Redesain Konsep Koalisi Partai Politik S

Redesain Konsep Koalisi Partai Politik Sebagai Upaya
Penguatan Sistem Presidensial
Oleh M. Yasin al – Arif, SH
Mahasiswa Magister Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII
Latar Belakang
Sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah No X tanggal 16 Desember 1945 tentang
pembentukan partai-partai politik, Indonesia yang belum lama mendeklarasikan kemerdekannya
dipenuhi dengan tumbuhnya partai politik. Bak jamur yang tumbuh setelah hujan, partai politik tumbuh
kian lama kian banyak.
Kebebasan membentuk partai politik pada saat itu memang tidak lepas dari usaha kelompok
Sjahrir yang mampu menggeser arus besar kekuasaan, tanpa mengubah UUD 1945 sistem pemerintahan
negara kita dalam dalam waktu 3 bulan berubah menjadi sistem parlementer, yaitu ketika Kelompok
Sjahrir berhasil mendorong perubahan dan perluasan fungsi Komite Nasional Pusat (KNIP) dengan
dibentuknya Badan Pekerja (BP-KNIP) yang akan berfungsi sebagai Parlemen. Bahkan Sjahrir berhasil
meyakinkan Pemerintah (Soekarno-Hatta) untuk “share” dalam bidang pemerintahan dengan
memberikan kewenangan pemerintahan kepada KNIP yang akan membentuk kabinet. 1
Namun demikian, sistem pemerintahan parlementer di Indonesia tidak lah bertahan lama,
dengan dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1945, sebuah keputusan Presiden Konstituante dan
pernyataan kembali ke UUD 1945. Dengan dekrit Presiden ini menandai kembalinya sistem
Presidensial di Indonesia, walaupun belum sepenuhnya menjadi presidensial yang murni. Pasalnya
kekuasaan Presiden menjadi sangat tidak terbatas. Hal ini ditunjukkan pada tanggal 4 Juni 1960

Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955. 2

1

Sexio Yuni Noor Sidqi, Anoma li Sistem Presidensia l (Eva lua si Pra ktek Politik Pa rlementa rian) dalam Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum Vol. 15 No,1, Januari 2008, hlm. 39
2 Ibid, hlm.42

1

Sejalan dengan pergantian kepemimpinan Presiden yang diambil alih oleh Soeharto melalui
Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR), partai politik di era orde baru juga semakin di kekang.
Bahkan hanya tiga partai politik yang mampu bersaing mengikuti pemilihan umum, yaitu PDI, PPP,
dan Golkar ( yang saat itu tidak mau dinamakan partai politik). Semakin gelisah melihat otoritarianisme
yang dikendalikan oleh Soeharto akhirnya rakyat Indonesia yang diwakili oleh para mahasiswa mampu
meruntuhkan rezim Soerharto pada tahun 1998. Peristiwa inilah yang sering dikenal dengan era
Reformasi.
Salah satu agenda penting dalam reformasi tersebut adalah perubahan UUD 1945. Akhirnya
pada tahun 1999 untuk pertama kalinya amandeman UUD 1945 dilaksanakan. Point penting dalam
perubahan UUD 1945 yang disepakati oleh Panitia PAH I adalah penguatan Presidensial. Namun sangat

disayangkan Penguatan Presidensial harus dihadapkan pada pembentukan UU partai politik. Artinya
kebebasan pembentukan partai politik mendapatkan legitimasi yang kuat. Sehingga pertumbuhan partai
politik ditengah sistem presidensial tidak dapat dihindarkan.
Seperti yang terlihat sekarang ini, konstalasi politik menghendaki sistem kepartaian di
Indonesia menjadi sistem multipartai, karena banyaknya partai politik yang ada sekarang ini.
Multipartai yang dihadapkan dengan sistem presidensial bukanlah pasangan yang serasi. Akibatnya
fenomena koalisi yang seharusnya tidak terjadi menjelang pemilihan presiden menjadi hal yang
terelakkan.
Terjadinya fenomena koalisi ini memang tidak terjadi begitu saja, menilik desain sistem pemilu
presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Pasal 6A Ayat (2)
UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, UU Pilpres (yang
baru) mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen
suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan
pasangan calon presiden dan wakil presiden. 3

3

Saldi Isra, Sima la ka ma Koa lisi Sistem Presidensia l , opini Kompas, Kamis, 27 November 2008.

2


Tidak dapat dipungkiri bahwa koalisi parpol sulit dihindari dalam koalisi multipartai yang
keluaran politiknya cenderung terfragmentasi. Kemunculan koalisi partai politik dalam kondisi multi
partai bukanlah sebuah penyimpangan sistem presidensial, tetapi justru sebuah bentuk kompromi untuk
stabilitas dan keseimbangan berjalannya sistem politik. 4
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dalam makalah ini penulis hanya menfokuskan pada
permasalahan bagaimana mendesain ulang koalisi antar partai ditengah multipartai agar menjadi koalisi
yang kokoh sebagai upaya penguatan sistem presidensial?
Analisis Terhadap Rapuhnya Koalisi di Indonesia
Dalam sistem Presidensial, pembentukan koalisi memiliki makna yang sedikit berbeda dengan
sistem Parlementer. Ada dua tujuan yang mendasari pembentukan koalisi: pertama, menggalang tujuan
dukungan partai dalam proses pencalonan dan pemenangan pemilihan Presiden. Kedua, mengamankan
jalnnya (stabilitas) pemerintahan. Itu artinya koalisi dibentuk untuk memperoleh dukungan politik atas
inisiatif dan kebijakan Presiden. Adanya koalisi membuat kebijakan Presiden menjadi lebih predictable
dan sederhana dibandingkan dengan hanya mengandalkan dukungan ad hoc dari kebijakan yang satu
ke kebijakan lainnya.5
Corak koalisi parpol di Indonesia dalam praktik perpaduan sistem presidensial dan multipartai
saat ini bersifat rapuh. Kerapuhan koalisi ini disebabkan beberapa persoalan. 6 Pertama , komposisi dan
jumlah partai dalam koalisi pemerintahan selalu berubah- ubah setiap pergantian pemerintahan. Sistem
multipartai merupakan implikasi dari heterogenitas golongan dan kepentingan masyarakat. Komposisi

pemerintahan memperoleh kursi legislatif. Komposisi parlemen akan memengaruhi komposisi koalisi
dalam pemerintahan.

4

Hanta Yuda AR, Presidensia lisme Setenga h Ha ti, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010,hlm.29
AA GN Ari Dwipayana, Multi Pa rta i, Presidensia lisme da n Efektivita s Pemerinta h , disampaikan pada
seminar “Membedah Undang-Undang Partai Politik” Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII kerjasama dengan
Hanns Seidel Foundation Indonesia, di Yogyakarta Pada tanggal 9 April 2011.
6 Ibid,hlm37
5

3

Kedua, konsekuensi dari pemerintahan koalisi multipartai adalah koalisi pemerintahan tidak

menjadikan kedekatan ideologi partai atau common platform sebagai faktor determinan, tetapi lebih
didasarkan pada political interest kekuasaan saja. Akibatnya, koalisi pemerintahan akan memiliki daya
rekat rendah dan rapuh, sehingga koalisi yang terbangun bukan koalisi ideologis yang solid melainkan
koalisi yang bersifat taktis pragmatis.

Ketiga , karakteristik institusionalisasi sistem multipartai di Indonesia adalah rendahnya tingkat

pelembagaan, terfragmentasinya kekuatan politik di parlemen, dan munculnya koalisi parpol dengan
ikatan yang rapuh dan pragmatis, diistilahkan dengan multipartai pragmatis. Istilah ini untuk sekedar
menyebutkan kekhasan atau karakteristik khusus dari multipartai di Indonesia.
Selain itu, modal koalisi yang berkembang dalam lima tahun terakhir menunjukkan perilaku
partai dalam meracik menu koalisi dipengaruhi oleh dua karakter: karakter pertama , uapaya memburu
jabatan (office seeking ), di mana perilaku partai dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada
kehendak untuk memperbesar peluang dalam memperoleh posisi di kabinet pemerintahan yang akan
terbentuk. Sehingga akhirnya dalam memilih mitra koalisi, elite politik cenderung didorong oleh
keinginan untuk memaksimalkan proses negosiasi dalam power sharing , itulah sebabnya muncul
manuver di internal partai untuk merapat pada kandidat yang potensial menang dalam pilpres. 7
Karakter kedua, modus pencari suara (vote seeking ), di mana elite partai politik dalam
membentuk koalisi lebih didasarkan pada upaya memenangkan pemilihan. Modus untuk menang itulah
yang memebuat partai membuka diri pada siapa saja yang ingin masuk ( catch all), asal kemenangan
dalam pilpres bisa diraih. Dalam logika catch all ini tidak adal alasan bagi partai untuk menilak sekutu
yang ingin bergabung mengalahkan kompetitor. Dalam konteks semacam ini, jarak ideologi bukan
sesuatu yang penting. Yang paling penting adalah memenangkan pertarunga. Itulah sebabnya, dalam
logika vote seeking akan muncul paradoks dalam proses pembentukankoalisi, dimana partai-partai yang
memiliki jarak ideologis yang lebar bisa bertemu.


7

AA GN Ari Dwipayana, Multi Pa rta i.....Loc.Cit

4

Membentuk Koalisi yang Kokoh dan Permanen
Menurut Scott Mainwaring, kombinasi antara sistem partai berfraksi dan presidensialisme tidak
mendorong stabilitas demokrasi karena kombinasi ini mudah menimbulkan berbagai kesulitan dalam
hubungan antara presiden dan kongres. Agar efektif, maka pemerintah harus mampu meneruskan
langkah-langkah kebijaksanaan yang sulit dilakukan ketika eksekutif menghadapi oposisi mayoritas di
badan legislatif. Setidaknya ada tiga pilihan yang ditawarkan oleh Mainwaring untuk dilakukan
Presiden guna menghindari konflik antara eksekutif dengan legislatif, salah satunya yaitu membentuk
pemerintah koalisi. Meskipun demikan, pilihan ini juga tidak memberikan harapan baik bagi stabilitas
demokrasi.8
Dari uraian di atas maka semakin memperkuat pendapat bahwa pembentukan koalisi bukan
untuk dihindari tapi harus dibentuk dengan pertimbangan dan pertimbangan yang matang. Dengan
demikan, untuk menghindari fenomena terjadinya koalisi yang rapuh seperti yang terjadi saat ini, maka
diperlukan usaha-usaha tertentu untuk perbaikan kedepannya sebagai usaha penguatan sistem

Presidensial.
Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam rangka membentuk koalisi
yang kokoh dan mencegah munculnya koalisi politik pragmatis. Pertama, pemilu presiden tidak lagi
mengikuti hasil pemilu legislatif. Hal ini penting supaya hasil pemilu legislatif tidak mendikte proses
pembentukan koalisi dalam pemilu Presiden. Itu bisa dilakukan secara bersamaan. Sehingga nantinya
akan ada pemilu nasional dan pemilu lokal. 9 Kedua , proses koalisi harus dilakukan sebelum pemilu
legislatif dan presiden. Koalisi antar partai dibangun berbasis pada kesamaan platform kebijakan yang
diusung oleh koalisi tersebut. instrumentasi dari koalisi bisa berbentuk mekanisme Stanbus occord
untuk pemilu legislatif maupun koalisi untuk mencalonkan kandidat Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk memperkuat soliditas, koalisi antar partai menyepakati platform kebijakan yang diusung,

8

Scott Mainwaring, Presidensia lisme di Amerika La tin , dalam buku Arend Lijphart, Sistem Pemerinta ha n
Pa rlementer da n Presidensia l, Terjemahan: Ibrahim R.dkk, Jakarta:Raja Grafindo Persada: 2010, hlm.120-121
9 AA GN Ari Dwipayana, Multi Pa rta i...... Loc.Cit

5

kelembagaan koalisi, etika dalam koalisi ( code of conduct), yang boleh dan tidak boleh berbeda dan

reward-punishment.10
Ketiga, Wakil Presiden ditunjuk oleh Presiden yang diusung oleh koalisi partai. Hal ini untuk

menghindari

fenomena

“matahari kembar”

(mempunyai

posisi

politik

yang

sama-sama

kuat).11 Keempat,, koalisi parpol yang kandidatnya menang harus menjadi pendukung pemerintah,

sebaliknya koalisi parpol yang kalah menstinya menjadi oposisi. Dengan demikian, hanya ada dua blok
koalisi besar di parlemen, yaitu koalisi pendukung pemerintah dan koalisi aposisi. Parlemen akan akan
lebih sederhana dan produktif dengan hanya dua blok koalisi permanin sehingga proses politik pun kaan
lebih efisien dan efektif. Koalisi ini perlu diatur dan diikat undang-undang agar tidak bisa dicabut atau
bubar di tengah jalan dengan mudah. Karena itu, regulasi mengenai koalisi ini perlu dilembagakan
dalam sebuah undang-undang.12
Kesimpulan
Dari uraian panjang yang telah penulis paparkan di atas, maka kesimpulan yang diambil adalah
bahwa sistem multi partai yang dihadapkan dengan sistem pemerintahan presidensial menyebabkan
pembentukan koalisi antar partai saat pemilihan presiden yang tak terekkan. Selain pembentukan koalisi
yang mendapat jaminan hukum dalam konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) juga konstelasi politik yang
terjadi menghendaki demikian. Seperti halnya adanya ambang batas untuk mencalonkan Presiden dan
Wakil Presiden dari parpol, sehingga mau tidak mau partai yang tidak melampaui ambang batas harus
membentuk koalisi dalam rangka dapat menjadi peserta dalam pilpres.
Koalisi yang dibangun tidak atas dasar persamaan ide dan platform oleh parpol yang berkoalisi
membuat koalisi menjadi rapuh. Selain itu, komposisi dan jumlah partai dalam koalisi pemerintahan
selalu berubah- ubah setiap pergantian pemerintahan. Rapuhnya koalisi yang dibangun juga disebabkan
karena perilaku perilaku partai dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk
memperbesar peluang dalam memperoleh posisi di kabinet pemerintahan yang akan terbentuk.


10

Ibid..
Ibid...
12 Hanta Yuda AR, Presidensia lisme..Op.Cit .Hlm.290
11

6

Sehingga akhirnya dalam memilih mitra koalisi, elite politik cenderung didorong oleh keinginan untuk
memaksimalkan proses negosiasi dalam power sharing .
Dengan untuk mencegah terjadinya koalisi yang rapuh seperti saat ini, maka setidaknya ada
empat langkah yang harus dilakukan. Pertama, pemilu presiden tidak lagi mengikuti hasil pemilu
legislatif. Kedua , proses koalisi harus dilakukan sebelum pemilu legislatif dan presiden. Ketiga , Wakil
Presiden ditunjuk oleh Presiden yang diusung oleh koalisi partai. Kelima, koalisi parpol yang
kandidatnya menang harus menjadi pendukung pemerintah, sebaliknya koalisi parpol yang kalah
menstinya menjadi oposisi.

Daftar Pustaka


Dwipayana, AA GN Ari. Multi Partai, Presidensialisme dan Efektivitas Pemerintah ,
disampaikan pada seminar “Membedah Undang-Undang Partai Politik” Pusat Studi Hukum
Konstitusi FH UII kerjasama dengan Hanns Seidel Foundation Indonesia, di Yogyakarta Pada
tanggal 9 April 2011
Isra, Saldi. Simalakama Koalisi Sistem Presidensial, opini Kompas, Kamis, 27 November
2008.
Mainwaring, Scott. Presidensialisme di Amerika Latin , dalam buku Arend Lijphart, Sistem
Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Terjemahan: Ibrahim R.dkk, Jakarta:Raja
Grafindo Persada: 2010
Sidqi, Sexio Yuni Noor. Anomali Sistem Presidensial (Evaluasi Praktek Politik
Parlementarian) dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Vol. 15 No,1, Januari 2008.
Yuda AR, Hanta. Presidensialisme Setengah Hati, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010

7

Dokumen yang terkait

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

Pengaruh Strategi Pembelajaran Aktif dengan Teknik Information Search Terhadap Pemahaman Konsep IPS Peserta Didik Kelas III SDN Karang Tengah 3 Tangerang

0 48 193

Strategi komunikasi politik dalam perolehan suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada pemilu legislatif 2009 di Kabupaten Tegald

1 48 115

Pengaruh penayangan iklan Partai Golkar di Tv One terhadap perilaku memilih masyarakat Kelurahan Kebon Baru Jakarta Selatan pada pemilu legislatif 2014

0 55 163

Analisis wacana kritis pidato politik Anies Rasyid Baswedan dengan judul 'Indonesia Kita Semua' dalam konvensi pemlihan calon Presiden 2014 Partai Demokrat

11 91 111

Partisipasi Politik Perempuan : Studi Kasus Bupati Perempuan Dalam Pemerintahan Dalam Kabupaten Karanganyar

3 106 88

Konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir Qs. 3/Ali-‘Imran: 159

9 101 103

Senang Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Kelas 1 S Rositawaty Aris Muharam 2008

0 27 147

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22