BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran 1. Pengertian Model Pembelajaran - Perbandingan Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT) dan Tanya Jawab Terhadap Evaluasi Hasil Belajar Mahasiswa Akbid Semester IV Pada Mata Kuliah Kegawatdaruratan di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran

1. Pengertian Model Pembelajaran

  Menurut Slavin (2010), model pembelajaran adalah suatu acuan kepada suatu pendekatan pembelajaran termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaanya. Sedangkan menurut Trianto (2009) model pembelajaran merupakan pendekatan yang luas dan menyeluruh serta dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembelajarannya, sintaks (pola urutannya), dan sifat lingkungan belajarnya.

  Model pembelajaran yang baik digunakan sebagai acuan perencanaan dalam pembelajaran di kelas ataupun tutorial untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran yang sesuai dengan dengan bahan ajar yang diajarkan (Trianto, 2011).

  Menurut Arrend ada empat hal yang sangat berkaitan dengan model pembelajaran yaitu: a. Teori rasional yang logis yang disusun oleh para penciptanya atau pengembangnya. b. Titik pandang/landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar. c. Perilaku guru yang mengajar agar model pembelajarannya dapat berlangsung baik. d. Struktur kelas yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang maksimal (Trianto, 2009).

2. Kriteria Model Pembelajaran

  Kriteria model pembelajaran yang dikatakan baik, jika sesuai dengan kriteria adalah sebagai berikut : Pertama, sahih (valid). Aspek validitas dikaitkan dengan dua hal, yaitu : apakah model yang dikembangkan didasarkan pada rasional teoritis yang kuat dan apakah terdapat konsistensi internal. Kedua, praktis, aspek kepraktisan hanya dapat dipenuhi jika para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang dapat dikembangakan dapat diterapkan dan kenyataan menunjukkan bahwa apa yang dikembangkan tetrsebut dapat diterapkan. Ketiga, efektif, berkaitan dengan aspek efektifitas sebagai berikut: ahli dan praktisi berdasarkan pengalamnnnya menyatakan bahwa model tersebut efektif; dan secara operasional model tersebut memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan (Trianto, 2013).

  Arends dan pakar model pembelajaran berpendapat bahwa tidak ada satu pun model pembelajaran yang paling baik diantara yang lainnya apabila tidak dilakukan ujicoba pada suatu mata pelajaran. Oleh karena itu, perlu adanya seleksi pada setiap model pembelajaran mana yang paling baik untuk diajarakan pada materi tertentu (Trianto, 2013).

B. Model Pembelajaran Kooperatif

1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif

  Pembelajaran Kooperatif merupakan sebuah alternatif dari sesuatu yang dipercaya sebagai penekanan berlebihan terhadap kompetisi yang lazim dipraktikkan dalam pendidikan pada umumnya. Pengajar memiliki peran ganda yaitu sebagai ahli dari subjek yang diajarkan dan pemegang otoritas di dalam kelas. Menurut Scott B Watson dari School of Education, Faculty Publications and Presentation Library University dalam makalahnya yang berjudul The Essential of Cooperative Learning menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah lingkungan belajar kelas yang memungkinkan mahasiswa bekerja sama dalam suatu kelompok kecil yang heterogen dan mengerjakan tugas-tugas akademiknya (Warsono dan Haryanto, 2013).

  Spencer Kegen merumuskan pembelajaran kooperatif terdiri dari teknik- teknik pembelajaran yang memerlukan saling ketergatungan positif antara pebelajar agar pembelajaran berlangsung baik. Wolkfolk (2001) mendefenisikan pembelajaran kooperatif adalah suatu pengaturan yang memungkinkan para mahasiswa bekerja sama dan belajar bersama dan saling membantu secara interaktif utuk mencapai tujuan pembelajaran (Warsono dan Hariyanto, 2013).

  Sistem pengaturan yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama mahasiswa dalam tugas yang terstruktur disebut sebagai sistem “pembelajaran gotong royong” atau cooperative learning (Lie, 2010).

2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif

  Tujuan belajar kooperatif yaitu menekankan pada tujuan kesuksesan pada kelompok, yang dapat dicapai jika semua anggota kelompok mencapai tujuan dan penguasaaan materi (Slavin, 2010).

  Manfaat penerapan belajar kooperatif adalah mengurangi kekurangan dalam pembelajaran secara individual, mengembangkan solidaritas di kalangan mahasiswa.

  Diharapkan dengan pembelajaran kooperatif dapat memuculkan seorang mahasiswa yang memiliki prestasi akademik yag cemerlang serta memiliki solidaritas yang tinggi (Huda, 2011).

  Pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan kepada setiap mahasiswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja secara bersama-sama dalam suatu kelompok (Lie, 2010).

3. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Kooperatif

  Ada delapan prinsip yang harus diterapkan dalam pembelajaran cooperative

  learning :

  Pembentukan kelompok bersifat heterogen, maksudnya adalah pembentukan kelompok para mahasiswa harus terdiri dari berbagai variabel seperti jenis kelamin, etnis, kelas sosial, agama, kepribadian, kecakapan bahasa, kerajinan dan lain-lain.

  Perlu keterampilan kolaboratif, misalnya kemampuan para mahasiswa dalam berkomunikasi, memberikan alasan, beragumentasi, menjaga perasaan mahasiwa lain, dan saling bertoleransi.

  Otonomi Kelompok. Mahasiswa ditutut untuk mampu mencari setiap pembelajaran dengan sendirinya tapa bergantung kepada dosen. Peranan dosen tidak bertindak lagi sebagai orang bijak di atas panggung (sage on the stage), tetapi memandu mahasiswa dari samping (guide on the side).

  Interaksi stimultan. Masing-masing individu berinteraksi menuju tujuan. bersama. Partisipasi yang adil dan setara di dalam kelompok, tidak boleh hanya ada satu atau dua orang mahasiswa saja yang mendominasi.

  Tangggung jawab individu. Setiap mahasiswa harus mencoba untuk belajar dan kemudian saling berbagi pengetahuannya. Ketergantungan positif, setiap mahasiswa harus berpedoman “satu untuk semua” dan “semua untuk satu” dalam mencapai pengembang potensi akademis.

  Kerja sama sebagai nilai karakter. Kerja sama tidak hanya sebagai cara untuk belajar, namun kerjasama juga menjadi bagian dari isi pembelajaran dan saling memilki ketergantungan positif (Warsono dan Hariyanto, 2013).

  Pada metode pembelajaran kooperatif learning berkembang sejumlah riset tentang sejumlah lamanya ingatan mahasiswa terhadap materi pembelajaran terkait dengan metode pembelajaran yang dipergunakan. Hasil riset dari National Training

  

Laboratories di Bethel, Maine (1954), Amerika Serikat menunjukkan bahawa

  kelompok bahwa kelompok pembelajaran berbasir guru (teacher centered learning) seperti ceramah, tugas membaca, presentasi dosen dengan audiovisual, dan demonstrasi oleh dosen mahasiswa hanya dapat mengingat materi pembelajaran maksimal sebesar 30%. Dengan metode diskusi yang tidak didominisasi oleh dosen, mahasiswa dapat mengingat 50%. Jika mahasiswa diberi kesempatan melakukan sesuatu (learning by doing), mahasiswa dapat mengingat 75%. Praktik pembelajaran dengan cara mengajar mampu mengingat sebanyak 90%, yang dapat dilihat melalui tabel 2.1 dan tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.1 Ingatan Pembelajaran Dihubungkan Dengan Jenis Presentasi Presentasi Kemampuan Belajar Setelah 3 jam Setelah 3 hari

  Ceramah 25% 10-20% Tertulis (membaca) 72% 10% Visual dan verbal 80% 65% (pengajaran memakai ilustrasi) Partisipatori (bermain 90% 70% peran, studi kasus, praktik) Sumber : Dale, 1969 (Warsono dan Hariyanto, 2013)

Tabel 1.2 Transfer Pembelajaran dari Instruktur Kepada Mahasiswa Komponen Pelatihan Ketrampilan yang Tranfer ke Dunia Kerja Diperoleh

  Teori 10-20% 5-10% Demonstrasi 30-35% 5-10% Praktik 60-70% 5-10% Umpan Balik 70-80% 10-20% Pelatihan 80-90% 80-90% Sumber : Joyce dan Showers, 1981 (Warsono dan Hariyanto, 2013)

C. Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)

1. Pengertian Model Pembelajaran NHT

  Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berpikir bersama merupakan salah satu jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi mahasiswa dan sebagai alternative terhadap kelas tradisional. Teknik belajar mengajar Numbered Head Together (NHT) dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992). Teknik ini dirancang dengan memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Dengan melibatkan lebih banyak lebih banyak mahasiswa di dalam metode ini, metode ini juga bertujuan untuk menggali setiap pemahaman mahasiswa terhadap isi pelajaran. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan semua tingkatan usia anak didik (Trianto, 2010 ; Lie, 2010).

  2. Tujuan Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)

  Menurut Muslimin (2010) tiga tujuan yang hendak dicapai dalam model pembelajaran NHT yaitu: hasil belajar akademik stuktural bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Pengakuan adanya keragaman bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang.

  Pengembangan keterampilan sosial bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya.

  3. Langkah-langkah Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)

Dalam mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, dosen menggunakan struktur

  empat fase sebagai sintaks NHT : Fase 1: Penomoran. Dalam fase ini, dosen membagi mahasiswa ke dalam kelompok 3-5 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1 sampai 5.

  Fase 2: Mengaju 2 kan pertany yaan.Dosen n mengajuk kan sebuah pertanyaan n kepada mahasiswa a. Pertanya aan dapat be ervariasi. P Pertanyaan d dapat amat spesifik da an dalam bentuk kal limat tanya. .

  Fase 3: Berpikir

  3 Bersama. M Mahasiswa menyatuka an pendapat t terhadap jawaban pertanyaan n itu dan me eyakini tiap p anggota da alam timnya a mengetahu hui jawaban tim Fase 4: Menjawab

  b. Dosen me emanggil su uatu nomor tertentu, ke emudian ma ahasiswa yang nom mornya sesu uai mengac cungkan tan ngannya da an mencoba a untuk m menjawab pertanyaan n untuk selu uruh kelas ( (Lie, 2010).

  

Gamb bar 1

La angkah-lan ngkah Mode el Pembela ajaran NHT T

4. Kelebihan Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)

   Menurut Ibrahim (2009) kelebihan model pembelajaran NHT : Saling

  Ketergantungan Positif. Dalam pembelajaran kooperatif, dosen dituntut utuk dapat menciptakan suasana belajar yang mendorong mahasiswa untuk aktif dalam bekerja melakukan sesuatu bersama-sama dan saling membutuhkan antar sesama lainnya. Hubungan saling membutuhkan antara mahasiswa yang satu dengan mahasiswa yang lain disebut saling ketergantungan positif. Di dalam pembelajaran kooperatif, setiap anggota kelompok sadar bahwa mereka perlu bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan.

  Tanggung Jawab Perseorangan. Tanggung jawab dalam pembelajaran

  

cooperative learning , setiap mahasiswa akan merasa bertanggug jawab untuk

  melakukan yang terbaik. Persiapan dosen dalam penyusunan tugas merupakan kunci keberhasilan dalam metode cooperative learning. Seorang dosen yang masuk ke kelas dan langsung membagi kelompok tanpa membuat sebuah persiapan bukanlah dosen yang menerapkan cooperative learning. Seorang dosen yang efektif dalam

  

cooperative learning harus membuat persiapan dan menyusun tugas agar masing-

  masing anggota kelompok melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok dapat dilaksanakan. Dengan metode ini kita dapat mengetahui, mahasiswa yang tidak melaksanakan tugasnya.

  Tatap Muka. Dalam setiap kelompok diberikan kesempatan yang sama untuk bertemu dan mendiskusikan setiap tugas yang diberikan. Kegiatan berdiskusi secara bersama-sama akan lebih menigkatkan hasil pemikiran dibandingkan secara individu. Setiap anggota kelompok memiliki latar belakang pengalaman, sosial ekonomi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Di dalam kelompok, para anggota kelompok perlu diberi kesempatan untuk saling mengenal dan menerima satu sama lain dalam kegiatan tatap muka dan interaksi pribadi (Warsono, 2013).

  Komunikasi Antar Anggota. Keberhasilan suatu kelompok juga ditentukan oleh kesediaan setiap anggota dalam mengemukakan pendapatnya dengan berkomunikasi secara tepat. Di dalam komunikasi anatar anggota ini, setiap mahasiswa diajarkan cara berkomunikasi yang baik antar sesama kelompok, cara memberi tanggapan, memberi jawaban, dan menghargai orang lain. Proses tersebut tentunya sangat bermanfaat untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para mahasiswa.

  Evaluasi Proses Kelompok. Setiap dosen seharusnya menjadwalkan waktu yang tepat untuk mengevaluasi proseskerja kelompok dan hasil kerja sama agar lebih efektif. Waktu evaluasi bisa diadakan setelah beberapa waktu dalam kegiatan pembelajaran cooperative learning. Format evaluasi bisa bermacam-macam sesuai tingkat pendidikan (Lie, 2010).

5. Kekurangan Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)

  Mahasiswa yang sudah terbiasa dengan cara konvensional akan sedikit kewalahan sehingga dosen harus bisa memfasilitasi mahasiswa dalam setiap pembelajaran dan lebih sering untuk menggunakan model pembelajaran NHT supaya mahasiswa terbiasa belajar mandiri, aktif dalam proses belajar.

  Model Pembelajaran NHT ini tidak terlalu cocok untuk jumlah mahasiswa yang banyak karena membutuhkan waktu yang lama dan tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh dosen dalam praktiknya (Barkley, 2013).

D. Model Pembelajaran Tanya Jawab

  1. Pengertian Model Pembelajaran Tanya Jawab

  Model Pembelajaran Tanya Jawab merupakan model pembelajaran yang bersifat aktif individual dengan mengakibatkan terjadinya komunikasi secara langsung yang bersifat two way traffic antara dosen dengan dosen, atau mahasiswa sesama mahasiswa dengan dosen (Istarani, 2012).

  Rostiyah N.K (2008) mengatakan bahwa untuk menciptakan kehidupan interaksi belajar mengajar, seorang dosen perlu menimbulkan metode tanya jawab.

  Model pembelajaran tanya jawab merupakan suatu model yang memotivasi pada mahasiswa agar meningkatnya pemikiran untuk bertanya, dosen mengajukan pertanyaan sehingga mahasiswa menjawab (Istarani, 2010).

  2. Tujuan Penggunaan Model Pembelajaran Tanya Jawab

  Penggunaaan metode tanya jawab biasanya digunakan untuk menyimpulkan/mengikhtisar pelajaran atau apa yang dibaca, dengan dibantu tanya jawab antara mahasiswa dan mencapai suatu tujuan yang baik.

  Dalam tanya jawab, dosen dapat menilai mahasiswa apakah mahasiswa paham dan mengerti tentang materi yang tela disampaikan.Seorang dosen dalam metode tanya jawab juga bisa menilai apakah mahasiswa mendengarkan dengan baik atau tidak (Istarani, 2012).

  3. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Tanya Jawab

Proses yang dilakukan dengan membaca, meneliti atau diskusi. Membaca

informasi dari berbagai sumber adalah salah satu teknik untuk menemukan jawaban.

  Sebelum pembelajaran berlangsung, dosen telah menentukan pertanyaan secara cermat dan sistematis oleh dosen. Pertanyaan yang akan diberikan dosen nantinya harus sesuai dengan kompetensi yang harus dicapai setelah pembelajaran. Dan pertanyaan yang berasal dari mahasiswa dapat dijawab dengan sederhana, singkat, dan padat.

  Dosen memberikan pengajaran dikelas dan memberikan stimuli pada peserta didik untuk belajar sesungguhnya. Kunci pokok kehadiran stimuli belajar antara lain adalah pertanyaan yang diajukan dosennya. Dengan pertanyaan maka peserta didik akan segera mulai belajar sesunggguhnya (meaningful learning).

  Dorongan yang menumbuhan persaingan diantara kelompok mahasiswa untuk memperoleh pujian dan nilai yang baik. Dosen dapat melemparkan pertanyaan dari mahasiswa ke mahasiswa lainnya untuk dikomentari dan diberikan penjelasan sehingga akan terbentuk proses belajar yang aktif (Sagala, 2009).

  4. Kelebihan Model Pembelajaran Tanya Jawab

  Kelas akan lebih hidup, karena sambutan kelas yang baik terhadap setiap pertanyaan yang diajukan dari mahasiswa dan dosen di dalam kelas. Model tanya jawab tidak membuat mahasiswa hanya mendengarkan ceramah dari dosen saja. Partisipasi mahasiswa lebih besar dan berusaha medengarkan pertanyaan dosen dengan baik dan mencoba menberikan pertayaan dengan tepat. Mahasiswa menerima pelajaran dengan aktif berpikir, tidak pasif mendengarkan saja (Istarani, 2012).

  5. Kekurangan Model Pembelajaran Tanya Jawab

  Kelancaran jalannya model pembelajaran tanya jawab agak terhambat dikarenakan mahasiswa yang tidak terbiasa, pasif untuk bertanya hanya mendengarkan saja dan jawaban mahasiswa belum tentu selalu benar bahkan mungkin kadang-kadang dapat menyimpang dari persoalannya. Sehingga perlu waktu lama untuk memperoleh jawaban yang benar (Istrani, 2012).

E. Model Pembelajaran Orang Dewasa (POD)

1. Konsep Model Pembelajaran Orang Dewasa

   Pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu interaksi antara peserta

  pebelajar dengan pengajar atau instruktur dan/atau sumber belajar pada suatu lingkaran belajar untu pencapaian tujuan belajar tertentu. Pembelajaran orang dewasa (andragogi) jelas berbeda dengan pembelajaran bagi anak-anak (pedagogi), karakteristik peserta belajar dalam hal tujuan hidupnya, peran sosial di masyarakat, fungsi indrawi sehingga memerlukan pendekatan dan strategi yang berbeda antara orang dewasa dan anak-anak.

  Pembelajaran orang dewasa sering disebut diklat (pendidikan dan pelatihan). Prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa antara lain: kebutuhan untuk mengetahui, konsep diri peserta belajar, peranan pengalaman peserta belajar, kesiapan belajar, orientasi belajar, dan motivasi.

  Orang dewasa perlu mengetahui mengapa harus belajar, dimana mahasiswa dapat menemukan kesenjangan antara kemampuan yang dimiliki saat ini dengan kemampuan yang seharusnya dimiliki. Tugas utama dosen adalah fasilitator yang membantu mahasiswa menjadi sadar akan perlunya mengetahui dan dapat memaparkan efetifitas kinerjanya.

  Secara umum orang dewasa telah memiliki konsep diri bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab atas keputusan yang dibuatnya sendiri atas kehidupannya seperti: mengembangkan kebutuhan psikologi yang mendalam untuk diperhatikan orang lain, mampu bersikap mengatur kehidupannya sendiri, menolak dan menentang situasi ketika ada orang lain yang memaksakan kehendaknya.

  Orang dewasa membawa pengalaman yang berbeda-beda setiap individu sehingga memberikan implikasi bahwa mereka aalah heterogen dari segi latar belakang, gaya belajar, motivasi, minat, dan sasaran. Strategi pembelajaran orang dewasa mengutamakan menggali pengalaman peserta belajar melalui: diskusi kasus, simulasidan studi banding.

  Penentuan waktu belajar hendaknya disesuaikan dengan tahap perkembangan orang dewasa. Rangsangan kesiapan belajar melalui model pembelajaran orang dewasa merupakan hal yang penting untuk kesiapan belajar.

  Orientasi belajar pada orang dewasa terpusat pada masakah kehidupan/tugas yang dihadapi. Orang dewasa akan termotivasi untuk mempelajari sesuatu asalkan mereka merasa bahwa sesuatu yang dipelajari tersebut dapat ditampilkan dalam konteks penyerapannya pada situasi kehidupan sebenarnya.

  Motivasi orang dewasa untuk belajar, antara lain tanggap terhadap beberapa dorongan eksternal. Dorongan yang paling kuat adalah dorongan internal (keinginan untuk meningkatan kepuasan kerja, kebanggaan diri dan mutu hidup). Semua orang dewasa normal akan termotivasi dan tetap tumbuh dan berkembang .

F. Evaluasi Hasil Belajar

1. Pengertian Evaluasi Hasil Belajar

  Evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan kegiatan pengukuran (pengumpulan data dan informasi), pengolahan, penafsiran dan perimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai oleh mahasiswa setelah melakukan kegiatan belajar dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai mahasiswa (Hamalik, 2008).

  2. Tujuan Evaluasi Hasil Belajar

  Mendeskripsikan kecakapan belajar para mahasiswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangan dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuhnya. Dengan pendeskripsian kecakapan tersebut dapat diketahui posisi kemampuan mahasiswa dengan mahasiswa lainnya.

  Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, yakni seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah para tingkah laku mahasiswa kea rah tujuan pendidikan yang diharapkan. Keberhasilan pendidikan dan pengajaran penting untuk mengingat perannya sebagai upaya memanusiakan manusia, sehingga mahasiswa menjadi manusia yang berkualitas dalam aspek intelektual, sosial, emosional, moral, dan ketrampilan.

  Menentukan tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya. Kegagalan para mahasiswa dalam hasil belajar yang dicapai hendaknya tidak dipandang sebagai kekurangan pada diri mahasiswa itu sendiri, tetapi dapat disebabkan oleh program pengajaran yang diberikan kepadanya atau kesalahan strategi dalam melaksanakannya.

  Memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari pihak institusi kepada pihak-pihak yang berkepentinga Pihak yang dimaksud meliputi pemerintah, masyarakat, dan para orang tua mahasiswa

  3. Klasifikasi Evaluasi Hasil Belajar

  Sistem Pendidikan Nasional menggunakan klasifikasi evaluasi hasil belajar menurut Benyamin Bloom (Sudjana, 2009) yaitu :

  Ranah Kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yakni: pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

  Ranah efektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.

  Ranah Psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris, yakni gerakan refleks, ketrampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan ketrampilan kompleks, gerakan ekspresif dan interpretatif.

4.Penilaian Hasil Belajar

  Untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan belajar dapat dilakukan melalui tes hasil belajar. Berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya, Djamarah (2006) menggolongkan tes hasil belajar menjadi tes formatif, tes subsumatif dan tes sumatif.

  Tes formatif digunakan untuk mengukur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu dan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang daya serap peserta didik terhadap pokok bahasan tersebut. Hasil formatif dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar mengajar bahan pengajaran dalam waktu tertentu.

  Tes subsumatif meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang telah diajarkan dalam waktu tertentu. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran daya serap peserta didik untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Hasil tes

  

subsumatif dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan

diperhitungkan dalam menentukan nili rapor.

  Tes sumatif dilakukan untuk mengukur daya serap peserta didik terhadap bahan pokok-pokok bahasan yang telah diajarkan selama satu semester dan satu atau dua Tahun Akademik. Tujuannya adalah untuk menetapkan tingkat atau tarap keberhasilan belajar peserta didik dalam satu periode belajar tertentu. Hasil tes

  

sumatif dimanfaatkan untuk kenaikan kelas, menyusun peringkat (ranking) atau

sebagai ukuran mutu institusi.

5. Syarat-Syarat Evaluasi yang Baik

  Memiliki validitas artinya setiap penilaian harus benar-benar mengukur apa yang akan diukur. Suatu tes dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila antara hasil tes dengan pendapat ahli hanya terdapat sedikit perbedaan.

  Suatu alat evaluasi harus memiliki rehabilitas, bila menunjukkan ketetapan hasilnya. Dan apabila dilakukan pengukuran beberapa kali akan mendapat skor yang sama bila diukur dengan alat uji yang sama. Reabilitas suatu tes dikatakan tinggi bila realibilitasnya menunjukkan koefisien korelasi 1.00 sedangkan tes yang realibilitasnya rendah memiliki koefisien korelasi 0.00.

  Alat evaluasi harus benar-benar mengukur apa yang dikur, tanpa adanya interpretasi yang tidak ada hubungannya dengan alat evalasi itu. Objektivitas dalam penilaian sering dilakukan dengan menggunakan: questioner, essay test, observation, rating scale, checklist , dan alat-alat lainnya.

  Suatu alat evaluasi harus efisiensi dan sedapat mungkin dipergunakan tanpa membuang waktu dan uang yang banyak. Suatu alat evaluasi diharapkan dapat digunakan dengan sedikit biaya dan usaha yang sedikit, dalam waktu yang singkat, dan hasil yang memuaskan.Memiliki manfaat bagi pembelajaran dan kepraktisan dalam suatu proses belajar (Sudjana, 2009).

6. Batas Minimal Hasil Belajar

  Menentukan batas minimum keberhasilan belajar merupakan upaya untuk menentukan hasil belajar. Ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan peserta didik setelah mengikuti proses belajar mengajar. Norma-norma pengukuran tersebut adalah norma skala angka dari 0 sampai 10 dan norma skala angka dari 0 sampai 100. Angka terendah yang menyatakan kelulusan atau keberhasilan belajar (passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Selain norma skala angka, pengukuran prestasi belajar dapat dilakukan melalui simbol huruf-huruf dengan kriteria A, B, C, D dan E. Simbol huruf-huruf dapat dipandang sebagai simbol angka-angka (Syah, 2010).

Tabel 2.3 Batas Minimal Hasil Belajar di Akbid Kholisatur Rahmi Binjai

  Angka Huruf Predikat > 80 A Sangat Baik

  75-79 B Baik 60-74 C Cukup 55-59 D Kurang

  < 54 E Gagal

7. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

  Hamid (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni : keefektifan pembelajaran, efisiensi pembelajaran dan daya tarik pembelajaran. Keefektifan pembelajaran biasanya diukur dengan tingat pencapaian pebelajar pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, efisiensi biasanya diukur dengan rasio antara keefektifan dan jumlah waktu/biaya yang terpakai. Aspek ketiga, daya tarik pembelajaran biasanya diukur dengan mengamati kecendrungan pebelajar untuk tetap/terus belajar.

  Ada 7 indikator penting yang dapat digunakan untuk mendapatan keefektifan pembelajaran, yaitu (1) kecermatan penguasaan perilaku (tingkat kesalahan kerja). Makin cermat pebelajar menguasai perilaku yang dipelajari, makin efektif pembelajaran. (2) Kecepatan unjuk kerja (efisiensi waktu). Makin cepat seorang pebelajar menampilkan hasil kerjanya, semakin efektif pembelajaran. (3) Kesesuaian dengan prosedur, pebelajar dikatakan efektif apabila pebelajar dapat menampilkan hasil kerja yang sesuai dengan prosedur baku yang telah ditetapkan. (4) Kuantitas hasil kerja mengacu pada banyaknya hasil kerja yang mampu ditampilkan oleh pebelajar dalam waktu tertentu yang telah ditetapkan. (5) Kualitas hasil akhir apakah memuaskan atau tidak. (6) Tingkat alih belajar yaitu kemampuan pebelajar melakukan alih belajar dari apa yang telah dikuasainya ke hal lain yang serupa. (7) Tingkat retensi yaitu jumlah hasil kerja yang masih mampu ditampilkan pebelajar setelah selang beberapa periode waktu. Semakin tinggi retensi maka semain efetif pembelajaran itu.

  Dalam mengukur efisiensi pembelajaran, indikator utama diacukan kepada waktu, personalia, sumber belajar yang dipakai. Efisiensi hanya dapat diukur apabila setiap pebelajar dapat belajar sesuai dengan jumlah waktu yang dibutuhkan. Jumlah personalia yang dilibatkan dalam perancangan, pelaksanaan, penilaian pembelajaran dan juga dipakai untuk mempreskripsikan efisiensi. Penggunaaan sumber belajar lain, selain guru juga dapat dijadikan ukuran tingkat efisiensi pembelajaran, seperti: berupa ruang yang dipakai, apakah melibatkan penggunaan laboratorium, komputer, jumlah buku tes, dan penyampaian buku kerja atau sumber-sumber lain yang ada kaitannya dengan biaya pembelajaran.

  Daya tarik sebagai hasil pembelajaran berkaitan dengan daya tarik bidang studi. Namun, daya tarik bidang studi dalam penyampaiannya banyak bergantung pada kualitas pembelajarannya. Pengukuran daya tarik pembelajaran dapat dilakukan dengan mengamati apakah pebelajar ingin terus belajar atau tidak.

  Kecendrungan pebelajar untuk tetap terus belajar bisa terjadi arena daya tarik bidang studi itu sendiri atau bisa juga karena kualitas pembelajarannya.

G. Materi Pokok

1. Atonia Uteri

  a) Pengertian

  Atonia Uteri merupakan pendarahan obstetri yang disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi secara memadai setelah kelahiran (Cuningham, 2013:415).

  Menurut JNPK-KR (2008), atonia uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat berkontraksi dan keluarnya darah dari tempat implantasi plasenta dan menjadi tidak terkendali.

  Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan.

  b) Etiologi

  Overdistensi Uterus merupakan faktor resiko yang paling sering mengakibatkan terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion, abnormalitas janin, kelainan struktur uterus, atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum mapun sesudah plasenta lahir. Pimpinan kala III yang salah, dengan memijat-mijat dan mendorong uterus. Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan yang memerlukan tenaga yang banyak, umur yang terlalu muda dan terlalu tua, terutama apabila diberikan stimulasi pada ibu. Selain itu pengaruh obat-obatan yang dapat mengakibatkan inhibisi kontraksi seperti: anastesi yang terhalogenisasi, nitrat, obat-obatan anti inflamasi nonsteroid, magnesium sufat dan nipedipin.

  Ibu dengan keadaan umum yang buruk, anemis, atau menderita penyakit yang menahun.Penyebab lain yaitu: plasenta letak rendah, partus lama (terlantar) toksin bakteri (korioamnionitis, endometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire pada abruptio plasenta.

c) Diagnosis Atonia Uteri

  Kecuali apabila penimbunan darah intrauterine dan intravagina mungkin tidak teridentifikasi, atau pada beberapa kasus ruptur uteri dengan pendarahan intraperitoneum, diagnosis pendarahan post partum seharusnya mudah. Pembedaan sementara antara pendarahan akibat atonia uteri dan akibat laserasi ditegakkan berdasarkan kondisi uterus. Apabila pendarahan berlanjut walaupun uterus berkontraksi kuat, penyebab pendarahan kemungkinan besar adalah laserasi. Darah merah segar juga menginsyaratkan adanya laserasi. Untuk memastikan peran laserasi sebagai penyebab pendarahan, harus dilakukan inspeksi yang cermat terhadap vagina, serviks, uterus.

  Kadang-kadang pendarahan disebabkan baik oleh atonia maupun trauma, terutama setelah pelahiran operatif besar. Secara umum, harus dilakukan inspeksiserviks dan vagina setelah setiap pelahiran untuk mengidentifikasi pendarahan akibat laserasi. Anestesia harus adekuat untuk mencegah rasa tidak nyaman saat pemeriksaan. Pemeriksaan terhadap rongga uterus, serviks, dan keseluruhan vagina harus dilakukan setelah ekstraksi bokong, versi podalik internal, dan pelahiran pervaginam pada wanita yang pernah menjalani seksio sesarea. Hal yang sama berlaku pada pendarahan berlebihan selama kala dua persalinan (Cunningham, 2013).

  d) Pencegahan Atonia Uteri Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin.

  Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah pedarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah. Pemberian oksitosin pada manajemen aktif kala III dapat mengurangi resiko terjadinya pendarahan post partum lebih dari 40% dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat yang lain sebagai terapi. Selain mencegah pendarahan, kerja oksitosin didalam tubuh sangat cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah.

  e) Penatalaksanaan Atonia Uteri

  1. Pakai sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut masukkan secara obstetrik (menyatukan kelima ujung jari) melalui introitus dan ke dalam vagina ibu.

  2. Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum uteri mungkin hal ini menyebabkan uterus tak dapat berkontraksi secara penuh.

  3. Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekan dinding anterior uterus, ke arah tangan luar yang menahan dan mendorong dinding posterior uterus kea rah depan sehingga uterus ditekan dari arah depan ke belakang.

  4. Tekan kuat uterus di antara kedua tangan. Kompresi uterus ini memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah yang terbuka (bekas implantasi plasenta) di dinding uterus dan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi.

  5) Evaluasi keberhasilan : Jika uterus bekontraksi dan pendarahan berkurang, terus melakukan KBI selama dua menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dan pantau ibu secara melekat selama kala empat.

  Jika uterus berkontraksi tetapi pendarahan masih berlangsung, periksa ulang perineum, vagina dan serviks apakah terjadi laserasi. Jika demikian, segera lakukan penjahitan untuk menghentikan pendarahan. Jika uterus tidak berkontraksi selama 5 menit, ajarkan keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal (KBE) kemudian lakukan langkah- langkah penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.

  6)Berikan 0,2 mg ergometrin IM atau misoprostol 600-1000 mcg per rectal.

  Jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi karena ergometrin dapat menaikkan tekanan darah.

  7)Gunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infus dan berikan 500cc larutan Ringer Laktat yang mengandung 20 unit oksitosin.

  8) Pakai sarung tangan steril atau desinfeksi tingkat tinggi dan ulangi KBI. 9)Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit, segera rujuk ibu karena ini merupakan bukan atonia uteri sederhana. Ibu membutuhkan tindakan gawatdarurat di fasilitas kesehatan rujukan yang mampu melakukan tindakan operasi dan transfusi darah.

  10)Sambil membawa ibu ke tempat rujukan, teruskan tindakan KBI dan infus cairan hingga ibu tiba di tempat rujukan. Infus 500 ml pertama dihabiskan dalam waktu 10 menit.Berikan tambahan 500 ml/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga jumlah cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 L dan kemudian lanjutkan dalam jumlah 125cc/jam. Jika cairan infus tidak cukup, infuskan 500 ml (botol kedua) cairan infus dengan tetesan sedang dan ditambah dengan pemberian cairan secara oral untuk rehidrasi.

2. Retensio Plasenta

   a) Pengertian Retensio Plasenta

  Retensio Plasenta adalah tertinggalnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah kelahiran bayi (Prawihardjo, 2008).

  Retensio Plasenta adalah plasenta yang tidak dapat terpisah dan menimbulkan hemorrhage yang tidak tampak, dan juga didasari pada lamanya waktu yang berlalu antara kelahiran bayi dan keluarnya plasenta yang diharapkan (Varney, 2007).

  b) Etiologi Retensio Plasenta

  Secara fungsional dapat terjadi karena his kurang kuat (penyebab terpenting), dan Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba), bentuknya (plasenta membranaseae, plasenta anularis) dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar terlepas karena implatasinya yang terlalu dalam seperti: plasenta adhesiva, plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta, plasenta inkarserata.

  c) Diagnosis retensio plasenta

  Plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, kontraksi uterus baik. Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang.

  d) Penatalaksanaan Retensio Plasenta

  Sikap umum bidan: melakukan pengkajian data secara sebjektif dan objektif antara lain : keadaan umum penderita, apakah ibu anemis, bagaimana jumlah pendarahannya, keadaan fundus uteri, mengetahui keadaan plasenta, apakah plasenta inkarserata, melakukan tes plasenta dengan metode kustner, metode klein, metode starsman, memasang infus, memberikan cairan pengganti.

  Sikap khusus bidan : pada kejadian retensio plasenta atau plasenta tidak keluar dalam waktu 30 menit bidan dapat melakukan tindakan manual plasenta yaitu tindakan untuk megeluarkan atau melepas plasenta secara manual (menggunakan tangan) dari tempat implantasinya dan kemudian melahirkannya keluar dari kavum uteri (JNPK, 2008). Prosedur plasenta manual yaitu persiapan dengan melakukan pemasangan set dan cairan infus, menjelaskan kepada ibu prosedur dan tujuan tindakan, melakukan anastesi verbal dan anastesi rektal, menyiapkan dan menjalankan prosedur pencegahan infeksi.

  Tindakan penetrasi ke dalam kavum uteri meliputi: memastikan kandung kemih dalam keadaan kosong, menjepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan satu tangan sejajar lantai, secara obstetrik masukkan tangan lainnya (punggung tangan menghadap ke bawah) ke dalam vagina dengan menelusuri sisi bawah pusat, setelah mencapai bukaan serviks minta seorang asisten/penolong lain untuk memegangkan klem tali pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus uteri, sambil menahan fundus uteri masukkan tangan dalam hingga ke kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta, dan bentangkan tangan obstetrik menjadi datar seperti memberi salam (ibu jari merapat ke jari telunjuk dan jari-jari saling merapat).

  Sebelum melepaskan plasenta dari dinding uterus, tentukan implantasi plasenta paling bawah dan setelah ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan dinding uterus maka perluas pelepasan plasenta dengan jalan menggeser tangan kekanan dan ke kiri sambil digerakkan ke atas (cranial ibu) hingga semua perlekatan plasenta terlepas dari dinding uterus.

  Cara mengeluarkan plasenta yaitu dengan satu tangan masih di dalam kavum uteri dan melakukan eksplorasi untuk menilai tidak ada plasenta yang tertinggal, pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simfisis (tahan segmen bawah uterus) kemudian instruksikan asisten/penolong untuk menarik tali pusat sambil tangan dalam membawa plasenta kelua (hindari terjadinya percikan darah), melakukan penekanan (dengan tangan yang menahan suprasimfisis) uterus ke arah dorsokranial setelah plasenta dilahirkan dan tempatkan plsenta di wadah yang telah disediakan. Pencegahan infeksi pasca tindakan yaitu: dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan), dan peralatan lain yang digunakan, melepaskan dan merendam sarung tangan dan peralatan lainnya di dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit, mencuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir, mengeringkan tangan dengan handuk bersih dan kering.

  Pemantauan pascatindakan yaitu: memeriksa kembali tanda vital ibu, mencatat kondisi ibu dan membuat laporan tindakan, menuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih diperlukan dan asuhan lanjutan, memberitahukan pada ibu dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai tetapi ibu masih memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan, melanjutkan pemantauan hingga 2 jam pasca tindakan sebelum dipindahkan ke ruang rawat gabung (JNPK, 2008).

Dokumen yang terkait

Perbandingan Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT) dan Tanya Jawab Terhadap Evaluasi Hasil Belajar Mahasiswa Akbid Semester IV Pada Mata Kuliah Kegawatdaruratan di Akbid Kholisatur Rahmi Binjai

0 75 112

Pengaruh Strategi Pembelajaran Kooperatif Model Numbered Head Together (NHT) terhadap Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Sosiologi Kelas X (Studi Kasus: SMA Negeri 8 Kota Tangerang Selatan

0 4 169

Pengaruh Strategi Pembelajaran kooperatif Numbered Head Together (NHT) Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPS Mathaul Huda

0 5 173

147 Perbedaan Hasil Belajar Fisika Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) Berbantuan Kartu Soal dengan Model Pembelajaran Direct Instruction Di SMAN 7 Mataram Tahun Ajaran 20152016

0 0 7

Model Pembelajaran Numbered Head Together untuk Meningkatkan Prestasi Belajar IPS Kelas IV SD

0 0 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1. Pembelajaran IPA di SD - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: "Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT) Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Se

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: "Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT) Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Sedadi Penawangan Grobogan Semester II Tahun 2013/2014 "

0 0 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Hasil Penelitian 1. Data Hasil Belajar Siswa Menggunakan Model Pembelajaran NHT - Perbandingan Hasil Belajar Siswa Menggunakan Model Pembelajaran NHT (Numbered Heads Together) Dengan Model Pembelaja

0 0 15

Peningkatan Hasil Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Interaktif Dengan Metode Tanya Jawab

1 2 11

Perbandingan Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT) dan Tanya Jawab Terhadap Evaluasi Hasil Belajar Mahasiswa Akbid Semester IV Pada Mata Kuliah Kegawatdaruratan di Akbid Kholisatur Rahmi Binjai

1 1 36