Pengantar Pelatihan Transparansi Dana BO
Pengantar Pelatihan Transparansi Dana BOS untuk Wali Murid
(Wira Garden, 11 – 16 November 2013)
PENDIDIKAN DASAR GRATIS, WAJIB HUKUMNYA!
Oleh: Muhammad Yunus
“Pendidikan bermutu itu mahal”, demikian saya dengar kalimat yang terlontar dari
seorang kepala sekolah SMPN rintisan internasional (RSBI) dalam suatu pertemuan.
Menurutnya, pembiayaan terhadap RSBI/SBI tentulah berbeda dengan sekolah regular
pada umumnya, hal ini dikarenakan banyaknya pembiyaan yang mesti dikeluarkan
sekolah untuk mendukung fasilitas bagi proses pembelajaran, semisal: pengadaan air
conditioner ruang kelas, LCD Projector, serta berbagai media pembelajaran dan alat
peraga penunjang proses pembelajaran. “karena anggaran pemerintah tidak mencukupi,
maka kekurangannya diambil dari sumbangan orang tua siswa”, lanjutnya. Namun
pertanyaanya, benarkah pendidikan bermutu itu mahal? Apakah untuk mendapatkan
pendidikan bermutu mesti juga didukung oleh fasilitas ”kelas satu”?, lalu apa ukuran
sebuah sekolah dapat berpredikat sebagai sekolah bermutu?, benarkah anggaran
pemerintah tidak mampu untuk menunjang adanya sebuah pendidikan bermutu?.
Berbagai pertanyaan di atas masih sangat relevan mengingat masih maraknya pungutan
di sekolah tingkat dasar, terutama pada level SMP; baik yang reguler maupun yang
bertaraf internasional (yang pada akhirnya dibubarkan dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi). Pada level SMP Negeri yang ada di Kota Bandarlampung,
adanya program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ternyata tidak berbanding lurus
dengan berkurangnya pungutan di sekolah, bahkan yang menjadi ironi adalah:
meningkatnya besaran dana BOS di sekolah justru berbanding lurus dengan
meningkatnya pungutan sekolah terhadap orang tua siswa. Ironi ini bertambah parah
karena pengelolaan dana oleh sekolah cenderung dikelola secara tidak transparan dan
akuntabel serta jauh dari efisiensi.
Bagaimana sekolah menentukan pembiayaan pendidikan
Berdasar hasil riset yang dilakukan oleh Komite Anti Korupsi (KoAK) Lampung
terhadap beberapa sekolah yang ada di Kota Bandarlampung, ditemukan informasi
bahwa sebagian besar sekolah menetapkan pembiayaan pendidikan tanpa adanya sebuah
rencana yang matang. Pembiyaan lebih banyak bersifat insidentil, sehingga kurang
dapat diukur dampak keberhasilannya. Sebagian besar sekolah tingkat dasar di Kota
Bandarlampung tidak memiliki Rencana Jangka Menengah (RJM), seandaipun ada;
proses pembuatannya tidak melibatkan stakeholder sekolah dan pada tataran
implementasi tidak menjadi acuan sekolah dalam menentukan pembiayaan proses
pembelajaran. Padahal, tanpa adanya rencana yang tersusun secara sistematis maka
pembiayaannya pun akan bersifat serampangan dan tanpa tujuan. Hal ini tentu bertolak
belakang dengan konsep biaya pendidikan yang pada hakikatnya adalah untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan.
Adannya Rencana yang matang dalam menentukan besaran pembiayaan memiliki
korelasi yang signifikan terhadap setiap keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah,
karena setiap keputusan yang diambil akan mempengaruhi bagaimana sumber daya
diperoleh dan dialokasikan. Oleh karena itu, dalam menyusun rencana pembiayaan,
perlu dilihat siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat
disediakan, bagaimana mereka akan dididik, serta siapa yang akan membayar biaya
pendidikan. Tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan juga menjadi
salah satu rujukan utama bagi sekolah dalam menyusun pembiayaan pendidikan.
Selanjunya, menurut Nanang Fattah dalam Jurnal Pendidikan Dasar Nomor 9 – April
2008, diperlukan semacam metode untuk mengukur efektifitas biaya yang dihubungkan
antara input (gaji guru, pengeluaran untuk pembelian buku, material dan peralatan,
penggunaan media pembelajaran, dsb) dengan output, yaitu pencapaian objektif seperti
jumlah lulusan, hasil ujian, atau pendapatan masa depan yang diharapkan, dsb.
Pengukuran ini dapat digunakan dalam mengevaluasi pendidikan sebagai suatu
investasi, baik sebagai individu maupun untuk masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, biaya
penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan meliputi: (a). Biaya Investasi yang
berupa investasi lahan (bagi bangunan sekolah, dlsb) dan investasi selain lahan, dan (b).
Biaya Operasi yang berupa biaya personalia (gaji pendidik dan tenaga kependidikan
serta tunjangannya) dan biaya non personalia. Untuk konteks sekolah negeri tingkat
dasar, pada dasarnya seluruh komponen biaya tersebut sudah ditanggung oleh
pemerintah, termasuk untuk biaya operasi non personalia yang berwujud Dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), sehingga menjadi tidak wajar apabila sekolah masih
memungut dana dari orang tua siswa/wali murid.
Penjaminan Wajib Belajar
Sejak tahun 2008, pemerintah telah mencanangkan program Wajib Belajar (wajar) 9
tahun. Sebagai konsekuensi program ini, maka pemerintah wajib untuk menanggung
segala biaya (investasi dan operasi) di setiap penyelenggaraan pendidikan pada tingkat
dasar (setingkat SD dan SMP). Dalam Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2008
Tentang Wajib Belajar diatur perihal penjaminan wajib belajar, Pasal 9 menyatakan:
1. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
2. Warga negara Indonesia yang berusia di atas 15 (lima belas) tahun dan belum lulus
pendidikan dasar dapat menyelesaikan pendidikannya sampai lulus atas biaya
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
3. Warga negara Indonesia usia wajib belajar yang orang tua/walinya tidak mampu
membiayai pendidikan, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan
bantuan biaya pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan.
Aturan di atas merupakan turunan dari UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang pada Pasal 34 dinyatakan: ”Pemerintah dan pemerintah
daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memungut biaya”. Amanat dari peraturan ini sangatlah jelas, yaitu: untuk
mendukung terwujudnya program wajib belajar, maka pendidikan dasar haruslah
gratis. Itu artinya segala bentuk pungutan yang terjadi pada sekolah tingkat dasar tidak
memiliki landasan yuridisnya, dan tentunya merupakan tindakan melawan hukum. Hal
yang sama apabila pemerintah tidak menanggung segala biaya penyelenggaraan
pendidikan dasar. Dari fakta yuridis ini, maka dimanakah letak relevansinya pungutan
yang masih terus terjadi pada pendidikan dasar?, khususnya di Kota Bandarlampung.
Peran Wali Murid
Sudah lebih dari lima tahun bergulirnya Dana BOS, namun masih banyak orang tua/wali
murid yang belum mengetahui untuk apa saja penggunaannya. Hal ini terjadi karena
memang selama ini orang tua/wali murid kurang mendapatkan informasi yang memadai
perihal Dana BOS dan peruntukannya. Padahal, menurut petunjuk teknis yang ada,
sekolah penerima BOS wajib menyampaikan besaran dan penggunaan dana BOS
kepada orang tua/wali murid. Namun pada prakteknya, berdasar hasil survey KoAK
Lampung terhadap para wali murid, tidak satu pun dari mereka yang diinformasikan
oleh pihak sekolah perihal besaran dana BOS dan penggunaannya. Ini menunjukkan
bahwa hampir semua sekolah penerima BOS di Kota Bandarlampung mengelolanya
secara tidak transparan. Yang lebih miris, ternyata banyak pula dewan guru yang tidak
mengetahui perihal peruntukan dana BOS yang diterima oleh sekolahnya.
Minimnya keterlibatan wali murid dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan
dana pendidikan di sekolah pada dasarnya disebabkan oleh minimnya pengetahuan
mereka terhadap besaran dana yang dikelola oleh sekolah. Komite sekolah yang
mestinya mengemban tanggung jawab untuk mengawasi pengelolaan dana di sekolah,
kurang memiliki peranan yang cukup signifikan. Bahkan, dalam banyak kasus, komite
sekolah justru menjadi sekutu pihak sekolah (kepala sekolah) dalam hal menjadi alat
legitimasi untuk melakukan pungutan kepada wali murid. Komite sekolah yang
seharusnya menjadi wadah bagi para wali murid untuk menyampaikan segala bentuk
keluhan dan aspirasi, justru seakan telah mengambil posisi yang berseberangan dengan
kepentingan para wali murid. Oleh karenanya, adalah wajar apabila banyak pihak
menghendaki agar komite sekolah dibubarkan saja.
Pihak sekolah –termasuk komite sekolah- mestinya memandang wali murid sebagai
intrumen yang paling strategis dalam proses memajukan sistem persekolahan, bukan
hanya sebagai sumber daya bagi pembiayaan pendidikan. Apabila peran wali murid
hanya sebatas sebagai ”ladang” bagi sekolah untuk mendapatkan sumber pembiayaan
pendidikan, maka hal tersebut amatlah jauh dari cita-cita pendidikan nasional yang
termaktub dalam konstitusi, yaitu: mencerdaskan kehidupan bangsa. Prilaku pihak
sekolah yang mengelola dana pendidikan secara serampangan, tidak transparan dan
akuntabel, merupakan bentuk penghianatan terhadap landasan bagi berdirinya negeri
yang kita cintai ini. Hal yang sama apabila para stakeholder pendidikan, termasuk wali
murid, bersikap pasif terhadap bobroknya pengelolaan sistem pendidikan yang ada.
Untuk itu, sudah saatnya para wali murid mengambil peran dan bertindak secara aktif
untuk terlibat secara langsung dalam proses pengelolaan sistem persekolahan, baik pada
lingkup perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasannya; karena pendidikan dasar
gratis, wajib hukumnya!.
(Wira Garden, 11 – 16 November 2013)
PENDIDIKAN DASAR GRATIS, WAJIB HUKUMNYA!
Oleh: Muhammad Yunus
“Pendidikan bermutu itu mahal”, demikian saya dengar kalimat yang terlontar dari
seorang kepala sekolah SMPN rintisan internasional (RSBI) dalam suatu pertemuan.
Menurutnya, pembiayaan terhadap RSBI/SBI tentulah berbeda dengan sekolah regular
pada umumnya, hal ini dikarenakan banyaknya pembiyaan yang mesti dikeluarkan
sekolah untuk mendukung fasilitas bagi proses pembelajaran, semisal: pengadaan air
conditioner ruang kelas, LCD Projector, serta berbagai media pembelajaran dan alat
peraga penunjang proses pembelajaran. “karena anggaran pemerintah tidak mencukupi,
maka kekurangannya diambil dari sumbangan orang tua siswa”, lanjutnya. Namun
pertanyaanya, benarkah pendidikan bermutu itu mahal? Apakah untuk mendapatkan
pendidikan bermutu mesti juga didukung oleh fasilitas ”kelas satu”?, lalu apa ukuran
sebuah sekolah dapat berpredikat sebagai sekolah bermutu?, benarkah anggaran
pemerintah tidak mampu untuk menunjang adanya sebuah pendidikan bermutu?.
Berbagai pertanyaan di atas masih sangat relevan mengingat masih maraknya pungutan
di sekolah tingkat dasar, terutama pada level SMP; baik yang reguler maupun yang
bertaraf internasional (yang pada akhirnya dibubarkan dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi). Pada level SMP Negeri yang ada di Kota Bandarlampung,
adanya program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ternyata tidak berbanding lurus
dengan berkurangnya pungutan di sekolah, bahkan yang menjadi ironi adalah:
meningkatnya besaran dana BOS di sekolah justru berbanding lurus dengan
meningkatnya pungutan sekolah terhadap orang tua siswa. Ironi ini bertambah parah
karena pengelolaan dana oleh sekolah cenderung dikelola secara tidak transparan dan
akuntabel serta jauh dari efisiensi.
Bagaimana sekolah menentukan pembiayaan pendidikan
Berdasar hasil riset yang dilakukan oleh Komite Anti Korupsi (KoAK) Lampung
terhadap beberapa sekolah yang ada di Kota Bandarlampung, ditemukan informasi
bahwa sebagian besar sekolah menetapkan pembiayaan pendidikan tanpa adanya sebuah
rencana yang matang. Pembiyaan lebih banyak bersifat insidentil, sehingga kurang
dapat diukur dampak keberhasilannya. Sebagian besar sekolah tingkat dasar di Kota
Bandarlampung tidak memiliki Rencana Jangka Menengah (RJM), seandaipun ada;
proses pembuatannya tidak melibatkan stakeholder sekolah dan pada tataran
implementasi tidak menjadi acuan sekolah dalam menentukan pembiayaan proses
pembelajaran. Padahal, tanpa adanya rencana yang tersusun secara sistematis maka
pembiayaannya pun akan bersifat serampangan dan tanpa tujuan. Hal ini tentu bertolak
belakang dengan konsep biaya pendidikan yang pada hakikatnya adalah untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan.
Adannya Rencana yang matang dalam menentukan besaran pembiayaan memiliki
korelasi yang signifikan terhadap setiap keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah,
karena setiap keputusan yang diambil akan mempengaruhi bagaimana sumber daya
diperoleh dan dialokasikan. Oleh karena itu, dalam menyusun rencana pembiayaan,
perlu dilihat siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat
disediakan, bagaimana mereka akan dididik, serta siapa yang akan membayar biaya
pendidikan. Tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan juga menjadi
salah satu rujukan utama bagi sekolah dalam menyusun pembiayaan pendidikan.
Selanjunya, menurut Nanang Fattah dalam Jurnal Pendidikan Dasar Nomor 9 – April
2008, diperlukan semacam metode untuk mengukur efektifitas biaya yang dihubungkan
antara input (gaji guru, pengeluaran untuk pembelian buku, material dan peralatan,
penggunaan media pembelajaran, dsb) dengan output, yaitu pencapaian objektif seperti
jumlah lulusan, hasil ujian, atau pendapatan masa depan yang diharapkan, dsb.
Pengukuran ini dapat digunakan dalam mengevaluasi pendidikan sebagai suatu
investasi, baik sebagai individu maupun untuk masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, biaya
penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan meliputi: (a). Biaya Investasi yang
berupa investasi lahan (bagi bangunan sekolah, dlsb) dan investasi selain lahan, dan (b).
Biaya Operasi yang berupa biaya personalia (gaji pendidik dan tenaga kependidikan
serta tunjangannya) dan biaya non personalia. Untuk konteks sekolah negeri tingkat
dasar, pada dasarnya seluruh komponen biaya tersebut sudah ditanggung oleh
pemerintah, termasuk untuk biaya operasi non personalia yang berwujud Dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), sehingga menjadi tidak wajar apabila sekolah masih
memungut dana dari orang tua siswa/wali murid.
Penjaminan Wajib Belajar
Sejak tahun 2008, pemerintah telah mencanangkan program Wajib Belajar (wajar) 9
tahun. Sebagai konsekuensi program ini, maka pemerintah wajib untuk menanggung
segala biaya (investasi dan operasi) di setiap penyelenggaraan pendidikan pada tingkat
dasar (setingkat SD dan SMP). Dalam Peraturan Pemerintah No.47 Tahun 2008
Tentang Wajib Belajar diatur perihal penjaminan wajib belajar, Pasal 9 menyatakan:
1. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
2. Warga negara Indonesia yang berusia di atas 15 (lima belas) tahun dan belum lulus
pendidikan dasar dapat menyelesaikan pendidikannya sampai lulus atas biaya
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
3. Warga negara Indonesia usia wajib belajar yang orang tua/walinya tidak mampu
membiayai pendidikan, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan
bantuan biaya pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan.
Aturan di atas merupakan turunan dari UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang pada Pasal 34 dinyatakan: ”Pemerintah dan pemerintah
daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memungut biaya”. Amanat dari peraturan ini sangatlah jelas, yaitu: untuk
mendukung terwujudnya program wajib belajar, maka pendidikan dasar haruslah
gratis. Itu artinya segala bentuk pungutan yang terjadi pada sekolah tingkat dasar tidak
memiliki landasan yuridisnya, dan tentunya merupakan tindakan melawan hukum. Hal
yang sama apabila pemerintah tidak menanggung segala biaya penyelenggaraan
pendidikan dasar. Dari fakta yuridis ini, maka dimanakah letak relevansinya pungutan
yang masih terus terjadi pada pendidikan dasar?, khususnya di Kota Bandarlampung.
Peran Wali Murid
Sudah lebih dari lima tahun bergulirnya Dana BOS, namun masih banyak orang tua/wali
murid yang belum mengetahui untuk apa saja penggunaannya. Hal ini terjadi karena
memang selama ini orang tua/wali murid kurang mendapatkan informasi yang memadai
perihal Dana BOS dan peruntukannya. Padahal, menurut petunjuk teknis yang ada,
sekolah penerima BOS wajib menyampaikan besaran dan penggunaan dana BOS
kepada orang tua/wali murid. Namun pada prakteknya, berdasar hasil survey KoAK
Lampung terhadap para wali murid, tidak satu pun dari mereka yang diinformasikan
oleh pihak sekolah perihal besaran dana BOS dan penggunaannya. Ini menunjukkan
bahwa hampir semua sekolah penerima BOS di Kota Bandarlampung mengelolanya
secara tidak transparan. Yang lebih miris, ternyata banyak pula dewan guru yang tidak
mengetahui perihal peruntukan dana BOS yang diterima oleh sekolahnya.
Minimnya keterlibatan wali murid dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan
dana pendidikan di sekolah pada dasarnya disebabkan oleh minimnya pengetahuan
mereka terhadap besaran dana yang dikelola oleh sekolah. Komite sekolah yang
mestinya mengemban tanggung jawab untuk mengawasi pengelolaan dana di sekolah,
kurang memiliki peranan yang cukup signifikan. Bahkan, dalam banyak kasus, komite
sekolah justru menjadi sekutu pihak sekolah (kepala sekolah) dalam hal menjadi alat
legitimasi untuk melakukan pungutan kepada wali murid. Komite sekolah yang
seharusnya menjadi wadah bagi para wali murid untuk menyampaikan segala bentuk
keluhan dan aspirasi, justru seakan telah mengambil posisi yang berseberangan dengan
kepentingan para wali murid. Oleh karenanya, adalah wajar apabila banyak pihak
menghendaki agar komite sekolah dibubarkan saja.
Pihak sekolah –termasuk komite sekolah- mestinya memandang wali murid sebagai
intrumen yang paling strategis dalam proses memajukan sistem persekolahan, bukan
hanya sebagai sumber daya bagi pembiayaan pendidikan. Apabila peran wali murid
hanya sebatas sebagai ”ladang” bagi sekolah untuk mendapatkan sumber pembiayaan
pendidikan, maka hal tersebut amatlah jauh dari cita-cita pendidikan nasional yang
termaktub dalam konstitusi, yaitu: mencerdaskan kehidupan bangsa. Prilaku pihak
sekolah yang mengelola dana pendidikan secara serampangan, tidak transparan dan
akuntabel, merupakan bentuk penghianatan terhadap landasan bagi berdirinya negeri
yang kita cintai ini. Hal yang sama apabila para stakeholder pendidikan, termasuk wali
murid, bersikap pasif terhadap bobroknya pengelolaan sistem pendidikan yang ada.
Untuk itu, sudah saatnya para wali murid mengambil peran dan bertindak secara aktif
untuk terlibat secara langsung dalam proses pengelolaan sistem persekolahan, baik pada
lingkup perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasannya; karena pendidikan dasar
gratis, wajib hukumnya!.