Potret Metafora dalam Seni Rupa Kontempo

Potret Metafora Dalam Seni Rupa Kontemporer Asia Tenggara
Hariyanto
Universitas Negeri Malang
hariyantosiswowihardjo@yahoo.co.id
Abstrak
Menjelang akhir abad ke 20 para perupa Asia Tenggara
mulai menunjukkan identitas budaya melalui karya mereka.
Identitas mereka sebagai kaum minoritas atau diaspora
Ditunjukkan melalui visualisasi karya dengan menggunakan
Potret diri dan figur manusia serta dengan simbol visual,
teknik tradisi dan tema sosial politik. Pada makalah ini
dibahas seni sebagai ideologi, politik identitas melalui
tubuh, dan potret metafora dalam seni rupa kontemporer
Asia Tenggara
Abstract
Towards the end of t he 20th century artists Southeast
Asia began to show cultural identity through their work.
Their identity as a minority and diaspora demonstrated
by visualization works by using self-portraits and human
figures as well as the visual symbol, engineering tradition
and socio-political themes. In this paper discussed art as

ideology, identity politics through body, and a portrait
of metaphors in contemporary Southeast Asia art.
Penggunaan potret sebagai pokok persoalan dalam seni rupa sudah dilakukan sejak
berabad-abad yang lalu. Potret digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada raja atau
tokoh dalam berbagai bidang seperti pahlawan, ilmuwan ataupun seniman. Para perupa
memproduksi patung, relief, dan lukisan sebagai representasi dari tokoh-tokoh yang
dihormati. Sejak masa pencerahan, posisi perupa semakin mendapat tempat di kalangan elite
dan intelektual sehingga para perupa mulai mengeksplorasi wajah dan tubuhnya sendiri untuk
dijadikan objek dalam produksi seni rupa. Potret diri perupa menggambarkan eksistensi diri
dari perupa sebagai subjek yang otonom.
Karya seni rupa potret mengalami perkembangan pada era seni rupa kontemporer di
mana potret tidak lagi menjadi penanda identitas diri seorang perupa, seorang tokoh
terhormat, atau orang kaya, tetapi sebuah potret bisa menjadi media penyampai pesan pribadi
perupanya atau pesan-pesan sosial di lingkungan perupa. Potret diri sang perupa atau potret
diri seseorang bisa menjadi penanda yang memiliki makna yang lebih dari sekedar
penampilan wajah atau tubuh seseorang.
Para perupa di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand,
Philipina dan lain-lain menlakukan hal yang sama di mana beberapa perupanya menggunakan
tubuhnya untuk dijadikan media penyampai pesan. Seni rupa kontemporer khususnya seni
lukis dan seni gambar menjadi semacam karikatur yang bisa menyindir atau mencemooh

sesuatu yang dianggap kurang sesuai dengan etika, moral, atau hukum yang berlaku di suatu

negara. Potret menjadi semacam metafor bagi sesuatu yang terdapat di luar baik dialami
sendiri oleh si perupa maupun hanya sebagai perantara bagi sesuatu persoalan masyarakat.
Di masing-masing negara asia Tenggara terdapat masyarakat minoritas dan mayoritas
dan di beberapa negara masalah ini bisa menjadi akar konflik baik secara ideologis maupun
fisik. Para perupa dari kalangan minoritas secara sadar atau tidak sering menampilkan
identitas kulturalnya dalam karya-karya mereka. Pada era awal kemerdekaan negara-negara
Asia Tenggara sekitar tahun 1950-1970-an para perupa dari kawasan ini lebih memilih
menyajikan identitas kebangsaan yang ditunjukkan dengan semangat nasionalisme yang
mendukun konsep negara-bangsa. Menjelang akhir abad ke-20 seiring dengan masuknya
posmodernisme yang membawa semangat pluralisme, identitas personal lebih menonjol
dibandingkan identitas kolektif. Narasi besar mulai ditinggalkan sehingga para perupa lebih
tertarik untuk berbicara masalah yang lebih kongkrit yang dekat dengan kehidupan mereka.
Identitas seseorang termasuk para perupa tidak bersifat tunggal tetapi plural. Hampir
semua negara di Asia Tenggara pada masa lampau telah mengalami kontak budaya dengan
India dan China. Sebagian dari negara Asia Tenggara mengalami kontak budaya dengan Arab
atau agama Islam. Hampir semua negara Asia Tenggara kecuali Thailand mengalami
kolonisasi oleh negara Barat. Negara-negara Asia Tenggara sama-sama mengalami
penderitaan pada masa pendudukan Jepang. Di tiap negara Asia Tenggara terdapat minoritas

etnis Tionghoa yang biasanya tinggal di kawasan Pecinan. Di Malaysia terdapat keturunan
Indonesia dari suku Jawa, Minang, Bugis dan lain-lain. Thailand dan Kamboja yang
mayoritas Budha serta Philiphina yang mayoritas Katholik di masing-masing negara terdapat
minoritas Muslim yang menuntut kebebasan politik. Militer dari tiga negara tersebut masih
memerangi gerakan minoritas muslim di masing-masing negara. Kekerasan masih sering
terjadi di ketiga kawasan minoritas tersebut sehingga rakyat merasa tidak aman.
Para perupa dari kelompok minoritas maupun dari mayoritas di negara-negara Asia
Tenggara banyak yang bersimpati kepada korban perang dan mengutuk terhadap tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh semua pihak. Potret diri dan potret tokoh lain menjadi media
yang menarik untuk dijadikan media mengungkapkan pesan damai atau kritik tajam terhadap
kekerasan dalam perang yang menimbulkan penderitaan panjang bagi masyarakat sipil. Para
perupa minoritas yang tinggal di negara yang tidak berkonflik lebih memilih menampilkan
identitas dirinya melalui potret dirinya masing-masing.
Tulisan ini membahas tentang seni sebagai ideologi, politik identitas melalui tubuh, dan
potret metafora dalam seni rupa kontemporer Asia Tenggara.
Seni rupa sebagai ideologi
Menurut Wolff (1993:119) gagasan-gagasan, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap,
dan nilai-nilai yang diekspresikan dalam pruduk kultural bersifat ideologis, dalam arti ia
selalu berhubungan dalam cara yang sistematis pada struktur sosial dan ekonomi di mana
perupa berada. Perspektif dari individu tidak hanya dikonstruksi secara biografis, tetapi juga


mediasi personal dari kesadaran kelompok. Sebuah karya seni rupa adalah polisemik dan
poliponik, yang memuat dan mengekspresikan makna yang melampaui individu.
Seni juga menjadi bagian dari suatu perjuangan sosial yang mana ekspresi-ekspresi
tentang kenikmatan, agresi, hasrat, kelembutan, kekuasaan, sinisme, atau ketakutan mungkin
berbagi bersama orang lain dan dianggap diperlukan dan mungkin bertemu dengan celaan.
Sehingga seringkali seni disebut sebagai medan pertempuran simbolik (Smiers, 2003:2). Seni
tidak hanya sebagai medan pertempuran simbolik tetapi juga sebagai medan pertempuran
ekonomi. Sehingga seringkali seni menjadi bidang yang tidak netral. Seni juga merupakan
bidang komunikasi yang spesifik sebab apa yang dikomunikasikan biasanya lebih padat, lebih
fokus, mungkin lucu atau lebih refleksif daripada yang digunakan dalam kontak sehari-hari
yang normal. Seni sebagai komunikasi spesifik dari manusia (Smiers, 2003:10).
Seni rupa kontemporer dengan prinsip pluralismenya memberi ruang kepada semua
gaya, teknik, dan media perupaan yang merupakan wujud dari ungkapan “apapun boleh”.
Berkembangnya seni media baru sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan penolakan
terhadap media konvensional seperti seni lukis, seni patung, dan seni grafis tidak
menghentikan para perupa untuk tetap memilih seni lukis dan seni gambar sebagai cara
ungkap atau media pewacanaan. Berbeda dengan seni rupa modern yang lebih
mengutamakan estetika dan formalisme, seni rupa kontemporer lebih mementingkan wacana
atau isu politik. Apapun media yang digunakan baik konvensional atau media baru keduanya

tetap mengusung wacana baik politik, sosial, ekonomi, atau budaya. Banyak perupa
kontemporer yang mengeksplorasi tubuh dan wajahnya sendiri dan orang lain sebagai media
untuk pewacanaan. Melalui tubuhnya sendiri para perupa lebih bebas berbicara tentang
masalah dirinya sendiri atau masalah yang dialami masyarakat.
Para perupa kontemporer di negara-negara Asia Tenggara mengalami hal yang sama
yaitu masih terdapat cukup banyak perupa yang tetap setia menggunakan media seni lukis
dalam mengungkapkan gagasannya. Seni lukis dan seni gambar merupakan cabang seni rupa
yang paling tua. Jenis seni ini yang paling banyak diminati oleh para kolektor seni karena
lukisan dapat dijadikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Pasar seni rupa dunia
lebih mudah menerima seni lukis dibandingkan seni media baru atau seni alternatif yang
hanya dikoleksi oleh museum atau galeri resmi.
Para perupa di beberapa negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand,
Philipina dan lain-lain yang masih mengembangkan seni lukis dan seni gambar yang berciri
realistik dengan model perupanya sendiri. Praktek berkarya semacam ini oleh para pengamat
disebabkan oleh berhasilnya seni lukis realisme sinis di China. Sigit Santosa, Nurkholis, dan

Budi Kustarto adalah para perupa Indonesia yang secara sadar mengikuti gaya realisme sinis
dari China. Ketiga perupa itu semuanya mengeksplorasi tubuhnya masing-masing sebagai
pokok persoalan dari karya mereka. Tubuh mereka seakan dijadikan kanvas atau papan tulis
untuk menggambarkan atau menuliskan kisah yang mereka alami dan rasakan. Berbagai

wacana sosial, budaya, atau politik mereka ungkapkan melalui tubuh mereka, Kanvas mereka
seolah menjadi panggung teater yang menampilkan berbagai lakon dengan pemeran tunggal
diri mereka sendiri. Pemeranan mereka dalam berbagai lakon seperti teater monolog dimana
aktor berbicara sendiri. Para perupa kontemporer Indonesia itu tidak berbeda jauh dengan
para pelukis potret diri pada era modern.
Secara historis, potret diri telah dikatakan sebagai klaim perupa untuk kebajikan
(virtue), sebuah kata yang berasal dari bahasa Latin vir (laki-laki) dan awalnya berarti juga
kejantanan, kedewasaan, kekuatan, semangat, keberanian dan keunggulan (McKenzie, 2006).
Para pelukis modern memiliki kebiasaan untuk melukis dirinya sendiri seperti misalnya Van
Gogh yang banyak membuat potret diri dalam berbagai pose dan teknik. Potret diri Van Gogh
merupakan contoh yang paling menarik dan memikat dari keasyikan utamanya, baik dari segi
teknis dan emosional (McKenzie, 2006). Dalam pandangan Eropa Barat dan tradisi sekuler
cenderung untuk melihat seni lukis potret sebagai simbol status politik dan ekonomi. Menurut
Clark (2011) para perupa kontemporer memperlakukan potret sebagai sarana untuk tidak
hanya berbicara tentang diri mereka sendiri, tetapi juga untuk mengeksplorasi dan
'mengungkapkan keprihatinan yang lebih besar’.
Praktek dalam seni lukis potret tidak dapat dipisahkan dari persoalan tubuh karena
para perupa menggunakan tubuhnya sebagai media untuk mengungkapkan gagasan. Menurut
Saidi (2007, 246-259) tubuh tidak bisa didefinisikan sebatas fakta biologis atau entitas
organik sebagai kerangka fisik belaka. Tubuh memiliki rujukan ke dalam dunia sosial,

budaya, politik,
psikologi, filsafat, dan lain-lain. Tubuh manusia dimuati oleh simbolisme kultural, publik dan
privat, positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual, moral, dan seringkali kontroversial;
begitu pula dengan atribut-atribut, fungsi tubuh, kondisi tubuh, dan indera-inderanya
(Synnott, 2003. 1-22).
Menurut pandangan di atas, para perupa yang mengeksplorasi tubuh mereka dalam
karyanya masing-masing telah menempatkan diri atau tubuh mereka sebagai tubuh sosial.
Masing-masing tubuh perupa potret diri secara sadar menempatkan tubuh mereka sebagai
reflektor kehidupan. Konsep seperti ini banyak dilakukan oleh para perupa China
kontemporer yang dikenal dengan realisme sinis. Perupa Yue Minjun misalnya dalam semua

karyanya selalu menampilkan tubuhnya sebagai pemeran tunggal dalam karyanya. Para
perupa realisme sinis China sudah pernah mengalami masa kejayaan pada era revolusi
kebudayaan yang menggunakan realisme sosialis untuk membuat karya lukis propaganda
yang menyajikan ketua partai dan para pahlawan sebagai tokoh utama dalam karya mereka.
Pada era perang dingin seni rupa menjadi salah satu media yang efektif untuk
menyampaikan pesan-pesan politik sesuai dengan ideologinya masing-masing. Para perupa
pendukung ideologi sosialis menggunakan pedoman seni realisme sosialis. Realisme sosialis
merupakan produk dari sistem Soviet setelah konggres tahun 1934 ditetapkan aturan bahwa
seni realisme sosialis harus relevan dengan rakyat pekerja, menggambarkan kehidupan

sehari-hari, realistik, dan mendukung tujuan negara dan partai (Wikipedia). Praktek dari
konsep realisme sosialis di Uni Soviet dan China para perupa tidak hanya menggambarkan
kehidupan kelas pekerja, tetapi justru banyak menampilkan potret dan patung tokoh-tokoh
partai seperti Lenin dan Mao Zhedong. Di Indonesia pada era Orde Lama para perupa
pendukung Lekra menggunakan ideologi seni realisme sosialis untuk menciptakan karya
mereka seperti ditunjukkan oleh para anggota Pelukis Rakyat dan Sanggar Bumi Tarung.
Para perupa pendukung realisme sosialis di Indonesia lebih banyak menghasilkan karya yang
menggambarkan kehidupan rakyat jelata sehingga pengamat menyebut gaya mereka
“realisme kerakyatan”.
Para perupa yang berseberangan dengan pendukung realisme sosialis menggunakan
potret diri sebagai bentuk ekspresi pribadi yang tidak terkait dengan kondisi sosial di sekitar
kehidupan perupanya. Affandi adalah salah satu perupa dari Indonesia yang paling sering
melukis dirinya sendiri sebagai tema penting dalam karya-karyanya. Dalam sebagian besar
karya potret diri Affandi selalu muncul simbol-simbol seperti matahari, tangan dan kaki.
Perupa-perupa dari negara-negara Asia Tenggara lainnya yang berkarya potret diri sebagai
pokok persoalan penting tidak banyak. Ahmad Jamal dan Housein Enas dari Malaysia serta
Juan Luna dan Amorsolo dari Philipina merupakan perupa-perupa penting dari kedua negara
itu pernah menghasilkan potret diri tetapi jumlahnya tidak banyak dan dengan gaya yang
realis.
Para perupa Asia Tenggara yang berkarya di awal hingga pertengahan abad ke 20

kebanyakan tidak menjadikan potret diri sebagai pokok persoalan utama dalam karya-karya
mereka. Sejak akhir abad ke 20 hingga awal abad ke 21 cukup banyak perupa Asia Tenggara
yang menjadikan potret dirinya sebagai pokok persoalan utama. Para perupa tersebut
misalnya Agus Suwage, FX. Harsono, Sigit Santosa, Budi Kustarto dari Indonesia, Bayu
Utomo dari Malaysia, Vasan Sitikhet dari Thailand dan sebagainya.

Politik Identitas Melalui Tubuh
Mobilitas perupa kontemporer dari semua wilayah semakin tinggi intensitasnya,
mereka bergerak mulai dari ruang lokal menuju ke ruang global (internasional). Para perupa
kontemporer dari wilayah pinggiran/marjinal negara-negara berkembang seperti dari negaranegara Asia Tenggara kini mulai tampil di pusat-pusat seni internasional. Pada saat ini telah
muncul pusat-pusat baru di negara-negara Asia-Pasific yang bisa mengimbangi pusat-pusat
seni rupa seperti Paris dan New York. Kota-kota besar seperti Singapura, Beijing, Tokyo dan
Sydney kini menjadi pusat-pusat baru bagi perkembangan seni rupa kontemporer
internasional. Beberapa biennale dan triennale seni rupa kontemporer diselenggarakan di
kota-kota tersebut secara rutin.
Pengalaman para perupa Asia Tenggara mengikuti perhelatan seni rupa internasional
memunculkan krisis kepercayaan tentang identitas para perupa baik sebagai bangsa, sebagai
keturunan etnik tertentu, sebagai penganut keyakinan tertentu, dan sebagai perupa dengan
jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Identitas perupa menjadi persoalan penting bagi
perupa kontemporer dari negara-negara berkembang. Identitas nasional sudah tidak menjadi

isu penting bagi perupa negara berkembang seperti dulu.
Politik identitas adalah tindakan politis untuk memajukan kepentingan anggota dari
suatu kelompok yang anggotanya memahami diri mereka sendiri mendapat tekanan,
disebabkan karena identitas yang sama dan termarjinalkan (seperti ras, etnisitas, agama,
jender, orientasi seksual) (Wikipedia, 2016). Pembahasan tentang identitas tidak dapat
dipisahkan dari wacana kolonial dan poskolonial. Perkembangan seni rupa di negara-negara
Barat yang sudah maju dan yang terjadi di wilayah bekas koloni Barat masih menunjukkan
adanya ketimpangan. Barat belum sepenuhnya menerima kehadiran para perupa dari wilayah
dunia ketiga. Politik identitas yang mewarnai produksi karya seni rupa kontemporer
Yogyakarta bentuknya sangat beragam, hal ini disebabkan bahwa identitas budaya bersifat
plural. Pluralitas identitas budaya disebabkan oleh persilangan antara berbagai budaya yang
dengan mudah dapat mempengaruhi para perupa.
Identitas yang paling menarik untuk dijadikan objek kajian atau sebagai tema dalam
produksi karya seni rupa kontemporer adalah identitas diaspora. Komunitas orang yang
tersebar akibat berbagai alasan (politik, ekonomi, sosial) dinamakan ‘diaspora’. Kaum
diaspora selalu merasa memiliki identitas yang rapuh, tidak utuh dan selalu dalam proses
negosiasi. Identitas menjadi penting bagi kaum diaspora, karena pengalaman sebagai kaum
‘terusir’ yang mengalami krisis identitas layak bicara tentang pengalamannya melalui
representasi. Terdapat suatu indikasi adanya hubungan kuat antara komunitas transnasional


terhadap masa lampau yang mencegah asimilasi pada masa kini dan mendatang. Terjadi suatu
tegangan antara identitas-identitas etnik, nasional dan transnasional yang dapat membawa
pada formulasi kreatif (Cohen, 2001: 1-122).
Di hampir semua negara Asia Tenggara terdapat komunitas diaspora yang tinggal
menetap dan beraktivitas seperti warga negara lainnya yang pribumi. Diaspora Tionghoa,
India, dan Arab sudah tinggal di Asia Tenggara sejak berabad yang lalu. Masyarakat etnik
keturunan Tionghoa paling bayak jumlahnya dan persebarannya paling meluas. Di antara
masyarakat etnik keturunan Tionghoa terdapat cukup banyak yang berprofesi sebagai perupa.
Pada masa lampau perupa etnik Tionghoa bisa dikenali dari hasil karyanya yang khas seni
lukis cat air atau cat minyak dengan teknik aquarel dan sapuan khas China seperti bisa dilihat
pada karya Lee Man Fong.
Etnis Jawa yang mayoritas di negri sendiri ternyata menjadi minoritas di Malaysia
bersama dengan minoritas lainnya seperti etnis Tionghoa, India dan lain-lain. Di Thailand
mayoritas penduduknya beragama Budha juga terdapat minoritas Muslim. Philipina
mayoritas penduduknya menganut Katholik terdapat minoritas pemeluk Islam. Perupa Asia
Tenggara yang menjadi minoritas di negaranya sebagian menggunakan tubuh dan potret
dirinya sebagai wahana untuk menyampaikan persoalan sosial budaya yang dihadapinya atau
untuk berkomentar terhadap masalah yang terjadi di sekitarnya.
Tubuh telah lama menjadi pokok permasalahan dalam penciptaan seni rupa dan juga
menjadi kajian dalam filsafat, sosiologi, psikologi dan sebagainya. Synott (2003:12)
menyatakan bahwa tubuh tidak hanya telah ada secara alamiah, melainkan menjadi sebuah
kategori sosial dengan maknanya yang berbeda-beda yang dihasilkan dan dikembangkan
setiap zaman, oleh berbagai populasi yang berbeda. Tubuh menjadi alat untuk aktualisasi diri
dari para perupa Asia Tenggara. Aktualisasi diri merupakan kebutuhan yang paling penting
dalam teori Maslow. Ia mengatakan bahwa aktualisasi diri sebagai hasrat individu untuk
menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya (Hardiman,
2015:89).
Menurut Mead, identitas diproduksi melalui persetujuan, ketidaksetujuan, dan
negosiasi dengan orang lain (Zevallos, 2014). Menurut Stuart Hall identitas tidak ditetapkan
di luar, tetapi di dalam representasi. Pandangan ini mempersoalkan otoritas dan otentisitas
‘identitas budaya’ dari suatu komunitas. Identitas budaya datang dari suatu tempat,
mempunyai sejarah. Tetapi seperti setiap apapun yang mempunyai sejarah, mereka
mengalami transformasi yang konstan (Hall, 1990: 222-237). Melalui representasi identitas

para perupa minoritas di Asia Tenggara dinegosiasikan sehingga selalu mengalami
transformasi yang konstan.
James Clifford (1994:302-328) menggunakan metafora ‘root’ (akar) dan ‘route’
(perjalanan) untuk membicarakan tentang budaya dan identitas. Akar berpijak atas dasar asal
dan komonitas yang dimiliki. Rute adalah tentang perjalanan dan transisi. Setiap orang
bergerak dan telah berabad-abad tinggal di perjalanan (Clifford, 1997:2). Metafora yang
dilontarkan James Clifford ini bisa menjadi model untuk memahami fenomena para perupa
minoritas di Asia Tenggara yang menggunakan potret diri atau tubuh sebagai pernyataan
politik identitas.
Potret Metafora Dalam Seni Rupa Kontemporer Asia Tenggara
Para perupa minoritas di Asia Tenggara yang dibahas dalam makalah ini adalah Agus
Suwage (Indonesia), Bayu Utomo Radjikin (Malaysia), Rameer Tawasil (Mindanau,
Philipina), Jehabdulloh (Pattani, Thailand), dan Sunar Sugiyou (Singapore). Kelima perupa
tersebut merupakan perupa yang di negaranya masing-masing menjadi warga negara yang
berasal dari etnik minoritas atau keturunan dari bangsa tertentu di luar negara tersebut.
Ekspresi seni rupa tidak bisa dipisahkan dari identitas perupanya. Sebagian perupa secara
sengaja menggunakan wajah dirinya sebagai ‘etalase’ bagi gagasan sosial yang disampaikan
perupa. Perupa yang lain menggunakan wajah anonim untuk menyatakan identitas budaya
asalnya.
Agus Suwage (1959) seorang perupa warga keturunan Tionghoa ia tidak secara
terbuka mengungkapkan identitasnya. Dalam kebanyakan karyanya ia secara konsisten
menggunakan tubuh dan potret dirinya sebagai model atau media untuk menyampaikan pesan
atau komentar sosial-politik yang terjadi di sekitar dirinya. Potret diri Agus Suwage muncul
dalam berbagai versi mulai dari gambar, lukisan, cetakan, foto, patung, mainan, hingga dalam
bentuk tengkorak. Fungsi potret diri Agus Suwage dalam karya-karyanya yaitu sebagai cara
untuk refleksi atau parodi tentang posisi dirinya sebagai kaum diaspora. Agus Suwage
keturunan Tionghoa yang lahir di Purworejo, Jawa Tengah kemudian menikah dengan
perempuan Sunda muslim dan saat ini tinggal dan beraktivitas di Yogyakarta, Pada pameran
tunggalnya bertajuk ‘Ough Nguik’ tahun 2003 di Galeri Nasional, Agus Suwage
menampilkan karya-karya potret dirinya yang wajahnya mengenakan topeng babi berwarna
pink dalam berbagai pose atau adegan. Topeng babi menggambarkan dirinya yang keturunan
Tionghoa namun merasa tidak nyaman tinggal di negara yang mayoritas penduduknya
mengharamkan daging babi. Karya berjudul Ough Nguik menyajikan potret dirinya bertopeng
babi sedang “dijewer” kupingnya oleh tangan yang tidak terlihat tubuhnya. Karya ini

memberi gambaran kepada penonton bahwa dia merasa sering disakiti atau diganggu oleh
orang yang berasal dari etnik mayoritas.

Gambar 1 : Agus Suwage, Ough Nguik (2003)
(Sumber: http://archive.ivaa-online.org)
Bayu Utomo Radjikin lahir 1969 di Tawau, Sabah Malaysia dan belajar di Universiti
Teknologi Mara. Kedua orangtua Bayu adalah orang Jawa yang migrasi ke Sabah untuk
bekerja kemudian menetap di sana. Sejak awal karirnya di seni rupa setelah lulus dari UiTM
ia sudah memiliki perhatian terhadap masalah sosial politik. Karya-karya Bayu kebanyakan
berupa seni lukis potret dengan model utama dirinya sendiri dan orang lain. Potret-potret
Bayu dikerjakan dengan pendekatan realistik menggunakan teknik drawing charcoal dan
sapuan akrilik atau cat minyak. Beberapa karya Bayu yang menggambarkan orang Melayu
selalu menggunakan model orang lain dengan ciri utama memakai tutup kepala khas Melayu
yaitu tanjak seperti udeng Jawa. Pada karya-karya potret dirinya ia selalu memakai blangkon
Jawa. Kesamaan dari kedua jenis karya Bayu tersebut keduanya tidak memakai baju. Tahun
2010 Bayu menyelenggarakan pameran tunggal dengan tajuk Unnamed, salah satu karyanya
diberi judul Being, sedangkan yang lain diberi judul singkat yaitu Satu hingga Lima belas.
Semua karya tersebut merupakan potret dirinya dengan berbagai pose, semuanya
mengenakan blangkon Jawa. Melalui karya-karya potret diri Bayu Utomo sedang
mempertanyakan identitas dirinya sebagai warga negara Malaysia yang mayoritas Melayu
dan sebagai keturunan Jawa.

Gambar 2: Bayu Utomo, a. Empatbelas (2010); b. Pandangan Sisi (2012-2013)
(Sumber: bayuutomo.blogspot.co.id)
Sunar Sugiyou lahir tahun 1961 di Singapura dan belajar seni rupa di St. Patrick’s Art
School, Singapore. Sebagai warga negara Singapura yang mayoritas penduduknya berasal
dari etnik Tionghoa, Sunar merasakan keterasingannya sebagai warga keturunan Jawa. Pada
beberapa karya awalnya Sunar justru tidak menampakkan identitasnya karena karya-karyanya
dalam pameran Journey 2012 menunjukkan kemampuannya dalam melukis dengan teknik
akuarel tinta hitam putih dengan sapuan gaya Jepang. Dalam pameran bertajuk Home 2013,
menampakkan identitasnya sebagai keturunan Jawa dengan beberapa karya lukisnya yang
menggambarkan figur-figur manusia berwajah wayang. Pada karya berjudul Chakap chakap
Kedai Kopi 2013, Sunar menggambarkan kerumunan manusia menggunakan topi wayang
Jawa sedang berdiskusi. Karya berjudul Dance With The Dragon 2013 yang menggambarkan
tujuh figur manusia berkepala wayang sedang menari-nari mengelilingi seekor naga merah.
Melalui karya ini bisa dibaca pikiran dari Sunar yang ingin menunjukkan hubungan
harmonisnya antara minoritas Jawa dan Tionghoa di Singapura atau di Indonesia. Pada karya
berjudul Sage 2013, Sunar memvisualkan tujuh penari berwajah wayang Jawa sedang
menari-nari mengelilingi seekor singa, karya ini menggambarkan hubungan antara orang
Jawa dan orang Singapura. Sedangkan pada karya berjudul Ecstacy 2013, Sunar
memvisualkan beberapa figur berwajah wayang sedang menari bersama kuda di sampingnya
terdapat bentuk gunungan wayang Jawa. Beberapa karya seni rupa Sunar dalam pameran
Home 2013 nampak sekali identitasnya sebagai diaspora Jawa ditunjukkan meskipun tidak
menggunakan potret dirinya.

Gambar 3: Sunar Sugiyou a. Dance With The Dragon 2013; b. Ecstacy 2013.
(Sumber: www.mayagallery.com.sg)
Jehabdulloh Jehsorhoh lahir 1983 di Pattani Thailand belajar seni rupa di The Faculty
of Painting , Sculpture and Graphic Arts, Silpakron University, Thailand. Pattani adalah
propinsi di wilayah Thailand selatan berbatasan dengan Malaysia. Sebagian besar
penduduknya adalah suku Melayu beragama Islam. Sebagai warga negara Thailand yang
lahir dan dibesarkan di Pattani Jehabdulloh merasakan suasana ketegangan yang menjadi
pengalaman sehari-hari. Di propinsi Pattani masih terdapat sekelompok aktivis bersenjata
yang memperjuangkan kepentingan mereka terhadap dominasi negara yang mayoritas
penduduknya beragamaa Budha. Ketegangan dan kekerasan yang terjadi di Pattani
mendorong Jehabdulloh untuk dijadikan tema utama dalam karya-karyanya.
Jehabdulloh menggabungkan tradisi visual Pattani yang kaya ragam hias batik dengan
peristiwa aktual yang terjadi di lingkungannya. Tema-tema karya Jehabdulloh seperti My
home at Pattani 2013-2014, Beauty in the dark at Pattani 2012, Birth and Death 2013
dengan jelas menunjukkan simpatinya terhadap situasi yang dialami warga muslim Thailand.
Karya-karyanya sepintas mirip batik dengan motif tradisional dengan tambahan figur utama
perempuan berhijab dengan gaya dekoratif sehingga karyanya tidak provokatif seperti lukisan
tema sejenis dengan gaya realis. Pada karya-karya bertema My home at Pattani 2013-2014
Jehabdulloh memvisualkan figur perempuan berhijab hitam atau berhijab motif senjata api
dengan latar motif senjata api. Pada salah satu karya tema ini ia menampilkan figur
perempuan berhijab berhadapan dengan sebuah tank milik penguasa militer. Melalui tema
Beauty in the dark at Pattani 2012 Jehabdulloh ingin menunjukkan simpatinya kepada
perempuan Pattani yang telah ditinggal suami mereka karena gugur di medan perang

melawan penguasa. Karya-karyanya pada tema ini kebanyakan menampilkan potret
perempuan berhadapan satu atau dua pasang sehingga di tengahnya membentuk siluet tiang
atau nisan makam muslim. Kecantikan perempuan muslim dan kegelapan akibat peperangan
terus-menerus ditunjukkan melalui karya-karyanya bertema Beauty in the dark at Pattani
2012. Identitas Jehabdulloh sebagai warga Thailand keturunan Melayu Muslim tergambar
dalam karya-karyanya.

Gambar 4: Jehabdulloh, a. My home at Pattani 2013-2014; b. Beauty in the dark at Pattani
2012. (Sumber: www.jehabdulloh.com)
Rameer Tawasil lahir 1969 di Sulu Mindanau Philipina dan belajar arsitektur di
Western Mindanau State University adalah seorang perupa dari minoritas muslim di
Philipina. Di Sulu tempat kelahiran Rameer masih berkembang seni okkil yaitu istilah
setempat untuk seni ukir. Karya-karyanya berciri dekoratif karena dikembangkan dari gaya
okkil yang merupakan salah satu seni visual Islam yang menghindari larangan untuk
menggambarkan mahluk hidup. Sebagian karya Rameer menggambarkan kehidupan di laut
yang menjadi andalan utama masyarakat Sulu. Figur-figur perempuan dan laki-laki sering
juga ditampilkan dengan latar motif hias okkil. Rameer dalam beberapa pameran
menampilkan tema perdamaian karena tempat kelahirannya di Sulu merupakan wilayah
konflik antara pejuang muslim Jolo dan Moro di Mindanau. Karya berjudul The Burning of
Jolo 2010 merupakan gambaran kekerasan akibat konflik antar pejuang muslim dengan
militer Philipina yang mayoritas penduduknya Khatolik. The Flight salah satu judul karya
gambar yang memvisualkan potret mirip perempuan dengan tiga ekor merpati di bagian
depannya dan berlatar motif okkil. Rameer sebagai warga Philiphina minoritas muslim
menggambarkan konflik antara muslim dan Katholik dengan cara damai dan menggunakan
identitas seni okkil yang masih dipertahankan oleh masyarakat Sulu.

Gambar 5: Rameer Tawasil, a. The Flight, 2008; b. The Burning of Jolo 2010
(Sumber: zamboangajournal.blogspot.co.id dan http://www.muslimmindanao.ph)
Simpulan
Para perupa Asia Tenggara dari kelompok minoritas di masing-masing negara mereka telah
memproduksi karya visual terutama lukisan dan gambar dengan pokok persoalan atau tanda
visual utamanya potret diri, potret atau figur manusia dengan ciri-ciri masing-masing telah
menunjukkan relasi antara identitas budaya perupa dengan persoalan sosial politik di
negaranya masing-masing. Identitas budaya para perupa ditunjukkan dengan berbagai cara
yaitu melalui simbol visual, teknik visual, dan tema-tema sosial, politik, dan budaya yang
dialami dan dipahami oleh masing-masing perupa.
Potret diri dan figur manusia bisa menjadi media untuk mengungkapkan gagasan para
perupa yang ingin menunjukkan perbedaannya dengan masyarakat mayoritas di mana mereka
tinggal. Perbedaan identitas yang ditunjukkan melalui karya seni rupa (potret diri dan figur
manusia) tanpa berpretensi menyinggung kelompok tertentu dapat diterima sebagai bagian
dari pluralisme seni rupa kontemporer di Asia Tenggara maupun di wilatah lainnya.
Daftar Rujukan
Clark, Christine, 2011. Beyond the Self, Contemporary Portraiture from Asia, Katalog
Pameran, Adelaide:Anne & Gordon Samstag Museum of Art.
Clifford, James,1994. Diasporas, Jurnal Cultural Anthropology, Volume 9, Issue 3
August 1994
Cohen, Robin 2001. Global Diasporas: An Introduction, London: Routledge.
Hall, Stuart, 1990. Stuart Hall. ‘Cultural Identity and Diaspora’ dalam J. Rutherford, ,ed,
Identity: community, culture, difference (Lawrence & Wishart, London,

Hardiman, 2015. Eksplorasi Tubuh, Esai-esai Kuratorial Seni Rupa, Singaraja: Mahima
Institute Indonesia.
McKenzie, Janet, 2006. “Self-Portrait: Renaissance to Contemporary”, online
www.studiointernational.com diakses 20 September 2016.
Saidi, Acep Iwan, 2007. “Narasi-Narasi Tentang Tubuh dalam Seni Rupa Kontemporer
Indonesia Studi atas Karya-Karya Agus Suwage, Arahmaiani, Ivan Sagita, dan IGAK
Murniasih” Jurnal Visual Art ITB Vol. 1 D, No. 2, 2007.
Smiers, Joost, 2003. Arts Under Pressure, Promoting Cultural Diversity in the Age of
Globalization, London-New York: Zed Books.
Synnott, Anthony, 2003. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri dan Masyarakat, Yogyakarta:
Jalasutra.
Wikipedia, 2016. Identity Politics, online en.wikipedia.org/wiki/Identity_politics.
Wolff, Janet, 1993. The Social Production of Art, New York: New York University Press.
Zevallos, Zuleyka, 2014. “What is Otherness”, online https://othersociologist.com/othernessresources/ diakses 21 September 2016.