Peran politik dalam pengetasan kemiskina

Nama : Romayana Sari Lumbantoruan
NPM : 170310170045
Email : romayana17001@gmail.unpad.ac.id
“Peran politik dalam pengetasan kemiskinan melalui keputusan serta kebijakan yang
berlaku dan diakui oleh negara.”
Abstraksi
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang ada, berbagai macam faktor
menyebabkan terjadinya kemiskinan entah itu dari faktor ekonomi, sosial, politik, dan
sebagainya. Kemiskinan merupakan masalah sosial yang mungkin hampir setiap negara
merasakan permaslahan tersebut. Baik negara maju maupun negara berkembang,
menginginkan kehidupan warga negaranya sejahtera, khusunya Indonesia yang memiliki
tujuan nasional yang terdapat pada alinea ke empat pada Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945. Berbagai macam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan
akan masalah ini sudah ada. Negara memang seharusnya menjamin kesejahteran setiap warga
negaranya, dengan melindungi dan menjaga Hak Asasi Manusia setiap warga negaranya.
Lantas, sebenarnya seperti apa peran politik dalam pengetasan kemiskinan melalui keputusan
dan kebijakan yang ada? Bukankah tujuan dari adanya politik, untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik? Apakah dengan adanya keputusan dan kebijakan yang ada di dalam negara,
dapat menjamin bahwa kehidupan masyarakat akan terbentuk harmonis dan berkelanjutan?
Lalu bagaimana dengan permasalahan kemiskinan yang sampai saat ini masih terjadi, dimana
peran negara yang seharusnya menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya? Bagaimana

sebenarnya peran politik akan hal ini, apakah baik atau buruk?
Pendahuluan
Sejauh yang kita ketahui bersama, bahwasanya permasalahan yang ada didalam
kehidupan kita tidak jauh dari lingkungan sekitar kita. Permasalahan tersebut seringkali
disebut sebagai fenomena sosial. Lantas apa itu fenomena sosial? Berdasarkan KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia), fenomena adalah hal-hal yang disaksikan dengan pancaindra dan
dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah. Menurut Soerjono Soekanto, fenomena atau
masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat
yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Banyak sekali dalam kehidupan kita, dapat
ditemukan berbagai macam fenomena sosial. Fenomena sosial juga dapat dikatakan sebagai
suatu masalah sosial, dimana masalah sosial itu sendiri dapat timbul jika, lingkungan tidak
dapat memberikan sumber daya yang dibutuhkan, lalu kita tidak dapat menyesuaikan diri kita
terhadap lingkungan dan yang paling penting adalah masalah sosial tidak dapat berdiri
sendiri. Fenomena sosial yang ada di dalam kehidupan kita, bisa terjadi jika kebijakan yang
dibuat dalam mengatasi permasalahan yang ada tidak tegas, dan mungkin juga bukan
kebijakan yang salah atau kurang tegas tetapi, perilaku yang membuat keputusan serta
kebijakan tersebut yang kurang tegas sehingga, memungkinkan hal tersebut belum “ampuh”
untuk diatasi. Salah satu fenomena sosial yang sering kita temui dalam kehidupan kita adalah

kemiskinan. Kemiskinan, bukanlah permasalahan baru di lingkungan kita, bahkan

kemiskinan sudah menjadi persoalan hampir diseluruh negara didunia ini, tidak hanya
Indonesia.
Lantas, ketika kita sedang membicarakan kebijakan, perilaku “si pembuat” kebijakan,
secara tidak langsung kita telah membicarakan politik. Lalu apa sebenarnya itu politik?
Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang lebih baik. Plato dan Aristoteles
menamakannya sebagai en dam onia atau good life. Pada dasarnya politik dalam suatu negara
berkaitan dengan pengambilan keputusan, kebijakan publik, dan alokasi serta distribusi.
Sebagaimana yang terjadi, bahwasanya fenomena sosial atau masalah sosial bisa terjadi
apabila lingkungan tidak dapat memenuhi sumber daya, sumber daya disini bukan bukan
hanya manusia, bisa jadi kebijakan-kebijakan yang berlaku, tidak mendukung atau kurang
tegas dalam mengatasi permasalahan atau fenomena sosial yang ada atau mungkin juga “si
pelaksana” kebijakan yang tidak tegas dan acuh tak acuh akan masalah sosial yang ada.
Lantas bagaimana kebijakan-kebijakan yang ada dapat terbentuk? Dalam suatu sistem politik
terdapat inputs dan ouputs, dimana inputs bersifat dukungan, outputs bentuk kebijakan dan
peraturan kedua hal ini tidak akan pernah lepas, sebab ketika kita membicarakan politik tidak
akan pernah lepas dari kata dukungan dan kebijakan. Sistem terdiri dari berbagai komponen
dimana mereka saling bergantung pada yang lain dan saling mengadakan interaksi, sehingga
dalam proses terbentuknya kebijakan banyak sekali tahap-tahap yang terjadi tidak hanya dari
pemerintah atau “si pembuat” kebijakan, tetapi masyarakat juga bisa mengeluarkan
aspirasinya atau dukungannya akan kebijakan yang akan dibuat. Perubahan dalam suatu

bagian dalam sistem itu mempengaruhi seluruh sitem layaknya dukungan dan kebijakan.
Kebijakan publik dan kelembagaannya bertujuan untuk melindungi warga negara dari
masalah sosial dan kemiskinan, dan tujuan akhirnya untuk memungkinkan mereka mencapai
tujuan hidupnya (UNRISD). Dimana dalam proses pembuatannya kebijakan public, melalui
beberapa tahap diantaranya adalah tahap perumusan kebijakan, tahap implementasi
kebijakan, dan tahap evaluasi kebijakan. Dengan begitu mengapa penting bagi kita untuk
mempelajari politik apalagi dengan, perkembangan zaman sekarang agar kita mengerti dan
memungkinkan menemukan solusi atas permasalahan sosial yang ada, khususnya
kemiskinan.
Kerangka Teori
Politik bisa dipandang baik dan bisa dipandang buruk, seperti yang dikemukakan oleh
Peter Merkl, bahwasanya politik dalam bentuk yang paling baik adalah “Usaha untuk
menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk
membawa masyarakat kearah kehidupan bersama yang harmonis.” Peter Merkl juga
menyatakan bahwa “Politik dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan,
kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Singkatnya politik adalah perebutan
kuasa, takhta, dan harta.” Jika kita kaitkan dengan fenomena sosial yang ada dalam
kehidupan kita, bagaimana mekanisme kebijakan serta kekuasaan pemerintah yang
menghasilkan suatu keputusan untuk mengatasi permasalahan tersebut, sebab “orang-orang”
yang membuat kebijakan memiliki wewenang apakah niatnya adalah untuk membawa

masyarakat kearah kehidupan bersama yang harmonis, atau “orang-orang” yang membuat

kebijakan, yang sebelumnya memberikan “harapan” atau “janji” kepada masyarakat
hanyalah, sebuah “alat” untuk mendapatkan kekuasaan, takhta, dan harta tanpa
mementingkan kepentingan masyarakat banyak. Pada dasarnya, “janji” adalah instrumen
kekuasaan yang digunakan untuk memperngaruhi banyak orang demi mendapatkan
dukungan. Ditekankan, bahwasanya keputusan dan kebijakan merupakan dua hal yang
berbeda, dimana keputusan adalah hasil dari membuat pilihan diantara berbagai alternatif.
Sedangkan kebijakan, menurut Zaenudin Kabai adalah formalisasi dari sebuah kebijaksanaan,
mengingat seringnya kata kebijakan digunakan pada lingkungan-lingkungan formal
(organisasi dan pemerintah). Sangat jelas bahwa keputusan dan kebijakan berbeda. Pada
perspektif empirik atau behavioral kekuasaan berorientasi pada “kapasitas” dimana hal
tersebut dipakai untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Floyd Hunter (1953) dalam
karyanya Community Power Structure berpendapat bahwa “Kekuasaan merupakan pengertian
pokok, dan pengaruh bentuk khususnya.”
Namun Laswell dan Kapan berbeda pendapat dan menganggap pengaruh sebagai
konsep, dam kekuasaan sebagai bentuk khas dari pengaruh. Pengaruh adalah kemampuan
yang terus berkembang, yang berbeda dengan kekuasaan tidak begitu terkait dengan usaha
memperjuangkan dan memaksakan kepentingan. Definisi pengaruh menurut Norman Barry,
bahwa pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang, jika seorang yang dipengaruhi agar

bertindak dengan cara tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian,
sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang mendorongnya.
Pengaruh biasanya tidak merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perilaku
seseorang, dan sering bersaing dengan faktor lain. Pengaruh sering kurang efektif
dibandingkan dengan kekuasaan, ia kadang-kadang mengandung unsur psikologis dan
menyentuh hati dan karena itu sering kali cukup berhasil. Kekuasaan dan pengaruh tidak akn
bisa pernah lepas, ditambah jika seseorang ingin mendapat kekuasaan, ia harus mampu
mempengaruhi seseorang agar terdorong untuk melakukan apa yang diinginkan oleh “si
penguasa”. Setelah berhasil mendapat kekuasaan, dan berhasil mempengaruhi seseorang,
fokusnya adalah pengabilan keputusan dan membuat kebijakan atau aturan. Sebagai social
work, kita harus peka terhadap perkembangan politik di negara ini dan bagaimana melihat
suatu fenomena sosial atau masalah sosial dapat di pecahkan dengan adanya berbagai
kebijakan-kebijakan yang ada serta bagaimana respon masayarakat yang bisa dikatakan
sebagai kelompok yang “rentan” akan kebijakan yang dibuat apakah “mereka” mendukung
atau menolak akan keputusan-keputusan yang dibuat oleh “pelaku politik”.
Lantas apa itu kebijakan? Kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil
oleh seorang pelaku atau kelompok, dalam usaha memilih tujuan dam cara untuk mencapai
tujuan itu. Hoogerwef menyatakan bahwa objek dari ilmu politik adalah kebijakan
pemerintah, proses pembentukannya serta akibat-akibatnya. David Easton menyatakan bahwa
ilmu politik adalah studi terbentuknya kebijakan umum. Kebijakan menurut Thomas R. Dye

(dalam Widodo, 2013:11) adalah pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin
dilakukan oleh pemerintah. Definisi tersebut sangatlah luas sehingga tidak cukup bisa
mewadahi esensi dari kebijakan publik yang sesungguhnya, sedangkan kebijakan publik
menurut W. I Jenkis (Wahab, 2014:15) adalah serangkaian keputusan yang saling berkaitan

yang diambil oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor berkenaan dengan tujuan yang
telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi. Keputusan-keputusan
yang diambil pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari
pada aktor tersebut. Setiap kebijakan publik terdapat elemen-elemen yang
melatarbelakanginya. Elemen yang terkandung dalam kebijkan publik yang dikemukakan
oleh Anderson (Islamy dalam Widodo, 2013:14) mencakup hal-hal sebagai berikut yaitu
kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu, kebijakan berisi
tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah, kebijakan adalah apa yang benarbenar dilakukan oleh pemerintah dan bukan apa yang bermaksud akan dilakukan, kebijakan
publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu maslaah tertentu) dan
bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu dan kebijakan
publik (positif) selalu berdasarkan peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa
(otoriatif). Ketika kita membicarakan kebijakan, kita juga membicarakan siapa fokus utama
atau sasaran kebijakan tersebut, bagaimana pelaksanaanya dan apakah ini benar-benar
berhasil dalam mengatasi masalah sosial yang ada.
Dalam Social work dictionary (Barker 1999, S.V “Social work”) mengidentifikasikan

dua tujuan mendasar social work, yaitu membantu orang memperbaiki keberfungsian sosial,
serta menciptakan kodisi sosial dan mencegah masalah-masalah dalam keberfungsian sosial.
Secara tidak langsung, bahwasanya keberfungsian sosial dan kondisi sosial sangatlah
berkaitan erat. Keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang untuk memenuhi semua
tugas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan melakukan peran-peran
sosial utamanya, sebagaimana diperlukan oleh sub kebudayaan khusus sebuah masyarakat
(Karls and wandrei 1988 longres 1995). Kita tahu bahwasanya, social work ranahnya adalah
kelompok rentan dimana secara jenisnya adalah korban dari keterlantaran, ketiakadilan sosial,
diskriminasi dan kekerasan. Pada perbaikan kondisi sosial, menekankan pada penajaman dan
penciptaan lingkungan yang dapat mendukung dan memberdayakan, dimana para pekerja
sosial harus memahami kekuatan sebuah lingkungan sosial baik yang potensial membantu
dan kemungkinan merusak. Korban ketelantaran, ketidakadilan sosial, dan sebagainya
mungkin saja adalah korban dari tindakan pemerintah yang tidak tegas dengan penerapan
kebijakan-kebijakan yang ada akan masalah sosial yang dihadapi atau korban dari “orangorang” di bawah pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan kebijakan acuh
tak acuh dan lebih memntingkan diri sendiri. Maka dari itu, dimana sebenarnya peran politik
dalam pengetasan masalah sosial yang ada.
Negara adalah inti dari politik. Pada dasarnya hubungan negara dan masyarakat
adalah, negara sebagai wadah untuk melindungi masyarakat dengan adanya peraturanperaturan yang diakui secara sah dan ditaati oleh rakyatnya. Sebagaimana pengertiannya
bahwa negara adalah lembaga sosial yang diadakan manusia untuk memnuhi kebutuhankebutuhan yang vital. Sebagai lembaga sosial, negara tidak diperuntukan untuk memenuhi
kebutuhan khusus dari segolongan tertentu tetapi untuk memenuhi keperluan-keperluan dari

seluruh rakyat itu. Manurut Plato dalam bukunya Republic, menulis bahwa negara timbul
karena adanya kebutuhan-kebutuhan manusia. Tiada manusia yang dapat memnuhi
kebutuhannya sendiri, sedangkan masing-masing manusia mempunyai banyak kebutuhan.

Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang banyak dan tidak dapat dipenuhi sendiri oleh
manusia secara individual, maka dibentuk negara. Demikian pula pendapat Aristoteles,
bahwa negara dibentuk dan dipertahankan karena negara bertujuan menyelenggarakan hidup
yang baik semua warga negaranya. Menurut Franz Magnis Suseno, apabila kita bertolak dari
tugas negara untuk mendukung dan melengkapkan usaha masyarakat untuk membangun
kehidupan yang sejahtera dimana masyarakat dapat hidup dengan sebaik dan seadil mungkin
maka tujuan negara adalah penyelenggaraan kesejahteraan umum. Dimana seharusnya
masalah seperti ketelantaran, ketidakadilan sosial, dan sebagainya dapat diatasi dengan
melindungi dan menjamin HAM (Hak Asasi Manusia) setiap warganya.
Atas dasar paham kesejahteraan umum, sebagai keseluruhan cara-cara kehidupan
sosial yang diperlukan masyarakat agar dapat sejahtera kita dapat menerima pembagian
tugas-tugas negara misalnya pembagian dalam tiga kelompok yakni pertama negara harus
memberikan perlindungan kepada para penduduk dalam wilayah tertentu; perlindungan
terhadap ancaman dari luar negeri dan dalam negeri; perlindungan terhadap ancaman
penyakit atau terhadap bahaya-bahaya lalu lintas. Kedua, negara mendukung atau langsung
menyediakan berbagai pelayanan kehidupan masyarakat dalam bidang sosial ekonomi dan

kebudayaan. Ketiga, negara menjadi wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang
berkonflik dalam masyarakat serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin
keadilan dasar dalam hubungan sosial masyarakat. Dengan dasar paham kesejahteraan umum,
negara seharusnya dapat menjalankan “keberfungsiannya”.
Pembahasan
Menurut Franz Magnis Suseno, intinya adalah negara menjamin kehidupan
masyarakat yang sejahtera tetapi jika bandingkan dengan kehidupan nyata seperti kemiskinan
yang bisa dikatakan, belum pada tingkat sejahtera. Dimana negara yang seharusnya
menjamin kehidupan masyarakat yang sejahtera? Seperti yang kita ketahui bersama bahwa
kemiskinan merupakan masalah sosial yang hampir dirasakan oleh seluruh negara. Lantas apa
itu kemiskinan? Kemiskinan secara etimologis berasal dari kata “miskin” yang artinya tidak
berharta benda dan serba kekurangan. Menurut Amartya Sen dalam bukunya, kemiskinan
bukan hanya dalam arti ekonomis tetapi juga kemiskinan politis, kemiskinan pendidikan,
kemiskinan kesehatan. Oleh sebab itu tepat apabila, definisi kemiskinan saat ini terasa kurang
relevan apabila hanya didefinisikan sebagai “keadaan tidak berharta.” Dalam konteks politik,
John Friedman mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu ketidaksamaan kesempatan dalam
mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Dalam Panduan Keluarga Sejahtera (1996:10)
kemiskinan adalah suatu keadaan dimana tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan
taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun
fisiknya dalam memenuhi kebutuhannya. Dapat kita simpulkan bahwa kemiskinan adalah

suatu kondisi dimana inividu tidak dapat memenuhi standar kehidupan yang berlaku di dalam
suatu masyarakat. Ini adalah data kemiskinan di Indonesia dimana, jumlah penduduk miskin
pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,6 juta jiwa (43%) diantaranya masuk
kategori fakir miskin. Secara keseluruhan, prosentase penduduk miskin dan fakir miskin
terhadap total penduduk Indonesia adalah sekira 17,6 persen dan 7,7 persen. Ini berarti bahwa

secara rata-rata jika ada 100 orang Indonesia berkumpul, sebanyak 18 orang diantaranya
adalah orang miskin, yang terdiri dari 10 orang bukan fakir miskin dan 8 orang fakir miskin
(BPS dan Depsos, 2002:9). Dapat kita simpulkan dari data diatas bahwasanya, jumlah
penduduk Indonesia yang dikatakan miskin, dari tahun ke tahun semakin meningkat
walaupun ada saatnya angka kemiskinan turun, tetapi walau turun hal tersebut tetap menjadi
akar permasalahan bagi negara kita.
Penyebab kemiskinan sendiri sangat bervariasi, diantaranya adalah faktor lingkungan,
sosiokultural, ekonomi, politik, kebijakan publik dan sebagainya. Secara umum penyebab
kemiskinan dapat dikategorikan dalam tiga bentuk (Maisaroh & Sukhemi, 2011) antara lain,
sebagai berikut pertama, kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh halhal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada dimasyarakat
sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat. Kedua,
kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya nilai-nilai yang
tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan
gizi yang buruk serta yang terakhir adalah kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang

ditujukan oleh kondidi alam maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah
tandus, kering, maupun katerisolasian daerah. Pada penjelasan diatas, dapat disimpulkan
bahwa politik secara tidak langsung menjadi faktor penyebab terjadinya kemiskinan. Sebagai
contohnya adalah kemiskinan struktural dimana hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan
ataupun peraturan-peraturan pemerintah yang ada yang menyebabkan, terhambatnya
peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat sangat jelas bahwasanya, kebijakankebijakan yang ada di dalam negara dapat menyebabkan terjadinya suatu permasalahan
sosial. Pada dasarnya permasalahan sosial tidak beridiri sendiri, sama seperti kemiskinan
selaian sebagai persoalan utaama, kemiskinan juga melahirkan permasalahan baru seperti
angka gizi buruk, kesehatan ibu yang jauh lebih buruk, rendahnya akses terhadap air bersih,
akses terhadap sanitasi merupakan masalah sangat penting dan masih banyak lagi.
Dalam mengatasi permasalahan ini, apakah pemerintah turun tangan? Jawabannya
adalah “iya” dengan memberikan bantuan seperti membuka lowongan pekerjaan,
peminjaman modal, balai pelatihan dan sebagainya. Kebijakan dalam pengetasan kemiskinan,
sudah dibuat. Banyak hal yang sudah diupayakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan
ini selain diatas pemerintah juga sudah membuat program, seperti Program Keluarga
Produktif, Listrik Bagi Masyarakat Miskin, Kartu Perlindungan Sosial, KIAT Guru dan masih
banyak lagi. Pada Program Keluarga Produktif, program ini merupakan upaya pemerintah
memperbaiki program kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi masyarakat kurang mampu.
Dimana upaya perbaikan tersebut berupa pemberian, seperti simpanan produktif, kesempatan
berusaha dan bekerja, keberjalutan pendidikan anak, jaminan kesehatan, serta dengan
pemberian berbagai bantuan non tunai tersebut, pemerintah berharap dapat menigkatkan
martabat kelurga kurang mampu melalui kegiatan produktif. Listrik Bagi Masyarakat Miskin,
disebabkan oleh ketimpangan dan kemiskinan, sekitar 1,6 juta rumah tangga miskin tidak
mampu atau belum menikmati sambungan listrik dan 12.000 desa tidak terjangkau
layanan/fasilitas listrik, rasio elektrifikasi di Indonesia sebesar 88,3% (per desember 2015)
relatif rendah dibandingkan negara-negara di ASEAN data tersebut di dapat dari BPS. Lalu

Kartu Perlindungan Sosial, hal ini berguna untuk mendapatkan manfaat dari Program Subsidi
Beras untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah atau dikenal dengan Program RASKIN.
Selain itu KPS dapat juga digunakan untuk mendapatkan manfaat Bantuan Siswa
Miskin (BSM) dan Program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), pemerintah
mengeluarkan KPS ini kepada 15,5 Rumah Tangga Miskin dan rentan yang merupakan 25%
Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah di Indonesia. KIAT Guru (Kinerja dan
Akuntanilitas Guru) adalah inisiatif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K) untuk meningkatkan pelayanan pendidikan dengan mengujicobakan beberapa
pendekatan yang melibakan pera serta masyarakat, yang memperbaiki mekanisme dan
transparasi pembayaran tunjangan guru, dan yang mengaitkan pembayaran tunjangan guru
dengan keberadaan dan kualitas layanan pendidikan. Dengan sebanyak itu kebijakan
pemerintah yang membentuk program untuk mengatasi permasalahan kemiskinan di negara
ini, mengapa permasalahan tersebut masih belum bisa tuntas saat ini? Seperti yang
dinyatakan oleh Peter Merkl bahwasanya “Politik dalam bentuk yang paling buruk, adalah
perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.” Sejauh yang
kita ketahui bersama bahwa pemerintah bekerja tidak sendiri, ia dibantu oleh beberapa
pejabat pemerintah lainnya, yang menjadi permasalahannya apakah ketika mereka
melaksanakan program tersebut mereka benar-benar menjalankannya sesuai amanah? Apakah
hanya sebuah janji? Kita tahu bahwa politik dalam bentuk terburuk salah satunya kekayaan
untuk kepentingan diri sendiri. Dengan kedudukan yang ada serta kekuasaan yang ada “para
pelaku” politik yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa melihat ke masyarakat inilah
yang menjadi penyebab banyaknya program-program pemerintah tidak terlaksana dengan
benar. “Oknum-oknum” yang secara tidak langsung memakan uang rakyat. Sudah bukan
rahasia umum lagi, bahwa korupsi di negara Indonesia sudah merajalela. Tindakan “orangorang” yang memiliki kuasa memanfaatkan posisi tersebut, demi kepentingan pribadinya
tanpa memperdulikan masyarakat kalangan bawah yang notabennya mereka adalah kelompok
rentan, korban dari ketidakadilan sosial, ketelantaran.
Padahal, tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebagiaan bagi rakyatnya
serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin. Harold J. Laski menyatakan bahwa
“Menciptakan keadaan dimana rakyat dapat mencapai keinginan-keinginan mereka secara
maksimal.” Tujuan negara Republik Indonesia sudah tercantum tepatnya pada alinea ke
empat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Terlepas dari ideologinya,
dibawah ini ada beberapa minimum fungsi yang mutlak, yaitu melaksanakan penertiban,
untuk mencapai tujuan dan mencegah bentrokan-bentrokan. Negara bertindak sebagai
stabilator. Lalu negara juga mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya,
pertahanan menjaga kemungkinan serangan dari luar, dan menegakkan keadilan. Sarjana
lainnya, Charles E. Merriam menyebutkan lima fungsi negara yakni, keamanan ekstrem,
ketertiban intern, keadilan, kesejahteraan umum, dan kebebasan. Konteksnya adalah tujuan
negara menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya tapi bila kita, kaitkan kembali pada
permasalahan kemiskinan di Indonesia fungsi-fungsi mutlak yang disebutkan diatas belum
terlaksana secara keseluruhan. Apalagi dalam aspek mengusahakan kesejahteraan dan
kemakmuran serta menegakkan keadilan, dapat dikatakan bahwasanya kemiskinan sampai

sekarang belum dapat diatasi, entah itu dari segi pelaksanaan kebijakan serta program
pemeritah ataupun tindakan “oknum-oknum” pemerintah dalam mengambil keputusan demi
kepentingannya sendiri.
Selain hal-hal diatas, lantas apa yang menjadi tantangan dalam mengatasi kemiskinan
di dalam negara ini? Persoalan kemiskinan dalam negara kita bukanlah hal yang tabu, ada
banyak tantangan untuk mengatasi masalah ini . Lantas apa saja yang menjadi tantangan
dalam pengetasan masalah kemiskinan dalam negara kita? Jawabannya adalah jumlah
penduduk miskin yang sangat besar, semakin tingginya disparias pendapatan, kecurangankecurangan dalam penyelenggaraan program pengetasan kemiskinan, isolasi penduduk
miskin terhadap sumber-sumber permodalan, tidak mampunya masyarakat miskin dalam
berdaptasi dengan program pembanguanan, kebijakan pengetasan terlalu bertumpu pada
pertumbuhan ekonomi makro, dan kebijakan pengetasan kemiskinan bersifat menyembuhkan
(curative) bahkan bersifat karitatif/charity, dan sebagainya. Seperti yang sudah kita bahas
sebelumnya, bahwasanya kebijakan dapat menjadi penyebab terjadinya kemiskinan dimana,
ia menghambat aktivitas produktif dan mobilitas masyarakat, hal ini terjadi karena
pemerintah telalu fokus pada pertumbuhan ekonomi makro, dibandingkan mikro. Padahal
sebelum terjadinya pada ranah makro, munculnya kemiskinan bisa terjadi atau bermula pada
masalah mikro, seperti tidak berjalan baiknya suatu kegiatan ekonomi yang melumpuhkan
RTP (Rumah Tangga Produsen) dan RTK (Rumah Tangga Konsumsi) yang menimbulkan
ketidakseimbangan harga dan menjadi penyebab harga barang menjadi tinggi, ditambah
dengan pendapat konsumen yang tidak sesuai. Dari sinilah harga-harga kebutuhan semakin
tinggi, dan banyak masyarakat banyak yang tidak mampu membeli barang kebutuhannya dan
menimbulkan masalah seperti kelaparan, kurangnya gizi, dan sebagainya.
Dengan mempelajari pendekatan ilmu politik ataupun konsep politik, ini
memungkinkan untuk menjawab persoalan yang ada, mengapa masalah kemiskinan sampai
saat ini masih belum bisa diatasi? Apakah disebabkan oleh “aktor” politik atau kebijakankebijakan yang ada. Lantas untuk apa kita mengalisa permasalahan ini dengan menggunakan
pendekatan ilmu politik? Dengan menggunakan pendekatan ilmu politik kita menjadi tahu,
seperti apa perilaku para ”aktor” politik, dengan menggunakan pendekatan perilaku. Lantas
apa itu pendekatan perilaku? Salah satu pemikiran pokok dari pendekatan perilaku ialah
bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu
tidak banyak memberikan informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya,
lebih bermanfaat untuk memperlajari perilaku (behavior) manusia karena merupakan gejala
yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal
sebagai sentral atau sebagai aktor yang independen, tetapi hanya sebagai kerangka bagi
kegiatan manusia. Jika menganut pendekatan perilaku mempelajari parlemen, maka yang
dibahas anatar lain perilaku anggota parlemen seperti pola pemberian suaranya (voting
behavior) terhadap rangcangan undang-undang tertentu (apakah pro atau anti, dan mengapa
demikian), pidato-pidatonya, gila-tidaknya memprakasai rancangan undang-undang, cara
interaksi dengan teman sejawat, kegiatan lobbying, dan latar belakang sosialnya. Dengan
memperlajari pendekatan perilaku ini, kita dapat mengalisa perilaku “aktor” politik dalam
membuat kebijakan, apakah demi kesejahteraan rakyatnya atau demi kepentingan dirinya

sendiri. Konsep politik dipakai untuk keperluan analisa, dimana suatu sistem bersifat abstrak
pula dan diterapkan pada suatu situasi yang konkret. Dimana hal tersebut mencoba
menjelaskan tentang gejala-gejala politik dalam konteks tingkah laku masyarakat. Tingkah
laku politik sebagai bagian dari keseluruhan tingkah laku sosial. Politik sebenarnya, tidak
hanya selalu membahas kekuasaan yang melahirkan keputusan dan kebijakan, walau fokus
utamanya adalah untuk mendapatkan kekuasaan. Bila kita, memahami lebih jauh, dan
mempelajari teori politik bahwa teori politik adalah generalisasi dari fenomena yang bersifat
politik. Dengan kata lain teori politik adalah bahasan dan renungan atas tujuan dan kegiatan
politik, cara-cara mencapai tujuan, kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan
yang ditimbulkan oleh situasi politik. Konsep-konsep yang dibahas dalam teori politik adalah
masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan,
lembaga-lembaga negara, perubahan sosial pembangunan politik, modernisasi, dan
sebagainya. Apapun permasalahan yang ada di dalam negara dan berangkut paut dengan
negara, berarti ada peran politik dalam permasalahan tersebut.
Masyarakat merupakan suatu sistem, yang pada hakikatnya terdiri atas bermacammacam proses. Macam-macam proses ini dapat dilihat dari gejala-gejala politik sebagai suatu
kumpulan proses tersendiri yang berbeda dengan proses-proses lainnya. Proses adalah polapola yang dibuat oleh manusia dalam mengatur hubungan antara satu sama lain. Sistem
politik menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu untuk masyarakat. Fungsi-fungsi itu adalah
keputusan-keputusan kebijaksanaan. Sistem politik menghasilkan output yaitu keputusankeputusan kenijaksanaan yang mengikat, sedangkan inputnya adalah tuntutan serta aspirasi
masyarakat dan juga dukungan dari masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem
politik adalah budaya politik yang mencerminkan faktor subjektif. Budaya politik adalah
keseluruhan dari pandangan-pandangan politik. Budaya politik masyarakat dipengaruhi oleh
sejarah perkembangan sistem, agama, kesukuan, dan sebagainya. Umumnya sitem politik
terdapat empat variabel yaitu kekuasaan untuk mencapai hal yang diinginkan, kepentingan
untuk tujuan-tujuan yang dikejar, kebijaksanaan sebagai hasil dari interaksi antara kekuasaan
dan kepentingan, dan budaya politik, sebagai orientasi subjektif individu.
Dengan mempelajari konsep politik, kita sebagai masayarakat dapat memberikan
aspirasi terdadap pemerintah, dengan permasalahan sosial yang cukup mengakar dalam
kehidupan bernegara yaitu kemiskinan. Masyarakat yang berada di bawah kemiskinan layak
untuk memberikan aspirasi terhadap pemerintah mengenai solusi untuk masalah kemiskinan
ini. Ataupun jika pemerintah tidak bisa melaksanakan aspirasi-aspirasi tersebut, masyarakat
masih bisa menuntut untuk memperjuangkan haknya sebagai korban dari keterlantaran karena
kebijakan pemerintah terlalu berfokus pada masalah makro, korban ketidakadilan sosial
dimana pada realitanya masih banyak rakyat miskin yang masih belum bisa mengaksses
pendidikan, kesehatan dan bantuan yang seharusnya di dapatkan salah sasaran sebab,
tindakan korupsi dari pihak-pihak tertentu. Masalah pembagian atau alokasi juga sering
menjadi konflik dikarenakan alokasi ini tidak merata dan hanya mementingkan beberapa
pihak saja. Padahal sudah sangat jelas dalam Undang-Undang no 11 tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial, pada pasal satu ayat satu bahwasanya “Kesejahteraan sosial adalah
kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial waga negara agar dapat hidup

layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanankan fungsi sosial.” Tidak
hanya itu pada pasal satu ayat dua, yang berbunyi bahwa “Penyelenggara Kesejahteraan
Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah,
Pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi
kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pembedayaan sosial, dan perlindungan sosial.” Negara sudah seharusnya menjamin dan
melindungi hak warga negaranya serta menjamin kesejahteraan warga negaranya, Dengan
adanya undang-undang yang berlaku seharusnya, negara dapat melaksanakan hal tersebut
dengan baik, bukankah hal tersebut sudah menjadi tugas dan kewajiban negara?
“Penyelenggara Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk
pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pembedayaan sosial, dan perlindungan sosial.” Pada
Undang-Undang no 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial pasal satu ayat dua,
merupakan bukti bahwa pemerintah dan negara menjadi penyelenggara Kesejahteraan sosial
yang sudah seharusnya berkelanjutan, terarah dan terpadu. Dengan mempersiapkan apa yang
dibutuhkan masyarakat, seperti jaminan sosial, perlindungan sosial hal tersebut dapat
meminimalisir permasalahan yang ada, khususnya kemiskinan. Faktanya negara dengan
kebijakannya sudah membuat berbagai program untuk pengetasan kemiskinan, hanya yang
menjadi permasalahan mengapa kemiskinan masih menjadi pokok permasalahan utama?
Untuk itu mengapa kita, harus memahami bagaimana peran politik yang sesungguhnya dalam
pengetasan kemiskinan melalui keputusan dan kebijakan yang berlaku dan diakui oleh
negara.
Kesimpulan
Bentuk kebijakan pemerintah sebenarnya sudah ada, dalam pengetasan kemiskinan
dan pengambilan keputusan oleh pelaku politik sudah ada, hanya yang menjadi
pertanyaannya apakah sudah terlaksana dengan baik? Mungkin saat ini belum terlaksana
secara penuh, disebabkan adanya beberapa faktor apapun itu. Satu yang menjadi tumpuan
bahwasanya, peran politik dalam pengetasan kemiskinan melalui keputusan dan kebijakan
yang berlaku dan diakui oleh negara sudah ada, entah itu dari sisi positif ataupun dari sisi
negatif. Pada dasarnya setiap masalah sosial yang ada dalam negara, apapun itu tidak hanya
kemiskinan selalu ada peran politik didalamnya, baik dari segi pengambilan keputusan oleh
pemerintah, kebijakan yang ada, dan sebagainya. Negara adalah inti dari politik, tanpa adanya
negara kegiatan politik tidak dapat berjalan, sebab pada dasarnya negara adalah “wadah”
berjalannya kegiatan politik. Negara juga timbul sebab, masyarakat memiliki kebutuhankebutuhan, maka dengan itu negara dapat terbentuk. Jika negara tidak dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya, apakah hal tersebut masih pantas untuk sebuah negara
berdiri? Maka dari itu dibutuhkan “orang-orang” yang memiliki kekuasaan yang dapat
mengambil keputusan dan menerapkan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
agar “keberfungsian negara” terjalan sebagaimana mestinya, apalagi terhadap masalah
kemiskinan yang mungkin manjadi akar permaslahan sosial dalam suatu negara. Pada

dasarnya hubungan negara dan masyarakat adalah, negara sebagai wadah untuk melindungi
masyarakat dengan adanya peraturan-peraturan yang diakui secara sah dan ditaati oleh
rakyatnya. Seperti yang disampaikan oleh Franz Magnis Suseno, intinya adalah negara
menjamin kehidupan masyarakat yang sejahtera dan memang sudah seharusnya seperti itu.
Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Huda, Ni’matul. 2015. Ilmu negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Sen, Amarty Kumar. 2000. Development as Freedom. New York: Anchor Books.
Sach, Jeffrey D. 2005. The End of Poverty. New York: Penguin Press.
Rahardjo, Santoso Tri. 2017. Keterampilan Pekerjaan Sosial Dasar-Dasar. Bandung: Unpad
Press.