Hubungan Internasional (3) hubungan internasional (1) hubungan internasional (1)

Hubungan Internasional

Hubungan internasional adalah hubungan antarnegara atau antarindividu dari
negara yang berbeda dalam bidang tertentu untuk kepentingan kedua belah pihak.
Setiap negara tentunya tidak dapat terlepas dari hubungan internasional. Hal ini
karena setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga
hubungan internasional melengkapi itu.
Hubungan internasional tidak hanya terjadi karena ingin bekerjasama.
Persahabatan, persengketaan, permusuhan, ataupun peperangan juga termasuk
hubungan internasional. Hubungan internasional bisa antar individu, antar
kelompok, maupun antar negara di negara yang berbeda. Menurut Sam Suhaedi,
hubungan antar internasional juga terdapat hukum internasional yang mengatur
pergaulan hidup dalam masyarakat internasional.
1. Pengertian Hubungan Internasional Secara Umum
Arti hubungan internasional secara umum adalah kerjasama antar negara, yaitu
unit politikyang didefinisikan secara global untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Menurut UU No. 37 Tahun 1999, hubungan internasional adalah kegiatan yang
menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di
tingkat pusat dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah,
lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, LSM atau
Warga Negara.

2. Arti Penting Hubungan Internasional

Hubungan internasional dianggap penting dalam rangka untuk menumbuhkan
saling pengertian antarbangsa, mempererat hubungan persahabatan dan
persaudaraan antarbangsa, saling mencukupi kebutuhan masing-masing bangsa
yang bekerja sama, memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan, dan membina dan
menegakkan perdamaian dan ketertiban dunia. Suatu negara yang tidak mau
mengadakan hubungan internasional dengan negara lain akan terkucilkan dalam
pergaulan dunia. Akibatnya, negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
3. Pengertian Hubungan Internasional Menurut Para Ahli
Berikut adalah beberapa pengertian hubungan internasional menurut para ahli:
1.
Menurut J.C. Johari, hubungan internasional merupakan sebuah studi
tentang interaksi yang berlangsung diantara negara-negara berdaulat disamping itu
juga studi tentang pelaku-pelaku non negara (non states actors) yang perilakunya
memiliki dampak terhadap tugas-tugas negara.
2.
Menurut Mohtar Mas’oed, hubungan internasional adalah hubungan yang
melibatkan bangsa-bangsa yang masing-masing berdaulat sehingga diperlukan

mekanisme yang kompleks dan melibatkan banyak negara.
3.
Menurut Tygve Nathlessen, hubungan internasional adalah bagian dari ilmu
politik, oleh karena itu komponen hubungan internasional sendiri tak lepas dari
politik internasional, organisasi dan administrasi internasional serta hukum
internasional.
4.
Menurut Warsito Sunaryo, hubungan internasional merupakan studi
tentang interaksi antara jenis kesatuan-kesatuan sosial tertentu, termasuk studi
tentang keadaan relevan yang mengelilingi interaksi.

1.1. Hubungan Internasional, Pengertian, Pola, Arti Penting
dan Sarananya.
1.1. Hubungan
Sarananya.
1.1.1.

Internasional,

Pengertian,


Pola,

Arti

Penting

dan

Pengertian Hubungan Internasional

Hubungan internasional atau hubungan antarbangsa merupakan interaksi manusia
antarbangsa baik secara individu maupun kelompok, dilakukan baik secara
langsung maupun secara tidak langsung dan dapat berupa persahabatan,
persengketaan, permusuhan ataupun peperangan.
1.1.2.

Pola Hubungan Antarbangsa

Ada tiga macam pola hubungan antar bangsa, yaitu:


Penjajahan suatu bangsa atas bangsa lain, ketergantungan suatu bangsa atas
bangsa lain dan hubungan sama derajat.
1. Pola Penjajahan:
Penjajahan pada hakekatnya adalah penghisapan oleh suatu bangsa atas bangsa
lain yang ditimbulkan oleh perkembangan paham kapitalis, di mana negara
penjajah membutuhkan bahan mentah bagi industrinya dan juga pasar bagi hasil
industrinya. Inti dari penjajahan ini adalah penguasaan wilayah bangsa lain.
1. Pola Ketergantungan:
Umumnya terjadi pada negara-negara berkembang yang karena kekurangan modal
dan tekhnologi untuk membangun negaranya, terpaksa mengandalkan bantuan
negara-negara maju yang akhirnya mengakibatkan ketergantungan pada negaranegara maju tersebut. Pola hubungan ini dikenal sebagai neo-kolonialisme
(penjajahan dalam bentuk baru).
1. Pola Hubungan Sama Derajat:
Pola hubungan ini sangat sulit diwujudkan, namun merupakan pola hubungan yang
paling ideal karena berusaha mewujudkan kesejahteraan bersama, sesuai dengan
jiwa sila kedua Pancasila, yang menuntut penghormatan atas kodrat manusia
sebagai makhluk yang sederajat tanpa memandang ideologi, bentuk negara
ataupun sistem pemerintahannya. Politik luar negeri bebas aktif yang kita pilih
menghindarkan bangsa kita jatuh ke paham kebangsaan yang sempit

atau Chauvinisme yang mengagung-agungkan bangsa sendiri namun memandang
rendah bangsa lain. Juga menghindarkan paham Kosmopolitisme yang memandang
seluruh dunia sebagai negeri yang satu dan sama sehingga mengabaikan negeri
sendiri.
Dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif ini bangsa Indonesia
menjalin pergaulan dan kerjasama antar bangsa, dipimpin oleh presiden sebagai
kepala negara.Dalam melakukan kerjasama dan hubungan internasional ini presiden
dibantu oleh departemen luar negeri yang dipimpin seorang menteri luar negeri,
para duta dan konsul yang diangkat presiden untuk negara-negara lain serta dutaduta dan konsul-konsul negara lain yang diterima oleh presiden. Hak mengangkat
duta dan konsul ini sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang Dasar 1945 dipegang
oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Dalam menerima duta
dan konsul negara lain, presiden juga harus meminta persetujuan dari kepala
negara asal duta dan konsul tersebut dalam bentuk Surat Kepercayaan (lettre de
credance).
1.1.3.

Arti Penting Hubungan dan Kerjasama Internasional.

Menurut Prof. Dr. Kusuma Atmaja, hubungan dan kerjasama antar bangsa muncul
karena tidak meratanya pembagian kekayaan alam dan perkembangan industri di


seluruh dunia sehingga terjadi saling ketergantungan antara bangsa dan negara
yang berbeda.Karena hubungan dan kerjasama ini terjadi terus menerus, sangatlah
penting untuk memelihara dan mengaturnya sehingga bermanfaat dalam
pengaturan khusus sehingga tumbuh rasa persahabatan dan saling pengertian
antar bangsa di dunia.
1.1.4.

Sarana Hubungan Internasional

Menurut J. Frankel (1980) ada berbagai sarana yang dapat dipergunakan oleh
negara-negara dalam melakukan hubungan internasional, yaitu: diplomasi,
propaganda, hubungan ekonomi dan militer.
1. Diplomasi
Diplomasi merupakan seluruh kegiatan untuk melaksanakan politik luar negeri
suatu negara dalam hubungannya dengan bangsa dan negara lain. Diplomasi dapat
bersifat bilateral (melibatkan dua negara) atau multilateral (melibatkan lebih dari
dua negara). Instrumen diplomasi ada dua yaitu deplu yang berkedudukan di
ibukota negara, merupakan “otak”nya dan perwakilan diplomatik yang
berkedudukan di ibukota negara penerima yang merupakan “panca indera dan

penyambung lidahnya.”
Dalam mewakili negara dan bangsanya, seorang diplomat memiliki tiga fungsi
dasar yaitu sebagai lambang, sebagai wakil yuridis yang sah sesuai hukum
internasional dan sebagai perwakilan politik.
Sedangkan tugas seorang diplomat dapat dibagi menjadi empat fase pokok
diplomasi, yaitu: perwakilan (representation), perundingan (negotiation), laporan
(reporting) dan perlindungan kepentingan bangsa, negara, dan warga negaranya di
luar negeri.
1. Propaganda
Propaganda adalah usaha sistematis untuk mempengaruhi pikiran, emosi dan
tindakan suatu kelompok demi kepentingan masyarakat umum. Ada dua hal yang
membedakan diplomasi dan propaganda:
1. Propaganda ditujukan kepada rakyat negara tersebut, bukan pemerintahnya.
2. Propaganda dilakukan hanya demi kepentingan negara pembuat propaganda.
1. Ekonomi
Hubungan internasional melalui sarana ekonomi tidak mutlak dilakukan oleh
pemerintah, swasta pun dapat berperanan besar, baik selama masa damai maupun
dalam situasi perang. Semua negara terlibat dalam hubungan ekonomi untuk
mendapatkan barang yang tidak dapat diproduksinya sendiri. Keuntungan lainnya


dari perdagangan internasional adalah diperolehnya suatu barang melalui sistem
produksi yang paling efisien dan murah.
1. Kekuatan Militer dan Perang
Berlawanan dengan ekonomi, bidang militer benar-benar dikuasai oleh pemerintah.
Bidang militer sangat mempengaruhi diplomasi karena memiliki kekuatan militer
yang tangguh akan menambah rasa percaya diri, sehingga bisa mengabaikan
ancaman-ancaman dan tekanan lawan yang dapat mengganggu kepentingan
nasionalnya. Kekuatan militer diperlihatkan dalam parade militer di hari-hari
nasional untuk menggertak dan memperingatkan negara-negara lawan sehingga
perang dapat dihindarkan. Perang adalah pilihan terakhir.

Pengertian Budaya Politik, Ciri-Ciri,
Macam-Macam & Definisi Para Ahli
Pengertian Budaya Politik, Ciri-Ciri, Macam-Macam & Definisi Para Ahli| Secara umum,
Pengertian Budaya Politik adalah pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara,
penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma
kebiasaan yang dihayati terhadap seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik
diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat secara sadar untuk berpartisipasi
dalam mengambil kepetusan kolektif dan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya. Secara
sederhana, Pengertian Budaya politik adalah nilai-nilai yang berkembang dan dipratikan suatu

masyarakat tertentu dalam bidang politik

Pengertian Budaya Politik Menurut Definisi Para Ahli - Banyak sarjana ilmu politik yang mengkaji
mengenai budaya politik sehingga terdapat beragam konsep budaya politik. Namun dari konsep
tersebut memiliki derajat perbedaan yang tidak begitu besar, sehingga dapat tetap dalam satu
pemahaman dan rambu-rambut yang sama. Hal ini tersebut terjadi pada pengertian budaya politik

yang dimana banyak para ahli ilmu politik yang mendefinisikan budaya politik antara lain sebagai
berikut...


Austin Ranney: Menurut Austin Ranney, pengertian budaya politik adalah seperangkat
pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersamasama; sebuah pola oreintasi-orientasi terhadap objek-objek politik.



Gabriel A. Almond dan G.Bingham Powell, Jr. : Menurutnya, pengertian budaya politik
adalah sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga
kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari
populasi.




Sidney Verba: Menurut Sidney Verba, budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan
empirik, simbol-simbol ekskpresif dan nilai-nilai yang menegaskansuatu situasi dimana
tindakan politik dilakukan.



Moctar Massoed: Menurut Moctar Massoed, pengertian budaya politik adalah sikap dan
orientasi warga suatu negara terhadap kehidupan pemerintahan negara dan politiknya.



Miriam Budiardjo: Menurut Mirriam Budiardji, budaya politik adalah keseluruhan dari
pandangan-pandangan politik, seperti norma-norma, pola-pola orientasi terhadap politik dan
pandangan hidup pada umumnya.

Ciri-Ciri Budaya Politik



Terdapat pengaturan kekuasaan



Perilaku dari aparat-aparat negara



Proses pembuatan kebijakan pemerintah



Adanya kegiatan partai-partai politik



Adanya gejolak masyarkat terhadap kekuasaan yang memerintah



Mengenai pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat



Adanya budaya politik mengenai masalah legitimasi.

Bagian-Bagian Budaya Politik - Secara umum, budaya politik terbagi dalam tiga jenis antara lain
sebagai berikut
1. Budaya politik apatis (masa bodoh, pasif, dan acuh)
2. Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja di mobilisasi)

3. Budaya politik partisipasif (aktif)

Macam-Macam Budaya Politik - Budaya politik dibagi dalam beberapa tipe berdasarkan dari
oritentasi politiknya. Macam-macam budaya politik atau tipe-tipe budaya politik adalah sebagai
berikut...
a.
Budaya
Politik
Parokial
Pengertian Budaya Politik - Budaya Politik Parokial adalah budaya politik dengan tingkat
partisipasi politik yang sangat rendah. Budaya politik parokial umumnya terdapat dalam masyarakat
tradisional dan lebih bersifat sederhana. Berdasarkan pendapat Moctar Masoed dan Colin Mc.
Andrew, yang mengatakan budaya politik parokial adalah orang-orang yang tidak mengetahui sama
sekali
adanya
pemerintahan
dan
politik.
Ciri-Ciri Budaya Politik Parokial


Apatis



Lingkupnya sempit dan kecil



Pengetahuan politik rendah



Masyarakatnya yang sederhana dan tradisional



Adanya ke tidak peduli dan juga menarik diri dari kehidupan politik



Anggota masyarakat condong tidak berminat terhadap objek politik yang luas



Kesadaran anggota masyarakat mengenai adanya pusat kewenangan dan kekuasaan
dalam masyarakatnya rendah



Tidak ada peranan politik bersifat khusus



Warga negara tidak sering berhadap dalam sistem politik

b.
Budaya
Politik
Kaula/Subjek
Pengertian Budaya Politik Kaula - Budaya politik kaula adalah budaya politik dengan masyarakat
yang suda relatif maju baik sosial maupun ekonominya, namun masih relatif pasif. Budaya politik
kaula atau subjek berada pada orang secara pasif patuf pada pejabat-pejabat pemerintahan dan
undang-undang, akan tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam
pemilihan. Budaya politik kaula memiliki tingkat perhatian pada sistem politik sangat rendah.
Ciri-Ciri Budaya Politik Kaula/Subjek


Masyarajat menyadari sepenuhnya otoritasi pemerintah



Sedikit warga memberi masukan dan tuntutan kepada pemerintah, namun dapat menerima
apa yang berasal dari pemerintah



Menerima putusan yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dikoreksi, terlebih lagi
ditentang.



Sikap warga sebagai aktor politik adalah pasif, artinya warga tidak dapat berbuat banyak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.



Warga menaruh keadaran, minat, dan perhatian pada sistem politik secara umum dan
khusus terhadap objek output, sedangkan untuk kesadarannya terhadap input dan
kesadarannya sebagai aktor polirik masih rendah.

c.
Budaya
Politik
Partisipan
Pengertian Budaya Politik Partisipan - Budaya politk partisipan adalah budaya politik yang
ditandai adanya kesadaran politik yang sangat tinggi. Budaya politik partisipan dapat dikatakan
suatu bentuk budaya yang anggota masyarakatnya condong diorientasikan secara eksplisit
terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif.
Budaya politik yang ditandai dengan adanya kesadaran dirinya atau orang lain sebagai anggota aktif
dalam kehidupan politik. Umumnya masyarakat budaya politik partisipan sadar bahwa betapapun
kecil partisipasi dalam sistem politik, tetap saja merasa berarti dan berperan dalam berlangsungnya
sistem politik. Begitu pun dengan budaya politik partisipan, masyarakat tidak menerima langsung
keputusan politik, karena merasa sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik yang memiliki hak
dan
tanggung
jawab.
Ciri-Ciri Budaya Politik Partisipan


Warga menyadari hak dan tanggung jawabnya dan dapat mempergunakan hak serta
menanggung kewajibannya



Tidak begitu saja menerima keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin tetapi dapat menilai
dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik secara keseluruhan, input, output,
maupun posisi dirinya sendiri.



Kehidupan politik sebagai sarana transaksi, misalnya penjual dan pembeli. Warga menerima
menurut kesadarannya tetapi dapat menolak menurut penilainnya sendiri.



Menyadari sebagai warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis.

Budaya Politik Indonesia
Budaya politik di Indonesia merupakan perwujudan dari nilai-nilai dianut oleh bangsa Indonesia
sebagai pedoman kegiatan-kegiatan politik kenegaraan. Setelah era reformasi orang menyebut
Indonesia telah menggunakan budaya Politik partisipan karena telah bebasnya Demokrasi,

partisipatifnya masyarakat dan tidak tunduk dari keputusan atau kinerja pemerintah baru etika.
Ketika era orde baru demokrasi dikekang, baik segala bentuk media dikontrol dan diawassi oleh
pemerintah melalui departemen penerangan agar tidak mempublikasikan kebobrokan pemerintah.
Budaya politik Indonesia terus mengalami perubahan mengikut perkembangan zaman. Tetapi
berubahnya terjadi di daerah perkotaan dan pedesaan yang telah maju tetapi di daerah-daerah
terpencil
tidak
terjadi
perubahan
karena
kurangnya
pendidikan
dan
informasi.
Saat ini budaya politik Indonesia adalah campuran dari parokial, kaula dan partisipan karena di
Indonesia terdapat ciri-ciri parokial dan ciri-ciri budaya politik partisipan.

Karakteristik Budaya Politik Parokial, Kaula dan Partisipan
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, ternyata masing-masing
memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya
politik sebagai berikut.

1.
Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya
sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya, tingkat pendidikan relatif rendah).
2.
Budaya politik kaula (subject political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah
relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
3.
Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang
ditandai dengan kesadaran politik sangattinggi.
Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah. Dalam budaya
politik ini masyarakat tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu
negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat
kebanggaan terhadap sistem politik tersebut.

Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik,
pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah
politik. Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat
maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan
keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi
politik.

Tidak munculnya perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik tersebut
menyebabkan sulitnya membangun demokrasi dalam budaya politik parokial. Demokrasi

dalam budaya politik parokial hanya dapat dibangun jika terdapat institusi-institusi dan
perasaan kewarganegaraan baru.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa budaya politik parokial mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut.


Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai objek umum, objek-objek input, objekobjek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.

Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.

Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan terhadap perubahan
komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.

Kaum parokial tidak mengharapkan apa pun dari sistem politik.

Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana ketika
spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.

Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif
daripada kognitif.
Budaya politik kaula atau subjek lebih rendah satu derajat dari budaya politik partisipan.
Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga
negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam
cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga
terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap
negara. Mereka akan merasa tidak nyaman jika membicarakan masalah-masalah politik.

Demokrasi sulit berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subjek karena tiaptiap warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila
mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu, mereka juga memiliki
kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah sehingga sangat sukar untuk
mengharapkan partisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap
berjalannya sistem politik.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan ciri budaya kaula atau subjek sebagai
berikut.


Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang
diferensiatif dan aspek output dari sistem itu. Akan tetapi, frekuensi orientasi terhadap
objek-objek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif
mendekati nol.

Para subjek menyadari adanya otoritas pemerintah.


Hubungannya terhadap sistem politik secara umum dan terhadap
administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.

Orientasi subjek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

output,

Tipe budaya kaula atau subjek ini antara lain diterapkan oleh golongan bangsawan Prancis.
Mereka sangat menyadari adanya institusi demokrasi, tetapi secara sederhana hal ini tidak
memberi keabsahan kepada mereka.

Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus
warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki
kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal
tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan
kebijakan publik dalam beberapa tingkatan. Mereka juga memiliki kemauan untuk
mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes jika terdapat praktikpraktik
pemerintahan yang tidak fair.

Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi
karena adanya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah. Hal itu ditunjukkan
oleh tingkat kompetensi politik warga negara yang tinggi dalam menyelesaikan sesuatu hal
secara politik. Warga negara merasa memiliki peran politik. Mereka merasa perlu untuk
terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik.

Selain itu, warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara
sukarela karena adanya saling percaya (trust) antarwarga negara. Oleh karena itu, dalam
konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan ciri budaya partisipan sebagai berikut.


Frekuensi orientasi politik sistem sebagai objek umum, objekobjek input, output, dan
pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.

Bentuk kultur politik anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara
eksplisit. Masyarakat pun aktif terhadap sistem politik secara komprehensif. Selain itu,
masyarakat juga aktif terhadap struktur dan proses politik serta administratif (aspek input
dan output sistem politik).

Anggota masyarakat bersikap partisipatif terhadap objek politik (tingkat partisipasi
masyarakat sangat tinggi).

Masyarakat berperan sebagai aktivis.
Contoh masyarakat atau bangsa yang memiliki tipe budaya politik partisipan, menurut studi
Almond dan Verba adalah Inggris dan Amerika Serikat. Menurut Almond dan Verba, ketiga

tipe (partisipan, parokial, dan subjek) tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik sebagai
berikut.

1. Budaya Politik Parokial-Subjek (The Parochial-Subject Culture)
Bentuk budaya campuran (subjek-parokial) ini merupakan peralihan atau perubahan dari
pola budaya parokial menuju pola budaya subjek (pemerintahan yang sentralistik). Contoh
budaya ini adalah bentuk-bentuk klasik kerajaan, seperti kerajaankerajaan di Afrika, Rusia
(Jerman), dan Kekaisaran Turki.

2. Budaya Politik Subjek-Partisipan (The Subject-Participant Culture)
Bentuk budaya campuran (subjek-partisipan) merupakan peralihan atau perubahan dari
budaya subjek (pemerintahan yang sentralistik) menuju budaya partisipan (demokratis).
Contoh negara yang memiliki tipe budaya campuran ini adalah Prancis, Jerman, dan Italia.

3. Budaya Politik Parokial-Partisipan (The Parochial-Participant Culture)
Bentuk budaya campuran (parokial-partisipan) ini merupakan peralihan atau perubahan dari
pola budaya parokial menuju budaya partisipan. Tipe budaya campuran ini terdapat banyak
di negara-negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan politik. Pada
umumnya, di negara-negara berkembang budaya politik yang dominan adalah budaya
parokial.

Meskipun demikian, norma-norma struktural yang diperkenalkan biasanya bersifat partisipan
dan demi keselarasan mereka menuntut suatu budaya partisipan. Hal ini sering
menimbulkan ketimpangan antara struktur yang menghendaki sifat partisipan dengan
budaya alami yang masih bersifat parokial.

BUDAYA POLITIK
1. 1.
Tipe-tipe Budaya Politik
Menemukan tipe budaya politik pada masyarakat Cineam dapat dilakukan
melalui analisis beberapa teori mengenai tipe-tipe budaya politik dari para ahli.
Berikut ini adalah tipe-tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia
menurut para ahli:
1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks,
menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan
keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain.

Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat
”tolerasi”.

1. Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari
alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang.
Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan
oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan
membakar emosi.
2. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus
dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka
pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi
bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka
hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya
itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa
tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama.
1. 2.
Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan.
Budaya Politik berdasarkan sikap terhadap terbagi atas :
1. a.
Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai
dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi.
Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan.
Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan
mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan
(bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi,
jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara
kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan
dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan
pertumbuhan unsur baru.
1. b.
Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima
apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis
terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan
perkembangan masa kini.

Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu
yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu
tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap
sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan
hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong
usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
1. 3.
Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa
variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam
budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang
berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik
yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel
Almondmengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
1. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat
partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif
(misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). Secara relatif parokialisme
murni itu berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana
sehingga spesialisasi politik berada pada jenjang yang paling rendah.
Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif
dan normatif ketimbang kognitif. Contohnya suku bangsa terpencil di
Nigeria atau Ghana, dapat saja menyadari akan suramnya rezim politik
sentral dengan berbagai cara. Akan tetapi perasaannya terhadap hal
tersebut bersifat tidak menentu dan mereka tidak membakukan normanorma untuk mengatur hubunganya dengan hal tersebut.
2. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat
bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi
masih bersifat pasif. Di sini terdapat frekuensi orientasi yang tinggi
terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu.
Akan tetapi, frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus
dan terhadap pribadi sebagai partisipan aktif. Subjek politik menyadari
otoritas pemerintah, mereka secara efektif diarahkan terhadap otoritas
tersebut dan mereka mungkin menunjukan kebanggaanya terhadap sistem
itu. Akan tetapi hubungan terhadap sistem secara umum dan hasilnya
bersifat pasif. Walaupun ada bentuk kompetensi yang terbatas dan tersedia
di dalam kebudayaan subjek.
3. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya
politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi. Dengan kata
lain bentuk kultur dimana anggota masyarakat cenderung diarahkan
secara eksplisit kepada sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur
serta proses politik serta administratif. Dengan kata lain, budaya partisipan
diarahkan kepada aspek input dan output sistem politik itu sendiri.
Anggota pemerintahan yang dapat bekerja sama diarahkan kepada
berbagai obyek politik yang beragam.

Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa
terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi
tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih
lanjut adalah sebagai berikut.
N
O

BUDAYA
POLITIK

URAIAN/KETERANGAN
1.

2.
3.
4.
5.

6.
1.

Parokial
1.

2.
3.
4.

2.

Subyek/Kaula

5.

3.

Partisipan

1.

Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai
obyek umum, obyek-obyek input, obyekobyek output, dan pribadi sebagai partisipan
aktif mendekati nol.
Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus
dalam masyarakat.
Orientasi parokial menyatakan alpanya
harapan-harapan akan perubahan yang
komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.
Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari
sistem politik.
Parokialisme murni berlangsung dalam sistem
tradisional yang lebih sederhana dimana
spesialisasi politik berada pada jenjang sangat
minim.
Parokialisme dalam sistem politik yang
diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif
dari pada kognitif.
Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi
terhadap sistem politik yang diferensiatif dan
aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi
orientasi terhadap obyek-obyek input secara
khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan
yang aktif mendekati nol.
Para subyek menyadari akan otoritas
pemerintah
Hubungannya terhadap sistem plitik secara
umum, dan terhadap output, administratif secara
esensial merupakan hubungan yang pasif.
Sering wujud di dalam masyarakat di mana
tidak terdapat struktur input yang
terdiferensiansikan.
Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan
normatif daripada kognitif.
Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek
umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi
sebagai partisipan aktif mendekati satu.

2.

Bentuk kultur dimana anggota-anggota
masyarakat cenderung diorientasikan secara
eksplisit terhadap sistem politik secara
komprehensif dan terhadap struktur dan proses
politik serta administratif
(aspek input danoutput sistem politik)
3. Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek
politik
4. Masyarakat berperan sebagai aktivis.

Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka
berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik.
Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan
untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka
dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan
dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok
protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya
demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara
dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu
menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau
keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang
ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk
terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam
politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam
masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga
negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan
kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan.
Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama
sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi
keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti beritaberita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan
perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa
tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik
subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan
berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan
kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik
dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk
mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol
terhadap berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang
didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga

negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada
perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut.
Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik,
pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan
masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki
minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan
kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika
berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan
untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya
bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru.
Budaya politik ini bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara
belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik
murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di
antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya
menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik,
yaitu :

Kebudayaan Subjek-Parokial

Ø Suatu tipe kebudayaan politik dimana sebagian besar penduduk
menolak tuntutan-tuntutan ekslusif masyarakat kesukuan, desa, atau
otoritas feodal. Sejarah dan rentetan peristiwa berbagai bangsa
melibatkan peralihan awal dari parokialisme lokal menuju pemerintah
desentralisasi. Akan tetapi, peralihan ini dapat diselaskan pada situasi
dimana berlangsung pengembangan budaya subjek. Dengan
demikian, Anda dapat mengatakan bahwa perubahan kebudayaan
politik parokial menuju kebudayaan politik subjek dapat dimantapkan
pada sejumlah hal tertentu yang menjadi fokus pengamatan. Hal itu
menghasilkan perpaduan politik, psikologi, dan budayal yang
berbeda-beda. Keadaan tersebut menegaskan bahwa jenis perpaduan
yang dihasilkan mempunyai manfaat yang besar terhadap stabilitas
dan penampilan sistem politik tersebut.

Kebudayaan Partisipan-Subjek

Ø Model kebudayaan ini merupakan proses cara peralihan
dari kebudayaan parokial menuju kebudayaan subjek. Hal yang
dilakukan pasti akan mempengaruhi berlangsungnya proses
peralihan dari budaya subjek menuju budaya. Dalam budaya
subjek partisipan yang bersifat campuran itu, sebagian besar
penduduk telah memperoleh orientasi input yang bersifat
khusus. Di Eropa Barat contoh tipe kebudayaan politik seperti ini
dilaksanakan di Prancis, Jerman, dan Italia sejak abad 19 sampai
sekarang ini.

Kebudayaan Parokial-Partisipan

Ø Dalam kebudayaan ini, terdapat masalah
kontemporer mengenai pembangunan kebudayaan di
sejumlah negara yang sedang berkembang. Di hampir

semua negara berkembang, budaya politik yang dominan
adalah budaya parokial. Norma-norma struktural yang
diperkenalkan biasanya bersifat partisipan. Demi
keselarasan, mereka menuntut suatu budaya partisipan.
Perkembangan dari budaya parokial ke arah budaya
partisipan dilihat dari satu segi nampaknya menjadi suatu
hal yang tidak mempunyai harapan. Akan tetapi, jika
diingat semua kekuasaan dan loyalitas parokial yang hidup
subur di sejumlah negara muda, paling tidak kita boleh
berkata bahwa perkembangan ke arah budaya partisipasi.
1. 2.
Perkembangan Budaya Politik Indonesia
Pembagian budaya politik di Indonesia yang lebih didasarkan pada gaya
berpolitik yang berkembang di Indonesia ada 3 tipe yaitu :
1. Budaya politik tradisional
Budaya politik tradisional ialah budaya politik yang mengedepankan satu
budaya dari etnis tertentu yang ada di Indonesia. Sebagai contoh, budaya politik
yang berangkat dari paham masyarakat Jawa.
Selain itu, budaya politik tradisional juga ditandai oleh hubungan yang bersifat
patron-klien, seperti hubungan antara tuan dan pelayannya.
Budaya politik semacam ini masih cukup kuat di beberapa daerah, khususnya
dalam masyarakat etnis yang sangat konservatif. Masyarakat tradisional seperti
ini biasanya berafiliasi pada partai-partai sekuler (bukan partai agama).
1. Budaya politik Islam
Budaya politik Islam adalah budaya politik yang lebih mendasarkan idenya pada
suatu keyakinan dan nilai agama tertentu (Islam). Agama Islam di Indonesia
menjadi agama mayoritas dan Indonesia merupakan negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia, sehingga Islam menjadi salah satu budaya politik
yang cukup mewarnai kebudayaan politik di Indonesia. Orientasi budaya politik
yang mendasarkan pada nilai agama Islam mulai tampak sejak para pendiri
bangsa membangun negeri ini.
Budaya politik Islam biasanya dipelopori oleh kelompok santri. Kelompok ini
identik dengan pendidikan pesantren atau sekolah-sekolah Islam. Kelompok
masyarakat ini terdiri dari dua yakni tradisional dan modern. Kelompok
tradisional biasanya diwakili oleh masyarakat santri yang berasal dari organisasi
NU (Nahdlatul Ulama). Sementara yang modern biasanya diwakili oleh
masyarakat santri dari organisasi Muhammadiyah. Perbedaan karakter Islam ini
juga turut melahirkan perbedaan pilihan politik. Ini membuat budaya politik
Islam menjadi tidak satu warna.

Pada masa lalu, kelompok santri biasanya berafiliasi pada partai seperti
Masyumi dan partai NU. Kedua partai ini memiliki basis pada kelompok
masyarakat Islam.
1. Budaya politik modern
Budaya politik modern adalah budaya politik yang mencoba meninggalkan
karakter etnis tertentu atau pendasaran pada agama tertentu.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, dikembangkan budaya politik modern yang
dimaksudkan untuk tidak mengedepankan budaya etnis atau agama tertentu.
Pada masapemerintahan ini ada dua tujuan yang ingin dicapai yakni stabilitas
keamanan dan kemajuan.
Seperti halnya budaya politik Islam, budaya politik modern juga bersifat kuat
dan berpengaruh. Di dalamnya terdapat beragam subkultur seperti kelompok
birokrat, intelektual, dan militer. Nyatanya hanya ada dua kelompok (birokrat
dan militer) yang paling berpengaruh dalam pembuatan kebijakan pada masa
Orde baru.
1. 3.
Tipe Budaya Politik Petani Salak Cineam
Untuk mengetahui tiipe budaya politik pada petani salak cineam dapat dilihat
dari beberapa teori yang telah dipaparkan di atas. Masyarakat petani salak
Cineam yang lebih bersifat tradisional dan juga masyarakat transisi antara
pedesaan dan perkotaan serta nilai-nilai religi Islam yang teguh, mempegaruhi
pada budaya politik yang di anutnya. Melihat indikator tersebut maka budaya
politik para petani salak Cineam dapat dikategorikan ke dalam budaya politik
parochial partisipan serta budaya politik Islam.
1.

4.
Perkembangan Tipe Budaya Politik sejalan dengan
Perkembangan Sistem Politik yang Berlaku
Pada negara-negara demokratis umumnya, partisipasi politik warga negaranya
dapat mempengaruhi pembuatan suatu kebijakan (policy).Hal tersebut sejalan
dengan pendapat Samuel P. Huntington dan Joan Nelson yang menyatakan
bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan
oleh pemerintah.Partisipasi bisa bersifat individual dan atau kolektif, terorganisir
atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan,
legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.
1. Makna Sosialisasi Kesadaran Politik
Menurut M. Taopan, Kesadaran politik (political awwarnes) merupakan proses
bathin yang menampakkan keinsyafan dari setiap warga negara akan
pentingnya urusan kenegaraan dalam kehidupan bernegara. Masyarakat
khususnya petani salak di Cineam harus mendukung pemerintah, mengingat
kompleks dan beratnya beban yang harus dipikul para penyelenggara negara.

Kesadaran politik yang terbangun dalam diri petani salak dapat terwujud
melalui sosialisasi politik.
Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik
yang berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik
demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan
proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.
Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial,
ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain itu, juga
ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadian seseorang.
Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang
dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu
dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk
terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang
diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu
menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang
berkembang secara berangsur-angsur.
Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat
memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik
masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan
sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja
menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah akan
menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang
menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai
dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka
perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan
sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan
stagnasi
1. Pengertian Menurut Para ahli
Berbagai pengertian atau batasan mengenai sosialisasi politik telah banyak
dilakukan oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan pengertianpengertian tentang budaya politik, sistem politik dan seterusnya, meskipun
diantara para ahli politik terdapat perbedaan, namun pada umumnya tetap pada
prinsip-prinsip dan koridor yang sama. Berikut ini akan dikemukana beberapa
pengertian sosialisasi politik menurut para ahli.
1. David F. Aberle, dalam “Culture and Socialization”
Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek
tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu keterampilanketerampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan sikap-sikap yang
perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau yang tengah
diantisipasikan (dan yang terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan manusia
normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.

1. Gabriel A. Almond
Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap politik dan polapola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga merupakan sarana
bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan
keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
1. Irvin L. Child
Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang dilahirkan
dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk
mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran
yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standarstandar dari kelompoknya.
1. Richard E. Dawson dkk.
Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilainilai dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana
sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak
dewasa.
1. S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration
Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh manusia lain,
dengan siapa individu-individu yang secara bertahap memasuki beberapa jenis
relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed disebut dengan transmisi
kebudayaan.
1. Denis Kavanagh
Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana seseorang mempelajari dan
menumbuhkan pandangannya tentang politik.
1. Alfian
Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk mengubah proses
sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati
betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang
hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan
perilaku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal tersebut, dan
bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan
Alfian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni:
pertama : sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang
berjalan terus-menerus selama peserta itu hidup.
Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang berupa pengajaran
secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi, nilai-nilai atau
perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana berlangsung
dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa,
atau kontak politik langsung.
Dari sekian banyak definisi ini nampak mempunyai banyak kesamaan dalam
mengetengahkan beberapa segi penting sosialisasi politik, sebagai berikut.

1.

Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar
dari pengalaman/ pola-pola aksi.
2. Memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan
kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan
pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.
3. Sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja
(walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung
sepanjang hidup.
4. Bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas
sosial, dan baik secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan
mengenai tingkah laku sosial.
Dari sekian banyak pendapat di atas, menurut Michael Rush & Phillip
Althof, ada dua masalah yang berasosiasi dengan definisi-definisi tersebut di
atas.
Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses pelestarian yang
sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan antara sosialisasi dan
perubahan sosial; atau istilah kaum fungsionalis, sebagai pemeliharaan sistem.
Dalam kenyataan tidak ada alasan sama sekali untuk menyatakan mengapa
suatu teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu memperhitungkan: ada
atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial; menyediakan satu
teori yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan tidak membatasi
diri dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa yang diajar,
siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua variabel penting
adalah pengalaman dan kepribadian dan kemudian akan dibuktikan bahwa
kedua-duanya, pengalaman dan kepribadian individu, lebih-lebih lagi
pengalaman dan kepribadian kelompok-kelompok individu- adalah fundamental
bagi proses sosialisasi dan bagi proses perubahan.
Kedua : adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup tingkah laku, baik
yang terbuka maupun yang tertutup, yang diakses yang dipelajari dan juga
bahwa berupa instruksi. Instruksi merupakan bagian penting dari sosialisasi,
tidak perlu disangsikan, orang tua bisa mengajarkan kepada anak-anaknya
beberapa cara tingkah laku sosial tertentu; sistem-sistem pendidikan
kemasyarakatan, dapat memasukkan sejumlah ketentuan mengenai pendidikan
kewarganegaraan; negara bisa secara berhati-hati menyebarkan ideologiideologi resminya. Akan tetapi tidak bi