c. asuransi syari’ah; d. reasuransi syari’ah; e. reksa dana syari’ah; f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; g. sekuritas syari’ah; h. pembiayaan syari’ah; i. pegadaian syari’ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan

  

HUKUM PERJANJIAN (AQAD) PERBANKAN

DAN JASA KEUANGAN SYARI’AH

  (Suatu Tinjauan Dari Sisi Hukum Islam Dan Operasional Perbankan Syari’ah)

Oleh : Drs H.Armia Ibrahim, S.H

   I. PENDAHULUAN

  Sebagaimana dimaklumi bahwa sejak disahkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kewenangan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dalam menangani perkara bertambah luas dengan dijadikannya penyelesaian

  Menurut penjelasan pasal 49 huruf i, yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:

  a. bank syari’ah; b. lembaga keuangan mikro syari’ah.

  c. asuransi syari’ah;

  d. reasuransi syari’ah;

  e. reksa dana syari’ah;

  f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;

  g. sekuritas syari’ah;

  h. pembiayaan syari’ah; i. pegadaian syari’ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k. bisnis syari’ah.

  Kewenangan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dalam mengadili sengketa ekonomi syari’ah diperkuat lagi dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, dimana dalam

  pasal 55 ayat (1) dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa Perbankan syari’ah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Namun demikian dengan adanya penjelasan pasal 55 ayat (2) dari Undang-undang tersebut yang 1 Ketua PTA Kendari, alumni TOT Ekonomi Syari’ah Angkatan I tahun 2013 di Bogor. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan aqad” adalah upaya: a). Musyawarah, b). mediasi perbankan c). melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain, dan/ atau d). melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, telah menimbulkan permasalahan besar dalam aplikasi di lapangan. Karena ternyata sebagian besar perbankan syari’ah di dalam aqadnya telah mencantumkan klausula “jika terjadi maka akan diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum”. Sehingga sejak lahir Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008, kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili sengketa ekonomi syari’ah, khusus tentang sengketa menyangkut perbankan syari’ah seperti telah menimbulkan titik singgung

  Hal tersebut baru dapat terselesaikan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 93/PUU-X/2012 tentang permohonan uji materil pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 yang diajukan oleh Ir.H.Dadang Achmad, yang mengabulkan permohonan pemohon sebagian dan menyatakan:

  1.1 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  1.2 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

  Oleh karena kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah tidak lagi akan berbagi dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka kemungkinan besar di masa mendatang kasus-kasus tentang sengketa ekonomi syari’ah semakin banyak diajukan ke pengadilan agama. Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah secara umum adalah mengacu kepada aqad yang dibuat sebelumnya antara para pihak yang bersengketa. Sehingga para hakim Pengadilan Agama dituntut untuk lebih mendalami seluk beluk perjanjian (aqad) dalam ekonomi syari’ah, terutama dalam perbankan dan jasa keuangan syari’ah.

  Atas dasar pemikiran tersebut di atas, penulis berusaha untuk mengupas dalam makalah ini secara ringkas perihal perjanjian (aqad) perbankan dan jasa keuangan syari’ah lainnya.

II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (AQAD)

  Berbicara tentang perjanjian (aqad) adalah berbicara tentang kesepakatan yang dibuat antara dua pihak dalam suatu perjanjian untuk melakukan atau berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Karena diperjanjikan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.

  Sebelum menjelaskan tentang berbagai jenis perjanjian (aqad) yang dikenal dalam fiqh Islam serta diimplementasikan dalam perbankan dan jasa keuangan syari’ah, kiranya perlu dijelaskan hal-hal umum yang terkait dengan perjanjian (kontrak) atau aqad dalam fiqh Islam dan dalam ekonomi syari’ah, sebagaimana diuraikan berikut ini.

  Pengertian perjanjian/aqad

  Perjanjian atau kontrak disebut juga “aqad” yang berasal dari bahasa Arab “al-Aqd” yang berarti perikatan, perjanjian, kontrak, permufakatan (al-ittifaq), atau transaksi. Kontrak adalah pertalian antara ijab dan kabul sesuai dengan kebenaran syariah yang menimbulkan akibat hukum pada objeknya. Jumhur ulama mendefinisikan aqad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Ijab adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak pertama) untuk menawarkan sesuatu. Qabul adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak kedua) untuk menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak pertama. Apabila antara ijab dan qabul yang dilakukan oleh kedua belah pihak saling berhubungan dan bersesuaian, maka terjadilah aqad di

  

  Dalam konteks Perbankan syari’ah, perjanjian atau disebut “aqad” diberi pengertian sebagai kesepakatan tertulis antara Bank Syari’ah atau Unit Usaha

2 Karnaen Perwataatmadja, Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Editor: Wirdyaningsih), Kencana, Jakarta, 2005, Hal 115-116.

  Syari’ah dan pihak lain yang memuat hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syari’ah. Yang dimaksud prinsip syari’ah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’a

   Menurut pasal 20 angka 1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES), yang

  dimaksud dengan aqad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertent

   Asas-asas berkontrak menurut konsepsi Fiqh

  Dalam suatu kontrak atau aqad, harus mengandung asas-asas berikut:

  1. Kebebasan;

  3. Kerelaan (ar-ridha) ;

  4. Keadilan (al-‘adalah); 5. Tertulis (al-kitabah). Di dalam Buku II Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dikenal 13 asas yang mendasari suatu aqad, yaitu sebagai berikut:

  1. Ikhtiyari/sukarela; setiap aqad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.

  2. Amanah/menepati janji; setiap aqad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cedera janji.

  3. Ikhtiyathi/kehati-hatian; setiap aqad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.

  4. Luzum/tidak berubah; setiap aqad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.

  5. Saling menguntungkan; setiap aqad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.

  6. Taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap aqad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

  3 Lihat pasal 1 angka 12 dan angka 13 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.

  4 Lihat Buku II Kompilasi Hukium Ekonomi Syari’ah, pasal 20 angka 1.

  7. Transparansi; setiap aqad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.

  8. Kemampuan; setiap aqad dilakukan sesuai kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.

  9. Taisir/kemudahan; setiap aqad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.

  10. Itikad baik; aqad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

  11. Sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh 12. Al-hurriyah (kebebasan berkontrak).

  

  Rukun dan syarat kontrak/aqad

  Rukun dan syarat kontrak/aqad, meliputi:

  1. Pihak yang melaksanakan kontrak (al-‘aqidain), yakni para pihak yang melakukan aqad sebagai suatu perbuatan hukum yang mengemban hak dan kewajiban. Syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang beraqad adalah harus

  

  2. Obyek kontrak (mahal al-aqd). Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam objek kontrak, adalah: a. Objek kontrak telah ada ketika aqad dilangsungkan;

  b. Objek kontrak dibenarkan oleh syari’ah;

  c. Objek kontrak harus jelas dan dikenali; d. Objek kontrak dapat diserahterimakan.

  3. Tujuan kontrak (maudhu’u al-aqd).

  

  Hal-hal yang dapat merusak kontrak/aqad adalah sebagai berikut:

  1. Keterpaksaan; 5 Lihat pasal 21 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (Buku II).

  6 Bandingkan pasal 23 ayat (2) KHES.

  7 Karnaen Perwataatmadja dkk. Op.Cit, hal. 116-124.

  2. Kekeliruan (al-ghalath);

  3. Penipuan (tadlis) dan tipu muslihat (taghrir);

  Berakhirnya kontrak

  Suatu kontrak/aqad akan berakhir karena hal-hal berikut:

  1. Terpenuhinya tujuan;

  2. Berakhir karena pembatalan (faskh);

  3. Putus demi hukum (infisah);

  4. Karena kematian (wafat); 5. Tidak adanya persetujuan (‘adam al-ijazah).

  Katagori Hukum Aqad: 1. Aqad yang sah; yaitu aqad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.

  2. Aqad yang fasad/dapat dibatalkan; yaitu aqad yang terpenuhi rukun dan syarat- syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak aqad tersebut karena pertimbangan maslahat.

  3. Aqad yang batal/batal demi hukum; yaitu aqad yang kurang rukun dan/atau

  

  Di samping itu dalam pasal 26 KHES ditegaskan bahwa aqad itu tidak sah apabila bertentangan dengan: a. Syari’at Islam;

  b. Peraturan perundang-undangan;

  c. Ketertiban umum; dan/atau d. Kesusilaan.

  

III. BENTUK-BENTUK AQAD DILIHAT DARI ADA ATAU TIDAK ADANYA

KONPENSASI:

  Dilihat dari ada atau tidak adanya konpensasi, fiqih muamalat membagi aqad menjadi dua bagian, yaitu:

1. Aqad Tabarruk; adalah segala macam perjanjian yang menyangkut not for

  profit tansaction (transaksi nirlaba). Pada hakikatnya aqad tabarru’ adalah aqad

  melakukan kebaikan yang mengharapkan balasan dari Allah Swt. Itu sebabnya 8 Lihat pasal 27 dan pasal 28 KHES. aqad ini tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersil. Transaksi ini prinsipnya adalah untuk tujuan kebaikan, non profit oriented, berupa meminjamkan harta atau jasa serta memberikan sesuatu. Jenis transaksinya adalah sebagai berikut:

  a. Meminjamkan harta, meliputi: 1) Meminjamkan harta berupa uang atau barang tanpa mensyaratkan apapun selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu

  (Qardh); 2) Meminjamkan harta dengan mensyaratkan suatu jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu sebagai agunan (Rahn);

  (Hawalah).

  b. Meminjamkan jasa, meliputi:

  a. Meminjamkan jasa pada saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain. Karena kita melakukan sesuatu atas nama orang lain yang kita bantu tersebut, sebenarnya kita menjadi wakil orang itu. Itulah sebabnya aqad ini diberi nama Wakalah; b. Wakalah dengan tugas tertentu, yaitu memberikan jasa penitipan atau pemeliharaan yang disebut Wadi’ah, yakni perjanjian antara pemilik barang (termasuk uang) dengan penyimpan (bank) dimana pihak penyimpan bersedia untuk menyimpan dan menjaga keselamatan barang atau uang yang dititipkan kepadanya

  

  c. Wakalah kontigensi (wakalah bersyarat), yaitu mempersiapkan diri untuk melakukan sesuatu apabila terjadi sesuatu (Kafalah).

  c. Memberikan sesuatu (hibah, sedeqah, wakaf, hadiah dan sebagainya

  

2. Aqad Tijarah atau disebut juga aqad mu’awadhah; yaitu segala macam

  perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Prinsipnya adalah untuk

  

9 Lihat pula, Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait BMI dan Takaful di

Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, Cet.III, hal.31

  10 Adiwarman A.Karim, Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2006 (edisi Ketiga)Hal. 66-67. bisnis, mencari keuntungan (profit oriented). Contohnya aqad-aqad investasi,

  

  Aqad tijarah berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, ada dua bentuk, yakni: a. Natural Certainty Contract (NCC), yaitu kontrak/aqad dalam bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Cash flow-nya bisa diprediksi dengan relative pasti, karena sudah disepakati oleh kedua belah pihak yang bertransaksi di awal aqad. Aqad ini

  

  Jenis transaksinya adalah:

  a) Murabahah; yakni penjualan barang seharga barang ditambah keuntungan yang disepakati oleh penjuan dan pembeli.

  b) Salam; yakni pembelian barang yang diserahkan di kemudian hadri,sedangkan pembayaran harganya dilakukan dimuka.

  c) Istishna’; yakni transaksi penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Jadi dalam transaksi ini pembuat barang menerima pesanan

  

  2) Ijarah (sewa), yang terdiri dari:

  a) Aqad ijarah untuk memanfaatkan jasa, baik jasa atas barang maupun jasa atas tenaga kerja. Bila digunakan untuk mendapatkan manfaat barang, maka disebut sewa-menyewa, sedangkan bila digunakan untuk mendapatkan tenaga kerja disebut upah-mengupah. Pada ijarah tidak terjadi perpindahan kepemilikan obyek ijarah, sebab obyek ijarah tetap menjadi milik yang menyewakan.

  b) Aqad ijarah muntahia bit-tamlik (IMBT), yaitu aqad ijarah yang membuka kemungkinan perpindahan kepemilikan atas obyek ijarahnya kepada penyewa di akhir transaksi, dengan dua cara:

  pertama, pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang

  disewakan tersebut pada akhir masa sewa. Kedua, pihak yang 11 Ibid, hal. 70.

  12 Ibid, hal. 51-52.

  

13 Bandingkan, Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001, hal. 101-113. menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan

  

  3) Sharf (pertukaran uang dengan uang) 4) Barter (pertukaran barang dengan barang).

  b. Natural Uncertainty Contract (NUC), yaitu kontrak/aqad dalam bisnis yang tidak memberikan kepastian pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktunya. Tingkat pengembaliannya bisa positif, negatif atau nol. Aqad ini

  

  Jenis transaksinya meliputi: 1) Musyarakah; yakni aqad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk kontribusi dana atau amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Musyarakah ini meliputi:

  a) Syirkah ‘Inan; yakni kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi keuntungan atau tanggungan kerugian, tetapi porsi masing-masing baik dalam dana ataupun kerja atau bagi hasil tidak harus sama.

  b) Syirkah Muwafadah; yakni kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak berbagi keuntungan atau kerugian secara sama.

  c) Syirkah Wujuh; yakni yakni kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi keuntungan atau kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra.

  14 Adiwarman A.Karim, Op.Cit., hal. 74

  15 Ibid. hal. 52 d) Syirkah Abdan atau disebut juga syirkah ‘amal; yakni kontrak kerjasama antara dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.

  e) Syirkah Mudharabah; yakni yakni kontrak kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama sebagai pemilik modal (shahibul

   IV. BENTUK-BENTUK AQAD DALAM KEGIATAN OPERASIONAL BANK SYARI’AH

  19 Ibid.

  18 Ibid, hal. 100.

  17 Ibid, hal. 99.

  16 Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit., hal. 90-95.

  Penghimpunan dana masyarakat dilakukan pihak Bank Syari’ah melalui beberapa prinsip, yakni sebagai berikut:

  Sebagaimana dimaklumi bahwa bentuk-bentuk kegiatan operasional Bank Syariah mencakup tiga bentuk, yakni sebagai berikut :

  4) Mukhabarah; yakni kerjasama di bidang pertanian yang identik dengan muzara’ah. Bedanya kalau dalam muzara’ah, benih dari pemilik lahan, sedangkan dalam mukhabarah, benih dari penggara

  mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi

  

  3) Musaqah; yakni bentuk kerjasama yang lebih sederhana dari muzara’ah, dimana si penggarap hanya bertanggungjawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil pane

  

  2) Muzara’ah; yakni kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil pane

  

  pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Tetapi jika kerugian karenan kecurangan atau kelalaian pengeklola, maka

1. Penghimpunan dana masyarakat:

   a. Prinsip al-wadiah (titipan), terdiri dari :

  1). Wadiah yad al-Amanah (Trustee Depository) Jenis ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :

  a) Harta atau benda yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.

  b) Penerima titipan (bank) hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa mengambil manfaatnya;

  c) Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya (fee) kepada yang menitipkan.

  Jenis ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :

  a) Harta atau benda yang dititipkan diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh penyimpan; b) Apabila ada hasil dari pemanfaatan benda titipan, maka hasil tersebut menjadi hak dari pemyimpan. Tidak ada kewajiban dari penyimpan untuk memberikan hasil tersebut kepada penitip sebagai pemilik benda. Bentuk wadiah bisa berupa giro dan tabungan.

  b. Prinsip Mudharabah, terdiri dari:

  1) Mudharabah muthlaqah (General Investment) Dalam prinsip ini hal utama yang menjadi cirinya adalah Shahibul Maal tidak memberikan batasan-batasan atas dana yang diinvestasikannya atau dengan kata lain, Mudharib diberi wewenang penuh mengelola tanpa terikat waktu, tempat, jenis usaha, dan jenis pelayanannya. Aplikasi Perbankan yang sesuai dengan aqad ini adalah tabungan dan deposito berjangka.

2) Mudharabah muqayyaddah

  Pada jenis aqad ini, shahibul maal memberikan batasan atas dana yang diinvestasikannya. Mudharib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan jenis usaha, temapt dan waktu tertentu saja. Aplikasinya dalam perbankan adalah special investment based on restricted mudharabah. Bentuknya dapat berupa tabungan, deposito, dan dana.

2. Penyaluran Dana :

  a. Prinsip jual beli, terdiri dari:

  1) Murabahah, yaitu Kontrak jual beli dimana bank bertindak sebagai

  penjual sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank ditambah keuntungan. Dalam transaksi ini barang diserahkan segera sesudah aqad, sedangkan pembayaran dapat dilakukan dengan cicilan (bitsaman ajil) maupun sekaligus. pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi. 3) Salam, yaitu kontrak jual beli dimana nasabah bertindak sebagai penjual sementara bank sebagai pembeli. Barang diserahkan oleh nasabah secara tangguh, sedangkan pembayaran secara tunai oleh bank. Dalam transaksi ini kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti. Transaksi ini biasanya digunakan untuk produk pertanian dalam jangka waktu yang singkat.

  b. Prinsip sewa (Ijarah), yaitu kontrak jual beli dimana bank bertindak sebagai penjual jasa sementara nasabah sebagai pembeli. Di akhir masa kontrak bank dapat menawarkan nasabah untuk membeli barang yang disewakan. Jika sewa cicilannya sudah termasuk harga pokok barang disebut Ijarah wa iqtina.

  c. Prinsip bagi hasil, terdiri dari:

  1) Mudharabah, yaitu bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana

  pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal shahibul maal dan keahlian dari mudharib. Dalam mudharabah modal hanya berasal dari salah satu pihak sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. Jika objek yang didanai ditentukan oleh pemilik modal maka kontrak tersebut dinamakan mudharabah al muqayyadah.

2) Musyarakah, yaitu Transaksi ini dilandasi oleh keinginan para pihak yang

  bekerjasama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek

3. Jasa Perbankan, terdiri dari:

  a. Wakalah, yaitu merupakan aqad perwakilan antara dua pihak. Umumnya digunakan untuk mentransfer dana nasabah ke pihak lain.

  b. Kafalah, yaitu merupakan aqad untuk penjaminan. Aqad ini digunakan untuk penerbitan garansi ataupun sebagai jaminan pembayaran lebih dulu.

  c. Sharf, yaitu merupakan transaksi pertukaran emas, perak, serta mata uang asing.

  Beberapa syarat untuk produk ini antara lain :

  • Harus tunai
  • Serah terima harus dilaksanakan dalam majelis kontan - Pertukaran mata uang yang sama harus dalam jumlah/kuantitas yang sama.

  d. Qard, yaitu pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, kalau ada keuntungan menjadi milik bersama. Kalau rugi ditanggung oleh pemilik modal.

  e. Rahn, yaitu merupakan aqad menggadaikan barang dari satu pihak ke pihak lain, dengan uang sebagai gantinya. Aqad ini dapat berubah menjadi produk jika digunakan untuk pelayanan kebutuhan konsumtif dan jasa seperti pendidikan, kesehatan, dll.

  f. Hiwalah, yaitu merupakan aqad pemindahan utang piutang. Kebanyakan ulama menyatakan bahwa bank tidak boleh mengambil keuntungan dari produk ini.

  g. Ijarah, yaitu kontrak jual beli dimana bank bertindak sebagai penjual jasa sementara nasabah sebagai pembeli. Di akhir masa kontrak bank dapat

V. JENIS-JENIS AQAD DALAM FIQH ISLAM

  a) Ijarah; b) Ijarah wa iqtina.

  b. Mudharabah (trust financing), yang terdiri dari dua macam pula, yakni:

  2) Musyarakah mutanaqisah.

  a. Musyarakah (joint venture), yang terbagi lagi ke dalam dua bentuk, yakni: 1) Syirkah, meliputi:

  3. Syarikat, terdiri dari dua macam, yakni:

  a. Wadiah yad amanah; b. Wadiah yad dhamanah.

  2. Titipan (wadiah) terdiri dari dua macam, yakni:

  b) Bai’ salam c) Bai’ istishna. 2) Pertukaran Barang dengan uang, yakni melalui sewa (ijarah), meliputi:

  menawarkan nasabah untuk membeli barang yang disewakan. Jika sewa cicilannya sudah termasuk harga pokok barang disebut Ijarah wa iqtina.

  a) Bai’Murabahah;

  b. Pertukaran tidak sejenis, yang terdiri dari dua macam pula: 1) Pertukaran Uang dengan barang, yakni melalui jual beli (bai’), meliputi :

  a. Pertukaran sejenis, yang terdiri dari dua macam pula: 1) Uang dengan uang (sharf)

  Bentuk ini ada dua macam, yaitu :

  1. Pertukaran;

  Dilihat dari bentuknya, aqad itu dapat dikelompokkan kepada 5 (lima) kelompok, yaitu:

  • Syirkah Mufawadhah;
  • Syirkah ‘inan;
  • Syirkah Wujuh; - Syirkah Abdan/A’mal.

  1) Mudharabah muthlaqah; 2) Mudharabah muqayyadah.

  4. Memberi kepercayaan, terdiri dari tiga bentuk, yaitu:

  a. Jaminan, meliputi: 1) Kafalah; 2) Dhamanah;

  b. Gadai (rahn); c. Pemindahan utang (hiwalah).

  5. Memberi izin/tugas kerja, terdiri dari:

  a. Wakalah;

  c. Musaqah;

  d. Muzara’ah;

  e. Mugharasah;

  

  

VI. JENIS-JENIS AQAD DALAM PERBANKAN SYARI’AH MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008

  Sebelum menjelaskan tentang jenis-jenis perjanjian (aqad) dalam perbankan syari’ah menurut Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Bank Syari’ah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip Syari’ah dan menurut jenisnya terdiri dari Bank Umum Syari’ah (BUS) dan Bank Pembiayaan

  Bank Umum Syari’ah adalah Bank Syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Ini berarti bahwa Bank Umum Syari’ah melakukan kegiatan usahanya dalam bentuk penghimpunan dana masyarakat, penyaluran dana dan jasa perbankan lainnya. Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah adalah bank yang dalam kegiatannya tidak

  20 Andi Ihsan Arkam, Ekonomi Islam (jenis-jenis Aqad), bahan Diklat Hakim Mahkamah Syar’iyah tahun 2007, MS Aceh.

  21 Lihat pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 21 tahun 2008. memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Di samping itu Unit Usaha Syari’ah (UUS) yang merupakan unit kerja dari Bank Umum Konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah juga diatur dalam undang-undang Perbankan Syari’ah.

  Adapun jenis-jenis aqad yang dapat digunakan oleh perbankan Syari’ah dalam menjalankan kegiatan usahanya menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 19,

  pasal 20 dan pasal 21 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 adalah sebagai berikut: A. PADA BANK UMUM SYARI’AH (BUS) :

  a. Aqad wadi’ah, untuk simpanan berupa Giro, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu; b. Aqad mudharabah, untuk investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu; c. Aqad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah untuk simpanan berupa Giro, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu dan untuk investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.

  2. Dalam kegiatan penyaluran pembiayaan:

  a. Aqad mudharabah, untuk pembiayaan bagi hasil;

  b. Aqad musyarakah, untuk pembiayaan bagi hasil;

  c. Aqad murabahah;

  d. Aqad salam;

  e. Aqad istishna;

  f. Aqad qaradh;

  g. Aqad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, untuk pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak;

  h. Aqad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah untuk pembiayaan bagi hasil ;

  3. Dalam kegiatan jasa perbankan: a. Aqad wakalah, dalam melakukan fungsi sebagai wali amanat dan kegiatan transfer keuangan.

  b. Aqad hawalah, untuk pengambilalihan utang;

  c. Aqad kafalah, untuk kegiatan menjamin atas resiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syari’ah;

  d. Aqad ijarah, dalam kegiatan membeli, menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syari’ah;

  e. Aqad musyarakah, dalam kegiatan membeli, menjual surat berharga prinsip syari’ah; f. Aqad mudharabah, dalam kegiatan membeli, menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syari’ah;

  g. Aqad murabahah, dalam kegiatan membeli, menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syari’ah;

B. PADA UNIT USAHA SYARI’AH (UUS):

  1. Dalam kegiatan penghimpunan dana masyarakat:

  a. Aqad wadi’ah, untuk simpanan berupa giro, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu; b. Aqad mudharabah, untuk investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu; c. Aqad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah untuk simpanan berupa Giro, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu dan untuk investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.

  2. Dalam kegiatan penyaluran pembiayaan:

  a. Aqad mudharabah, untuk pembiayaan bagi hasil;

  b. Aqad musyarakah, untuk pembiayaan bagi hasil; c. Aqad murabahah;

  d. Aqad salam;

  e. Aqad istishna;

  f. Aqad qaradh;

  g. Aqad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, untuk pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak;

  h. Aqad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah;

3. Dalam kegiatan jasa perbankan:

  a. Aqad hawalah, untuk pengambilalihan utang; berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syari’ah;

  c. Aqad ijarah, dalam kegiatan membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syari’ah;

  d. Aqad musyarakah, dalam kegiatan membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syari’ah;

  e. Aqad mudharabah, dalam kegiatan membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syari’ah;

  f. Aqad murabahah, dalam kegiatan membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syari’ah;

C. PADA BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARI’AH (BPRS):

1. Dalam kegiatan penghimpunan dana masyarakat:

  a. Aqad wadi’ah, untuk simpanan berupa tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu; b. Aqad mudharabah, untuk investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu; c. Aqad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah untuk simpanan berupa tabungan dan untuk investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.

  2. Dalam kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat:

  a. Aqad mudharabah, untuk pembiayaan bagi hasil;

  b. Aqad musyarakah, untuk pembiayaan bagi hasil;

  c. Aqad murabahah;

  d. Aqad salam;

  e. Aqad istishna;

  f. Aqad qaradh; untuk pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak; h. Aqad hawalah, untuk pengambilalihan utang; i. Aqad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.

  3. Dalam kegiatan jasa perbankan:

  a. Aqad wadi’ah, dalam menempatkan dana pada bank syari’ah lain dalam bentuk titipan ; b. Aqad mudharabah, dalam menempatkan dana pada bank syari’ah lain dalam bentuk investasi; c. Aqad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dalam kegiatan menempatkan dana pada bank syari’ah lain dalam bentuk investasi.

VII.PENUTUP

  Dari uraian yang telah dikemukakan dalam bagian-bagian terdahulu dapat dilihat bahwa perjanjian atau aqad dalam fiqh mu’amalah telah diatur sedemikian rupa berdasarkan asas-asas dan prinsip-prinsip yang sesuai dengan ketentuan syari’at Islam. Begitu pula aqad-aqad yang dikenal dalam transaksi perbankan syari’ah telah diatur sesuai dengan ketentuan syari’at Islam. Meskipun demikian dalam aplikasinya, dalam hal-hal tertentu masih dirasakan oleh masyarakat adanya kekurangsesuaian dengan prinsip-prinsip Islam. Hal ini sebagai contoh dalam pembuatan kontrak yang seharusnya murni atas kesepakatan para pihak, namun dalam parktiknya terkadang pihak perbankan telah menyiapkan secara sepihak kontrak yang akan disepakati bersama dengan syarat-syarat yang ditentukan sendiri oleh pihak bank, walaupun dari pihak nasabah dengan sedikit terpaksa harus menerimanya. Hal ini terutama terjadi dalam transaksi penyaluran dana bagi masyarakat, sebagai akibat dari penerapan kontrak baku (standard contract) yang telah disiapkan sebelumnya oleh pihak bank dalam transaksi perbankan.

  Kiranya dalam praktik perbankan syari’ah, setiap perjanjian atau aqad yang dibuat hendaknya benar-benar atas kerelaan dan kesepakatan bersama kedua belah pihak, tanpa keterpaksaan dalam berkontrak agar sesuai dengan asas-asas dan prinsip-prinsip yang ada dalam syari’at Islam.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

  Adiwarman A.Karim, Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2006 (edisi Ketiga);

  Andi Ihsan Arkam, Ekonomi Islam (Jenis-jenis Aqad), bahan Diklat Hakim Mahkamah Syar’iyah tahun 2007, MS Aceh;

  Karnaen Perwataatmadja, Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti,

  Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Editor: Wirdyaningsih), Kencana,

  Jakarta, 2005; Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Gema Insani,

  Jakarta, 2001; Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait BMI dan

  Takaful di Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, Cet.III;

  Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009;

  Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah; Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.