Tugas Psikologi Agama peran kecerdasan (1)

Bab I
Pendahuluan
Dengan kepercayaan umat islam bahwa al-Quran dan as-sunah merupakan
sumber ilmu pengetahuan, maka dasar dari psikologi agama adalah al-quran dan assunah. Sebagaimana Firman Allah SWT:

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
keadaan kamu sekarang ini , sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari
yang baik (mu'min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu
hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara
rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya. dan jika
kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (QS. Ali 'Imran :
179)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami
di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka
bahwa Al Quraan itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu
menjadi saksi atas segala sesuatu?”(QS. Al- Fushshilat : 53)

Dalam sabda Nabi SAW :
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan
tersesat selagi kamu berpegangan teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah
dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Malik)

Ada dua alasan mendasar mengapa kita perlu menghadirkan psikologi islami
atau psikologi agama. Alasan yang paling utama adalah karena islam mempunyai
pendangan-pandangan sendiri tentang manusia. Al-quran, sumber utama agama islam,
adalah kitab petunjuk, didalamnya banyak terdapat rahasia mengenai manusia. Allah

sebagai pencipta manusia, tentu tahu secara nyata dan pasti tentang siapa manusia.
Lewat al-quran, allah memberitahukan rahasia-rahasia tentang manusia. Karenanya,
kalau kita ingin tahu manusia lebih nyata dan sungguh-sungguh, maka al-quran
adalah sumber yang selayaknya dijadikan acuan utama.
Psikologi agama tidak menyinggung persoalan yang menyangkut masalah
aqidah atau pokok-pokok keyakinan suatu agama. Demikian juga masalah yang
berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib, seperti tuhan dan sifat-sifatnya.
Surga dan neraka dengan latarbelakang kehidupan didalamnya.
Dalam hubungan dengan masalah tersebut, psikologi agama hanya mampu
meneliti mengenai bagaimana sikap batin seseorang terhadap keyakinannya kepada
tuhan, hari kemudian, dan masalah ghaib lainnya. Juga bagaimana keyakinan tersebut
mempengaruhi penghayatan batinnya, sehingga menimbulkan berbagai perasaan
seperti tentram, tenang, pasrah dan sebagainya.
A. Psikologi Agama dan Cabang Psikologi
Para ilmuan barat menganggap filsafat sebagai induk dari segala ilmu. Sebab

filsafat merupakan tempat berpijak kegiatan keilmuan (Jujun S. Suriasumanteri,
1990:22). Dengan demikian, psikologi termasuk ilmu dari cabang filsafat. Dalam
kaitan ini, psikologi agama dan cabang psikologi yang lainnya tergolong disiplin ilmu
ranting dari filsafat.
Sebaliknya jika psikologi dinilai sebagai disiplin ilmu yang otonom yang
kemudian darinya berkembang berbagai disiplin ilmu cabangnya, maka psikologi
agama dapat disebut sebagai cabang psikologi. Oleh karena itu, sebutan psikologi
agama sebagai ilmu cabang dari psikologi agaknya dapat diterima. Sehubungan
dengan hal itu, maka pemahaman psikologi agama dan cabang psikologi seperti yang
dimaksut dengan pembahasan berikut adalah menurut pendekatan terakhir.
Psikologi secarah umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang
berkaitan dengan pikiran (cogmisi), perasaan (emotion) dan kehendak (conasi) gejala
tersebut secara umum memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa,
normal dan beradab. Dengan demikian gejala pokok tersebut dapat diamati melalui
sikap dan prilaku manusia. Namun terkadang ada di antara pernyataan dalam aktifitas

yang tampak itu merupakan gejala campuran sehingga para ahli psikilogi
menambahnya hingga menjadi empat gejala jiwa utama yang dipelajari psikologi,
yaitu pikiran, perasaan, kehendak, dan gejala campuran. Adapun yang termasuk
gejalah campuran seperti intelegensi, kelelahan maupun sugesti.

Setelah lahirnya cabang-cabang psikologi dan kemudian menjadi disiplin
ilmuyang otonom, pengembangannya tidak berhenti. Sebagai ilmu terapan,
tampaknya psikologi berkaitan erat dengan kehidupan manusia secara pribadi
maupun dengan lingkungan sosialnya. Kenyataan ini selanjutnya melahirkan cabangcabang lagi menjadi psikologi keperibadian dan psikologi sosial.
Psikologi sebagai ilmu terapan (applied science) berkembang sejalan dengan
kegunaannya. Dengan demikian, psikologi yang diakui sebagai disiplin yang mandiri
sejak tahun 1879 ini ternyata telah memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam
memecakan berbagai problema dan menguak misteri hidup manusia serta
mengupayakan peningkatan sumber daya manusia (Djamaliddin Ancok, 1994:1).
Kajian-kajian yang khusus mengenai agama melalui pendekatan psikologis ini
sejak awal-awal abad ke-19 menjadi kian berkembang, sehingga para ahli psikologi
yang bersangkutan melalui karya mereka telah membuka peranan baru dalam kajian
psikologi, psikologi agama. Pernyataan ini setidak-tidaknya menginformasikan,
bahwa sebagai cabang psikologi, maka psikologi agama dianggap semakin penting
dalam mengkaji tingkah laku agama.
B. Pengertian Psikologi Agama
Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari gejala manusia yang normal, dewasa dan beradab.
Objek psikologi adalah tingkah laku manusia atau gejala kejiwaan.
Menurut Robert H. Thouless, Psikologi sekarang dipergunakan secara umum

untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia ( 1992 : 13).
Sedangkan pengertian Agama adalah pengakuan terhadap adanya hubungan
manusia dengan manusia, dengan kekuatan ghoib yang mana harus kita akui dan
patuhi, atau pengakuan terhadap ajaran-ajaran yang diwahyukan tuhan kepada
manusia melalui seorang rosul. ( Harun Nasution : 10).


Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, psikologi agama yaitu ilmu yang meneliti
kehidupan beragama pada seseorang untuk mempelajari berapa besar pengaruh
keyakinan agama itu dalam sikap tingkah laku kehidupan pada umumnya.



Menurut robert thouless, psikologi agama yaitu ilmu yang bertujuan
mengembangkan pemahaman terhadap perilaku
keagamaan dengan
mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap
perilaku bukan keagamaan saja.

Dengan penjelasan ini maka kita dapat menyimpulkan bahwa psikologi agama

yaitu ilmu yang mempelajari gejala manusia yang normal, dewasa yang
berhubungan dengan pengakuan hubungan batin dan kejiwaan terhadap ajaranajaran yang dibawa oleh rosul sehingga menjadikan orang tersebut beradab.
C.

Ruang Lingkup dan Kegunaannya
Sebagai disiplin ilmu yang otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup
pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari
masalah agama yang lainnya. Sebagai contoh, dalam tujuannya psikologi agama dan
ilmu perbandingan agama memililiki tujuan yang tak jauh berbeda, yakni
mengembangkan pemahaman terhadap agama dengan mengaplikasikan metodemetode penelitian yang bertipe bukan agama dan bukan teologis. Bedanya adalah,
bila ilmu perbandingan agama cenderung memusatkan perhatiannya pada agamaagama primitif dan eksotis tujuannya adalah untuk mengembangkan pemahaman
dengan memperbandingkan satu agama dengan agama lain-lainnya. Sebaliknya
psikologi agama, seperti pernyataan Robert H. Thouless, memusatkan kajiannya pada
agama yang hidup dalam budaya suatu kelompok atau masyarakat itu sendiri.
Kajiannya terpusat pada pemahaman terhadap perilaku keagaman tersebut dengan
menggunakan pendekatan psikologi (Robert H. Thouless: 25).
Lebih lanjut, Prof. Dr. Zakiah menyatakan bahwa lapangan penelitian
psikologi agama mencakup proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama
dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan
(terhadap suatu agama, yang dianut-pen). Oleh karena itu, menurut Zakiah Daradjat,

ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi kajian
mengenai:

1. Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai
kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tenteram sehabis
sembahyang, rasa lepas dari ketegangan batin sesudah berdoa atau membaca ayatayat suci, perasaan tenang, pasrah, dan menyerah setelah berzikir dan ingat kepada
Allah ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
2. Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap
Tuhannya, misalnya rasa tenteram dan kelegaan batin.

3. Mempelajari, meneliti, dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup
sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
4. Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang
berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi
pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5. Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayatayat suci kelegaan batinnya.
Semuanya itu menurut Zakiah Dardjat tercakup dalam kesadaran agama
(religious counsciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Yang
dimaksud dengan kesadaran agama adalah bagian/segi agama yang hadir (terasa)
dalam pikiran yang merupakan aspek mental dan aktivitas agama. Sedangkan

pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan
yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliyah).
Karenanya, psikologi agama tidak mencampuri segala bentuk permasalahan yang
menyangkut pokok keyakinan suatu agama, termasuk tentang benar salahnya atau
masuk akal dan tidaknya keyakinan agama (Zakiah Daradjat: 12-15). Tegasnya
psikologi agama hanya mempelajari dan meneliti fungsi-fungsi jiwa yang memantul
dan memperlihatkan diri dalam perilaku dalam kaitannya dengan kesadaran dan
pengalaman agama manusia. Ke dalamnya juga tidak termasuk unsur-unsur
keyakinan yang bersifat abstrak (gaib) seperti tentara Tuhan, surga dan neraka,
kebenaran sesuatu agama, kebenaran kitab suci dan lainnya, yang tak mungkin teruji
secara empiris.
Dengan demikian, psikologi agama menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat adalah
mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam
kelakuan dan tindak agama orang itu dalam hidupnya (Zakiah Daradjat: 15).
Persoalan pokok dalam psikologi agama adalah kajian terhadap kesadaran agama dan
tingkah laku agama, kata Robert H. Thouless. Atau kajian terhadap tingkah laku
agama dan kesadaran agama (Robert H. Thouless: 11).
Seperti diketahui bahwa psikologi agama sebagai salah satu cabang dari
psikologi juga merupakan ilmu terapan. Psikologi agama sejalan dengan ruang
lingkup kajiannya telah banyak memberi sumbangan dalam memecahkan persoalan

kehidupan manusia dalam kaitannya dengan agama yang dianutnya. Kemudian
bagaimana rasa keagamaan itu tumbuh dan berkembang pada diri seseorang dalam
tingkat usia tertentu, ataupun bagaimana perasaan keagungan itu dapat
mempengaruhi ketenteraman batinnya, maupun berbagai konflik yang terjadi dalam
diri seseorang hingga ia menjadi lebih taat menjalankan ajaran agamanya atau
meninggalkan ajaran itu sama sekali.

Hasil kajian psikologi agama tersebut ternyata dapat dimanfaatkan dalam
berbagai lapangan kehidupan seperti dalam bidang pendidikan, psikoterapi dan
mungkin pula dalam lapangan lainnya dalam kehidupan. Bahkan sudah sejak lama
pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan hasil kajian psikologi agama untuk
kepentingan politik. Pendekatan agama yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje
terhadap para pemuka agama dalam upaya mempertahankan politik penjajahan
Belanda di tanah air, barangkali dapat dijadikan salah-satu contoh kegunaan psikologi
agama.
Di bidang industri juga psikologi agama dapat dimanfaatkan. Sekitar tahun
1950-an di perusahaan minyak Stanvac (Plaju dan Sungai Gerong) diselenggarakan
ceramah agama Islam untuk para buruhnya. Para penceramah adalah para pemuka
agama setempat. Kegiatan berkala ini diselenggarakan didasarkan atas asumsi bahwa
ajaran agama mengandung nilai-nilai moral yang dapat menyadarkan para buruh dari

perbuatan yang tak terpuji dan merugikan perusahaan. Sebaliknya dari hasil kegiatan
tersebut dievaluasi, dan ternyata pengaruh ini dapat mengurangi kebocoran seperti
pencurian, manipulasi maupun penjualan barang-barang perusahaan yang sebelumnya
sukar dilacak.
Sebaliknya sekitar tahun 1979, perusahaan tekstil di Majalaya pernah
melarang buruhnya menunaikan shalat Jumat. Menurut pimpinan perusahaan waktu
istirahat siang dan shalat Jumat mengurangi jumlah jam kerja dan akan mengurangi
produksi. Tetapi setelah larangan dilaksanakan, dan buruh dipaksakan tetap bekerja,
ternyata produksi menurun secara drastis. Di sini terlihat hubungan antara tingkat
produksi dan etos kerja yang ada kaitannya dengan kesadaran agama.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas, Jepang ternyata menggunakan
pendekatan psikologi agama dalam membangun negaranya. Bermula dari mitos
bahwa Kaisar jepang adalah titisan Dewa Matahari (Amiterasu Omikami), mereka
dapat menumbuhkan jiwa Bushido, yaitu ketaatan terhadap pemimpin. Mitos ini telah
dapat membangkitkan perasaan agama para prajurit Jepang dalam Perang Dunia II
untuk melakukan Harakiri (bunuh diri) dan ikut dalam pasukan Kamikaze (pasukan
berani mati). Dan setelah usai Perang Dunia II, jiwa Bushido tersebut bergeser
menjadi etos kerja dan disiplin serta tanggung jawab moral.
Dalam banyak kasus, pendekatan psikologi agama, baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat digunakan untuk membangkitkan perasaan dan

kesadaran agama. Pengobatan pasien di rumah-rumah sakit, usaha bimbingan dan
penyuluhan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan banyak dilakukan dengan
menggunakan psikologi agama ini. Demikian pula dalam lapangan pendidikan
psikologi agama dapat difungsikan pada pembinaan moral dan mental keagamaan
peserta didik.

D.

Psikologi Agama dan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam di sini diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan oleh
mereka yang memiliki tanggung jawab terhadap pembinaan, bimbingan,
pengembangan serta pengarahan potensi yang dimiliki anak agar mereka dapat
berfungsi dan berperan sebagaimana hakikat kejadiannya. Jadi dalam pengertian ini
pendidikan Islam tidak dibatasi oleh institusi (kelembagaan) ataupun pada lapangan
pendidikan tertentu. Pendidikan Islam diartikan dalam ruang lingkup yang luas.
Adapun dimaksud yang bertanggung jawab dalam pengertian ini adalah orang
tua. Sedangkan para guru atau pendidik lainnya adalah merupakan perpanjangan
tangan para orangtua. Maksudnya, tepat tidaknya para guru atau pendidik yang dipilih
oleh orang tua untuk mendidik anak mereka sepenuhnya menjadi tanggung jawab
para orang tua. Maka pendidikan Islam meletakkan dasarnya adalah pada rumah

tangga. Seiring dengan tanggung jawab itu, maka para orang tua dan para guru dalam
pendidikan Islam berfungsi dan berperan sebagai pembina, pembimbing,
pengembang serta pengarah potensi yang dimiliki anak agar mereka menjadi
pengabdi Allah yang taat dan setia, sesuai dengan hakikat pencipta manusia (QS
51:56) dan juga dapat berperan sebagai khalifah Allah dalam kehidupan di dunia (QS
2:30). Selain itu dalam pelaksanaannya aktivitas pendidikan seperti itu diterapkan
sejak usia bayi dalam buaian hingga ke akhir hayat, seperti tuntunan Rasul Allah Saw.
Pendidikan Islam dalam konteks pengertian seperti yang dianjurkan Rasul
Allah Saw. inilah yang dimaksud dengan pendidikan Islam dalam arti yang
seutuhnya. Dalam kaitan ini, pendidikan Islam erat kaitannya dengan psikologi
agama. Bahkan psikologi agama digunakan sebagai salah-satu pendekatan dalam
pelaksanaan pendidikan Islam. Ada beberapa contoh mengenai bagaimana hubungan
antara psikologi agama dan pendidikan Islam di awal-awal perkembangan agama ini.
Pada suatu hari, Rasul Allah Saw. didatangi seorang laki-laki yang masih
awam tentang Islam. Laki-laki tersebut menanyakan tentang kewajiban Islam yang
harus dipatuhi oleh penganutnya. Rasul Allah Saw menjelaskan kelima prinsip
(rukun) Islam kepada laki-laki dimaksud. Setelah mendengar penjelasan itu, maka
orang tadi mengatakan kepada Rasul: “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau
mengurangi”. Dan setelah orang tersebut berlalu, maka Rasul menyatakan, bahwa
jika laki-laki itu konsisten dengan apa yang dikatakannya, maka ganjarannya adalah
surga. (Bukhari, 19).
Kali yang lain, Rasul Allah Saw. sedang menunaikan shalat. Saat beliau sujud,
cucu beliau naik ke panggung kakek mereka. Merasakan hal itu, maka Rasul Allah
Saw. memperlambat sujud beliau, dan baru bergerak setelah kedua cucu beliau turun.

Rasul Allah Saw. memperpanjang sujud untuk memberi kesempatan kepada cucu
beliau turun hingga tidak mecederakan mereka. (Bukahari).
Setelah mencapai usia kanak-kanak, Hasan dan Husein pernah dihadapkan
pada seorang dewasa yang keliru dalam berwudhu. Kedua cucu Rasul Saw. tersebut
tidak menegur orang tadi, walaupun mereka berdua sudah tahu bagaimana tata cara
berwudhu yang benar. Menegur langsung, bagaimanapun kurang etis, apalagi
terhadap orang yang lebih tua.
Dalam situasi yang seperti itu Hasan dan adiknya Husein menggunakan
pendekatan yang tepat untuk memberitahukan kekeliruan laki-laki yang dihadapinya,
tanpa menyinggung perasaan yang bersangutan. Mereka berdua kemudian pura-pura
mengadakan perlombaan cara berwudhu yang benar.
Lelaki yang berada di samping mereka kemudian tertegun dan setelah melihat
cucu Rasul Allah Saw. sibuk dengan cara mereka berwudhu yang disertai dengan
dialog antara keduanya, sadarlah ia bahwa apa yang dilakukannya adalah keliru.
Sadar akan kekeliruannya itu, maka laki-laki tersebut minta ditunjukkan cara
berwudhu yang sebenarnya.
Contoh ini merupakan realisasi dari anjuran Rasul Allah Saw. sendiri, agar
dalam memberikan pendidikan harus disesuikan dengan kadar kemampuan atau nalar
seseorang. Dengan demikian, dalam menghadapi orang yang masih awam terhadap
agama berbeda dengan menghadapi mereka yang sudah memiliki latar belakang
pendidikan agama. Sebaliknya menghadapi orang dewasa harus dibedakan dengan
cara menghadapi anak-anak dalam mengajarkan agama. Didiklah anak-anakmu
dengan cara belajar sambil bemain atau bergurau pada tujuh tahun pertama usia
mereka, dan pada tujuh tahun kedua didiklah mereka dengan disiplin dan moral,
kemudian pada tujuh tahun ketiga didiklah mereka dengan memperlakukan mereka
sebagai sahabat, setelah itu baru lepaskan mereka mandiri (Muhammad Munir
Mursyi, 1989:32).
Pendekatan psikologi agama dalam pendidikan Islam ternyata telah dilakukan
di periode awal perkembangan Islam itu sendiri. Fungsi dan peran kedua orang tua
sebagai teladan yang terdekat kepada anak telah diakui dalam pendidikan Islam.
Bahkan agama dan keyakinan seorang anak dinilai sangat tergantung dari keteladanan
para orang tua mereka. Tak mengherankan jika Sigmund Freud (1856-1939)
menyatakan bahwa keberagamaan anak terpola dari tingkah laku bapaknya.
Seorang bapak yang pemabuk dan sering memperlakukan anaknya dengan
kasar akan membekas pada diri anak, termasuk sikapnya terhadap agama. Demikian
pula seorang bapak yang taat beragama serta memperlakukan anak-anaknya dengan

kasih sayng juga akan membekas pada diri anak tersebut. Pengaruh ini oleh Sigmund
Freud disebut citra bapak (father image). Baik buruknya citra bapak akan ikut
mempengaruhi sikap keagamaan pada anak.
Jika kesadaran terhadap pengaruh bapak terhadap keberagamaan anak baru
diungkapkan oleh ahli psikologi agama (Barat) sekitar awal abad ke-20, maka jauh
sebelum itu Islam telah menerapkannya dalam kehidupan rumah tangga. Bahkan
menurut pendidikan Islam, bukan hanya bapak, melainkan juga ibu ikut memberi
citra pada keberagamaan anak-anak mereka. Bermula dari tuntunan Al-quran yang
memuat pesan Luqman al-Hakim kepada anaknya: Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah merupakan
kezaliman yang amat besar. (QS 31: 12).
Dalam informasi Al-quran ini terungkap bagaimana seharusnya seorang bapak
menuntun dan membimbing anak-anak mereka mereka mengenal Tuhannya. Anak
mengenal Tuhan melalui bimbingan orang tua mereka. Kemudian upaya
membimbing pengenalan terhadap Tuhan dan agama hendaknya dilakukan dengan
penuh kasih sayang. Tidak dengan perintah, melainkan melalui keteladanan orang tua.
Diceritakan bahwa al-Aqra’ ibn Habis pernah menyatakan keheranannya
terhadap perlakuan Rasul Allah Saw. kepada Fathimah puteri beliau. Menurut alAqra’, ia mempunyai anak sepuluh orang tetapi tak satu pun di antaranya yang pernah
ia perlakukan seperti yang diperbuat Rasul Allah kepada Fathimah, yaitu mencium
puteri beliau dengan penuh kasih sayang.
Pernyataan al-Aqra’ ibn Habis dijawab Rasul Allah Saw. bahwa Allah telah
mencabut rasa kasih sayang dari hati al-Aqra’. Bahkan Rasul Allah Saw. menyatakan:
“Siapa yang tidak memiliki rasa kasih sayang, maka tidak akan memperoleh kasih
sayang”. Bahkan menurut anjuran beliau: “Orang yang penuh kasih sayang akan
dikasihi oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena itu sayangilah
segala yang ada di bumi maka yang di langit (Allah) akan menyayangimu”.
Mencium anak seperti, yang diteladankan oleh Rasul, merupakan bagian dari
pendidikan Islam yang diteladankan beliau kepada umatnya. Sebagai contoh bagi
para orang tua.
Dalam pandangan Islam, sejak dilahirkan, manusia telah dianugerahkan
potensi keberagamaan. Potensi ini baru dalam bentuk sederhana, yaitu berupa
kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi kepada sesuatu. Agar kecenderungan
untuk tunduk dan mengabdi ini tidak salah, maka perlu adanya bimbingan dari luar.
Secara kodrati orang tua merupakan pembimbing pertama yang mula-mula dikenal

anak. Oleh karena itu, Rasul Allah Saw. menekankan bimbingan itu pada tanggung
jawab kedua orang tua.
“Setiap bayi dilahirkan dalam fitrahnya (potensi keberagamaan), maka kedua
orang tuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Majusi, Yahudi, atau Nasrani,”
sabda Rasul Allah Saw. Pernyataan ini mengindikasikan, bahwa pngaruh bimbingan
ibu-bapa memiliki peran strategis dalam membentuk jiwa agama pada diri anak.
Demikian pentingnya pengaruh bimbingan itu, hingga dikaitkan dengan akidah.
Sebab bila dibiarkan berkembang dengan sendirinya, maka potensi keberagamaan
pada anak akan salah arah. Kecenderungan untuk tunduk kepada sesuatu, dapat saja
diarahkan kepada yang salah.
Kajian ilmiah, terutama sejarah, psikologi, maupun antropologi budaya
mengungkapkan adanya kecenderungan untuk tunduk itu pada manusia. Pada suku
bangsa primitif ketundukan itu ditujukan kepada benda-benda alam, roh leluhur.
Sedangkan pada bangsa modern, ketundukan tersebut disalurkan kepada tokoh yang
dikagumi. Kultus individu atau sikap fanatis terhadap isme-isme tertentu, tampaknya
tak jauh berbeda dari apa yang dilakukan suku-suku primitif.
Sejarah mencatat, bagaimana orang memuja dan mengkultuskan Adolf Hitler,
tokoh Nazi Jerman. Begitu pula yang dilakukan masyarakat China terhadap Mao Tse
Tung di zaman komunis berkuasa di negara ini. Masyarakat Rusia memuja Stalin,
sedangkan orang Jepang menganggap Kaisar mereka sebagai titisan Dewa Matahari
(Amiterasu Omi Kami). Bahkan secara umum, di zaman modern sekalipun masih
tersisa keyakinan terhadap tokoh pujian ini. Gerakan mesionisme dan ratu adil,
merupakan bagian dari kecenderungan (motif) ketundukan ini.
Ternyata manusi akan sesat, bila potensi keberagamaan yang dimilikinya tidak
dibimbing ke arah yang benar. Untuk itu pula Tuhan mengutus Rasul-Nya. Risalah
kenabian merupakan pedoman bagi manusia, dan bimbingan yang paling absah.
Dengan mempedomaninya, manusia akan terbimbing untuk menyalurkan
keberagamaannya, yakni tunduk kepada Tuhan sang Maha Pencipta. Tidak kepada
yang lain.
Demikian pentingnya bimbingan itu, hingga Rasul Allah Saw. menegaskan
sebagai tanggung jawab kedua orang tua. Para orang tua dibebankan tanggung jawab
untuk membimbing potensi keagamaan (fithrah) anak-anak mereka, agar terbentuk
menjadi nyata dan benar. Diharapkan pada diri mereka terbentuk kesadaran agama
(religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Anak-anak
diberi bimbingan agar tahu dan memahami, kepada “siapa” mereka wajib tunduk dan
bagaimana tata cara sebagai bentuk pernyataan dari sikap tunduk tersebut.

Pembentukan jiwa keagamaan pada anak diawali sejak ia dilahirkan.
Kepadanya diperdengarkan kalimat tauhid, dengan mengumandangkan azan ke
telinga kananannya dan iqamat ke telinga kirinya. Lalu pada usia ketujuh hari
(sebaliknya) sang bayi diaqiqahkan, dan sekaligus diberi nama yang baik, sebagai doa
dan titipan harapan orang tua agar anaknya menjadi anak yang saleh. Di samping itu,
kepada anak diberikan makanan yang bergizi dan halal. Pada periode perkembangan
selanjutnya, anak diperlakukan dengan kasih sayang, serta dibiasakan pada perkataan,
sikap dan perbuatan yang baik melalui keteladanan kedua orang tuanya.
Rasul Allah Saw. tampaknya sangat paham benar, tentang adanya hubungan
timbal balik antara jiwa (psycho) dengan tubuh (soma). Demikian pula mengenai
hubungan antara biokimia dengan jiwa dan raga. Juga tentang pengaruh suara dengan
pembentukan hati nurani. Semuanya itu terangkai dalam formulasi dan konsep ajaran
yang diamanatkan kepada para orang tua, dalam memberi bimbingan kepada anakanak mereka.
Dalam konsep ajaran Rasul Allah Saw. tampaknya pembentukan kesadaran
agama dan pengalaman agama, harus dilakukan secara simultan, sinergis dan utuh.
Makan dan minuman yang halal, berkaitan dengan pemurnian unsur biokimia tubuh
(soma) agar tetap sejalan dan terpeliharanya fithrah keagamaan. Kemudian azan dan
iqamah, mana yang baik serta aqiqah, berhubungan dengan pembentukan nilai-nilai
ketauhidan dalam jiwa (psycho). Lalu setelah anak mampu berkomunikasi, mereka
diperkenalkan dengan perlakuan kasih sayang (keteladanan).
Lebih lanjut, saat anak menginjak usia tujuh tahun, secara fisik mereka
dibiasakan untuk menunaikan shalat (pembiasaan). Kemudian setelah mencapai usia
sepuluh tahun, perintah untuk menunaikan shalat secara rutin dan tepat waktu
diperketat (disiplin). Pada jenjang usia ini pun anak-anak diperkenalkan kepada nilainilai ajaran agamnya. Diajarkan membaca Kitab Suci, sunnah Rasul, maupun ceritacerita yang bernilai pendidikan.
Bimbingan kejiwaan diarahkan pada pembentukan nilai-nilai imani.
Sedangkan keteladanan, pembiasaan, dan disiplin dititkberatkan pada pembentukan
nilai-nilai amali. Keduanya memiliki hubungan timbal balik. Dengan demikian,
kesadaran agama dan pengalaman agama dibentuk melalui porses bimbingan terpadu.
Hasil yang diharapkan adalah sosok manusia yang beriman (kesadaran agama), dan
beramal saleh (pengalaman agama).
Anak dibimbing untuk tunduk dan mengabdikan diri hanya kepada Allah,
sesuai dengan fithrahnya. Kemudian sebagai pembuktian dari pengabdian itu,
direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan aktivitas yang bermanfaat, sesuai dengan
perintah-Nya.

Sumber : Buku Psikologi Agama, Jalaluddin