Optimalisasi Pencahayaan Alami dalam Efi

Optimalisasi Pencahayaan Alami dalam Efisiensi Energi di Perpustakaan UGM

Tri Hesti Milaningrum
Mahasiswa, Program S2 Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada

Abstract
Lighting is very important in supporting human activities. Poor lighting quality can disturb visual comfort.
Library requires good lighting quality so that residents do not have health problems, especially eyestrain problem.
However, to achieve good lighting levels result in excessive energy consumption of the building, need to optimizing
of daylighting. Daylighting quality is influenced by the distribution of the light coming in through the windows and
building orientation. To maximize daylighting needs controls to reduce heat and glare radiation received in the
building. UGM Main Library is designed to fulfill the standards of Green Building where design follows the
adaptation of tropical buildings such as building orientation, use of shading, material selection, and use energy
saving principles such as the use of light sensors on the lights. The purpose of this paper is to study the visual
comfort evaluation of the optimizing of daylighting with energy efficiency considerations to the locus of UGM Main
Library. Evaluation can be done by measuring illumination with luxmeter then compared to SNI’s standard lighting,
simulating natural lighting contour, the identification of the elements that affect the daylighting, daylighting design
characteristics at UGM Central Library as well as the perception of the users to get an overview of visual comfort.
Keywords: daylighting; visual comfort; library; energy efficiency

1. Latar Belakang

Pencahayaan merupakan bagian penting dari
bangunan dalam menunjang peroduktivitas kerja
manusia. Pencahayaan buruk dapat mengganggu
aktivitas manusia yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan khususnya gangguan mata. Desain bangunan
harus mempertimbangkan fungsi dan kebutuhan agar
penghuni dapat merasa nyaman. Pencahayaan yang
baik menciptakan kenyamanan visual. Tingkat
pencahayaan yang baik dapat dicapai dengan
pemanfaatan pencahayaan alami dan buatan. Namun
dengan Indonesia yang terletak di iklim tropis dengan
penerimaan cahaya matahari berlebih, maka
pencahayaan alami dioptimalkan. Tersedianya
pencahayaan alami secara optimal sangat diinginkan
karena memenuhi dua kebutuhan dasar manusia:
kebutuhan visual untuk melihat baik bidang kerja
maupun ruangan dan untuk mengalami stimulasi
lingkungan dari efek pencahayaan tersebut (Boyce,
1998 dalam IEA, 2000 dalam Thojib dan Adhitama,
2013). Optimalisasi pencahayaan alami dipengaruhi

oleh distribusi cahaya matahari yang masuk ke dalam
Tri Hesti Milaningrum
Mahasiswa Program S2 Arsitektur
Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
Tel: 085643784829 E-mail: th.milaningrum@gmail.com

ruangan yang tergantung pada lebar dan orientasi
bukaan.
Selain untuk mencapai kenyamanan visual,
optimalisasi pencahayaan alami dapat mereduksi
pemakaian energi bangunan. Suatu bangunan tinggi
perkantoran yang tipikal, proporsi penggunaan energi
umumnya meliputi 55% untuk sistem tata udara (air
conditioning), 25% untuk sistem tata cahaya (lighting)
dan 20% sisanya untuk peralatan lainnya (lift, pompa,
peralatan elektronik, dan lain-lainnya) (Gw dan
Kusumo, 2011). Data tersebut menunjukkan bahwa
sistem tata cahaya memiliki kontribusi energi terbesar
kedua setelah sistem tata udara. Besarnya energi yang

dihasilkan oleh sistem tata udara juga akibat dari
serapan kalor yang diterima dari radiasi matahari.
Semakin lebar bukaan, semakin besar kalor yang
diterima yang mengakibatkan sistem tata udara bekerja
ekstra. Sehingga perlu adanya kontrol untuk
mengendalikan intensitas cahaya yang masuk. Selain
mempertimbangkan lebar bukaan dan orientasi bukaan,
pemilihan material selubung bangunan juga penting
karena material bangunan memiliki kemampuan untuk
menyerap dan memantulkan cahaya.
Perpustakaan membutuhkan tingkat kenyamanan
pencahayaan alami yang memadai agar pengguna di
dalamnya dapat melakukan aktivitas dengan lancar dan
memiliki produktivitas kerja yang baik. Kenyamanan
visual dapat tercapai jika poin-poin kenyamanan visual
teraplikasikan secara optimal antara lain dengan
kesesuaian rancangan dengan standar terang yang

Prosiding Seminar Topik Khusus/ Juli 2015


1

direkomendasikan dan penataan layout ruangan yang
sesuai dengan distribusi pencahayaan. Perpustakaan
merupakan salah satu jenis gedung komersial yang
penggunaan energinya besar. Hal ini disebabkan oleh
tuntutan pelayanan yang baik kepada pengunjung,
meliputi keindahan ruangan (sistem pencahayaan),
kenyamanan udara (sistem tata udara), kelengkapan
fasilitas dan lain – lain, yang secara keseluruhan
merupakan komponen pendukung pelayanan. Predikat
atau rangking perpustakaan berdasarkan hasil
sertifikasi bangunan hijau dapat dijadikan sebagai
tambahan dorongan pengembangan green campus di
UGM. Perpustakaan UGM dirancang dengan
memenuhi standar Green Building dimana desainnya
mengikuti adaptasi dari bangunan tropis seperti
orientasi bangunan, penggunaan shading, pemilihan
material, dan menggunakan prinsip hemat energi
seperti pemakaian sensor cahaya pada lampu. Munanda

(2014) mengatakan bahwa jumlah konsumsi
keseluruhan bangunan Perpustakaan Pusat UGM
Gedung L1 adalah sebesar 951,98 GJ per tahun.
Konsumsi energi paling besar adalah pada sistem tata
udara yaitu sebesar 561,43 GJ. Sistem tata cahaya
mengkonsumsi energi sebesar 64,61 GJ dan konsumsi
peralatan listrik sebesar 325,94 GJ. Nilai Intensitas
Konsumsi Energi (IKE) bangunan Perpustakaan Pusat
UGM Gedung L1 sebesar 49,52 kWh/m2/tahun atau
sekitar 4,127 kWh/m2/bulan. Berdasarkan Nilai
Standar IKE bangunan ber-AC, Perpustakaan Pusat
UGM berada di kategori sangat efisien (4,17-7,92
kWh/m2/bulan). Dengan adanya data tersebut, maka
perlu adanya evaluasi dari segi kenyamanan visual
dengan mengukur iluminasi dengan luxmeter
kemudian dibandingkan dengan standar pencahayaan
ruang berdasarkan SNI, simulasi kontur pencahayaan
alami, identifikasi elemen-elemen yang mempengaruhi
pencahayaan
alami,

karakteristik
rancangan
pencahayaan alami di Perpustakaan Pusat UGM serta
persepsi pengguna untuk mendapatkan gambaran
kenyamanan visual dan juga rekomendasi rancangan
pencahayaan.
2. Landasan Teori
2.1. Pencahayaan Alami
Cahaya didefinisikan sebagai bagian dari spektrum
elektromagnetik yang sensitif bagi penglihatan mata
manusia. 1 Panjang gelombang cahaya yang kasat mata
adalah berkisar antara 380–750 nm. Cahaya matahari
yang masuk ke dalam bangunan dapat dibedakan
menjadi tiga (Szokolay et al, 2001), yaitu:
1. Cahaya matahari langsung;
2. Cahaya difus dari terang langit;
3. Cahaya difus dari pantulan tanah atau bangunan.
2.1.1. Faktor – faktor Pencahayaan Alami
Faktor pencahayaan alami siang hari adalah
perbandingan tingkat pencahayaan pada suatu titik dari

suatu bidang tertentu di dalam suatu ruangan terhadap
tingkat pencahayaan bidang datar di lapangan terbuka

2

yang merupakan ukuran kinerja lubang cahaya ruangan
tersebut. Faktor pencahayaan alami siang hari terdiri
dari 3 komponen meliputi:
1. Sky component (SC), yaitu komponen pencahayaan
langsung dari cahaya langit;
2. Externally reflected component (ERC), yaitu
komponen pencahayaan yang berasal dari refleksi
benda-benda yang berada di sekitar bangunan yang
bersangkutan;
3. Internally reflected component (IRC), yaitu
komponen pencahayaan yang berasal dari refleksi
permukaan-permukaan dalam ruangan.

Gambar 1. Tiga Komponen Cahaya Langit yang sampai
pada Suatu Titik di Bidang Kerja

(sumber: SNI 03-2001, Tata Cara Sistem Pencahayaan
Alami pada Bangunan Gedung)

2.1.2. Sistem Pencahayaan Alami pada Bangunan
Secara umum, cahaya alami didistribusikan ke dalam
ruangan melalui bukaan di samping (side lighting),
bukaan di atas (top lighting), atau kombinasi keduanya.
Tipe bangunan, ketinggian, rasio bangunan dan tata
massa, dan keberadaan bangunan lain di sekitar
merupakan pertimbangan – pertimbangan pemilihan
strategi pencahayaan (Kroelinger, 2005).
Sistem pencahayaan samping (side lighting)
merupakan sistem pencahayaan alami yang paling
banyak digunakan pada bangunan. Selain memasukkan
cahaya, juga memberikan keleluasaan view, orientasi,
konektivitas luar & dalam, dan ventilasi udara. Posisi
jendela di dinding dapat dibedakan menjadi 3: tinggi,
sedang, rendah, yang penerapannya berdasarkan
kebutuhan distribusi cahaya dan sistem dinding.
Strategi desain pencahayaan samping yang umum

digunakan antara lain:

Tri Hesti Milaningrum

• Single side lighting, bukaan di satu sisi dengan
intensitas cahaya searah yang kuat, semakin jauh
jarak dari jendela intensitasnya semakin melemah
• Bilateral lighting, bukaan di dua sisi bangunan
sehingga meningkatkan pemerataan distribusi
cahaya, bergantung pada lebar dan tinggi ruang,
serta letak bukaan pencahayaan.
• Multilateral lighting, bukaan di beberapa lebih dari
dua sisi bangunan, dapat mengurangi silau dan
kontras, meningkatkan pemerataan distribusi
cahaya pada permukaan horizontal dan vertikal, dan
memberikan lebih dari satu zona utama
pencahayaan alami.
• Clerestories, jendela atas dengan ketinggian 210 cm
di atas lantai, merupakan strategi yang baik untuk
pencahayaan setempat pada per mukaan horizontal

atau vertikal. Perletakan bukaan cahaya tinggi di
dinding dapat memberikan penetrasi cahaya yang
lebih dalam ke dalam bangunan.
• Light shelves, memberikan pembayangan untuk po
sisi jendela sedang, memisahkan kaca untuk
pandangan dan kaca untuk pencahayaan. Bisa
berupa elemen eksternal, internal, atau kombinasi
keduanya.
• Borrowed light, konsep pencahayaan bersama antar
dua ruangan yang bersebelahan, misalnya
pencahayaan koridor yang didapatkan dari partisi
transparan ruang di sebelahnya.
Untuk mengetahui berapa banyak cahaya yang
masuk ke dalam ruangan sebagai acuan memenuhi
syarat atau tidak, dan bagaimana mengukurnya maka
dapat menggunakan alat Luxmeter di setiap sudut
ruangan yang di uji.
Diagram matahari memberikan informasi mengenai
azimuth dan tinggi matahari pada segala waktu di
sepanjang tahun. Kemiringan poros bumi tetap,

belahan bumi utara akan menghadap matahari pada
bulan Juni dan belahan bumi selatan akan menghadap
matahari bulan Desember. Kondisi – kondisi yang
ekstrIm akan terjadi pada tanggal 21 Juni ketika kutub
utara berada paling dekat dengan arah matahari dan
pada tanggal 21 Desember dimana kutub utara berada
pada posisi terjauh dari matahari. Pada tanggal 21
September dan 21 Maret matahari tepat berada di atas
garis khatulistiwa (Lechner, 2007). Sehingga waktu
yang paling efektif dalam melakukan uji pengukuran
sinar matahari adalah 3 (tiga) jam sebelum pukul 12.00,
pukul 12.00, dan setelah pukul 12.00.
2.2. Efisiensi Energi dari Segi Pencahayaan Alami
D.K Ching (1999) yang mengatakan :
“Sebuah bukaan dapat diorientasikan untuk menerima
cahaya matahari secara langsung. Pengaruh – pengaruh
yang mungkin sangat menentukan dari cahaya matahari
langsung seperti halnya dengan perasaan silau dan rasa
panas yang amat sangat dapat dikurangi dengan alatalat pelindung yang dibuat menjadi bentuk bukaan atau
dibentuk dari pembayangan pohon-pohon di dekatnya

atau struktur-struktur disebelahnya”. Pendapat tersebut
memperjelas bahwa pencahayaan alami dapat
dimanfaatkan tanpa harus membawa panasnya ke
dalam ruangan.
2.2.1. Strategi Desain Optimalisasi Pencahayaan
Alami (Ching, 1999 dalam Tirta, 2011)
a. Orientasi bangunan dan arah lintasan matahari
Orientasi bangunan yang baik yaitu mengarah pada
arah utara-selatan karena mendapatkan sinar matahari
yang paling konsisten sepanjang hari dan tahun
sehingga ruangan tidak akan mendapatkan panas yang
berlebih.
Tabel 1. Orientasi Bangunan terhadap Matahari
Arah bukaan
Arah bukaan
Barat - Timur
Utara - Selatan
• Daerah terkena radiasi • Daerah terkena radiasi
luas
relatif kecil
• Beban pendinginan besar
• Beban pendinginan kecil
• Cahaya
langsung • Cahaya alami tidak
menimbulkan sengat dan
langsung
silau
• Daerah terkena radiasi • Daerah terkena radiasi
luas
relatif kecil
Sumber: Eddy, 2004

b. Jenis dan Tipe Bukaan
Prinsipnya semakin besar bukaan atau jendela maka
semakin banyak cahaya dari luar yang masuk ke dalam
ruangan. Disamping itu, jenis dan variasi tipe bukaan
juga dapat menentukan banyaknya cahaya yang masuk.
c. Perlindungan Matahari (Shading)
Perlindungan matahari pada bangunan bertujuan
untuk mengurangi intensitas radiasi matahari yang
masuk kedalam ruangan. Beberapa elemen yang dapat
dijadikan pelindungan matahari antara lain vegetasi,
sirip vertikal, sirip horisontal dan kaca pelindung
matahari. Sirip horizontal baik digunakan untuk posisi
matahari tinggi seperti fasad utara, selatan, barat daya,
tenggara, barat laut dan timur laut. Sedangkan sirip
vertikal akan efektif jika diletakkan pada posisi
matahari rendah seperti bagian fasad barat, barat daya
atau barat laut, timur, dan tenggara.

Gambar 2. Sirip Horizontal dan Vertikal
(sumber: Daylighting: Architecture and Lighting Design ,
1957)

Tri Hesti Milaningrum

3

Gambar 3. Perbandingan Penggunaan Shading
(sumber: Eddy, 2004)

Dari gambar terlihat bahwa eksterior shading dapat
mengurangi kontribusi panas 90% - 95%. Alat
pengontrol sinar alami dapot memasukan sinar sesuai
dengan yang diinginkan dan mengeliminer sinar yang
berlebihan. Terdapat shading dinamis (dapat diatur/
bergerak) dan statis (tidak dapat diatur/ permanen).
Shading statis kurang baik dalam penyesuaian terhadap
kondisi langit, sedangkan yang dinamis lebih mudah
menyesuaikan terhadap kondisi langit, efisiensi
perancangan tinggi, namun membutuhkan perawatan
khusus (pembersihan).
d. Mengarahkan Sinar Matahari
Membiaskan cahaya matahari yang masuk kedalam
bangunan agar ruangan tidak menjadi silau akibat sinar
matahari langsung. Beberapa cara mengarahkan sinar
matahari yaitu :

e. Aplikasi Solar Panel pada Selubung Bangunan
Solar Panel atau Sel Surya merupakan
pengembangan bahan semi-konduktor yang dapat
mengubah energi surya menjadi energi listrik. Sel surya
terdiri dari lapisan mikro tipis yang terdapat kabel
filament di setiap lapisannya. Modul – modul sel surya
apabila digabungkan akan menjadi satu unit solar panel
dimana satu panel terdiri dari 36 sel surya. Sel Surya
dapat beroperasi secara maximum jika temperatur sel
tetap normal (pada 25° C), kenaikan temperatur lebih
tinggi dari temperatur normal pada sel akan
melemahkan voltage (Voc). Orientasi dari rangkaian sel
surya ke arah matahari secara optimum penting agar
dapat menghasilkan energi maksimum. Selain arah
orientasi, sudut kemiringan (tilt angle) dari
panel/deretan sel surya juga sangat memengaruhi hasil
energi maksimum. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan oleh Bidang Konversi Energi BPPT
menemukan bahwa kemiringan panel untuk
mendapatkan energi optimal adalah 10° untuk orientasi
utara dengan bentuk atap satu arah, dan 25° untuk
orientasi timur-barat dengan bentuk atap dua arah.
Sinar matahari jatuh ke sebuah permukaan panel secara
tegak lurus akan mendapatkan energi maksimum ±
1000 W/m2 atau 1 kW/m2. Fungsi solar panel
umumnya diintegrasikan pada atap, dinding dan fungsi
struktur pembayangan pada bangunan (Bonifacius,
2012:39). Terkait fungsi struktur pembayangan
(shading), efek yang signifikan berupa reduksi beban
pendinginan jendela dan dinding beton, serta
penghematan energi sebanyak dua kali nilai maksimum
daya listrik yang dihasilkan oleh modul panel surya
standar didapat dari integrasi ini (Lianliang Sun, dkk,
2011:7).

(a) Memantulkan cahaya melalui lantai/ balkon

Gambar 5. Contoh Desain yang Mengintegrasikan Solar
Panel dan Shading

(b) Memantulkan cahaya melalui langit-langit ruangan
dan sirip
Gambar 4. Cara Mengarahkan Sinar Matahari
(sumber: Form, Space & Order (D.K. Ching, 1999)

4

(sumber: www.gabreport.com, diakses 13 Juni 2015

09:36)

2.3. Kenyamanan Visual pada Manusia
Pencahayaan
mengandung
aspek
kuantitas
(intensitas cahaya) dan kualitas (warna kesilauan).
Kesilauan dapat terjadi secara langsung (tersorot

Tri Hesti Milaningrum

lampu) maupun tidak langsung (pantulan). Terlalu
banyak cahaya akan menyebabkan pupil mata mengecil
terlalu lama, sehingga mata lelah. Terus menerus
berada di tempat bercahaya sama merugikannya
dengan terus menerus di tempat gelap karena irama
gelap-terang membantu pengendalian suhu tubuh serta
sekresi hormon ke darah. Manusia menyukai
lingkungan yang terang. Pada kumpulan manusia,
mereka akan menyukai penerangan yang relatif merata,
dan menghindari area yang terlalu terang. Pada
umumnya manusia lebih suka berada di tempat redup
dan memandang ke tempat yang terang, daripada
sebaliknya.

Standar terang langit minimal (untuk kegiatan kerja
seperti mengetik, menghitung dengan kalkulator dan
lain- lain) adalah 3000 lux, dengan daylight factor
(perbandingan terang langit di dalam dan di luar ruang)
sebesar 4%. Pencahayaan alami ini sering berubahubah kualitas maupun kualitasnya. Selain itu untuk
kasus ruang tertentu cahaya alami mempunyai
keterbatasan untuk masuk, dan keterbatasan
pemerataan kuat penerangan dalam ruang, sehingga
pencahayaan buatan merupakan suatu hal yang mutlak.
Tabel 4. Kebutuhan Iluminansi Perpustakaan

2.3.1. Standar Kebutuhan Iluminasi
lluminansi yang diperlukan sangat bervariasi
tergantung dari rumit tidaknya kerja visual. Semakin
rumit kerja visual, semakin dibutuhkan iluminansi yang
lebih besar.
Tabel 2. Kebutuhan Iluminansi Berdasarkan Aktivitas

(Sumber : Satwiko, 2004)

(Sumber : Satwiko, 2004)

Dasar pemikiran untuk konsep perancangan sistem
penerangan pencahayaan adalah pemenuhan tingkat
intensitas terang yang memenuhi syarat untuk tiap-tiap
ruang.
Tabel 3. Persyaratan Tingkat Pencahayaan Dalam Ruangan

(Sumber : SNI 03, 2000)

Setiap ruang kegiatan memiliki standar kuat
penerangan (illumination) yang berbeda-beda sesuai
dengan kegiatan yang berlangsung di dalamnya.

Perancangan pencahayaan yang baik harus
diperuntukkan tidak hanya mempertimbangkan
tampilan visual, tetapi juga untuk kebutuhan biologis
manusia akan cahaya yang juga berhubungan dengan
gaya hidup dan kebudayaan.
Menurut William Lam (dalam Sihombing, 2008)
beberapa kebutuhan biologis manusia terhadap cahaya
adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan akan Orientasi Spasial
Sistem pencahayaan harus dapat membantu
menunjukkan tempat dan arah.
2. Kebutuhan akan Orientasi Waktu
Sistem pencahayaan harus dapat memberikan
feedback akan jalannya waktu yang dibutuhkan
oleh jam internal dalam tubuh manusia.
3. Kebutuhan untuk Mengerti Bentuk Struktur
Kebutuhan untuk mengerti bentuk fisik dapat
dikacaukan oleh pencahayaan yang bertentangan
dengan realita fisik, dengan kegelapan yang pekat,
maupun dengan penerangan tersebar yang
meratakan penampilan objek.
4. Kebutuhan untuk Fokus pada kegiatan
Pencahayaan dapat membantu membentuk susunan
kegiatan dan dengan memberikan penerangan lebih
pada area kegiatan yang paling relevan.
5. Kebutuhan untuk Ruang Personal
Cahaya dan daerah gelap pada ruang besar dapat
membantu mendefinisikan ruang personal bagi
setiap individu.
6. Kebutuhan untuk Ruang yang Menyenangkan
Suatu ruang terasa muram bila diharapkan terang,
namun ternyata tidak. Maka kombinasi dari cahaya

Tri Hesti Milaningrum

5

langsung, tidak langsung langsung, tidak langsung
dan aksentuasi cahaya dapat menciptakan
rancangan yang menarik dan menyenangkan.
7. Kebutuhan untuk Masukan Visual yang
Menarik
Ruang yang membosankan tidak langsung terlihat
menarik hanya dengan meningkatkan level cahaya.
8. Kebutuhan akan Susunan pada Lingkungan
Visual
Saat order diharapkan namun tidak didapatkan
maka akan terlihat kekacauan.
9. Kebutuhan untuk Keamanan
Kegelapan merupakan keadaan dimana informasi
visual yang diterima oleh otak sangat kurang. Pada

3. Review Penelitian Sejenis
3.1. Pemetaan Tema Penelitian
Review beberapa penelitian dengan topik bahasan
yang sejenis dilakukan sebagai studi literatur, dan
mengetahui topik bahasan penelitian yang sudah
Tabel 5. Pemetaan Tema Penelitian
Tahun
Tema
Penelitian

2008

situasi yang dirasa membahayakan, kekurangan
informasi menyebabkan ketakutan.
Dalam menentukan kategori nyaman dan tidak
nyaman selain dengan mengukur intensitas cahaya
suatu ruangan yang disesuaikan dengan standar
kebutuhan cahaya ruangan yang sudah ditentukan SNI,
persepsi penghuni ruangan sangat penting untuk
dipertimbangkan. Perbedaan persepsi pasti akan terjadi
antara penghuni satu dengan lainnya karena kondisi
tubuh dan metabolisme setiap manusia berbeda – beda.
Selain itu untuk kasus ruang tertentu cahaya alami
mempunyai keterbatasan untuk masuk, dan
keterbatasan pemerataan kuat penerangan dalam ruang,
sehingga pencahayaan buatan merupakan suatu hal
yang mutlak.

dilakukan sehingga didapatkan gap teoritik dan
menemukan celah penelitian untuk topik bahasan
penelitian selanjutnya.

Judul Penelitian

Peneliti

Evaluasi Intensitas Cahaya

Studi Pemanfaatan Pencahayaan Alami Pada
Beberapa Rancangan Ruang Kelas Perguruan
Tinggi Di Medan

Ferry Anderson Sihombing

Modifikasi Selubung
Bangunan

Optimasi Kinerja Panel Surya dengan Pengaturan
Panel sebagai Sun Shading untuk Menekan Biaya
Listrik Bangunan. Tesis.

Karlina Romasindah

Pengaruh Kombinasi Desain Skylight dan Ventilasi
Atap terhadap Kenyamanan pada Pengembangan
Rumah Sederhana Tanpa Bukaan Samping (Studi
Kasus : Perumahan Pamulang Permai II Tipe 21 di
Tangerang)
Efisiensi Energi dalam Rancang Bangunan

2009

Modifikasi Bukaan Bangunan

2010

Konsep Efisiensi Energi

2011

Pengaruh Konfigurasi Ruang

Studi Evaluasi Pencahayaan Alami pada Gedung
Kuliah Bersama III Universitas Muhammadiyah
Malang

Ode Rapija Gw, Beta Suryo
Kusumo

Efisiensi Energi dengan
Pendekatan Penghawaan dan
Pencahayaan Alami

City Hotel dengan Pendekatan Efisiensi Penggunaan
Energi Listrik di Kawasan Glodok Jakarta

Daniel Tirta

Evaluasi Kenyamanan dari
Persepsi Pengguna

Kenyamanan Visual Melalui Pencahayaan Alami
pada Kantor: Studi Kasus Kantor Dekanat Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya Malang

Jusuf Thojib, Muhammad
Satya Adhitama

Pengaruh Selubung Bangunan

Pengaruh Desain Fasade Bangunan Terhadap
Kondisi Pencahayaan Alami dan Kenyamanan
Termal (Studi Kasus: Campus Center Barat ITB)

Pengaruh Bukaan Bangunan

Pengaruh Bukaan Bangunan terhadap Pencahayaan
Alami Bangunan Tropis Indonesia

2013

Modifikasi Bukaan dan
Selubung Bangunan
2015

Pengaruh Selubung Bangunan

Pengaruh Integrasi Pencahayaan Alami pada Sistem
Pencahayaan terhadap Efisiensi Energi
Pengaruh Fasade Bangunan terhadap Pencahayaan
Alami pada Laboratorium Polteknik Negeri Malang

Sri Kurniasih

Teti Handayani

Rizki Fitria Madina, Annisa
Nurrizka, Dea Ratna
Komala
Syahriana Syam, Syarif
Beddu & M. Sulaiman
Syawal
Moch. Rahmat Syahrullah
Adila Bebhi Sushanti, Jusuf
Thojib, Damayanti Asikin

Sumber : Analisis Penulis, 2015

6

Tri Hesti Milaningrum

Tabel 5 berisi beberapa judul penelitian yang telah
dilakukan dengan memetakan berdasarkan tahun
kemudian dikelompokkan lagi dengan tema yang lebih
umum.

Elemen Faktor
Pencahayaan Alami

• Gw dan Kusumo (2011)
• Madina, dkk (2013)
• Syam, dkk (2013)
• Sushanti, dkk (2015)

Evaluasi Desain
Bangunan

• Sihombing (2008)
• Thojib dan Adhitama (2013)

Konsep Efisiensi
Energi

• Handayani (2010)
• Tirta (2011)

Adaptasi Desain
Bangunan

• Romasindah (2008)
• Kurniasih (2009)
• Syahrullah (2013)

Gambar 6. Diagram Kelompok Tema Umum
sumber : Analisis Penulis, 2015

3.2. Pembahasan Kelompok Tema Umum
3.2.1. Elemen Faktor Pencahayaan Alami
Pemanfaatan pencahayaan alami merupakan salah
satu strategi dalam arsitektur tropis dimana desain
berfokus kepada pemecahan problematik iklim tropis.
Kondisi iklim tropis ternyata tidak seluruhnya sesuai
dengan kebutuhan manusia dalam rangka memenuhi
kenyamanan fisiknya, sehingga perlu suatu solusi yang
sistematik terhadap permasalahan arsitektur tropis
terutama berkaitan dengan kenyamanan pengguna
bangunan. Faktor – faktor bioklimatik menjadi salah
satu unsur penting dalam perencanaan arsitektur tropis,
seperti temperatur, kelembaban udara, kecepatan dan
arah aliran udara, tingkat dan kualitas pencahayaan
serta tingkat bising. Arsitektur seharusnya merespon
alam dengan mencoba untuk mengoptimalkan elemenelemen bangunan sebagai climate modifier dan dalam
perancangannya juga mempertimbangkan kondisi –
kondisi lingkungan yang cukup berpengaruh dalam
zona kenyamanan.
Penelitian Syam, dkk (2013) fokus pada pengaruh
sistem fenestrasi (bukaan) terhadap pencahayaan alam
dalam ruang. Peneliti mengidentifikasi climate
modifier bangunan terutama pada passive solar design,
kemudian mengkategorisasi elemen-elemen bangunan.
Pengujian intensitas cahaya dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh bukaan terhadap
cahaya yang masuk dengan membandingkan intensitas
cahaya beberapa ruang yang telah diidentifikasi
terlebih dahulu elemen bangunannya. Parameter besar
pencahayaan alami yang masuk ke dalam bangunan

adalah Daylight Factor (DF), dapat didefinisikan rasio
iluminasi cahaya matahari dalam bangunan terhadap
cahaya di luar. Secara normal, daylight factor akan
tergantung pada bentuk geometris bangunan. kecuali
ketika bangunan mempunyai alat yang dapat
memvariasikan besar cahaya yang masuk dan
bayangan yang timbul dari elemen shading devices.
Pengaturan sistem daylight pada tiap-tiap ruang dalam
bangunan objek penelitian sangat dipengaruhi oleh
elemen-elemen bangunan termasuk orientasi bangunan,
bentuk fasad bangunan, tipe dan ukuran bukaan,
permainan sudut pada bagian atap ataupun dinding,
material, tekstur dan warna. Karakter cahaya yang
memasuki ruangan, mampu membentuk efek gelap –
terang dengan pengaturan elemen – elemen yang
bervariasi dan pada ruang-ruang tertentu paling banyak
memanfaatkan sistem pola cahaya terpantul, karena
sudah mengalami proses penurunan iluminasi dan
dapat mencapai terang yang lembut menurut
kenyamanan visual, khususnya pada unit bangunan
bagian barat yang mewadahi aktivitas yang lebih
menuntut keprivasian yang tinggi. Penyebaran cahaya
yang tidak merata dimanfaatkan untuk dilakukan
konfigurasi ruangan berdasarkan tingkat privasi yang
menambah nilai kenyamanan visual dilihat dari fungsi
ruangan.
Gw dan Kusumo (2011) mengatakan pendekatan
bioklimatik menjadi dasar utama dalam perancangan
arsitektur yang memanfaatkan alam semaksimal
mungkin dengan meminimalkan penggunaan teknologi
maupun peralatan yang menggunakan energi atau
dikenal dengan metode pasif. Sistem pasif ini bisa
dicapai dengan teknik desain arsitektur yang mengolah
tatanan ruang, bidang, massa, dan elemen arsitektur.
Pendekatan bioklimatik pada dasarnya bertitik tolak
dari dua hal fundamental untuk menentukan strategi
desain yang responsif terhadap lingkungan global yaitu
kondisi kenyamanan manusia dan penggunaan energi
secara pasif. Ruang – ruang suatu bangunan tentu
menerima intensitas cahaya yang berbeda, sehingga hal
tersebut dapat menjadi dasar dalam pengaturan ruang
berdasarkan fungsi. Pengaturan fungsi ruang dilakukan
setelah mengetahui intensitas cahaya yang diterima
kemudian sesuaikan dengan standar SNI kebutuhan
cahaya ruangan.
Selubung bangunan merupakan bagian penting dari
perancangan dimana terdapat bukaan yang mengatur
keluar masuknya cahaya dan udara ke dalam bangunan.
Selubung bangunan berfungsi untuk meminimalisasi
efek dari iklim di luar bangunan sehingga pengguna
bangunan dapat merasakan kenyamanan. Semakin
besar perbedaan suasana di luar bangunan dengan di
dalam bangunan, maka semakin besar kebutuhan teknis
yang perlu dipenuhi. Penelitian Madina, dkk (2013)
yang meneliti efektifitas selubung bangunan sebagai
pengatur iklim ruangan menghasilkan bahwa ruang –
ruang yang ada di dalam objek penelitian memerlukan
perlakuan yang berbeda dalam sistem pencahayaannya.

Prosiding Seminar Topik Khusus/ Juli 2015

7

Hal ini dipengaruhi dari perletakan dan desain selubung
bangunan.
Penelitian Sushanti, dkk (2013) berfokus pada
elemen – elemen pembentuk selubung bangunan
dengan melakukan uji intesitas cahaya dan
menggunakan perhitungan SNI.
Tabel 6. Hasil Pengukuran Cahaya dengan Menggunakan
Rumus Menurut SNI

(Sumber : Sushanti dkk, 2015)

Pada 3(tiga) tahap memiliki tingkat pencahayaan
yang berbeda-beda dikarenakan untuk mendapatkan
pengukuran
secara
langsung
di
lapangan
diperhitungkan luas jendela, penataan interior dalam
ruang yang dapat mempengaruhi cahaya yang masuk
dalam bangunan, penghalang cahaya pada bagian luar
bangunan berupa bangunan sekitar mapupun vegetasi,
orientasi bangunan, orientasi jendela, jara antar
bangunan sekitar dan ketinggian bangunan dari tanah.
Untuk pengukuran menggunakan perhitungan sesuai
SNI dengan memperhatikan luas jendela, penghalang
bangunan berupa bangunan dan vegetasi yang berada
di sekitar bangunan yang diteliti dan jarak antar
banguan sekitar.
Kesimpulan dari pengujian ini perbedaan intensitas
masing-masing ruang dipengaruhi oleh ukuran dan
dimensi lubang cahaya, posisi dan orientasi lubang
cahaya, bentuk lubang cahaya, dan penghalang cahaya.
3.2.2. Evaluasi Desain Bangunan
Metode evaluasi bangunan selain menggunakan
pengujian juga penting meneliti responden dengan
memberikan kuisioner yang berisi pertanyaan –
pertanyaan mengenai kriteria kenyamanan visual dari
beberapa variabel. Hasil pengukuran dan pengamatan
lapangan menunjukkan kondisi terang alamiberagam
antara kurang – cukup, disebabkan standar iluminasi
yang tidak sesuai standar iluminasi yang
dipersyaratkan SNI 03-2000 tentang Konservasi Energi
Sistem Pencahayaan pada Bangunan Gedung maupun
karena adanya berkas sinar matahari langsung yang
masuk ke dalam ruang. Respon pengguna terhadap
kualitas kenyamanan visual ruang beragam dari positif
– negatif.
Rekomendasi untuk mendukung kenyamanan visual
dapat dicapai dengan modifikasi pada ruang, dapat
berupa modifikasi interior maupun eksterior.
Modifikasi interior dapat berupa penataan kembali
layout ruang dan pola tata perabot, penambahan
reflektor cahaya dalam ruang, atau dengan

8

menggunakan
bantuan
pencahayaan
buatan.
Modifikasi eksterior dapat dengan menambahkan
shading device (elemen pembayangan), memperbesar
luasan jendela, atau menambahkan skylight.
3.2.3. Konsep Efisiensi Energi
Handayani (2010), melakukan penghematan
terhadap energi (efisiensi energi) bukan berarti
mengurangi segala aktifitas terkait penggunaan energi
yang berdampak pada pengurangan kualitas hidup,
seperti kenyamanan dan produktifitas kerja. Melainkan
melakukan
penghematan
energi
dengan
mengoptimalkan penggunaan energi sesuai dengan
tingkat kebutuhan. Salah satu cara adalah melalui
rancangan bangunan yang dapat menghemat
penggunaan listrik, baik untuk mendinginkan /
menyejukkan udara dalam ruangan maupun untuk
pencahayaan. Penggunaan energi pada bangunan
banyak dipengaruhi oleh faktor iklim, kualitas
lingkungan di sekitar bangunan, arah hadap bangunan,
denah bangunan, dan bahan bangunan. Dengan konsep
rancangan yang tepat maka bangunan dapat
memodifikasi iklim luar yang tidak nyaman menjadi
iklim ruang yang nyaman tanpa banyak mengkonsumsi
energi listrik, yaitu dengan menghadapkan bangunan
ke arah utara atau selatan yang lebih sedikit mendapat
paparan sinar matahari, meminimalkan sekat dalam
ruangan, memperbesar volume ruangan, membuat
ventilasi silang, skylight, menggunakan bahan batu
bata sebagai dinding, serta memperhatikan
perbandingan ruang terbangun dengan ruang terbuka
hijau.
Sustainable desain juga dapat menjadi solusi untuk
menekan biaya operasional bangunan dan ramah
dengan lingkungan sekitar. Pemakaian energi listrik
terbesar dalam sebuah bangunan digunakan untuk
keperluan pencahayaan dan penghawaan buatan,
besarnya 60-70% dari total energi yang dibutuhkan
bangunan tersebut. Angka tersebut dapat ditekan
dengan pemanfaatan pencahayaan dan penghawaan
alami. Pencahayaan alami memiliki dampak suhu udara
pada ruangan meningkat jika radiasi matahari masuk
secara bebas kedalam ruangan. Hal ini dapat
dipecahkan dengan alat-alat pelindung yang dibuat
menjadi bentuk bukaan atau dibentuk dari
pembayangan pohon – pohon di dekatnya atau strukturstruktur disebelahnya seperti sirip vertikal/horizontal.
3.2.4. Adaptasi Desain Bangunan
Meningkatkan iluminasi cahaya alami akan
mengurangi energi pencahayaan namun berpotensi
meningkatkan energi penghawaan karena perolehan
panas meningkat pada bangunan. Kondisi ini menjadi
permasalahan penelitian untuk mengetahui bagaimana
kompromi yang optimal dari integrasi cahaya alami
dalam sistem pencahayaan untuk mencapai efisiensi
energi dengan melihat pengaruh selubung bangunan.
Syahrullah (2013), dalam penelitiannya menggunakan
obyek simulasi bangunan hipotetik berlantai banyak,

Tri Hesti Milaningrum

berpengkondisian udara, fungsi perkantoran, luasan
lantai tipikal 1600 m² dalam ukuran 40m x 40m.
Variabel WWR ditentukan dalam rentang 10% ‐
70% dan variabel VT 0,1 ‐ 0,9 serta orientasi 0º di
arah utara. Simulasi menggunakan perangkat lunak
energyplus v7.0, plugins openstudio v7.0, LBNL
Window 6.3 dan Dialux 10.0. Hasil penelitian
menunjukkan integrasi pencahayaan alami mampu
menekan konsumsi energi pencahayaan hingga 66%,
energi penghawaan hingga 6% dan energi total hingga
20%. Kombinasi WWR dan VT saling mempengaruhi
dalam penurunan energi. WWR kecil butuh kaca
dengan VT rendah, WWR sedang butuh kaca VT
menengah dan WWR besar butuk kaca VT tinggi.
Energi terbaik diperoleh WWR sedang dengan VT
menengah yakni konfigurasi WWR 50% dengan kaca
VT 0,5. Sisi timur dan barat tertinggi tingkat iluminasi
cahaya alami namun perolehan panasnya juga tinggi,
dan Sisi utara dan selatan efektif pencahayaan alaminya
jika menggunakan WWR besar. Rasio denah 3:1 adalah
yang terbaik untuk performa energi pencahayaan
namun Rasio 1:2 adalah yang terbaik untuk performa
energi total pada perbandingan konfigurasi yang setara.
Komponen shading meningkatkan efisensi energi
hingga 2% untuk tipe lightshelf dan 4% untuk tipe
overhang. Tingkat efisensi energi ditentukan juga oleh
sistem mekanik yang dipilih untuk tipe lighting control,
jenis lampu dan jenis AC.
Solar Panel atau Sel Surya merupakan
pengembangan bahan semi-konduktor yang dapat
mengubah energi surya menjadi energi listrik. Sinar
matahari jatuh ke sebuah permukaan panel secara tegak
lurus akan mendapatkan energi maksimum ± 1000
W/m2 atau 1 kW/m2. Fungsi solar panel umumnya
diintegrasikan pada atap, dinding dan fungsi struktur
pembayangan pada bangunan (Bonifacius, 2012:39).
Terkait dengan desain Perpustakaan Pusat UGM
yang berprinsip Green Building, penggunaan solar
panel belum menjadi pertimbangan, dan masih
menggunakan shading statis (passive design).
Konsumsi energi Perpustakaaan Pusat UGM masih
dapat berkurang jika memaksimalkan perolehan cahaya
berlebih dengan mengaplikasikan sel surya
diintegrasikan dengan shading yang adaptif.
4. Pembahasan dan Gap Teoritik
Review dari beberapa penelitian dengan topik
sejenis menggunakan teori mengenai pemanfaatan
pencahayaan
alami
secara
maksimal
dan
mengembangkan teori tersebut dengan konsep efisiensi
energi pada bangunan. Topik yang dibahas umumnya
mengenai macam dan faktor pencahayaan alami dan
bagaimana memanfaatkannya secara maksimal dengan
memepertimbangkan elemen – elemen bangunan yang
kemudian dikaitkan dengan pemanfaatan cahaya alami
untuk mengurangi penggunaan pencahayaan buatan
yang dapat mengurangi jumlah konsumsi energi
bangunan.

Prinsip utama dalam pemanfaatan cahaya alami
adalah dengan pendekatan bioklimatik yang diterapkan
di Arsitektur Tropis. Faktor – faktor bioklimatik
menjadi salah satu unsur penting dalam perencanaan
arsitektur tropis, seperti temperatur, kelembaban udara,
kecepatan dan arah aliran udara, tingkat dan kualitas
pencahayaan serta tingkat bising. Arsitektur
seharusnya merespon alam dengan mencoba untuk
mengoptimalkan elemen-elemen bangunan sebagai
climate modifier dan dalam perancangannya juga
mempertimbangkan kondisi – kondisi lingkungan yang
cukup berpengaruh dalam zona kenyamanan.
Dengan adanya isu global warming, kesadaran
dalam penghematan energi semakin ditingkatkan salah
satunya dengan mengurangi konsumsi energi bangunan
yang ternyata berkontribusi besar. Upaya yang
dilakukan
adalah
dengan
mengoptimalkan
pemanfaatan alam dengan mengevaluasi ulang desain
bangunan dan menggantinya dengan desain yang lebih
ramah lingkungan. Selain dengan menggunakan
prinsip Arsitektur Tropis, rekayasa bangunan dilakukan
terutama
pada
selubung
bangunan
dengan
mengintegrasikan dengan teknologi yang semakin
canggih seperti penggunaan material yang ramah
lingkungan sampai penggunaan teknologi solar panel
yang dapat membantu mengurangi jumlah energi listrik
yang digunakan.
Berdasarkan review penelitian yang telah dilakukan,
penelitian yang berfokus pada pemanfaatan
pencahayaan alami secara maksimal sebuah bangunan
masih banyak yang belum mencapai kategori baik.
Penggunaan pencahayaan buatan yang tidak seimbang
masih ditemukan di beberapa bangunan. Penggunaan
bantuan pencahayaan buatan dikarenakan tuntutan
untuk mencapai kenyamanan visual penghuni
bangunan. Sehingga pemborosan energi dari sektor
pencahayaan masih cukup tinggi. Penelitian-penelitian
yang telah ada sebelumnya telah membahas mengenai
strategi optimalisasi pencahayaan alami dan faktor –
faktor yang mempengaruhinya. Penelitian lebih lanjut
memerlukan studi simulasi agar menemukan hasil atau
formula yang lebih terukur dan aplikatif untuk
merancang bangunan yang hemat energi dari berbagai
sektor terutama pencahayaan dengan memanfaatkan
pencahayaan
alami
secara
maksimal
dan
meminimalisir pencahayaan buatan namun tetap
mempertimbangkan kenyamanan visual penghuni.
5. Celah Penelitian
Indonesia yang terletak di iklim tropis dengan
penerimaan radiasi matahari berlebih harus
dimanfaatkan semaksimal mungkin di berbagai aspek
kehidupan. Energi fosil tidak bisa terus menerus kita
harapkan keberadaannya, sehingga harus dimulai dari
sekarang menggunakan energi yang renewable.
Perpustakaan Pusat UGM yang mengklaim bahwa
desainnya sudah mengikuti prinsip GREENSHIP
diharapkan dapat sebagai pelopor bangunan –
bangunan lainnya untuk juga menggunakan strategi –

Tri Hesti Milaningrum

9

strategi efisiensi energi bangunan. Pengujian konsumsi
energi Perpustakaan Pusat UGM sudah dibuktikan
dengan kategori sangat efisien. Maka perlu dikaji
kembali apakah penghematan energi yang dilakukan
juga sudah mempertimbangkan kebutuhan dan
kenyamanan pengguna bangunan serta fungsi ruangan
apakah sudah sesuai dengan standar. Apabila
ditemukan ketidaksesuaian, diharapkan adanya solusi
desain untuk mengatasinya.
Referensi
1) Ayuningtyas, Azka. (2014). Analisis dan Evaluasi Parameter Green
Building pada Perpustakaan Pusat UGM Sayap Selatan (L1). Skripsi.
Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
2) D.K. Ching, Francis. (1999). Arsitektur: Bentuk Ruang dan
Susunannya. Jakarta: Penerbit Erlangga.
3) Eddy, Firman. (2004). Pengaruh Pengkondisian Udara,
Pencahayaan, dan Pengendalian Kebisingan Pada Perancangan
Ruang dan Bangunan. e-USU Repository Universitas Sumatera
Utara
4) Gw, Ode Rapija., Kusumo, Beta Suryo. (2011). Studi Evaluasi
Pencahayaan Alami pada Gedung Kuliah Bersama III Universitas
Muhammadiyah Malang. Media Teknik Sipil, Volume 9, Nomor 1,
Februari 2011: 50 – 60.
5) Handayani, Teti. (2010). Efisiensi Energi dalam Rancang Bangunan.
Spektrum Sipil, ISSN 1858-4896 Vol. 1, No. 2 : 102 – 108.
6) Hendra, Tina, Sekar., Majidah, Amah. (2013). Tingkat Pencahayaan
Perpustakaan di Lingkungan Universitas Indonesia. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 6
7) IEA (International Eergy Agency). (2000). Daylight in Bildings; A
Source Book on Daylighting Systems and Components. The
Lawrence Berkeley National Library: California.
8) Kroelinger, Michael D. (2005). Daylight in Bildings. Dimuat dalam
Implications Vol 03 Issue 3
9) Kurniasih, Sri. (2009). Pengaruh Kombinasi Desain Skylight dan
Ventilasi Atap terhadap Kenyamanan pada Pengembangan Rumah
Sederhana Tanpa Bukaan Samping : Studi Kasus Perumahan
Pamulang Permai II Tipe 21 di Tangerang. Tesis. Jurusan Arsitektur
Universitas Indonesia.
10) Lam, William M.C. (1977). Perception and Lighting as Formgivers
for Architecture. Van Nostrad Reinhold : NewYork.
11) Lechner, Norbert. (2009). Heating, Cooling, Lighting: Sustainable
Design Methods for Architects. USA : John Willey & Sons.
12) Madina, Rizki Fitria., Nurrizka, Annisa., Komala, Dea Ratna.
(2013). Pengaruh Desain Fasade Bangunan Terhadap Kondisi
Pencahayaan Alami dan Kenyamanan Termal : Studi Kasus Campus
Center Barat ITB. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013.
13) Mintorogo, Danny Santoso. Strategi Aplikasi Sel Surya
(Photovoltaic Cells) pada Perumahan dan Bangunan Komersial.
Dimensi Teknik Arsitektur Vol.28, No.2, hal 129-141.
14) Munanda, Agra Arie. (2014). Simulasi Sistem Energi pada
Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada Gedung L1 dengan
Energyplus. Tesis. Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
15) Romasindah, Karlina. (2008). Optimasi Kinerja Panel Surya dengan
Pengaturan Panel sebagai Sun Shading untuk Menekan Biaya
Listrik Bangunan. Tesis. Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia.
16) Satwiko, Prasasto. (2004). Fisika Bangunan l. Andi : Yogyakarta
17) Sihombing, Ferry Anderson. (2008). Studi Pemanfaatan
Pencahayaan Alami Pada Beberapa Rancangan Ruang Kelas
Perguruan Tinggi Di Medan. Thesis. Jurusan Teknik Arsitektur
Universitas Sumatera Utara Medan.
18) SNI 03-6197-2000 tentang Konservasi Energi Sistem Pencahayaan
pada Bangunan Gedung. Badan Standardisasi Nasional.
19) SNI 03-2396-2001 tentang Tata Cara Perancangan Sistem
Pencahayaan Alami pada Bangunan Gedung. Badan Standardisasi
Nasional

10

20) Sushanti, Adila Bebhi., Thojib, Jusuf., Asikin, Damayanti. (2015)
Pengaruh Fasade Bangunan terhadap Pencahayaan Alami pada
Laboratorium Polteknik Negeri Malang. Jurnal Mahasiswa Jurusan
Teknik Arsitektur Universitas Brawijaya Malang Vol. 3 No.2.
21) Syam, Syahriana., Beddu, Syarif., Syawal, M. Sulaiman. (2013).
Pengaruh Bukaan Bangunan terhadap Pencahayaan Alami
Bangunan Tropis Indonesia. Prosiding Penelitian Teknik Arsitektur
Universitas Hassanudin Vol. 7.
22) Syahrullah, Moch. Rahmat. (2013). Pengaruh Integrasi
Pencahayaan Alami pada Sistem Pencahayaan terhadap Efisiensi
Energi. Tesis. Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
23) Thojib, Jusuf. (1992). Kajian Rancangan Pencahayaan Alami dan
Persepsi Pemakai pada Bangunan Kampus. Thesis. Jurusan Teknik
Arsitektur Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.
24) Thojib, Jusuf., Adhitama, Muhammad Satya (1992). Kenyamanan
Visual Melalui Pencahayaan Alami pada Kantor: Studi Kasus
Kantor Dekanat Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang.
Jurnal RUAS, Volume 11` N0 2, Desember 2013, ISSN 1693-3702
25) Tirta, Daniel. (2011). City Hotel dengan Pendekatan Efisiensi
Penggunaan Energi Listrik di Kawasan Glodok Jakarta. Tugas Akhir.
Jurusan Arsitektur Universitas Bina Nusantara Jakarta Barat.

Tri Hesti Milaningrum