Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI
SASTRA ANAK REKONSTRUKSI
Clara Evi Citraningtyas, Ph.D.
Universitas Pelita Harapan
clara.citraningtyas@uph.edu
claradarminto@yahoo.com

Abstrak
Karya sastra dipercaya mampu membangun karakter bangsa, terutama sastra anak yang bergenre cerita rakyat. Oleh karenanya tidaklah mengherankan apabila orang tua dan pendidik
menaruh kepercayaan yang besar bagi cerita rakyat untuk dibaca anak-anak. Cerita rakyat
senantiasa dianggap memiliki jaminan mutu mampu meneruskan nilai-nilai luhur kepada
generasi penerus. Akibatnya, cerita rakyat kurang dibaca secara kritis oleh orang tua dan
pendidik.
Makalah ini mengupas tentang bagaimana cerita rakyat harus disikapi. Akan dibahas dua
buah cerita rakyat: Cinderella yang sangat dikenal diseluruh dunia, dan Malin Kundang yang
dikenal di Indonesia. Bagaimana kedua cerita rakyat tersebut mempengaruhi pembentukan
karakter generasi muda bangsa Indonesia? Makalah ini juga akan menawarkan versi
rekonstruksi kedua cerita tersebut, yakni Cintarela dan Malin Kundang versi rekonstruksi,
sebagai alternatif yang lebih konstruktif bagi pembentukan karakter.
Kata Kunci: Sastra anak, cerita rakyat, Cinderella, Malin Kundang, sastra rekonstruksi,
Cintarela


Pendahuluan
Karya sastra adalah medium yang mencerminkan masyarakat tempat karya sastra
tersebut dilahirkan. Nilai, kepercayaan, kebiasaan, harapan, dan cita-cita masyarakat akan
tercermin dalam karya sastra yang dilahirkan. Dengan kata lain, karya sastra menyuguhkan
Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
1

hiburan yang mencerminkan jati diri atau identitas masyarakat pendukungnya, sehingga
melalui karya sastra pula identitas sebuah bangsa bisa tercermin. Berbagai penelitian yang
pernah dilakukan mendukung hal tersebut. Curtis dan Moir (1982), misalnya, menulis bahwa
karya sastra berbaur menjadi satu dengan karya seni dan budaya lainnya di dalam masyarakat,
dan kemudian mengkristal untuk menampilkan image yang mengatakan, ”This is who we
are” (hlm. 37); “Inilah kami” sebagai sebuah bangsa.
Refleksi masyarakat yang diserap dan tampil melalui karya sastra tersebut kemudian
disuguhkan kepada pembaca.

Pembaca akan menanggapi, mengkritisi, menyetujui,


mendukung, atau bahkan mengecamnya. Akan terjadi dialog interaktif antara karya sastra dan
pembacanya. Hasil interaksi antara karya sastra dan pembacanya tersebut, akan mengkristal
dan menjadi referensi bagi masyarakat dalam bersikap dan hidup bermasyarakat. Sehingga
akan terjadi interaksi dua arah antara karya sastra dan masyarakatnya:

karya sastra

dipengaruhi oleh masyarakat, dan mempengaruhi masyarakat.
Dalam sastra anak, proses dialog interaktif antara cerita anak dan pembacanya
biasanya hilang. Apabila kita cermati, proses kreatif dan proses produksi sastra anak sangat
dikontrol oleh orang dewasa meskipun sastra anak ditulis untuk dikonsumsi anak-anak. Sastra
anak adalah karya sastra yang disengaja ditulis untuk mendidik anak. Apabila Horace dalam
Ars Poetica-nya yang terkenal (13 S.M) menyatakan bahwa karya sastra adalah ‘Dulce et
Utile’ (13 SM), maka Citraningtyas (2013) menegaskan bahwa sastra anak adalah ‘Utile et
Dulce’. Perubahan urutan ini didasarkan pada kenyataan bahwa tujuan utama ditulisnya sastra
anak adalah untuk mendidik, baru kemudian sastra anak kadang menghibur. Unsur mendidik
dalam sastra anak selalu menjadi agenda utama.
Sastra anak memang bukanlah cerita netral yang tidak memiliki tujuan atau agenda
tertentu bagi pembacanya.


Selain untuk tujuan menghibur, cerita anak hampir selalu

disengaja menjadi alat edutainment bagi anak (Citraningtyas, 2011).

Dalam menjadikan

sastra anak sebagai sarana mendidik sekaligus menghibur ini, gairah mendidik dalam cerita
anak seringkali lebih kuat dibandingkan gairah untuk menghibur.

Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
2

Unsur didaktis pada sastra anak ini, paling sering dan paling kentara hadir pada sastra
anak berjenis cerita rakyat. Dalam sejarahnya, pada awalnya cerita rakyat tidak ditulis
untuk anak. Pada Zaman Pencerahan ketika pendidikan pada anak ditekankan, cerita rakyat
baru secara khusus ditulis untuk anak dengan memasukkan unsur didaktis yang kental di
dalamnya. Sejak itu cerita rakyat disesuaikan untuk pembaca dan pendengar anak (Zipes,
2002). Hingga dewasa ini, cerita rakyat dibuat untuk anak-anak dan dipercaya sebagai cerita
yang mampu memberikan pendidikan akan budaya luhur sebuah bangsa. Cerita rakyat juga

dianggap mampu membangun karakter serta mengasuh nilai-nilai budaya dan identitas
bangsa, dan diakui sebagai teks yang penting dalam pembangunan sebuah bangsa.
(Citraningtyas dkk, 2012) Unsur didaktis yang dimasukkan dalam cerita rakyat ini bersifat
satu arah. Pembaca anak biasanya tidak berkesempatan untuk berdialog dan berinteraksi
dengan teks cerita rakyat.
Oleh karenanya tidak mengherankan apabila orang tua dan pendidik sangat
mempercayai cerita rakyat. Cerita rakyat seolah memiliki jaminan mutu menjadi bacaan
berkualitas bagi anak-anak sehingga cerita rakyat menjadi bacaan utama yang dipilihkan
orang tua dan pendidik bagi anak-anak mereka.

Cerita Rakyat Jaminan Mutu?
Menganggap cerita rakyat memiliki semacam jaminan mutu, membuat orang tua dan
pendidik tidak lagi kritis terhadap cerita rakyat. Padahal orang tua dan pendidik bertindak
sangat kritis terhadap bacaan lain yang hendak dikonsumsi anak-anak.

Memang tidak

dipungkiri bahwa cerita rakyat memiliki banyak ajaran positip yang berguna diserap oleh
anak-anak.


Namun tidak sedikit cerita rakyat yang mengandung ajaran yang kurang

konstruktif bagi perkembangan anak atau tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Disini akan dibahas dua cerita rakyat terkenal dan apakah benar kedua cerita rakyat
tersebut memiliki jaminan mutu bagi pendidikan karakter. Kedua cerita rakyat yang dibahas
ini adalah cerita rakyat yang sangat dikenal pembaca sehingga efeknya bagi masyarakat
sangat besar.

Cerita rakyat pertama adalah Cinderella, sebuah cerita rakyat yang sangat

Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
3

terkenal di dunia sehingga hampir mustahil bisa menemukan seseorang yang tidak mengenal
cerita ini. Cerita rakyat kedua adalah Malin Kundang. Bangsa Indonesia sudah sangat kenal
dengan cerita rakyat berjudul Malin Kundang ini. Ada beberapa bukti memperkuat argumen
bahwa cerita Malin Kundang dianggap mampu membentuk karakter generasi muda Indonesia.
Cerita Malin Kundang ini menjadi satu-satunya cerita yang dimasukkan dalam buku
pegangan siswa Sekolah Dasar kelas 6, pada Kurikulum Nasional 1994 (Citraningtyas, 2004).

Kurikulum 1994 ini digunakan oleh sistem pendidikan Indonesia selama 10 tahun, yakni sejak
tahun 1994—2004.

Menurut Citraningtyas (2010), sebuah cerita yang mendapat ”restu”

untuk dimasukkan ke dalam buku pegangan formal sekolah, tentu tidak terjadi secara
kebetulan. Materi atau cerita yang tercantum dalam buku pegangan wajib tersebut tentu telah
memenuhi persyaratan yang dicanangkan pemerintah. Salah satunya adalah karena cerita
tersebut dipercaya mampu membentuk siswa menjadi warga negara Indonesia sejati. Siswa
belajar menerima nilai-nilai tersebut untuk kemudian membawanya dalam kehidupan
bermasyarakat. Dengan demikian masuknya Malin Kundang ke dalam buku pegangan kelas 6
SD pada Kurikulum 1994 bukanlah sebuah kebetulan.

Malin Kundang tentu dianggap

memenuhi semua persyaratan di atas. Selain itu, dengan menjadi satu-satunya cerita yang ada
dalam buku pegangan siswa sekolah dasar tersebut, memberikan pesan penting bahwa kala itu
belum ada cerita rakyat lain yang dianggap mampu mendidik anak Indonesia.
Bukti kedua adalah bahwa Malin Kundang menjadi salah satu cerita yang paling
dikenal oleh 125 responden dalam survei yang dilakukan oleh Citraningtyas dkk (2012). Dari

116 cerita rakyat yang disebarkan kepada 125 responden dari berbagai kalangan, ada dua
cerita rakyat yang paling dikenal oleh para responden, yakni Malin Kundang dan
Sangkuriang. Dengan terpilihnya Malin Kundang sebagai salah satu cerita rakyat yang paling
dikenal dan sebagai satu-satunya cerita yang dimasukkan dalam kurikulum 1994,
membuktikan bahwa Malin Kundang telah diakui sebagai cerita rakyat yang meng-Indonesia.
Cerita Malin Kundang bukan lagi melulu cerita rakyat dari Sumatra Barat, namun telah
menjadi cerita rakyat dari Indonesia.

Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
4

Cinderella
Para ahli folklor percaya bahwa cerita Cinderella telah ada sejak abad pertama di
zaman Yunani Mesir (Dundas, 1988). Namun demikian, versi yang disusun Perrault (1697)
memang merupakan versi yang dipopulerkan sebagai versi dasar Cinderella yang kita kenal
dewasa ini.

Namun versi Cinderella paling terkenal pada abad ini adalah versi yang


dipopulerkan oleh Disney. Disana Cinderella digambarkan sebagai seorang yang cantik,
lemah gemulai, mentalnya juga lemah, dan tidak memiliki inisiatif. Berbeda dengan tokoh
cerita rakyat lainnya yang biasanya berjuang mengalahkan yang jahat, Cinderella tidak bisa
berjuang untuk memperbaiki nasibnya sendiri. Ia tidak memiliki prestasi.

Satu-satunya

prestasi yang ia miliki hanyalah diperistri oleh Pangeran, yang kemudian menyelamatkannya
dari permasalahannya. Itupun bukan murni atas usaha sendiri. Namun sosok yang seperti
inilah yang dipuja dan diingini banyak perempuan di dunia, sampai-sampai perempuan jatuh
pada syndrom seperti Cinderella: menunggu sang Pangeran itu untuk membawanya keluar
dari segala permasalahan hidupnya. Collete Dowling menamai gejala psikologis ini sebagai
Cinderella Complex (1982). Cinderella complex adalah sebuah syndrome yang dipercaya
menghinggapi banyak perempuan di dunia. Perempuan memiliki ketakutan untuk mandiri
dan menunggu laki-laki untuk mengentaskan dia.
Cinderella diceritakan tidak rukun dengan saudari tirinya.

Mereka saling iri dan

berlomba memperebutkan Pangeran. Ini merupakan contoh penggambaran perempuan yang

kurang konstruktif.

Hal ini diperuncing dengan sinetron dan opera sabun yang

mengedepankan persaingan antar perempuan.

Perempuan senantiasa digambarkan dalam

posisi saling membenci dan saling iri hati, atau memperebutkan seorang laki-laki.
dalam dunia nyata, hubungan antar perempuan tidaklah demikian.
Cinderella digambarkan sebagai ibu yang jahat.

Padahal

Selain itu, ibu tiri

Bersama-sama dengan cerita senada yang

mengedepankan kejahatan ibu tiri, cerita Cinderella mengajarkan kepada anak bahwa semua
ibu tiri itu jahat. Seolah semua perempuan bisa otomatis menjadi jahat apabila menjadi ibu

tiri, atau seseorang menjadi tidak jahat karena ia bukan ibu tiri.
Kecantikan fisik Cinderella digambarkan ideal, yakni memiliki kulit putih, rambut
pirang mata biru, hidung mancung, dan langsing. Tolok ukur kecantikan yang mengacu pada
Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
5

kecantikan fisik semata dan menggunakan tolok ukur barat ini, menjadi referensi langsung
bagi anak perempuan sejagad.

Konsep bahwa cantik tidak harus fisik dan tidak harus

mengacu pada ras tertentu akan sulit ditanamkan pada anak perempuan di seluruh dunia
apabila setiap hari mereka disuguhkan pada konsep cantik a la Cinderella ini. Selain itu,
Cinderella yang baik hati itu digambarkan sebagai gadis cantik, sedangkan ibu dan saudari tiri
yang jahat itu bermuka jelek.

Gambaran ini membawa pesan bahwa penampilan fisik

seseorang itu penting, karena penampilan fisik menggambarkan sifat seseorang. Cinderella

yang cantik itu berhati cantik, sedangkan ibu dan saudari tiri yang jelek berhati jelek pula.
Apabila penggambaran fisik ini berulang dan konsisten dari satu versi ke versi lainnya, maka
dikhawatirkan akan melahirkan stereotipe akan tokoh baik dan jahat. Dikhawatirkan akan
timbul salah persepsi di benak anak bahwa semua orang cantik itu baik hati dan semua orang
jelek itu jahat.

(Citraningtyas, 2010).

Keadaan ini diperburuk dengan berulangnya

penggambaran yang sama pada banyak cerita rakyat maupun cerita sinetron dan opera sabun.
Bisa disimpulkan bahwa cerita Cinderella sama sekali tidak memberdayakan
perempuan dan oleh karenanya perlu dicermati sebelum diberikan kepada anak-anak untuk
dikonsumsi.
Malin Kundang
Cerita rakyat ini menceritakan Malin Kundang yang miskin dan merantau untuk memperbaiki
nasib. Sosok Malin Kundang yang gigih ini patut menjadi panutan bagi generasi muda, dan
lebih baik dibandingkan Cinderella yang pasif. Namun pada akhir cerita, Malin Kundang
dikutuk menjadi batu karena tidak mau mengakui ibunya. Cerita yang berakhir dengan
kutukan ini yang perlu kita pertanyakan. Citraningtyas dkk (2013) membahas bagaimana
hukuman berupa kutuk tidak pernah menyelesaikan masalah, namun justru bisa menimbulkan
masalah baru. Dalam cerita Malin Kundang, dengan dikutuknya Malin tidak membuatnya
‘sembuh’ dari durhaka. Pada versi-versi awal cerita Malin Kundang yang tidak memasukkan
elemen Malin yang minta maaf pada ibunya, bisa saja Malin menjadi batu masih dalam
keadaan tidak mengakui ibunya. Pada versi cerita Malin Kundang yang lebih baru, biasanya
sudah diceritakan bahwa Malin telah memohon maaf pada ibunya, namun sudah terlambat.

Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
6

Hal ini justru lebih parah karena mengajarkan untuk tidak memberi maaf kepada orang yang
bersalah. Meskipun telah meminta maaf, Malin tetap dikutuk (Citraningtyas, 2004).
Dengan dikutuknya Malin menjadi batu justru menimbulkan sebuah masalah baru.
Malin dikutuk menjadi batu, sebuah benda mati yang tidak produktif: keras, dingin, mati.
Kutukan menjadi benda mati yang tidak produktif ini mematikan dan membelenggu pihak
yang dikutuk dan menjadi tidak bisa produktif kembali (Citraningtyas, 2004). Hal ini seolah
memberi pesan bahwa orang yang bersalah / durhaka tidak memiliki kesempatan untuk
mencoba lagi. “Mematikan” produktivitas juga tidak sesuai dengan tujuan edukasi karena
salah satu agenda edukasi seharusnya membimbing ke arah yang benar dan mengkoreksi yang
salah. Hukuman sebagai konsekuensi logis bagi yang bersalah seharusnya tetap membangun,
dan tidak mematikan.

Dengan dikutuknya Malin, Malin tidak diberi kesempatan kedua,

kesempatan untuk memperbaiki diri (Citraningtyas dkk, 2013).
Sangat disayangkan bahwa kutukan Malin Kundang ini telah menjadi referensi bagi
masyarakat Indonesia untuk melakukan berbagai tindakan disipliner dari figur otoritas pada
subordinitas (Citraningtyas, 2010). Cerita Malin Kundang sudah sangat meresap ke dalam
psyche masyarakat Indonesia. Media, kolom psikologi, dan internet banyak memberitakan
fenomena adanya anak yang gagal, tidak berkembang, bangkrut, atau bahkan berbentuk
menjadi seperti binatang sehingga tidak produktif lagi gara-gara dikutuk oleh orang tuanya.
Misalnya, ada seorang wanita yang menuliskan masalahnya dalam kolom Psikologi di harian
Kompas, bahwa hidupnya hancur sejak dikutuk ibunya (Citraningtyas, 2004).

Cerita Rekonstruksi
“Literature has the potential to mould nations”, tulis Ingrid Johnston (2000). Karya
sastra terutama cerita rakyat dipercaya mampu membentuk karakter bangsa.

Setelah

menyimak alasan di atas, apakah kita akan membiarkan karakter bangsa ini dibentuk dengan
cerita-cerita yang tidak konstruktif dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman? Oleh
karenanya, ditawarkan konsep rekonstruksi bagi cerita rakyat yang tidak maksimal mampu
membentuk karakter bangsa yang diharapkan. Apakah itu rekonstruksi cerita?
Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
7

Kata rekonstruksi berasal dari Bahasa Inggris ‘to reconstruct’.

Menurut kamus

Merriam-Webster, kata itu berarti to establish ‘untuk membentuk’ atau to assemble again
‘merakit kembali’. Dari arti rekonstruksi yang diberikan kamus, Citraningtyas (2012)
menyimpulkan bahwa rekonstruksi adalah membangun dari yang sesuatu yang sudah ada,
untuk menjadikannya lebih baik atau memperbaiki bagian yang rusak atau tidak berfungsi.
Sebuah gedung, misalnya, direkonstruksi agar menjadi lebih baik. Cacat pada tubuh juga bisa
diperbaiki melalui rekonstruksi. Apabila diterapkan dalam sebuah cerita, maka rekonstruksi
cerita berarti mengganti atau membangun kembali sebuah cerita berdasarkan cerita yang
sudah ada, dengan tujuan untuk membetulkan sebuah kesalahan dan memperbaiki bagianbagian yang tidak membangun sehingga menjadikannya lebih baik.
Apakah rekonstruksi cerita ini valid dan bisa diterima? Ada sebagian pihak yang
menganggap bahwa sebuah cerita, apalagi cerita rakyat, tidak boleh diubah-ubah. Mereka
menganggap cerita rakyat seperti cerita sakral yang perlu dijaga keasliannya. Pihak yang
menganggap demikian tidak mengetahui bahwa sifat dasar cerita rakyat adalah bergerak,
berubah dan bertumbuh sesuai jaman. “Tales, just as plants, adapt to a certain environment
through natural selection and thus differ somewhat from other members of the same species”
(Bradkūnas 1975) – Cerita rakyat itu bagaikan tumbuhan, ia hidup dan tidak mati.
Cerita Cinderella dan Malin Kundang sendiri telah mengalami berbagai perubahan
dari jaman ke jaman (Citraningtyas, 2004; 2010; 2011; 2012). Pada awal-awal ditulisnya
cerita Cinderella, termasuk dalam versi Perrault, misalnya, tidak ada penggambaran fisik
Cinderella dan ibu serta saudari tirinya. Tidak ada penjelasan baik secara narratif maupun
visual bahwa Cinderella itu cantik, dan ibu serta saudari tirinya jelek. Bahkan versi Brothers
Grimm justru menuliskan bahwa ibu tiri dan saudari tiri Cinderella tersebut cantik:
This wife brought two daughters into the house with her. They were beautiful, with fair faces,
but evil and dark hearts. Times soon grew very bad for the poor stepchild. (Brothers
Grimm,1857 – Translated by D.L. Ashliman, ©2001-2006).
Namun sejak pertengahan abad 20 sampai sekarang, berbagai varian Cinderella berlomba
menekankan kecantikan Cinderella serta keburukan ibu dan saudari tirinya.

Cinderella

modern telah berubah menjadi seorang gadis cantik, yang memiliki ibu dan saudari tiri yang
Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
8

buruk rupa. Versi animasi yang dipopulerkan oleh The Walt Disney Company juga semakin
memperjelas kecantikan fisik tokoh-tokoh berbagai cerita rakyat yang pada awalnya tidak
mengedepankan penampilan fisik.
Bagian paling krusial yang pernah direkonstruksi dalam cerita Cinderella adalah
bagian akhir cerita. Pada versi Brothers Grimm (1867) diceritakan bahwa pada akhir cerita,
mata ibu dan saudari tirinya dicocok oleh burung merpati teman Cinderella. Mereka menjadi
buta sampai akhir hayat, sebagai hukuman atas kejahatan mereka terhadap Cinderella. Namun
pada versi Cinderella modern, seperti yang kita kenal, hukuman yang tidak konstruktif
tersebut telah dihilangkan, dan bahkan Cinderella memaafkan ibu dan saudari tirinya serta
hidup bahagia selama-lamanya bersama mereka.
Cerita Malin Kundang juga telah mengalami berbagai perubahan dari masa ke masa.
Citraningtyas (2004) mencatat beberapa perbedaan penting antara satu cerita Malin Kundang
yang satu dengan yang lain. Pada sebuah versi cerita Malin Kundang yang dijual di pantai Air
Manis, Padang (tanpa tahun), diceritakan bahwa istri Malin yang berada di pantai ikut dikutuk
menjadi batu. Pada versi Malin Kundang (2000) yang tercantum dalam kurikulum sekolah
dasar, cerita diberi judul Malin Kundang Anak Durhaka. Penambahan judul dengan ’Anak
Durhaka’ ini semakin menekankan kesalahan dan keberdosaan Malin Kundang. Pada versi
animasi VCD Malin Kundang, malah diceritakan bahwa istri Malin justru menjadi orang yang
tidak mengakui ibu mertuanya.
Semua perubahan yang terjadi pada cerita rakyat di atas membuktikan bahwa cerita
rakyat tidaklah stagnan. Seperti halnya masyarakat yang senantiasa bertumbuh, cerita rakyat
juga senantiasa berubah dan berkembang mengikuti jaman.

Oleh karenanya, rekonstruksi

cerita rakyat adalah hal yang sah dan valid.

Cintarela dan Malin Kundang versi Rekonstruksi
Cerita Cintarela (2012) adalah salah satu cerita yang merekonstruksi Cinderella dalam
banyak hal. Cintarela memiliki banyak persamaan pengalaman hidup dengan Cinderella,
namun Cintarela berbeda dengan Cinderella dalam banyak hal karena Cintarela bukanlah
Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
9

Cinderella.

Cintarela menyuguhkan penggambaran sosok perempuan yang lebih positip

dibandingkan Cinderella agar pembaca tidak melulu mengenal sosok perempuan pasip seperti
yang digambarkan turun temurun melalui Cinderella.
Cerita diakhiri dengan Cintarela yang tetap hidup bahagia bersama keluarga tirinya.
Kemudian masing-masing dari anak perempuan tersebut akhirnya menemukan jodoh yang
tepat bagi mereka, dan hidup berbahagia bersama-sama.

Hal ini mengajarkan bahwa

seseorang tidak harus buru-buru menikah untuk bisa bahagia. Seperti Cintarela dan saudari
tirinya, mereka memilih untuk bersabar dan menunggu waktu yang tepat. Mereka juga tidak
menghancurkan persaudaraan mereka gara-gara memperebutkan seorang laki-laki.
Versi rekonstruksi Malin Kundang (Citraningtyas dkk, 2011) merekonstruksi bagian
paling krusial dalam cerita, yakni bagian akhir cerita yang mengutuk Malin menjadi batu dan
menghukumnya menjadi sebuah barang mati yang tidak bisa produktif kembali. Banyak hal
positif yang akan bisa dicapai dengan membebaskan Malin dan generasi muda Indonesia dari
kutukan. Mereka tidak akan lagi terkukung dalam hukuman yang berlandaskan murka figur
otoritas. Dengan tidak terjebak dalam hukuman ”mati” tersebut, mereka diberi kesempatan
untuk menjadi lebih baik dan produktif kembali.

Selain itu, rekonstruksi cerita yang

membebaskan Malin dari kutukan ini juga lebih sejalan dengan pendekatan pendidikan
dewasa ini yang cenderung memberikan kesempatan kedua bagi anak didik. Aspirasi untuk
membebaskan Malin dari kutukan juga menunjukkan bergesernya pandangan masyarakat
Indonesia akan kuasa yang boleh dimiliki oleh figur otoritas. Berada pada posisi otoritas
dewasa ini tidak lagi dipandang sebagai posisi yang memiliki kuasa untuk menjatuhkan
kutukan.
Berkaitan dengan rekonstruksi cerita Malin Kundang, sebelum buku Malin Kundang
versi rekonstruksi ini dibuat, tim pengarang telah melakukan Focus Group Discussion yang
mengundang pakar sastra anak, pakar psikologi, pakar pendidikan, pakar sosiologi dan pakar
media. Semua pakar tersebut sepakat bahwa versi rekonstruksi seperti ini dibutuhkan bagi
bangsa ini untuk membentuk karakter generasi mudanya. Sesuai dengan aspirasi para pakar
tersebut, maka Malin dan juga anak-anak Indonesia serta generasi muda Indonesia perlu
dibebaskan dari kutukan ini.
Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
10

Ketika cerita Malin Kundang versi rekonstruksi ini dicobakan pada 141 pembaca anak,
maka hasilnya cukup menggembirakan.

Mereka dibagi menjadi dua kelompok, yakni

kelompok kontrol dan kelompok eksperimental untuk diukur kesiapan mereka memaafkan
dalam berbagai situasi. Kemudian masing-masing kelompok diberi pretes, perlakuan, dan
postes. Saat sesi perlakuan, kelompok eksperimental dibacakan cerita Malin Kundang versi
rekonstruksi, sedangkan kelompok kontrol membaca Malin Kundang versi tradisional.

70
60
50
40
30
20
10
0

Control
Experimental

Tabel 1: Hasil Postes, prosentase responden yang siap memaafkan
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa kelompok eksperimental lebih siap memaafkan
dibandingkan kelompok kontrol. Hasil ini membuktikan bahwa versi rekonstruksi Malin
Kundang telah mentransformasikan responden menjadi lebih lebih siap untuk memaafkan,
sebuah contoh karakter luhur yang patut dimiliki.
Kesimpulan
Pembangunan manusia Indonesia yang lebih berkualitas, produktif dan lebih
berkarakter luhur adalah sebuah agenda yang sangat penting dan tidak bisa disepelekan.
Penelitian menunjukkan bahwa human capital adalah

aspek pembangunan yang sangat

penting. Cerita rakyat rekonstruksi Cintarela dan Malin Kundang akan bermanfaat untuk
membangun generasi muda Indonesia menjadi insan yang lebih berkualitas dan lebih
berkarakter luhur.

Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
11

Pustaka Acuan
Bradkūnas, Elena. (1975) ‘If You Kill a Snake – The Sun Will Cry.’ Folktale Type 425–M A
Study in Oicotype and Folk Belief. Lituanus: Lithuanian Quarterly Journal of Arts and
Sciences Vol. 21. No. 1. Tersedia di http://www.lituanus.org/1975/75_1_01.htm, Diakses
pada September 2012.
Citraningtyas, Clara Evi. (2004). Breaking a Curse Silence: Malin Kundang andTransactional
Approaches to Reading in Indonesian Classrooms – an empirical study. Ph.D. thesis. Macquarie
University.
Citraningtyas, Clara Evi. (2010). “Sastra Anak dan Restu Negara : Menegosiasikan Identitas Nasional
Indonesia”. Polyglot, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pelita Harapan, Juli 2010
Citraningtyas, Clara Evi. (2011). “Sastra Anak: Edutainment dengan Catatan”. Makalah disajikan
dalam Seminar Nasional Sastra Anak di Universitas Negeri Yogyakarta, dalam rangka Hari
Anak Nasional, Juli 2011.
Citraningtyas, Clara Evi. (2012). ”Cintarela, Merekonstruksi Cinderella”. Makalah disajikan
dalam Persidangan Kebangsaan Libatsama Universiti dan Komuniti: Hala Tuju Baharu
Dalam Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia, Pulau Pinang. November 2012.
Citraningtyas, Clara Evi., Pramono, Rudy & Tangkilisan, Helena. (2013) Pedagogical
Implications of Folktales: Urgency for a Reconstructed Tale. Proceeding of World
Conference on Integration of Knowledge, Langkawi Malaysia 25 – 26 November 2013.
Curtis, W., & Moir, H. (1982). Understanding the Storyteller’s Art. Makalah disajikan pada
9th Annual Meeting of the World Congress on Reading, Dublin, Ireland. (ERIC Document
Reproduction Service No. ED 222 923).
Grimm, Jacob and Wilhelm Grimm (1812). Kinder-und Hausmarchen. 1st ed. (Berlin:
Realschulbuchhandlung. 1 (21). Diterjemahkan oleh D.L. Ashliman (1998).
Johnston, Ingrid (2000) “Literature and Social Studies: Exploring the Hyphenated Spaces of
Canadian Identity.” Canadian Social Studies. Vol. 35, No. 1, Fall, 2000.
Zipes, Jack. (2002). Breaking the Magic Spell: Radical Theories of Folk & Fairy Tales.
Lexington: University Press of Kentucky.
Rusciano, Frank Louis. (2003). “The Construction of National Identity: A 23-Nation Study”.
Political Research Quarterly, Vol. 56, No. 3 (Sep., 2003), pp. 361-366. Dipublikasikan oleh:
Sage Publications, Inc. untuk University of Utah. URL: http://www.jstor.org/stable/3219795.
Diakses tanggal: 14/10/2012.
Stephens, J. and R. McCallum. (1998). Retelling Stories, Framing Culture: Traditional Story
and Metanarratives in Children’s Literature. New York: Garland Pub., 1998.

Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
12

Biodata Penulis
Clara Evi Citraningtyas menyelesaikan pendidikan S1 dari Jurusan Sastra Inggris Universitas
Diponegoro Semarang; S2 dan S3 (di bidang Sastra Anak) diraihnya dari Macquarie
University Australia. Riset dan publikasinya berkisar tentang sastra anak, sastra dunia, sastra
asia, dan pendidikan Bahasa Inggris secara umum. Clara Evi Citraningtyas adalah dosen tetap
Universitas Pelita Harapan sejak 2005.

Makalah Clara Evi Citraningtyas dalam Seminar Nasional “Membangun Karakter Bangsa Melalui Sastra Anak”,
18 Desember 2013 – Universitas Muhammadiyah Purwokerto
13