2.1. Kebijakan Publik - Analisis Implementasi dan Evaluasi Efektifitas Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) terhadap Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kota Sibolga Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas mengenai teori-teori dan konsep yang akan

  menjadi dasar dari penelitian ini, yaitu yang berkaitan dengan kebijakan publik, kebijakan kesehatan, implementasi kebijakan, model implementasi George Edwards III, evaluasi kebijakan, efektifitas program, Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan.

2.1. Kebijakan Publik

  Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) yang dikutip Winarno (2012) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (whatever government choose to do or not to do). Defenisi ini menunjukkan bahwa kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah dan kebijakan publik juga menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Segala keputusan yang diambil pemerintah adalah kebijakan, namun tidak mengambil keputusan pun adalah suatu kebijakan.

  Sebelumnya, Rose (1969) yang dikutip oleh Winarno (2012) mendefenisikan kebijakan publik sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan .

  Selanjutnya, menurut James Anderson (1979) yang dikutip oleh Subarsono (2009), kebijakan publik adalah serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud

  11     yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.

  Defenisi lain diungkapkan Nugroho (2008) yang dikutip oleh Hidayah (2011), mengatakan bahwa kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan untuk mengantar masyarakat menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.

  Sementara menurut William Dunn (1995) kebijakan publik adalah pedoman yang berisi nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai kewenangan untuk mendukung tindakan-tindakan pemerintah dalam wilayah yurisdiksinya.

  Kebijakan publik muncul dari adanya permasalahan publik dan kebijakan yang dihasilkan merupakan upaya penyelesaian masalah tersebut. Namun tidak semua permasalahan menjadi permasalahan publik yang dianggap membutuhkan suatu kebijakan. Lahirnya suatu kebijakan akan melalui suatu proses yang disebut siklus kebijakan publik.

  William Dunn membagi siklus pembuatan kebijakan dalam 5 tahap yaitu : (1) Penyusunan agenda (agenda setting) yaitu agar suatu proses masalah bisa mendapatkan perhatian dari pemerintah; (2) Formulasi Kebijakan (Policy

  Formulation ), merupakan proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh

  pemerintah; (3) Pembuatan kebijakan (decision making) merupakan proses ketika pemerintah membuat pilihan untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan; (4) Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil; (5) Evaluasi kebijakan yaitu proses untuk menilai hasil atau kinerja kebijakan yang telah dibuat.

  James Anderson (1979) yang dikutip Subarsono (2009), juga menetapkan bahwa proses kebijakan publik dibagi atas 5 tahapan yaitu: 1) Formulasi masalah (problem formulation) , 2) Formulasi kebijakan (formulation), 3) Penentuan kebijakan (adoption), 4) Implementasi (implementation) dan 5) Evaluasi (evaluation).

  Dari berbagai pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu kebijakan dihasilkan melalui suatu proses yang kompleks dan saling berkaitan serta saling memengaruhi.

2.2. Kebijakan Kesehatan

2.2.1. Pengertian Kebijakan Kesehatan

  Ilmu kebijakan adalah ilmu yang mengembangkan kajian tentang hubungan antara pemerintah dan swasta, distribusi, kewenangan dan tanggung jawab antar berbagai level pemerintah, hubungan antara penyusunan kebijakan dan pelaksanaannya ( Buse, 2009).

  Ada banyak pendapat mengenai defenisi kebijakan kesehatan, misalnya di bidang ekonomi mengartikan bahwa kebijakan kesehatan adalah segala sesuatu tentang pengalokasian sumberdaya yang langka bagi kesehatan. Sementara kebijakan kesehatan menurut seorang perencana adalah cara untuk memengaruhi faktor-faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, dan dari sisi seorang dokter maka kebijakan kesehatan diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan (Buse, 2009). Menurut Walt (1994) yang dikutip oleh Buse (2009), kebijakan kesehatan serupa dengan politik dan segala penawaran terbuka kepada orang yang berpengaruh pada penyusunan kebijakan dan bagaimana mereka memanfaatkan pengaruh tersebut.

  Kebijakan kesehatan merupakan hal yang sangat penting karena sektor kesehatan sangat berperan bagi perekonomian suatu negara, kesehatan juga mempunyai posisi yang lebih istimewa dibanding masalah sosial yang lain. Kebijakan kesehatan juga sangat dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada kaitannya dengan layanan kesehatan, misalnya kemiskinan, pencemaran udara, kurangnya akses air bersih dan sanitasi yang buruk (Buse, 2009).

2.2.2. Kerangka Konsep dalam Kebijakan Kesehatan

  Untuk menganalisis suatu kebijakan kesehatan dapat dilakukan melalui segitiga analisis kebijakan.

  Konteks

  Aktor Individu/grup /organisasi

  Isi/Konten Proses

Gambar 2.1. Segitiga Kebijakan

  Sumber: Buse, K (2009)

  Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang sudah sangat disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks dan bukan saling terpisah. Misalnya pelaku dapat dipengaruhi dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja. Konteks dipengaruhi oleh banyak faktor seperti ketidakstabilan atau ideologi, sejarah dan budaya serta proses penyusunan kebijakan. Bagaimana suatu isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan dan bagaimana isu tersebut dapat berharga sangat dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan dan struktur kekuatan, norma dan harapan mereka. Dari isi kebijakan menunjukkan sebagian atau seluruh bagian ini. Jadi, segitiga tidak hanya mampu membantu dalam berpikir sistematis tentang pelaku yang berbeda yang mungkin memengaruhi kebijakan tetapi juga berfungsi sebagai peta yang menunjukkan jalan (Buse, 2009).

  Melalui analisis kebijakan akan diketahui mengenai apa dan bagaimana hasil (outcome) kebijakan dan sekaligus sebagai piranti untuk membuat model kebijakan yang akan datang dan mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan lebih efektif (Buse, 2009).

  Selanjutnya, Buse (2009) juga mengemukakan bahwa kebijakan kesehatan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor kontekstual, antara lain: a.

  Faktor situasional, merupakan faktor yang tidak permanen atau khusus yang dapat berdampak pada kebijakan, misalnya sedang terjadi peperangan atau bencana. b.

  Faktor struktural, merupakan bagian dari masyarakat yang relatif tidak berubah. Faktor ini meliputi sistem politik, mencakup pula keterbukaan sistem tersebut dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan kebijakan, kondisi demografi atau kemajuan teknologi.

  c.

  Faktor budaya juga berpengaruh seperti hierarki, gender, stigma terhadap penyakit tertentu, dan lain-lain.

  d.

  Faktor internasional atau eksogen, faktor ini menyebabkan meningkatnya ketergantungan antar negara dan mempengaruhi kemandirian dan kerjasama internasional dalam bidang kesehatan.

2.3. Implementasi Kebijakan Publik

  Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Implementasi dianggap sebagai wujud utama dan sangat menentukan dalam proses suatu kebijakan. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno,2012). Menurut Akib (2010) yang mengutip pernyataan Edwards III (1984) menyatakan bahwa tanpa implementasi yang efektif keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan. Implementasi kebijakan merupakan aktifitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau

  outcome bagi masyarakat (Akib,2010).

  Menurut Winarno (2012) yang mengutip pendapat Ripley dan Franklin (1982) bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah.

  Menurut Akib (2010) yang mengutip pendapat Grindle (1980) bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Proses implementasi dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun, dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran (Akib,2010).

  Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn (1975) yang dikutip oleh Winarno (2012) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah ataupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang telah digariskan.

  Dari defenisi-defenisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan diawali dari adanya tujuan atau sasaran, kemudian proses pelaksanaan untuk mencapai tujuan dan akhirnya diperoleh hasil atau dampak dari implementasi kebijakan tersebut. Hal ini senada dengan pandangan Van Meter dan Van Horn (1980) yang dikutip oleh Akib (2010), bahwa tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktifitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan.

  Jika divisualisasikan akan terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki tujuan yang jelas yang diformulasikan ke dalam program pelaksanaan yang dilaksanakan berpedoman pada rencana. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran (output) program berdasarkan tujuan program.

  Luaran program dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu , kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan adalah adanya perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran (Akib, 2010)

  Keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Ada banyak faktor yang dinyatakan oleh para ahli, diantaranya menurut Edwards III (1984) yang dikutip oleh Tangkilisan (2003), bahwa ada 4 faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi kebijakan yakni faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi dan disposisi.

  Pendapat lain diutarakan oleh Grindle (1980) yang dikutip Subarsono (2009), menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 2 variabel besar yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel isi kebijakan mencakup : 1) Kepentingan kelompok sasaran atau target groups, 2) Jenis manfaat yang diterima oleh target

  groups (masyarakat), 3) Perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. 4)

  Letak pengambilan keputusan, 5) Pelaksanaan program, dan 6) Sumber daya yang dilibatkan. Sedangkan variabel lingkungan (context) mencakup : 1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, 2) Karakteristik lembaga dan penguasa, 3) Kepatuhan dan daya tanggap.

  Mazmanian dan Sabatier (1983) juga mengemukakan pendapatnya yang dikutip oleh Subarsono (2005), bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 3 variabel yaitu : 1) Karakteristik dari masalah (tractability of the problems), 2) Karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statue to structure

  implementation ), 3) Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation ). Karakteristik masalah mencakup 1) Tingkat kesulitan teknis

  dari masalah yang bersangkutan, 2) Keragaman perilaku kelompok sasaran, 3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, 4) Cakupan perubahan perilaku. Karakteristik kebijakan mencakup 1) Kejelasan isi kebijakan, 2) Dukungan teoritis, 3) Besarnya alokasi sumber daya, 4) Keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana, 5) Kejelasan dan konsistensi aturan, 6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan, dan 7) Akses formal. Sementara variabel lingkungan meliputi : 1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat, 2) Dukungan publik terhadap kebijakan, 3) Sikap dari kelompok pemilih, 4) Tingkat komitmen dan keterampilan implementor.

  Selain faktor-faktor di atas , Korten (1980) menambahkan pendapat yang dikutip oleh Akib (2010), bahwa suatu program akan berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari 3 unsur implementasi program. Pertama, kesesuaian antara program dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat).

  Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang dipersyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran program.

  Berdasarkan pola pikir Korten dapat dipahami bahwa jika tidak terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi kebijakan maka kinerja program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika output program tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran maka jelas outputnya tidak dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh program maka organisasinya tidak dapat menyampaikan output program dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh karena itu, kesesuaian antara 3 unsur implementasi kebijakan mutlak diperlukan agar program berjalan sesuai rencana yang telah dibuat ( Akib, 2010).

  Hampir sama dengan Korten, Grindle (1980) dan Quade (1984) yang dikutip oleh Akib (2010) juga menyatakan bahwa dalam implementasi kebijakan memerlukan 3 variabel yang bekerja sinergis demi keberhasilan implementasi kebijakan tersebut. Konfigurasi ketiga variabel itu disebut hubungan segitiga variabel yaitu variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan kebijakan. Melalui pemilihan kebijakan yang tepat, maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan kebijakan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih perlu diwadahi oleh organisasi pelaksana yang memiliki kewenangan dan sumber daya yang mendukung pelaksanaan program. Penciptaan situasi dan lingkungan kebijakan yang mendukung sangat dibutuhkan dalam pencapaian keberhasilan. Karena diasumsikan bahwa jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan maka diharapkan akan menghasilkan dukungan positif yang sangat berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif akan dapat mengancam kesuksesan implementasi kebijakan (Akib, 2010).

2.4. Implementasi Kebijakan Model George Edwards III

  Teori yang dikemukakan oleh Edwards ini disebut juga dengan Direct and

  Indirect Impact on Implementation . Menurut Edwards, ada 4 (empat) faktor yang

  memengaruhi implementasi suatu kebijakan yang antara satu faktor dengan faktor lain saling memengaruhi, yaitu: a.

  Faktor Komunikasi Suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan (Akib,

  2010). Semua hal tersebut dapat diperoleh melalui komunikasi yang efektif. Ada beberapa hal yang memengaruhi komunikasi, yaitu : 1). Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi hambatan dalam mentransmisikan perintah-perintah implementasi. Hambatan-hambatan tersebut dapat terjadi antara lain karena adanya pertentangan pendapat antara pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan, penyampaian informasi yang melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi dan adanya persepsi dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan suatu kebijakan (Winarno, 2012) 2). Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh implementor haruslah jelas, akurat, dan tidak membingungkan, sehingga dapat dihindari terjadinya interpretasi yang salah. Menurut Edwards ada 6 faktor yang mendorong ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu: kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan dan sifat pembentukan kebijakan pengadilan (Winarno,2012). 3). Konsistensi; perintah-perintah yang diberikan harus konsisten dan jelas karena perintah yang tidak konsisten akan mendorong pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan.

  Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin cermat keputusan dan perintah pelaksanaan diteruskan kepada pelaksana, maka semakin tinggi probabilitas keputusan dan perintah kebijakan tersebut untuk dilaksanakan dengan baik (Winarno,2012).

  b.

  Faktor Sumber daya Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan dengan jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif ( Subarsono,2009). Indikator untuk menilai kecukupan sumberdaya adalah: 1). Staf; sumber daya yang paling esensial dalam mengimplementasikan kebijakan adalah staf. Sumberdaya yang efektif tidak hanya dinilai dari sisi jumlah staf namun juga kompetensi atau kecakapan sumber daya manusianya.

  2). Informasi; dalam mengimplementasikan suatu kebijakan, informasi ada dalam 2 bentuk. Pertama, informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Kedua, data dalam bentuk peraturan pemerintah. Para implementor mesti mengetahui apakah orang lain yang terlibat didalam mengimplementasikan kebijakan melengkapi undang-undang yang diperlukan sebagai dasar legitimasi.

  3). Wewenang; kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Kewenangan harus bersifat formal untuk menghindari gagalnya proses implementasi karena dipandang oleh publik implementor tersebut tidak terlegitimasi.

  c.

  Faktor Disposisi Disposisi diartikan sebagai sikap atau perspektif implementor dalam melaksanakan kebijakan. Jika para implementor bersikap baik atau mendukung suatu kebijakan maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Namun sebaliknya, bila tingkah laku atau perspektif implementor berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan sulit. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan disposisi ini adalah : 1). Pengangkatan birokrat; dalam memilih atau mengangkat pejabat pelaksana kebijakan sebaiknya berdasarkan kemampuan atau kapabilitas bukan berdasarkan atas kepentingan-kepentingan lain. Karena personil yang tidak mendukung akan menghambat dalam pelaksanaan kebijakan.

  2). Insentif; mengubah personil dalam birokrasi pemerintah merupakan pekerjaan yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan lancar. Salah satu teknik yang dikemukakan Edwards adalah dengan memanipulasi insentif. Dengan memberikan insentif diharapkan akan menjadi faktor pendorong yang membuat implementor melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi (self-interest), organisasi atau kebijakan substantif.

  d.

  Faktor Struktur Birokrasi Pada dasarnya, para implementor mungkin mengetahui apa yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan serta mempunyai cukup sumber daya dan keinginan namun terkadang mereka masih terhambat dengan struktur birokrasi dimana mereka menjalankan kegiatan tersebut.

  Menurut Edwards III ada 2 karakteristik yang dapat meningkatkan kinerja struktur birokrasi, yaitu membuat Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi ( Winarno, 2012 dan Tangkilisan, 2003)

2.5. Evaluasi Program

2.5.1. Pengertian Evaluasi

  Menurut pendapat sebagian ahli kebijakan, evaluasi dimasukkan dalam tahap akhir siklus (proses) kebijakan. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa evaluasi bukan merupakan tahap akhir namun masih ada tahap selanjutnya dari hasil evaluasi tersebut. Sejatinya, kebijakan publik lahir mempunyai tujuan untuk menyelesaikan permasalahan, namun seringkali terjadi kebijakan tidak berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk mengetahui sejauh mana pencapaian suatu kebijakan dan sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan dilakukan evaluasi. Dalam bahasa yang lebih singkat evaluasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan ( Winarno, 2012).

  Menurut Harris (2010) yang mengutip pendapat Rossi et al (2004) bahwa evaluasi adalah penggunaan metode pengujian atau penelitian sosial untuk mengetahui efektifitas suatu program. Sementara menurut Tuckman (1985) yang dikutip oleh Sopha Julia (2010), evaluasi adalah suatu proses untuk mengetahui / menguji apakah suatu kegiatan,proses kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kegiatan yang telah ditentukan. Suatu program tidak hanya sekedar dirancang dan dilaksanakan melainkan harus diukur pula sejauh mana efektifitas dan efisiensinya.

  Selanjutnya, menurut Notoatmodjo (2003) yang mengutip dari Perhimpunan Kesehatan Masyarakat Amerika, bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dan usaha pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan. Proses tersebut mencakup kegiatan-kegiatan memformulasikan tujuan, identifikasi kriteria yang tepat untuk digunakan mengukur keberhasilan, menentukan dan menjelaskan derajat keberhasilan dan rekomendasi untuk kelanjutan aktifitas program.

  Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Hikmat (2004) yang dikutip oleh Julia (2010) bahwa evaluasi adalah proses penilaian pencapaian tujuan dan pengungkapan masalah kinerja proyek untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja proyek.

  Lebih khusus lagi evaluasi program adalah upaya penelitian yang dilakukan secara sistematis dan objektif dengan tujuan mengkaji proses dan hasil dari suatu kegiatan/program/kebijakan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan untuk menentukan sejauhmana hasil atau nilai yang telah dicapai program (Julia, 2010).

2.5.2. Tujuan Evaluasi

  Menurut Subarsono (2009), evaluasi memiliki beberapa tujuan yang dapat dirinci sebagai berikut: a.

  Menentukan tingkat kinerja (efektifitas) suatu kebijakan. Melalui evaluasi dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.

  b.

  Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Melalui evaluasi dapat diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.

  c.

  Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan.

  d.

  Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.

  e.

  Untuk mengetahui adanya penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target.

  f.

  Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang. Tujuan akhir dari evaluasi adalah untuk memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik.

2.5.3. Jenis Evaluasi

  Azwar (2010) membagi penilaian menjadi 3(tiga) jenis penilaian yaitu : a. Penilaian pada tahap awal program (formative evaluation), bermaksud untuk mengukur kesesuaian program dengan masalah yang ada atau penjajakan b. Penilaian pada tahap pelaksanaan program (promotive evaluation) dengan tujuan apakah program yang sedang dilaksanakan telah sesuai dengan rencana atau tidak, disebut juga dengan monitoring.

  c.

  Penilaian pada tahap akhir program (summative evaluation) dengan tujuan utama untuk mengukur dampak yang dihasilkan.

  Kategori mengenai evaluasi dikemukakan juga oleh Erville F.Poland (2000) , yaitu: a.

  Effectiveness evaluation, yaitu evaluasi terhadap keberhasilan program.

  b.

  Efficiency evaluation yaitu evaluasi terhadap efisiensi pelaksanaan.

  c.

  Eclectic evaluation, yaitu evaluasi yang meneliti pemasukan,proses, kriteria-kriteria hasil kegiatan yang dianggap ada kaitannya dengan hasil program. Menurut Notoatmodjo (2003), evaluasi suatu program kesehatan masyarakat dilakukan terhadap tiga hal,yakni: a.

  Evaluasi terhadap proses pelaksanaan program, ditujukan terhadap pelaksanaan program yang menyangkut penggunaan sumber daya, seperti tenaga, dana dan fasilitas lain. b.

  Evaluasi program ditujukan untuk menilai sejauhmana program tersebut berhasil, yakni sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai.

  c.

  Evaluasi dampak program ditujukan untuk menilai sejauh mana program tersebut mempunyai dampak terhadap peningkatan kesehatan masyarakat.

2.5.4. Tahapan Evaluasi

  Menetapkan atau memformulasikan tujuan evaluasi, yakni tentang apa yang akan dievaluasi terhadap program yang dievaluasi.

  b.

  Menetapkan kriteria yang akan digunakan dalam menentukan keberhasilan program yang akan dievaluasi.

  c.

  Menetapkan cara atau metode evaluasi yang akan digunakan.

  d. c.

  Menurut Notoatmodjo (2003), kegiatan evaluasi mencakup langkah- langkah sebagai berikut: a.

  e.

  Menentukan keberhasilan program yang dievaluasi berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan tersebut serta memberikan penjelasan-penjelasan.

  f.

  Menyusun rekomendasi atau saran-saran tindakan lebih lanjut terhadap program berikutnya berdasarkan hasil evaluasi tersebut.

  Sementara menurut Winarno (2012) yang mengutip pendapat Suchman yang mengemukakan bahwa ada 6 langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu: a.

  Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi.

  b.

  Analisis terhadap masalah.

  Melaksanakan evaluasi, mengolah dan menganalisis data atau hasil pelaksanaan evaluasi tersebut.

  Deskripsi dan standarisasi kegiatan.

  d.

  Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi.

  e.

  Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain.

  f.

  Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak. . Hasil evaluasi akan dianalisa sebagai pertimbangan bagi pembuat kebijakan untuk melakukan penyesuaian atau perubahan demi penyempurnaan kebijakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa suatu kebijakan publik tidaklah permanen tetapi membutuhkan penyesuaian, karena kebijakan sangat dipengaruhi oleh faktor politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi dan informasi yang senantiasa dinamis.

2.5.5. Indikator Evaluasi

  Untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan perlu dikembangkan beberapa indikator. Indikator atau kriteria evaluasi yang dikembangkan oleh Dunn (1994) yaitu: a.

  Efektifitas : apakah hasil yang diinginkan telah tercapai? b.

  Kecukupan : seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat memecahkan masalah? c.

  Pemerataan: apakah biaya dan manfaat didistribusikan merata kepada kelompok masyarakat yang berbeda? d.

  Responsivitas: apakah hasil kebijakan memuat preferensi/nilai kelompok dan dapat memuaskan? e.

  Ketepatan: apakah hasil yang dicapai bermanfaat?

2.6. Efektifitas

  Efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang artinya berhasil, tepat, mengesankan atau mencapai hasil dengan baik. Jadi efektifitas pada dasarnya mengarah pada sebuah keberhasilan pencapaian tujuan.

  Menurut M. Fazhrin (2012) yang mengutip pendapat Hidayat (1986) , efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Makin besar persentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya.

  Sedangkan menurut Mahmudi (2005) efektifitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan. Efektifitas mempunyai hubungan timbal balik antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output, maka semakin efektif suatu program atau kegiatan.

  Menurut Schemerhon John R. Jr. (1986) yang dikutip oleh M.Fazhrin (2012), bahwa efektifitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (OS), jika OS > OA disebut efektif. Jika output aktual dibanding output yang ditargetkan lebih besar atau sama dengan 1 maka akan tercapai efektifitas. Namun jika output aktual dibanding output yang ditargetkan kurang daripada 1, maka efektifitas tidak tercapai.

  Berdasarkan berbagai pengertian efektifitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu efektifitas melalui suatu siklus input,proses dan output yang akan menghasilkan suatu dampak sesuai yang diharapkan.

  Efektifitas seringkali disamakan dengan efisien padahal kedua kata ini berbeda artinya. Markus Zahnd (2006) menyatakan bahwa efektifitas berfokus pada akibatnya, pengaruh atau efeknya, sedangkan efisiensi berarti tepat atau sesuai untuk mengerjakan sesuatu dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga dan biaya. Efisiensi berarti melakukan sesuatu dengan benar atau “doing things

  right” sedangkan efektifitas berarti melakukan atau mengerjakan sesuatu tepat

  pada sasaran atau “doing the right things”. Efektif lebih mengarah kepada pencapaian tujuan atau target sementara efisien mengarah kepada pengelolaan sumber daya secara cermat.

  Penilaian efektifitas suatu program perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana dampak dan manfaat yang dihasilkan oleh program tersebut, karena efektifitas merupakan gambaran keberhasilan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Melalui penilaian efektifitas juga dapat menjadi pertimbangan kelanjutan suatu program.

  Pendekatan efektifitas dalam mengukur efektifitas menurut Martani dan Lubis (1987) ada 3(tiga) yaitu: a) Pendekatan Sumber (Resource Approach) yakni mengukur efektifitas dari

  input . Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi untuk

  memperoleh sumber daya, baik fisik maupun non fisik yang sesuai dengan kebutuhan organisasi agar dapat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem suatu lembaga terhadap lingkungannya, karena lembaga mempunyai hubungan yang merata dengan lingkungannya untuk memperoleh sumber-sumber yang merupakan input lembaga tersebut dan output yang dihasilkan juga akan ditujukan pada lingkungannya. Dalam mendapatkan berbagai jenis sumber untuk memelihara sistem dari suatu lembaga merupakan kriteria yang digunakan untuk mengukur efektifitas. Secara sederhana efektifitas sering diukur dengan jumlah atau kuantitas berbagai jenis sumber yang berhasil diperoleh dari lingkungan.

  Pengukuran efektifitas dengan pendekatan sumber ini mampu memberikan alat ukur yang sama dalam mengukur efektifitas berbagai lembaga yang jenis dan programnya berbeda dan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sasaran.

  b) Pendekatan Proses (Process Approach) adalah untuk melihat sejauh mana efektifitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses internal atau mekanisme organisasi. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap sumber-sumber yang dimiliki oleh lembaga. c) Pendekatan Sasaran (Goals Approach) memusatkan perhatian pada output, mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai output yang sesuai dengan rencana. Pendekatan ini mencoba mengukur sejauhmana organisasi atau lembaga berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai.

2.7. Bantuan Operasional Kesehatan

  Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) merupakan salah satu program unggulan Kementerian Kesehatan. BOK merupakan upaya pemerintah untuk membantu daerah dalam mencapai target nasional bidang kesehatan yang menjadi kewenangan wajib daerah (Petunjuk Teknis BOK, 2012).

  Pemerintah menyadari bahwa sumber pembiayaan pemerintah daerah yang bersumber dari APBD dianggap tidak mencukupi untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia secara signifikan karena sebagian besar masih di bawah dari kesepakatan Bupati/Walikota seluruh Indonesia yang menetapkan anggaran kesehatan daerah sebesar 10% dari APBD. Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan bahwa untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas maka diupayakan modal pembiayaan baru yang lebih menitikberatkan kepada pembiayaan langsung dari Pusat ke pusat pelayanan kesehatan berbasis komunitas di tingkat Puskesmas.

  Upaya pembiayaan ini diwujudkan melalui program Bantuan Operasional Kesehatan (Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan, 2010).

  Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) adalah bantuan dana dari pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam membantu Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan menuju Millenium Development Goals

  (MDGs) Bidang Kesehatan tahun 2015 melalui peningkatan kinerja Puskesmas

  dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif ( Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Petunjuk Teknis BOK tahun 2012).

  Adapun tujuannya menurut buku Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) adalah:

  a) Menyediakan dukungan biaya untuk upaya pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif bagi masyarakat.

  b) Meningkatkan kualitas manajemen Puskesmas, terutama dalam perencanaan tingkat Puskesmas dan lokakarya mini Puskesmas.

  c) Meningkatkan upaya untuk menggerakkan potensi masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya.

  d) Meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif yang dilakukan oleh Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu.

2.7.1. Ruang Lingkup Kegiatan

  Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) utamanya digunakan untuk kegiatan upaya kesehatan yang bersifat promotif dan preventif di Puskesmas dan jaringannya termasuk Posyandu dan Poskesdes, dalam rangka membantu pencapaian target SPM Bidang Kesehatan di kabupaten/kota guna mempercepat pencapaian target MDGs. Selain itu dana BOK juga dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan manajemen BOK di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

  Ruang lingkup kegiatan yang boleh didanai dari BOK menurut buku Petunjuk Teknis BOK 2012, adalah: A.

  Kegiatan di Puskesmas 1.

  Upaya Kesehatan di Puskesmas Utamanya digunakan untuk mendukung upaya kesehatan yang bersifat promotif dan preventif yang meliputi: a.

  Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana.

  b.

  Imunisasi c. Perbaikan Gizi Masyarakat d.

  Promosi Kesehatan e. Kesehatan Lingkungan f. Pengendalian Penyakit

  Selain 6 upaya prioritas tersebut, Puskesmas juga dapat menggunakannya untuk melaksanakan upaya kesehatan lainnya sesuai dengan resiko dan masalah kesehatan utama di wilayah setempat.

  Sesuai dengan buku Petunjuk Teknis BOK tahun 2012, maka kegiatan upaya kesehatan yang dapat dibiayai dari dana BOK secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut : a.

  Biaya transportasi petugas kesehatan untuk kegiatan kesehatan luar gedung.

  b.

  Biaya transportasi kader kesehatan dalam rangka mendukung kegiatan Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu.

  c.

  Biaya transportasi dukun beranak dalam rangka mendukung kegiatan terkait kemitraan bidan dan dukun.

  d.

  Biaya pembelian bahan/ makanan untuk kegiatan PMT penyuluhan dan/atau PMT pemulihan untuk balita 6-59 bulan dengan gizi kurang, gizi buruk pasca perawatan atau rawat jalan dan ibu hamil KEK dengan mengutamakan bahan/makanan lokal.

  Dari 6 upaya tersebut, kegiatan yang dapat didanai dari BOK adalah: a.

  Pendataan sasaran (ibu hamil, ibu bersalin, bayi,balita, kasus resiko tinggi, rumah tangga, siswa,sekolah, pasangan usia subur, wanita usia subur, tempat-tempat umum, dll) b. Surveillans (gizi, KIA, imunisasi, penyakit menular, penyakit tidak menular, vektor, dll) c.

  Kunjungan rumah / lapangan (kasus drop out, kasus resiko tinggi, perawatan kesehatan masyarakat, pendampingan minum obat, pemasangan stiker P4K, dll) d. Pelayanan di Posyandu (penimbangan, penyuluhan, pelayanan

  KIA, KB, imunisasi, gizi, dll) e.

  Kegiatan sweeping, penjaringan, pelacakan, dan penemuan kasus.

  f.

  Pengembalian spesimen g.

  Pengendalian dan pemberantasan vektor (fogging, spraying, abatisasi, pemeriksaan jentik, pembagian kelambu, dll) h.

  Kegiatan promosi kesehatan termasuk untuk mendukung program prioritas (penyuluhan, konseling, luar gedung, pembinaan Poskesdes dan Posyandu, dll). i.

  Kegiatan pemantauan (sanitasi air bersih, rumah, tempat-tempat umum, pengelolaan sampah, dll). j.

  Pengambilan vaksin k.

  Rujukan dari Poskesdes ke Puskesmas dan atau dari Puskesmas ke Rumah Sakit terdekat untuk kasus KIA resiko tinggi dan komplikasi kebidanan bagi peserta Jampersal. l.

  PMT penyuluhan dan PMT pemulihan untuk balita 6-59 bulan dengan gizi kurang.

2. Kegiatan Penunjang Upaya Kesehatan

  Kegiatan ini merupakan kegiatan yang mendukung upaya kesehatan dan penyelenggaraan manajemen BOK di Puskesmas, misalnya untuk kegiatan di Posyandu atau Poskesdes, rapat koordinasi dengan lintas sektor, tokoh masyarakat,tokoh agama dan/atau kader kesehatan, Survey Mawas Diri dan Musyawarah Masyarakat Desa, penyuluhan kesehatan, studi banding antar Puskesmas, orientasi kader kesehatan dan/atau tokoh masyarakat serta untuk kegiatan pengelolaan administrasi BOK.

  Dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut maka dana BOK menurut Petunjuk Teknis BOK, dapat dimanfaatkan untuk: a.

  Pembelian ATK b.

  Penggandaan c. Transportasi petugas kesehatan dan/atau kader kesehatan d.

  Transportasi peserta rapat e. Konsumsi penyuluhan 3. Penyelenggaraan Manajemen Puskesmas

  Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan di Puskesmas secara optimal, tepat sasaran, efisien dan efektif perlu dilaksanakan manajemen Puskesmas yang mencakup : a.

  Perencanaan Tingkat Puskesmas (P1) Kegiatan perencanaan tingkat Puskesmas yang dimaksud adalah penyusunan perecanaan kegiatan Puskesmas yang akan dilaksanakan selama 1 tahun dan berbagai sumber daya termasuk salah satunya adalah BOK.

  b.

  Penggerakan Pelaksanaan (P2) melalui Lokakarya Mini Puskesmas Lokakarya Mini Puskesmas merupakan proses penyusunan rencana kegiatan yang direncanakan selama 1 tahun menjadi kegiatan bulanan yang disepakati (POA bulanan) untuk dilaksanakan, termasuk kegiatan-kegiatan yang akan dibiayai dari BOK.

  c.

  Pengawasan Pengendalian Penilaian (P3) atau evaluasi Penilaian pencapaian program dan kegiatan Puskesmas dalam kurun waktu 1 tahun dari yang direncanakan tersebut di atas.

  Dalam pelaksanaan kegiatan manajemen tersebut menurut Petunjuk Teknis BOK 2012 maka dana BOK dapat dimanfaatkan untuk: a.

  Biaya pembelian ATK dan penggandaan bahan.

  b.

  Biaya transportasi dan konsumsi untuk peserta rapat dalam rangka P1,P2,P3 sesuai ketentuan yang berlaku.

  c.

  Biaya petugas Puskesmas untuk mengikuti orientasi manajemen BOK di Kabupaten/Kota (biaya transportasi, biaya akomodasi dan uang saku).

  d.

  Biaya transportasi dan /atau biaya pos untuk pengiriman laporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

  e.

  Biaya transportasi dalam rangka konsultasi kegiatan BOK di lingkup/wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

4. Barang Penunjang Upaya Kesehatan

  Untuk meningkatkan kualitas pelayanan di Puskesmas dan jaringannya, maksimal 10% dari dana alokasi BOK di Puskesmas dapat dimanfaatkan untuk penyediaan Barang Penunjang Upaya Kesehatan di Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu. Barang penunjang upaya kesehatan tersebut meliputi: a.

  Pemeliharaan ringan Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu termasuk ongkos tukang b. Barang penunjang untuk tujuan penyuluhan:

  1) Pencetakan /penggandaan media KIE;

2) Bahan untuk interaksi penyuluh kepada masyarakat.

  c.

  Barang fisik yang tidak menjadi aset tetap. Dana BOK di Puskesmas tidak boleh dimanfaatkan untuk: a.

  Upaya kuratif dan rehabilitatif b.

  Gaji,uang lembur, insentif c. Pemeliharaan gedung (sedang dan berat) d.

  Pemeliharaan kendaraan (sedang dan berat) e. Biaya listrik, telepon dan air f. Pengadaan obat,vaksin dan alat kesehatan g.

  Biaya transportasi rujukan pasien.

  B.

  Kegiatan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Selain di Puskesmas, dana BOK juga dapat digunakan untuk membiayai kegiatan di Dinas Kesehatan, seperti:

1. Perencanaan a.

  Pertemuan sosialisasi BOK tingkat kabupaten/kota. b.

  Pertemuan koordinasi perencanaan BOK tingkat kabupaten/kota (misal rapat koordinasi perencanaan, rekapitulasi Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK)/POA Puskesmas, orientasi manajemen BOK bagi Puskesmas, dll).

  2. Pelaksanaan a.

  Perjalanan dinas petugas dari Tim Pengelola BOK Tingkat Kabupaten/Kota dalam rangka koordinasi dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara (Kanwil DJPB) dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) terkait.

  b.

  Pertemuan pembinaan dan penggerakan manajemen BOK (misal rapat koordinasi evaluasi, desk verifikasi RPK/POA Puskesmas, verifikasi pertanggungjawaban keuangan, dll).

  3. Monitoring dan Evaluasi a.

  Perjalanan petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu (misal mengikuti lokakarya mini Puskesmas, pembinaan dan pemantauan BOK,dll) b. Penyusunan dan pengiriman laporan ke Dinas Kesehatan Provinsi.

2.7.2 Pengelolaan Keuangan

  Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) merupakan dana APBN Kementerian Kesehatan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dalam rangka Tugas Pembantuan. Hal ini berbeda dengan pelaksanaan penyaluran dana BOK tahun 2010 yang menggunakan mekanisme Bantuan Sosial. Perubahan ini dilakukan karena ditemukannya banyak kendala dalam pelaksanaannya.Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan / atau desa. Dari pemerintah provinsi kepada kabupaten atau kota dan atau desa, serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.

  Besaran alokasi dana untuk tiap Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kesehatan, sementara alokasi dana per Puskesmas ditetapkan berdasarkan SK Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan memperhatikan situasi dan kondisi antara lain: 1.

  Jumlah penduduk; 2. Luas wilayah; 3. Kondisi geografis; 4. Kesulitan wilayah; 5. Cakupan program; 6. Jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas dan jaringannya; 7. Jumlah Poskesdes dan Posyandu; 8. Situasi dan kondisi yang ditentukan oleh Dinas Kesehatan

  Kabupaten/Kota bersangkutan dengan mempertimbangkan kearifan lokal. Menurut buku Petunjuk Teknis BOK tahun 2012 bahwa untuk dapat menyelenggarakan kegiatan BOK di Puskesmas secara optimal, tepat sasaran, efisien, dan efektif perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan mencakup: 1.

  Tahap Persiapan a.

  Penyusunan RPK tahunan berdasarkan Rencana Usulan Kegiatan (RUK), dengan penyesuaian hasil pencapaian sampai dengan Desember H-1, melihat ketersediaan sumber daya (tenaga,sarana,fasilitas, dll).

  b.

  Penyusunan RPK tahunan dilaksanakan pada awal bulan pertama tahun berjalan melalui lokakarya mini bulanan yang pertama untuk menyusun rencana kegiatan Puskesmas dalam 1 tahun, dengan mengundang seluruh staf Puskesmas termasuk Puskesmas Pembantu dan bidan di desa.

  c.

  Output adalah RPK tahunan Puskesmas.

2. Tahap Pelaksanaan

  Puskesmas menyusun perencanaan bulanan melalui lokakarya mini dengan tetap memperhatikan RPK tahunan. Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatan sesuai ruang lingkup kegiatan BOK.

  a.

  Lokakarya mini bulanan (lintas program) yang diselenggarakan setiap bulan, dengan mengundang seluruh staf Puskesmas termasuk Puskesmas Pembantu dan bidan di desa. Output adalah POA bulanan Puskesmas. b.

  Lokakarya mini tribulanan (lintas sektor) diselenggarakan setiap 3 bulan dengan mengundang camat, kepala desa, kader dan sektor lain sesuai tema/topik. Output adalah kesepakatan kegiatan lintas sektor.

  c.

  Kegiatan lokakarya mini dilakukan untuk membahas capaian program/kegiatan bulan sebelumnya yang dianalisis dengan menggunakan PWS dan merencanakan kegiatan bulan berikutnya.

  d.

  Kegiatan BOK dilaksanakan sesuai dengan POA bulanan Puskesmas dan pemanfaatan dananya berdasarkan rencana kegiatan yang telah disetujui oleh Tim Pengelola BOK Kabupaten/Kota.

3. Tahap Monitoring, Evaluasi, dan Penilaian Kinerja a.

  Monitoring pencapaian program/kegiatan dan penyerapan keuangan BOK dilakukan pada saat lokakarya mini bulanan dan tribulanan.

  b.

  Pembinaan oleh Kepala Puskesmas, bidan koordinator dan pengelola program ke Puskesmas Pembantu, UKBM dan bidan di desa berdasarkan hasil lokakarya mini Puskesmas.

  c.

  Penilaian kinerja Puskesmas dilaksanakan oleh pengelola program, dikoordinasikan oleh Kepala Puskesmas dan dilaksanakan pada akhir tahun, atau sesuai dengan kesepakatan/penetapan oleh Dinas

Dokumen yang terkait

Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Pada Bayi dan Balita di Puskesmas Darusallam Medan Tahun 2013

0 47 60

Analisis Implementasi dan Evaluasi Efektifitas Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) terhadap Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kota Sibolga Sumatera Utara

17 149 217

Efektivitas Pelayanan Publik Melalui Bantuan Walikota Khusus Bidang Kesehatan (Bawaku Sehat) Bagi Warga Miskin di Kota Bandung

4 123 165

Implementasi Standar Pelayanan Publik Bidang Kesehatan Di Puskesmas Kupang Kota Kecamatan Teluk Betung Utara Kota Bandar Lampung

1 16 49

Implementasi Standar Pelayanan Publik Bidang Kesehatan Di Puskesmas Kupang Kota Kecamatan Teluk Betung Utara Kota Bandar Lampung

0 14 45

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Evaluasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

0 0 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 1.1 Profil Sekolah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

0 0 54

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam Pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

0 0 98

Analisis Implementasi dan Evaluasi Efektifitas Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) terhadap Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kota Sibolga Sumatera Utara

0 0 16