APLIKASI PELAYANAN KONSELING ONLINE DALA

APLIKASI PELAYANAN KONSELING ONLINE
DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DI SEKOLAH

Oleh:
M.Ferdiansyah, M.Pd.,Kons

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2015

APLIKASI PELAYANAN KONSELING ONLINE DALAM MENGHADAPI
PERSAINGAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DI SEKOLAH
Oleh:
M.Ferdiansyah, M.Pd.,Kons
Mferdiansyah34@yahoo.com
Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Univ PGRI Palembang

ABSTRAK

Kurang lebih satu dekade yang lalu (pada KTT di Kuala Lumpur pada Desember

1997), para pemimpin Asean sepakat membentuk sebuah pasar tunggal di
kawasan Asia Tenggara. Pembentukan pasar tunggal yang di istilahkan dengan
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Pembentukan MEA ini bertujuan agar daya
saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina, India dan Jepang. Hal ini tentu
saja sangat berdampak pada semua system yang ada di Indonesia, tidak
terkcuali pendididikan yang ikut serta menerima dampak dari memberlakuan
MEA. Konseling sebagai salah satu bagian dari pendidikan tentu saja turut andil
besar dalam kebijakan tersebut. Perkembangan pengetahuan dan teknologi yang
semakin canggih pada MEA, tidak serta merta juga membawa dampak positif di
dalam masyarakat luas. Sehingga kita sering menjumpai semakin banyaknya
masalah social yang berkembang di masyarakat modern. Oleh karena itulah
konselor sebagai seorang pendidik dirasakan perlu mengembangkan kreatifitas
dalam memberikan pelayanan untuk mencegah dan mengatasi permasalahan
yang akan muncul di dalam MEA. Salah satunya upaya yang dapat ditempuh
menggunakan pelayanan konseling online. Berbagai format pelayanan konseling
(salah satunya konseling online) bertujuan untuk mengembangkan segenap
potensi yang dimiliki oleh anak bangsa agar tidak tertinggal oleh persaingan yang
muncul dalam MEA. Merujuk pada penjelasan tersebut maka, konselor sebagai
petugas pelayanan konseling dirasa penting untuk mengembangkan berbagai
strategi pelayanan dalam mengahadapi MEA.

Kata Kunci : Aplikasi, Pelayanan, Konseling, Masyarakat Ekonomi Asean.

2

A. Pendahuluan
Pada KTT di Kuala Lumpur pada Desember 1997, para pemimpin Asean
sepakat membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara.
Pembentukan pasar tunggal yang di istilahkan dengan masyarakat ekonomi
asean (MEA). Sejalan dengan perkembangan zaman, perkembangan teknologi
informasi mendapatkan tempat yang penting dalam berbagai sisi kehidupan.
Tidak terkecuali dunia pendidikan (termasuk konseling), menghadapi berbagai
persaingan yang diakibatkan oleh keberadaan pasar tunggal. Persainganpersaingan yang diakibatkan oleh pasar tunggal (Masyarakat Ekonomi Asean
lebih lanjut disebut MEA) itu harus dihadapi dengan sebaik-baiknya mulai dari
tatanan konstitusional, kebijakan, manajerial, dan operasional dalam berbagai
aspek dan dimensi. Geissler (dalam Surya 2009) menyatakan bahwa di milenium
tiga ini kita dituntut untuk melakukan “learning offensive” atau pembelajaran yang
bersifat ofensif dan proaktif. Selanjutnya dikatakan

bahwa untuk mampu


mewujudkan opensif pembelajaran diperlukan empat kompetensi yaitu: (1)
plurality competence yaitu kecakapan untuk mengidentifikasi aspek produktif dari
adanya keragaman, dan toleransi dan menggunakannya secara efektif, (2)
socio-communicative

competence

yaitu

kecakapan

untuk

berinisiatif,

mengembangkan, mendukung dan mengelola menyimpulkan secara tepat
proses-proses sosial, (3) transition competence, yaitu kecakapan untuk
beradaptasi

dengan


proses

transisi

dalam

kehidupan,

(4)

equilibrium

competence yaitu kecakapan dalam menjaga keseimbangan dalam kondisi
ketidak-pastian.
Pada tatanan global (termasuk MEA di dalamnya) Robert B Tucker
(dalam Surya 2009) mengidentifikasi adanya sepuluh tantangan di abad 21 yaitu:
(1) kecepatan (speed), (2) kenyamanan (convinience), (3) gelombang generasi
(age wave), (4) pilihan (choice), (5) ragam gaya hidup (life style), (6) kompetisi
harga (discounting), (7) pertambahan nilai (value added), (8) pelayananan

pelanggan (costumer service), (9) teknologi sebagai andalan (techno age), (10)
jaminan mutu (quality control). Menurut Robert B Tucker kesepuluh tantangan itu
menuntut inovasi dikembangkannya paradigma baru dalam pendidikan
Semua persaingan atau tantangan yang diakibatkan oleh MEA baik yang
berasal dari perubahan global, nasional, maupun lokal pada gilirannya menuntut
adanya pelayanan konseling dalam berbagai aspek. Saat ini telah banyak

3

berkembang berbagai inovasi yang diciptakan oleh konselor sebagai petugas
pelayanan konseling dalam bentuk teori, praksis ataupun pendekatan, pola-pola
pelaksanaan, penelitian dan pengembangan, personil pelaksana. Berdasarkan
penjelasan tersebut, bahwa seorang pelaksana pelayanan konseling perlu
berinovasi dalam memberikan pelayanan konseling yang efektif dan efisien
dalam melayani perubahan yang diakibatkan oleh MEA.
a. Permasalahan Penelitian
Permasalahan yang dikaji dalam makalah ini adalah bagaimana cara
konselor memberikan pelayanan konseling yang efektif dan efisien dalam MEA
b. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji hambatan dan

tantangan yang dialami konselor dalam memberikan pelayanan konseling dalam
MEA
B. Metodologi
Metodologi penelitian ini menggunakan penelitian berbasis studi literature
pustaka yang dilakukan dengan mengkaji dan menggali berbagai teori dan
praksis melalui literature mulai dari buku, jurnal ilmiah, internet, pengalaman
peneliti dan berbagai data serta fakta di dalam masyarakat.
C. Hasil dan Pembahasan
Pelayanan konseling yang merupakan layanan yang bersifat menyeluruh
bertujuan untuk terwujudnya kehidupan bahagia bagi klien dan mengandung
subtansi pendidikan (Prayitno 2010). Seluruh upaya pelayanan konseling
termasuk di dalamnya mekanisme, pendekatan, dan strategi bertujuan untuk
membelajarkan individu dalam mencapai sesuatu yang terkait dengan usaha
mengembangkan segenap potensi diri yang terdapat pada klien. Perkembangan
teknologi terutama dalam bidang informasi dan komunikasi telah memberikan
pengaruh yang cukup signifikan bagi dunia konseling. Komunikasi untuk
bimbingan dan konseling dilakukan dengan menggunakan media-media
komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dan sebagainya. Interaksi
antara konselor dengan klien tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap


4

muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut.
Konselor dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan
klien. Demikian pula klien dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas
dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan
menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah
berkembangnya apa yang disebut “cyber counseling” atau konseling online, yaitu
proses konseling yang dilakukan dengan menggunakan internet. Dalam bidang
bimbingan karir, telah berkembang publikasi bimbingan dan informasi karir
dengan menggunakan cyber publishing yaitu publikasi melalui internet dan
teknologi

informasi

lainnya

yang

bukan


dalam

bentuk

media

cetak.

Perkembangan ini sudah tentu menuntut kesiapan dan adaptasi para konselor
dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan konseling. Hal yang sama
diperlukan pula oleh para konselor dalam menggunakan teknologi untuk
bimbingan karir.
Pengalaman Indonesia dengan kondisi masyarakatnya yang bersifat
multikultural dan tren perkembangan demografis yang mengarah pada
konfigurasi budaya plural, telah mendorong berkembangnya layanan bimbingan
dan konseling yang lebih bersifat dinamis (Ferdi 2013), yang mendorong
berkembangnya berbagai pendekatan dan teknik konseling diharapkan mampu
memberikan layanan yang lebih efektif, dalam kondisi pluralitas budaya dan
tingkat kesibukan masing-masing individu dalam MEA, hal ini jelas berkaitan

dengan aplikasi pelayanan konseling berbasis pendekatan budaya sangat tepat
untuk lingkungan yang berbudaya plural seperti MEA. Bimbingan dan konseling
dilaksanakan dengan landasan semangat Bhineka Tunggal Ika, yaitu kesamaan
di atas keragaman. Selanjutnya bahwa sebutan multikultural mempunyai
implikasi dalam rentang kelompok yang ganda (multiple) tanpa harus membuat
derajat, bandingan, atau peringkat atau sebutan lebih baik atau lebih jelek antara
satu dengan lainnya, serta tanpa mengabaikan adanya kenyataan saling
melengkapi, dan perbedaan bahkan pertentangan satu dengan lainnya.
Perspektif pendekatan multikultural dalam MEA memberikan kombinasi antara
pandangan universalisme dan relativisme dengan memberikan penjelasan
bahwa perilaku dipelajari dalam perspektif secara kultural yang unik,

dan

mencari kesamaan landasan antar budaya.

5

Lebih jauh Surya (2009) menjelaskan kehidupan modern dengan
kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang

dialami oleh bangsa-bangsa maju ternyata telah menimbulkan berbagai suasana
kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya
rasa kehampaan. Mereka menyadari bahwa kemajuan itu telah memisahkan
nilai-nilai spiritual sebagai sumber kebahagiaan hidup dan dirasakan oleh
mereka sebagai satu kekurangan. Dewasa ini berkembang kecenderungan untuk
menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Mereka makin
menyadari bahwa suasana keluarga yang harmonis di atas landasan nilai-nilai
religi yang kuat pada dasarnya merupakan situasi yang kondusif bagi terciptanya
kehidupan. Suasana seperti itu akan menumbuhkan kualitas manusia agamis
yang memiliki ketahanan dan keberdayaan yang mantap. Charlene E. Westgate
(dalam Surya 2009) menyebutkan kondisi seperti itu sebagai “spiritual wellness”
yang diartikan sebagai suatu keadaan yang tercermin dalam keterbukaan
terhadap dimensi spiritual yang memungkinkan keterpaduan spiritualitas dirinya
dengan dimensi kehidupan lainnya, sehingga mengoptimalkan potensi untuk
pertumbuhan, perwujudan diri serta memiliki identitas diri yang kuat.
Bersamaan dengan perkembangan global yang mendorong makin
besarnya ketergantungan antar berbagai disiplin dan pihak, maka konseling
mengalami kecenderungan untuk bergeser dari situasi isolasi atau soliter ke arah
keterkaitan dengan berbagai aspek. Konseling holistik merupakan pendekatan
holistik yang melibatkan berbagai aspek dan dimensi dalam prosesnya. Dengan

demikian maka konseling tidak hanya menyentuh aspek permukaan saja akan
tetapi lebih menyeluruh dan utuh sehingga penyelesaian suatu masalah dapat
dilakukan secara lebih komprehensif sehingga dapat diselesaikan secara tuntas
dan mendasar. Pola konseling holistik mempunyai makna bahwa layanan yang
diberikan merupakan suatu keutuhan dalam berbagai dimensi yang terkait.
Dalam kaitan dengan lingkungan pendidikan, konseling dilaksanakan secara
terpadu mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan di masyarakat luas.
Strategi yang diterapkan merupakan keutuhan yang terpadu antara strategi
kurikuler, interaksi, pengembangan pribadi, dan dukungan sistem.
Bidang-bidang layanan yang diberikan meliputi aspek sosial, pribadi,
belajar, karir, dan budi pekerti dalam satu kesatuan yang utuh. Saat ini telah
berkembang apa yang disebut ”quantum counseling” atau konseling kuantum

6

yang berpangkal pada teori kuantum, dalam fisika (Porter 2012). Dalam ivovasi
ini, bimbingan dan konseling dilaksanakan secara holistik dalam suasana
menyenangkan dengan lebih berfokus pada aspek-aspek pribadi yang paling
mendalam yaitu pikiran dan perasaan.
Kenyataan tantangan dalam MEA, secara langsung atau pun tidak
langsung, akan berpengaruh terhadap corak layanan bimbingan dan konseling di
sekolah. Dalam kaitan ini, konseling sekolah telah mengalami kemajuan dan
pergeseran dari pola-pola tradisional yang berfokus pada pemberian layanan
menjadi pola-pola yang berfokus pada satu sistem yang proaktif dan
programatik. Semuanya merujuk pada standar yang telah ditetapkan oleh
organisasi (the National Standard oh the American School Counselor
Association, 1997) dan ketentuan perundang-undangan yang ditetapkan
pemerintah (Transforming School Counseling Initiative, Education Trust, 1997).
Dalam menghadapi tantangan yang dihadapi siswa sekolah pada

MEA

konseling sekolah telah dipengaruhi oleh paradigma dan praktek yang mengarah
pada profesi dan pembaharuan dalam penekanan memberikan bantuan dan
dukungan kepada siswa dalam pencapaian prestasi akademik, advokasi keadilan
sosial, dan akuntabilitas konselor.
Dalam penyelenggaraan konseling para futurist telah merumuskan empat
konsep masa depan yang dapat dijadikan rujukan yaitu: (a) probable future atau
masa depan yang mungkin terjadi, (b) possible future, atau masa depan yang
kemungkinan dapat terjadi, (c) plausible future, atau masa depan yang dapat
terjadi, dan (d) preferable future, atau masa depan yang diharapkan terjadi
(Inbody, 1984, dalam Surya, 2009). Dikemukakan bahwa dalam dua dekade
terakhir ini mengidentifikasi ada enam hal dasar yang cukup kritis terkait dengan
masa depan konseling sekolah, yaitu:
1.

Apa yang dilakukan oleh profesi konseling sekolah dewasa ini akan
berpengaruh terhadap kualitas bidang konseling sekolah dan lingkungan
pendidikan di mana koselor sekolah dan siswa berada.

2.

Metode ilmiah dalam penelitian konseling sekolah dapat digunakan untuk
mengantisipasi masa depan konselor sekolah yang belum diketahui,

3.

Tidak hanya satu masa depan yang menunggu profesi konseling sekolah,
akan tetapi banyak berbagai kemungkinan masa depan, tergantung pada
apa yang dipilih oleh konselor sekolah pada masa kini,

7

4.

Konselor sekolah harus memiliki landasan moral dalam tanggung jawabnya
bagi siswa generasi masa depan dan juga konselor sekolah generasi
selanjutnya.

5.

Teknologi akan terus memberikan pengaruh dan dukungan bagi konseling
sekolah, akan tetapi konselor sekolah bertanggung jawab untuk memadukan
teknologi itu bagi kepentingan masa depan yang mungkin tidak diperlukan di
masa dua puluh tahun yang lalu.

6.

Diperlukan adanya suatu studi ekstensif untuk menunjang gagasan-gagasan
bagi profesi konseling sekolah dan siswa.
Dari keenam hal di atas dirasakan masih relevan untuk dijadikan rujukan

pada pelayanan konseling pada masa kini dalam menghadapi tantangan MEA.
Bila kita mengacu pada poin enam, disana sangat ditekankan bagaimana
konselor harus mampu memberdayakan teknologi dalam penyelenggaraan
konseling. Oleh karena itu konselor sekolah di abad modern ini berada dalam
posisi yang memiliki kekuatan dan strategis untuk menunjukkan secara efektif
bagaimana melengkapi prestasi akademik dan perkembangan afektif sebagai
formula yang tepat untuk membantu siswa. Konselor sekolah berperan sebagai
kunci tim kepemimpinan pendidikan dan membangun tantangam untuk berbagi
tanggung jawab dalam mempersiapkan siswa agar mencapai standar akademik
sambil membantu meraka menjadi anggota masyarakat yang produktif dan
bermakna. Dengan demikian, maka konselor di masa depan harus mampu
membangun satu cara baru sebagai pemimpin, kolaborator, advokator, dan agen
perubahan yang sistemik dalam tatanan dinamika pendidikan, globalisasi
masyarakat dan ekonomi, dan keragaman kebutuhan siswa. Konselor sekolah
generasi yang akan datang harus memiliki sikap, pengetahuan, dan ketrampilan
untuk bekerjasama dengan guru-guru, administrator, keluarga, jaringan sumber
masyarakat, dan lain-lainnya untuk meningkatkan keadilan pendidikan dan
keberhasilan semua siswa. Yang paling penting adalah program konseling
sekolah harus terkait dan berpadanan dengan perubahan tatanan pendidikan
dan tujuan perbaikan sekolah.
Sesuai dengan yang dikemukakan di atas, dalam menghadapi kompetisi
dimasa depan akan terjadi perubahan dalam strategi pelaksanaan konseling,
contohnya konseling online dalam pelaksanaanya harus terjadi keterpaduan dan

8

kolaborasi yang harmonis antara konselor dengan guru dan staf sekolah lainnya.
kompetisi selanjutnya adalah yang terkait dengan akuntabilitas konselor sekolah.
Di masa lalu dan juga mungkin hari ini, konselor sekolah lebih banyak terfokus
pada pencapaian akademik. Namun para konselor sekolah harus menyadari
bahwa pencapaian akademik harus di imbangi dengan aspek non-akademik
lainnya yang dilaksanakan melalui layanan konseling. Dengan demikian konselor
sekolah menunjukkan akuntabilitasnya melalui layanan konseling agar proses
pembelajaran dapat berlangsung secara utuh sehingga menghasilkan kualitas
kepribadian yang utuh pula.
Sebagaimana diketahui, di era MEA yang ditandai dengan pesatnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, telah menimbulkan

perubahan dalam berbagai

aspek tatanan kehidupan baik yang bersifat positif maupun negatif. Kondisi itu
secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap peran
konselor. Di masa depan konselor akan bertambah tanggung jawabnya sebagai
mediator kultur atau budaya. Konselor akan mempunyai tanggung jawab yang
disebut sebagai mediator kultural yaitu sebuah peran dan tanggung jawab untuk
membantu siswa dalam menghadapi berbagai perubahan iptek dan kultural.
Dalam kaitan dengan peran sebagai mediator kultural, dengan segala
implikasinya termasuk dalam pendidikan dan layanan konseling khususnya
penerapan layanan konseling online dalam MEA. Selanjutnya dikatakan bahwa
keberhasilan negosiasi perbedaan cultural dan kepentingan dimasa yang akan
datang terkait dengan membangun jembatan dari masa kini yang berfokus pada
kesadaran, pengetahuan, dan ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai
kompetensi kultural kepada aplikasi kompetensi kultural melalui mediasi kultural,
yang membawa kepada kesuksesan akademik, pribadi, sosial, dan karir individu
yang berasal dari lingkungan kultur yang beragam.
Konselor sekolah adalah arsitek yang harus membangun jembatan
tersebut. Saatnya sekarang konselor sekolah untuk memasuki proses sepanjang
hayat untuk mendapatkan kompetensi kultural seperti halnya mengembangkan
kepemimpinan dan ketrampilan advokasi yang diperlukan untuk memperluas
pengembangan profesional mereka dan perannya sebagai mediator cultural
dalam persaingan MEA. Disarankan oleh Bemak, (dalam Surya, 2009) ada tiga
cara konselor dalam bekerja dengan organisasi kemasyarakatan, yaitu: (1)
menghubungkan siswa dan keluarganya kepada sumber-sumber di masyarakat

9

sesuai dengan kebutuhan masing-masing, (2) merancang dengan pelayanan
masyarakat untuk membawa mereka sebanyak mungkin ke sekolah, (3) bekerja
dalam kemitraan dalam mengembangkan dan aplikasi layanan pencegahan dan
intervensi yang dapat disediakan baik di dalam maupun di luar tatanan
pendidikan.
Dalam beberapa hal banyak dijumpai oleh peneliti berbagai kesamaan
dalam

hal

keragaman

budaya,

etnis,

agama,

geografis,

demografis.

Kecenderungan yang berkembang di berbagai belahan dunia juga akan dijumpai
di Indonesia. Oleh karena itu, tidak terlalu menyimpang seandainya dalam
menerapkan upaya mewujudkan konselor yang ideal masa kini kita belajar dari
pengalaman orang lain. Hal itu berarti bahwa apa yang dikemukakan di atas
dapat secara selektif diterapkan di dunia pendidikan Indonesia sesuai dengan
karakteristik Indonesia. Dalam system pendidikan Indonesia terkandung makna,
fungsi, dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tersurat dan tersirat dalam
Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
maka jelas bahwa esensi pendidikan nasional adalah “membangun watak
bangsa” atau “national character building”.
Terkait dengan hal itu, bimbingan dan konseling memiliki peran dan posisi
yang amat strategis dalam upaya membangun watak atau karakter bangsa.
Semua upaya itu harus diawali dengan inovasi membangun kualitas layanan
bimbingan dan konseling yang utuh. Watak atau karakter pada hakekatnya
merupakan ciri kepribadian yang berkaitan dengan nilai moralitas normatif yang
berlaku.

Kualitas

watak

seseorang

akan

tercermin

pada

penampilan

kepribadiannya ditinjau dari sudut nilai moral normatif. Seseorang dikatakan
memiliki kualitas watak yang baik apabila menampilkan perilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai moral yang berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
“watak yang utuh” merupakan keseluruhan penampilan kepribadian dalam
keutuhan perilaku berdasarkan nilai-nilai moralitas. Di Indonesia nilai moral
normatif yang menjadi landasan watak adalah moral Pancasila.
Menurut para ahli watak sangat didukung oleh kecerdasan emosional.
kecerdasan emosional didukung oleh lima kemampuan yaitu: (1) mengenali
emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) mengenali emosi orang
lain, dan (5) membina hubungan dengan orang lain. Orang yang berwatak pada
tingkatan ini mampu menunjukkan perilaku yang terkendali secara emosional

10

dan mencerminkan kepribadian yang baik dari sudut timbangan nilai moralitas.
Dalam menghadapi berbagai persoalan atau tantangan watak dalam tingkatan ini
akan mampu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan pertimbanganpertimbangan emosional yang mantap serta memperhatikan berbagai alternatif
dan resiko yang mungkin timbul. Tindakan yang diambil didasarkan atas
timbangan resiko minimal dan keuntungan maksimal. Dengan memperhatikan
uraian di atas, pada dasarnya makna watak yang utuh akan tercermin melalui
keluhuran budi pekerti yang bersumber dari keutuhan moral pribadi, sosial, dan
spiritual. Bagi bangsa Indonesia, pada hakekatnya nilai-nilai moral Pancasila
merupakan rujukan fundamental bagi pembentukan watak bangsa yang utuh.
Tujuan Pendidikan Nasional sesungguhnya telah menggariskan arahannya untuk
mencapai watak bangsa yang utuh sejalan dengan konsep sebagaimana
disebutkan di atas, yaitu yang tersurat dan tersirat dalam Undang-undang
Sisdiknas.
Dalam konteks ”national character building”, layanan konseling harus
mampu membangun watak yang dilandasi dengan nilai-nilai kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan moral, dan kecerdasan spiritual.
Semua kualitas watak itu harus menjadi haluan dari keseluruhan layanan
konseling online.
D. Simpulan
Aplikasi pelayanan konseling online merupakan salah satu alternatif
dalam memberikan pelayanan konseling dalam arus kesibukan MEA, oleh
karena itu, layanan konseling online merupakan tantangan bagi konselor di
Indonesia untuk mampu dikembangkan dan diaplikasikan mengingat berbagai
potensi yang menguntungkan dalam proses itu sendiri. Beberapa hal yang
membuat bahwa konseling online efektif untuk dikembangkan dan diaplikasikan
diantaranya; a) keterbatasan waktu yang dimiliki konselor dan klien, b) jarak
geografis yang mengahambat lancarnya proses konseling c) keterbatasan klien
dalam berkomunikasi d) permasalahan jadwal hubungan konseling tatap muka
antara konselor dan klien e) klien merasa enggan untuk melakukan proses tatap
muka untuk pertama kali.selain itu sebagai mana yang diungkapkan Glading
(2012) ada beberapa klien yang merasa nyaman dan diuntungkan dengan
mengungkapkan sesuatu dengan bahasa tulisan. Oleh karena itu dalam

11

penelitian

ini

dapat

disimpulkan

bahwa

kemampuan

konselor

dalam

penguasaan teknologi penunjang proses konseling online sangat diharapkan
dikuasai dengan baik oleh konselor.
E. Daftar Pustaka
Ferdiansyah. Muh. 2013. Peran Wali Kelas dalam Penyelenggaraan
Bimbingan dan Konseling untuk Mencegah Permasalahan Siswa
Pada Masyarakat Multikultural dan Modern di Sekolah. Prosiding
Seminar Internsaional Konseling. Bali : Undiksha
Glading, Samuel T. 2012. Konseling Profesi yang Menyeluruh. Terjemahan
oleh Winarno dan Lilian Yuhono. Jakarta: PT. Indeks
Porter D. Bobby. 2010.Quantum Thinker. Jakarta: Rineka Cipta
Prayitno, 2010. Wawasan Profesional Konseling. Padang: UNP Press
Surya. Moh 2009. Inovasi Bimbingan dan Konseling Menjawab Tantangan
Global. Bandung: Kota Kembang
UU No. 20 tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Depdiknas.

12