RELEVANSI TEORI MASLAHAT DENGAN UU PEMBERANTASAN KORUPSI
Asmawi
Dosen dan Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta. Telepon: 081987654321 Email: [email protected]
Abstract
Aiming at protection of religion, soul, intelligence, wealth and progeny, the theory of maslahah permeates the norms of Corruption Eradication Law in Indonesia. The adoption of Islamic criminal law through the theory of maslahah into the system of national law means the transformation and objectivication of the former into the latter, which in turn reflects the integration of Islamic law into national law. The article argues that the application of the theory of maslahah on the criminalization of corruption, the formulation of sanctions on corruption, the concept of responsibility for corruption committted by the corporate, strongly indicates the process of islamization on special criminal law in Indonesia.
Bertujuan melindungi agama, jiwa, akal, harta dan keturunan, teori maslahah telah menjiwai norma yang terkandung dalam Undang-undang Pemberantasan Korupsi.
Aplikasi hukum pidana Islam melalui teori maslahah dalam sistem hukum nasional mengimplikasikan adanya transformasi dan objektifikasi sistem hukum pertama ke dalam sistem hukum kedua, yang pada gilirannya mencerminkan integrasi keduanya. Artikel ini berargumen bahwa melalui penerapan teori maslahah dalam kriminalisasi korupsi, formulasi sanksi pidana korupsi, dan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi jelas menunjukkan terjadinya proses islamisasi dalam perundang-undangan pidana khusus di Indonesia.
Keywords:
Pendahuluan
urgen jika dikaitkan dengan upaya Kebijakan legislasi- sebagai elemen
menemukan relevansi maslahat tersebut penting tata hukum pidana nasional-pada era
dengan perundang-undangan pidana nasional reformasi yang menarik untuk dicatat ialah
di atas. Di samping itu, agar hukum pidana pengesahan dan pemberlakuan perundang-
Indonesia senantiasa mampu menyesuaikan undangan pidana khusus, yakni UU
diri dengan perkembangan keadaan maka Pemberantasan Korupsi. Undang-undang ini
membuka diri dan menerima unsur-unsur luar merupakan manifestasi dari tata hukum
yang relevan merupakan suatu keharusan, pidana nasional pada masa reformasi ini.
termasuk perihal penyerapan hukum pidana Tata hukum pidana nasional tersebut
Islam (sebagai hukum agama) melalui menjadi
menarik untuk dikaji jika
aplikasi maslahat.
dihubungkan dengan teori maslahat sebagai Pengkajian relevansi teori maslahat kerangka acuan legislasi hukum pidana
dengan perundang-undangan pidana khusus Islam. Pengkajian maslahat menjadi sangat
di Indonesia juga harus diletakkan dalam
Volume I, Nomor 2, Januari 2010 91
Relevansi Teori Maslahat Dengan UU Pemberantasan Korupsi
perspektif usaha pembaharuan hukum pidana bagaimanakah konstruksi-teoretis maslahat Indonesia. Dalam hal ini, perlu dikaji 2 dan bagaimanakah relevansi teori maslahat
sejauhmana teori maslahat terimplementasi itu dengan perundang-undangan pidana dalam berbagai ketentuan perundang-
khusus di Indonesia, yang direpresentasikan undangan pidana nasional tersebut, terutama
oleh UU Pemberantasan Korupsi dan menyangkut aspek kriminalisasi, aspek
bagaimanakah implikasi dari adanya formulasi sanksi pidana, dan aspek
relevansi tersebut.
pertanggungjawaban pidana korporasi. 1
Pengkajian tersebut tentu sangat
Formulasi Teori Maslahat
penting untuk mengeksaminasi tata hukum
Menyangkut “formulasi teori maslahat”
pidana nasional, yakni apakah ia sudah islami dapat disajikan sebagai berikut. Maslahat lantaran sudah menyerap hukum pidana Islam
merupakan tujuan yang dikehendaki oleh al- melalui aplikasi teori maslahat ataukah justru
Syâri „ dalam hukum-hukum yang ditetapkan- sebaliknya?; apakah hukum pidana Islam
Nya melalui teks-teks suci Syariah (nusûs al- sudah
syarî‘ah) berupa al-Qur‟an dan Hadis. Tujuan aplikasi teori maslahat-ke dalam tata hukum
mengalami
transformasi- melalui
tersebut mencakup 6 (enam) hal pokok, yaitu pidana
perlindungan terhadap agama, perlindungan direpresentasikan oleh perundang- undangan
terhadap jiwa, perlindungan terhadap akal pidana nasional berupa UU Pemberantasan
budi, perlindungan terhadap keturunan, Korupsi? Alih-alih berpolemik seputar
perlindungan terhadap kehormatan diri, dan penegakan syariah Islam yang sarat dengan
perlindungan terhadap harta kekayaan. nuansa kontroversial, pengkajian tentang
Maslahat itu bertingkat-tingkat, yakni relevansi teori maslahat dengan perundang-
darûriyyât , hâjiyyât dan tahsîniyyât. Sesuatu undangan pidana nasional memiliki nilai
yang mampu menjamin eksistensi masing- signifikan dan kontributif bagi upaya
masing dari keenam hal pokok itu merupakan implementasi hukum pidana Islam dalam
maslahat pada tingkat darûriyyât. Sesuatu konteks
yang mampu memberi kemudahan dan kemodernan, yang secara substantif juga
keindonesiaan
sekaligus
dukungan bagi penjaminan eksistensi bermakna sebagai penegakan Syariat Islam.
masing- masing dari keenam hal pokok itu Lebih jauh, dapatlah dikatakan bahwa
merupakan maslahat pada tingkat hâjiyyât. tantangan terbesar umat Islam dalam gegap
Sesuatu yang mampu memberi keindahan, gempitanya upaya penerapan Syariat Islam
kesempurnaan, keoptimalan bagi penjaminan adalah memperjelas hal- hal yang berkaitan
eksistensi masing- masing dari keenam hal dengan hukum pidana Islam; dan ini
pokok itu merupakan maslahat pada tingkat menuntut kajian yang mendalam seputar
tahsîniyyât .
hukum pidana Islam, yang salah satunya ialah Maslahat itu mencakup 2 (dua) unsur pengkajian tentang transformasi hukum
yang padu dan holistik, yakni jalb al- pidana Islam ke dalam hukum pidana
manâfi „/al-masâlih wa dar‟ al-mafâsid/al- nasional melalui aplikasi maslahat.
madârr yang mengandung arti “mewujudkan Fokus masalah tulisan ini berkisar pada
sesuatu yang bermanfaat/baik atau yang masalah ide relevansi teori maslahat dengan
kemanfaatan/kebaikan, dan perundang-undangan pidana khusus di
membawa
mencegah serta menghilangkan sesuatu yang Indonesia. Dengan demikian, dalam tulisan
negatif-destruktif atau yang membawa ini yang dijadikan masalah pokok ialah
kerusakan/mudarat, di mana hal ini semua tetap dalam kerangka arahan al-Qur ‟an dan
1 Chairul Huda, “ Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ 2 Menuju Kepada ‘Tiada Secara le ksika l- etimologis, kata ”relevansi” Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan‘ “
mengandung arti: hubungan, kaitan. Lihat Pusat (Tinjauan Kritis terhadap Teori Pemisahan Tindak
Bahasa-Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana) , (Jakarta:
(Jaka rta: Ba la i Pustaka, 20005), Edisi Ket iga, hlm. Kencana Prenada Mulia, 2006), h. 10.
de Jure , Jurnal Syariah dan Hukum
Asmawi
Hadis. Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan legislasi, hukum Islam telah bergeser dari segi
otoritas hukum agama (divine law) menjadi individual/terbatas (al-maslahah al-khâssah) 4 otoritas hukum negara (state law).
yang menyangkut
kepentingan
dan kepentingan umum/masyarakat luas (al- Menurut pandangan Denny J.A., maslahah al- ‘âmmah), dan prioritas diberikan
hukum Islam itu berada pada titik tengah kepada kepentingan umum/masyarakat luas.
antara paradigma agama dan paradigma Maslahat yang terdapat di dalam nass-nass
negara. Sebagai bagian dari paradigma agama dapat dipahami dengan meneliti kandungan
Islam, penerapan hukum Islam menjadi misi makna nass-nass itu. Di sini perlu diterapkan
agama, dan ini menuntut operasionalisasi langkah “interpretasi berorientasi-maslahat
hukum Islam dalam realitas-empiris. Namun, terhadap nass ” (al-tafsîr al-maslahiy li al-
pada saat yang sama hukum Islam pun nusûs ) dan “aplikasi berorientasi-maslahat
menjadi bagian dari paradigma negara yang terhadap nass ” (al-tatbîq al-maslahiy li al-
mempunyai sistemnya sendiri yang nota bene nusûs ).
diselimuti oleh konteks pluralitas yang Dalam menghadapi kasus/masalah yang
menuntut adanya netralitas (tidak berpihak tidak ditentukan hukumnya secara eksplisit
pada salah satu agama) sehingga mau tak oleh nass yang spesifik, perlu merujuk
mau negara mereduksi hukum Islam demi kepada nass yang bersifat umum, diiringi
komitmen atas pluralitas itu sehingga dengan langkah “interpretasi berorientasi-
penganut agama lain merasa tidak terancam. maslahat terhadap nass ” dan “aplikasi
Konsekuensinya, masalah penerapan hukum berorientasi- maslahat terhadap nass ”. Di
Islam menjadi rumit karena hukum Islam itu samping itu, maslahat dapat ditemukan dan
berada di domain agama dan domain negara diaplikasikan: (1) melalui penerapan analisis
sekaligus, dalam lingkar tarik- menarik antara jalb al-manâfi 5 „/al-masâlih wa dar‟ al- prinsip agama dan prinsip negara.
mafâsid /al-madârr; (2) melalui penerapan Lebih lanjut, Denny J.A. menjelaskan metode/dalil Syara‟ sekunder seperti al-qiyâs,
bahwa tarik- menarik doktrin agama dan al-maslahah al-mursalah , sadd al- dzarî‘ah,
doktrin negara dapat diselesaikan dengan dan al- ‘urf.; dan (3) melalui penerapan al-
pembagian domain. Untuk hukum yang qawâ‘id al-fiqhiyyah (Islamic legal maxims).
bersifat publik diberlakukan hukum negara. Dalam konteks ini, upaya mengkualifikasi
Tentu saja dalam perumusan hukum publik sesuatu sebagai maslahat harus mengacu
itu, negara dapat mengambil inspirasi kepada parameter nass yang berupa garis-
nilai/norma dari manapun, termasuk hukum garis besar haluan nass sehingga terhindar
Islam. Namun, nilai itu telah diuniversalkan dari kesimpulan hukum yang kontradiktif 6 melampui batas keagamaan itu sendiri.
dengan nass. Eksistensi hukum Islam di Indonesia selalu mengambil 2 (dua) bentuk, yaitu (1)
Maslahat: Titik Temu Hukum Agama dan
hukum normatif yang diimplementasikan
Hukum Negara
secara sadar oleh umat Islam; dan (2) hukum Dalam pandangan Abdullahi Ahmed
formal yang dilegislasikan sebagai hukum An- Na‟im, hukum Islam hanya bisa
positif bagi umat Islam. Yang pertama dipromosikan dan diterapkan melalui
adaptasi dengan kebutuhan masyarakat Islam
Syariah , terj. Sri Murn iati, (Bandung: Penerbit Mizan,
modern. Akan tetapi, betapapun akomodasi
2007), hlm. 36-37.
prinsip-prinsip hukum Islam dalam legislasi
4 Siti Musda Mulia, dkk, Pembaruan Huk um
hukum negara modern tetap saja dilakukan
Islam : Counter Legal Draft Kompilasi Huk um Islam,
melalui proses yang sekular, dan ia b ukan
(Jaka rta: Tim Pengarusutamaan Gender, Departe men
merupakan legislasi langsung prinsip-prinsip Agama, 2004), hlm. 12.
3 Denny J.A., “ Legislasi Hukum Islam dan
hukum Islam itu sendiri. Jelasnya, melalui
Integrasi Nasional “, dalam PESANTREN No. 2/Vol.
VII/1990, hlm. 3.
Abdullahi Ah med An- 6 Na‟im, Islam dan Denny J.A., “ Legislasi Hukum Islam dan Negara Sek uler: Menegosiasik an Masa Depan
Integrasi Nasional “, hlm. 3.
Volume I, Nomor 2, Januari 2010 93
Relevansi Teori Maslahat Dengan UU Pemberantasan Korupsi
menerapkan pendekatan kultural, sedang
akan terjamin yang kedua mengutamakan penghampiran
Dengan
objektivikasi
kesamaan/persamaan di dalam hukum antar- struktural. Hukum Islam dalam bentuk kedua
agama sehingga meredakan ancaman itupun proses legislasinya menggunakan 2
terhadap stabilitas nasional. Karena itu, (dua) cara.
ungkapan “menghukumi dengan hukum dilegislasikan secara formal untuk umat
Pertama, hukum
Islam
Allah” itu juga harus di-objektivikasi-kan Islam, seperti PP No. 28 Tahun 1977, UU
dalam sejumlah peraturan perundang- No. 17 Tahun 1999, dan UU No. 38 Tahun
undangan. Umat Islam menghendaki 1999. Kedua, materi- materi hukum Islam 10 objektivisme, bukan sekularisme.
diintegrasikan ke dalam hukum nasional Objektivikasi merupakan paradigma berpikir tanpa menyebutkan hukum Islam secara
yang bertolak dari abstrak ke konkret, dari formal, seperti UU No. 1 Tahun 1974 dan
ideologi ke ilmu, dan dari subjektif ke
7 UU No. 7 Tahun 1989. 11 objektif.
Menurut pendapat Ichtijanto SA, Dalam pandangan penulis, objektivikasi hukum agama merupakan unsur mutlak
hukum Islam dapat ditemukan basis- hukum nasional. Tertib hukum masyarakat
teoretisnya pada teori maslahat. Ahmad Indonesia membutuhkan adanya peraturan
Munif Suratmaputra menyimpulkan bahwa perundang-undangan yang sesuai dengan dan
dalam menghadapi masalah baru yang timbul bersumber dari ajaran-ajaran agama. Sumber
di tengah kehidupan masyarakat, aplikasi tertib hukum negara RI ialah pandangan
teori maslahat merupakan metode ijtihad hidup, kesadaran dan cita hukum serta cita
yang paling tepat; dan ini telah dipratikkan moral yang meliputi suasana kejiwaan dan
dalam sekian banyak ijtihad para Sahabat watak bangsa Indonesia yang religius. 8 Nabi, ulama al- tâbi‘în dan para imam
Dalam perbincangan implementasi mazhab. Agenda pembaharuan hukum Islam hukum Islam di Indonesia, patut juga
harus mereposisi aplikasi teori maslahat diperhatikan 12 tawaran paradigma sebagai formula utama. Yudian Wahyudi
Kuntowijoyo, yakni paradigma obyektivikasi menilai bahwa aplikasi teori maslahat Islam. Objektivikasi hukum Islam 9 tetap
sebenarnya merupakan metode yang luar memposisikan al- Qur‟an sebagai sumber
biasa untuk mengembangkan nilai dan ruh hukum. Objektivikasi hukum Islam akan
hukum Islam ke dalam berbagai masalah. menjadikan hukum al- Qur‟an terlebih dahulu
Pengembangan teori ini secara tajam dan sebagai hukum positif, yang pembentukannya
bertanggung jawab merupakan kebutuhan atas persetujuan bersama warga negara. Jadi,
yang tidak bisa ditunda-tunda lagi agar umat tidak secara langsung dan otomatis seluruh
Islam tidak menjadi umat yang berwawasan norma hukum Islam menjadi hukum negara, 13 sempit dan kerdil. Hasbi Asshiddiqiey
tetapi ia harus melalui objektivikasi. Dalam mengkonstatir bahwa norma- norma Syariah wadah pembentukan hukum positif itulah
di bidang muamalah dapat dijangkau daya dipertemukan obyektivikasi dari berbagai
analisis akal budi sehingga dapat dipahami hukum agama: Islam, Katholik, Protestan,
Hindu, dan Budha, serta hukum- hukum lain. 10 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam,
(Bandung: Mizan, 1999), h lm. 69-70. 11
Ura ian lebih jauh, lihat Kuntowijoyo,
7 Siti Musda Mulia, dkk, Pembaruan Huk um Identitas Politik Umat Islam , (Bandung: Mizan, 1999), Islam : Counter Legal Draft Kompilasi Huk um Islam,
hlm. 17, 20 dan 23.
(Jaka rta: Tim Pengarusutamaan Gender, Departe men 12 Ahmad Munif Su rat maputra, Filsafat Huk um Agama, 2004), hlm. 8.
Islam al-Ghazali: Maslahat Mursalah & Relevansinya 8 Ichtijanto SA, Huk um Islam dan Huk um dengan Pembaharuan Hukum Islam , (Ja karta; Pustaka
Nasional , (Jakarta: Ind-Hill co Indonesia, 1990), hlm. Firdaus, 2002), h lm. 185. Buku ini semu la merupakan 50.
disertasi doktor penulisnya.
9 Da la m pandangan penulis, paradig ma 13 Yudian Wahyudi, Ushul Fikih versus objektivikasi
Hermenutik a: Membaca Islam dari Kanada dan imple mentasi hukum Isla m, sehingga layak disebut
Isla m relevan
dengan
persoalan
Amerik a , (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, dengan “paradigma objektivikasi hukum Islam”.
2006), hlm. 51-52.
de Jure , Jurnal Syariah dan Hukum
Asmawi
maqâsid al- tasyrî‘-nya, dengan panduan pertanggungjawaban pidana korporasi, di prinsip jalb al-masâlih dan dar’ al-mafâsid,
mana norma-norma tersebut diwadahi oleh di mana segala yang mengandung atau
sejumlah pasal. Dalam kaitan ini, digunakan membawa kepada maslahat adalah mubâh;
pisau analisis teori maslahat. Indikator dan sebaliknya, segala yang mengandung
”relevansi” dalam uraian analisis ini ialah atau membawa kepada al-mafsadah adalah
tingkat aplikasi maslahat dalam setiap norma haram. 14 Munawir Sjadzali menyimpulkan
yang dianalisis.
bahwa maslahat dan keadilan merupakan tujuan syari‟at Islam, dan keadilan
1. Aplikasi Maslahat dalam Kriminalisasi
sub-bagian ini, analisis Munawir Sjadzali, Masdar F. Mas‟udi
merupakan dasar maslahat. 15 Senada dengan
Dalam
difokuskan pada aplikasi maslahat dalam menggulirkan tesis bahwa hukum Islam tidak
kriminalisasi, di mana hal terdiri atas: bisa didasarkan kecuali kepada sesuatu yang
“aplikasi maslahat dalam kriminalisasi tidak disebut hukum, sesuatu yang melampui
korupsi”, dan “aplikasi maslahat dalam hukum (meta-hukum), yakni sistem nilai
kriminalisasi perbuatan lain yang berkaitan berupa maslahat dan keadilan sehingga
dengan tindak pidana korupsi”. Masing- sangat relevan untuk ditegakkan adagium “
masing norma yang mengaturnya akan idzâ sahhat al-maslahah fahiya madzhabî 16 “. dianalisis dengan optik teori maslahat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan Uraian tentang “aplikasi maslahat bahwa integrasi hukum Islam ke dalam
dalam kriminalisasi korupsi” mencakup 7 hukum negara punya pilihan jalan strategis
(tujuh) macam kualifikasi korupsi yang yang jauh dari resistensi sosial-politik, dan
menjadi wadah diaplikasikannya maslahat. jalan dimaksud ialah aplikasi maslahat dalam
Ketujuh macam itu ialah kualifikasi korupsi bingkai transformasi/objektivikasi hukum
terkait keuangan/perekonomian negara, Islam ke dalam tatanan hukum negara.
kualifikasi korupsi terkait suap- menyuap, kualifikasi korupsi terkait penggelapan dalam
Relevansi Maslahat
korupsi terkait
Pemberantasan Korupsi
pemerasan, kualifikasi korupsi terkait Bagian ini menyajikan bahasan tentang
perbuatan curang, kualifikasi korupsi terkait relevansi
benturan kepentingan dalam pengadaan, dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni
kualifikasi korupsi terkait gratifikasi. UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
“korupsi terkait atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Perihal
negara” diatur Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan
keuangan/perekonomian
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun UU No. 31 Tahun 1999 tentang
1999. Dalam kasus kriminalisasi Pasal 2 ayat Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(1) dan Pasal 3 di atas- yang nota bene varian Dalam bab ini dianalisis 3 (tiga) aspek
dari al-gulûl dan akl al-suht sekaligus utama, yaitu (1) norma- norma kriminalisasi,
merupakan al- ma‘siyyah-tentu punya dasar (2) norma-norma formulasi sanksi pidana,
rasionalitas, yang dapat dikemukakan sebagai
perbuatan yang dikriminalisasi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
dan 17 (3) norma-norma konsepsi berikut. Pertama ,
14 Hasbi Asshiddiqiey, Pengantar Huk um
jelas
melahirkan
efek buruk bagi
perekonomian negara lantaran tergerogotinya
Islam, (Ja karta: Bu lan Bintang, 1981), Jilid 2, h. 80.
15 Munawir Sjadzali, “ Reaktualisasi Ajaran
pendapatan negara dari sektor publik dan
Islam “, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima, (ed.), Polemik Reak tualisasi Ajaran Islam , (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1988), h. 50. 17
Diperhatikan pula konsiderans “Menimbang” Masdar F. Mas‟udi, “ Meletakkan kembali
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Maslahah sebagai Acuan Syariat “, dalam Zuhairi
Pidana Korupsi, dan konsiderans “Menimbang” UU RI Misrawi, Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Anak Muda NU , (Jaka rta: Penerb it Bu ku Ko mpas,
Tahun 1999 tentang Pe mberantasan Tindak Pidana 2004), hlm. 57 dan 62.
Korupsi.
Volume I, Nomor 2, Januari 2010 95
Relevansi Teori Maslahat Dengan UU Pemberantasan Korupsi
membengkaknya pembelanjaan pemerintah
“kerugian keuangan untuk sektor publik. Kedua, perbuatan yang
menanggulangi
/perekonomian negara” itu merupakan dikriminalisasi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
konkretisasi maslahat berupa jalb al-manâfi „ jelas melahirkan iklim ekonomi berbiaya
dan dar’ al-mafâsid. Jadi, terkandung tinggi (high cost economy). Ketiga, perbuatan
substansi jalb al- manâfi‘ wa dar῾al-mafâsid-
yang dikriminalisasi Pasal 2 ayat (1) dan yang nota bene unsur maslahat) dalam Pasal 3 jelas menimbulkan kerugian bagi
kriminalisasi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. negara yang pada gilirannya menghambat
Sementara itu, Pasal 2 ayat (2) UU No. gerak laju pembangunan guna tercapainya
31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 kesejahteraan rakyat. Ketiga hal yang
mengatur perihal faktor pemberatan pidana menjadi dasar rasionalitas inilah yang
terkait tindak pidana korupsi versi Pasal 2 menggambarkan adanya aplikasi maslahat
ayat (1). Faktor pemberatan dimaksud ialah dalam kriminalisasi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal
(a) tindak pidana korupsi dilakukan terhadap
diperuntukkan bagi Lebih dari itu, dengan melihat unsur
dana
yang
penanggulangan keadaan bahaya; (b) tindak “dapat merugikan keuangan/perekonomian
pidana korupsi dilakukan terhadap dana yang negara” pada kualifikasi tindak pidana
diperuntukkan bagi penanggulangan bencana korupsi tersebut, aplikasi maslahat berupa
alam nasional; (c) tindak pidana korupsi jalb al- manâfi‘ dan dar῾ al-mafâsid terlihat
dilakukan terhadap dana yang diperuntukkan jelas
bagi penanggulangan akibat kerusuhan sosial “kerugian/perekonomian
dalam hal
ini.
Dampak
yang meluas; (d) tindak pidana korupsi ditimbulkan oleh perbuatan korupsi sangat
negara”
yang
dilakukan terhadap dana yang diperuntukkan dahsyat
bagi penanggulangan krisis ekonomi dan perekonomian mikro maupun perekonomian
moneter; atau (f) tindak pidana korupsi makro. Pada tataran perekonomian mikro,
dilakukan sebagai pengulangan tindak dampak yang ditimbulkan oleh korupsi iala h
pidana. Telah dikemukakan bahwa dalam (a) semakin menurunnya kualitas taraf hidup
perspektif hukum pidana Islam, Pasal 2 ayat rakyat; (b) semakin sulitnya upaya
(1) merupakan domain kriminalisasi ta‘zîr masyarakat
sehingga Pasal 2 ayat (2) pun juga masuk ekonomi; (c) semakin meningginya pola
memperoleh
pendapatan
dalam cakupan kriminalisasi ta‘zîr. pengeluaran masyarakat; (d) semakin
Dalam perspektif hukum pidana Islam, buruknya tingkat kesehatan masyarakat
sejauh dalam lingkup kriminalisasi ta‘zîr, lantaran
pidana mati memang dimungkinkan untuk pengeluaran konsumsi untuk kesehatan; dan
ditetapkan/dijatuhkan bagi tindak pidana (e) semakin menurunnya kinerja sektor-
sangat dahsyat efek sektor produksi, distribusi dan industri.
tertentu yang
destruksinya. Meskipun demikian, pidana Sedangkan pada tataran perekonomian
mati sebagai sanksi pidana ta‘zîr tetap makro, korupsi melahirkan dampak-dampak
diperselisihkan oleh para ulama fikih, di yang hebat, yakni (a) semakin merosotnya
mana sebagian ulama tidak membolehkan pertumbuhan ekonomi nasional; (b) semakin
secara mutlak penerapan pidana mati sebagai tingginya tingkat inflasi; (c) semakin
sanksi pidana ta‘zîr dan sebagian lagi rendahnya kinerja investasi nasional; (c)
melegitimasi pidana mati sebagai sanksi semakin merosotnya nilar tukar mata uang
pidana ta‘zîr dengan persyaratan tertentu, Rupiah; dan (d) semakin rendahnya kinerja
antara lain, kedahsyatan efek destruksi yang perbankan nasional. 18 Upaya- upaya yang
ditimbulkannya dan keadaannya sebagai ditujukan 19 untuk mencegah dan pengulangan tindak pidana (recidive).
Dalam kaitannya dengan Pasal 2 ayat (2) di
18 Mengenai uraian lebih rinci tentang dampak korupsi terhadap keuangan negara/perekonomian
19 Lihat Muh ammad „Ali ibn Sinân, al-Jânib al- negara, lihat Muljatno Sindhudarmo ko, dkk, Ek onomi
Ta‘zîriy fi Jarîmat al-Zina, (t.tp: t.np. , 1402 H/1982 Korupsi , (Jakarta : Pustaka Quantum, 2001).
M), hlm. 76-79.
de Jure , Jurnal Syariah dan Hukum
Asmawi
atas, terdapat persyaratan khusus yang harus berkelit orang-orang yang terlibat peristiwa dipenuhi suatu perbuatan korupsi untuk
korupsi, di mana seringkali perihal posisi dijatuhi pidana mati, di mana persyaratan
pasif orang bersangkutan dan perihal bukan tersebut memenuhi kriteria kedahsyatan efek
pegawai negeri dijadikan celah untuk lari dari destruksi
jeratan hukum. Upaya mempersempit ruang keadaannya sebagai pengulangan tindak
gerak aktor korupsi itu jelas bertujuan demi pidana (recidive). Dengan demikian, di dalam
terwujudnya efektivitas hukum yang optimal Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo.
sehingga program pemberantasan korupsi UU No. 20 Tahun 2001 telah terkandung
yang dijalankan mampu mencapai hasil yang
aplikasi maslahat berupa jalb al-manâfi „
diharapkan rakyat, yakni masyarakat bangsa dan dar’ al-mafâsid.
yang nir-korupsi. Jadi, di dalam kriminalisasi Perihal “korupsi
kedua belas pasal itu mengandung makna menyuap” diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
terkait
suap-
jalb al-masâlih wa dar’ al-mafâsid. Ini
a, Pasal ayat (1) huruf b, Pasal 13, Pasal 5 berarti manifestasi dari maslahat yang ayat (2), Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b,
terkandung dalam keseluruhan konstruksi 12 Pasal 11, Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6
(dua belas) pasal tersebut. ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 12
Dari sudut pandang teori maslahat, huruf c, dan Pasal 12 huruf d.
keduabelas pasal itu Dalam perspektif hukum Islam,
konstruksi
merepresentasikan aplikasi maslahat, yang tindakan
suap- menyuap (al-risywah)-di diantaranya berupa penyerapan beberapa dalam al- 22 Qur‟an dan Hadis-jelas diharamkan legal maxim hukum Islam , yakni “la darar
dan dikategorikan sebagai al- 20 ma‘siyyah. Hal wa la dirâr ”(tidak boleh mendatangkan ini merujuk kepada Q.S. al-Baqarah/2:188
bahaya/kerusakan terhadap diri sendiri dan dan Hadis Abû Dâwud tentang larangan
pula mendatangkan suap- menyuap (al-risywah). 21 Karena itu, ia
tidak
boleh
bahaya /kerusakan terhadap orang lain.), “al- dapat dikriminalisasi dengan kategori
darar yuzâl ” (segala bahaya/kerusakan harus kriminalisasi ta‘zîr.
dicegah/diberantas) dan “yutahammal al- Dari sudut kualifikasi pelaku dalam
darar al-khâss li daf‘ al-darar al-‘âmm” korupsi terkait suap- menyuap sebagaimana
(bahaya/kerusakan yang terbatas/spesifik dinyatakan dalam Pasal-pasal di atas, terdapat
dapat
ditoleransi
karena demi
5 (lima) tipe pelaku korupsi aktif (suap- menghindari/memberantas bahaya/kerusakan menyuap), yaitu (a) orang, yang mencakup
yang meluas). 23 Efek destruksi dari tindakan orang perseorangan dan korporasi, (b)
korupsi berupa suap-menyuap memang pegawai negeri, (c) penyelenggara negara, (d)
Tindakan demikian hakim, dan (e) advokat; dan ada 4 (empat)
sangat
hebat.
mengakibatkan ekonomi biaya tinggi (high tipe pelaku korupsi pasif (suap-menyuap),
cost economy ), di samping raibnya harta yakni semua yang telah disebutkan kecuali
kekayaan negara yang sangat besar orang (yang mencakup orang perseorangan
dan korporasi). Dengan adanya ketentuan
22 Adanya keterkaitan substantif antara
tersebut semakin sempit ruang berkilah dan
maslahat dan al- Qawâ‘id al-Fiqhiyyah telah diulas oleh
kalangan
pemikir
huku m Isla m. Lihat
Muhammad Ka mâl al-Dîn Imâ m, Nazariyyat al-Fiqh fi
20 Bandingkan dengan Keputusan Muktama r al-Islâm : Madk hal Manhajiy, (Beirut: a l- Mu‟assasah XXXI Nahdlatul Ula ma dala m Se kretariat Jenderal PB
al- Jâmi„iyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr wa al-Tauzî„, Nahdlatul Ula ma , Hasil-Hasil Muk tamar XXXI
1418 H/1998 M ), h lm. 181.
Nahdlatul Ulama 23 , (Jakarta: Set jen PB NU, 2005), hlm. Mengenai uraian mendala m tentang legal 133-137. 21
maxim ini, lihat „Ali Ahmad al-Nadwiy, al- Qawâ‘id Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Dâwud,
al- Fiqhiyyah: Mafhûmuhâ, Nasy’atuhâ, Tatawwuruhâ, yang bersumber dari „Abdullah ibn „Amr. Lihat Abû
Dirâsat Mu’allafâtihâ, Adillatuhâ, Muhimmatuhâ, Dâwud Sula imân ibn al- Asy„as al-Sijistani, Sunan Abî
Tatbîqâtuhâ , (Da maskus: Dâr al-Qala m, 1414 H/1994 Dâwud , Juz ke-10, hlm. 444, Hadis No. 3582. Su mber
M), hlm. 286-293. Ka rya ini semula merupakan diakses dari DVD Program al-Mak tabah al-Syâmilah,
disertasi penulisnya pada Program Do ktor Universitas Versi 2.11 , Edisi Kedua.
Umm al-Qu râ, Me kkah, Arab Saudi.
Volume I, Nomor 2, Januari 2010 97
Relevansi Teori Maslahat Dengan UU Pemberantasan Korupsi
jumlahnya. Pelaku korupsi demikian telah pasal di atas, geliat korupsi semacam itu menilap harta kekayaan negara yang semula
dapat ditekan seminimal mungkin sehingga direncanakan
pada akhirnya mampu menyelamatkan kesejahteraan rakyat. Dampak desktruk si
untuk
pembangunan
keuangan dan perekonomian negara demi korupsi demikian menjalar ke seluruh sendi
terwujudnya masyarakat Indonesia yang kehidupan negara, di antaranya sendi
sejahtera. Sementara itu, dilihat dari sudut perekonomian mikro, sendi perekonomian
kualifikasi pelaku dalam varian korupsi makro, dan sendi perekonomian perbankan
tersebut, pelaku yang dibidik oleh kelima dari negara, dan bahkan sendi perekonomian
pasal itu adalah (a) pegawai negeri dan (b) internasional. 24 Kandungan makna sejumlah
orang non-pegawai negeri; dan ini berarti legal maxim hukum Islam tersebut telah
kelima pasal itu punya daya jangkau yang diakomodasi melalui konstruksi 12 (dua
cukup luas, yang pada gilirannya memberi belas) Pasal tersebut, dan karenanya
efek nir-korupsi yang optimal. Jadi, ada maslahat telah teraplikasikan dalam upaya
makna jalb al-masâlih wa dar’ al-mafâsid memberi dasar rasionalitas kualifikasi
dalam kriminalisasi kelima pasal tersebut; korupsi dalam keduabelas pasal itu.
dan ini berarti wujud aplikasi maslahat. Perihal ”korupsi terkait penggelapan Hal demikian diperkuat lagi dengan dalam jabatan” diatur dalam Pasal 8, Pasal 9,
adanya kecenderungan diterapkannya secara Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, dan Pasal
substantif beberapa legal maxim hukum Islam
10 huruf c. Dalam perspektif hukum Islam, berupa legal maxim “al-darar yuzâl” (segala “korupsi terkait penggelapan dalam jabatan”
bahaya/kerusakan harus dicegah/diberantas) yang diatur dalam 5 (lima) pasal dapat
dan legal maxim “yutahammal al-darar al- diidentifikasi dengan merujuk kepada
al-darar al- ‘âmm” masalah al-gulûl dan al-gasysy, yang nota
khâss
li
daf‘
(bahaya/kerusakan yang terbatas/spesifik bene dilarang keras, baik oleh al- Qur‟an
karena demi maupun Hadis. Dengan demikian, ia
dapat
ditoleransi
menghindari/memberantas bahaya/kerusakan merupakan al- 25 ma‘siyyah, sehingga dapat yang meluas). Yang dikenai sasaran oleh
dikriminalisasi melalui kategori kriminalisasi ketentuan kelima pasal tersebut ialah subyek ta‘zîr.
orang yang berstatus pegawai negeri dan Lalu, di manakah letak aplikasi
yang tidak berstatus pegawai negeri. maslahat dalam kriminalisasi tersebut ?
Manakala tindakan korupsi dibatasi hanya Untuk menemukan jawaban atas persoala n
pada subyek orang yang berstatus pegawai ini, perlu diberikan penjelasan tentang dasar
negeri maka tentu orang yang tidak berstatus rasionalitas kriminalisasi Pasal 8, Pasal 9,
pegawai negeri akan selamat dari jeratan Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, dan Pasal
hukum korupsi; dan ini jelas menimbulkan
10 huruf c tersebut. dampak konkret yang negatif, yakni Kriminalisasi kelima pasal tersebut
ternodainya rasa keadilan masyarakat, tentu punya dasar rasionalitas tersendiri.
meningkatnya kuantitas kasus korupsi, Sebagaimana diket ahui, fenomena “korupsi
tergerusnya kekuatan efek jera, dan terkait penggelapan dalam jabatan” menjadi
melemahnya wibawa hukum. Sisi inilah yang trend (kecenderungan) yang dominan dalam
merupakan mudarat (al-darar) yang harus jagat korupsi di Indonesia, yang pada
dicegah dan ditanggulangi meskipun harus gilirannya memberi andil luar biasa bagi dahsyatnya geliat korupsi di setiap rezim yang berkuasa sepanjang sejarah negara kita. 25 Mengenai uraian mendala m tentang legal
Dengan adanya kriminalisasi melalui 5 (lima)
maxim ini, lihat „Ali Ahmad al-Nadwî, al- Qawâ‘id al- Fiqhiyyah: Mafhûmuhâ, Nasy’atuhâ, Tatawwuruhâ, Dirâsat Mu’allafâtihâ, Adillatuhâ, Muhimmatuhâ,
24 Lihat Muljatno Sindhudarmo ko, (et.a l), Tatbîqâtuhâ , (Da maskus: Dâr al-Qala m, 1414 H/1994 Ek onomi Korupsi , hlm. 103-123. Perhatikan pula
M), hlm. 286-293. Ka rya ini semula merupakan konsiderans ” Menimbang” UU Pemberantasan Tindak
disertasi penulisnya pada Program Do ktor Universitas Pidana Korupsi yang telah dikutip.
Umm al-Qu râ, Me kkah, Arab Saudi.
de Jure , Jurnal Syariah dan Hukum
Asmawi
mengorbankan kepentingan individu. 26 Maka luas/negara (maslah ah ‘âmmah). Ini jelas dari itu, hadirnya kriminalisasi dalam 5 (lima)
merupakan wujud aplikasi maslahat. pasal itu sesungguhnya mengandung makna
Perihal “korupsi terkait perbuatan penerapan legal maxim “al-darar yuzâl” dan
curang” diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, legal maxim “yutahammal al-darar al-khâss
Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) li daf‘ al-darar al-‘âmm”. Ini jelas
huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d, Pasal 7 ayat merupakan wujud aplikasi maslahat.
(2), Pasal 12 huruf h. Krimina lisasi “korupsi Perihal “korupsi terkait perbuatan
terkait perbuatan curang” yang diatur dalam 6 pemerasan” diatur dalam Pasal 12 huruf e,
(enam) pasal itu jelas dapat dianalisis dengan Pasal 12 huruf g, dan Pasal 12 huruf f. Dalam
teori maslahat. Dalam perspektif hukum perspektif hukum Islam, “korupsi terkait
Islam, secara doktriner ”perbuatan curang” perbuatan pemerasan” yang diatur 3 (tiga)
jelas dilarang keras dan diharamkan pasal itu dapat dirujukkan kepada perihal
sebagaimana terlihat dalam pesan al- Qur‟an “perbuatan pemerasan” yang diidentifikasi
dan Hadis. Jadi, ”perbuatan curang” oleh al- Qur‟an dan Hadis sebagai akl al-mâl
dikualifikasi dengan kriminalisasi ta‘zîr atas bi al-bâtil dan al-gasb. Dengan demikian, ia
dasar alasan bahwa ia merupakan al- merupakan al- ma‘siyyah, sehingga dapat
ma‘siyyah. Atas dasar ini, “korupsi terkait dikriminalisasi melalui kategori kriminalisasi
perbuatan curang” dapat dikategorikan ta‘zîr.
sebagai tindak pidana ta‘zîr.
Lalu, di mana letak aplikasi maslahat maslahat ? Dalam kriminalisasi ta‘zîr atas
Lalu, di mana letak aplikasi
“korupsi terkait “korupsi terkait perbuatan pemerasan”, wujud
dalam
kriminalisasi
perbuatan curang” ini ? Hal ini dapat aplikasi maslahat harus dilihat pada segi
ditemukan melalui telaah terhadap dasar rasionalitas kriminalisasi tersebut yang
rasionalitas kriminalisasi tersebut. Secara ditunjukkan sebagaimana berikut. Pertama,
teoritis, dasar kriminalitas ditunjukkan oleh dalam kasus “korupsi terkait perbuatan
hal- hal berikut. Pertama, dalam “korupsi pemerasan” itu, “pegawai negeri” atau
curang” tersebut, “penyelenggara negara” diposisikan sebagai
terkait
perbuatan
“pemborong”, “ahli bangunan” dan “penjual pelaku aktif sehingga hal ini menunjukkan
bahan bangunan” dikualifikasi sebagai pelaku bahwa kedudukan sebagai “pegawai negeri”
aktif sehingga hal ini menunjukkan bahwa atau “penyelenggara negara” memang rentan
kedudukan sebagai “pemborong”, “ahli dengan perilaku koruptif yang nota bene
bangunan”, dan “penjual bahan bangunan” dampaknya menggerogoti keuangan negara.
memang rentan dengan perilaku koruptif, Kedua,
misalnya kongkalingkong dengan pejabat pemerasan”
pimpinan proyek yang tengah dikerjakan, kehidupan
merapuhkan
sendi-sendi
yang nota bene dampaknya berupa keuangan/perekonomian negara, yang pada
negara,
terutama
penggerogotan keuangan negara. Kedua, gilirannya menyengsarakan kehidupan rakyat
perbuatan curang” banyak. Ketiga, “korupsi terkait perbuatan
“korupsi
terkait
merapuhkan sendi-sendi kehidupan negara, pemerasan” menimbulkan kerugian material
terutama keuangan /perekonomian negara, pada diri k orban “perbuatan pemerasan”.
yang pada gilirannya menyengsarakan Adanya kriminalisasi “korupsi terkait
kehidupan rakyat banyak. Ketiga , “korupsi perbuatan pemerasan”, dengan demikian,
terkait perbuatan curang” menimbulkan jelas mengandung makna jalb al-masâlih wa
kerugian pada diri korban yang terkena dar’ al-mafâsid, di mana kepentingan yang
sasaran perbuatan. Ketiga hal tersebut jelas dilindungi ialah kepentingan masyarakat
menggambarkan adanya penerapan jalb al- masâlih wa dar’ al-mafâsid sehingga
aplikasi maslahat memang terwujud.
26 Perhatikan pula konsiderans ”Menimbang” Perihal “korupsi terkait dengan
UU Pe mberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah
benturan kepentingan dalam pengadaan”
dikutip.
Volume I, Nomor 2, Januari 2010 99
Relevansi Teori Maslahat Dengan UU Pemberantasan Korupsi
dimuat pada Pasal 12 huruf i. Dalam Lalu, di manakah letak aplikasi perpektif hukum Islam, perihal “benturan
maslahat ? Dalam kaitan ini, aplikasi kepentingan dalam pengadaan” merupakan
maslahat hadir dalam bentuk dasar hal yang dilarang. Larangan ini dapat
sebagaimana berikut. ditemukan
rasionalitasnya
Pertama , pelarangan gratifikasi dapat memelihara
menutup peluang terjadinya tindak korupsi mengkhianati amanat, yang terdapat dalam
yang lebih besar. Kedua, gratifikasi seringkali al- Qur‟an dan Hadis. Dalam perspektif
disalahgunakan untuk tujuan tindakan hukum pidana Islam, secara doktriner
penyimpangan hukum. Ketiga, gratifikasi perbuatan “terkait benturan kepentingan
punya andil atas timbulnya feomena ekonomi dalam pengadaan” dapat dikriminalisasi
berbiaya tinggi (high cost economy). Dalam dengan kategori kriminalisasi ta‘zîr.
format demikianlah maslahat te raplikasi Lalu, timbul pertanyaan di manakah
“korupsi terkait letak aplikasi maslahat dalam kriminalisasi
tersebut ? Hal ini harus ditelusuri melalui
Perihal “tindak pidana lain yang
d asar rasionalitas kriminalisasi “korupsi
berkaitan dengan tindak pidana korupsi”
terkait benturan
diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan pengadaan”. Mengenai hal ini, dapat
kepentingan
dalam
Pasal 24 UU No. 31 Tahun 1999. dikemukakan bahwa keterlibatan pegawai
21 mengkriminalisasi negeri atau penyelenggara negara dalam
Pasal
“merintangi proses pemeriksaan perkara suatu tindak korupsi seringkali berawal dari
korupsi”. Dalam perspektif hukum Islam, pekerjaan pemborongan, pengadaan atau
secara doktriner tindakan “mencegah, persewaan yang diurusnya atau diawasinya,
merintangi atau menggagalkan, secara di mana posisinya sebagai pengurus atau
langsung atau tidak langsung, penyidikan, pengawas pekerjaan tersebut menciptakan
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang iklim persaingan usaha yang tidak sehat
pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa manakala pegawai negeri atau penyelenggara
ataupun para saksi dalam perkara korupsi” negara yang bersangkutan ikut serta dalam
(kriminalisasi versi Pasal 21) dapat pekerjaan tersebut karena akan terjadi
dirujukkan kepada perihal larangan berbuat benturan kepentingan. Oleh karena itu,
al-bagy yang merupakan varian al- ma‘siyyah, keikutsertaan mereka harus dilarang melalui
yang dilarang keras dan diharamkan oleh al- kriminalisasi. Inilah wujud maslahat dari
Qur‟an dan Hadis.
kriminalisasi Pasal 12 huruf i. Jadi, lebih Lalu, apakah ia dapat dikriminalisasi
merupakan manifestasi dari sadd al-dzarî ‘ah
menurut doktrin hukum pidana Islam ? yang nota bene bersendikan maslahat.
Dalam perspektif hukum pidana Islam, setiap Perihal “korupsi terkait gratifikasi”
varian al- ma‘siyyah dapat dikriminalisasi; diatur dalam Pasal 12B jo. Pasal 12C UU No.
dan karena itu, tindakan “mencegah,
20 Tahun 2001. Dalam perspektif hukum merintangi, atau menggagalkan secara Islam, penerimaan gratifikasi (hadâya al-
langsung atau tidak langsung penyidikan, ‘ummâl) dipandang sebagai bentuk al-gulûl
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang dan haram hukumnya; dan karena itu dinilai
pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa sebagai varian al- ma‘siyyah. Hal ini
ataupun para saksi dalam perkara korupsi” terkandung dalam pesan Hadis Ahmad
dapat dikriminalisasi, di mana ia dimasukkan (larangan hadiah pejabat). Dalam perspektif
ke dalam kriminalisasi ta‘zîr. hukum pidana Islam, penerimaan gratifikasi
Yang menjadi pertanyaan kemudian (hadâya al- ‘ummâl) dapat dikriminalisasi,
ialah di manakah letak aplikasi maslahat yakni dengan memasukkannya ke dalam
dalam kriminalisasi Pasal 21 tersebut ? Hal domain kriminalisasi ta‘zîr lantaran status
ini menuntut penjelasan tentang dasar perbuatan “menerima gratifikasi” sebagai al-
kriminalisasi tersebut. ma‘siyyah.
rasionalitas
tindakan “mencegah, 100
Penjelasannya,
de Jure , Jurnal Syariah dan Hukum
Asmawi
merintangi, atau menggagalkan secara dikriminalisasi, dan dalam hal ini yang langsung atau tidak langsung penyidikan,
relevan ialah kriminalisasi t a‘zîr. penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
Lalu, di manakah letak aplikasi pengadilan
maslahat dimaksud ? Mengenai hal ini dapat menimbulkan mudarat sebagai berikut.
dasar rasionalitas Pertama, menjatuhkan wibawa institusi
ditelusuri
melalui
kriminalisasi versi Pasal 22. Dengan peradilan pidana. Kedua, memperburuk citra
perspektif teori maslahat dapat dikatakan dan kinerja penegakan hukum sehingga
bahwa aplikasi maslahat sudah diaplikasikan memerosotkan wibawa hukum. Ketiga,
dalam Pasal 22. Adanya kualifikasi tindak menyelamatkan lembaga peradilan dari
pidana versi Pasal 22 (”tidak memberi anarki sosial. Semua itu pada gilirannya
keterangan atau memberi keterangan yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi
tidak benar”) bertujuan untuk memperoleh ke akar-akarnya. Lebih dari itu, adanya
bukti-bukti yang sempurna, termasuk kualifikasi tindak pidana menurut Pasal 21
bagi keperluan (“merintangi proses pemeriksaan perkara
keterangan-keterangan,
penuntasan kasus tindak pidana korupsi ya ng korupsi”) bertujuan untuk menciptakan
sedang diperiksa. Karena itu, tindakan tidak kelancaran proses pemeriksaan kasus tindak
atau memberi pidana korupsi sehingga upaya penindakan
memberi
keterangan
keterangan yang tidak benar” dapat dapat berjalan efektif, yang pada gilirannya
dikenakan pidana terhadap pelakunya. Dari menentukan
sisi ini kriminalisasi Pasal 22 sudah sejalan pemberantasan korupsi secara keseluruhan.
tingkat
keberhasilan
dengan prinsip jalb al-masâlih wa dar’ al- Apalagi, jika kasus tindak pidana korupsi
mafâsid . Ini jelas menggambarkan wujud tersebut berhubungan dengan pejabat atau
aplikasi maslahat dalam Pasal 22 tersebut. pengusaha yang berpengaruh, kecenderungan
Aplikasi maslahat juga ditunjukkan merintangi proses pemeriksaan sangat
oleh kualifikasi tindak pidana versi Pasal 23. menonjol. Jadi, kriminalisasi Pasal 21 sesuai
Adanya kualifikasi tindak pidana menurut dengan prinsip jalb al-masâlih wa dar’ al-
Pasal 23 bertujuan memberikan perlindungan mafâsid . Dengan demikian, jelas tergambar
hukum terhadap, baik orang yang terkait wujud aplikasi maslahat dalam Pasal 21
maupun harta kekayaan negara. Dalam tersebut.
korupsi, sangat Penting
pemeriksaan
kasus
dimungkinkan terjadinya penyalahgunaan sejauhmanakah aplikasi maslahat dalam
untuk
dipertanyakan
kekuasaan jabatan yang merugikan pihak- kriminalisasi versi Pasal 22 ? Dalam
pihak. Oleh karena itu, diperlukan tindakan perspektif hukum Islam, secara doktriner
antisipatif agar tidak timbul kerugian para perbuatan “tidak memberikan keterangan
pihak tersebut akibat penyalahgunaan atau memberikan keterangan yang tidak
kekuasaan jabatan terkait pemeriksaan kasus benar ” dapat dirujukkan kepada perihal
korupsi. Inilah yang merupakan wujud “berbohong” yang merupakan perbuatan
maslahat dalam konstruksi Pasal 23. Terlihat yang dilarang, sesuai dengan petunjuk al-
jelas bahwa dalam kriminalisasi versi Pasal Qur‟an dan Hadis. Dengan demikian, dapat
23 telah mengandung prinsip jalb al-masâlih disimpulkan bahwa perbuatan
“tidak
wa dar’ al-mafâsid.
memberikan keterangan atau memberikan Terkait kriminalisasi versi Pasal 24 ini keterangan yang tidak benar ” adalah haram
dapat diajukan pertanyaan sejauhmanakah hukumnya sehingga ia merupakan al-
aplikasi maslahat di dalamnya ? Dalam ma ‘siyyah. Dalam perspektif hukum pidana
perspektif hukum Islam, secara doktriner Islam, lantaran merupakan varian al-
tindakan “membuka rahasia orang lain” dapat ma‘siyyah
dikorelasikan dengan sikap al-khiyânah memberikan keterangan atau memberikan
sebagai lawan dari sikap al-amânah , keterangan yang tidak benar ” layak untuk
sebagaimana didapatkan di dalam al- Qur‟an dan Hadis. Dalam perspektif hukum pidana
Volume I, Nomor 2, Januari 2010 101
Relevansi Teori Maslahat Dengan UU Pemberantasan Korupsi
2. Aplikasi Maslahat dalam Formulasi Islam, “mengkhianati amanat” (al-khiyânah) 27 itu merupakan domain kriminalisasi ta‘zîr.
Sanksi Pidana
Dengan demikian, tindakan “membuka Dalam tinjauan teori maslahat yang rahasia ora ng lain” yang dikriminalisasi oleh
nota bene diakomodasi dalam doktrin hukum Pasal 24-dalam perspektif hukum pidana
pidana Islam, pola pemidanaan UU Islam-dapat dikualifikasi sebagai tindak
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas pidana ta‘zîr.
dapat dikualifikasi sebagai domain hukum Pertanyaan yang muncul kemudian
ta‘zîr; dan ini juga merupakan konsekuensi- ialah di manakah letak aplikasi maslahat
logis dari kualifikasi tindak pidana korupsi dalam kriminalisasi Pasal 24 tersebut ?
sebagai kategori tindak pidana ta‘zîr. Karena Persoalan ini menuntut penjelasan tentang
karakter fleksibilitasnya, pola pemidanaan dasar rasionalitas kriminalisasi Pasal 24 itu.
kategori hukum pidana ta‘zîr dapat diubah Setidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang
dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan mendasari rasionalitas kriminalisasi tersebut.
dan tuntutan keadaan sehingga di dalamnya Pertama, terbukanya identitas pelapor akan
aspek rasionalitas memainkan peran yang membahayakan keselamatan jiwa si pelapor,
sangat penting. Dari sisi inilah kehadiran apalagi pelaku kejahatan korupsi merupakan
maslahat sebagai kerangka acuan merupakan orang-orang yang nekad demi tercapainya
conditio sine qua non .
cita-cita. Kedua, bila tidak dikriminalisasi, Pola pemidanaan UU Pemberantasan masyarakat akan merasa takut untuk
Tindak Pidana Korupsi tersebut dapat melaporkan hal-hal terkait tindak pidana
dipandang telah mengandung aplikasi korupsi lantaran jiwanya senantiasa terancam
maslahat berupa jalb al-masâlih wa dar’ al- bilamana identitas mereka sebagai pelapor
mafâsid karena pemidanaan tersebut dibuka. Ketiga, menjaga kerahasiaan identitas
bertujuan untuk menyelamatkan keuangan pelapor sangat penting untuk tercapainya
negara demi efektivitas upaya pemberantasan korupsi.
negara/perekonomian
terwujudnya kesejahteraan hidup rakyat. Lebih dari itu, adanya kualifikasi tindak
Lebih dari itu, pola pemidanaan tersebut juga pidana versi Pasal 24 bertujuan untuk
dapat dipandang telah mengakomodasi melindungi keselamatan diri pelapor kasus
maslahat, yakni membela kepentingan rakyat tindak pidana korupsi. Dalam kasus korupsi
banyak dengan melindungi harta kekayaan yang nota bene melibatkan orang-orang
negara dari penggerogotan para koruptor berpengaruh, seringkali dilakukan berbagai
melalui penetapan sanksi pidana yang adil cara oleh para pelakunya, termasuk cara
dan efektif. Hal ini sejalan dengan salah satu kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap
komponen maslahat, yakni hifz al-mâl, di orang yang melaporkan (pelapor) kasus
mana kepentingan yang dilindungi ialah korupsi tersebut, agar tindak korupsi yang
kepentingan hidup rakyat/negara (maslahah diperbuatnya tidak terbongkar. Pelapor bisa
‘âmmah).