Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS MENGG (1)

MENGGAGAS KINERJA BIROKRASI PUBLIK

Oleh: Teguh Yuwono

Abstract

Change in the public sector is the rule rather than the expectation. The quest for the perfect way of structuring and managing government has gone on as long as there has been a government, always to end in disappointment. The problem has been in part that no single definition of what constitutes perfect administration exists. Further, each solution tends to create its own new set of problems, which in turn will create a new set of reforms. Although this cycle of reform is beneficial for those of us interested in the process of change, it is less so far for those involved in the process. Frequent changes tend to create cynicism about reform efforts both inside and outside the public sector. Howe ver, such efforts can be a politician’s best friend, given that they are at times the only possible reaction to intractable policy problems. (Peters, G. 1996, hal. vii)

PENDAHULUAN

terlibat dan terkena langsung dampak ini barangkali tidak akan cukup memuaskan.

Tidak bisa dipungkiri introduksi Masalahnya akan semakin pelik kalau paradigma-paradigma baru dalam sektor

disitu mulai muncul politisasi alias publik seperti misalnya standar kinerja,

politicking yang kental. gugus kendali mutu, pelayanan terpadu,

Kembali kepada fokus tulisan ini orientasi pelanggan, kepuasan pelanggan

yang menitikberatkan pada kajian dan se-bagainya adalah paradigma-

mengenai kinerja organisasi publik, maka paradigma dalam sektor publik yang

akan membahas sangat dipengaruhi oleh keberhasilan

makalah

ini

kontekstualitas kinerja sejalan dengan manajemen sektor privat. Proses dan

perkembangan introduksi kinerja sebagai implikasi yang selalu dihasilkan sebagai

hasil pengaruh dari kemajuan sektor publik, efek samping introduksi dan implementasi

kemudian dilanjutkan kepada aspek paradigma baru tidak selama-nya

idealisme-teoritik tentang kinerja, dan menghasilkan sesuatu yang mulus.

diakhiri pada realitas pelaksanaan kinerja Sebagaimana disampaikan diatas oleh

organisasi publik termasuk didalamnya seorang praktisi dan pelaku sektor publik

organisasi publik di Indonesia. Target yang sangat kenyang pengalaman Prof.

akhir dari makalah ini adalah sebuah Guy Peters, yaitu bahwa sesungguhnya

harapan besar agar kinerja organisasi perubahan dan konteks lingkungan sektor

publik di Indonesia bergeser dari publik tidak sedinamis sektor privat.

formalisme ke realisme-pragmatisme, yaitu Dalam pandangan Guy Peters, refor-

terjadi pada kenyataan bukan sekedar masi atau implementasi paradigma baru

formalisme laporan.

dalam manajemen sektor publik telah berlangsung cukup lama sejalan dengan

Penutup: Nasehat Pengembangan

usai sektor publik itu sendiri, toh hasilnya

Kinerja

masih saja berakhir dengan kekecewaan. Walaupun kritik diatas nampaknya Per-masalahannya memang berpangkal

sangat keras, tetapi the bottom line motive- pada

nya sangat jelas yaitu bagaimana administrasi publik yang paling sempurna.

apa sesungguhnya

sistem

membangun kinerja organisasi publik di Setiap solusi untuk memperbaiki kinerja

Indonesia. Oleh karenanya membangun sektor publik cenderung justru menjadi

komitmen bersama, kesepahaman dan masalah baru yang pada akhirnya berubah

dalam meningkatkan menjadi agenda untuk reformasi. Pada

kesatupaduan

prestasi lembaga (termasuk orang-orang tataran praktis, yaitu bagi mereka yang

didalamnya) merupakan sesuatu yang didalamnya) merupakan sesuatu yang

pribadi. Jangan Berikut

secara

mempermalukannya didepan orang peringatan dan nasehat-nasehat penting

berkaitan dengan

 Jangan kikir untuk melakukan membangun kinerja organisasi publik yang

upaya-upaya

sanjungan atau pujian jika memang diharapkan. Bila hal-hal ini dapat dilakukan

pekerjaan itu bagus guna memotivasi maka cepat atau lambat hasil yang

karyawan.

diharapakan akan segera nampak.  Sasaran proses penilaian adalah  Penilaian kinerja dapat mempertinggi

membuat karyawan produktivitas para karyawan, tetapi

untuk

memandang diri mereka sendiri harus dilaksanakan dalam suatu cara

seperti adanya, me-ngenali kebutuhan sehingga

perbaikan kinerja dan untuk berperan komitmen karyawan untuk lebih

dapat

meningkatkan

serta dalam membuat rencana produktif

perbaikan kerja

 Penilaian kinerja yang akurat  Suatu penilaian kinerja yang mengkaji menuntut lebih dari sekedar alat

kepribadian karyawan kurang berguna pemberi nilai kinerja; dan tidak hanya

untuk mengkaji produktivitas atau terjebak

kontribusi yang telah diberikan guna formalisme administrasi

pada

angka-angka

sasaran-sasaran  Keterlibatan karyawan penting untuk

mencapai

organisasi/lembaga. menyusun standar kinerja dan

Jika semua nasehat-nasehat diatas mengenali

penyebab-penyebab sudah anda lakukan dan ternyata hasil kemacetan kinerja kinerjanya masih saja buruk, maka ada

 Penilaian diri

beberapa alternatif yang mungkin pengungkapan penyebab-penyebab

sendiri

dan

dilakukan antara lain: kinerja buruk akan mempertinggi

 Pemindahan ke pekerjaan lain keterlibatan karyawan dan harus

menghasilkan penilian yang akurat,  Penurunan pangkat jujur dan adil

 Penurunan gaji

 Penilain kinerja yang akurat dan adil  Rehabilitasi pekerjaan sekarang sangat kecil kemungkinan ditentang

 Menurunkan atau merancang kembali karyawan,

meningkatkan produktivitas yang lebih besar.

 Program tidak mampu (mental atau

fisik)

 Teguran tertulis merupakan sesuatu yang paling berbahaya dalam penilian

 Penciptaan pekerjaan sementara kinerja, maka harus dilakukan suatu

 Pelatihan kembali dalam ketrampilan- mekanisme yang hati-hati, jujur,

ketrampilan kerja. akurat dan adil

 Cuti

 Sumber semua konflik antarmanusia

 Pensiun

berasal dari tiga bidang: uang, ke- banggaan pribadi dan harga diri atau

 Pemecatan

menyia-nyiakan cinta kasih dari orang Dalam pandangan penulis mengem- yang disayangi bangkan efektivitas prinsip pelaksanaan

 Bila anda tidak puas dengan kinerja ibarat sepakbola. Pelatih (baca pekerjaan

seorang

karyawan,

manajer, pimpinan, dst) dihadapkan manajer, pimpinan, dst) dihadapkan

Dale Timpe, Kinerja, Elex Media pengetahuan & ketrampilan individual para

Komputindo, Jakarta, hlm. 239-243 pemainnya, dan cohesiveness tim

Badjuri & Yuwono, Teguh 2002,

sepakbola ini. Kinerja (baca prestasi) yang Kebijakan Publik: Konsep dan Strategi, JIP berhasil dari sebuah tim sepakbola tidak

UNDIP, Semarang

akan pernah lepas dari kemampuan Bolt, JF & G.A. Rummler 1999, “Cara individual pemain dan juga kekompakan

Menutup Kesenjangan Dalam Kinerja dalam tim tersebut.

Manusia”, dalam A. Dale Timpe, Bagaimana

Kinerja, Elex Media Komputindo, Manchester United (MU) begitu cemerlang,

mungkin

kinerja

Jakarta, hlm. 129- 139 jika tidak didukung oleh ketrampilan

Scollard, G.F. 1999, “Uraian-Uraian individual pemain yang tinggi semacam

Dinamis” dalam A. Dale Timpe, David

Kinerja, Elex Media Komputindo, berkemampuan luar biasa Alex Ferguson.

Jakarta, hlm. 181-191 Hal ini pun berlaku dengan Brazil yang

ditaburi kemampuan individual yang tinggi “Kebanggaan dan Uang”

Nelson, A. 1999,

semacam Ronaldo, Ronaldiho, dan dalam A. Dale Timpe, Kinerja, Elex didukung dengan kekompakan tim yang

Media Komputindo, Jakarta, hlm. luar biasa.

192-195

Ini tidak berbeda

dengan

Ferris, G.R. & Gilmore, D.G. 1999,

mengembang-kan kinerja organisasi, yaitu “PenilianYang Dapat Disepakati Oleh

Semua Orang” dalam A. Dale Timpe, ketrampilan

membutuhkan kemampuan

dan

Kinerja, Elex Media Komputindo, kekompakan, kerjasama dan cohesiveness

individual

karyawan,

Jakarta, hlm. 233-238 dalam organisasinya yang dipadu oleh

Warsito & Yuwono, Teguh 2003, Otonomi pemimpin atau manajer yang tahu kemana

Daerah: Capacity Building & kinerja dan tujuan organisasi harus

Demokrasi Lokal, diarahkan.

Penguatan

Kemampuan/ketrampilan, Puskodak UNDIP, Semarang upaya dan faktor eksternal merupakan tiga kondisi yang mempengaruhi efektivitas

Management: Indonesian Experience, kinerja individual dan organisasi.

CLoGAPPS, Semarang Yuwono, Teguh (ed) 2001, Manajemen

DAFTAR PUSTAKA Otonomi

Daerah: Membangun Daerah Berdasar Paradigma Baru,

CLoGAPPS, Semarang Alewine, T. C. 1999, “ Penilaian Kinerja

dan Standar Kinerja” dalam A. Dale Yuwono, Teguh 2003 (forthcoming), 101 Timpe,

Salah Kaprah Otonomi Daerah di Komputindo, Jakarta, hlm. 244-249.

Kinerja,

Elex Media

Indonesia,

Puskodak UNDIP,

Bache, J. F. 1999, “Penilaian Kinerja: Marilah Kita Tinggalkan Penilaian

Semarang.

MENAKAR PERILAKU PROFESIONAL DALAM RANGKA MENINGKATKAN KINERJA APARATUR BIROKRASi

Oleh: Derajad S. Widhyharto

Abstract

Having word about civil servants professional behavior, we are leaded to imagine good dedication, commitment to serve, fulfilling need of safety, and also protecting civil society. Actually, it is quite difficult to have civil servants professional behavior in daily life. We can also find a big hole between wishes and hope toward civil servants professional behavior. Perceiving civil servants professional behavior as a profession commitment is one effort to make the hole closer. It means that choosing civil servants as a profession need no reward punishment system. Civil servants will do their profession rationally with good dedication, and also manage their work according to the rule. These we identified as commitment. When we use that definition, we have to prepare many things as the consequences. Appropriate payment and social welfare will be among of those.

Keywords: civil servants, Foucault, Authority, Professional Behavior

A. PENDAHULUAN

Fenomena profesi PNS adalah Membahas persoalan perilaku PNS

sebuah ironi yakni PNS yang didamba tapi bukanlah sesuatu yang baru, sejak awal

juga di cemooh, mengapa demikian, masa orde baru sampai sekarang (masa

didambakan karena masih banyak orang reformasi) masih menjadi bahan diskusi

tua di negeri ini yang ingin anaknya yang menarik dibicarakan oleh berbagai

menjadi abdi Negara yang bernama PNS kalangan. Muncul pertanyaan apakah

ini, hal ini terbukti dalam setiap penerimaan persoalan perilaku yang dibicarakan sejak

calon pegawai negeri sipil (CPNS) dulu sampai sekarang ada perbedaan atau

peminatnya selalu membludag. Banyak perubahannya? Jawabnya adalah belum

anak bangsa yang ingin meng-gantungkan ada perbedaan apalagi perubahan, artinya

nasibnya sebagai pelayanan masyarakat. persoalan perilaku PNS masih terkait

Namun, untuk menjadi PNS bukanlah hal dengan isu-isu lama yakni seputar

mudah, selalu ada kejadian kontradiktif penyelewengan kewenangan, gaji kecil,

dibalik profesi ini. Sebaliknya, sebagai proses rekrutmen yang bermasalah dan

pegawai negeri sipil selalu mendapat sebagainya. Alhasil perilaku yang muncul

cemoohan masyarakat karena banyak masih seputar korupsi, mencari tambahan

kasus pelanggaran yang dilakukan oleh gaji, merajalelanya pungutan liar (pungli)

PNS, sehingga citra negative pegawai dan

negeri tidak bisa dihindari. Bukan hanya permasalahan PNS di negeri ini memang

keluyuran pada jam kerja, dan maraknya tidak mudah, sebab sudah terlanjur

berbagai video mesum PNS yang beredar, menjadi kompleks, dan untuk mengurai

tetapi banyak tindak korupsi yang benang kusut persoalan PNS tidak

dilakukan oleh pelayan masyarakat ini. semudah membalikkan tangan.

Dengan kata lain, banyak kasus yang Dengan kata lain, banyak kasus yang

tidak ada permintaan secara resmi, tetapi Melihat ironi tersebut muncul

spirit tersebut ternyata mengalahkan pertanyaan

idealisme para peserta diklat. Akhirnya di profesionalisme terhadap jajaran PNS?

bagaimana

tuntutan

sini berlaku pembenaran berpikir, Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah

melakukan sesuatu yang salah untuk yang mudah, mengingat berbagai persoalan

benar. Pertimbangannya demi kelulusan. yang menyelubungi profesi PNS selama ini

Keempat, sistem pembinaan PNS yang bukanlah persoalan oknum PNS semata

belum jelas. Secara umum dapat tetapi lebih berwajah mekanis dan

dinyatakan bahwa hampir tidak ada sistematis

perbedaan antara PNS yang berkinerja baik dan kurang baik dalam hal

Sebagai contohnya, ketika CPNS penghargaan. (Suara Karya, 22/02/06). harus mengikuti diklat prajabatan untuk

men-dapatkan status penuh sebagai PNS. Membicarakan PNS secara tidak Seringkali

langsung membicarakan wajah birokrasi berlawanan dengan kaidah professionalism,

bangsa ini. Berbagai kasus pelanggaran sehingga diklat prajabatan inilah awal

yang dilakukan PNS, oleh banyak petaka mengapa PNS menjadi kurang

pengamat politik maupun sosial tidak lepas profesional. PNS yang diharapkan menjadi

dari asumsi perilaku birokrasi. Ketika ujung

asumsi perilaku birokrasi yang dipahami administrasi negara tampaknya masih

tombak perbaikan

sistem

maka secara tidak langsung akan bersifat “abu-abu”. Setidaknya ada empat

melibatkan sistem kerja birokrasi itu sendiri. hal yang menjadi permasalahan dalam

Termasuk di dalamnya adalah sistem Diklat Prajabatan. Pertama, materi diklat

pengawasan dan evaluasi kinerja, serta kurang mendukung. Materi diklat yang

sistem hukuman dan penghargaan. Kondisi diberikan pada CPNS kurang memberikan

tersebut tentu saja dapat mempengaruhi bekal untuk menjadi profesional. Kedua,

motivasi, kinerja PNS dalam keseharian widyaiswara bukan reformis. Artinya,

pekerjaannya.

selama diklat, para widyaiswara lebih Kontradiksi PNS tidak cukup sampai banyak bercerita tentang “kesucian diri”

di situ, persoalan lain juga terus membelit. selama mengabdi dalam struktur birokrasi.

Salah satunya adalah mekanisme kerja Ketiga, selama diklat berlangsung ternyata

dan beban kerja, Di satu sisi, PNS benih-benih korupsi pun tampak kelihatan.

dihadapkan pada mekanisme kerja dan Berbagai sinyal korupsi semakin tampak

beban kerja yang rutin, di sisi yang lain ketika para peserta diklat akan mengakhiri

PNS menghadapi dinamika persoalan kegiatan prajabatan. Peserta prajabatan

masyarakat dan tuntutan pelayanan yang mengalami serangan psikis terkait dengan

tidak mengenal batas waktu. Hal tersebut kelulusan mereka. Untuk bisa lulus pun

dengan semakin akhirnya peserta diklat dengan terpaksa

muncul

seiring

kompleksnya dinamika sosial modern dan harus

karakter masyarakat industri. memberikan kenang-kenangan kepada

patungan

untuk

sekedar

Kondisi tersebut sangat beralasan ketika PNS dihadapkan pada berbagai tuntutan dan beban sosial yang disandang oleh pegawai negeri sipil. Di satu sisi, PNS diharapkan menjadi teladan masyarakat untuk mentaati berbagai aturan maupun kebijakan pemerintah. Dalam posisi ini PNS merupakan ujung tombak proses promosi birokrasi, artinya: sebaiknya otoritas dan kewenangan PNS memang digunakan untuk melayani masyarakat, sehingga konsep pelayanan masyarakat menjadi bagian integral sosok PNS. Pada sisi yang lain, muncul beban panutan yang berimplikasi pada pemanfaatan kekuasaan sebagai aparatur birokrasi. Beban yang dimaksud adalah status aparatur terbawa sampai ruang sosial, hal inilah yang menjadikan PNS lebih suka dihormati dari pada menghormati. Masih sejalan dengan argumentasi kekuasaan di atas. Status atau dalam hal ini profesi PNS menekankan kepentingan pribadi (self interest). Pada proses ini, kekuasaan dianggap melekat dalam individu PNS. Alhasil, cara berpikir kekuasaan selalu mempengaruhi perilaku negatif PNS.

Berkaca dari penjelasan di atas, maka ada dua hal untuk menggambarkan benang kusut yang meliputi persoalan kinerja birokrasi, dua hal tersebut adalah berkuasa atau melayani, dua suku kata inilah seringkali menjadi polemik dari berbagai persoalan aparatur birokrasi di Negara ini. berkuasa diilustrasikan dengan kekuatan dan kewenangan tanpa batas, bahkan seorang pensiunan pejabat PNS masih me mpunyai “garis perintah” yang hampir sama dengan PNS yang masih menjabat. Sedangkan melayani diwakili

dengan tuntutan adaptasi terhadap dinamika kehidupan masyarakat.

Kedua hal tersebut mengisyaratkan kompleksitas persoalan yang tak kunjung usai. Setidaknya ada tiga identifikasi persoalan. Pertama, Tidak berjalannya reward and punishment hal ini dibuktikan dengan banyaknya PNS yang dihukum karena perbuatnnya tetapi hukuman tersebut tidak menjadikan PNS jera, justru pelanggaran demi pelanggaran muncul. Artinya, konsep insentif yang ditawarkan hanya mendorong persoalan baru karena disinsentif tidak diberlakukan secara tegas. Kedua, Kegagalan menjadi Role model (tokoh panutan) dalam perspektif sosiologi diartikan ke dalam tiga aspek codes (alasan bertindak) PNS gagal bertindak karena tidak cukup mempunyai alasan yang jelas, aspek context (ruang dan waktu) PNS gagal memahami ruang dan waktu dan Institution (representasi organisasi sosial) PNS gagal mewakili organisasi sosialnya. Ketiga, Politisasi PNS, bukan lagi rahasia ketika PNS diidentikan dengan parpol yang berkuasa karena selama ini PNS selalu dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan oleh parpol.

Penjelasan tersebut mengambarkan karakter PNS yang merujuk pada tiga aspek karakter PNS, pertama karakter pasrah pada nasib (fatalistic). Karakter yang pertama ini seorang PNS merasa tidak berdaya dan tidak mampu lagi merespon berbagai dinamika kerja. Alhasil PNS hanya mengikuti arus kerja, tidak berani memutuskan seseuatu terkait dengan pekerjaan. Karakter yang kedua PNS yang gagal beradaptasi, pada level ini adalah mereka yang merasa pintar, mempunyai kemampuan kerja, dan mampu mandiri dalam bekerja. Karakter ini menghasilkan PNS yang semau gue, asal Penjelasan tersebut mengambarkan karakter PNS yang merujuk pada tiga aspek karakter PNS, pertama karakter pasrah pada nasib (fatalistic). Karakter yang pertama ini seorang PNS merasa tidak berdaya dan tidak mampu lagi merespon berbagai dinamika kerja. Alhasil PNS hanya mengikuti arus kerja, tidak berani memutuskan seseuatu terkait dengan pekerjaan. Karakter yang kedua PNS yang gagal beradaptasi, pada level ini adalah mereka yang merasa pintar, mempunyai kemampuan kerja, dan mampu mandiri dalam bekerja. Karakter ini menghasilkan PNS yang semau gue, asal

kesalahan penyelamat dari ketidaktahuan atau hubungan kerja (terjadi diskriminasi,

marjinalisasi) kondisi ini seringkali dituding akan sebuah resiko profesi. menghasilkan karakter PNS yang egois.

Jadi perilaku profesional PNS adalah Ketiga adalah PNS yang terpengaruh pada

dampak atau akibat bukanlah penyebab, pemikiran yang dikotomis, misalnya

sehingga meskipun kebijakannya bagus sebagai korban kekuasaan, regime yang

berkuasa pada level ini, karakter PNS yang dan pelaksanaanya juga diawasi, tetapi muncul justru melakukan perlawanan

persoalan perilaku/interaksi tidak pernah terhadap tugas pokok dan fungsi PNS itu

disinggung. Karena menganggap bahwa sendiri,

struktur cukup dominan mempengarui stereotyping mbalelo terhadap pimpinan

sehingga

mengakibatkan

perilaku. Ketika yang dijunjung tinggi dan sebagainya. Ketiga karakter tersebut

disinyalir mempengaruhi Motivasi, kinerja adalah keseragaman (konformitas) atas dan budaya kerja PNS sebagai pelayan

sebuah kesalahan berpikir, maka masyarakat.

keseragaman kesalahan tersebutlah yang akan selalu digunakan dalam setiap langkahnya.

KESIMPULAN DAN CATATAN KRITIS

kata lain, perilaku kompleksitas persoalan kepegawaian

Merujuk pada dinamika dan

Dengan

profesional PNS akan muncul ketika PNS tersebut, setidaknya pengambil keputusan

tidak lagi memikirkan uang tambahan dapat

untuk menyekolahkan anak, atau mencicil profesional PNS, dengan berbagai upaya

rumah atau motor. Karena perilaku dan untuk menjamin kebutuhan PNS. Memang

tidak mudah, di satu sisi jumlahnya yang cara berpikir profesional sangat besar menjadikan pengelolaannya semakin

dipengaruhi oleh kultur, struktur sosial dan kompleks karena menyangkut berbagai hal

kebutuhan kepentingan masing-masing seperti politisasi dan beban sosial dan

individu yang tidak dapat dibatasi oleh sebagainya. Di sisi selain pengelolaan,

sekat apapun dan oleh kebijakan maupun muncul tuntutan pelayanan masyarakat

yang optimal, dedikasi, dan komitmen. aturan seketat apapun juga. Penjelasan tersebut dapat dimaknai

bahwa untuk menyelamatkan orang dari

DAFTAR PUSTAKA

bencana, tidak bisa tiba-tiba berusaha menyelamatkan orang tersebut. Tetapi

Albrow M., (1996), Birokrasi, Tiara perlu ada persiapan pengetahuan

Wacana, Yogyakarta. bagaimana

cara

menyelamatkan,

Anonim, (2006)., Tambahan Penghasilan menyiapkan alat-alat penye-lamatan,

Daerah, Komisi berkordinasi dengan penyelamat lain dan

Bagi

PNS

Pemberantasan Korupsi, Jakarta sebagainya, sehingga dapat dianggap

layak menyelamatkan, dan ketika dianggap Argama R., (2007), Reformasi Birokrasi layak sebagai penyelamat maka sesuai

Perkpektif Adminitrasi dengan resiko profesi penyelamat

dalam

(Makalah), mendapat kesejahteraan dan gaji yang

Pembangunan

Universitas Indonesia, Depok. memadai, sehingga proses penyelamatan

Brown HR., (1989), Social Science and

March G. James & Olsen P Johan.,

Civic Discourse, The University of (1989), Rediscovering Institutions, Chicago Press, Chicago

The Free Press, New York Effendi S., (2005)., Membangun Budaya

Masdar, S., (2006), Menjadi PNS yang Birokrasi untuk Good Governance

melayani Masyarakat, Badiklat Prop (Makalah), Kementrian Menpan,

Jatim, Surabaya. Jakarta.

Sarup M., (1993), Postrukturalisme dan Foucault, M., (1972), The Archeology of

Postmodernisme sebuah pengatar Knowledge & The Discourse on

(terjemahan), Jendela, Language, Pantheon, New York.

kritis

Yogyakarta.

Jalal, M., (2005), Praktek diskursif The Theory of truth Michel Foucault

Surat Kabar :

(makalah), UNAIR, Surabaya. Suara Karya, 22 Februari 2006

MANAJEMEN DIKLAT DALAM UPAYA OPTIMALISASI KINERJA PEGAWAI PUBLIK

Oleh: Rosidah

Absract

Training is a form of employee development toward achieving the vision and mission of an organization. The process toward achieving vision and mission is inseparable from various challenges such as: technological development, politic, social, and the demand for good quality service. In order to get the right balance as a result of those challenges, the existence of qualified human resoure that meet the required qualification needs to be taken into account in order to obtain effective work as demanded by either internal and external stakeholder. One of the efforts that can done is by improving the training management. Trainig will be more effective when it is capable of transforming one’s attitudes to meet the organizational goals. In accordance to that, there are some stages needed to be done : 1) planning stage which involves needs analysis, setting objectives for the training management development, the material/curriculum, time/duration of training, trainer and method of training, 2) the training which involves setting the committee either in organizing committee, those belong to the training organization and sterring committee, those immediately in charge of the training, 3) evaluation stage can be conducted through the following alternatives: post test, pretest/post test, or multiple pretest/multiplepost test, or post training action plan. Key word: training, human resource.

I. PENDAHULUAN

persaingan global, juga adanya alih Reformasi terhadap kualitas pegawai

teknologi. Kondisi masyarakat yang (sumberdaya manusia) merupakan bagian

semakin maju baik tingkat ekonomi dari reformasi pemerintahan dalam rangka

maupun sosial juga mem-pengaruhi mengarah pada pencapaian good

kebutuhan diklat. Tuntutan masya-rakat governance. Upaya yang dapat dilakukan

akan kualitas pelayanan memberikan melalui sistem manajemen kinerja, tidak

sinyal pada birokrasi untuk melakukan hanya pada staf akan tetapi menyeluruh

penyesuaian-penyesuaian. Sebuah organi- dari pegawai jajaran kepemimpinan sampai

sasi harus mampu beradaptasi secara dengan pegawai pada tingkat operasional.

cepat agar perubahan yang terjadi tidak Salah satu aspek manajemen kinerja

meng-gangggu kinerjanya. adalah bagaimana sistem pengembangan

Pendidikan dan Pelatihan merupakan pegawai dikelola dalam

suatu proses pembelajaran dalam pendidikan dan pelatihan (diklat) supaya

kemasan

mengarah pada benar-benar sesuai dengan fungsinya,

organisasi

yang

perubahan sikap dan perilaku pegawai yakni mampu memberikan efek positif

untuk memenuhi harapan kualifikasi kerja pada peningkatan kinerja di lingkungan

dan tuntutan perkembangan organisasi organi-sasinya. Kebutuhan diklat muncul

baik internal maupun eksternal. Berdasar karena adanya masalah-masalah yang

PP RI No. 101 tahun 2000, disebutkan mengganggu kinerja organisasi, seperti

bahwa tujuan diklat antara lain: penurunan prestasi mencakup menurunya

meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, pelayanan dan tingkat produksi. Di samping itu,

dan sikap untuk dapat melakukan tugas perubahan lingkungan organisasi yang penuh

jabatan secara profesional dengan ketidakpastian (boundarlys organization)

dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai memaksa sebuah organisasi untuk selalu

kebutuhan instansi, memantapkan sikap menyesuaikan dan mengikuti arah

dan semangat peng-abdian yang perubahan tersebut. Beberapa sebab lain

berorientasi pada pelayanan, pengayoman adanya kebutuhan diklat selain dipicu oleh

pemberdayaan masyarakat, permasalahan-permasalahan

dan

menciptakan kesamaan visi dan dinamika dengan kualitas angkatan kerja dan

terkait

pola pikir. PP tersebut memberikan pola pikir. PP tersebut memberikan

karena itu, organisasi harus memberikan dengan mengikuti diklat.

fasilitas terkait dengan jenjang karir yang Untuk meningkatkan kinerja pegawai

jelas, antara lain dengan manajemen diklat yang efektif guna memenuhi kualifikasi

sebagaimana dijelaskan pada Peraturan yang dipersyaratkan.

Pemerinatah No. 101 Tahun 2000 tentang pendidikan dan Pelatihan PNS, pada ayat

2 dijelaskan bahwa diklat dalam jabatan

V. KESIMPULAN

meliputi: diklat kepemimpinan, diklat fungsional dan diklat teknis. Seiring

Diklat merupakan salah satu upaya dengan perkembangan organisasi maka

pengembangan pegawai dalam rangka kebutuhan diklat baik diklat fungsional

memenuhi kinerja yang diharapkan dan maupun teknis sangat mendesak selain

memenuhi kualifikasi sumber daya untuk mengisi jabatan juga dalam rangka

manusia untuk menghadapi perubahan memenuhi tuntutan persyaratan pekerjaan

tuntutan kualitas baik dari internal maupun dan pelayanan masyarakat. Tantangan

Keputusan pentingnya yang perlu menjadi perhatian selanjutnya

eksternal.

penyelenggaraan diklat didasarkan pada terarah pada bagaimana sumberdaya

analisis kebutuhan, yang dapat dianalisis manusia (pegawai) mampu memenuhi

melalui kebutuhan pengembangan karir, harapan

adanya kepentingan perbaikan kinerja sebagaimana misi yang telah ditentukan.

perkembangan

organisasi

pegawai yang rendah, penambahan fungsi Nampaknya perlu ada kese-imbangan

organisasi, memperkecil antara orientasi organisasai yang akan

dalam

kesenjangan tuntutan pekerjaan dengan dituju dengan kinerja yang seharusnya

sumber daya manusia yang ada. Informasi dieksiskan

dari analisis kebutuhan mengharuskan ada mewujudkan pengembangan organisasi

dan tidaknya program diklat. Apabila yang optimal.

permasalahan terkait dengan persoalan Permasalahan organisasi publik tidak lepas

pegawai, maka perlu program diklat, yang pula dengan persoalan karir para

harus dirancang dengan langkah-langkah: pegawainya.

1) tahap perencanaan dengan menentukan merupakan kebutuhan pegawai, yang

Pengembangan

karir

jenis diklat, nara sumber (pelatih), durasi mampu memicu dan memberikan motivasi

waktu, penentunan materi/kurikulum, 2) pegawai dalam peningkatan kinerja. Salah

tahap pelaksanaan dan 3) tahap evaluasi. satu strategi untuk memenuhi tuntutan karir

Ada beberpa alternatif desain evaluasi: adalah keikutsertaan dalam diklat. Secara

post test, pretest/post test atau dengan konsep, karir merupakan rangkaian

multiple pretest/multiplepost test, atau post pekerjaan atau tugas yang disesuaikan

training action plan. Keberhasilan diklat dengan kepentingan individu. Seseorang

terwujud apabila diklat mempunyai dampak pegawai akan menentukan sendiri arah

positif pada peningkatan kinerja atau hasil karirnya sesuai dengan nilai, kekuatan,

dengan kriteria kelemahan, dan kemampuan yang dimiliki.

diklat

sesuai

pengembangan tujuan yang telah Diperlukan diklat yang profesional untuk

ditentukan.

menyesuaikan pemenuhan kualifikasi

tuntutan pekerjaan, bagi para pegawai yang akan menelusuri jenjang karir. Melalui

diklat, pegawai diharapkan

dapat

memperoleh pengetahuan, keterampilan,

dan keahlian yang nantinya dapat

diterapkan dalam bekerja maupun dalam

Henry Simamora, 1997. Manajemen

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Daya Manusia. Yogyakarta:

STIE YKPN

Modul, 2008: Analisis Kebutuhan Diklat

Ambar Teguh Sulistiyani & Rosidah,

dan Penyusunan Kurikulum, SCBD 2003 Manajemen Sumber Daya

Sleman

Manusia, Yogyakrta: Graha Ilmu

Peraturan

Pemerintah Republik

Bennet, 1994. Organizational Behaviour.

Indonesia No. 101 Tahun 2000

London: Pitman publishing. tentang Pendidikan dan pelatihan

Bunga Rampai Administrasi Negara,

Jabatan Pegawai Negeri Sipil. 2005. Fokus dan Solusi menuju

Ratminto & Atik Septi Winarsih, 2005.

Terwujudnya Good Governance.. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta:

Jakarta. Lembaga Administrasi Pustaka Pelajar

Negara. Richard L Draft (2002). Manajemen.(terjemahan).

Chuck Wikkiam, 2001. Manajemen Jakarta: Erlangga. (terjemahan). Jakarta: Salemba

William P. Antony, 2002. Human Empat.

Resouces Management., A Strategic Approach, United States Of America

MENINGKATKAN KOMPETENSI APARATUR PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE

Oleh:

Enceng, Liestyodono BI, Purwaningdyah MW

Abstrak

As one of indicator for measuring the success of district autonomy is the better the government in serving citizen and lead them to a better life. In fact, district government’s work has not met the expectation that they still can not serve people optimally. Expanding competencies of apparatus to increase their work quality is the critical factor for the success of the district government’s activity. The work of district government’s apparatus toward high quality performance leads to the educational, competencies, and abilities development due to the growth face in times. The expected competencies that the district government’s apparatus being capable of are the ability to analyze

problems occur within the citizen and be able to solve them in term of district governmental practical system. Keywords: Competency, Regional Governance, Good Governance.

A. PENDAHULUAN sistemik (sejak masukan-proses-keluaran- hasil/dampaknya), sehingga terwujud

Reformasi yang berlangsung telah pelayanan publik yang berkualitas (yang memberikan warna dan pengaruh pada

sedapat mungkin tangible, reliable, perkembangan administrasi publik yaitu

responsive, aman, dan penuh empati untuk menempatkan kembali fungsi

dalam pelaksanaannya). Untuk itu aparatur pemerintahan selaku pelayan

diperlukan aturan main yang tegas, lugas publik (public servant) . Dalam kedudukan

terhadap tuntutan selaku pelayan publik maka secara total

dan

adaptif

perkembangan lingkungan, yang cirinya penyelenggaraan pemerintahan

selalu berubah dengan cepat dan kadang pembangunan, termasuk didalamnya

dan

penuh dengan ketidakpastian. Disinilah pemerintahan dan pembangunan daerah terletak’seni dan ilmu pelayanan’ yang ditujukan untuk pelayanan terhadap

harus dikembangkan pemerintah bersama masyarakat. Dengan demikian untuk

seluruh lapisan masyarakat, harus ada mencapai tujuan pemerintahan dan

integrasi antara seluruh stakeholders pembangunan harus dibarengi dengan

pembangunan (Ibrahim,2006:18). peningkatan

kinerja

pengelolaan

pelayanan publik. Dalam konteks otonomi Masalah yang dihadapi pemerintah daerah, konsep pengukuran kinerja

saat ini adalah keterbatasan aparatur merupakan salah satu tolok ukur

pemda yang berkualitas, ini menjadi suatu kemampuan aparatur pemerintah daerah

fenomena yang sekaligus menjadi masalah (Pemda)

dihadapi dalam kewenangannya.

penyelenggaraan peme-rintahan daerah di Dengan demikian dapatlah diper-sepsikan

Indonesia. Pemda sebagai ujung tombak kedalam beberapa hal yang sangat

pembangunan nasional, dituntut adanya esensial, bahwa pemerintah daerah sudah

perubahan visi, misi, strategi, yang seharusnya

dengan kebutuhan berorientasi pada kepentingan masyarakat

masyarakat. Pemda semakin dituntut (customer driven) dalam memberikan

kesiapannya dalam merumuskan peraturan pelayanan kepada masyarakat luas,

daerah, merencanakan pembangunan mempersiapkan seluruh perangkat untuk

daerah yang disesuaikan dengan situasi memenuhi paradigma tersebut secara

dan kondisi, serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Di sisi lain dan kondisi, serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Di sisi lain

pengalaman.

kreativitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada, sehingga dapat menghadirkan nilai tambah

PENUTUP

ekonomis bagi masyarakatnya. Pada Untuk mendukung aparatur birokrasi kenyataannya kinerja aparatur pemda

yang lebih berdaya, perlu dilakukan upaya belum seperti yang diharapkan. Belum

peningkatan kompetensi aparatur Pemda. optimalnya kinerja aparatur pemda dalam

Dengan demikian pengetahuan teoritik menjalankan tugas dan fungsinya,

sangat penting, yang dengan pengetahuan ditunjukkan masih banyaknya keluhan-

itu kemampuan penalaran seseorang keluhan yang disampai-kan masyarakat

dianggap berkembang sedemikian rupa, atas pelayanan yang diberikan pemda

sehingga kemampuan intelektual tersebut selama ini.

dapat dicurahkan dengan jelas, karena itu Salah satu ukuran keberhasilan

profesionalisme dibutuhkan dalam kegiatan pelaksanaan otonomi daerah adalah

penyelenggaraan pemerintahan daerah semakin mampunya pemda dalam

yang mampu memadukan teori dengan memberikan

masyarakat dan membawa kondisi Good governance merupakan proses masyarakat ke arah kehidupan yang lebih

penyelenggaraan kekuasaan negara dalam baik. Namun demikian, realitas yang terjadi

melaksanakan penyediaan public good and pada era otonomi dan desentralisasi yang

service. Disebut governance (pemerintah muatannya sarat akan nilai-nilai demokrasi

atau kepemerintahan), sedangkan praktek dan transparansi ini cenderung sering

terbaiknya disebut “good governance” menghadirkan

(kepemerintahan yang baik). Dalam kompleks di daerah. Dimana pada era

permasalahan

yang

Good governance tersebut, proses politik berjalan seperti

penyelenggaraan

terdapat tiga domain yang berperan yaitu lebih cepat dari pada kemampuan untuk

pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. mengelola manajemen pemerintahan

Masing-masing domain mempunyai posisi daerah yang otonom.

yang sejajar dalam penyelenggaraan Untuk mengatasi masalah tersebut

kepemerintahan. Karak –teristik good menuntut kinerja aparatur pemda yang

governance terdiri dari :partisipasi, kompetitif dengan kualitas unggul. Kinerja

transparansi, taat hukum, transparansi, aparatur pemda yang berorientasi pada

responsif, berorientasi kesepakatan, efektif kualitas unggul mensyaratkan peningkatan

dan efisien, kesetaraan, akuntabilitas dan pendidikan serta keahlian sesuai dengan

visi strategis. Karakteristik ini harus perkembangan yang dihadapi. Seseorang

dipenuhi untuk mewujudkan good akan mampu melakukan suatu tindakan

governance.

apabila memang ada kekuasaan untuk mengerahkan dan menggerakkan dayanya.

Kemampuan seseorang menurut Mc

DAFTAR PUSTAKA

Clelland (dalam

Gibson,1996:208)

merupakan suatu keperluan yang dipelajari Albrow, Martin. 2005. Birokrasi. Alih dari budaya masyarakat dan diperoleh Bahasa Rusli Karim dan Totok melalui pendidikan dan pelatihan. Daryanto. Yogyakarta: PT Tirta Wacana. Selanjutnya

Thoha

Cetakan III.

mengemukakan bahwa kemampuan me- rupakan salah satu unsur dalam

Ibrahim, Amin. 2006, Teori dan Konsep kematangan

Pelayanan Publik Serta Implemen- pengetahuan dan ketrampilan yang

berkaitan

dengan

tasinya, Bandung : Unpad.

Burn, J. P. 1994. Assian Civil Service Models for Superrior Performance. System: Improving Efficiency and

John Willey & Sons Inc. Productivity. Times Academic Press. Singapore.

Suradinata, Ermaya. 1996. Manajemen

Gartson, David & Debra Steward. 1983

SDM Orientasi Masa Depan. Organization Behaviour and Public

Bandung : Ramadhan. Management.

Staw, Barry M. 1989. Psychological Inc.New York.

of Organizational Behaviour. Maxwell Mac Millan. New

Gibson, L. James., John. M. Ivancevich,

York.

& James H. .Jr. Donnely. 1986.

Pembinaan Terjemahan Jorban Wahid. Jakarta:

Organisasi-Perilaku, Struktur, Proses.

Organisasi : Proses Diagnosa dan Erlangga.

Intervensi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Harmon, Michael and Richard T,Mayer.

1986. Organization Theory for Public ___________. 2002. Perpektif Perilaku Administration. Little Brown and Co.

Birokrasi. Dimensi-dimensi Prima Toronto.

Ilmu Administrasi Negara. Jakarta : PT Radja Grafindo Persada.

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik,

___________. 2003. Perilaku organisasi. dan Implementasi. Bandung :

dasar dan Remaja Rosda Karya.

Konsep

Aplikasinya. .Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Pucik, Vladimir, et al.1993. Globalizing Management 4: Creating and

Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004,

Leading Competitive Organization, Tentang Pemerintahan Daerah. John Willey and Sons,Singapore.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

Robbins, Stephen P. 2001.Organization

19 Tahun 2007,Tentang Behavior, Concept, Controversies,

Pemberdayaan Masyarakat Aplications. New Jersey : Prentice

Desa/Kelurahan. Hall International. Inc. 9th Edition..

Thoha Miftah , Birokrasi dan Politik di Siagian, Sondang P. 1994. Patologi

Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Birokrasi-Analisis, Identifikasi dan

Persada, 2003. terapannya, Jakarta : Ghalia

Mustopadidjaja A R, Administrasi Negara, Indonesia.

Demokrasi dan Masyarakat Madani, ______________. 1995. Organisasi, Kepe-

Jakarta : LAN, 1999. mimpinan dan Perilaku Administrasi.

Sedarmayanti, Good Governance, Kepe- Jakarta : Gunung Agung.

merintahan yang Baik dalam rangka

otonomi Daerah, Bandung: Mandar Pengembangan Organisasi. Jakarta:

Bumi Aksara.

Turner, Mark & Hulme, David,

Sofo. Francesco, (1999). Human Governance, 1997, Administration Resource Development, Perspective,

and Development Making The State Roles and Practice Choice. Business

Work, Macmillan Press LTD, London. and

Professional

Publishing,

Mark Turner & David Hulme, 1997,

Warriewood, NWS Governance, Administration, and

Spenser, Lyle M. J R. & Signe M.

Development, Kumarian, Connecticut Spenser. 1993. Competence at Work.

USA

Warsito & Teguh Yuwono, ed. , Otonomi

“Dampak Daerah, Capacity Building dan Penguatan

__________.

2002.

Desentralisasi dan Otonomi Daerah Demokrasi Lokal, Semarang: Puskodak,

Atas Kinerja Pelayanan Publik: 2003.

Kasus Kota Bandar Lampung, Yunan Syaifullah, dkk, Membangun

Lampung.” Jakarta (dalam proses Masyarakat Madani, Yogyakarta:

penulisan).

Aditya Media, 1999. __________. January 2002. “Pelaksanaan Yuwono, Teguh (ed), 1997, Manajemen

Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Otonomi

Daerah Berdasar Paradigma Baru,

Kabupaten Sumba Timur, Nusa

CLOGAPPS Diponegoro University,

Tenggara

Timur.” Jakarta.

Penelitian SMERU, SMERU Research Institute (SMERU).

Juni 2002. “Dampak Desentralisasi John M. Bryson, 1991, Strategis Planning dan Otonomi Daerah Atas Kinerja

for Public and Non Profit Organizations, Pelayanan Publik: Kasus Kabupaten

Jossey-Bass, San Fransico-Oxford. LombokBarat, Nusa Tenggara Barat.” Jakarta.

REFLEKSI DINAMIKA REFORMASI ORGANISASI BIROKRASI INDONESIA DI MASA DEPAN

Oleh: Tommy F. Lolowang

Abstract

This writing take theme/topic with complexity about problem which classic, fundamental, but regular actual. Be said to be classic because bureaucracy organization problem was worked through since Antic Greek era Plato and Aristoteles. Hereinafter referred to as fundamental because bureaucracy problem constitute basic problem and its formative aim touches various dimension and individual life joint and society. Called by actual because in the context current condition bureaucracy problem always emerges, not only circumscribed as discourse but also as debate target, well political and also non political. For over clarifies and secure dynamics and organisational development aim Indonesian bureaucracy at future the better, worth considering steps covers: Changing Bureaucracy Culture, Pancasila Revitality as Core Philosophy Bureaucracy, Implementation Bureaucracy Ethics consistently, and Secures Bureaucracy Neutrality. Keywords: Dynamics and Organisational Development, Bureaucracy, Pancasila, Culture, Ethics, Neutrality

I. PENDAHULUAN

bahkan dapat pula dijumpai pada organisasi bisnis (swasta) dan nirlaba.

Tulisan ini mengambil tema atau Sekalipun ia merupakan gejala yang umum,

topik dengan kompleksitas permasalahan namun secara empirik ia menampakkan

yang klasik, fundamental, namun tetap corak perilaku dan kinerja yang berbeda,

aktual. Disebut klasik karena masalah jika ia berada dalam konteks atau sistem

organisasi birokrasi sudah dibahas sejak jaman Yunani Kuno era Plato 1

budaya yang berbeda. Hal tersebut

dan

memperlihatkan bahwa birokrasi tak .

selamanya menampakkan bentuk idealnya fundamental karena masalah birokrasi

dalam praktek sehari-hari sebagaimana merupakan masalah yang mendasar dan

yang dikemukakan oleh pencetusnya, arah

perkembangannya

menyentuh

yakni Max Weber. Beberapa alasannya berbagai sisi dan sendi kehidupan individu

antara lain (Albrow, 1970): dan masyarakat. Adapun disebut aktual

karena dalam konteks kondisi aktual  Keberadaan manusia tidak hanya dewasa ini masalah birokrasi selalu muncul,

untuk organisasi. tidak hanya terbatas sebagai wacana

 Birokrasi dihadapkan pada berbagai melainkan

perdebatan, baik politis maupun non politis.  Birokrasi dirancang untuk orang yang

berpikir “rasional”, sehingga dalam birokrasi, kesan umum yang sering

Berbicara tentang

organisasi

realitas mereka tidak dapat saling dikemukakan oleh sebagian besar orang

dipertukarkan untuk fungsi keseharian

lebih berkonotasi negatif 3 . Hanya sebagian

organisasi.

kecil yang menganggap bahwa birokrasi itu Atas dasar itu maka Bendix (1957)

baik. Padahal, permasalahan organisasi berkesimpulan bahwa birokrasi rasional

birokrasi tidak sebatas konotasi negatif lebih cocok dan dapat hidup di negeri barat

maupun positifnya saja, lebih dari itu. daripada di negeri timur.

Birokrasi dan

birokratisasi

Harus diakui bahwa birokrasi merupakan gejala universal, yang dapat mempunyai banyak makna, dimensi, dan ditemui dalam setiap sistem pemerintahan, efek yang positif maupun negatif. Itulah Harus diakui bahwa birokrasi merupakan gejala universal, yang dapat mempunyai banyak makna, dimensi, dan ditemui dalam setiap sistem pemerintahan, efek yang positif maupun negatif. Itulah

dan Nepotisme), yang lebih menyangkut perdebatan dan pertentangan yang tidak

senantiasa

mengundang

moral para peran birokrasi. habis-habisnya diantara kalangan ilmuwan,

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa politisi, dan para pemerhati masalah

birokrasi masih diperlukan dalam berbagai tersebut. Pertentangan itu mulai dari

permasalahan organisasi, terutama ke- tataran filsafat sampai dengan penilaian

negaraan. Birokrasi dapat meniadakan atas hasil kegiatan (kinerja) birokrasi pada

yang dituduhkan tataran empirik. Akibatnya, lahirlah

penyakit-penyakit

kepadanya (biropatologi), apabila ia beragam asumsi, persepsi, dan konklusi

menggunakan kewenangan secara ternalar. terhadap birokrasi.

Hal tersebut mengingat dalam kegiatan- kegiatan yang memerlukan banyak

Terlepas dari keragaman tersebut di koordinasi dalam bidang pemerintahan, atas,

birokrasi tampaknya

sering

khususnya yang menyangkut Pelayanan dihadapkan pada berbagai kritik. Birokrasi Publik diperlukan suatu birokrasi (Utomo, sering dikritik sebagai organisasi yang 2005). Perwujudan koordinasi dimaksud tidak berfungsi dengan baik, tidak memiliki haruslah didasarkan pada ke-percayaan pendelegasian

wewenang,

tidak

publik/masyarakat (public trust), dimana melaksanakan supervisi yang jelas dan

keputusan birokrasi haruslah didukung karena

oleh kepercayaan publik. (pengendalian) personalia buruk, memiliki

mempunyai

kebijaksanaan

moral kerja yang rendah, sukar dan kurang mengadakan dan penyesuaian dengan

PENUTUP

perubahan jaman, bersikap arogan dan Perbaikan birokrasi di Indonesia seakan-akan tahu semuanya. Hal ini tidak seharusnya dimulai dengan kritik serius berarti bahwa diantara para pegawai dan mendalam atas eksistensi birokrasi. aparatur tidak terdapat orang-orang yang Kerangka dan paradigma berpikir bagi ber-kemampuan dalam bidangnya. konstruksi kritisisme dimaksud didasarkan

Kritik terhadap birokrasi pada pada pendekatan Marxis. Relevansi umumnya ditujukan terhadap sektor publik,

pendekatan Marxis dalam mencari jalan yakni yang terkait dengan pelayanan publik

keluar atas biropatologi terletak pada daya (public services), terutama dalam hal

kritis pendekatan Marxis yang secara perizinan, pengurusan hak atas sesuatu,

substansial membawa pada pesimisme dan lain-lain. Dalam kondisi yang demikian

radikal atas kedudukan, peran, dan fungsi tersebar penyakit sosial mengutamakan

birokrasi. Pendekatan inilah yang kini kepentingan

pribadi, mengutamakan dibutuhkan demi mendiagnosa hingga orang-orang

tertentu, melaksanakan tuntas biropatologi dimaksud. korupsi, dan bersifat arogan. Dengan

Sebagai penutup, untuk lebih men- demikian, penyakit-penyakit birokrasi ini dinamiskan upaya perwujudan reformasi terkait erat dengan kekuasaan yang organisasi birokrasi Indonesia di masa dinikmati

depan yang lebih baik, berikut ini disajikan melaksanakan tugasnya berdasarkan langkah-langkah reflektif yang dapat kewenangan yang diperoleh.

dipertimbangkan:

Di negara maju, birokrasi mendapat

1. Perubahan Budaya Birokrasi

kritik karena sistem kerja yang dianggap Salah satu praktek budaya birokrasi kurang efisien atau tidak memadai. yang paling berbahaya yang menuntut Sedangkan di negara berkembang, seperti agar tidak dapat ditawar lagi harus Indonesia, kritik pada birokrasi kita segera dirubah adalah budaya korupsi. terutama ditujukan pada peran pengelola Secara hukum, budaya korupsi sulit kritik karena sistem kerja yang dianggap Salah satu praktek budaya birokrasi kurang efisien atau tidak memadai. yang paling berbahaya yang menuntut Sedangkan di negara berkembang, seperti agar tidak dapat ditawar lagi harus Indonesia, kritik pada birokrasi kita segera dirubah adalah budaya korupsi. terutama ditujukan pada peran pengelola Secara hukum, budaya korupsi sulit

itu, implementasi juga dilakukan tanpa pembuktian transaksi

Selain

diarahkan pada peningkatan etika secara tertulis. Untuk itu, maka

birokrasi dan pengetahuan serta perubahan budaya dimaksud haruslah

pemahaman para birokrat terhadap dilakukan

prinsip-prinsip good governance guna komitmen bersama untuk tidak

dengan

berdasarkan