Peran Singkel dalam Tafsir al

Abdurra’uf Singkel:
Peranannya dalam Studi Tafsir di Indonesia
Iffah Abu Dzarrin*)
Abstrak
Upaya penafsiran Al-Qur’an di Indonesia mencatat sejarah
yang cukup panjang.
Diawali dengan penafsiran secara lisan,
kemudian berkembang hingga dalam bentuk tertulis. Seorang
ulama’ asal Aceh, yakni Abdurra’uf Singkel dinilai sebagai tokoh
yang memiliki jasa besar dan peran penting dalam study tafsir di
Indonesia. Dialah orang pertama yang menulis tafsir secara lengkap
dalam bahasa Melayu yang berjudul Tarjuma>n al-Mustafi>d.
Kata Kunci: Abdurra’uf Singkel, Peranan, Study Tafsir,
Tarjuma>n al-Mustafi>>d
Pendahuluan
Study Al-Qur’an di Indonesia telah memiliki perjalanan
sejarah yang panjang. Bersamaan dengan proses awal masuknya
Islam di Nusantara pada abad ke-13, Al-Qur’an diperkenalkan oleh
para juru dakwah itu kepada penduduk pribumi. Pengenalan awal
terhadap Al-Qur’an itu merupakan suatu hal yang penting, karena
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diimani sebagai

pedoman hidup bagoi para pemeluk Islam, sehingga tidak bisa
tidak, setiap muslim yang baik harus berusaha memahami isi AlQur’an.
Analisis Mahmud Yunus tentang sistem pendidikan Islam
pertama di Indonesia menunjukkan bagaimana Al-Qur’an telah
diperkenalkan pada setiap muslim sejak kecil melalui kegiatan yang
dinamai “Pengajian Al-Qur’an” di surau, langgar, dan masjid. Yunus
bahkan mengklaim bahwa pendidikan Al-Qur’an waktu itu adalah
pendidikan Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak,
sebelum diperkenalkan dengan praktik-praktik ibadah. 1 Upaya
mempelajari Al-Qur’an pada tahap berikutnya adalah dengan
mempelajari
konsep
tertentu
dari
Al-Qur’an.
Selanjutnya
mempelajari tafsir dan ‘Ulum al-Qur’an yang pada awalnya masih
dalam bentuk penjelasan lisan lewat para penyebar Islam awal dan
masih integral dengan ajaran Islam yang lain, seperti tauhid, fiqh,
tasawuf, dan lain-lain serta disajikan dalam bentuk amaliyah seharihari. Contoh pupuler adalah istilah molimo yang dikemukakan

Sunan Ampel (w. 1478 M) yang berarti emoh main (tidak mau judi),
emoh ngombe (tidak mau minuman keras), emoh madat (tidak mau
menghisap candu), emoh maling (tidak mau mencuri), dan emoh
madon (tidak mau berzina), yang merupakan tafsir dari al-Ma>idah
38, 39, 90, serta al-Isra>’ 32.2 Lama kelamaan mulai mucul para
*)

Dosen Tetap Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengasuh Tahfidz al-Qur’an PP
Asshomadiyah Burneh Bangkalan Madura.
1
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:Hidakarya Agung,
1984), h. 34.
2
Indal Abror, “Potret Kronologis Tafsir Indonesia” dalam Jurnal Esensia, Vol. 3, No.
2, 2002, h. 191

1

ulama’ yang menulis karya-karya dalam bentuk tertulis, baik dalam
bentuk terjemah, maupun karya tafsir mandiri.

Merujuk pada naskah-naskah yang ditulis ulama’ Aceh, pada
abad ke-16 telah muncul ulama’ yang berusaha menulis tafsir AlQur’an. Hal itu bisa dilihat dari ditemukannya sepenggal tafsir surat
al-Kahfi (18):9 yang--sayangnya-- tidak diketahui siapa penulisnya.
Tafsir tersebut mengikuti tradisi Tafsir al-Kha>zin dan diduga ditulis
pada masa Hamzah Fansuri (w. 1607) dan Syamsuddin al-Sumatrani
(w.1630). Satu abad kemudian baru muncul Abdurra’uf Singkel
(w.1630), seorang ulama’ terkemuka yang mengenyam pendidikan
dari Timur Tengah lewat karya tafsirnya yang berjudul Tarjuma>n
al-Mustafi>d. Dengan karyanya tersebut, Singkel merupakan
seorang alim pertama di dunia Melayu yang berjasa besar
menyiapkan tafsir lengkap Al-Qur’an dalam bahasa Melayu. 3 Tidak
terlalu penting mempersoalkan apakah
karyanya merupakan
sebuah karya tafsir ataukah sekedar sebuah karya terjemahan, yang
pasti, lewat karyanya tersebut, Singkel telah menempatkan dirinya
pada posisi penting dalam study tafsir di Indonesia. Tulisan ini tidak
menggunakan kitab tersebut sebagai rujukan, karena sulitnya
mendapatkan kitab dimaksud.
Biografi Abdur Ra’uf Singkel dan Karya-Karyanya
Hampir tidak dapat diragukan lagi bahwa Abd al-Ra’uf bin

Ali> al-Ja>wi> al-Fansuri> al-Sinkili> atau lebih dikenal dengan
sebutan Abdurra’uf Singkel (1024 H/1615 M-1105 H/1693 M)
merupakan salahseorang ulama’ terkemuka dan murid paling
menonjol dalam jaringan ulama’ Haramayn. Ia adalah seorang
Melayu dari Fansur, Sinkil (Singkel) di wilayah pantai barat-laut
Aceh. Nenek moyang Singkel berasal dari Persia, sementara ibunya
berasal dari Aceh. Sebuah riwayat mengatakan ia adalah keponakan
Hamzah Fansuri.4 Banyak ahli sejarah yang ragu, apakah Syeikh
Abdurra’uf al-Fansuri itu juga Syeikh Abdurra’uf Singkel ? Ataukah
mereka adalah dua orang yang berbeda ? Prof. DR HAMKA dalam
bukunya Sejarah Umat Islam mengatakan bahwa ulama’ besar Aceh
ada dua, yaitu Syeikh Abdurra’uf orang Singkel, dan Syeikh
Abdurra’uf orang Barus (Fansur). Abdurra’uf Singkel masyhur karena
ajaran tasawufnya dalam Tharikat Syatariyah, sementara Abdurra’uf
Barus masyhur karena keahliannya dalam hukum syari’at dan tafsir. 5
Pernyataan itu kemudian beliau ralat dan menegaskan bahwa
Abdurra’uf Singkel dan Abdurra’uf Fansuri adalah orang yang sama.6
Pendidikan pertama Singkel diperolehnya dari ayahnya
sendiri yang kemudian dilanjutkannya di Banda Aceh. Perjalanan
keilmuannya menjadi lebih jelas setelah ia melanjutkan studinya ke

Timur Tengah pada tahun 1052/1642. Dari catatannya sendiri dalam
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta:Teraju, 2002), 43.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 229-30.
5
Hamka, Sejarah Umat Islam IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) 897
6
Hamka, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (Jakarta: Bulan Bintang, 1974),
195.
3
4

2

buku ‘Umdah al-Muh}ta>ji>n ila> Sulu>k Maslak al-Mufridi>n ia
menyebutkan 19 orang guru dan 27 ulama’ yang ia temui selama
menuntut ilmu mulai dari wilayah Doha di Teluk Persia, Yaman,
Jeddah, hingga akhirnya di Mekkah dan Madinah. Fakta bahwa
sebagian besar guru-guru dan kenalannya tercatat dalam kamus
biografi Arab menunjukkan keunggulan yang tak tertandingi dari

lingkungan intelektualnya. Datang dari suatu wilayah pinggiran dari
Dunia Muslim, dia memasuki inti jaringan ulama’ dan dapat merebut
hati sejumlah ulama’ utama di Haramayn.
Pendidikannya sangat lengkap: dari syari’at, fikih, hadith,
tafsir, dan disiplin-disiplin eksoteris lainnya hingga kalam dan
tasawuf atau ilmu-ilmu esoteris. Kesemuanya itu ia peroleh dari
guru-guru yang keahliannya diakui di seluruh dunia, mulai dari
Ibra>hi>m bin Abdullah bin Ja’man seorang ahli hadis dan fiqh, Ali
bin Abdul Qadi>r al-T{abari> (Mekkah), An al-Babili alQa>hiri> al-Azhari> (w. 1077/1666) dari Universitas Al-Azhar Kairo,
‘Abd Allah b. Muh}ammad al-‘Adani, yang disebut Singkel sebagai
pembaca Al-Qur’an terbaik, hingga Ahmad Al-Qusyasyi dan
Ibra>hi>m al-Qur’a>ni>, dua orang guru yang paling berpengaruh
dalam hidupnya dan kepada keduanyalah dia melewatkan sebagian
besar waktunya untuk belajar di Madinah. Al-Qusya>syi> adalah
pimpinan Tarekat Syattariyah dan Qadiriyah asal Palestina yang
kemudian mengangkatnya sebagai khalifah Tarekat Syattariyah dan
Qadiriyah di Nusantara. 7
Namun demikian, secara intelektual, hutang terbesar Singkel
adalah pada Ibra>hi>m al-Qur’a>ni>, kepada siapa ia berguru
pasca wafatnya Qusya>syi>. Dalam beberapa catatannya ia

mengatakan bahwa dari al-Qur’a>ni>-lah ia menerima ilmu yang
memperluas wawasan intelektualnya. Dengan kata lain, alQusya>syi> adalah guru spiritual dan mistisnya, sementara alQur’a>ni> adalah guru intelektualnya. Perpaduan dua bidang ilmu
tersebut sangat mempengaruhi sikap keilmuan Singkel yang sangat
menekankan perpaduan syari’at dan tasawuf. Bahkan kepribadian
Singkel yang toleran tampaknya juga dipengaruhi keluasan
wawasan dan kelembutan Ibra>hi>m al-Qur’a>ni>. Al-Qur’a>ni>
juga
merupakan
konsultan
Singkel
dalam
melancarkan
pembaharuan sekembalinya ke Aceh. Singkel menulis sekitar 22
karya yang membahas tentang fikih, tafsir, hadith, kalam, dan—
sebagian besar-- tasawuf. Karya-karyanya setelah kembali ke
Nusantara —sebagaimana gurunya al-Qur’a>ni>—merupakan
usaha yang secara sadar dilakukan untuk menanamkan keselarasan
antara syari’at dan tasawuf. Karena itu, ajaran-ajaran yang
diusahakan untuk disebarkannya di wilayah Melayu adalah ajaran
yang termasuk neo-sufisme.8

Singkel adalah seorang penganut madzab Syafi’i. Bukti yang
jelas bahwa beliau penganut Syafi’i adalah tafsir yang beliau tulis,
yaitu Tarjuma>n al-Mustafi>d mengacu kepada Tafsi>r al-Jala>lain,
7
8

Azra, Jaringan, 236-7.
Azra, Jaringan, 238

3

al-Baid}a>wi>, serta al-Kha>zin, yang kesemuanya ditulis oleh
ulama’ Syafi’i.9 Karya utamanya dalam fiqh, Mir’at al-T}ulla>b serta
Kita>b al-Fara>’id} juga merupakan fiqh Syafi’i yang menjadikan
kitab Fath} al-Wah}h}a>b karya Zakariya al-Ans}a>ri> sebagai
rujukan utamanya. Kitab ini adalah fiqh pertama di Melayu yang
membahas tentang Mua’amalat. Dibidang hadith ia menulis Tafsi>r
Hadi>th Arba’I>n karya al-Nawa>wi> serta al-Mawa>’idz alBadi’ah, sebuah koleksi hadits kudsi. Selebihnya karya Singkel
adalah dibidang tasawuf, diantaranya adalah Kifa>yat alMuh}ta>ji>n, Daqa>’iq al-H}uru>f, al-Simt} al-Majid, disamping
juga dibidang akhlak, seperti Risalah Adab Murid akan Syaikh.

Singkel hidup dalam enam periode kesultanan Aceh, yaitu
Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Sultan Iskandar Tsa>ni> (16361640), serta empat orang sultanah, yaitu Safiyyah al-Di>n (16411675), Naqiyyah al-Di>n (1675-1678), Zakiyyah al-Di>n (16781688), hingga Kamalat al-Di>n (1688-1699). Di masa keempat
sultanah inilah Singkel diangkat sebagai Mufti. 10 Pada saat itu rakyat
Aceh telah lama bertanya-tanya tentang boleh tidaknya wanita
menjadi penguasa menurut hukum Islam.
Singkel sendiri
nampaknya tidak berhasil menjawabnya secara gamblang. Dalam
karya fiqh-nya, dia tidak membahas masalah itu secara langsung.
Ketika membahas tentang syarat-syarat untuk menjadi hakim
(secara lebih luas, penguasa), Singkel tampaknya secara sengaja
tidak memberikan terjemahan Melayu untuk kata dzakar (laki-laki).
Sedikit banyak ia dapat dituduh mengkompromikan integritas
intelektualnya, bukan hanya dengan menerima pemerintahan
seorang wanita, tetapi juga dengan tidak memecahkan masalah itu
dengan lebih layak. Tetapi kasus ini juga dapat dianggap sebagai
indikasi lebih jauh dari toleransi pribadinya; suatu ciri yang
mencolok yang dimiliki Singkel. 11 Singkel meninggal dunia sekitar
1105/1693 dan dikuburkan di dekat Kuala atau mulut sungai Aceh.
Karena itulah di Aceh ia dikenal dengan sebutan Teungku di Kuala
dan namanya diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi di

Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala. Tempat ini juga menjadi tempat
kuburan para isterinya, serta beberapa orang murid-muridnya.12
Sekilas Tafsir Tarjuma>n al-Mustafi>d
Tradisi penulisan tafsir di Indonesia yang ditulis oleh orang
Indonesia sebenarnya telah bergerak cukup lama. Memasuki abad
ke-16 telah
muncul ulama’ yang berinisiatif menulis tafsir.
Setidaknya hal ini dapat dilihat dari naskah terjemahan Tafsi>r
Surah al-Kahfi (18):9 dengan mengikuti tradisi Tafsi>r al-Kha>zin,
namun tidak diketahui siapa penulisnya. Dilihat dari corak dan
M. Shaghir Abdullah, Perkembangan Ilmu Fiqh dan Tokoh-Tokohnya di Asia
Tenggara, I (Solo: Ramadani, t.t.), 32
10
Gusmian, Khazanah, 104.
11
Azra, Jaringan, 244.
12
Oman Fathurrahman, “Respon Abdurrauf Singkel terhadap Kontroversi
Wujudiyah: Kasus Aceh Abad 17” dalam Jurnal Mimbar Agama dan Budaya, no.
38, Th. XV 1999/2000, h.33

9

4

nuansanya tafsir ini sangat kental dengan warna sufistik Ini tentu
mencerminkan bahwa penulisnya adalah orang yang mempunyai
pandangan spiritual yang tinggi. Manuskripnya dibawa dari Aceh ke
Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dari Belanda, Erpinus
(w.1624) pada awal abad ke-17 M dan menjadi koleksi Cambridge
University Library. Diduga manuskrip ini dibuat pada masa awal
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), dimana mufti
kesultanannya adalah Saymsuddin as-Sumatrani (w.1630), atau
bahkan sebelumnya, Sultan Sayyid al-Mukammil (1537-1604),
dimana mufti kesultanannya adalah Hamzah Fansuri (w. 1607). 13
Adapun wujud dalam karya tertulis lengkap 30 juz baru terjadi
sejak Abdurrauf Singkel menulis tafsir Tarjuma>n al-Mustafi>d
dalam bahasa Melayu. Walaupun jika ditinjau dari sudut ilmu bahasa
Indonesia modern karya Singkel belum bisa dikatakan sempurna,
tetapi pekerjaan itu adalah besar jasanya sebagai pekerjaan perintis
jalan. Pada periode ini juga diinformasikan ada kitab tafsir yang
berjudul Tas}di>>q al-Ma>’arif yang ditulis di Sampon Aceh, tetapi
tidak diketahui penulisnya.14
Tahun penulisan karya ini tidak bisa diketahui secara pasti,
tetapi Peter Riddel—seorang sarjana dari Australia yang menulis
disertasi tentang Tarjuma>n al-Mustafi>d--, setelah melihat
manuskrip tertua karya ini, mengambil kesimpulan tentatif, bahwa
karya ini ditulis sekitar tahun 1675 M. 15 Meski Singkel tidak
memberitahu tentang tahun penyelesaian tafsirnya, tidak ada
keraguan bahwa ia menulis tafsir tersebut di Aceh. A. Hasymi—
sebagaimana dikutip Azra-- menulis bahwa karya ini ditulis di India
dalam perjalanannya ke sana. Pendapat ini dibantah keras oleh
Azyumardi.
Dalam
pandangannya,
mustahil
bagi
Singkel
mengerjakan pekerjaan yang demikian berat dalam sebuah
perjalanan. Apalagi tidak ada bukti bahwa ia pernah ke India.
Sebaliknya, perlindungan dan fasilitas yang diterimanya dari para
penguasa Aceh semakin mempertegas kenyataan bahwa ia menulis
di Aceh.16 Orang pertama yang mengoreksi kitab tersebut sebelum
dicetak adalah Syeikh Ahmad bin Muhammad Zein bin Must}afa>
al-Fatta>ni>, dan atas usaha ulama’ Patani itulah kitab tersebut
dicetak di Mekkah dan Mesir. Selanjutnya dalam terbitan berikutnya
ditashhih pula oleh Syeikh Idri>s al-Kalantani> dan Syeikh Daud alFatta>ni>.17
Tafsir ini telah lama dianggap semata-mata sebagai terjemahan
bahasa Melayu karya al-Bayd}a>wi>, Anwa>r al-Tanzi>l. Snouck
Hurgronye, tanpa meneliti lebih dahulu menyimpulkan dalam gaya
Nur Ichwan, “Literatur Tafsir Qur’an Melayu Jawi di Indonesia: Relasi Kuasa,
Pergeseran dan Kematian” dalam Visi Islam Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 1, No.
1 (2002) h. 15. Ichwan juga menganalisis bahwa naskah ini tidak banyak dikopi
pada masa itu, mengingat tidak ditemukan manuskrip serupa pada periode
berikutnya. Tetapi kalau tidak dibawa ke Eropa, kemungkinan besar akan banyak
disalin oleh masyarakat, atau bahkan dimusnahkan oleh Nu>r al-Di>n
14
Abror, “Potret”, 193.
15
Ichwan, “Literatur”, 17.
16
Azra, Jaringan, 247
17
Abdullah, Perkembangan, 35.
13

5

khasnya yang sinis, bahwa karya tersebut hanyalah sebuah
terjemahan yang buruk dari Tafsi>r al-Bayd}a>wy>. Dengan
kesimpulan ini Snouck bertanggung jawa atas tersesatnya dua
sarjana Belanda lainnya, Rinkes dan Voerhoeve. Rinkes, murid
Snouck menyatakan bahwa selain mencakup terjemahan alBaid}a>wy>, Tarjuma>n al-Mustafi>>d juga terjemahan dari
Tafsi>r al-Jala>lain. Voorhoeve setelah mengikuti Snocuk dan Rinkes
akhirnya mengubah kesimpulannya dengan menyatakan bahwa
sumber-sumber Tarjuma>n al-Mustafi>d adalah berbagai karya
tafsir berbahasa Arab.
PG Riddel dalam telaahnya secara meyakinkan dapat
membuktikan bahwa karya tersebut merupakan terjemahan dari
Tafsir al-Jala>lain, karya dua orang Jalal, yaitu Jala>l al-Di>n alSuyu>t}i> serta Jala>l al Di>n al-Mah}alli. Hanya pada bagian
tertentu saja Singkel memanfaatkan al-Baid}a>wi> dan al-Kha>zin
serta beberapa tafsir lain. Sebab, Tafsi>r al-Baid}a>wi> merupakan
karya tafsir yang ekstensif dan rumit, sedangkan Tarjuma>n alMustafi>d
modelnya singkat, jelas, dan elementer. 18 Menurut
Azyumardi Azra, pilihan Singkel atas tafsir ini sebagai sumber utama
tafsirnya jelas karena dia memiliki sanad yang menghubungkannya
dengan al-Suyu>t}I>, baik melalui al-Qusya>syi> maupun alQur’a>ni>. Setelah mendapat ijazah dari al-Qur’a>ni> melalui
rangkaian perawi yang sambung menyambung hingga ke alSuyu>t}i>, Singkel dapat diharapkan lebih memilih Tafsi>r alJala>lain daripada tafsir lain. Argumen ini menjadi semakin masuk
akal jika mempertimbangkan fakta bahwa Singkel juga mengambil
Fath} al Wahha>b karya Zakaria al-Ans}a>ri> sebagai sumber
utama bagi karya fiqh-nya Mir’at al-T}ulla>b. Kecenderungannya
untuk bersandar pada karya dari para ulama’ dalam jaringan ulama’
Haramayn juga tampak jelas dalam karyanya dibidang kalam dan
tasawuf.19
Dalam pandangan penulis, pilihan Singkel terhadap Tafsi>r alJala>lain bukan semata-mata karena keterikatan sanad Singkel
dengan penulisnya, tetapi lebih karena karakter tafsir ini yang
sederhana, jelas, dan ringkas, sehingga cocok untuk para pemula.
Apalagi jika mengingat kondisi masyarakat Indonesia di abad ke-17.
Memilih tafsir yang rumit yang membutuhkan tingkat intelektual
tinggi, bukanlah pilihan yang tepat. Sasaran yang hendak dicapai
untuk menyebarkan ajaran Islam akan sulit dicapai. Disamping itu
Tafsi>r al-Jala>lain adalah tafsir yang tidak mengungkit-ungkit
persoalan khilafiyah, sehingga sangat tepat disajikan pada
masyarakat yang masih belum maju secara intelektual. Alasan
tersebut menjadi semakin kuat jika mengingat bahwa Singkel
dikenal sebagai seorang ulama’ sufi yang “mestinya” lebih memilih
tafsir bercorak sufi sebagai rujukan utamanya.

Peter Riddel, “Earliest Qur’anic Exegetical Activity in the Malay Speaking
States”, archipel 39, 1989, h. 112-28.
19
Azra, Jaringan, 248
18

6

Lebih jauh lagi, meskipun Tafsir al-Jala>lain sering dianggap
hanya memberikan sedikit sumbangan pada perkembangan tradisi
tafsir al-Qur’an, ia merupakan tafsir al-Qur’an yang sangat bagus.
Disamping penjelasannya ringkas dan jelas, di dalamnya disebutkan
pula asba>b al-nuzu>l ayat-ayat yang sangat membantu
pemahaman lebih sempurna atas penafsiran yang dikemukakan.
Dengan ciri-ciri ini Tafsi>r al-Jala>lain merupakan teks pendahuluan
yang bagus untuk orang-orang yang baru mempelajari tafsir. Dalam
menerjemahkannya
kedalam
bahasa
Melayu,
Singkel
menjadikannya sederhana dan mudah dipahami orang Melayu pada
umumnya. Dia menerjemahkan Tafsi>r al-Jala>lain kata per kata,
dan menahan dirinya untuk tidak memberikan tambahan-tambahan
dari dirinya sendiri. Bahkan dia menghapuskan penjelasan tata
bahasa Arab dan penafsiran panjang yang mungkin dapat
mengalihkan perhatian pembacanya. Jadi jelaslah tujuannya adalah
agar supaya karyanya dapat dipahami dengan mudah oleh para
pembacanya dan karenanya, dapat menjadi petunjuk praktis dalam
kehidupan mereka.20
Sebagai tafsir paling awal, tidak heran jika tafsir ini beredar luas
di wilayah
Melayu-Indonesia. Bahkan edisi tercetaknya dapat
ditemukan di kalangan komunitas Melayu Afrika Selatan. Salinan
paling awal yang kini masih ada berasal dari akhir abad ke-17 dan
awal abad ke-18. Yang lebih penting lagi, edisi tercetaknya
diterbitkan tidak hanya di Singapura, Penang, Jakarta, dan Bombay,
tapi juga di Timur Tengah. Di Istanbul, ia diterbitkan oleh Mathba’ah
al-Utsmaniayh pada tahun 1302/1884. Demikian juga di Kairo serta
Makkah. Kenyataan bahwa Tarjuma>n al-Mustafi>d diterbitkan di
Timur Tengah pada masa yang berbeda mencerminkan nilai tinggi
karya ini serta ketinggian intelektual Singkel. Edisi terakhirnya
diterbitkan di Jakarta pada tahun 1981.
Singkel dan Kepeloporannya di Bidang Tafsir
Kedudukan penting Singkel bagi perkembangan Islam di
Nusantara tak terbantah dalam bidang tafsir. Dia –sebagaimana
dikemukakan di awal--adalah alim pertama di bagian Dunia Islam ini
yang bersedia memikul tugas besar mempersiapkan tafsir lengkap
Al-Qur’an dalam bahasa Melayu dan karya tafsirnya merupakan
tafsir pertama yang diperoleh naskahnya secara utuh. Sementara
berbagai tafsir lainnya yang ditulis pada masa tersebut masih
dilakukan sepotong-sepotong.
Namun demikian, sering muncul pertanyaan, benarkah Singkel
adalah penulis tafsir Indonesia pertama di negeri ini ? Dan benarkah
Tafsi>r Tarjuma>n al-Mustafi>d adalah kitab tafsir pertama yang
berbahasa Indonesia (Melayu)? Bukankah tafsir tersebut hanya hasil
terjemahan dari tafsir yang sudah ada, yaitu Tafsi>r al-Jala>lain dan
menggunakan bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia ?
Departemen Agama sendiri dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya
20

Ibid., 249

7

memasukkan kitab ini sebagai sebuah karya terjemahan, bukan
karya tafsir.21
Pendapat tersebut benar adanya. Namun demikian, pekerjaan
penerjemahan itu besar jasanya sebagai pekerjaan perintis jalan. Ia
menjadi sangat istimewa karena dikerjakan pada abad XVII M dan
merupakan karya pelopor di bidangnya. Berbeda halnya bila
dikerjakan pada masa sekarang. Apalagi jika mengingat pada masa
itu pengajaran Al-Qur’an baru sampai pada taraf bagaimana cara
memperkenalkan dan mengajarkan cara membaca Al-Qur’an yang
baik dan benar. Kalaupun ada yang lebih dari itu adalah pelajaran
tajwid dan membaca tafsir berbahasa Arab dengan mengambil
tempat di surau, langgar atau meunasah, yang pada masa
sesudahnya berkembang juga di madrasah. Dari sisi ini maka
Singkel betul-betul telah berpikir maju melebihi zamannya.
Sedangkan bahasa Melayu yang digunakan Singkel tidaklah menjadi
masalah karena bahasa ini adalah salahsatu bahasa yang
berkembang di Indonesia, khususnya Sumatra dan menjadi
penyumbang terbesar dalam bangunan bahasa Indonesia modern. 22
Disamping itu, Singkel tidak semata-mata menerjemahkan Tafsi>r
al-Jala>lain secara apa adanya, melainkan juga merujuk kepada
karya-karya tafsir lain.
Karena itu, mustahil bagi kita mengabaikan peranan Singkel
dalam sejarah Islam, khususnya study tafsir di Nusantara. Johns
mengemukakan bahwa “karya Singkel (Tarjuma>n al-Mustafi>d )
dalam banyak hal merupakan suatu petunjuk dalam sejarah
keilmuan Islam di Tanah Melayu”. Ia banyak memberikan
sumbangan kepada telaah tafsir Al-Qur’an di Nusantara. Ia
meletakkan dasar-dasar bagi sebuah jembatan antara terjemah dan
tafsir dan karenanya mendorong telaah lebih lanjut atas karya-karya
tafsir dalam bahasa Arab. Selama hampir tiga abad, Tarjuma>n alMustafi>d merupakan satu-satunya terjemahan lengkap Al-Qur’an
di Tanah Melayu. Baru dalam beberapa puluh tahun terakhir muncul
tafsir-tafsir baru di wilayah Melayu Indonesia. Namun perkembangan
terakhir ini tidak lantas berarti bahwa Tarjuma>n al-Mustafi>d
kehilangan daya tariknya. Karya ini memainkan peranan penting
dalam memajukan pemahaman lebih baik atas ajaran-ajaran
Islam.23
Penutup
Abdurra’uf Singkel, seorang ulama’ terkemuka dari Aceh yang
masuk dalam jaringan ulama’ Haramayn, mempunyai peranan
penting dalam study tafsir di Indonesia. Dia adalah orang pertama
di dunia Melayu yang berjasa mempersiapkan tafsir lengkap dalam
bahasa Melayu. Lewat karya tafsirnya Tarjuma>n al-Mustafi>d,
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Mujamma’
Khadim al-Haramain, 1412H), 36
22
Abror, “Potret”, 192
23
John AH, “Quranic Exegesis in The Malay World: In Search of a Profile” dalam
Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an, Oxford: Clarendon
Press, 1988, h. 264 sebagaimana dikutip Azra, Jaringan, 249-50.
21

8

Singkel menempatkan dirinya pada posisi yang sangat penting bagi
sejarah pertumbuhan dan perkembangan tafsir di Indonesia.
Terlepas apakah karyanya “hanyalah” sebuah karya
terjemahan, atau sebuah karya tafsir, karya tersebut merupakan
sebuah karya pelopor, yang karena itu tidak bisa diabaikan oleh
siapapun. Lewat karyanya itu Singkel telah membuka jalan bagi
penulisan tafsir di Indonesia. Dengan dicetaknya karya ini di
berbagai belahan dunia, dalam masa yang berbeda-beda
menunjukkan bahwa karya ini memiliki tempat yang penting, bukan
hanya di Indonesia, tetapi di dunia Islam.

9

10