peran hubungan manusiawi Dalam Novel

PERAN HUBUNGAN MANUSIAWI (HUMAN RELATIONS)
DALAM MENGATASI KONFLIK DI ORGANISASI
I.

Pendahuluan
Dalam suatu organisasi, konflik antarkaryawan hampir dapat dikatakan sebagai hal yang

lazim terjadi. Tidak peduli apakah itu organisasi kecil yang menerapkan pola manajemen
keluarga, atau pada organisasi besar yang menggunakan manajemen modern dan profesional.
Mengapa konflik selalu terjadi? Apakah memang konflik antarkaryawan dalam lingkungan kerja
dapat dilazimkan?
Pada setiap organisasi, pencapaian tujuan merupakan prioritas kegiatan utama. Dalam
pencapaian tujuan, tentu akan melibatkan seluruh sumber daya dalam organisasi. Aspek utama
yang menunjang pencapaian tujuan suatu organisasi adalah unsur sumber daya manusia. Dengan
demikian, pengelolaan sumber daya manusia menjadi prioritas penting dalam mengembangkan
organisasi. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan SDM adalah penerapan hubungan
manusiawi (human relations).
II.

Pengertian Hubungan Manusiawi
Apa yang dimaksud dengan hubungan manusiawi? Effendy (1993) mengatakan hubungan


manusiawi dalam arti sempit adalah komunikasi persuasif yang dilakukan oleh seseorang kepada
orang lain secara tatap muka, dalam situasi kerja (work situation) dan dalam organisasi kekaryaan
(work organization), dengan tujuan untuk menggugah kegairahan dan kegiatan bekerja dengan
semangat kerja sama yang produktif serta perasaan bahagia dan puas hati. Sementara itu Praktito
(1983) mengemukakan bahwa suatu hubungan baru bisa disebut sebagai hubungan manusiawi
apabila hubungan itu adalah suatu interaksi sosial, ada terjadi proses saling mempengaruhi dan
usaha saling mengubah sikap maupun tingkah laku, untuk kemudian berakhir dengan saling
merasakan adanya kepuasan hati. Terjadi bisa pada semua bidang kehidupan sosial maupun kapan
saja, tidak terikat ruang dan waktu. Sementara itu Susanto (1982) berpendapat bahwa hubungan
manusiawi dalam arti sempit mencakup semua persoalan yang dialami manusia dalam hubungan
atasan dengan bawahan, baik dalam organisasi besar maupun kecil.

1

Dari berbagai definisi hubungan manusiawi menurut para ahli tersebut, bisa dikatakan
bahwa hubungan manusiawi adalah suatu hubungan yang unik. Mengapa? Karena pada tiap
hubungan antarmanusia belum tentu terjadi hubungan manusiawi.

Ciri hakiki hubungan


manusiawi (human relations) bukan ‘human’ dalam pengertian wujud manusia (human being),
melainkan dalam makna proses rohaniah yang tertuju kepada kebahagiaan berdasarkan watak,
sifat, perangai, kepribadian, sikap, tingkah laku dan aspek-aspek kejiwaan lainnya yang terdapat
pada diri manusia (Effendy, 1993). Hubungan manusiawi hanya akan terjadi jika seseorang, dalam
konteks organisasi kekaryaan, mempengaruhi orang lain dengan bujukan, ajakan, atau imbauan
emosional untuk melakukan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan, dan kedua belah pihak samasama mengalami kepuasan batiniah. Hubungan manusiawi berorientasi pada kegiatan (actionoriented) yang berupa upaya mempengaruhi, bersifat psikologis, dan kedua belah pihak samasama merasa puas.
Effendy (1993) mengatakan bahwa dengan hubungan manusiawi dapat diusahakan untuk
menghilangkan rintangan-rintangan komunikasi, mencegah salah pengertian, dan mengembangkan
segi konstruktif sifat tabeat manusia.
Hiseradt (dalam Susanto, 1982)

berpendapat bahwa hubungan manusiawi dalam arti

sempit membahas segi-segi sebagai berikut:
1. memperoleh kesediaan kerjasama orang-orang dengan siapa orang bekerja,
2. memungkinkan orang berproduksi dan berprestasi tinggi, dan
3. memungkinkan orang bekerjasama dengan memperoleh kepuasan dari hasil-hasilnya.
Senada dengan pendapat Hiseradt, Susanto (1982) mengatakan bahwa persoalan-persoalan
yang dibahas oleh hubungan manusiawi adalah bagaimana faktor-faktor manusia dalam

organisasi/kelompok dapat diserasikan dengan keanggotaan yang sangat luas dan diikat oleh
disiplin kerja, serta bagaimana dalam suatu suasana di mana ada paksaan (yang merupakan
kenyataan kerja), individu dapat bekerja dengan teman sekerja maupun atasan dan tetap merasa
senang.
Dari pendapat Susanto di atas, terlihat bahwa Susanto ingin menempatkan unsur manusia
serta hubungan manusiawi menjadi faktor yang menentukan sukses tidaknya sebuah proses
produksi berjalan. Hal ini berarti bahwa manusia di dalam suatu organisasi tidak boleh
diperlakukan sama dengan unsur-unsur produksi, seperti modal, mesin, alat-alat perlengkapan, dan

2

sebagainya, karena manusia adalah mahluk yang sangat unik dengan latar belakang sifat dan
perangai yang sangat bervariasi.
Sementara itu, Rachmadi (1996) mengatakan bahwa hubungan manusiawi merupakan
salah satu unsur penting bagi keberhasilan komunikasi, baik dalam komunikasi antarpersonal
maupun komunikasi kelompok dan dalam hubungan masyarakat (public relations).
Dari berbagai pendapat para ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan
manusiawi pada umumnya terjadi dalam dunia kerja, di mana terdapat interaksi baik antara atasan
dan bawahan maupun antara bawahan dan atasan, serta interaksi antarkaryawan yang pada intinya
bertujuan untuk menggugah produktivitas kerja yang tinggi tanpa ada unsur paksaan, tapi

menimbulkan rasa puas hati pada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut.
III.

Manfaat Hubungan Manusiawi dalam Mengatasi Konflik
Setiap aktivitas di suatu organisasi, tentu tidak terlepas dari komunikasi. Arus komunikasi

di tempat kerja yang dapat kita bedakan menjadi arus dari atasan kepada bawahan (top-down
communications), arus dari bawahan kepada atasan (bottom-up communications) dan arus
komunikasi antarkaryawan (cross-channel communications), hanya akan berjalan dengan lancar
apabila semua komponen atau pihak yang terlibat dalam komunikasi memahami benar bagaimana
berkomunikasi dengan baik. Lalu, bagaimanakah berkomunikasi yang baik? Untuk lebih jelas
dalam memahami komunikasi yang baik, kita dapat menggunakan salah satu model proses
komunikasi yang ditampilkan oleh Philip Kotler berdasarkan paradigma Shannon dan Weaver
berikut ini.

SENDER

ENCODING

MESSAGE


DECODING

RECEIVER

MEDIA

NOISE

FEEDBACK

RESPONSE

Sumber: Bachtiar Aly, Buku Materi Pokok Teknik Hubungan Masyarakat

3

Menurut Kotler, unsur-unsur dalam proses komunikasi adalah sebagai berikut:
1. Sender


: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah
orang.

2. Encoding

: Penyandian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambang.

3. Message

: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan
oleh komunikator.

4. Media

: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator ke
komunikan.

5. Decoding

: Pengawasandian, yaitu proses di mana komunikan menetapkan makna

pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.

6. Receiver

: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator.

7. Response

: Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterpa pesan.

8. Feedback

: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau
disampaikan kepada komunikan.

9. Noise

: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai
akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan
yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.


Dari bagan di atas dapat diketahui bahwa komunikasi yang baik akan terjadi apabila komunikator
mengetahui dengan baik khalayak sasaran dari pesan yang akan disampaikan dan tanggapan apa
yang diinginkannya. Ia harus terampil dalam menyandi pesan dengan memperhitungkan
bagaimana komunikan sasaran biasanya mengawasandi pesan. Komunikator harus mengirimkan
pesan melalui media yang tepat dalam mencapai sasarannya. Dalam proses komunikasi ini,
komunikator juga harus mampu mengantisipasi terjadinya gangguan (noise) selama proses
komunikasi berlangsung.
Dalam proses komunikasi pada suatu organisasi, setiap distorsi yang diakibatkan oleh
noise pasti akan menimbulkan konflik, baik konflik antarkaryawan, konflik antara atasan dan
bawahan, antara kelompok dan kelompok ataupun antara seseorang dan kelompok. Tubbs dan
Moss (1996) menyatakan bahwa para ahli teori cenderung menganggap konflik sebagai aspek
alamiah hubungan manusia, yang tidak dengan sendirinya bersifat destruktif. Hocker dan Wilmot
(dalam Tubbs dan Moss, 1996) berpendapat bahwa konflik adalah suatu proses alamiah yang
melekat pada sifat semua hubungan yang penting dan dapat diatasi dengan pengelolaan konstruktif
4

lewat komunikasi. Menurut Nitisemito (dalam Suminar, 1999), konflik perlu dipelajari karena
konflik dapat terjadi pada setiap organisasi. Dengan jalan mempelajari masalah konflik, maka kita
dapat mengetahui konflik yang mempunyai akibat positif dan akibat negatif. Dengan demikian

kita dapat mencegah kemungkinan timbulnya konflik-konflik yang merugikan, mengarahkan
konflik-konflik yang positif serta berusaha menghilangkan konflik-konflik yang dapat merugikan.
Suminar (1999) mengatakan untuk dapat mencegah konflik, maka pertama-tama kita harus
mempelajari sebab-sebab timbulnya konflik. Ada banyak faktor penyebab timbulnya konflik.
Salah satu penyebab timbulnya konflik menurut Suminar adalah terjadinya salah paham.
Kesalahpahaman yang terjadi dalam kegiatan komunikasi di suatu organisasi mungkin sekali
disebabkan oleh gangguan (noise) pada saat proses komunikasi berlangsung. Untuk lebih
memahami penyebab timbulnya konflik, kita dapat memperhatikan bagan berikut.

Feedback

Noise

Message (berupa
instruksi kerja, dsb)
Melalui channel
(memo, surat tugas,
telepon, dsb)

Dari bagan di atas, konflik (kesalahpahaman) dapat terjadi pada saat atasan menyampaikan

pesan (message) yang berupa penyampaian instruksi kerja melalui saluran tertentu (channel),
seperti memo, surat tugas, telepon ataupun secara lisan, kepada bawahan. Pada saat bawahan
menerima pesan, bisa saja kesalahpahaman terjadi, misalnya bawahan merasa beban kerja yang
diberikan atasan terlalu berlebihan atau di luar kemampuan yang bersangkutan. Padahal bisa saja
atasan memberi pekerjaan tersebut karena percaya pada kemampuan bawahannya. Demikian juga
dengan umpan balik (feedback) yang diberikan bawahan atas instruksi kerja yang diberikan atasan.
Bila instruksi kerja yang diberikan atasan telah sampai pada tenggat waktu (date-line) namun
5

bawahan belum memberikan hasil kerjanya, barangkali atasan akan beranggapan bawahan tidak
menunjukkan dedikasi kerja dan menganggap remeh instruksi yang diberikan. Padahal bisa saja
bawahan belum menyelesaikan pekerjaannya karena menemui banyak kesulitan yang tidak dia
komunikasikan kepada atasannya.
Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa kata kunci dalam keberhasilan hubungan manusiawi
pada organisasi adalah komunikasi yang baik dan transparan.
Sebaliknya, apa yang akan terjadi jika hubungan manusiawi tidak dilaksanakan dengan
baik pada suatu perusahaan? Di bawah ini terdapat dua buah kutipan berita dari sebuah surat
kabar.
Karyawan RSPP Tuntut Gaji Naik
JAKARTA- Empat Puluh karyawan Rumah Sakit Pusat Pusat Pertamina (RSPP), Kebayoran

Baru, Jakarta Selatan, kemarin atas nama 400 karyawan rumah sakit itu berunjukrasa menuntut
kenaikan gaji sebesar 6 sampai 70 persen. Mereka juga mendesak direksi segera memberikan tunjangan
kesehatan dan kesejahteraan.
Aksi di halaman RSPP sejak pukul 08.00 yang diikuti karyawan medis, paramedis, dan
bagian laboratorium. Lantaran gajinya kecil, mereka menyatakan bila anggota keluarganya
sakit terpaksa harus berobat ke puskesmas.
Staf Humas RSPP, Susilowati kepada wartawan menyatakan gaji karyawan dengan masa kerja
yang berkisar 5 sampai 8 tahun itu kini di atas upah minimum regional (UMR). Ia menyebutkan direksi
akan menampung aspirasi para karyawan.

Awak Mayasari tak Demo Lagi
BEKASI- Ratusan awak bus Pengembangan Organisasi Mayasari Bakti pool Bekasi
mengakhiri aksi mogoknya dan beroperasi kembali secara normal. Awak bus dan pihak
manajemen telah mencapai kesepakatan mentangkut persentase pembagian pendapatan.
Seorang awak bus Mayasari, Lili (34), mengatakan pada Ahad (18/6) pihak manajemen
perusahaan menyanggupi untuk menaikkan persentase penghasilan para awak bus dari semula sembilan
persen dari total pendapatn per hari menjadi 12 persen. “Kita sudah cukup puas dengan dipenuhinya
tuntutan itu, sehingga kita putuskan untuk beroperasi seperti sedia kala,” katanya di terminal Bekasi
kemarin.
Awak bus Pengembangan Organisasi Mayasari Bakti pool Bekasi mogok sejak Jum’at (16/6).
Akibat aksi mogok itu sekitar 300 armada Mayasari tak beroperasi.

Sumber: Republika, Selasa 20 Juni 2000, hal. 8.

6

Dari kutipan pertama tampak jelas bahwa manajemen RSPP tidak melaksanakan hubungan
manusiawi dengan baik, ini terlihat pada fakta bahwa:
1. Gaji para karyawan yang berunjukrasa tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
mereka sehari-hari, sehingga bila ada anggota keluarga karyawan yang sakit, mereka
hanya sanggup untuk mengobatinya ke puskesmas.
2. Salah satu tuntutan yang diajukan para pengunjuk rasa adalah diberikannya tunjangan
kesehatan dan kesejahteraan, ini menunjukkan bahwa pihak manajemen RSPP tidak
memberikan tunjangan kesehatan kepada karyawan dan anggota keluarga karyawan.
Kenyataan ini cukup tragis, karena RSPP adalah sebuah rumah sakit, namun rumah
sakit ini tidak memberikan fasilitas berobat kepada karyawan dan anggota keluarga
karyawan. Kesejahteraan karyawanpun ternyata tidak atau belum diberikan secara
maksimal, hingga keluarlah tuntutan tersebut kepada pihak manajemen.
3. Pihak manajemen RSPP tidak dapat mendeteksi timbulnya konflik di antara
karyawannya. Seandainya gejala-gejala akan timbulnya konflik dapat sesegera
mungkin terdeteksi dan diatasi, yaitu adanya rasa ketidakpuasan karyawan akan gaji
yang mereka terima, ketiadaan tunjangan kesehatan dan peningkatan kesejahteraan,
maka unjukrasa para tidak akan terjadi.
Sedangkan pada kutipan kedua terdapat dua kenyataan yang bisa dilihat, yaitu:
1. Kenyataan bahwa manajemen PO Mayasari Bakti belum melaksanakan hubungan
manusiawi dengan baik, ini terbukti seperti pada kasus RSPP, manajemen Mayasari
Bakti tidak mampu mendeteksi adanya konflik di antara karyawan yang tidak puas
dengan persentase pembagian pendapatan yang dinilai karyawan terlalu kecil.
2. Kenyataan bahwa PO Mayasari Bakti kemudian telah melaksanakan pendekatan
hubungan manusiawi dengan baik dalam mengatasi unjukrasa karyawan, sehingga
terjadi kesepakatan antara karyawan dan pihak manajemen mengenai persentase
pembagian pendapatan yang dinilai adil bagi kedua belah pihak.
Lalu, bagaimanakah mendeteksi konflik yang timbul di lingkungan organisasi? Setiap
pimpinan dalam organisasi diharapkan memiliki kemampuan untuk mendeteksi timbulnya konflik
di antara para karyawannya. Bagaimanakah caranya? Konflik timbul diawali dengan gejala-gejala,
misalnya dalam konflik yang terjadi di antara dua karyawan, akan terjadi hubungan yang renggang
di antara keduanya, kekakuan dan ketegangan, saling menghindar dalam aktivitas sehari-hari,
7

menolak bekerja dalam satu tim dengan pihak yang terlibat konflik, dan sebagainya. Pemimpin
yang baik harus peka terhadap gejala-gejala tersebut. Dengan kemampuan mengetahui adanya
konflik sedini mungkin, pimpinan dapat mencegahnya, mengarahkannya atau menghilangkannya.
Mengatasi konflik yang terjadi dalam organisasi memang tidak mudah. Nitisemito mengemukakan
beberapa hal yang dapat membantu pimpinan untuk mencegah timbulnya konflik sedini mungkin,
yaitu:
1. Menciptakan komunikasi timbal balik antara atasan dan karyawan, dengan penekanan
pada arus komunikasi dari bawah ke atas (bottom-up communications). Diharapkan
dengan komunikasi yang terbuka, bawahan dapat mencurahkan isi hatinya, sehingga
informasi tentang gejala terjadinya konflik dapat diketahui dan diantisipasi.
2. Menggunakan jasa pihak ketiga. Pada umumnya pihak-pihak yang terlibat konflik akan
lebih terbuka pada pihak ketiga yang dinilai netral. Maka untuk mempermudah
mengetahui timbulnya konflik seawal mungkin, dapat menggunakan jasa pihak ketiga,
misalnya konsultan. (Khusus untuk cara kedua dalam mencegah timbulnya konflik
sedini mungkin menurut Nitisemito ini salah satu media yang dapat digunakan adalah
dengan membuka program konseling pada suatu organisasi, dan cara ini telah ditempuh
oleh Universitas Terbuka yang membuka program konseling di bawah asuhan Bapak
dan Ibu Setijadi, sejak pertengahan 1999).
3. Menggunakan jasa pengawas informal. Untuk mengetahui adanya konflik sedini
mungkin, kita dapat menempatkan pengawas-pengawas secara informal di lingkungan
organisasi. Keberadaan pengawas informal ini, yang berkedudukan seperti intel, tentu
saja dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pimpinan organisasi. Dari informasi yang
diperoleh oleh pengawas informal, diharapkan pimpinan dapat mengetahui data di
lapangan. Namun yang harus diperhatikan dalam menggunakan pengawas informal ini
adalah kredibilitas dari pengawas informal untuk dapat memberikan informasi yang
sebenar-benarnya, tidak dibuat-buat.
IV.

Penutup
Dari uraian di atas, kita dapat menarik sebuah benang merah, bahwa sesungguhnya

hubungan manusiawi merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan
komunikasi pada organisasi.
8

Masalah utama yang kerap timbul dalam suatu organisasi adalah konflik yang menurut
pendapat para ahli merupakan suatu hal alamiah yang dapat terjadi pada semua jenis hubungan
manusia, tapi dapat diatasi dengan komunikasi yang baik.
Apabila dalam kegiatan suatu organisasi pihak manajemen sudah dapat melaksanakan
hubungan manusiawi dengan baik, maka konflik yang disebabkan oleh tidak lancarnya
komunikasi internal paling tidak dapat diperkecil, atau bahkan dihilangkan.

9

PUSTAKA ACUAN
Aly, Bachtiar, Buku Materi Pokok Teknik Hubungan Masyarakat, 1-9, (Jakarta: Universitas
Terbuka, 1999).
Effendy, Onong Uchjana, Human Relations dan Public Relations Dalam Management, (Bandung:
CV. Mandar Maju, 1989).
Praktito, Riyono, Jangkauan Komunikasi, (Bandung: Alumni, 1983).
Rachmadi, F., Public Relations Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996).
Suminar, Yenny Ratna, Buku Materi Pokok Komunikasi Organisasional, 1-9, (Jakarta: Universitas
Terbuka, 1999).
Susanto, Astrid, S., Komunikasi Dalam Teori dan Praktek, Jilid 2, (Bandung: Binacipta, 1982).
Tubbs, Stewart, L., dan Moss, Sylvia, Human Communication: Prinsip-prinsip Dasar, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1996).

10