Inovasi teknologi peternakan dalam siste
Inovasi teknologiInovasi
peternakan
dalam1(3),
sistem
integrasi
tanaman-ternak ...
Pengembangan
Pertanian
2008:
189-205
189
INOVASI TEKNOLOGI PETERNAKAN DALAM
SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK UNTUK
MENUNJANG SWASEMBADA DAGING SAPI
Uka Kusnadi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16143
PENDAHULUAN
Pengembangan subsektor peternakan
selama 10 tahun terakhir menunjukkan
hasil yang cukup nyata dalam berbagai
aspek, di antaranya produksi daging
meningkat dari 1.508.200 ton menjadi
2.613.200 ton atau naik 4,01%/tahun, telur
meningkat dari 736.000 ton menjadi
1.149.000 ton atau naik 5,6%/tahun, dan
susu meningkat dari 433.400 ton menjadi
550.000 ton atau naik 2,69%/tahun. Dengan tingkat pencapaian produksi tersebut maka tingkat konsumsi masyarakat,
khususnya protein hewani asal ternak,
meningkat dari 4,19 g menjadi 5,46 g/
kapita/hari atau naik 3,08%/tahun.
Dalam aspek penyerapan tenaga kerja,
selama 10 tahun terakhir subsektor peternakan menyerap tenaga kerja 1,5 juta
orang, dengan asumsi setiap satu orang
tenaga kerja membutuhkan investasi Rp5
juta. Namun, tingkat produktivitas tenaga
kerja subsektor peternakan masih lebih
rendah dibanding sektor industri. Pangsa
tenaga kerja peternakan terhadap angkatan kerja hanya 6,5%.
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor
Riset yang disampaikan pada tanggal 25 Juni
2007 di Bogor.
Dalam aspek pengentasan kemiskinan,
subsektor peternakan berperan sangat
penting. Berdasarkan data dari Proyek
Inpres Desa Tertinggal (IDT), komoditas
yang dipilih sebagian besar (60-70%)
adalah ternak. Begitu pula dalam Program
Peningkatan Pendapatan Petani Melalui
Inovasi (P4MI), semua lokasi kegiatan
menghendaki adanya sistem usaha
pertanian yang melibatkan ternak sebagai
basis dalam sistem usaha pertaniannya
(Kusnadi et al. 2005b).
Subsektor peternakan juga berperan
dalam penyediaan bahan baku industri
seperti kulit, sepatu, dan obat-obatan.
Dalam membantu pelestarian lingkungan
hidup, subsektor peternakan dapat menjadi salah satu mata rantai dalam siklus daur
ulang karena dapat meningkatkan kesuburan tanah dan mereklamasi lahan masam
terutama di lahan rawa pasang surut.
Keberhasilan pembangunan subsektor
peternakan dalam peningkatan produksi
tidak terlepas dari peran dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
peternakan yang dihasilkan Badan Litbang
Pertanian, baik dalam bentuk komponen
maupun paket teknologi, yang secara bertahap diterapkan dalam sistem usaha pertanian. Dengan demikian, upaya menghasilkan teknologi dan rekomendasi kebijakan penelitian dan pengembangan
190
Uka Kusnadi
peternakan yang sesuai dengan kondisi
spesifik lokasi dan kebutuhan pengguna
perlu dilakukan sinkronisasi antara
program penelitian dan pengembangan
dengan program pengembangan subsektor
peternakan.
Visi pembangunan peternakan di masa
mendatang adalah mewujudkan peternakan yang maju, efisien dan tangguh,
kompetitif, mandiri, dan berkelanjutan yang
sekaligus mampu memberdayakan ekonomi rakyat khususnya di pedesaan. Oleh
karena itu, pembangunan peternakan
diarahkan agar mampu bersaing di pasar
internasional, memantapkan ketahanan
pangan nasional dengan swasembada
daging sapi, serta meningkatkan kontribusi
peternakan dalam Pendapatan Domestik
Bruto (PDB).
Untuk mewujudkan visi tersebut maka
peran Badan Litbang Pertanian menjadi
sangat penting dalam mentransformasikan
usaha tani ternak dari sistem tradisional
ke sistem usaha tani yang berciri industri.
Makalah ini mengemukakan inovasi teknologi peternakan dalam Sistem Integrasi
Tanaman-Ternak (SITT) di beberapa agroekosistem (lokasi spesifik) yang dilaksanakan Badan Litbang Pertanian.
KINERJA, POTENSI, DAN
MASALAH PENGEMBANGAN
PETERNAKAN
Sumbangan subsektor peternakan terhadap PDB nasional meningkat selama
periode tahun 1996-2005, yaitu dari 1,72%
menjadi 1,94%. Begitu pula terhadap PDB
pertanian, kontribusinya meningkat dari
11,15% menjadi 12,71% sehingga laju
pertumbuhan subsektor peternakan sampai tahun 2005 mencapai 5% (Direktorat
Jenderal Peternakan 2005).
Populasi ternak yang menunjukkan
kenaikan selama 5 tahun terakhir (20012005) adalah sapi perah, kerbau, kambing,
domba, babi, ayam buras, ayam ras petelur,
ayam ras pedaging, dan itik masing-masing
meningkat 7,78%; 4,07%; 5,76%; 12%;
16,73%; 6,96%; 40,19%; 38,98%; dan
6,88%. Populasi ternak yang menurun
adalah sapi pedaging dan kuda, masingmasing -4,1% dan -3,79%.
Dalam periode yang sama, produksi
daging naik rata-rata 9,2%, telur 9,3%, dan
susu 6,19%/tahun. Telah terjadi pergeseran
produksi daging, yaitu sumbangan daging
sapi menurun dari 23,52% menjadi 21,95%,
daging kerbau menurun dari 3,18% menjadi
1,93%, sebaliknya proporsi daging kambing dan domba meningkat dari 5,42%
menjadi 5,93% dan daging unggas dari
56,58% menjadi 60,73%. Pergeseran ini
dipengaruhi oleh penurunan atau lambatnya kenaikan populasi sapi dan kerbau di
satu pihak, serta peningkatan populasi
kambing, domba, dan unggas di lain pihak.
Produksi telur juga mengalami pergeseran;
sumbangan telur ayam kampung menurun
dari 17,75% menjadi 15,75%, juga telur itik
dari 18,40% menjadi 15,69%, sedangkan
proporsi telur ayam ras meningkat dari
64,22% menjadi 68,56%. Produksi susu
selama 5 tahun terakhir juga menurun dari
479.947 ton menjadi 341.986 ton (-5,75%/
tahun). Dalam periode yang sama, secara
nasional konsumsi daging meningkat dari
5,15 kg menjadi 7,11 kg/kapita/tahun
(7,6%), konsumsi telur meningkat dari 3,48
kg menjadi 4,71 kg/kapita/tahun (5,22%),
dan konsumsi susu dari 6,50 kg menjadi
6,80 kg/kapita/tahun (0,92%).
Keragaan perkembangan daging, telur,
dan susu menunjukkan bahwa sampai
dengan tahun 1997 (sebelum krisis moneter), permintaan daging sebagian besar
masih dapat dipenuhi oleh produksi dalam
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
negeri sehingga volume impor tidak begitu
besar, rata-rata hanya 8.000 ton/tahun.
Namun mulai tahun 1998 impor daging
terus meningkat, bahkan pada tahun 2000
telah mencapai 72.295 ton, tetapi pada
tahun-tahun berikutnya mulai menurun
sehingga pada tahun 2004 impor daging
hanya 50.250 ton. Sejalan dengan itu,
volume impor sapi bakalan untuk penggemukan makin meningkat, seiring dengan
peningkatan permintaan dan didukung
oleh adanya kebijakan impor sapi bakalan
yang dimulai sejak tahun 1991. Pada saat
itu, impor sapi bakalan mencapai 12.500
ekor dengan kenaikan rata-rata 98,5%/
tahun. Pada tahun 1996, sebelum krisis
moneter, volume impor telah mencapai
367.000 ekor. Pada tahun 2000-2003, impor
sapi bakalan menurun dari 267.700 ekor
menjadi 208.000 ekor (7,33%/tahun),
namun pada tahun 2004 meningkat lagi
menjadi 235.800 ekor.
Dengan prakiraan laju pertumbuhan
ekonomi 6,3% dan laju pertumbuhan
penduduk 1,45%/tahun dalam 5 tahun ke
depan, maka konsumsi daging akan meningkat dengan laju 5,8%, untuk telur 6,2%,
dan susu 7-8%/tahun. Dengan memperhatikan preferensi konsumen, tampaknya
laju permintaan daging sapi/kerbau dan
ayam setingkat lebih tinggi dibanding laju
permintaan daging kambing/domba dan
babi, dan pada telur tampaknya telur ayam
ras lebih tinggi lajunya.
Dengan ketersediaan sumber daya
alam dan genetik yang dimiliki Indonesia,
sebenarnya melalui inovasi dan rekayasa
teknologi di bidang peternakan dapat
diciptakan berbagai produk unggulan
dengan muatan iptek yang akan memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif
karena sifatnya yang lokal spesifik.
Dilengkapi dengan penyempurnaan sistem
usaha tani ternak, teknik budi daya dan
191
pengendalian penyakit, serta perbaikan
efisiensi usaha maka usaha peternakan di
Indonesia sudah dapat memanfaatkan
pasar lokal yang begitu potensial, yang dicerminkan oleh permintaan yang makin
meningkat sejalan dengan membaiknya
kesejahteraan dan ekonomi masyarakat.
Potensi Pasar
Pada tahun 2004, impor sapi potong
mencapai 235.800 ekor dan daging sapi
50.250.400 ton ekuivalen 125.625 ekor sapi.
Bila jumlah ini sepenuhnya akan dipenuhi
dari dalam negeri maka sedikitnya diperlukan tambahan sapi induk 500.000 ekor
sehingga total populasi bertambah 1-2 juta
ekor. Sementara itu bila dalam 5 tahun
mendatang konsumsi daging rata-rata
meningkat dan mencapai 8,9 kg/kapita/
tahun maka diperlukan tambahan populasi
(induk, sapihan dan bakalan) 2-3 juta ekor.
Gambaran ini menunjukkan bahwa prospek
industri peternakan, khususnya ruminansia (sapi, kerbau, domba, kambing) di Indonesia cukup menjanjikan. Bila dalam 5
tahun mendatang kebijakan diarahkan
untuk melakukan substitusi impor secara
selektif maka sedikitnya diperlukan ketersediaan lahan dan atau pakan untuk memenuhi penyediaan pakan akibat penambahan populasi sebanyak 3-5 juta ekor.
Potensi Sumber Daya Alam
Sampai saat ini masih banyak lahan sawah
dan lahan kering (tegalan) di berbagai
agroekosistem yang belum dimanfaatkan
secara optimal untuk pengembangan
ternak, di antaranya tidak kurang dari 150
juta ha lahan kering dataran tinggi, khususnya di bagian hulu daerah aliran sungai
192
Uka Kusnadi
(DAS) di Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Papua, dan Sulawesi. Lahan kering dataran
rendah, khususnya di daerah transmigrasi
Sumatera dan Kalimantan, seluas 125 juta
ha juga belum dimanfaatkan secara optimal, termasuk di Jawa 15 juta ha. Bahkan
saat ini masih tersedia lahan kering kawasan perkebunan yang relatif kurang
ternak yang luasnya lebih dari 15 juta ha
(Fagi et al. 1988; Diwyanto et al. 2004).
Lahan rawa pasang surut seluas 24,8
juta ha di Sumatera, Kalimantan, dan Papua
baru sebagian kecil dimanfaatkan untuk
pertanian tanaman pangan dan sangat
potensial untuk pengembangan ternak. Di
samping itu, lahan sawah dan tegalan yang
belum dimanfaatkan secara optimal lebih
dari 10 juta ha. Lahan lainnya yang belum
dimanfaatkan secara optimal di Jawa sekitar
1 juta ha dan di Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi 5 juta ha (Ananto et al. 1998).
Iklim di Indonesia, khususnya di daerahdaerah tersebut, seperti curah hujan, suhu,
dan kelembapan udara, masih dapat
ditolerir oleh hampir semua jenis ternak
kecuali sapi perah.
Permasalahan
Petani Indonesia rata-rata hanya menguasai 0,98 ha lahan. Di Jawa, penguasaan
lahan lebih rendah lagi yaitu 0,34 ha, dan
di luar Jawa lebih baik yaitu 1,25 ha. Lahan
tersebut terdiri atas lahan sawah dan lahan kering. Dari lahan kering petani peternak hanya memiliki fasilitas padang
rumput 0,94% untuk rata-rata Indonesia,
di Jawa hanya 0,42% dan di luar Jawa
1,17%. Jika fasilitas padang rumput dan
lahan kering yang sementara tidak digunakan dianggap fasilitas untuk peternakan
maka rata-rata usaha tani di Indonesia
hanya mampu memelihara 0,5 satuan
ternak/tahun, untuk Jawa hanya 0,06 satuan ternak dan untuk luar Jawa 1,2 satuan
ternak (satu satuan ternak membutuhkan
14 ton hijauan segar per tahun, Hadi dan
Ilham 2002).
Selain lahan, modal merupakan faktor
pembatas kedua. Pada saat ini, tingkat
pemilikan ternak dalam usaha tani relatif
kecil, yaitu sapi 1-2 ekor, kambing/domba
3-5 ekor, dan unggas 5-20 ekor. Pendapatan kotor petani-peternak masih belum
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
petani dan keluarganya. Oleh karena itu,
usaha ternak hanya merupakan sumber
tambahan pendapatan untuk menopang
kebutuhan keluarga tani khususnya di
pedesaan. Kondisi ini harus segera diubah
agar usaha ternak dapat menjadi usaha
pokok yang dapat mensejahterakan petani
dan keluarganya.
Setelah lahan dan modal, teknologi peternakan merupakan faktor pembatas
ketiga. Produktivitas ternak dan hijauan
makanan ternak masih rendah. Kenaikan
bobot badan pada sapi potong, misalnya,
hanya 0,2-0,3 kg/hari. Dengan daya
dukung lahan 1 ekor/ha akan dihasilkan
daging 73-109,5 kg/ha/tahun. Di samping
itu, efisiensi reproduksi pada ternak ruminansia yang rendah, seperti umur beranak pertama, jarak beranak, angka kematian yang tinggi pada anak dan induk,
menyebabkan laju pertambahan populasi
menjadi lamban.
Melihat kenyataan tersebut, sepantasnya jika lahan kosong (lahan tidur) dan
yang belum dimanfaatkan secara optimal
digunakan untuk pengembangan ternak,
seperti lahan kering di DAS bagian hulu,
lahan sawah, lahan pasang surut, lahan
marginal, dan lahan perkebunan, sebagai
salah satu alternatif media sistem usaha
pertanian secara terpadu.
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
Penelitian sistem usaha pertanian
terpadu yang dijabarkan dalam bentuk
Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT)
dengan berbagai pola dan bentuk dirintis
oleh Badan Litbang Pertanian sejak tahun
1980 melalui berbagai proyek dan program,
antara lain: (1) Penelitian Penyelamatan
Hutan Tanah dan Air, (2) Crop Livestock
System Research, (3) SUT Sapi dan Padi,
(4) Pertanian Lahan Pasang Surut dan
Rawa, (5) Proyek Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu, (6) Pengembangan
Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang
Surut Sumatera Selatan, (7) P4MI, serta (8)
Sistem Integrasi Kelapa Sawit dan Sapi di
Daerah Perkebunan.
Dalam kegiatan tersebut dilakukan
penelitian dan pengembangan yang berbasis sumber daya dan komunitas yang
merupakan paradigma baru pada saat itu.
Paradigma tersebut dikembangkan sebagai
perluasan cakupan penelitian dari basis
komoditas yang kental dengan nuansa ego
subsektor. Dengan mengintegrasikan tanaman dan ternak dalam suatu sistem usaha tani terpadu, petani dapat memperluas
dan memperkuat sumber pendapatan
sekaligus menekan risiko kegagalan usaha. Melalui kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut telah banyak dihasilkan inovasi teknologi yang dapat dikembangkan lebih lanjut.
INOVASI TEKNOLOGI
PETERNAKAN DALAM SISTEM
INTEGRASI TANAMAN-TERNAK DI
BEBERAPA AGROEKOSISTEM
Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT)
dalam sistem usaha pertanian di suatu
wilayah merupakan ilmu rancang bangun
dan rekayasa sumber daya pertanian yang
193
tuntas. SITT pada dasarnya tidak terlepas
dari kaidah-kaidah ilmu usaha tani yang
berkembang lebih lanjut. Ilmu usaha tani
itu sendiri merupakan suatu proses produksi biologis yang memanfaatkan sumber
daya alam, sumber daya manusia, modal,
dan manajemen yang jumlahnya terbatas.
Karena sumber daya tersebut jumlahnya
terbatas maka penerapan SITT dalam
proses produksi pertanian tidak terlepas
dari prinsip dan teori ekonomi. Berikut ini
hasil-hasil penelitian dan pengembangan
dalam upaya meningkatkan pendapatan
petani melalui SITT dalam sistem usaha
pertanian di beberapa agroekosistem.
Daerah Lahan Kering Dataran
Tinggi
DAS bagian hulu merupakan areal pertanian lahan kering dataran tinggi yang
luasnya di Indonesia mencapai lebih dari
150 juta ha (Departemen Pertanian 1987).
Masalah utama di daerah ini adalah erosi
dan kesuburan tanah rendah sehingga
produktivitas tanaman dan ternak juga
rendah, yang pada akhirnya pendapatan
petani menjadi rendah pula. Hasil survei
pendasaran di DAS Citanduy, DAS Jratunseluna, dan DAS Brantas menunjukkan
bahwa tingkat pendapatan petani masingmasing hanya Rp43.500, Rp28.000, dan
Rp34.200/bulan (setara dengan 36,2 kg,
23,3 kg, dan 28,5 kg beras) (Fagi et al. 1988).
Dari pendapatan tersebut, kontribusi dari
hasil ternak berkisar antara 10-15%
(Knipscheer and Kusnadi 1983, Levine
dan Mulyadi 1986; Levine et al. 1998).
Saat ini telah dirancang pola usaha tani
konservasi yang dapat meningkatkan pendapatan petani, serta menjamin konservasi
tanah dan air. Komoditas tanaman maupun
194
ternak yang diusahakan didasarkan pada
kemiringan lahan, kedalaman tanah, erodibilitas, persepsi petani, dan permintaan
pasar (Kusnadi dan Prawiradiputra 1989b).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kapasitas lahan teras bangku mampu
mendukung 11-12 ekor domba atau 2 ekor
sapi/ha dengan rata-rata kenaikan bobot
badan 150 g/ekor/hari pada domba atau
0,45 kg/ekor/hari pada sapi (Kusnadi dan
Prawiradiputra 1989a), padahal di tingkat
petani kenaikan bobot badan hanya 50 g/
ekor/hari pada domba (Prasetyo et al. 1988)
dan 0,3 kg/ekor/hari pada sapi.
Tingkat kesuburan ternak domba menunjukkan angka kelahiran yang cukup
baik, yaitu 1,35-1,84 ekor/tahun, bahkan di
DAS Citanduy dapat mencapai 213%.
Angka kelahiran ini lebih tinggi daripada
angka kelahiran rata-rata untuk domba
yang dipelihara di pedesaan yang hanya
mencapai 1,25 ekor/tahun (Chaniago et al.
1984). Pemeliharaan 11-12 ekor domba atau
2 ekor sapi per hektar dapat menyumbang
36% kebutuhan pupuk kandang dalam
setahun (Prawiradiputra et al. 1986).
Namun demikian, pemeliharaan sapi dan
domba di daerah aliran sungai dapat
membantu memperbaiki sifat kimia dan fisik
tanah (Kusnadi dan Prawiradiputra 1989b).
Di samping memberikan kontribusi
pupuk kandang dalam sistem usaha tani
konservasi, ternak domba atau sapi dapat
memberikan sumbangan pendapatan yang
cukup tinggi, yaitu 47% dari total pendapatan petani dengan pemilikan lahan 0,71,2 ha dan 16 ekor ternak domba atau 2
ekor sapi (Kusnadi dan Prawiradiputra
1989b). Introduksi tanaman pakan ke dalam
sistem usaha tani konservasi pada lahan
miring dapat mengurangi laju erosi tanah
sampai 0,8 t/ha/tahun (Sembiring et al.
1990). Sistem usaha tani konservasi tersebut kini telah banyak diterapkan petani,
Uka Kusnadi
terutama di daerah perbukitan di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hal
ini merupakan dampak positip dari SITT di
DAS bagian hulu.
Daerah Lahan Kering Dataran
Rendah
Daerah transmigrasi Batumarta, Sumatera
Selatan, mewakili kategori agroekosistem
lahan kering beriklim basah yang luasnya
48,3 juta ha di Indonesia (Atmadilaga 1992;
Hidayat et al. 2000; Kurnia et al. 2000;
Santoso 2003). Masalah yang dihadapi di
daerah ini adalah tingkat kesuburan tanah
rendah, serta jumlah tenaga kerja dan dana
kurang memadai. Untuk mengatasi masalah
tersebut telah dirancang pola usaha tani
tanaman/ternak sebagai model usaha tani
introduksi, dengan tujuan untuk menghasilkan teknologi yang dapat meningkatkan pendapatan petani dengan memanfaatkan fasilitas yang dimiliki petani transmigran.
Dengan pola usaha tani tanamanternak, petani mampu mengolah lahan 1,52,0 ha, yang biasanya hanya mampu 0,7
ha. Di samping itu, pendapatan petani
meningkat hampir dua kali lipat. Bahkan
kontribusi ternak terhadap pendapatan
rumah tangga petani menggeser tanaman
pangan menjadi urutan kedua setelah karet
(Ismail et al. 1986; Kusnadi et al. 1986).
Model usaha tani introduksi ini telah
berkembang ke provinsi lain, yaitu Jambi,
Bengkulu, dan Lampung.
Daerah Lahan Sawah
Luas areal lahan sawah di Indonesia mencapai 8,5 juta ha dengan luas panen 10,7
juta ha (Adimihardja et al. 2001). Dalam
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
dekade tahun 1995-2005 produksi gabah
makin melandai akibat terkurasnya kesuburan lahan (Go 1998) dan penerapan
teknologi usaha tani yang kurang lengkap.
Dalam kaitan ini telah dilakukan upaya
untuk meningkatkan produksi ternak sapi
dengan tetap melestarikan sumber daya
sawah melalui program peningkatan
produktivitas padi terpadu dengan Sistem
Integrasi Padi-Ternak (SIPT) yang didukung oleh penguatan kelembagaan tani.
Kegiatan tersebut secara nyata dapat
meningkatkan hasil padi dan efisiensi
usaha tani. Hasil padi rata-rata meningkat
13,7-28,8% dengan tambahan keuntungan
Rp940.000/ha (Kusnadi et al. 2001a;
Ananto 2002). Model usaha penggemukan
sapi dengan memelihara 32 ekor sapi memberikan keuntungan Rp17.785.100 selama
4 bulan atau Rp556.000/ekor, di samping
petani memperoleh pupuk kandang 17.664
ton (Kusnadi et al. 2001b). SITT dan model
usaha penggemukan sapi di daerah berbasis padi kini telah berkembang di daerah
sentra produksi padi Jawa Barat, Sumatera
Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Daerah Lahan Pasang Surut
Masalah utama di lahan rawa pasang surut adalah pengelolaan air serta sifat tanah
yang masam dan ketersediaan tenaga kerja
pengolah tanah terbatas, serta sulitnya
transportasi untuk mengangkut hasil bumi
dan sarana produksi karena prasarana
jalan yang buruk (Kusnadi 2005b). Proyek
Swamps II, ISDP, dan SUP lahan pasang
surut berusaha mengatasi masalah tersebut dengan penataan lahan menggunakan sistem surjan dan mengintegrasikan ternak dan tanaman pakan.
195
Ternak yang diintroduksi di lahan
pasang surut adalah sapi, kerbau, domba,
kambing, itik, dan ayam buras. Sapi dan
kerbau berperan dalam pengolahan tanah
dan penyediaan pupuk. Dengan memelihara 2 ekor sapi atau kerbau, petani yang
biasanya hanya mampu mengolah lahan
0,5-1,0 ha, kini mampu mengolah lahan
sampai 2 ha. Berarti produktivitas petani
meningkat dua kali lipat. Di samping itu,
biaya pembelian pupuk berkurang 20%
(Kusnadi et al. 2000). Dampak dari penelitian ini adalah hampir setiap petani transmigran di lahan pasang surut memelihara
sapi atau kerbau untuk mengolah tanah.
Daerah Lahan Perkebunan
Penggunaan sapi sebagai tenaga kerja di
perkebunan sawit meningkatkan pendapatan pemanen hingga 50% melalui
penerimaan upah panen (Diwyanto et al.
2004; Manti et al. 2004). Sebaliknya,
perkebunan sawit mempunyai potensi
yang cukup besar untuk menyediakan
sumber pakan dari hasil samping kebun
(pelepah, daun) maupun limbah industri.
Bahan kering yang dihasilkan berpotensi
untuk memberikan pakan sapi 1-3 ekor/ha
pertanaman kelapa sawit. Kebutuhan
tenaga kerja sapi adalah 1 ekor untuk 15
ha. Dengan demikian, ditinjau dari ketersediaan pakan, setiap keluarga pemanen
berpotensi untuk memelihara tambahan
sapi sebanyak 14 ekor sepanjang tahun.
Keberhasilan model usaha sapi di perkebunan sawit ini menarik minat pengusaha
untuk mencari informasi sekaligus menerapkannya dan kini cukup berkembang
di Bengkulu dan Jambi.
196
Daerah Lahan Kering Beriklim
Kering
Lahan kering beriklim kering merupakan
aset nasional basis ekosistem yang cukup
luas, tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas lahan
marginal mencapai 51 juta ha, yang secara
ekonomi tidak memberikan keuntungan
yang berarti sehingga petani tetap dalam
kondisi miskin. Saat ini telah dikembangkan
sistem usaha tani terpadu yang melibatkan
ternak, baik sebagai komponen utama
maupun penunjang di lahan marginal
dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui inovasi teknologi
(Kusnadi 2005a)
Program Peningkatan Pendapatan
Petani Melalui Inovasi (P4MI) telah mampu meningkatkan fungsi dan peran ternak
secara signifikan dalam penyediaan pupuk,
pemanfaatan sisa/limbah pertanian, dan
sumber pendapatan. Di Lombok Timur,
produktivitas dan reproduktivitas kambing
cukup tinggi dibandingkan rata-rata yang
ada di NTB (Kusnadi et al. 2005).
Sistem integrasi tanaman-ternak di
lahan marginal, khususnya di Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur,
kini berkembang hampir di setiap kabupaten lokasi kegiatan P4MI (Kusnadi et al.
2005). Di Sulawesi Tengah, integrasi tanaman kakao dan kopi dengan ternak sapi
mulai menggeser sistem pemeliharaan sapi
secara ekstensif ke arah usaha yang intensif, karena adanya inovasi teknologi pemanfaatan kulit buah kakao dan kopi sebagai pakan sapi potong. Dengan demikian, lahan dan teknologi usaha sapi
potong sudah tersedia, tinggal bagaimana
sebenarnya kondisi, prospek, dan arah
pengembangan sapi potong di Indonesia.
Uka Kusnadi
PROSPEK DAN ARAH
PENGEMBANGAN PETERNAKAN
SAPI POTONG
Kondisi
Usaha sapi potong saat ini sebagian besar
dilakukan oleh peternakan rakyat dengan
skala usaha relatif kecil. Usaha ini biasanya
terintegrasi dengan kegiatan lain sehingga
usaha ternak bukan merupakan usaha
pokok petani, tetapi hanya sebagai penunjang. Hal ini berkonotasi bahwa pendapatan dari ternak relatif rendah.
Di Indonesia, khususnya di Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan
Sulawesi, pemeliharaan sapi umumnya
dilakukan secara ekstensif. Pada musim
kemarau, sapi tampak kurus dan tingkat
kematian tinggi karena kekurangan pakan
dan terserang berbagai penyakit. Kondisi
pemeliharaan seperti ini tidak akan mampu
mengejar laju permintaan daging untuk
memenuhi konsumsi dalam negeri 5 tahun
ke depan apabila tidak jelas arah tujuan
dan program untuk mengatasi masalah
tersebut.
Impor daging dan sapi bakalan yang
cenderung meningkat bukan semata-mata
disebabkan adanya kesenjangan permintaan dan penawaran, tetapi juga karena
kemudahan dalam pengadaan produk
impor (volume, kredit, transportasi) serta
harga produk yang relatif murah. Kondisi
ini mengakibatkan peternak lokal tidak
mampu bersaing dan kurang bergairah
mengelola usahanya secara baik karena
harga daging (sapi potong) di pasar domestik menjadi rendah. Keadaan ini
diperburuk oleh adanya daging impor
ilegal dalam beberapa tahun terakhir, yang
menyebabkan terpuruknya para peternak
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
akibat harga daging dan sapi lokal menurun. Namun pada tahun 2005, dengan
adanya penanggulangan daging ilegal dan
naiknya harga sapi impor, para pengusaha/peternak mulai bergairah kembali
untuk menggemukkan sapi lokal karena
memberikan keuntungan yang signifikan.
Prospek
Permintaan produk peternakan yang meningkat cepat atau bahkan lebih cepat dari
laju pendapatan konsumen menunjukkan
bahwa struktur konsumsi bahan pangan
telah bergeser dari dominan produk
karbohidrat ke bahan pangan sumber
protein terutama daging sapi. Selain
karena meningkatnya pendapatan, kecenderungan perubahan pola konsumsi juga
didorong oleh urbanisasi dan pengetahuan
masyarakat akan gizi yang makin baik.
Perpaduan antara peningkatan konsumsi
per kapita dan penambahan penduduk
akan menyebabkan permintaan terhadap
produk peternakan terus meningkat dengan laju yang makin pesat. Artinya
prospek pasar produk peternakan khususnya daging sapi cenderung membaik
seiring dengan kemajuan ekonomi yang
terefleksi dalam indikator kunci, yaitu
kapasitas absorbsi pasar makin besar dan
harga cenderung meningkat dibanding
komoditas pertanian lainnya.
Prospek pasar yang makin membaik
merupakan kekuatan penarik yang cukup
besar sebagai landasan terjadinya ”revolusi merah” di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Peternakan
akan menjadi sumber utama pertumbuhan
baru sektor pertanian yang ditopang oleh
inovasi teknologi yang dihasilkan Badan
Litbang Pertanian.
197
Arah dan Sasaran Pengembangan
Pengembangan usaha peternakan sapi
potong dalam 5 tahun ke depan diarahkan
untuk memenuhi kebutuhan daging sapi
domestik melalui percepatan peningkatan
produksi dalam rangka mengurangi ketergantungan impor dan pencapaian swasembada daging sapi pada tahun 2010.
Pencapaian produksi ini dengan asumsi
bahwa selama kurun waktu 5 tahun ke
depan, populasi sapi potong meningkat
5,9%, jumlah penduduk bertambah 1,45%,
dan konsumsi daging sapi per kapita naik
5,3%/tahun.
Pada tahun 2005, jumlah rumah tangga
petani mencapai 20.171.140, sedangkan
rumah tangga peternak 4.980.302. Dari
jumlah rumah tangga peternak tersebut,
58% adalah rumah tangga peternak sapi
potong atau sebanyak 2.888.575, dengan
tingkat pendapatan yang relatif rendah
dan kontribusi usaha ternak hanya 17-30%
terhadap total pendapatan. Apabila target
pendapatan petani US$2.500 untuk sektor
pertanian maka subsektor peternakan
dapat memberikan kontribusi pendapatan
US$1.500 (60%) dan sebagian besar (48%)
berasal dari usaha sapi potong. Untuk
mencapai target tersebut maka arah pengembangan pola usaha sapi potong yang
bersifat ekstensif harus diubah ke pola
usaha intensif dengan memanfaatkan
sumber daya lokal yang dimiliki petani,
khususnya petani berlahan sempit. Pola
usaha intensif melalui SITT, selain meningkatkan produksi daging dapat pula
membangkitkan kembali fungsi dan peran
ternak sapi/kerbau sebagai sumber tenaga
kerja, pupuk, dan gas bio yang merupakan
sumber energi terbarukan.
Penggunaan traktor untuk pengolahan
tanah di daerah dengan pola tanam intensif
198
secara selektif dapat dikurangi karena
sudah tidak efisien lagi dan memerlukan
biaya investasi dan operasional yang
tinggi, serta berdampak meningkatkan
penggunaan BBM. Jika harga traktor Rp15
juta, masa pakai 7-8 tahun, dan biaya
operasional Rp5 juta maka dana yang
dibutuhkan mencapai Rp20 juta. Setelah
masa pakai habis, traktor tidak memiliki nilai
lagi karena hanya merupakan besi tua.
Apabila dana tersebut digunakan untuk
membeli sapi/kerbau maka dapat diperoleh
4 ekor sapi/kerbau, dan selama 7-8 tahun
akan bertambah menjadi sedikitnya 20 ekor
dengan nilai yang lebih tinggi. Di samping
itu, tanah yang kurang subur dapat diperbaiki dengan menggunakan pupuk kandang dari kotoran ternak yang jumlahnya
sekitar 70-80 ton.
Indonesia dalam beberapa tahun mendatang akan mengalami krisis bahan bakar
sebagaimana dialami oleh negara lain,
khususnya minyak tanah untuk penerangan dan memasak. Kotoran sapi jika difermentasi secara anaerob akan menghasilkan
gas bio (metan) dalam jumlah banyak
bersama CO2. Metan inilah yang dapat
dibakar untuk keperluan penerangan dan
memasak.
Kontribusi gas bio bagi kehidupan
manusia adalah dalam hal suplai bahan
bakar, pupuk organik, masalah sanitasi,
kesehatan lingkungan, dan kontrol polusi
lingkungan. Oleh karena itu, sangatlah
tepat bahwa kita sebagai insan peternakan
perlu mengembangkan gas bio sebagai
sumber energi terbarukan. Hal ini karena
kotoran ternak merupakan sumber utama
dalam produksi gas bio, serta menjadi salah satu penyebab utama polusi lingkungan, dan gangguan kesehatan, khususnya
di daerah peternakan. Digest anaerobics
merupakan salah satu cara atau proses
untuk menghilangkan gangguan lingkung-
Uka Kusnadi
an. Oleh karena itu, pemanfaatan instalasi
gas bio selain difokuskan pada penyediaan
bahan bakar untuk keperluan penerangan
dan memasak dapat pula diarahkan pada
penanggulangan polusi dan pemanfaatan
untuk produksi protein bagi ikan dalam
integrated farming system. Di sinilah SITT
makin berperan dalam pengumpulan kotoran ternak dan pengembangan usaha.
STRATEGI KEBIJAKAN DAN
PROGRAM PENGEMBANGAN SAPI
POTONG KE DEPAN
Strategi
Strategi pengembangan sapi potong untuk
menuju swasembada daging sapi dilakukan secara bertahap melalui perbaikan
aspek usaha tani, pascaproduksi dan
penciptaan nilai tambah, kebijakan pemerintah serta perbaikan/pengembangan
pemasaran dan perdagangan dengan sistem kelembagaan yang sinergis. Langkah
strategis ini dijabarkan dalam bentuk peta
jalan (road map) menuju ”revolusi merah”
pengembangan sapi potong seperti pada
Gambar 1.
1. Pada aspek usaha tani, untuk memacu
produksi perlu dilakukan (a) perluasan
kawasan usaha pada lokasi spesifik, (b)
perbaikan mutu bibit dan reproduksi,
(c) perbaikan budi daya, dan (d) perbaikan pascapanen, yang bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi usaha
tani dan pengolahan hasil.
2. Pada aspek teknologi, perlu dilakukan
penelitian secara terus-menerus untuk
memperoleh inovasi teknologi dalam
perbibitan, pakan, reproduksi, kesehatan, dan manajemen budi daya yang
dapat meningkatkan kinerja sapi potong menjadi komoditas unggulan,
Populasi meningkat
Kondisi yang ingin dicapai tahun 2010
Efisiensi
meningkat
s
Perluasan kawasan usaha
lokasi spesifik
Kondisi yang dicapai (tujuan antara)
s
s
Perbaikan mutu bibit
dan reproduksi
s
Perbaikan budi daya
s
Usaha tani
sapi potong
(on farm)
Langkah strategi pengembangan
Jarak beranak pendek
Swasembada daging
tahun 2010
s
s
SITT (Integrasi)
s
Kinerja sapi
saat ini
Industri pengolah daging
s
Perbaikan pascapanen
Dalam usaha tani
dan pengolahan
Kinerja sapi
unggul
Teknologi: Bibit, pakan, reproduksi, kesehatan dan manajemen
Pengembangan infrastruktur
s
s t
Sistem permodalan
Sistem kelembagaan
s
Sarana dan Prasarana
s
Kebijakan
Stabiltas harga
sapi potong
t
• Pendapatan
• Produktivitas daging
• Daging berdaya saing
Kerja sama
Pemasaran
perdagangan
Pengembangan
pasar
Efisiensi
pemasaran
199
Gambar 1. Peta jalan menuju “Revolusi Merah” (road map pengembangan sapi potong)
s
s
Pengembangan unit usaha bersama
dan sistem informasi
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
Kondisi saat ini
200
Uka Kusnadi
selanjutnya dapat didiseminasikan
kepada pengguna.
3. Pada aspek penciptaan nilai tambah,
kegiatan yang perlu dilakukan meliputi
perluasan jaringan jalan usaha tani dan
sarana transportasi, serta renovasi rumah potong hewan di daerah sumber
produksi sehingga dapat menyediakan
daging lebih murah, menambah kesempatan kerja, dan meningkatkan perkembangan ekonomi wilayah.
4. Kebijakan pemerintah yang perlu dikembangkan mencakup sistem permodalan, kelembagaan, sarana dan prasarana, kerja sama baik dalam maupun
luar negeri, serta pengembangan unit
usaha bersama dan sistem informasi.
Kebijakan ini dapat memberikan pengaruh terhadap stabilisasi harga sapi
hidup dan daging sapi serta pemasaran
yang efisien.
Melalui keempat aspek tersebut, kinerja
sapi potong pada tahun 2010 akan berubah
menjadi sapi potong unggul dengan ciriciri dapat meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan produktivitas daging,
dan menghasilkan daging yang berkualitas sehingga memiliki daya saing yang
tinggi.
Kebijakan dan Program
Dengan memperhatikan peta jalan untuk
menuju swasembada daging sapi pada
tahun 2010 maka diperlukan kebijakan dan
program aksi sebagai berikut:
1. Peningkatan produktivitas usaha tani
ternak penghasil daging melalui:
a. Peningkatan hasil potensial dan
aktual beberapa jenis ternak penghasil daging (sapi potong, sapi
perah jantan, dan kerbau).
b. Percepatan dan perluasan diseminasi serta adopsi inovasi teknologi.
Peningkatan produktivitas sapi
potong sangat dimungkinkan bila
ditinjau dari potensi pengembangan jenis ternak unggulan penghasil daging dan kesiapan teknologi
sapi potong di Badan Litbang Pertanian.
c. Peningkatan produktivitas lahan
optimal maupun lahan suboptimal
khususnya di luar Jawa, seperti lahan sawah tadah hujan, lahan
kering dataran tinggi, lahan rawa
lebak/pasang surut, lahan perkebunan, serta lahan marginal melalui
pola SITT.
2. Peningkatan teknik budi daya dan pola
usaha dengan cara:
a. Mengembangkan agribisnis sapi
potong melalui pola SITT dalam
skala yang lebih besar, baik pada
daerah potensial maupun subpotensial, terutama yang sumber pakan hijauannya cukup sehingga
dapat menekan input dari luar.
b. Mengembangkan dan memanfaatkan sapi lokal unggul (PO, Bali,
Madura, dan lain-lain) sebagai bibit
melalui pelestarian dan seleksi serta
persilangan dengan sapi luar.
c. Mengembangkan dan memanfaatkan produksi gas bio dan kompos
secara massal.
d. Memperbaiki teknologi reproduksi
dan bibit sapi untuk meningkatkan
mutu genetik melalui seleksi pembentukan ternak komposit atau
grading up melalui kawin alami atau
IB.
3. Peningkatan peraturan serta penyediaan sarana dan prasarana, meliputi:
a. Mencegah dan melarang pemotongan hewan betina produktif dan
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
ternak muda dengan cara melakukan evaluasi dan kontrol yang ketat
terhadap peraturan yang berlaku.
b. Melarang ekspor sapi betina produktif, terutama sapi Bali yang
memiliki keunggulan produksi dan
reproduksi serta adaptasi yang
tinggi.
c. Mencegah dan melarang masuknya
daging dari negara yang belum
bebas penyakit berbahaya, serta
mengevaluasi kembali aturan impor
daging dan jeroan serta sapi potong
dengan bobot badan tinggi.
d. Meningkatkan penyediaan sarana
dan prasarana untuk usaha sapi
potong pada tingkat praproduksi,
produksi, dan pascaproduksi untuk
melancarkan distribusi bahan baku
dan pemasaran hasil.
4. Dukungan kebijakan investasi.
Upaya swasembada daging sapi
tahun 2010 perlu didukung oleh kebijakan pengembangan program investasi dengan melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak.
Kebijakan dalam pemasaran dan perdagangan akan memegang peran kunci.
Keberhasilan implementasi kebijakan
pasar daging maupun sapi hidup akan
memberi dampak langsung terhadap
bagian harga dan pendapatan yang
diterima pelaku agribisnis yang pada
gilirannya akan memantapkan proses
adopsi teknologi, meningkatkan produktivitas dan keuntungan usaha yang
pada akhirnya akan menjamin keberlanjutan investasi di masa depan.
Hal lain yang diperlukan dalam
upaya meningkatkan skala usaha,
terutama peternak mikro, kecil, dan
menengah, adalah peningkatan penyediaan dan aksesibilitas kredit
investasi perbankan dan kredit dengan
201
tingkat bunga rendah. Tingkat suku
bunga 7%/tahun dinilai cukup memadai
terutama untuk pembesaran sapi penghasil bakalan. Kredit investasi ini perlu
difasilitasi dengan pendampingan teknologi, manajemen usaha, dan pemberdayaan kelompok dalam menuju usaha
sapi potong yang tangguh.
KESIMPULAN
1. Dalam 10 tahun terakhir, pengembangan subsektor peternakan telah menunjukkan hasil yang nyata, terutama kontribusinya terhadap PDB. Konsumsi
daging, telur, dan susu masing-masing
meningkat 7,6%, 5,22%, dan 0,92%.
Namun peningkatan konsumsi belum
diimbangi dengan peningkatan produksi, terutama daging sapi yang populasinya bahkan menurun sampai 4,1%/
tahun.
2. Berdasarkan potensi pasar domestik,
ditinjau dari kesenjangan antara konsumsi dan produksi dalam negeri serta
volume impor daging yang makin meningkat, maka usaha ternak penghasil
daging khususnya sapi mempunyai
peluang yang besar untuk dikembangkan.
3. Sumber daya alam berupa lahan kering
beriklim basah dan kering, lahan sawah,
lahan pasang surut, lahan perkebunan
dan lahan lainnya yang belum dimanfaatkan secara optimal merupakan
sumber daya pakan potensial untuk pengembangan sapi potong di Indonesia.
4. Inovasi teknologi Sistem Integrasi
Tanaman-Ternak dalam sistem usaha
pertanian untuk berbagai agroekosistem telah dihasilkan Badan Litbang
Pertanian dan terbukti dapat meningkatkan efisiensi usaha tani, karena
202
Uka Kusnadi
fungsi dan peran ternak dalam penyediaan daging, tenaga kerja, pupuk, gas
bio, pemanfaatan limbah, dan peningkatan keuntungan merupakan teknologi yang ideal dalam usaha pengembangan sapi potong.
5. Usaha peternakan sapi potong diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
daging dalam negeri melalui percepatan peningkatan produksi untuk
mengurangi ketergantungan impor dan
pencapaian swasembada pada tahun
2010, dengan target memberikan
kontribusi terhadap total pendapatan
US$1.500 (60%) dan target antara
penghasil pupuk dan gas bio.
6. Untuk mewujudkan swasembada daging sapi tahun 2010 diperlukan langkah strategi kebijakan dan program aksi
penelitian dan pengembangan sapi
potong, terutama dalam peningkatan
produktivitas usaha tani, teknik budi
daya, pola usaha, kebijakan pengaturan, penyediaan sarana dan prasarana,
serta dukungan kebijakan investasi.
7. Upaya pencapaian swasembada daging sapi 2010 berimplikasi terhadap
penyediaan anggaran, terutama untuk
penelitian dan pengembangan, peningkatan kualitas sumber daya manusia,
penyediaan sarana dan prasarana,
pengaturan teknis dan administrasi,
serta promosi dan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, A., D.A. Suriadikarta, dan A.
Sofyan. 2001. Masalah tanah “sakit”
dan peningkatan produktivitasnya.
Makalah Pelatihan Pengkajian Crop
Livestock System. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor, 2229 April 2001.
Ananto, E.E., H. Subagyo, I.G. Ismail, U.
Kusnadi, T. Alihamsyah, R. Thahir,
Hermanto, dan Dewa K.S. 1998. Prospek
pengembangan sistem usaha pertanian
modern di lahan pasang surut Sumatera
Selatan. Proyek Pengembangan Usaha
Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera
Selatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Ananto, E.E. 2002. Penanganan panen dan
pascapanen padi pada sistem usahatani
padi ternak terpadu. Dalam R. Thahir
et al. (Ed.). Laporan Akhir Litkaji Pengembangan Model Pengolahan Padi.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
Atmadilaga, D. 1992. Sekilas gagasan
sumbangan ternak sebagai unsur nilai
tambah usaha tani dan konservasi
tanah pada lahan marginal. hlm. 1-3.
Prosiding Pengolahan dan Komunikasi
Hasil-hasil Penelitian, Adopsi Teknologi Peternakan, Bogor, 19-23 September 1991. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Chaniago, T.D., J.M. Obst, A. Parakasi, dan
M. Winugroho. 1984. Growth of Indonesian sheep under village and improved management systems. Dalam
M. Rangkuti et al. (Ed.). Prosiding
Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Departemen Pertanian. 1987. Pedoman Pola
Pembangunan di Daerah Aliran Sungai. SK Menteri Pertanian No. 175/
KPTS/Rc.220/4/1987. 2 April 1987.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2005.
Statistik Peternakan 2005. Direktorat
Jenderal Peternakan, Jakarta.
Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti. I.W.
Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. hlm. 11-22.
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
Prosiding Lokakarya Nasional Sistem
Integrasi Kelapa Sawit-Sapi, Bengkulu
9-10 September 2003. Departemen
Pertanian bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.
Fagi, A.M., I.G. Ismail, U. Kusnadi,
Suwardjo, dan Al Sri Bagyo. 1988.
Penelitian sistem usaha tani di daerah
aliran sungai. hlm. 1-24. Risalah Lokakarya Hasil Penelitian Pertanian Lahan
Kering dan Konservasi di Daerah Aliran
Sungai, Salatiga 14 Maret 1988. Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah
dan Air, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Go, B.H. 1998. Tanah lapar. Berita HITI
6(17): 11-12.
Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem dan
prospek pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 21(4): 148-157.
Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso.
2000. Potensi dan pengelolaan lahan
kering dataran rendah. hlm. 197-215.
Dalam Sumberdaya Lahan Indonesia
dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Ismail, I.G., U. Kusnadi, H. Supriadi, dan S.
Yana. 1986. Penelitian pola usahatani
tanaman/ternak di daerah transmigrasi
Batumarta. hlm. 3-16. Risalah Lokakarya
Pola Usahatani. Buku I. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan
IDRC.
Knipscheer, H.C. and U. Kusnadi. 1983.
The present and potential productivity
of Indonesian goats. Working paper
No. 29, December 1983, Winrock
International Morritton, AR. 72110,
USA. Research Institute for Animal
Production, Bogor.
203
Kurnia, U., Y. Sulaeman, dan A. Mukti K.
2000. Potensi dan pengelolaan lahan
kering dataran tinggi. hlm. 227-245.
Dalam Sumber Daya Lahan Indonesia
dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Kusnadi, U., D. Sugandi, A. Gozali N.,
B.R.Prawiradiputra, dan D. Muslich.
1986. Produktivitas ternak dalam usahatani tanaman ternak di daerah transmigrasi Batumarta. hlm. 41-54. Risalah
Lokakarya Pola Usahatani, Bogor 2-3
September 1986. Buku I Tanaman/
Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan IDRC.
Kusnadi, U. dan B.R. Prawiradiputra.
1989a. Produktivitas ternak domba di
DAS Citanduy. hlm. 287-294. Risalah
Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Konservasi
di DAS Citanduy, Linggarjati 9-11
Agustus 1988. P3HTA dan Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Kusnadi, U. dan B.R. Prawiradiputra.
1989b. Peranan ternak domba dalam
sistem usahatani konservasi lahan
kering di DAS Citanduy. hlm. 205-214.
Risalah Lokakarya Penelitian dan
Pengembangan Sistem Usahatani
Konservasi di DAS Citanduy, Linggarjati 9-11 Agustus 1988. P3HTA dan
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta.
Kusnadi, U., A. Gozali, dan E. Masbulan.
2000. Produktivitas ternak di lahan
rawa. hlm. 353-364. Prosiding Seminar
Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa, Cipayung
25-27 Juli 2000, Buku I. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Kusnadi, U., A. Thalib, dan D. Kusdiaman.
2001a. Model usaha penggemukan sapi
204
pada daerah berbasis usahatani padi.
Laporan Hasil Penelitian, Balai
Penelitian Ternak, Bogor.
Kusnadi, U., A. Thalib, dan M. Zulbardi,
2001b. Profitabilitas penggemukan sapi
PO pada daerah berbasis usahatani
padi di Kabupaten Subang. hlm. 435440. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor 1718 September 2001. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Kusnadi, U. 2005a. Produktivitas dan reproduktivitas serta sumbangan usaha
ternak kambing terhadap pendapatan
petani di lahan kering dataran rendah
Kabupaten Tangerang. hlm. 267-275.
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya
Saing di Lahan Kering. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada dan
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Kusnadi, U. 2005b. Strategi dan kebijakan
pengembangan ayam lokal di lahan
rawa untuk memacu ekonomi pedesaan.
hlm. 252-259. Prosiding Lokakarya
Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal, Semarang 26
Agustus 2005. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor dan
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
Kusnadi, U., K. Diwyanto, dan S. Bahri.
2005. Pengembangan sistem usaha tani
ternak-tanaman pangan berbasis kambing di Kabupaten Lombok Timur NTB.
hlm. 685-692. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor 12-13 September 2005.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Levine, J. dan A. Mulyadi N. 1986. Potensi
dan kontribusi ternak dalam pola
usahatani di hulu Daerah Aliran Sungai
Uka Kusnadi
Jratunseluna dan Brantas. hlm. 311-344.
Risalah Lokakarya Pola Usahatani.
Bogor 2-3 September 1986, Buku 2.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian dan IDRC.
Levine, J., U. Kusnadi, Subiharta, Wiloeto,
dan D. Pramono. 1998. Sistem produksi
ruminansia di DAS bagian hulu Jawa
Tengah. Prosiding Workshop Pengembangan Peternakan di Jawa Tengah.
Balai Informasi Pertanian Ungaran.
Manti, I., Azmi, E. Priyotomo, dan D.
Sitompul. 2004. Kajian sosial ekonomi
sistem integrasi sapi dan kelapa sawit.
hlm. 245-260. Prosiding Lokakarya
Nasional Sistem Integrasi Kelapa
Sawit-Sapi, Bengkulu 9-10 September
2003. Departemen Pertanian bekerja
sama dengan Pemerintah Provinsi
Bengkulu dan PT Agricinal.
Prasetyo, T., U. Kusnadi, dan Subiharta.
1988. Analisis keragaan produksi dan
reproduksi domba di DAS Jratunseluna. Risalah Lokakarya Hasil Penelitian
Pertanian Lahan Kering dan Konservasi di Daerah Aliran Sungai, Salatiga 14
Maret 1988. P3HTA dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Jakarta.
Prawiradiputra, B.R., D. Sugandi, dan U.
Kusnadi. 1986. Potensi dan penyediaan
pakan dalam pola usahatani tanaman/
ternak di Batumarta. hlm. 55-56. Risalah
Lokakarya Pola Usahatani, Bogor 2-3
September, 1986. Buku 1 Tanaman/
Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan IDRC.
Santoso, D. 2003. Teknologi lahan kering.
hlm. 187-198. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi, Bengkulu, 9-10 September 2003.
Departemen Pertanian bekerja sama
dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu
dan PT Agricinal.
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
Sembiring, H., Thamrin, A. Syam, A.
Adimihardja, dan S. Sukmana. 1990.
Peranan usahatani konservasi dalam
pengendalian erosi di Desa Srimulyo
Malang DAS Brantas. hlm. 27-40.
205
Risalah Pembahasan Hasil Penelitian
Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah, Bogor 11-13 Januari 1990.
P3HTA dan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta.
peternakan
dalam1(3),
sistem
integrasi
tanaman-ternak ...
Pengembangan
Pertanian
2008:
189-205
189
INOVASI TEKNOLOGI PETERNAKAN DALAM
SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK UNTUK
MENUNJANG SWASEMBADA DAGING SAPI
Uka Kusnadi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16143
PENDAHULUAN
Pengembangan subsektor peternakan
selama 10 tahun terakhir menunjukkan
hasil yang cukup nyata dalam berbagai
aspek, di antaranya produksi daging
meningkat dari 1.508.200 ton menjadi
2.613.200 ton atau naik 4,01%/tahun, telur
meningkat dari 736.000 ton menjadi
1.149.000 ton atau naik 5,6%/tahun, dan
susu meningkat dari 433.400 ton menjadi
550.000 ton atau naik 2,69%/tahun. Dengan tingkat pencapaian produksi tersebut maka tingkat konsumsi masyarakat,
khususnya protein hewani asal ternak,
meningkat dari 4,19 g menjadi 5,46 g/
kapita/hari atau naik 3,08%/tahun.
Dalam aspek penyerapan tenaga kerja,
selama 10 tahun terakhir subsektor peternakan menyerap tenaga kerja 1,5 juta
orang, dengan asumsi setiap satu orang
tenaga kerja membutuhkan investasi Rp5
juta. Namun, tingkat produktivitas tenaga
kerja subsektor peternakan masih lebih
rendah dibanding sektor industri. Pangsa
tenaga kerja peternakan terhadap angkatan kerja hanya 6,5%.
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor
Riset yang disampaikan pada tanggal 25 Juni
2007 di Bogor.
Dalam aspek pengentasan kemiskinan,
subsektor peternakan berperan sangat
penting. Berdasarkan data dari Proyek
Inpres Desa Tertinggal (IDT), komoditas
yang dipilih sebagian besar (60-70%)
adalah ternak. Begitu pula dalam Program
Peningkatan Pendapatan Petani Melalui
Inovasi (P4MI), semua lokasi kegiatan
menghendaki adanya sistem usaha
pertanian yang melibatkan ternak sebagai
basis dalam sistem usaha pertaniannya
(Kusnadi et al. 2005b).
Subsektor peternakan juga berperan
dalam penyediaan bahan baku industri
seperti kulit, sepatu, dan obat-obatan.
Dalam membantu pelestarian lingkungan
hidup, subsektor peternakan dapat menjadi salah satu mata rantai dalam siklus daur
ulang karena dapat meningkatkan kesuburan tanah dan mereklamasi lahan masam
terutama di lahan rawa pasang surut.
Keberhasilan pembangunan subsektor
peternakan dalam peningkatan produksi
tidak terlepas dari peran dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
peternakan yang dihasilkan Badan Litbang
Pertanian, baik dalam bentuk komponen
maupun paket teknologi, yang secara bertahap diterapkan dalam sistem usaha pertanian. Dengan demikian, upaya menghasilkan teknologi dan rekomendasi kebijakan penelitian dan pengembangan
190
Uka Kusnadi
peternakan yang sesuai dengan kondisi
spesifik lokasi dan kebutuhan pengguna
perlu dilakukan sinkronisasi antara
program penelitian dan pengembangan
dengan program pengembangan subsektor
peternakan.
Visi pembangunan peternakan di masa
mendatang adalah mewujudkan peternakan yang maju, efisien dan tangguh,
kompetitif, mandiri, dan berkelanjutan yang
sekaligus mampu memberdayakan ekonomi rakyat khususnya di pedesaan. Oleh
karena itu, pembangunan peternakan
diarahkan agar mampu bersaing di pasar
internasional, memantapkan ketahanan
pangan nasional dengan swasembada
daging sapi, serta meningkatkan kontribusi
peternakan dalam Pendapatan Domestik
Bruto (PDB).
Untuk mewujudkan visi tersebut maka
peran Badan Litbang Pertanian menjadi
sangat penting dalam mentransformasikan
usaha tani ternak dari sistem tradisional
ke sistem usaha tani yang berciri industri.
Makalah ini mengemukakan inovasi teknologi peternakan dalam Sistem Integrasi
Tanaman-Ternak (SITT) di beberapa agroekosistem (lokasi spesifik) yang dilaksanakan Badan Litbang Pertanian.
KINERJA, POTENSI, DAN
MASALAH PENGEMBANGAN
PETERNAKAN
Sumbangan subsektor peternakan terhadap PDB nasional meningkat selama
periode tahun 1996-2005, yaitu dari 1,72%
menjadi 1,94%. Begitu pula terhadap PDB
pertanian, kontribusinya meningkat dari
11,15% menjadi 12,71% sehingga laju
pertumbuhan subsektor peternakan sampai tahun 2005 mencapai 5% (Direktorat
Jenderal Peternakan 2005).
Populasi ternak yang menunjukkan
kenaikan selama 5 tahun terakhir (20012005) adalah sapi perah, kerbau, kambing,
domba, babi, ayam buras, ayam ras petelur,
ayam ras pedaging, dan itik masing-masing
meningkat 7,78%; 4,07%; 5,76%; 12%;
16,73%; 6,96%; 40,19%; 38,98%; dan
6,88%. Populasi ternak yang menurun
adalah sapi pedaging dan kuda, masingmasing -4,1% dan -3,79%.
Dalam periode yang sama, produksi
daging naik rata-rata 9,2%, telur 9,3%, dan
susu 6,19%/tahun. Telah terjadi pergeseran
produksi daging, yaitu sumbangan daging
sapi menurun dari 23,52% menjadi 21,95%,
daging kerbau menurun dari 3,18% menjadi
1,93%, sebaliknya proporsi daging kambing dan domba meningkat dari 5,42%
menjadi 5,93% dan daging unggas dari
56,58% menjadi 60,73%. Pergeseran ini
dipengaruhi oleh penurunan atau lambatnya kenaikan populasi sapi dan kerbau di
satu pihak, serta peningkatan populasi
kambing, domba, dan unggas di lain pihak.
Produksi telur juga mengalami pergeseran;
sumbangan telur ayam kampung menurun
dari 17,75% menjadi 15,75%, juga telur itik
dari 18,40% menjadi 15,69%, sedangkan
proporsi telur ayam ras meningkat dari
64,22% menjadi 68,56%. Produksi susu
selama 5 tahun terakhir juga menurun dari
479.947 ton menjadi 341.986 ton (-5,75%/
tahun). Dalam periode yang sama, secara
nasional konsumsi daging meningkat dari
5,15 kg menjadi 7,11 kg/kapita/tahun
(7,6%), konsumsi telur meningkat dari 3,48
kg menjadi 4,71 kg/kapita/tahun (5,22%),
dan konsumsi susu dari 6,50 kg menjadi
6,80 kg/kapita/tahun (0,92%).
Keragaan perkembangan daging, telur,
dan susu menunjukkan bahwa sampai
dengan tahun 1997 (sebelum krisis moneter), permintaan daging sebagian besar
masih dapat dipenuhi oleh produksi dalam
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
negeri sehingga volume impor tidak begitu
besar, rata-rata hanya 8.000 ton/tahun.
Namun mulai tahun 1998 impor daging
terus meningkat, bahkan pada tahun 2000
telah mencapai 72.295 ton, tetapi pada
tahun-tahun berikutnya mulai menurun
sehingga pada tahun 2004 impor daging
hanya 50.250 ton. Sejalan dengan itu,
volume impor sapi bakalan untuk penggemukan makin meningkat, seiring dengan
peningkatan permintaan dan didukung
oleh adanya kebijakan impor sapi bakalan
yang dimulai sejak tahun 1991. Pada saat
itu, impor sapi bakalan mencapai 12.500
ekor dengan kenaikan rata-rata 98,5%/
tahun. Pada tahun 1996, sebelum krisis
moneter, volume impor telah mencapai
367.000 ekor. Pada tahun 2000-2003, impor
sapi bakalan menurun dari 267.700 ekor
menjadi 208.000 ekor (7,33%/tahun),
namun pada tahun 2004 meningkat lagi
menjadi 235.800 ekor.
Dengan prakiraan laju pertumbuhan
ekonomi 6,3% dan laju pertumbuhan
penduduk 1,45%/tahun dalam 5 tahun ke
depan, maka konsumsi daging akan meningkat dengan laju 5,8%, untuk telur 6,2%,
dan susu 7-8%/tahun. Dengan memperhatikan preferensi konsumen, tampaknya
laju permintaan daging sapi/kerbau dan
ayam setingkat lebih tinggi dibanding laju
permintaan daging kambing/domba dan
babi, dan pada telur tampaknya telur ayam
ras lebih tinggi lajunya.
Dengan ketersediaan sumber daya
alam dan genetik yang dimiliki Indonesia,
sebenarnya melalui inovasi dan rekayasa
teknologi di bidang peternakan dapat
diciptakan berbagai produk unggulan
dengan muatan iptek yang akan memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif
karena sifatnya yang lokal spesifik.
Dilengkapi dengan penyempurnaan sistem
usaha tani ternak, teknik budi daya dan
191
pengendalian penyakit, serta perbaikan
efisiensi usaha maka usaha peternakan di
Indonesia sudah dapat memanfaatkan
pasar lokal yang begitu potensial, yang dicerminkan oleh permintaan yang makin
meningkat sejalan dengan membaiknya
kesejahteraan dan ekonomi masyarakat.
Potensi Pasar
Pada tahun 2004, impor sapi potong
mencapai 235.800 ekor dan daging sapi
50.250.400 ton ekuivalen 125.625 ekor sapi.
Bila jumlah ini sepenuhnya akan dipenuhi
dari dalam negeri maka sedikitnya diperlukan tambahan sapi induk 500.000 ekor
sehingga total populasi bertambah 1-2 juta
ekor. Sementara itu bila dalam 5 tahun
mendatang konsumsi daging rata-rata
meningkat dan mencapai 8,9 kg/kapita/
tahun maka diperlukan tambahan populasi
(induk, sapihan dan bakalan) 2-3 juta ekor.
Gambaran ini menunjukkan bahwa prospek
industri peternakan, khususnya ruminansia (sapi, kerbau, domba, kambing) di Indonesia cukup menjanjikan. Bila dalam 5
tahun mendatang kebijakan diarahkan
untuk melakukan substitusi impor secara
selektif maka sedikitnya diperlukan ketersediaan lahan dan atau pakan untuk memenuhi penyediaan pakan akibat penambahan populasi sebanyak 3-5 juta ekor.
Potensi Sumber Daya Alam
Sampai saat ini masih banyak lahan sawah
dan lahan kering (tegalan) di berbagai
agroekosistem yang belum dimanfaatkan
secara optimal untuk pengembangan
ternak, di antaranya tidak kurang dari 150
juta ha lahan kering dataran tinggi, khususnya di bagian hulu daerah aliran sungai
192
Uka Kusnadi
(DAS) di Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Papua, dan Sulawesi. Lahan kering dataran
rendah, khususnya di daerah transmigrasi
Sumatera dan Kalimantan, seluas 125 juta
ha juga belum dimanfaatkan secara optimal, termasuk di Jawa 15 juta ha. Bahkan
saat ini masih tersedia lahan kering kawasan perkebunan yang relatif kurang
ternak yang luasnya lebih dari 15 juta ha
(Fagi et al. 1988; Diwyanto et al. 2004).
Lahan rawa pasang surut seluas 24,8
juta ha di Sumatera, Kalimantan, dan Papua
baru sebagian kecil dimanfaatkan untuk
pertanian tanaman pangan dan sangat
potensial untuk pengembangan ternak. Di
samping itu, lahan sawah dan tegalan yang
belum dimanfaatkan secara optimal lebih
dari 10 juta ha. Lahan lainnya yang belum
dimanfaatkan secara optimal di Jawa sekitar
1 juta ha dan di Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi 5 juta ha (Ananto et al. 1998).
Iklim di Indonesia, khususnya di daerahdaerah tersebut, seperti curah hujan, suhu,
dan kelembapan udara, masih dapat
ditolerir oleh hampir semua jenis ternak
kecuali sapi perah.
Permasalahan
Petani Indonesia rata-rata hanya menguasai 0,98 ha lahan. Di Jawa, penguasaan
lahan lebih rendah lagi yaitu 0,34 ha, dan
di luar Jawa lebih baik yaitu 1,25 ha. Lahan
tersebut terdiri atas lahan sawah dan lahan kering. Dari lahan kering petani peternak hanya memiliki fasilitas padang
rumput 0,94% untuk rata-rata Indonesia,
di Jawa hanya 0,42% dan di luar Jawa
1,17%. Jika fasilitas padang rumput dan
lahan kering yang sementara tidak digunakan dianggap fasilitas untuk peternakan
maka rata-rata usaha tani di Indonesia
hanya mampu memelihara 0,5 satuan
ternak/tahun, untuk Jawa hanya 0,06 satuan ternak dan untuk luar Jawa 1,2 satuan
ternak (satu satuan ternak membutuhkan
14 ton hijauan segar per tahun, Hadi dan
Ilham 2002).
Selain lahan, modal merupakan faktor
pembatas kedua. Pada saat ini, tingkat
pemilikan ternak dalam usaha tani relatif
kecil, yaitu sapi 1-2 ekor, kambing/domba
3-5 ekor, dan unggas 5-20 ekor. Pendapatan kotor petani-peternak masih belum
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
petani dan keluarganya. Oleh karena itu,
usaha ternak hanya merupakan sumber
tambahan pendapatan untuk menopang
kebutuhan keluarga tani khususnya di
pedesaan. Kondisi ini harus segera diubah
agar usaha ternak dapat menjadi usaha
pokok yang dapat mensejahterakan petani
dan keluarganya.
Setelah lahan dan modal, teknologi peternakan merupakan faktor pembatas
ketiga. Produktivitas ternak dan hijauan
makanan ternak masih rendah. Kenaikan
bobot badan pada sapi potong, misalnya,
hanya 0,2-0,3 kg/hari. Dengan daya
dukung lahan 1 ekor/ha akan dihasilkan
daging 73-109,5 kg/ha/tahun. Di samping
itu, efisiensi reproduksi pada ternak ruminansia yang rendah, seperti umur beranak pertama, jarak beranak, angka kematian yang tinggi pada anak dan induk,
menyebabkan laju pertambahan populasi
menjadi lamban.
Melihat kenyataan tersebut, sepantasnya jika lahan kosong (lahan tidur) dan
yang belum dimanfaatkan secara optimal
digunakan untuk pengembangan ternak,
seperti lahan kering di DAS bagian hulu,
lahan sawah, lahan pasang surut, lahan
marginal, dan lahan perkebunan, sebagai
salah satu alternatif media sistem usaha
pertanian secara terpadu.
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
Penelitian sistem usaha pertanian
terpadu yang dijabarkan dalam bentuk
Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT)
dengan berbagai pola dan bentuk dirintis
oleh Badan Litbang Pertanian sejak tahun
1980 melalui berbagai proyek dan program,
antara lain: (1) Penelitian Penyelamatan
Hutan Tanah dan Air, (2) Crop Livestock
System Research, (3) SUT Sapi dan Padi,
(4) Pertanian Lahan Pasang Surut dan
Rawa, (5) Proyek Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu, (6) Pengembangan
Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang
Surut Sumatera Selatan, (7) P4MI, serta (8)
Sistem Integrasi Kelapa Sawit dan Sapi di
Daerah Perkebunan.
Dalam kegiatan tersebut dilakukan
penelitian dan pengembangan yang berbasis sumber daya dan komunitas yang
merupakan paradigma baru pada saat itu.
Paradigma tersebut dikembangkan sebagai
perluasan cakupan penelitian dari basis
komoditas yang kental dengan nuansa ego
subsektor. Dengan mengintegrasikan tanaman dan ternak dalam suatu sistem usaha tani terpadu, petani dapat memperluas
dan memperkuat sumber pendapatan
sekaligus menekan risiko kegagalan usaha. Melalui kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut telah banyak dihasilkan inovasi teknologi yang dapat dikembangkan lebih lanjut.
INOVASI TEKNOLOGI
PETERNAKAN DALAM SISTEM
INTEGRASI TANAMAN-TERNAK DI
BEBERAPA AGROEKOSISTEM
Sistem Integrasi Tanaman-Ternak (SITT)
dalam sistem usaha pertanian di suatu
wilayah merupakan ilmu rancang bangun
dan rekayasa sumber daya pertanian yang
193
tuntas. SITT pada dasarnya tidak terlepas
dari kaidah-kaidah ilmu usaha tani yang
berkembang lebih lanjut. Ilmu usaha tani
itu sendiri merupakan suatu proses produksi biologis yang memanfaatkan sumber
daya alam, sumber daya manusia, modal,
dan manajemen yang jumlahnya terbatas.
Karena sumber daya tersebut jumlahnya
terbatas maka penerapan SITT dalam
proses produksi pertanian tidak terlepas
dari prinsip dan teori ekonomi. Berikut ini
hasil-hasil penelitian dan pengembangan
dalam upaya meningkatkan pendapatan
petani melalui SITT dalam sistem usaha
pertanian di beberapa agroekosistem.
Daerah Lahan Kering Dataran
Tinggi
DAS bagian hulu merupakan areal pertanian lahan kering dataran tinggi yang
luasnya di Indonesia mencapai lebih dari
150 juta ha (Departemen Pertanian 1987).
Masalah utama di daerah ini adalah erosi
dan kesuburan tanah rendah sehingga
produktivitas tanaman dan ternak juga
rendah, yang pada akhirnya pendapatan
petani menjadi rendah pula. Hasil survei
pendasaran di DAS Citanduy, DAS Jratunseluna, dan DAS Brantas menunjukkan
bahwa tingkat pendapatan petani masingmasing hanya Rp43.500, Rp28.000, dan
Rp34.200/bulan (setara dengan 36,2 kg,
23,3 kg, dan 28,5 kg beras) (Fagi et al. 1988).
Dari pendapatan tersebut, kontribusi dari
hasil ternak berkisar antara 10-15%
(Knipscheer and Kusnadi 1983, Levine
dan Mulyadi 1986; Levine et al. 1998).
Saat ini telah dirancang pola usaha tani
konservasi yang dapat meningkatkan pendapatan petani, serta menjamin konservasi
tanah dan air. Komoditas tanaman maupun
194
ternak yang diusahakan didasarkan pada
kemiringan lahan, kedalaman tanah, erodibilitas, persepsi petani, dan permintaan
pasar (Kusnadi dan Prawiradiputra 1989b).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kapasitas lahan teras bangku mampu
mendukung 11-12 ekor domba atau 2 ekor
sapi/ha dengan rata-rata kenaikan bobot
badan 150 g/ekor/hari pada domba atau
0,45 kg/ekor/hari pada sapi (Kusnadi dan
Prawiradiputra 1989a), padahal di tingkat
petani kenaikan bobot badan hanya 50 g/
ekor/hari pada domba (Prasetyo et al. 1988)
dan 0,3 kg/ekor/hari pada sapi.
Tingkat kesuburan ternak domba menunjukkan angka kelahiran yang cukup
baik, yaitu 1,35-1,84 ekor/tahun, bahkan di
DAS Citanduy dapat mencapai 213%.
Angka kelahiran ini lebih tinggi daripada
angka kelahiran rata-rata untuk domba
yang dipelihara di pedesaan yang hanya
mencapai 1,25 ekor/tahun (Chaniago et al.
1984). Pemeliharaan 11-12 ekor domba atau
2 ekor sapi per hektar dapat menyumbang
36% kebutuhan pupuk kandang dalam
setahun (Prawiradiputra et al. 1986).
Namun demikian, pemeliharaan sapi dan
domba di daerah aliran sungai dapat
membantu memperbaiki sifat kimia dan fisik
tanah (Kusnadi dan Prawiradiputra 1989b).
Di samping memberikan kontribusi
pupuk kandang dalam sistem usaha tani
konservasi, ternak domba atau sapi dapat
memberikan sumbangan pendapatan yang
cukup tinggi, yaitu 47% dari total pendapatan petani dengan pemilikan lahan 0,71,2 ha dan 16 ekor ternak domba atau 2
ekor sapi (Kusnadi dan Prawiradiputra
1989b). Introduksi tanaman pakan ke dalam
sistem usaha tani konservasi pada lahan
miring dapat mengurangi laju erosi tanah
sampai 0,8 t/ha/tahun (Sembiring et al.
1990). Sistem usaha tani konservasi tersebut kini telah banyak diterapkan petani,
Uka Kusnadi
terutama di daerah perbukitan di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hal
ini merupakan dampak positip dari SITT di
DAS bagian hulu.
Daerah Lahan Kering Dataran
Rendah
Daerah transmigrasi Batumarta, Sumatera
Selatan, mewakili kategori agroekosistem
lahan kering beriklim basah yang luasnya
48,3 juta ha di Indonesia (Atmadilaga 1992;
Hidayat et al. 2000; Kurnia et al. 2000;
Santoso 2003). Masalah yang dihadapi di
daerah ini adalah tingkat kesuburan tanah
rendah, serta jumlah tenaga kerja dan dana
kurang memadai. Untuk mengatasi masalah
tersebut telah dirancang pola usaha tani
tanaman/ternak sebagai model usaha tani
introduksi, dengan tujuan untuk menghasilkan teknologi yang dapat meningkatkan pendapatan petani dengan memanfaatkan fasilitas yang dimiliki petani transmigran.
Dengan pola usaha tani tanamanternak, petani mampu mengolah lahan 1,52,0 ha, yang biasanya hanya mampu 0,7
ha. Di samping itu, pendapatan petani
meningkat hampir dua kali lipat. Bahkan
kontribusi ternak terhadap pendapatan
rumah tangga petani menggeser tanaman
pangan menjadi urutan kedua setelah karet
(Ismail et al. 1986; Kusnadi et al. 1986).
Model usaha tani introduksi ini telah
berkembang ke provinsi lain, yaitu Jambi,
Bengkulu, dan Lampung.
Daerah Lahan Sawah
Luas areal lahan sawah di Indonesia mencapai 8,5 juta ha dengan luas panen 10,7
juta ha (Adimihardja et al. 2001). Dalam
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
dekade tahun 1995-2005 produksi gabah
makin melandai akibat terkurasnya kesuburan lahan (Go 1998) dan penerapan
teknologi usaha tani yang kurang lengkap.
Dalam kaitan ini telah dilakukan upaya
untuk meningkatkan produksi ternak sapi
dengan tetap melestarikan sumber daya
sawah melalui program peningkatan
produktivitas padi terpadu dengan Sistem
Integrasi Padi-Ternak (SIPT) yang didukung oleh penguatan kelembagaan tani.
Kegiatan tersebut secara nyata dapat
meningkatkan hasil padi dan efisiensi
usaha tani. Hasil padi rata-rata meningkat
13,7-28,8% dengan tambahan keuntungan
Rp940.000/ha (Kusnadi et al. 2001a;
Ananto 2002). Model usaha penggemukan
sapi dengan memelihara 32 ekor sapi memberikan keuntungan Rp17.785.100 selama
4 bulan atau Rp556.000/ekor, di samping
petani memperoleh pupuk kandang 17.664
ton (Kusnadi et al. 2001b). SITT dan model
usaha penggemukan sapi di daerah berbasis padi kini telah berkembang di daerah
sentra produksi padi Jawa Barat, Sumatera
Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Daerah Lahan Pasang Surut
Masalah utama di lahan rawa pasang surut adalah pengelolaan air serta sifat tanah
yang masam dan ketersediaan tenaga kerja
pengolah tanah terbatas, serta sulitnya
transportasi untuk mengangkut hasil bumi
dan sarana produksi karena prasarana
jalan yang buruk (Kusnadi 2005b). Proyek
Swamps II, ISDP, dan SUP lahan pasang
surut berusaha mengatasi masalah tersebut dengan penataan lahan menggunakan sistem surjan dan mengintegrasikan ternak dan tanaman pakan.
195
Ternak yang diintroduksi di lahan
pasang surut adalah sapi, kerbau, domba,
kambing, itik, dan ayam buras. Sapi dan
kerbau berperan dalam pengolahan tanah
dan penyediaan pupuk. Dengan memelihara 2 ekor sapi atau kerbau, petani yang
biasanya hanya mampu mengolah lahan
0,5-1,0 ha, kini mampu mengolah lahan
sampai 2 ha. Berarti produktivitas petani
meningkat dua kali lipat. Di samping itu,
biaya pembelian pupuk berkurang 20%
(Kusnadi et al. 2000). Dampak dari penelitian ini adalah hampir setiap petani transmigran di lahan pasang surut memelihara
sapi atau kerbau untuk mengolah tanah.
Daerah Lahan Perkebunan
Penggunaan sapi sebagai tenaga kerja di
perkebunan sawit meningkatkan pendapatan pemanen hingga 50% melalui
penerimaan upah panen (Diwyanto et al.
2004; Manti et al. 2004). Sebaliknya,
perkebunan sawit mempunyai potensi
yang cukup besar untuk menyediakan
sumber pakan dari hasil samping kebun
(pelepah, daun) maupun limbah industri.
Bahan kering yang dihasilkan berpotensi
untuk memberikan pakan sapi 1-3 ekor/ha
pertanaman kelapa sawit. Kebutuhan
tenaga kerja sapi adalah 1 ekor untuk 15
ha. Dengan demikian, ditinjau dari ketersediaan pakan, setiap keluarga pemanen
berpotensi untuk memelihara tambahan
sapi sebanyak 14 ekor sepanjang tahun.
Keberhasilan model usaha sapi di perkebunan sawit ini menarik minat pengusaha
untuk mencari informasi sekaligus menerapkannya dan kini cukup berkembang
di Bengkulu dan Jambi.
196
Daerah Lahan Kering Beriklim
Kering
Lahan kering beriklim kering merupakan
aset nasional basis ekosistem yang cukup
luas, tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas lahan
marginal mencapai 51 juta ha, yang secara
ekonomi tidak memberikan keuntungan
yang berarti sehingga petani tetap dalam
kondisi miskin. Saat ini telah dikembangkan
sistem usaha tani terpadu yang melibatkan
ternak, baik sebagai komponen utama
maupun penunjang di lahan marginal
dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui inovasi teknologi
(Kusnadi 2005a)
Program Peningkatan Pendapatan
Petani Melalui Inovasi (P4MI) telah mampu meningkatkan fungsi dan peran ternak
secara signifikan dalam penyediaan pupuk,
pemanfaatan sisa/limbah pertanian, dan
sumber pendapatan. Di Lombok Timur,
produktivitas dan reproduktivitas kambing
cukup tinggi dibandingkan rata-rata yang
ada di NTB (Kusnadi et al. 2005).
Sistem integrasi tanaman-ternak di
lahan marginal, khususnya di Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur,
kini berkembang hampir di setiap kabupaten lokasi kegiatan P4MI (Kusnadi et al.
2005). Di Sulawesi Tengah, integrasi tanaman kakao dan kopi dengan ternak sapi
mulai menggeser sistem pemeliharaan sapi
secara ekstensif ke arah usaha yang intensif, karena adanya inovasi teknologi pemanfaatan kulit buah kakao dan kopi sebagai pakan sapi potong. Dengan demikian, lahan dan teknologi usaha sapi
potong sudah tersedia, tinggal bagaimana
sebenarnya kondisi, prospek, dan arah
pengembangan sapi potong di Indonesia.
Uka Kusnadi
PROSPEK DAN ARAH
PENGEMBANGAN PETERNAKAN
SAPI POTONG
Kondisi
Usaha sapi potong saat ini sebagian besar
dilakukan oleh peternakan rakyat dengan
skala usaha relatif kecil. Usaha ini biasanya
terintegrasi dengan kegiatan lain sehingga
usaha ternak bukan merupakan usaha
pokok petani, tetapi hanya sebagai penunjang. Hal ini berkonotasi bahwa pendapatan dari ternak relatif rendah.
Di Indonesia, khususnya di Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan
Sulawesi, pemeliharaan sapi umumnya
dilakukan secara ekstensif. Pada musim
kemarau, sapi tampak kurus dan tingkat
kematian tinggi karena kekurangan pakan
dan terserang berbagai penyakit. Kondisi
pemeliharaan seperti ini tidak akan mampu
mengejar laju permintaan daging untuk
memenuhi konsumsi dalam negeri 5 tahun
ke depan apabila tidak jelas arah tujuan
dan program untuk mengatasi masalah
tersebut.
Impor daging dan sapi bakalan yang
cenderung meningkat bukan semata-mata
disebabkan adanya kesenjangan permintaan dan penawaran, tetapi juga karena
kemudahan dalam pengadaan produk
impor (volume, kredit, transportasi) serta
harga produk yang relatif murah. Kondisi
ini mengakibatkan peternak lokal tidak
mampu bersaing dan kurang bergairah
mengelola usahanya secara baik karena
harga daging (sapi potong) di pasar domestik menjadi rendah. Keadaan ini
diperburuk oleh adanya daging impor
ilegal dalam beberapa tahun terakhir, yang
menyebabkan terpuruknya para peternak
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
akibat harga daging dan sapi lokal menurun. Namun pada tahun 2005, dengan
adanya penanggulangan daging ilegal dan
naiknya harga sapi impor, para pengusaha/peternak mulai bergairah kembali
untuk menggemukkan sapi lokal karena
memberikan keuntungan yang signifikan.
Prospek
Permintaan produk peternakan yang meningkat cepat atau bahkan lebih cepat dari
laju pendapatan konsumen menunjukkan
bahwa struktur konsumsi bahan pangan
telah bergeser dari dominan produk
karbohidrat ke bahan pangan sumber
protein terutama daging sapi. Selain
karena meningkatnya pendapatan, kecenderungan perubahan pola konsumsi juga
didorong oleh urbanisasi dan pengetahuan
masyarakat akan gizi yang makin baik.
Perpaduan antara peningkatan konsumsi
per kapita dan penambahan penduduk
akan menyebabkan permintaan terhadap
produk peternakan terus meningkat dengan laju yang makin pesat. Artinya
prospek pasar produk peternakan khususnya daging sapi cenderung membaik
seiring dengan kemajuan ekonomi yang
terefleksi dalam indikator kunci, yaitu
kapasitas absorbsi pasar makin besar dan
harga cenderung meningkat dibanding
komoditas pertanian lainnya.
Prospek pasar yang makin membaik
merupakan kekuatan penarik yang cukup
besar sebagai landasan terjadinya ”revolusi merah” di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Peternakan
akan menjadi sumber utama pertumbuhan
baru sektor pertanian yang ditopang oleh
inovasi teknologi yang dihasilkan Badan
Litbang Pertanian.
197
Arah dan Sasaran Pengembangan
Pengembangan usaha peternakan sapi
potong dalam 5 tahun ke depan diarahkan
untuk memenuhi kebutuhan daging sapi
domestik melalui percepatan peningkatan
produksi dalam rangka mengurangi ketergantungan impor dan pencapaian swasembada daging sapi pada tahun 2010.
Pencapaian produksi ini dengan asumsi
bahwa selama kurun waktu 5 tahun ke
depan, populasi sapi potong meningkat
5,9%, jumlah penduduk bertambah 1,45%,
dan konsumsi daging sapi per kapita naik
5,3%/tahun.
Pada tahun 2005, jumlah rumah tangga
petani mencapai 20.171.140, sedangkan
rumah tangga peternak 4.980.302. Dari
jumlah rumah tangga peternak tersebut,
58% adalah rumah tangga peternak sapi
potong atau sebanyak 2.888.575, dengan
tingkat pendapatan yang relatif rendah
dan kontribusi usaha ternak hanya 17-30%
terhadap total pendapatan. Apabila target
pendapatan petani US$2.500 untuk sektor
pertanian maka subsektor peternakan
dapat memberikan kontribusi pendapatan
US$1.500 (60%) dan sebagian besar (48%)
berasal dari usaha sapi potong. Untuk
mencapai target tersebut maka arah pengembangan pola usaha sapi potong yang
bersifat ekstensif harus diubah ke pola
usaha intensif dengan memanfaatkan
sumber daya lokal yang dimiliki petani,
khususnya petani berlahan sempit. Pola
usaha intensif melalui SITT, selain meningkatkan produksi daging dapat pula
membangkitkan kembali fungsi dan peran
ternak sapi/kerbau sebagai sumber tenaga
kerja, pupuk, dan gas bio yang merupakan
sumber energi terbarukan.
Penggunaan traktor untuk pengolahan
tanah di daerah dengan pola tanam intensif
198
secara selektif dapat dikurangi karena
sudah tidak efisien lagi dan memerlukan
biaya investasi dan operasional yang
tinggi, serta berdampak meningkatkan
penggunaan BBM. Jika harga traktor Rp15
juta, masa pakai 7-8 tahun, dan biaya
operasional Rp5 juta maka dana yang
dibutuhkan mencapai Rp20 juta. Setelah
masa pakai habis, traktor tidak memiliki nilai
lagi karena hanya merupakan besi tua.
Apabila dana tersebut digunakan untuk
membeli sapi/kerbau maka dapat diperoleh
4 ekor sapi/kerbau, dan selama 7-8 tahun
akan bertambah menjadi sedikitnya 20 ekor
dengan nilai yang lebih tinggi. Di samping
itu, tanah yang kurang subur dapat diperbaiki dengan menggunakan pupuk kandang dari kotoran ternak yang jumlahnya
sekitar 70-80 ton.
Indonesia dalam beberapa tahun mendatang akan mengalami krisis bahan bakar
sebagaimana dialami oleh negara lain,
khususnya minyak tanah untuk penerangan dan memasak. Kotoran sapi jika difermentasi secara anaerob akan menghasilkan
gas bio (metan) dalam jumlah banyak
bersama CO2. Metan inilah yang dapat
dibakar untuk keperluan penerangan dan
memasak.
Kontribusi gas bio bagi kehidupan
manusia adalah dalam hal suplai bahan
bakar, pupuk organik, masalah sanitasi,
kesehatan lingkungan, dan kontrol polusi
lingkungan. Oleh karena itu, sangatlah
tepat bahwa kita sebagai insan peternakan
perlu mengembangkan gas bio sebagai
sumber energi terbarukan. Hal ini karena
kotoran ternak merupakan sumber utama
dalam produksi gas bio, serta menjadi salah satu penyebab utama polusi lingkungan, dan gangguan kesehatan, khususnya
di daerah peternakan. Digest anaerobics
merupakan salah satu cara atau proses
untuk menghilangkan gangguan lingkung-
Uka Kusnadi
an. Oleh karena itu, pemanfaatan instalasi
gas bio selain difokuskan pada penyediaan
bahan bakar untuk keperluan penerangan
dan memasak dapat pula diarahkan pada
penanggulangan polusi dan pemanfaatan
untuk produksi protein bagi ikan dalam
integrated farming system. Di sinilah SITT
makin berperan dalam pengumpulan kotoran ternak dan pengembangan usaha.
STRATEGI KEBIJAKAN DAN
PROGRAM PENGEMBANGAN SAPI
POTONG KE DEPAN
Strategi
Strategi pengembangan sapi potong untuk
menuju swasembada daging sapi dilakukan secara bertahap melalui perbaikan
aspek usaha tani, pascaproduksi dan
penciptaan nilai tambah, kebijakan pemerintah serta perbaikan/pengembangan
pemasaran dan perdagangan dengan sistem kelembagaan yang sinergis. Langkah
strategis ini dijabarkan dalam bentuk peta
jalan (road map) menuju ”revolusi merah”
pengembangan sapi potong seperti pada
Gambar 1.
1. Pada aspek usaha tani, untuk memacu
produksi perlu dilakukan (a) perluasan
kawasan usaha pada lokasi spesifik, (b)
perbaikan mutu bibit dan reproduksi,
(c) perbaikan budi daya, dan (d) perbaikan pascapanen, yang bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi usaha
tani dan pengolahan hasil.
2. Pada aspek teknologi, perlu dilakukan
penelitian secara terus-menerus untuk
memperoleh inovasi teknologi dalam
perbibitan, pakan, reproduksi, kesehatan, dan manajemen budi daya yang
dapat meningkatkan kinerja sapi potong menjadi komoditas unggulan,
Populasi meningkat
Kondisi yang ingin dicapai tahun 2010
Efisiensi
meningkat
s
Perluasan kawasan usaha
lokasi spesifik
Kondisi yang dicapai (tujuan antara)
s
s
Perbaikan mutu bibit
dan reproduksi
s
Perbaikan budi daya
s
Usaha tani
sapi potong
(on farm)
Langkah strategi pengembangan
Jarak beranak pendek
Swasembada daging
tahun 2010
s
s
SITT (Integrasi)
s
Kinerja sapi
saat ini
Industri pengolah daging
s
Perbaikan pascapanen
Dalam usaha tani
dan pengolahan
Kinerja sapi
unggul
Teknologi: Bibit, pakan, reproduksi, kesehatan dan manajemen
Pengembangan infrastruktur
s
s t
Sistem permodalan
Sistem kelembagaan
s
Sarana dan Prasarana
s
Kebijakan
Stabiltas harga
sapi potong
t
• Pendapatan
• Produktivitas daging
• Daging berdaya saing
Kerja sama
Pemasaran
perdagangan
Pengembangan
pasar
Efisiensi
pemasaran
199
Gambar 1. Peta jalan menuju “Revolusi Merah” (road map pengembangan sapi potong)
s
s
Pengembangan unit usaha bersama
dan sistem informasi
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
Kondisi saat ini
200
Uka Kusnadi
selanjutnya dapat didiseminasikan
kepada pengguna.
3. Pada aspek penciptaan nilai tambah,
kegiatan yang perlu dilakukan meliputi
perluasan jaringan jalan usaha tani dan
sarana transportasi, serta renovasi rumah potong hewan di daerah sumber
produksi sehingga dapat menyediakan
daging lebih murah, menambah kesempatan kerja, dan meningkatkan perkembangan ekonomi wilayah.
4. Kebijakan pemerintah yang perlu dikembangkan mencakup sistem permodalan, kelembagaan, sarana dan prasarana, kerja sama baik dalam maupun
luar negeri, serta pengembangan unit
usaha bersama dan sistem informasi.
Kebijakan ini dapat memberikan pengaruh terhadap stabilisasi harga sapi
hidup dan daging sapi serta pemasaran
yang efisien.
Melalui keempat aspek tersebut, kinerja
sapi potong pada tahun 2010 akan berubah
menjadi sapi potong unggul dengan ciriciri dapat meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan produktivitas daging,
dan menghasilkan daging yang berkualitas sehingga memiliki daya saing yang
tinggi.
Kebijakan dan Program
Dengan memperhatikan peta jalan untuk
menuju swasembada daging sapi pada
tahun 2010 maka diperlukan kebijakan dan
program aksi sebagai berikut:
1. Peningkatan produktivitas usaha tani
ternak penghasil daging melalui:
a. Peningkatan hasil potensial dan
aktual beberapa jenis ternak penghasil daging (sapi potong, sapi
perah jantan, dan kerbau).
b. Percepatan dan perluasan diseminasi serta adopsi inovasi teknologi.
Peningkatan produktivitas sapi
potong sangat dimungkinkan bila
ditinjau dari potensi pengembangan jenis ternak unggulan penghasil daging dan kesiapan teknologi
sapi potong di Badan Litbang Pertanian.
c. Peningkatan produktivitas lahan
optimal maupun lahan suboptimal
khususnya di luar Jawa, seperti lahan sawah tadah hujan, lahan
kering dataran tinggi, lahan rawa
lebak/pasang surut, lahan perkebunan, serta lahan marginal melalui
pola SITT.
2. Peningkatan teknik budi daya dan pola
usaha dengan cara:
a. Mengembangkan agribisnis sapi
potong melalui pola SITT dalam
skala yang lebih besar, baik pada
daerah potensial maupun subpotensial, terutama yang sumber pakan hijauannya cukup sehingga
dapat menekan input dari luar.
b. Mengembangkan dan memanfaatkan sapi lokal unggul (PO, Bali,
Madura, dan lain-lain) sebagai bibit
melalui pelestarian dan seleksi serta
persilangan dengan sapi luar.
c. Mengembangkan dan memanfaatkan produksi gas bio dan kompos
secara massal.
d. Memperbaiki teknologi reproduksi
dan bibit sapi untuk meningkatkan
mutu genetik melalui seleksi pembentukan ternak komposit atau
grading up melalui kawin alami atau
IB.
3. Peningkatan peraturan serta penyediaan sarana dan prasarana, meliputi:
a. Mencegah dan melarang pemotongan hewan betina produktif dan
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
ternak muda dengan cara melakukan evaluasi dan kontrol yang ketat
terhadap peraturan yang berlaku.
b. Melarang ekspor sapi betina produktif, terutama sapi Bali yang
memiliki keunggulan produksi dan
reproduksi serta adaptasi yang
tinggi.
c. Mencegah dan melarang masuknya
daging dari negara yang belum
bebas penyakit berbahaya, serta
mengevaluasi kembali aturan impor
daging dan jeroan serta sapi potong
dengan bobot badan tinggi.
d. Meningkatkan penyediaan sarana
dan prasarana untuk usaha sapi
potong pada tingkat praproduksi,
produksi, dan pascaproduksi untuk
melancarkan distribusi bahan baku
dan pemasaran hasil.
4. Dukungan kebijakan investasi.
Upaya swasembada daging sapi
tahun 2010 perlu didukung oleh kebijakan pengembangan program investasi dengan melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak.
Kebijakan dalam pemasaran dan perdagangan akan memegang peran kunci.
Keberhasilan implementasi kebijakan
pasar daging maupun sapi hidup akan
memberi dampak langsung terhadap
bagian harga dan pendapatan yang
diterima pelaku agribisnis yang pada
gilirannya akan memantapkan proses
adopsi teknologi, meningkatkan produktivitas dan keuntungan usaha yang
pada akhirnya akan menjamin keberlanjutan investasi di masa depan.
Hal lain yang diperlukan dalam
upaya meningkatkan skala usaha,
terutama peternak mikro, kecil, dan
menengah, adalah peningkatan penyediaan dan aksesibilitas kredit
investasi perbankan dan kredit dengan
201
tingkat bunga rendah. Tingkat suku
bunga 7%/tahun dinilai cukup memadai
terutama untuk pembesaran sapi penghasil bakalan. Kredit investasi ini perlu
difasilitasi dengan pendampingan teknologi, manajemen usaha, dan pemberdayaan kelompok dalam menuju usaha
sapi potong yang tangguh.
KESIMPULAN
1. Dalam 10 tahun terakhir, pengembangan subsektor peternakan telah menunjukkan hasil yang nyata, terutama kontribusinya terhadap PDB. Konsumsi
daging, telur, dan susu masing-masing
meningkat 7,6%, 5,22%, dan 0,92%.
Namun peningkatan konsumsi belum
diimbangi dengan peningkatan produksi, terutama daging sapi yang populasinya bahkan menurun sampai 4,1%/
tahun.
2. Berdasarkan potensi pasar domestik,
ditinjau dari kesenjangan antara konsumsi dan produksi dalam negeri serta
volume impor daging yang makin meningkat, maka usaha ternak penghasil
daging khususnya sapi mempunyai
peluang yang besar untuk dikembangkan.
3. Sumber daya alam berupa lahan kering
beriklim basah dan kering, lahan sawah,
lahan pasang surut, lahan perkebunan
dan lahan lainnya yang belum dimanfaatkan secara optimal merupakan
sumber daya pakan potensial untuk pengembangan sapi potong di Indonesia.
4. Inovasi teknologi Sistem Integrasi
Tanaman-Ternak dalam sistem usaha
pertanian untuk berbagai agroekosistem telah dihasilkan Badan Litbang
Pertanian dan terbukti dapat meningkatkan efisiensi usaha tani, karena
202
Uka Kusnadi
fungsi dan peran ternak dalam penyediaan daging, tenaga kerja, pupuk, gas
bio, pemanfaatan limbah, dan peningkatan keuntungan merupakan teknologi yang ideal dalam usaha pengembangan sapi potong.
5. Usaha peternakan sapi potong diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
daging dalam negeri melalui percepatan peningkatan produksi untuk
mengurangi ketergantungan impor dan
pencapaian swasembada pada tahun
2010, dengan target memberikan
kontribusi terhadap total pendapatan
US$1.500 (60%) dan target antara
penghasil pupuk dan gas bio.
6. Untuk mewujudkan swasembada daging sapi tahun 2010 diperlukan langkah strategi kebijakan dan program aksi
penelitian dan pengembangan sapi
potong, terutama dalam peningkatan
produktivitas usaha tani, teknik budi
daya, pola usaha, kebijakan pengaturan, penyediaan sarana dan prasarana,
serta dukungan kebijakan investasi.
7. Upaya pencapaian swasembada daging sapi 2010 berimplikasi terhadap
penyediaan anggaran, terutama untuk
penelitian dan pengembangan, peningkatan kualitas sumber daya manusia,
penyediaan sarana dan prasarana,
pengaturan teknis dan administrasi,
serta promosi dan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, A., D.A. Suriadikarta, dan A.
Sofyan. 2001. Masalah tanah “sakit”
dan peningkatan produktivitasnya.
Makalah Pelatihan Pengkajian Crop
Livestock System. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor, 2229 April 2001.
Ananto, E.E., H. Subagyo, I.G. Ismail, U.
Kusnadi, T. Alihamsyah, R. Thahir,
Hermanto, dan Dewa K.S. 1998. Prospek
pengembangan sistem usaha pertanian
modern di lahan pasang surut Sumatera
Selatan. Proyek Pengembangan Usaha
Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera
Selatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Ananto, E.E. 2002. Penanganan panen dan
pascapanen padi pada sistem usahatani
padi ternak terpadu. Dalam R. Thahir
et al. (Ed.). Laporan Akhir Litkaji Pengembangan Model Pengolahan Padi.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
Atmadilaga, D. 1992. Sekilas gagasan
sumbangan ternak sebagai unsur nilai
tambah usaha tani dan konservasi
tanah pada lahan marginal. hlm. 1-3.
Prosiding Pengolahan dan Komunikasi
Hasil-hasil Penelitian, Adopsi Teknologi Peternakan, Bogor, 19-23 September 1991. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Chaniago, T.D., J.M. Obst, A. Parakasi, dan
M. Winugroho. 1984. Growth of Indonesian sheep under village and improved management systems. Dalam
M. Rangkuti et al. (Ed.). Prosiding
Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Departemen Pertanian. 1987. Pedoman Pola
Pembangunan di Daerah Aliran Sungai. SK Menteri Pertanian No. 175/
KPTS/Rc.220/4/1987. 2 April 1987.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2005.
Statistik Peternakan 2005. Direktorat
Jenderal Peternakan, Jakarta.
Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti. I.W.
Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. hlm. 11-22.
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
Prosiding Lokakarya Nasional Sistem
Integrasi Kelapa Sawit-Sapi, Bengkulu
9-10 September 2003. Departemen
Pertanian bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.
Fagi, A.M., I.G. Ismail, U. Kusnadi,
Suwardjo, dan Al Sri Bagyo. 1988.
Penelitian sistem usaha tani di daerah
aliran sungai. hlm. 1-24. Risalah Lokakarya Hasil Penelitian Pertanian Lahan
Kering dan Konservasi di Daerah Aliran
Sungai, Salatiga 14 Maret 1988. Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah
dan Air, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Go, B.H. 1998. Tanah lapar. Berita HITI
6(17): 11-12.
Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem dan
prospek pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 21(4): 148-157.
Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso.
2000. Potensi dan pengelolaan lahan
kering dataran rendah. hlm. 197-215.
Dalam Sumberdaya Lahan Indonesia
dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Ismail, I.G., U. Kusnadi, H. Supriadi, dan S.
Yana. 1986. Penelitian pola usahatani
tanaman/ternak di daerah transmigrasi
Batumarta. hlm. 3-16. Risalah Lokakarya
Pola Usahatani. Buku I. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan
IDRC.
Knipscheer, H.C. and U. Kusnadi. 1983.
The present and potential productivity
of Indonesian goats. Working paper
No. 29, December 1983, Winrock
International Morritton, AR. 72110,
USA. Research Institute for Animal
Production, Bogor.
203
Kurnia, U., Y. Sulaeman, dan A. Mukti K.
2000. Potensi dan pengelolaan lahan
kering dataran tinggi. hlm. 227-245.
Dalam Sumber Daya Lahan Indonesia
dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Kusnadi, U., D. Sugandi, A. Gozali N.,
B.R.Prawiradiputra, dan D. Muslich.
1986. Produktivitas ternak dalam usahatani tanaman ternak di daerah transmigrasi Batumarta. hlm. 41-54. Risalah
Lokakarya Pola Usahatani, Bogor 2-3
September 1986. Buku I Tanaman/
Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan IDRC.
Kusnadi, U. dan B.R. Prawiradiputra.
1989a. Produktivitas ternak domba di
DAS Citanduy. hlm. 287-294. Risalah
Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Konservasi
di DAS Citanduy, Linggarjati 9-11
Agustus 1988. P3HTA dan Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Kusnadi, U. dan B.R. Prawiradiputra.
1989b. Peranan ternak domba dalam
sistem usahatani konservasi lahan
kering di DAS Citanduy. hlm. 205-214.
Risalah Lokakarya Penelitian dan
Pengembangan Sistem Usahatani
Konservasi di DAS Citanduy, Linggarjati 9-11 Agustus 1988. P3HTA dan
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta.
Kusnadi, U., A. Gozali, dan E. Masbulan.
2000. Produktivitas ternak di lahan
rawa. hlm. 353-364. Prosiding Seminar
Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa, Cipayung
25-27 Juli 2000, Buku I. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Kusnadi, U., A. Thalib, dan D. Kusdiaman.
2001a. Model usaha penggemukan sapi
204
pada daerah berbasis usahatani padi.
Laporan Hasil Penelitian, Balai
Penelitian Ternak, Bogor.
Kusnadi, U., A. Thalib, dan M. Zulbardi,
2001b. Profitabilitas penggemukan sapi
PO pada daerah berbasis usahatani
padi di Kabupaten Subang. hlm. 435440. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor 1718 September 2001. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.
Kusnadi, U. 2005a. Produktivitas dan reproduktivitas serta sumbangan usaha
ternak kambing terhadap pendapatan
petani di lahan kering dataran rendah
Kabupaten Tangerang. hlm. 267-275.
Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Usaha Peternakan Berdaya
Saing di Lahan Kering. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada dan
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Kusnadi, U. 2005b. Strategi dan kebijakan
pengembangan ayam lokal di lahan
rawa untuk memacu ekonomi pedesaan.
hlm. 252-259. Prosiding Lokakarya
Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal, Semarang 26
Agustus 2005. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor dan
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.
Kusnadi, U., K. Diwyanto, dan S. Bahri.
2005. Pengembangan sistem usaha tani
ternak-tanaman pangan berbasis kambing di Kabupaten Lombok Timur NTB.
hlm. 685-692. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor 12-13 September 2005.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Bogor.
Levine, J. dan A. Mulyadi N. 1986. Potensi
dan kontribusi ternak dalam pola
usahatani di hulu Daerah Aliran Sungai
Uka Kusnadi
Jratunseluna dan Brantas. hlm. 311-344.
Risalah Lokakarya Pola Usahatani.
Bogor 2-3 September 1986, Buku 2.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian dan IDRC.
Levine, J., U. Kusnadi, Subiharta, Wiloeto,
dan D. Pramono. 1998. Sistem produksi
ruminansia di DAS bagian hulu Jawa
Tengah. Prosiding Workshop Pengembangan Peternakan di Jawa Tengah.
Balai Informasi Pertanian Ungaran.
Manti, I., Azmi, E. Priyotomo, dan D.
Sitompul. 2004. Kajian sosial ekonomi
sistem integrasi sapi dan kelapa sawit.
hlm. 245-260. Prosiding Lokakarya
Nasional Sistem Integrasi Kelapa
Sawit-Sapi, Bengkulu 9-10 September
2003. Departemen Pertanian bekerja
sama dengan Pemerintah Provinsi
Bengkulu dan PT Agricinal.
Prasetyo, T., U. Kusnadi, dan Subiharta.
1988. Analisis keragaan produksi dan
reproduksi domba di DAS Jratunseluna. Risalah Lokakarya Hasil Penelitian
Pertanian Lahan Kering dan Konservasi di Daerah Aliran Sungai, Salatiga 14
Maret 1988. P3HTA dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Jakarta.
Prawiradiputra, B.R., D. Sugandi, dan U.
Kusnadi. 1986. Potensi dan penyediaan
pakan dalam pola usahatani tanaman/
ternak di Batumarta. hlm. 55-56. Risalah
Lokakarya Pola Usahatani, Bogor 2-3
September, 1986. Buku 1 Tanaman/
Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan IDRC.
Santoso, D. 2003. Teknologi lahan kering.
hlm. 187-198. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi, Bengkulu, 9-10 September 2003.
Departemen Pertanian bekerja sama
dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu
dan PT Agricinal.
Inovasi teknologi peternakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak ...
Sembiring, H., Thamrin, A. Syam, A.
Adimihardja, dan S. Sukmana. 1990.
Peranan usahatani konservasi dalam
pengendalian erosi di Desa Srimulyo
Malang DAS Brantas. hlm. 27-40.
205
Risalah Pembahasan Hasil Penelitian
Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah, Bogor 11-13 Januari 1990.
P3HTA dan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta.