Permasalahan Pelaksanan Sistem Bagi Hasi
HASIL PADA PERBANKAN SYARIAH (STUDI KASUS BANK BNI SYARIAH KCP SERANG)
Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam Dosen : Bapak Mazumi, S.Ag, M.Ag Tahun Akademik 2012 – 2013
Disusun oleh: EDWIN RONALDO ( NIM. 5553121723 ) MUHAMMAD IRHAM FADEL ( NIM. 5553121884 ) ENO PUTRI DAMAYANTI ( NIM. 5553122111 ) SYINTIA DWI ANGGRAENI ( NIM. 5553121735 ) KELAS 2F FAKULTAS EKONOMI JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA Jalan Raya Jakarta Km 4, Serang Banten
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena, atas berkat dan kehendak-Nyalah laporan hasil survei ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Dalam penulisan laporan survei ini penulis menemukan banyak kesulitan, terutama keterbatasan mengenai penguasaan Ilmu Pendidikan Agama Islam. Tetapi berkat bimbingan yang diberikan oleh berbagai pihak akhirnya penulis pun dapat menyelesaikan laporan penelitian sosial ini. Karena itu penulis turut mengucapkan terima kasih kepada :
Dosen Pendidikan Agama Islam, Bapak Mazumi, S.Ag. M.Ag., yang telah memberika izin untuk melakukan action research.
Ibu Rina Dewi Chrisanti selaku Pemimpin Cabang Pembatu Serang PT. Bank BNI Syariah.
Ayah dan Ibu penulis tersayang yang telah memberikan dukungan atau motivasi secara moral, spiritual, dan materil.
Penulis menyadarai bahwa laporan penelitian ini masih ditemukan banyak kekurangan. Maka, kritik dan saran dirasakan sangat dibutuhkan untuk kemajuan penulis di masa yang akan datang.
Penulis berharap, agar dengan adanya laporan penelitian, dapat berguna bagi semua Mahasiswa yang mengikut Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 15 Oktober 2013
PENULIS
BAB 1 PENDAHULUAN
Segala puji hanya milik Allah SWT, yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada kita. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amin.
Syariat Islam –segala puji hanya milik Allah- bersifat universal, mencakup segala urusan, baik yang berkaitan dengan masalah ibadah maupun muamalah, sehingga syariat Islam benar-benar seperti difirmankan Allah SWT :
“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Ak u ridha Islam menjadi agamamu”. [ QS. Al- Ma’idah : 3]
Al-hamdulillah, fakta ilahi ini mulai disadari kembali oleh umat Islam, sehingga kini, kita mulai mendengar berbagai seruan untuk menerapkan syariat ilahi ini dalam segala aspek kehidupan. Termasuk wujud dari kesadaran ini, yakni berdirinya berbagai perbankan yang mengklaim dirinya berazaskan syariah.
Fenomena ini patut mendapatkan perhatian, partisipasi dan dukungan dari kita, agar laju perkembangan dan langkahnya tetap lurus sebagaimana yang digariskan syariat Islam. Dan pada kesempatan ini, kami ingin sedikit berpartisipasi, yaitu dengan menyebutkan beberapa hal, yang menurut pemikiran kami perlu dikritisi.
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak terjadinya krisis moneter yang melanda kawasan asia pada awal tahun 1997 telah mengakibatkan banyaknya perusahaan mengurangi produksi bahkan menutup usahanya karena jatuh pailit (bangkrut) . Demikian juga yang terjadi pada sektor perbankan Indonesia dengan banyaknya bank yang dilikuidasi akibat melanggar Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK). Hal tersebut dikarenakan kesalahan kepengurusan para bankir yang lebih banyak mengucurkan dananya kepada perusahaan yang satu grup dengan bank tadi, disamping itu juga sistem manajemen perbankan yang tidak profesional.
Kondisi Perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas mendorong dunia perbankan menaikkan suku bunga yang tinggi guna menarik dana dari masyarakat. Bahkan perbankan menawarkan kepada peminjam kredit dengan suku bunga mencapai lebih dari 60%. Hal ini mengakibatkan bagi pelaku usaha yang ingin meminjam dana sehingga banyak bank yang mudah diguncang isu yang menyebabkan terburu buru dan berkurangnya kepercayaan rakyat terhadap bank. Guna menjamin dan memulihkan kepercayaan tersebut banyak bank yang ditutup atau diambil alih oleh pemerintah. Karenanya dibutuhkan biaya yang besar melalui program restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan.
Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga keuangan semakin menyatu dengan ekonomi regional, nasional dan ekonomi internasional yang perkembangannya bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Perbankan melaksanakan tiga fungsi Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga keuangan semakin menyatu dengan ekonomi regional, nasional dan ekonomi internasional yang perkembangannya bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Perbankan melaksanakan tiga fungsi
Dalam menjalankan fungsi bank tersebut, sebagian kalangan masyarakat memandang bahwa dengan sistem konvensional ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keyakinan masyaraskat Indonesia yang mayoritas beragama Islam khususnya yang menolak adanya penetapan imbalan dan penetapan beban yang dikenal dengan "bunga". Praktek bunga yang diterapkan pada bank konvensional ternyata bisa merugikan, baik bagi pihak bank sendiri maupun pihak nasabah. Sejak itulah sistem perbankan syariah mulai banyak dibicarakan karena dianggap lebih tahan menghadapi krisis.
Akhir-akhir ini umat Islam di Indonesia mulai sadar terhadap ajaran ekonomi yang berdasarkan syari'at Islam, sehingga mulai tumbuh dan berkembang. Ajaran sayri'at Islam bidang Perbankan atau bidang hukum ekonomi yang biasanya disebut dengan Fiqih muamalah hanya dikenal dan diajarkan pada sekolah/ madrasah/ perguruan tinggi pada fakultas tertentu. Aplikasinya pun masih terbatas pada kegiatan ekonomi sederhana yang dilakukan pada masyarakat bawah. Begitu pula para ahli atau para ekonomi yang dapat dijadikan acuan bagi para bankir dan ahli praktisi lembaga keuangan.
Pada akhir abad 20 telah bangkit kembali ekonomi Islam yang ditandai dengan berdirinya perbankan syari'ah di hampir semua negara berpenduduk Muslim. Indonesia sebagai Negara dengan penduduk Muslim terbesar di seluruh dunia, dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah pula menjalankan ekonomi Islam/ ekonomi syari'ah yang ditandai dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992 dan Persyarikatan Takaful Indonesia pada tahun 1994. Sejak saat itulah perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menjadi Pada akhir abad 20 telah bangkit kembali ekonomi Islam yang ditandai dengan berdirinya perbankan syari'ah di hampir semua negara berpenduduk Muslim. Indonesia sebagai Negara dengan penduduk Muslim terbesar di seluruh dunia, dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah pula menjalankan ekonomi Islam/ ekonomi syari'ah yang ditandai dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992 dan Persyarikatan Takaful Indonesia pada tahun 1994. Sejak saat itulah perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menjadi
Sistem perbankan konvensional ternyata tidak dapat memenuhi harapan, kesadaran umat Islam untuk bersyari'at secara kaffah dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk dapat meningkatkan kesadaran harapan umat Islam Indonesia yang begitu besar maka pada tahun 1999 telah dibentuk Dewan Syariah Nasional (DNS). Wadah ini terdiri dari para ahli Hukum Islam, para praktisi ekonomi/ keuangan baik usaha dalam bidang perbankan maupun non perbankan yang bertugas untuk mendorong dan memajukan ekonomi umat.
Disamping itu, Dewan Syariah Nasional (DSN) bertugas mengganti, mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syariah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi keuangan syariah serta mengawasi pelaksanaan dan implementasinya.
Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan fenomena yang cukup menarik di tengah-tengah upaya bangsa kita keluar dari krisis ekonomi. Industri keuangan syariah tumbuh dengan berbagai produknya di tengah-tengah masyarakat untuk berinvestasi di Lembaga Keuangan Syariah (L KS) dan menerapkan sistem ekonomi syari’ah dalam aktivitas ekonominya.
Keberadaan sistem ekonomi syariah ini sejalan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menentukan kegiatan usaha bank harus disempurnakan dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Landasan operasional sistem perbankan syariah semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 yang telah diganti dengan Peraturan
Pemerintah No. 30 tahun 1999 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Sejak saat itulah diberi kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk memberi kesempatan kepada Bank Umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Kemudian dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, berlakulah dua sistim dalam perbankan yang dilakukan secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah (dual banking system) dan khusus bagi bank syariah hanya menggunakan prinsip syariah.
Dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut di atas, Lembaga Keuangan Syariah dapat menampung aspirasi dari masyarakat, baik dalam ekonomi regional, nasional maupun internasional untuk melakukan kegiatan usahanya dengan nilai Ilahiyah dengan acuan utama al-Qur'an dan Sunnah yang berdimensi keberhasilan untuk dunia dan akhirat (Long term oriented) Kehadiran sistem ekonomi Islam / Syari'ah di Indonesia pada gilirannya menuntut adanya perubahan di berbagai bidang, terutama berkenaan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur ihwal ekonomi dan keuangan.
Adanya tuntutan perkembangan maka UU Perbankan No. 7 tahun 1992 direvisi menjadi Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, yang merupakan aturan secara leluasa menggunakan istilah syari'ah, prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karekteristik umum dan landasan bagi operasional bank Islam secara keseluruhan.
Secara syari'ah, prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah, yang berdasarkan prinsip ini, bank syari'ah akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung, dengan pengusaha yang meminjam dana. Dengan penabung, bank akan bertindak sebagai mudharib (pengelola), sedangkan Secara syari'ah, prinsipnya berdasarkan kaidah al-mudharabah, yang berdasarkan prinsip ini, bank syari'ah akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung, dengan pengusaha yang meminjam dana. Dengan penabung, bank akan bertindak sebagai mudharib (pengelola), sedangkan
Sistem bagi hasil yang diterapkan oleh bank sudah berjalan cukup lama seiring dengan berdirinya bank tersebut. Salah satu ukuran keberhasilan penerapan sistem bagi hasil adalah apabila masyarakat sudah sepenuhnya menerima sistem tersebut dengan senang hati, tidak merasa dirugikan, adil dalam pembagian bagi hasil dan tentunya tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan al-Hadits. Bank syari'ah berdasarkan pada prinsip profit and loss sharing (bagi untung dan bagi rugi). Bank syari'ah tidak membebankan bunga, melainkan mengajak partisipasi dalam bidang usaha yang didanai. Para deposan juga sama-sama mendapat bagian dari keuntungan bank sesuai dengan rasio yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian ada kemitraan antara bank syari'ah dengan para deposan di satu pihak dan antara bank dengan para nasabah investasi sebagai pengelola sumber dana para deposan dalam berbagai usaha produktif di pihak lain.
Sistem ini berbeda dengan bank konvensional yang pada intinya meminjam dana dengan membayar bunga pada satu sisi neraca dan memberikan pinjaman dana dengan menarik bunga pada sisi lainnya. Kompleksitas perbankan Islam tampak dari keragaman dan penamaan instrumen-instrumen yang digunakan serta pemahaman alas dalil-dalil hukum Islamnya.
Perbankan Syari'ah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya, pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam melarang kaum muslimin menarik atau membayar bunga (riba). Pelarangan inilah yang membedakan sistem Perbankan Islam dengan sistem Perbankan Konvensional. Dalam tatanan konsep dan semangat, mereka menerima dengan antusiasme, tetapi pada tataran praktis mereka bersifat sebaliknya. Memang merasa sangat aneh manakala seseorang yang selalu berfikir komparatif atas dasar rasional semata, dalam memenuhi ajakan untuk bertransaksi secara syari'ah. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan baru dan juga langkah-langkah terobosan untuk mengembangkan pasar syari'ah di Indonesia.
Persepsi yang selama ini ada dalam pemikiran masyarakat pasar non-syari'ah atau pasar konvensional selalu lebih menguntungkan secara financial dibandingkan pasar syari'ah karena sistem bunganya. Padahal sistem bagi hasil yang merupakan salah satu elemen penting dari dasar syari'ah sudah sejak lama diterapkan di negara-negara Eropa, terutama Inggris.
Tidak menutup kemungkinan bahwa akan terjadi perubahan persepsi di mana sangat diharapkan masyarakat luas sudah mengerti sistem bagi hasil sebagai prinsip bagi lembaga keuangan Islam dan yang membedakan dengan lembaga keuangan konvensional. Makin pesatnya pertumbuhan perbankan syariah di tanah air memasuki babak baru dalam industri perbankan Indonesia dengan disahkannya secara resmi Undang- Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada tanggal 17 Juni 2008 oleh DPR RI. hal-hal tersebut diatas, maka penulis membahas tentang “PERMASALAHAN PELAKSANAN SISTEM BAGI HASIL
PADA PERBANKAN SYARIAH (STUDI KASUS BANK BNI SYARIAH KCP SERANG) ”.
1.2 DENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan sistem bagi hasil didalam perbankan syariah.
1.3 BATASAN MASALAH
Meskipun banyak permasalahan yang berkaitan dengan sistem bagi hasil pada perbankan syariah di Indonesia, namun dalam penelitian ini hanya membatasi pada masalah yang terjadi di PT. BANK BNI SYARIAH KCP SERANG yang berlokasi di Jl. Ahmad Yani No.34, Kelurahan Cipare, Kecamatan Serang, Kota Serang. Nomor telepon : (0254) 222808.
1.4 PERUMUSAN MASALAH
Untuk memperjelas permasalahan yang akan diteliti, maka masalah tersebut dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan tentang sistem bagi hasil pada Bank Syariah ?
2. Bagaimana pelaksanaan sistem bagi hasil pada Bank Syariah ?
3. Apa saja hambatan dalam pelaksanaan sistem bagi hasil pada Bank Syariah di Indonesia?
1.5 MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
Bagi umat islam, agar mengetahui pelaksanaan sistem bagi hasil pada Bank Syariah, agar dapat memahami ketentuan tentang Sistem bagi hasil pada Bank Syariah, dan agar memahami hambatan dalam pelaksanaan sistem bagi hasil pada Bank Syariah di Indonesia.
Bagi peneliti, untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Selain itu untuk mendapatkan pengalaman, dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, Bagi peneliti, untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Selain itu untuk mendapatkan pengalaman, dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,
Guna khususnya untuk Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
1.6 DEFINISI OPERASIONAL
Permasalahan adalah ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan, ada yang melihat sebagai tidak terpenuhinya kebutuhan seseorang, dan adapula yang mengartikannya sebagai suatu hal yang tidak mengenakan
Pelaksanaan adalah suatu proses, cara, perbuatan untuk melaksanakan suatu kegiatan yang dievaluasi
Sistem Bagi Hasil adalah sistem di mana dilakukan suatu perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan melalui akad untuk melakukan suatu usaha dan diberlakukan sistem pembagian keuntungan dan kerugian sama rata.
Bank Syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 KERANGKA TEORITIS
2.1.1 PERKEMBANGAN ISLAM DAN KEUANGAN ISLAM
Perkembangan Islam di belahan dunia ini terutama di negara barat menunjukkan perkembangan yang cukup pesat, hal ini dapat kita lihat dari perkembangan sistem ekonomi dan keuangan Islam khususnya perbankan Syari’ah yang sudah mulai dikembangkan diberbagai negara seperti di Amerika dan Eropa. Di Indonesia perkembangan bank Syari’ah dalam kancah perekonomian nasional sedikit banyak telah mengobati kerinduan ummat Islam yang sudah lama menantikan kehadiran bank yang beroperasi sesuai dengan Syari’at Islam yang bebas dari riba yang wajib dilaksanakan oleh seluruh ummat Islam.
Etika Islam mengajarkan bahwa setiap masyarakat muslim itu hendaklah
membantu sesamanya, Rasulullah bersabda yang artinya ‘”Allah akan selalu membantu hambanya, selama hamba tersebut membantu saudaranya”. Apabila seseorang memerlukan orang lain untuk menjamin dirinya agar dapat dipercayai dalam memegang suatu amanah atau urusan, maka ia memerlukan orang lain yang menjamin dirinya agar dapat dipercaya dalam memegang suatu amanah atau urusan, maka ia memerlukan penjamin.
Kemunculan Bank Syari’ah selalu dinantikan sebagai alternatif lain, diantara sebagian banyak lembaga keuangan dan perbankan konvensional yang sudah beratus-ratus tahun beroperasi di wilayah nusantara sebagai sebuah sistem yang tunggal. Robert William Hefner menyatakan bahwa “Kehadirannya sebagai suatu lembaga yang muncul dari ruang yang terisolasi, sehingga tidaklah mengherankan bila Kemunculan Bank Syari’ah selalu dinantikan sebagai alternatif lain, diantara sebagian banyak lembaga keuangan dan perbankan konvensional yang sudah beratus-ratus tahun beroperasi di wilayah nusantara sebagai sebuah sistem yang tunggal. Robert William Hefner menyatakan bahwa “Kehadirannya sebagai suatu lembaga yang muncul dari ruang yang terisolasi, sehingga tidaklah mengherankan bila
2.1.2 NILAI-NILAI SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM
Menurut M Syafi’i Antonio dalam bukunya “ Bank Syariah : Wacana Ulama & Cendekiawan ”, nilai-nilai sistem perekonomian Islam, terdiri atas:
a. Perekonomian masyarakat luas
Bukan hanya masyarakat muslim saja yang akan menjadi baik bila menggunakan kerangka kerja atau acuan norma-norma Islami.
b. Keadilan dan Persaudaraan Menyeluruh.
Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tak diikat batas-batas geografis.
Keadilan dalam Islam memiliki implikasi sebagai berikut :
1) Keadilan Sosial
Islam menganggap ummat manusia sebagai suatu keluarga. Maka, semua anggota keluarga ini mempunyai derajat yang sama di hadapan Allah. Hukum Allah tidak membedakan yang kaya dan yang miskin, demikian juga tidak membedakan yang hitam dan yang putih. Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketaqwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya kepada kemanusiaan.
2) Keadilan Ekonomi
Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama bagi setiap individu dalam masyarakat dan di hadapan hukum harus diimbangi dengan keadilan ekonomi. Tanpa pengimbangan tersebut, keadilan sosial kehilangan makna. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi masing-masing kepada masyarakat. Setiap individu pun harus dibebaskan dari eksploitasi individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang muslim merugikan orang lain.
c. Keadilan Distribusi Pendapatan
Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang dalam masyarakat berlawanan dengan semangat serta komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan social dan ekonomi. Kesenjangan harus diatasi dengan cara yang ditekankan Islam. Diantaranya dengan :
Pertama :
1) Menghapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah untuk bidang-bidang tertentu.
2) Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, sirkulasi maupun konsumsi.
3) Menjamin basics needs fulfillment (pemenuhan kebutuhan dasar hidup) setiap anggota masyarakat.
4) Melaksanakan “at taklaaful al ijtimai” atau social security insurance artinya yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu.
Kedua :
Islam membenarkan seseorang memiliki kekayaan lebih dari yang lain sepanjang kekayaan tersebut diperoleh secara benar dan yang bersangkutan telah menunaikan kewajibannya bagi kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk zakat maupun amal kebajikan lain seperti infaq dan shadaqah. Meskipun demikian, Islam sangat menganjurkan golongan yang kaya untuk tetap tawadhu dan tidak pamer.Dalam salah satu hadits Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang bertaqwa, kaya, lagi menyembunyikan (simbol- simbol kekayaannya).”
d. Kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial.
Islam mengakui pandangan universal bahwa kebebasan individu bersinggungan atau bahkan dibatasi oleh kebebasan individu orang lain. Menyangkut masalah hak individu dalam kaitannya dengan masyarakat, para sarjana muslim sepakat pada prinsip-prinsip sebagai berikut :
1) Kepentingan masyarakat lebih luas harus didahulukan dari kepentingan individu.
2) Melepas kesulitan harus diprioritaskan dibanding memberi manfaat, meskipun keduanya sama-sama merupakan tujuan syariah.
3) Kerugian yang lebih besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan yang lebih kecil. Manfaat yang lebih besar tidak dapat dikorbankan untuk manfaat yang lebih kecil. Sebaliknya bahaya yang lebih kecil harus dapat diterima untuk menghindarkan bahaya yang lebih besar. Sedangkan manfaat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar.
2.2 KERANGKA TEORI
Dalam penulisan laporan penelitian ini kami menggunakan Buku Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, karangan Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, M. Ec, cetakan PT. Gema Insani Jakarta Tahun 2001. Berikut kajian teori yang kami pergunakan, antara lain :
2.2.1 AL-MUSYARAKAH
PROJECT FINANCING PARTICIPATION)
(PATNERSHIP,
1. Pendahuluan
Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al- mudharabah, al- muzara’ah, dan al-musaqah.
Sungguh demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al- musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al- muzara’ah, dan al- musaqa dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank islam.
2. Pengertian Al-Musyarakah
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
3. Landasan Syariah
a. Al-qur’an
“....maka mereka berserikat pada sepertiga....” (an-Nisaa’:12)
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang orang yang berserikatitu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” (Shaad: 24)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenan dan pengakuan Allah SWT akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surah an- Nisa’:12 perkongsian terjadi secara otomatis (jabr) karena waris, sedangkan dalam surah Shaad: 24 terjadi atas dasar akad (ikhtiyari).
b. Al-Hadits
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ’Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya.’ “(HR.
Abu Dawud no. 2936, dalam kitab al-Buyu, dan Hakim)
c. Ijma
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, 78 telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walau pun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.”
4. Jenis- Jenis al-Musyarakah
Al-Musyarakah ada dua jenis; musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena waisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam Musyarakah ini, kepemilikkan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuat aset nyata dana berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
Musyarakah akad terbagi menjadi : al- ‘inan, al-mufawadhah, al- a’maal, al-wujuh, dan al-mudharabah. Para ulama berbeda pendapatan tentang al-mudharabah, apakah ia termasuk jenis al-musyarakah atau bukan. Beberapa ulama menganggap al-mudharabah termasuk kategori al-musyarakah karena memenuhi rukun dan syarat sebuah akad (kontrak) musyarakah. Adapun ulama lain menganggap al-mudharabah tidak termasuk al-musyarakah.
a. Syirkah al-‘inan
Syirkah al- ‘inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati diantara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.
b. Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memeberikan satu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang piutang dibagi oleh masing-masing pihak.
c. Syirkah A’maal
Al-musyarakah ini adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Al-musyarakah ini kadang-kadang disebut musyarakah abdan atau sama’i.
d. Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis al-musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang
e. Syirkah al-Mudharabah
Penjelasan tentang syirkah al-mudharabah dapat dilihat pada bagian berikut.
5. Aplikasi dalam Perbankan
a. Pembiayaan Proyek
Al-musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
b. Modal Venture
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam
kepemilikan perusahaan, al-musyarakah diterapkan dalam skema modal venture. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
6. Manfaat al-Musyarakah
Terdapat banyak manfaat dari pembiayaan secara musyarakah ini, diantaranya sebagai berikut.
a. Manfaat al-Musyarakah
1) Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu
pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow / arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5) Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/ musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berada pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisi ekonomi.
b. Risiko
Risiko yang terdapat dalam mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi, yaitu sebagai berikut.
1) Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
2) Lalai dan kesalahan yang disengaja.
3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
4) Secara umum, aplikasi perbankan dari al-musyarakah dapat digambarkan dalam skema berikut ini.
Nasabah Bank Syariah Parsial:
Parsial Asset Value
Pembiayaan
PROYEK USAHA KEUNTUNGAN
Bagi hasil keuntungan sesuai Porsi kontribusi modal (nisbah)
Gambar 2.1 Skema Al-Musyarakah
2.2.2 AL-MUDHARABAH (TRUST FINANCING, TRUST INVESTMENT)
1. Pengertian al-Mudharabah
Mudharabah berasal dair kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih teaptnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyedikana seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyedikana seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya
2. Landasan Syariah
Secara umum landasan dasar syariah al-mudharabah lebih mencerminkan anjuran melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits berikut ini.
a. Al-Qur’an
“... dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT....” (al-Muzzammil: 20) Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surah al- Muzammil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebarlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT....” (al-Jumu’ah: 10)
“Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu....” (al-Baqarah: 198) Surah al- Jumu’ah: 10 dan al-Baqarah: 198 sama-sama mendorong kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha.
b. Al-Hadits
”Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengurangi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.
Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun membolehkannya.” (HR Thabrani)
Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.”(HR Ibnu Majah
no.2280, kitab at-Tijarah)
c. Ijma
Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah . Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits yang dikutip Abu Ubaid.
3. Jenis-Jenis al-Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis: mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
a. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthalaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannnya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/ specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthalaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/ specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthalaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha,
4. Aplikasi dalam Perbankan
Al-mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al- mudharabah diterapkan pada :
a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan
khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya;
b. Deposito spesial (special investment), di mana ada dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
c. Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk:
a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
b. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, di mana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat- syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
5. Manfaat al-Mudharabah
a. Manfaat al-Mudharabah
1) Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/ hasil usaha bank sehingga tidak akan pernah mengalami negative spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow / arus kas nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5) Prinsip bagi hasil dalam al-mudharabah/ al-musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa punkeuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
b. Risiko al-Mudharabah
Risiko yang terdapat dalam al-mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi. Diantaranya:
1) Side streaming, nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak;
2) Lalai dan kesalahan yang disengaja;
3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Secara umum, aplikasi perbankan al-mudharabah dapat digambarkan dalam skema berikut:
PERJANJIAN BAGI HASIL
Nasabah KEAHLIAN/
(shahibul maal)
PROYEK/USAHA PEMBAGIAN KEUNTUNGAN
Pengambilan Modal
Pokok
Gambar 2.2 Skema Al-Mudharabah
2.2.3 AL- MUZARA’AH (HARVEST-YIELD PROFIT SHARING)
1. Pengertian al- Muzara’ah
Al- Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
Al- Muzara’ah seringkali diidentikkan dengan mukhabarah diantara keduanya terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut.
Muzara’ah
: benih dari pemilik lahan.
Mukhabarah
: benih dari penggarap.
2. Landasan Syariah
a. Al-Hadits
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada peduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir yang mengatakan bahwa bangsa Arab senantiasa mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/3 : 2/3, 1/4 : 3/4, 1/2 : 1/2, maka Rasulullah
“Hendaklah menanami atau menyerahkannya untuk digarap. Barangsiapa tidak melakukan salah satu dari keduanya, tahanlah tanahnya.”
pun
bersabda,
b. Ijma
Bukhari mengatakan bahwa telah berkata Abu Jafar, “Tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan 1/4. Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Azis Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, dan
Keluarga Ali.”
c. Penjelasan
Dalam konteks ini, lembaga keuangan Islam dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen.
Secara umum, aplikasiperbankan al-muza ra’ah dapat digambarkan dalam skema berikut ini :
PERJANJIAN BAGI HASIL PEMILIK PENGGARA LAHAN
LAHAN KEAHLIAN BENIH
TENAGA PUPUK
LAHAN
WAKTU dsb.
PERTANIAN
HASIL PANEN
Gambar 3.3 Skema Al-Muzara ’ah
2.2.4 AL-MUSAQAH (PLANTATION MANAGEMENT FEE BASED ON CERTAIN PORTION OF YIELD )
1. Pengertian al-Musaqah
Al- musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
2. Landasan Syariah
a. Al-Hadits
Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar kepada yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan mempergunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.
b. Ijma
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib r.a. bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atas dasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali, serta keluarga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4. Semua telah dilakukan oleh Khulafa ar-Rasyidin pada zaman pemerintahnya dan semua pihak telah mengetahuinya, tetapi tak ada seorang pun yang menyanggahnya. Berarti, ini adalah suatu ijma sukuti (konsensus) dari umat.”
BAB III DATA
3.1 Metode Perhitungan Bunga Tabungan (Bank Syariah) dan Sistem Bagi Hasil PT. Bank BNI Syariah.
Pada perhitungan bunga tabungan pada bank syariah tidak dikenal istilah bunga, melainkan nisbah. Nisbah adalah persentase pembagian keuntungan antara bank denga nasabah (contoh nisbah 50:50, bank dan nasabah masing-masing memperoleh 50 % dari keuntungan).
Rp. 2.000.000,- 06.03.2013
Setoran Tunai
Pemindahan Kredit
Rp. 500.000,-
Rp. 1.000.000,- 23.03.2013
Setoran Kliring
Penarikan Tunai
Rp. 1.000.000,-
Total dana tabungan yang berhasil di kumpulkan bank syariah Rp.100.000.000,-. Keuntungan yang diperoleh dari dana tabungan (profit distibution) sebesar 3.000.000,-
Jawaban :
Tanggal
Σ hari mengendap 05.03.2013
11 ( 30 – 20 + 1) Saldo Rata-rata SR
Rp. 2.500.000,-
= {(2jt x 1) + (2,5jt x 1) + (3,5jt x 16) + (2,5jt x 11)} / 30 = 2.933.333,333
Bagi Hasil = (2.933.333,333 / 100.000.000) x 3.000.000 x 50 % = 43.999,995
3.2 PERHITUNGAN BAGI HASIL METODE PERBANKAN SYARIAT JUMLAH BAGI HASIL MODAL INVESTASI (MODAL x1,610%x50%)
3.3 PERHITUNGAN BAGI HASIL METODE MUDHAROBAH MODAL ( TOTAL UANG YANG
JUMLAH BAGI HASIL DIKELOLA BANK)
(MODAL x1%x50%)
Rp. 500.000.000 Rp. 2.500.000 Rp. 1.000.000.000
Rp. 5.000.000 Rp. 1.500.000.000
Rp. 7.500.000 Rp. 2.000.000.000
Rp. 10.000.000 Rp. 2.500.000.000
Rp. 12.500.000
BAB IV HASIL ANALISA
4.1 PERANAN GANDA PERBANKAN SYARIAT
Perbankan syariat yang ada telah mengklaim bahwa mudharabah merupakan asas bagi berbagai transaksi yang dijalankannya, baik transaksi antara nasabah pemilik modal dengan perbankan, maupun transaksi antara pihak perbankan dengan nasabah pelaku usaha. Akan tetapi, pada penerapannya, saya mendapatkan suatu kejanggalan, yaitu peran status ganda perbankan yang saling bertentangan.
Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, yaitu bank berperan sebagai pemodal ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.
Status ganda yang diperankan perbankan ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang, dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu, karena, bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan yang dimaksud dengan amanah dari pemodal, ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil (keuntungan), sehingga bank, tidak semestinya menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha Status ganda yang diperankan perbankan ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang, dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu, karena, bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan yang dimaksud dengan amanah dari pemodal, ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil (keuntungan), sehingga bank, tidak semestinya menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha
Imam an- Nawawi rahimahullah berkata, “Hukum kedua: tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil”.
Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al- Hambali ra himahullah, ia berkata, “Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. . . . Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy- Syafi’i dan aku tidak me ngetahui ada ulama’ lain yang menyelisihinya”.
Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda semacam ini, atas seizin pemodal sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara (makelar ). Para ulama’ menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah: karena hasil/ keuntungan dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil.
4.2 BANK TIDAK MEMILIKI USAHA RIIL Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan
syariah seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Ta’ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syariah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak berisiko.
Oleh karena itu, perbankan syariah yang ada biasanya tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah.
Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah. Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini mereka lakukan, karena takut dari berbagai resiko usaha, dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila demikian ini keadaannya, maka keuntungan yang diperoleh atau dipersyaratkan oleh perbankan kepada nasabah pelaksana usaha adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di antaranya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawi di atas.
4.3 BANK TIDAK SIAP MENANGGGUNG KERUGIAN.
Andai kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku Andai kita menutup mata dari kedua hal di atas, maka masih ada masalah besar yang menghadang langkah perbankan syariah di negeri kita. Hal tersebut ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku
Para ulama’ dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syari’ah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil . Dan dalam ilmu fiqih, bila pada suatu akad terdapat persyaratan yang batil, maka solusinya ada adalah satu dari dua hal berikut:
1. Akad beserta persyaratan tersebut tidak sah, sehingga masing- masing pihak terkait harus mengembalikan seluruh hak-hak lawan akadnya.
2. Akad dapat diteruskan, akan tetapi dengan meninggalkan persyaratan tersebut.
Sebagai contoh misalnya Bank BNI Syariah mengucurkan modal kepada Pak Fadel misalnya sebesar Rp. 150.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, Pak Fadel mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang serupa, sehingga modal yang ia terima dari bank hanya tersisa Rp. 50.000.000,-. Dalam keadaan semacam ini, Bank BNI Syariah akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya utuh, yaitu Rp. 150.000.000,-.
Mungkin operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan demikian perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka kita katakan: Alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha: dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali, yaitu: Pertama, ia telah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak mendapatkan hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus menutup kekurangan yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari bank.