konteks teori warga Negara dan teori lingkungan hidup yang perlu direorientasikan dan kedua terkait dengan aktivitas menemukenali dan mendeskripsikan konsep Green Moral yang relevan untuk disajikan sebagai penguatan partisipasi warga Negara dalam pelestarian lingkungan hidup.

Beberapa literatur menyebutkan ciri-ciri penelitian kualitatif/naturalistik, antara lain, sumber data adalah situasi wajar (natural setting), peneliti sebagai instrumen utama pengumpul data penelitian (key, instrument), sangat deskriptif, mementingkan proses, mengutamakan data langsung (first hand), triangulasi (data dari satu sumber harus dicek kebenarannya dengan cara memperoleh data yang sama dari sumber lain), mementingkan perspektif emic (pandangan responden), sampling purposif, audit-trail (apakah laporan penelitian sesuai data


(40)

yang terkumpul), partisipasi tanpa mengganggu (passive participation), analisis dilakukan sejak awal dan selama melakukan penelitian, dan desain penelitian muncul selama proses penelitian (emergent, evolving dan developing).

Pendekatan kualitatif dipandang sesuai dengan masalah penelitian ini dengan beberapa alasan:

1. Peneliti mencoba mengungkap dokumen penguatan partisipasi warga Negara dalam pelestarian hidup. Adapun alasan peneliti menggunakan dokumen tersebut sebagaimana dikemukakan Guba & Lincoln dalam A. Chaedar Alwasilah (2003:156) :

a. Dokumen merupakan sumber informasi yang lestari.

b. Dokumen merupakan bukti yang dapat dijadikan dasar untuk mempertahankan diri terhadap tuduhan atau kekeliruan interprestasi. c. Dokumen itu sumber data alami, bukan hanya muncul dari konteksnya,

tetapi juga menjelaskan konteks itu sendiri. d. Dokumen itu relatif mudah dan murah. e. Dokumen itu sumber data yang non reaktif.

f. Dokumen berperan sebagai sumber pelengkap dan memperkaya bagi informasi yang diperoleh melalui interview atau observasi.

2. Penelitian ini berfokus pada “Penguatan Partisipasi Warga Negara dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup Menuju Pembangunan Berkelanjutan berbasis Konsep Green Moral. Hal ini dapat terungkap melalui pendekatan kualitatif sesuai dengan karakteristik kualitatif yang dikemukakan oleh Bogdan & Blinken (1982:28): “qualitative researchers are concerned with


(41)

process rather than simply with outcomes or products”. Penekanan kualitatif pada proses secara khusus memberi keuntungan dalam penelitian pendidikan.

Penelitian ini mencoba mengungkap bagaimana Penguatan Partisipasi Warga Negara dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup Menuju Pembangunan Berkelanjutan berbasis Konsep Green Moral.

Dalam penelitian kualitatif ini peneliti sebagai instrumen utama (key instrumen) harus turun ke lapangan dan berada di lapangan dalam waktu yang cukup lama. Peneliti terjun langsung ke lapangan untuk meneliti aktivitas manusia tertentu dengan mengumpulkan data-data dari hasil interaksi peneliti dengan mereka. Nasution (1996:5), mengungkapkan bahwa: “peneliti harus mampu memahami dan berusaha mengerti bahasa dan tafsiran mereka, untuk itu penelitian kualitatif ini tidak dilakukan dalam waktu yang singkat.

Metode yang digunakan penulis untuk penelitian ini adalah metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (1989:3) mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati . Lebih lanjut Nasution (1996:5) mengemukakan bahwa: “Penelitian kualitatif pada hakekatnya adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha untuk memahami bahasa mereka dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”.

Desain penelitian kualitatif tidak didasarkan pada suatu kebenaran yang mutlak, tetapi kebenaran itu sangat komplek karena selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, histories, serta nilai-nilai. Menurut Nasution (1996:17),


(42)

penelitian kualitatif sebenarnya meliputi sejumlah penelitian antara lain: kerja lapangan, penelitian lapangan, studi kasus dan lain-lain. Mengenai metode studi kasus Winarno Surakhmad (1998:143) mengemukakan bahwa:

studi kasus memusatkan perhatian pada kasus secara intensif dan mendetail. Kasus dapat terbatas pada satu orang, satu lembaga, satu keluarga, satu peristiwa, satu desa, ataupun satu kelompok manusia dan kelompok objek lain-lain yang cukup terbatas yang dipandang sebagai kesatuan. Dalam hal itu cukup segala aspek kasus tersebut mendapat perhatian sepenuhnya dari penyelidik itu adalah segala sesuatu yang mempunyai arti dalam riwayat kasus, misalnya peristiwa terjadinya, perkembangan dan perubahan-perubahannya.

Penelitian kualitatif dengan metode kasus dianggap tepat untuk kajian penelitian ini karena yang menjadi fokus penelitian adalah kasus yang terjadi di masyarakat yaitu mengenai penggalian dan pengkajian berbagai literature tentang penguatan partisipasi warga Negara dalam pelestarian lingkungan hidup di Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, dan Kota Batu. Melalui pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus ini akan lebih luas dan mendalam mengungkap Penguatan Partisipasi Warga Negara dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup Menuju Pembangunan Berkelanjutan berbasis Konsep Green Moral.

Dalam penelitian ini penulis menyusun beberapa mekanisme kerja antara lain sebagai berikut :

1. Menyusun Rangkaian Penelitian

Rancangan penelitian ini diawali dengan melakukan studi pendahuluan di Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang dan Kota Batu Propinsi Jawa Timur guna memperoleh kebenaran terhadap masalah yang akan diteliti dalam pelaksanaan Partisipasi Warga Negara dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan. langkah


(43)

selanjutnya penulis membuat proposal penelitian yang di dalamnya mengungkap latar belakang masalah, fokus masalah, menetapkan lokasi penelitian sesuai dengan judul penelitian.

2. Menetapkan Data dan Lokasi Penelitian

Nasution (1996:32), menyebutkan bahwa : “dalam penelitian kualitatif yang dijadikan sumber data hanyalah sumber yang dapat memberikan informasi baik berupa hal, peristiwa, manusia dan situasi yang di observasi. Sering juga sumber data berupa responden yang dapat diwawancarai”. Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan maka sumber dat mencakup orang, benda serta peristiwa. Orang (manusia) sebagai sumber data yang berstatus sebagai responden atau informan. Benda sebagai bentuk data berupa dokumen dan berfungsi sebagai informasi tentang masalah penelitian, sedangkan peristiwa merupakan sumber data tentang keadaan dan kondisi yang sedang berlangsung dan dapat dibaca untuk dipahami. Dalam penelitian ini yang dijadikan sumber data yaitu mencakup manusia tokoh masyarakat yang dapat memberikan informasi tentang permasalahan yang diteliti), peristiwa yaitu pelaksanaan Penguatan Partisipasi Warga Negara dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup Menuju Pembangunan Berkelanjutan berbasis Konsep Green Moral yang diteliti dengan cara : peneliti melakukan observasi langsung dalam peristiwa tersebut, serta berbagai dokumen yaitu foto mengenai pelaksanaan penggalian dan pengkajian berbagai literature tentang penguatan partisipasi warga Negara dalam pelestarian lingkungan hidup yang dapat memberikan gambaran terjadinya peristiwa tersebut dan dapat menunjang penelitian ini.


(44)

Adapun lokasi penelitian didasarkan atas beberapa pertimbangan tertentu yang didasarkan studi pendahuluan yang menunjukkan adanya fenomena bahwa di Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang dan Kota Batu Propinsi Jawa Timur terdapat masalah krisis lingkungan hidup.

Tahap ini dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh kemudahan dalam pencarian data, sehingga data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini mendapat kemudahan.

3. Membuat Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini instrumen utamanya adalah peneliti sendiri (key instrument). Selain itu instrumen yang utama adalah pedoman wawancara yang dilakukan pada tokoh masyarakat kampung setempat, hal ini bertujuan untuk memperoleh kelengkapan data.

4. Menjajaki dan Menilai Keadaan Lapangan

Pada tahap ini, peneliti belum dapat mengungkapkan data yang sebenarnya di lapangan. Peneliti masih mencari orientasi lapangan dengan untuk mengenal segala unsur lingkungan sosial dan fisik dari objek penelitian sehingga peneliti dapat mempersiapkan diri baik mental, fisik maupun menyiapkan perlengkapan yang di perlukan untuk kelangsungan penelitian. Paada tahap ini peneliti berupaya untuk menilai keadaan dan situasi yang terjadi dilapangan.Selain itu peneliti berusaha memasuki lapangan dengan melakukan hubungan baik secara formal maupun informal dengan sumber data.


(45)

5. Pengumpulan Data

Pada tahap ini peneliti berupaya untuk mencatat segala sesuatu yang terjadi dilokasi penelitian berkaitan dengan Penguatan Partisipasi Warga Negara dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup Menuju Pembangunan Berkelanjutan berbasis Konsep Green Moral yang dapat diperoleh dari pengamatan (observasi) maupun wawancara. Dalam penelitian ini peneliti bertindak langsung sebagai instrument penelitian utama (key instrument) yang bertugas mengumpulkan data secara kontinu, mendalam dan terintegrasi baik melalui observasi, wawancara maupun studi dokumentasi. Dalam penelitian ini peneliti terlibat langsung ke lapangan secara alamiah.

B. Teknik Penelitian

Berdasarkan metode penelitian yang digunakan, proeses pengumpulan data di dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik penelitian, yaitu tenik observasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi literatur.

1. Observasi

Observasi dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah pengamatan. Alat ini digunakan untuk mengamati : dengan melihat, mendengarkan, merasakan, mencium, mengikuti segala hal yang terjadi dengan cara mencatat/merekam segala sesuatunya tentang orang atau kondisi atau fenomena tertentu. Menurut Nasution dalam Sugiyono (2009:64) „observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Data itu dikumpulkan dan sering dengan bantuan berbagai alat yang sangat canggih,


(46)

sehingga benda-benda yang sangat kecil (proton dan elektron) maupun yang sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat diobservasi dengan jelas‟. Menurut Nasution (1995:112) menyatakan bahwa “Ilmu pengetahuan mulai dengan observasi dan selalu harus kembali ke observasi untuk mengetahui kebenaran ilmu itu. Observasi dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti terjadi dalam kenyataan. Dengan observasi dapat kita peroleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial, yang sukar diperoleh dengan metode lain”.

Marshall dalam Sugiyono (2009:64) menyatakan bahwa „through

observation, the researcher learn about behavior and the meaning attaced to those behavior. Melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan makna dari perilaku tersebut‟.

Merujuk pada pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan melalui observasi merupakan dasar dari semua ilmu pengetahuan, dengan observasi peneliti dapat melakukan pengamatan dengan melihat, mendengarkan, merasakan, mencium, mengikuti segala hal yang terjadi dengan cara mencatat/merekam segala sesuatunya tentang orang atau kondisi atau fenomena tertentu selain itu peneliti dapat belajar tentang perilaku manusia dan makna dari perilaku tersebut.

Metode observasi peneliti lakukan guna mencermati secara langsung wujud atau gambaran program penghijauan yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang dilakukan di Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang dan Kota Batu Propinsi Jawa Timur.


(47)

2. Wawancara Mendalam

Wawancara dapat digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self report, atau pada pengetahuan diri atau keyakinan pribadi. Esterberg dalam Sugiyono (2009:72) mendefinisikan interview sebagai berikut :

a meeting of two persons to exchange information and idea trough question and response, resulting in communication and joint contruction of meaning abuot particulartopic. Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.

Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan dialog, tanya jawab antara peneliti da responden secara sungguh-sungguh. Sebagaimana dikemukakan Nasution (2003:72) “wawancara ialah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Pewawancara disebut interviewer, sedangkan orang yang diwawancara disebut interviewee”. Pada dasarnya wawancara dalam penelitan merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh informasi langsung dari responden, dalam hal ini yang menjadi responden dengan mengungkapkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti. Wawancara dilakukan dengan cara tatap muka antar pewawancara (peneliti) dengan responden (masyarakat, ketua adat dan sesepuh) dan kegiatannya dilakukan secara lisan.


(48)

Wawancara atau interview dilakukan dimana saja selama dialog ini dapat dilakukan, misalnya sambil berjalan, duduk santai disuatu tempat, di lapangan, di kantor, di bengkel atau dimana saja. Alat ini mudah digunakan dan hampir ada pada setiap penelitian dan pengumpulan data. Sebagaimana yang diungkapkan Kerlinger (1973:479) “the interview is perhaps the most ubiquitous method of obtaining information from people”. Artinya interview mungkin metode yang ada dimana-mana yang digunakan untuk memperoleh informasi dari masyarakat. Praktis dan tidak terlalu terikat oleh waktu, tempat dan siapa saja. Kita seringkali melihat wawancara seorang wartawan pada seseorang pejabat, artis, atlit terkenal dalam masalah tertentu untuk dimintai keterangannya.

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan wawancara dapat digunakan sebagai suatu teknik pengumpulan data jia peneliti ingin melakukan studi pendahuluan dalam menemukan permasalahan yang diteliti, wawancara adalah pertemuan antara peneliti dan informan untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, wawancara dapat dilakukan dimana saja selama dialog ini dapat dilakukan, misalnya sambil berjalan, duduk santai disuatu tempat, di lapangan, di kantor, di bengkel atau dimana saja.

Interview atau wawancara mendalam peneliti lakukan guna menggali konsep, pemikiran, ataupun tanggapan penggerak dan masyarakat penerima program penghijauan terkait dengan program penghijauan/ pelestarian lingkungan hidup.


(1)

B. Milles, Matthew dan Huberman A. Michael, (2007), Analisis data Kualitatif (terjemahan T. Rohendi Rohidi), Jakarta, UI Press

Bogdan , R.C. & Biklen, S.K (1982), Qualitative Research for Education: An Introduktion to theory and Methods, Boston, Allyn and Bacon Inc. Box, Richard C, (1998), Citizen Governance: Leading American Comnities into the

21 Century, Thousand Oaks: Sage Publikation.

Burke, J dan Ewan, J, (1999), Sonoran Preserve Master Plan for the Phoenix Sonoran Desert, City of Phoenix Parx Recreation dan Library Departement.

Burns, James MacGregor dan Jack Walter Peltason, (1966), Government By the People,The Dynamics of America National, State, and Lokal Government, edisi ke-6, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Branson, Margaret.S Dkk, (1998), Belajar Civic Education dari Amerika, Yogyakarta, LKIS

Caidan, Gerald E., (1982), Public Administration, 2nd Ed. California: Pilasades Publisher

Canton, James, (2010), The Extreme Future : 10 Tren Utama yang Membentuk Ulang Dunia 20 Tahun Kedepan, Jakarta, Pustaka Alvabet

Chang, William, (2009), Bioetika Sebuah Pengantar, Yogyakarta, Kanisius

Creswell, J.W. 1998. Research Design Qualitative & Quantitative Approach. London: Publication.

Daniel, Valerina, (2009), Easy Green Living, Jakarta, Hikmah (PT. Mizan Publika) Danusaputro, Munadjat, (1984), Hukum Lingkungan dan Pembangunan, Jakarta,

Binacipta

Daroeso, Bambang, (1989) Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila,Semarang: Aneka Ilmu

Denhard, Robert B.and Janet V. Denhardt, (2002). The New public Service Serving not Steering. New York:M.E. Sharpe.

Djamal, Irwan,Zoeraini, (2005), Tantangan Lingkungan dan Landsekap Hutan Kota, Jakarta, Bumi Aksara

Djamal, Irwan, Zoeraini, (2010), Prinsip-Prinsip Ekologi (Ekosistem, Linkungan dan Pelestariannya), Jakarta, Bumi Aksara


(2)

Djahiri, A. Kosasih, (1996), Menelusur Dunia Afektif: Pendidikan Nilai dan Moral, Bandung, Lab. Pengajaran PMP IKIP Bandung

Elmubarok, Zaim, (2008), Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung, Afabeta

Fuji Raharjo, Imam dan Jawama Adam, Sugayo, (2007), Dialog Hutan Jawa, Mengurai maknna Filosofis PHBM, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Fadeli, Chafid dan Nur Utami, (2008), Audit Lingkungan, Yogyakarta, Gajah Mada University Press

Gaventa, John. (2002). Introduction; Exploring Citizenship, Participation and Accountability, Bulletin IDS Vol.33 No. 2,2002 , Brighton: Institute of Development Studies, University of Sussex.

Graham, Katherine A. Dan Susan D. Phillips. (1998). Citizen Engagement: Lessons in Participation from Local Government. Canada: L’institut D’Administration Publique Du Canada, The Institute of Publik Administration of Canada

Hariyadi dan B. Setiawan, (2010), Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku (Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi), Yogyakarta, Gajah Mada University Press

Henry, Nicholas, (2004). Public Administration and Public Affairs, New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Iskandar, Johan, (2001), Manusia Budaya dan Lingkungan Ekologi Manusia, Bandung: Humaniora Utama Press

Iskandar, Johan, (1992), Ekologi Perladangan di Indonesia (Studi Kasus: dari daerah Baduy Banten Selatan, Jabar), Jakarta, Djambatan

Islamy, M.Irfan, 2004. “Membangun Masyarakat Partisipatif” artikel dalam Jurnal Administrasi Publik, Vol.IV No. 2 Maret-Agustus 2004.

Jurnal Lingkungan Hidup, (Tahun I-No.1/1994), Jakarta, ICEL K. Dwi Susilo, Rachmad, (2008). Sosiologi Lingkungan, Jakarta: Rajagrafindo Persada Kaswari, EM.K (1993), Pendidikan nilai memasuki tahun 2000, Jakarta, Grasindo Keraf, A. Sonny, (2006) Etika Lingkungan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas Kerlinger. (1973). Foundation of Behavioral Research, Edisi II. HRW. Inc

Khaelany, (1996), Islam, Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, Rineksa Cipta


(3)

King, Cherly Simrell and Camilia Stivers. (1998). Government is Us: Public Administration in an Anti-Government Era. Thousand Oaks, California: Sage Publikations.

Leimona, Beria dan Fauzi, Aunul, (2008), CSR dan Pelestarian Lingkungan, Mengelola Dampak: Positif dan Negatif, Jakarta, Indonesia Business Links

Low, Nicholas dan Gleeson, Brendan, (2009), Politik Hijau: Kritik terhadap Politik Konvensional menuju Politik Berwawasan Lingkungan dan Keadilan, Bandung, Nusa Media

May, Larry dkk, (2001), Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural, Yogyakarta, Tiara Wacana

May, Larry dkk, (2001), Etika Terapan II: Sebuah Pendekatan Multikultural, Yogyakarta, Tiara Wacana

Muluk, Khairul. (2007). Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah, Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berfikir Sistem. Malang: Lembaga Penerbitan dan Dokumentasi FIA Unibraw dan Bayumedia.

Moleong, Lexy J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Kota Bandung: PT . Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Rohmat, (2004), Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta Mustafa, Zainal EQ, (2009), Mengurai Variabel hingga Instrumen, Yogyakarta,

Graha Ilmu

Nasution, (1995). Metode Research. Jakarta: Bumi Aksar

_______ , (1996), Metode Penelitian Kualitatif Naturalistik. Jakarta: Rajawali _______ , (2003). Metode Penelitian Naturalistilk Kualitatif. Bandung: Tarsit

Nelson, Nici dan Susan Wright, (1995), Power and Participatory Development, Theory and Practice, London: Intermediate Technology Publikation. Neolaka, Amos, (2008), Kesadaran Lingkungan, Jakarta, Rineksa Cipta

Nucci, Larry P and Narvaez, Darcia, (2008), Handbook of Moral and Character Education, New York, Routledge

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan


(4)

Purwasasmita, Mubiar, (2011), Intensifikasi Proses Tanaman Tani Ramah Lingkungan, Tani Abad 21: Andalan Ketersediaan Pangan dan Sumberdaya Terbaharukan, Generator Ekonomi Non-Depresiasi dan Anti-Inflasi, Bandung, DPKLTS

Pretty, J.(1995). Regenerative Agriculture: Policies and Practice for Sustainability and Selfeliance.London, Earthscan.

Ranjabar, Jacobus. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bogor : Galia Indonesia Riduwan, (2007), Skala pengukuran variabel-variabel Penelitian, Bandung, Alfabeta Ritzer, George dan J. Goodman, Douglas, Alih bahasa Alimandan (2008), Teori

Sosiologi Moderen, Jakarta, Kencana Prenada Media,

Sapriya, (2007), Perspektif Pmikiran Pakar tentang Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pembangunan Karakter Bangsa, Bandung, Sekolah Pascasarjana UPI

Sapriya, (2009), Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung, Lap. PKn-FPIPS, UPI

Sapriya dan Winataputra, Udin, (2004), Pendidikan Kewarganegaraan: Model Pengembangan Materi dan Pembelajaran, Bandung, Laboratorium PKn-FPIPS, UPI

Sastrawijaya, Tresna. A, (2009), Pencemaran Lingkungan, Jakarta, Rineka Cipta Silalahi, M. Daud, (2001) Hukum Lingkungan (dalam Sistem Penegakan Hukum

Lingkungan di Indonesia), Bandung, Alumni

Slamet, Y, (1994), Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi, Surakarta, UNS Press

Smith, B.c., (1985). Decentralization The Territorial Dimension of The State. London:George Allen and Unwin.

Straus, Anseirn & Juliet Corbin, (1997). Basics of Qualitative Research: Grounded. Theory Procedures and Techniques. Disadur oleh Djunaidi Ghony. Dasar-dasar Penelitian Kuantitatif (Prosedur, Teknik dan Teori Grounded) Suryabaya : Bina Ilmu

Soemarwoto, Otto, (2008), Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta, Djambatan


(5)

Soerjani, Mohamad, (2009). Pendidikan Lingkungan (Environmental Education), Jakarta:UI-Press

Sontang Manik, Karden Eddy, (2009), Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: Djambatan

Sugandhy, Aca, dan Hakim, Rustam, (2007) Prinsip dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Bumi Aksara

Sugiyono, (2009), Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung, Alfabeta

Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung, Alfabeta

Suhirman, (2004). Kerangka Hukum dan Kebijakan tentang Partisipasi Warga di Indonesia Laporan Penelitian Independen. Bandung: The Ford Foundation.

Sulistyaningsih, Tri dan Sunarto, (2009), Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Publik Berbasis Demokratisasi peran actor sebagai upaya mewujudkan Kota berkelanjutan di Malang, Malang, UMM Press

Supardan, Dadang. (2008). Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan. Jakarta: Bumi Aksara

Supardi, Imam, (2003), Lingkungan Hidup dan Pelestariannya, Bandung: Alumni Suparmi, Niniek, (1994), Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum

Lingkungan, Jakarta, Sinar Grafika

Suparno, Erman, (2010), Grand Strategi Indonesia, Kajian Komprehenship Manajemen Pembangunan Negara-Bangsa), Jakarta, Milestone

Surakhmad, Winarno, (1998), Penelitian Ilmiah (Dasar, Metode, Teknik), Bandung, Tarsito

Susanta, Gatut dan Sutjahjo, Hari (2008) Apakah Indonesia tenggelam akibat Pemanasan Global, Jakarta: Penebar Pluss

Syahyuti. (2005). Partisipasi. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor, IPB

Tilaar, H.A.R, (2000), Paradigma Baru Pendidikan Nasonal, Jakarta, Rineka Cipta Tikson. Deddy T., (2009). Partisipasi Masyarakat Dalam Manajemen Perkotaan

http://id.shvoong.com/sosial-sciences/political-sciance/1883653-partisipasi-masyarakat-dalam-manajemen-perkotaan/. Diakses 20 Juni 2009.


(6)

Thoha, Miftah, (2005), Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun1945

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Ward, Barbara dan Dubos, Rene (1980), Hanya Satu Bumi, terjemahan S. Supomo, Bandung, Lembaga Ekologi UNPAD dan Yayasan Obor

Winataputra, Udin dan Budimansyah,Dasim, (2007), Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas, Bandung, Prodi PKn, Sekolah Pascasarjana UPI

Yunus, H.S., (2005). Manajemen Kota Perspektif Spasial. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.