Perlindungan Konsumen Muslim Dalam Menyo

PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM DALAM
MENYONGSONG ERA PASAR BEBAS
Oleh :
Hanum Rahmaniar Helmi*
Universitas Airlangga Surabaya
Hanum_helmi@yahoo.com

ABSTRAK
Perlindungan konsumen muslim terhadap hal-hal yang dilarang oleh agamanya, merupakan hal
yang sangat krusial khususnya bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam,
maupun masyarakat muslim di negara-negara ASEAN lainnya. Maraknya produk-produk
makanan yang belum bersertifikat halal yang beredar di masyarakat kini menjadi polemik
tersendiri bagi para konsumen muslim. Tidak hanya mengenai produk makanan, tetapi juga
banyak produk non halal lainnya seperti kosmetik dan bahan makanan non halal yang berasal
dari dalam maupun luar negara Indonesia. Hal ini mengakibatkan keresahan konsumen muslim
atas produk-produk non halal yang masuk ke dalam dunia perekonomian Indonesia. Terkait
dengan lembaga penjamin produk halal pun, banyak menuai protes.Terlebih mengenai proses
penerbitan sertifikat halal yang harus melalui proses yang berbelit. Ada dua lembaga yang
berbeda yaitu instansi pemerintah dan non-pemerintah yang harus dilalui produsen untuk
mendapatkan pengakuan secara resmi bahwa produknya halal. Selain proses yang berbelit,
permasalahan juga timbul mengenai pengawasan yang belum dilakukan secara maksimal oleh

lembaga-lembaga tersebut. Pemerintah Indonesia sendiri belum mempunyai solusi yang tepat
dalam mengahadapi permasalahan tersebut di atas. Dalam paper ini nantinya penulis selain
akan membahas mengenai permasalahan-permasalahan tersebut di atas, juga akan memberikan
saran dan masukan yang sekiranya bermanfaat untuk dunia peradilan di Indonesia.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen Muslim, produk non halal , sertifikat dan label
halal, pelaksanaan dan pengawasan sertifikasi halal

PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai berbagai
macam suku, ras dan agama. Tak hanya itu, negara kita juga mempunyai sumber daya
alam yang melimpah. Sumber daya alam tersebut dimanfaatkan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan, sumberdaya alam
yang dibagi menjadi sumberdaya nabati dan hewani tersebut diolah untuk dijadikan
sumber bahan baku yang kemudian bisa dimanfaatkan oleh manusia. Dalam hal bahan
baku yang diproses menjadi setengah jadi lalu menjadi barang jadi yang siap dikonsumsi
oleh manusia, maka manusia berhak menentukan mana produk yang baik untuk
dikonsumsi dan mana yang tidak baik untuk dikonsumsi.
Masyarakat Indonesia termasuk masyarakat bertipikal konsumtif dalam
pemenuhan kebutuhan primer, sekunder maupun tersiernya. Kebutuhan primer manusia
yaitu meliputi sandang, pangan dan papan. Untuk memenuhi kebutuhan fisik manusia

yaitu pangan, mereka kadang tidak mengolah atau memasak bahan makanan sendiri,
tetapi mereka memilih membeli produk siap santap. Untuk bisa mengonsumsi produk
makanan siap santap itulah mereka dapat membelinya di restoran, warung bahkan di
Pedagang Kaki Lima (PKL). Sebagai konsumen makanan siap saji, seringkali konsumen
tidak puas dengan pelayananan, cita rasa atau bahkan tentang bahan makanan yang
digunakan oleh restoran tersebut.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang mempunyai latar
belakang agama yang berbeda. Dalam hal mengonsumsi makanan yang mereka beli pun,
harus selektif dalam memilihnya. Bagi konsumen muslim, ada beberapa bahan makanan
yang tidak diperbolehkan oleh agamanya untuk dikonsumsi dan masuk ke dalam
tubuhnya. Dalam ajarannya, konsumen muslim dilarang mengonsumsi makanan yang
tidak jelas kehalalannya. Mengenai bahan makanan non halal, akhir-akhir ini masyarakat
digencarkan dengan broadcast message melalui Blackberry Messanger (BBM). Dalam
broadcast message tersebut memberitakan beberapa restoran-restoran yang mempunyai
sertifikat halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan restoran-restoran yang tidak
mempunya sertifikat halal MUI. Salah satu restoran yang tidak mempunyai sertifikat
halal MUI dalam broadcast message tersebut adalah Solaria. Solaria disebut-sebut
memasukkan minyak babi dalam memasak makanan yang akan dikonsumsi oleh
masyarakat muslim maupun non muslim. Tentu hal ini sangat menarik perhatian bagi
masyarakat muslim. Solaria adalah restoran waralaba yang keberadaannya di setiap kotakota besar di Indonesia. Sebagian besar konsumen muslim yang pernah makan di Solaria

menyesali apa yang telah dikonsumsinya. Sebenarnya, tidak hanya Solaria restoran yang
memasukkan minyak babi dalam masakan produksinya. Banyak restoran lain yang belum
mempunyai sertifikat halal MUI dan nyatanya sampai sekarang restoran-restoran itu tetap
beroperasi. Dalam hal ini, masyarakat muslim sebagai konsumen restoran-restoran non
halal tersebut sangat merasa dirugikan. Tetapi mereka tidak tahu kemana harus
berlindung dari makanan-makanan non halal yang tersebar luas di sekitarnya. Padahal
terkait kehalalan suatu produk, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen telah memberikan perlindungan bagi umat muslim. Pasal 8 ayat
(1) huruf h UUPK diatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi
secara halal, sebagaimana diatur pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
Karena keterangan halal suatu produk pangan bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas

penduduknya memeluk agama islam, pemerintah mengatur mengenai label produk halal
melalui UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Ilklan Pangan. Pasal 30 UU No. 7 tahun 1996 menyebutkan bahwa setiap orang yang
memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau dikemasan pangan.
Dan label tersebut setidaknya mencantumkan keterangan halal. Selanjutnya dalam Pasal
10 PP 69/1999 mengenai kewajiban produsen produk pangan untuk mencantumkan label

halal pada makanan yang dikemas yaitu : setiap orang yang memproduksi atau
memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan
dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat muslim, bertanggung jawab
atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan
halal pada Label.
Selain mengenai restoran-restoran yang belum mempunyai sertifikat halal,
permasalahan lain yang timbul di masyarakat yaitu mengenai daging impor yang harus
sesuai dengan standar sertifikasi halal yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan,
Obat-obatan dan kosmetik (LPPOM) MUI. MUI sebagai lembaga yang memberi
pengakuan terhadap halal certifier dari luar negeri dinilai tidak kredibel. Isu yang beredar
bahwa MUI memperjualbelikan sertifikat halal di luar negeri semakin mencuat ketika
MUI mengirim tim auditor ke negara yang memerlukan sertifikasi halal. Karena MUI
adalah organisasi independen, maka perjalanan tim auditor keluar negeri harus dibiayai
oleh perusahaan luar negeri yang membutuhkan sertifikat halal. Dalam hal pemasukan
yang diterima oleh MUI dari pengurusan sertifikasi halal tidak bisa diaudit oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal inilah yang menimbulkan celah-celah negatif MUI
sebagai organisasi yang menjamin kehalalan suatu produk. MUI selama ini dikenal
sebagai organisasi masyarakat bukan lembaga negara. Dalam Undang-Undang Pangan
no. 18 tahun 2012 pasal 95, hanya disebutkan bahwa lembaga penjaminan halal itu
dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah. Hingga kini, sandaran legal yang diharapkan

itu adalah Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Tetapi di dalam RUU ini
terjadi tarik menarik kepentingan antara Kementrian Agama dan MUI masalah sertifikasi
halal ini. Ketidakjelasan pemerintah dalam menunjuk lembaga yang berwenang
melakukan pengawasan dan pelaksanaan sertifikasi halal ini berujung pada keresahan
masyarakat yang seharusnya dilindungi hak-haknya.

Konsep Perlindungan Konsumen
Dalam konteks permasalahan yang telah diuraikan pada bab pendahuluan, timbul
suatu pertanyaan kemanakah konsumen muslim harus berlindung dari makanan-makanan
non halal yang telah diproduksi oleh produsen yang belum mendapatkan sertifikat halal
dari MUI. Di lain sisi, produsen yang telah mendapatkan sertifikat halalpun tidak bisa
dijamin bahwa produknya selamanya halal. Sebagai contoh, restoran yang telah
mendapatkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI. Restoran itu beroperasi setiap
hari. Bahan makanan yang dimasukkan pun bisa jadi berubah. Apakah dalam hal ini
lembaga yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan pengawasan bisa
menjamin bahwa restoran itu setiap harinya selalu memasukkan bahan-bahan makanan
yang halal ataukah bisa jadi ada perubahan bahan makanan yang dipakai. Hal inilah yang
diresahkan oleh konsumen muslim di negara kita. Mereka para konsumen muslim yang
seharusnya merasa tenang, tidak terancam terhadap apa yang dikonsumsinya. Tetapi hal
ini sangatlah berbanding terbalik dengan adanya produk non halal yang beredar di

pasaran Indonesia. Padahal Undang-Undang negara kita telah jelas mengatur mengenai
hak-hak konsumen seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
Di Indonesia telah banyak dikeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai
perlindungan konsumen, mulai dari tingkat undang-undang sampai pada peraturanperaturan tingkat menteri dan peraturan instansi di bawahnya. Akan tetapi, peraturan
mengenai perlindungan konsumen dibuat dalam satu undang-undang tersendiri, barulah
terealisasi pada tahun 1999 melalui Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Menurut Business English Dictionary, perlindungan konsumen adalah protecting
consumers against unfair or illegal traders.1 Undang- Undang Perlindungan konsumen
menyatakan bahwa, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.2
Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena investasi asing
telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, dimana ekonomi Indonesia juga
berkaitan dengan ekonomi dunia. Persaingan internasional dapat membawa implikasi
negatif bagi konsumen. 3
UUPK memuat aturan-aturan hukum tentang perlindungan kepada konsumen
yang berupa payung bagi perundang-undangan lainnya yang menyangkut konsumen
sekaligus mengintegrasikan perundang-undangan itu sehingga memperkuat penegakan
hukum di bidang perlindungan konsumen. Ada sejumlah asas yang terkandung di dalam

usaha memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait masyarakat, pelaku
usaha, dan pemerintah berdasarkan lima asas yang menurut Pasal 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 ini adalah :
a.
1
2
3

Asas manfaat

Peter Colin, Business English Dictionary, (London: Linguaphone Institute Limited), hal.61
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Erman Rajagukguk, Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen dalam Era Perdagangan Bebas, dalam Husni
Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Pentunting), Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, (Bandung,2000),
h.2

Dalam upaya penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.

b.
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c.
Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. 4 Asas
ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen), dan pemerintah
memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum
perlindungan konsumen.
d.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya
jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang
dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam
ketenteraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.

e.
Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
menjamin kepastian hukum. Artinya, dengan dibentuknya undang-undang ini
mengharapkan aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di
dalam undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan.5
Dengan adanya asas-asas yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tersebut, secara umum bisa ditarik suatu pemahaman bahwa konsumen dan
pelaku usaha mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Dalam pemenuhan hak
dan kewajiban tersebut oleh konsumen maupun pelaku usaha, diharapkan kedua belah
pihak dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen ini mematuhi asas-asas tersebut
sehingga bermanfaat bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
Dalam UUPK juga diatur mengenai hak-hak konsumen. Dalam pengertian hukum,
umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh
hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi.
Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh
hukum dalam melaksanakannya.6
Dalam pasal 4 UPPK disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat

jaminan dan perlindungan dari hukum, yaitu :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa;
4

Asas keseimbangan ini juga dianut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tetntang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, lihat Pasal 2:
....keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum
5
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,2006, h.31
6
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: suatu pengantar, Liberty,Yogyakarta,1986 hal.40.

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Konsep Halal
Di antara hal yang harus diwaspadai oleh kaum muslimin sekarang adalah apa
yang disebut dengan “Terorisme Pangan” (Food Terorism). Sebuah istilah yang
mengungkapkan sebuah upaya nyata yang dilakukan oleh musuh-musuh islam untuk
merusak dan menyakiti kaum muslimin. Upaya tersebut berupa produksi bahan-bahan
oangan yang dibuat dengan bahan baku yang membahayakan tubuh dan akal pikiran.
Bahan-bahan makanan ini kemudian diekspor ke negara-negara Islam untuk dikonsumsi
oleh kaum muslimin. Sehingga ketika secara luasnterus menerus mereka memakannya,
maka lambat laun bahayanya akan menyerang kondisi tubuh dan akal mereka.7
Dalil kehalalan dalam al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :
Firman Allah Swt dalam Surah al-A’raf:157 : “ (Yaitu) orang-orang yang mengikut
Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka didapati tertulis di dalam Taurat dan
Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma”ruf dan
melarang mereka yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segla yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka bebanbeban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka, maka orang-orang yang beriman
kepadanya. Memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang dan
diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Selain ayat di atas, terdapat pula firman Allah Swt tentang dalil kehalalan, yaitu : “ Pada
hari itu dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan amkanan kamu yang halal (pula) bagi mereka.
(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orangorang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mahar mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan
gundik-gundik. Siapa yang kafir seudah beriman (tidak menerima hukum-hukum islam)
maka amalannya hancur dan ia di hari kiamat termasuk prang-orang rugi.”
7

Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika menurut AlQur’an dan Hadis, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2013) hal. xxi

Mengingat bahwa bahaya-bahaya makanan non halal yang dikonsumsi oleh
konsumen muslim dalam korelasinya dengan ibadah dan amalan kaum muslimin supaya
diterima oleh Allah Swt, maka setiap konsumen muslim wajib dan berhak mengetahui
produk-produk yang diharamkan dalam makanan. Pengetahuan akan hal tersebut harus
disertai dengan kriteria-kriteria dan ketentuan-ketentuan yang ada, sehingga setiap
konsumen muslim terhindar dari produk-produk yang diharamkan.
Makanan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan
lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan
dan minuman.8
Kata halal berasal dari bahasa Arab yang berarti “melepaskan” dan “tidak
terikat”, secara etimologi halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena
bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. 9 Atau diartikan
sebagai sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya dunia dan ukhrawi. Sedangkan
thayyib berarti makanan yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya, atau tercampur
benda najis dengan pengertian baik. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang
mengundang selera konsumennya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya, yang
secara luas dapat diartikan dengan makanan yang menyehatkan. 10
Pengaturan penggunaan produk halal di Indonesia, memiliki dua hal yang saling
terkait, yaitu sertifikasi halal dan labelisasi halal. Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis
MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syariat islam melalui pemeriksaan
yang terperinci oleh LPPOM MUI. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk
mendapatkan izin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah
yang berwenang (Badan POM). 11
Adapun lebelisasi halal adalah perizinan pemasangan kata “HALAL” pada
kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman label halal
pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan
rekomendasi MUI dalam bentuk sertifikat halal MUI. Sertifikat halal MUI dikeluarkan
oleh MUI berdasarkan hasil pemeriksaan LP POM MUI. 12
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah
memberikan perlindungan bagi umat Muslim. Dalam Pasal 8 Ayat (1) diatur bahwa:
pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label.
Selanjutnya dalam Pasal 10 PP 69/1999 mengenai kewajiban produsen produk
pangan untuk mencantumkan label halal pada makanan yang dikemas yaitu : setiap
orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi
umat muslim, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib
mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label. Penjelasan dari Pasal 10 PP
Nomor 69/1999 :
8

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
Lois Ma’luf, Al-Munjid, (Beirut-Lebanon: Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1986), h.146
10
Aisjah Girindra, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, (Jakarta: LP POM MUI,2005), h.20.
11
Ibid., h. 69.
12
Ibid.
9

Pencantuman keterangan halal atau tulisan “halal” pada label pangan merupakan
kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.
Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin harus digunakan
bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin. Keterangan
tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan
untuk melindungi masyarakat yang beragama Islam agar terhindar dari mengkonsumsi
pangan yang tidak halal (haram). Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan
tidak hanya dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu
yang digunakan dalam memproduksi pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam
proses produksinya.

Prosedur dan Pengawasan Penggunaan Sertifikat Halal
Setiap produsen yang berkeinginan mecantumkan label halal pada produknya,
harus mengisi formulir melalui Departemen Kesehatan. Hal ini terkait dengan Piagam
Kerja Sama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia
Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan yang
menyebutkan bahwa pelaksanaan pencantuman label halal lebih lanjut diatur oleh
Departemen Kesehatan yang didasarkan atas hasil pembahasan bersama antara Departemen
Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia.
MUI dalam melaksanakan tugasnya membentuk Lembaga Pengkajian
Pangan,Obat, dan Kosmetika (LP POM). Lembaga ini tidak ada hubungannya dengan
pemerintah dan merupakan badan otonomi ( autonomy body) dibawah MUI. Kendati
begitu, Menteri Agama Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dan
Ketua Majelis Ulama Indonesia, masuk dalam jajaran Dewan Penasehat Lembaga. Tugas
LP POM adalah hanya melakukan pengkajian secara ilmiah terhadap bahan-bahan pangan,
dan tidak berwenang dalam mengeluarkan fatwa.
Berdasarkan Piagam Kerja Sama Departemen Kesehatan, Departemen Agama,
dan Majelis Ulama Indonesia tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada
Makanan, disepakati bahwa produk makanan dan minuman yang beredar dapat dinyatakan
halal atas dasar Fatwa dari MUI, setelah melalui serangkaian pemeriksaan (audit) di lokasi
produsen dan pengujian laboratorium dengan secara seksama. 13 Berdasarkan Piagam Kerja
Sama tersebut MUI memiliki kewenangan secara yuridis untuk menerbitkan Fatwa MUI
tentang kehalalan suatu produk makanan atau disebut dengan Sertifikat Halal MUI.
Terkait dengan keselamatan konsumen muslim baik secara akidah, rohaniah
maupun jasmaniah, dalam mengonsumsi produk makanan sangat bergantung pada
informasi produk makanan tersebut. Maka informasi yang menyesatkan konsumen muslim
tentang kehalalan produk makanan akan merusak keselamatan akidah, rohaniah, dan
jasmaniah konsumen muslim tersebut. Hal ini pulalah yang mengharuskan produk
makanan memiliki label, untuk mementukan apakah produk tersebut halal atau haram
untuk dikonsumsi umat islam. Karena sesungguhnya antara halal dan haram harus jelas,

13

Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Halal dan Iklan.

maka produk makanan juga harus memiliki kepastian hukum apakah produk makanan
tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi umat islam.
Adapun alur sertifikasi halal MUI adalah sebagai berikut :

14

Setiap produsen mendaftarkan seluruh produknya yang yang diproduksi dalam satu lokasi
dan mendaftarkan seluruh pabrik pada lokasi yang berbeda yang menghasilkan produk
dengan merek yang sama.15 Tim Auditor LP POM MUI akan melakukan pemeriksaan/ audit
ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampirannya dipeiksa oleh LP POM MUI. Hasil
pemeriksaan/audit dan hasil laboratprium dievaluasi dalam Rapat Auditor LP POM MUI.
Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat hasil audit untuk diajukan kepada Sidang
Komisi Fatwa MUI untuk diputus kehalalannya. 16
Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap
belum memenuhi persyaratan yang ditentukan. Sertifikat halal dikeluarkan oleh Majelis
Ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI. Sertifikat
halal berlaku selama dua tahun sejak diterbitkan dan harus mengikuti prosedur perpanjangan
sertifikat halal untuk mendapatkan sertifikat halal yang baru. 17Sertifikasi halal yang
diterbitkan oleh MUI berdasarkan Sidang Komisi Fatwa telah mendapatkan legitimasi yang
kuat, menjadi landasan dan pijakan kewenangan Departemen Kesehatan cq. Direktorat
Jenderak POM untuk menerbitkan izin pencantuman label halal pada kemasan suatu produk
makanan.18 Terkait dengan perpanjangan sertifikat halal, produsen harus memulainya dari
awal dengan mengisi formulir pendaftaran yang disediakan LP POM MUI. Pengisian
formulir disesuaikan dengan perkembangan terakhir produk, perubahan bahan baku, bahan
tambahan dan penolong, serta jenis pengelompokan produk harus diinformasikan kepada LP
POM MUI. Prosedur pemeriksaan sertifikat halal akan dilakukan seperti pendafaran produk
baru.19
Dalam melaksanakan tugasnya, seperti yang telah disebutkan di atas, LP POM
tidak berhak menetapkan halal untuk produk-produk yang dikajinya, karena penetapan halal
tersebut adalah wewenang penuh dari Komisi Fatwa MUI. Para ahli teknologi pangan
melakukan pengkajian terhadap produk-produk pangan. Sedangkan yang berhak menetapkan
kehalalan atas produk tersebut hanya para ulama saja. Para ahli teknologi pangan adalah para
pakar dalam bidang pangan, sedangkan para ulama adalah para pakar dalam bidang halalharam.
Pemerintah Indonesia sendiri tidak mempunyai standar khusus mengenai halal-haramnya
suatu produk. Hal ini sangat berbeda dengan negara lain yang telah mempunyai standar halal.
Sebagai contoh, Lembaga Sertifikasi Halal di Malaysia merupakan badan pemerintah yang
resmi. Lembaga yang disebut JAKIM ini melaksanakan dan mengaplikasikan Malaysian
standard yang dibuat oleh pemerintah Malaysia. Berbeda halnya dengan di Indonesia.
Lembaga Sertifikasi Halal di Indonesia merupakan organisasi non pemerintah (NonGovernmental Organization atau NGO).
Memang benar, sebagaimana telah disebutkan di depan ketika membahas tentang
Lembaga Sertifikasi Halal di Indonesia, Pemerintah Indonesia mensyaratkan daging yang
diimpor dari luar negeri harus halal dan disembelih berdasarkan syarat Islam, karena
14
15
16
17
18
19

http://www.ukmkecil.com/sertifikat-halal/alur-prosedur-sertifikasi-halal-mui diakses pada 17 Mei 2014
Aisjah Girindra, Op. cit., h.125
Aisjah Girindra, Op. cit., h.126
Ibid.
Ibid., h. 70
Ibid., h. 129-130

mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Meskipun demikian, dalam hal standar
syariah tentang daging impor tersebut, pemerintah menyerahkan mekanismenya kepada
Majelis Ulama Indonesia (MUI). 20
Dalam pengawasan sertifikat halal LP POM MUI hanya mensyaratkan perusahaan wajib
menandatangani perjanjian untuk menerima Tim Inspeksi Mendadak LP POM MUI sewaktuwaktu dan perusahaan berkewajiban menyerahkan laporan audit internal setiap enam bulan
setelah terbitnya sertifikat halal. Padahal banyak produk yang beredar di tengah-tengah
masyarakat dengan menggunakan label halal namun tidak memiliki sertifikat halal.
Bukankah hal tersebut juga harus ditekan dan diawasi perkembangannya, karena penggunaan
label halal secara illegal merupakan tindak pidana.21
Hal lain yang perlu menjadi sorotan yaitu pengawasan terhadap restoran-restoran yang
beroperasi setiap hari. Meski diantara mereka sudah mengantongi sertifikat halal MUI, tetapi
apakah masyarakat, pemerintah dan lembaga yang berhak melakukan pengawasan bisa
menjamin bahwa makanan yang dimasak aman untuk dikonsumsi, dalam hal ini kehalalan
tersebut bisa jadi mengalami perubahan karena telah dicampuri oleh bahan makanan
tambahan non halal.
Pemerintah melalui menteri atau menteri teknis sesuai dengan ketentuan Pasal 30
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam melaksanakan pengawasan melibatkan
peran masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Tetapi dalam
substansi pasal ini pemerintah menitikberatkan peran pengawasan kepada masyarakat dan
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dibanding dengan peran pemerintah
sendiri. Terkait dengan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga tersebut di
atas atas barang dan/jasa yang beredar di pasar, dilakukan dengan cara penelitian, pengujian
dan/survey. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang resiko penggunaan
barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik bidang
usaha.22 Namun pada prakteknya upaya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut
tidak mudah untuk dilakukan karena kondisi masyarakat yang cenderung apatis dengan
permasalahan yang sedang berkembang, yang hanya melaporkan kepada pihak yang
berwenang tanpa melakukan upaya lebih lanjut.

KESIMPULAN
Pemerintah negara kita sampai saat ini belum menetapkan standar halal atau Standar
Syariah Indonesia. Pemerintah menunjuk LP POM untuk melakukan penelitian dan pengkajian
terhadap produk makanan. Lembaga di bawah naungan MUI ini hanya mengkaji hasil penelitian
yang selanjutnya MUI lah yang berhak mengeluarkan fatwa melalui sidang Komisi Fatwa MUI.
Anggota Komisi Fatwa MUI yang sejumlah 44 orang, ketika menetapkan dan mengeluarkan
fatwa halal tidak menggunakan standar syariah terhadap produk-produk pangan dan sembelihan
20

21
22

Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, Kriteria Halal Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika menurut AlQur’an dan Hadis, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2013) hal.43
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Penjelasan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

tersebut. Karena tidak adanya standar, mereka hanya berijtihad dari teks-teks agama. Di luar
konteks sertifikasi halal, produsen dalam hal untuk mendapatkan pengakuan bahwa produk
makanan halal untuk dikonsumsi, harus melewati tahap pelabelan. Karena yang berwenang
untuk melakukan sertifikasi halal dan label halal adalah dua institusi yang berbeda, maka
pelaksanaan dua proses tersebut terkesan rumit. Pemerintah Indonesia seharusnya segera
menetapkan institusi yang berwenang dalam melakukan sertifikasi halal dan label halal agar
tidak menyulitkan para pelaku bisnis. Mengingat kompleksitas yang timbul, masyarakat berharap
segera disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal menjadi UndangUndang. Hal ini diharapkan menjawab problema-problema yang ada pada negara kita.
Untuk memelihara kepentingan konsumen muslim dunia dan memperkenalkan kepada
non-muslim tentang urgensi kehalalan dalam masalah pangan, Lembaga-lembaga Sertifikasi
Halal di berbagai negara telah menetapkan produk-produk halal bagi kaum muslimin. Untuk
melakukan tugas tersebut, pengelola lembaga-lembaga telah membuat standar syariah yang
dipakai. Seperti di negara-negara Eropa, Amerika, Asia dan dan juga di Afrika mempunyai
standar halal yang berbeda. Maka perlulah dibuat standar halal yang bersifat internasional atau
halal yang mendunia untuk masalah ini.

DAFTAR BACAAN
Al-Munjid, M , (Beirut-Lebanon: Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1986)
Colin, P, Business English Dictionary, (London: Linguaphone Institute Limited)
Girindra, A, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, (Jakarta: LP POM MUI,2005)
Mertokusumo, S, Mengenal Hukum: suatu pengantar, (Liberty,Yogyakarta,198).
Rajagukguk, E, Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen dalam Era Perdagangan Bebas,
dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Pentunting), Hukum Perlindungan Konsumen,
Mandar Maju, (Bandung,2000)
Sidabalok, J, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Citra Aditya Bakti, Bandung,2006)
Yaqub Mustafa, A,, Kriteria Halal Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika menurut Al
Qur’an dan Hadis, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2013)

UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label Halal dan Iklan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan