makalah paradigma filsafat hukum dalam k

makalah paradigma flsafat
hukum dalam kasus
nenek minah
Posted on Juli 11, 2012

LEGAL POSITIVISME DALAM PARADIGMA POSITIVISME DEMI
MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN
1. A.
Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah
peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang
memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga
eksistensinya didunia telah diakui.[1] Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke III (tiga), menegaskan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum. Hal ini berarti bahwa Indonesia harus
menjunjung tinggi hukum serta dalam tindakannya harus didasarkan pada hukum atau
peraturan yang diciptakan untuk mengatur suatu tatanan di dalam pemerintahan, termasuk
juga warga negaranya.

Ilmu hukum memiliki penggolongan mengenai hukum dengan berbagai sudut pandang, salah
satunya adalah hukum pidana. Hukum pidana ini bertujuan untuk mencegah atau
menghambat perbuatan-perbuatan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum
yang berlaku, karena bentuk hukum pidana merupakan bagian dari pada keseluruhan hukum
yang berlaku disuatu negara. Pelaku tindak pidana, terhadapnya akan dikenakan tindakan
melalui proses pemeriksaan persidangan perkara pidana. Dalam proses pemeriksan
persidangan, dibutuhkan suatu alat bukti untuk mengetahui bahwa telah terjadi tindak pidana
dan terdakwalah pelakunya. Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana
mengacu pada Pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Hakim
dalam hukum acara pidana bersifat aktif, artinya hakim berkewajiban untuk mendapatkan
bukti yang cukup untuk membuktikan tuduhan kepada tertuduh.
Putusan hakim kerap dianggap tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, yang dalam
hal ini adalah kasus Nenek Minah yang diputus bersalah karena melakukan pencurian
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP. Kasus Nenek Minah ini dapat menjadi

contoh, yang banyak kalangan menganalogikan fenomena penegakan hukum di Indonesia itu
seperti pisau, yaitu tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Karena mereka membandingkan
kasus pencurian 3 buah kakao yang dilakukan Nenek Minah ini dengan kasus besar seperti
Kasus Bank Century, dimana hakim hanya memvonis 4 tahun penjara dan denda Rp 50
miliar/subsider (sebagai gantinya) 5 bulan penjara kepada mantan pemilik sebagian saham PT

Bank Century Tbk, Robert Tantular. Vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa. Orang
yang menilap uang hingga Rp 2.8 triliun dan menyebabkan lembaga negara harus
mengucurkan dana Rp 6.7 triliun hanya divonis 4 tahun penjara. Hal yang tentunya sangat
tidak adil jika dibandingkan dengan Nenek tua yang mencuri 3 buah kakao hanya untuk
dijadikan bibit karena tidak mampu membelinya, justru diseret ke pengadilan, lalu divonis
1,5 bulan. Tidak sedikit pengadilan menjatuhkan hukuman hampir maksimum bagi para
pelaku pencuri kelas “teri”, yakni dari 6 bulan hingga 7 tahun,tetapi mengapa seorang
perampok 2.8 triliun hanya divonis 4 tahun.
Namun, sadarkah kita bahwa para hakim yang memutus perkara tersebut adalah hakim yang
berbeda. Jika kita menisik lebih dalam, mereka dituntun paradigmanya masing-masing.
Sehingga tidak bisa kita menghujat hakim yang memutus bersalah Nenek Minah tidak
memiliki rasa kemanusiaan dan tidak adil hanya karena kita membandingkannya dengan
kasus lain yang sekali lagi, hakim pemutus perkara tersebut bukanlah hakim yang sama
dengan kasus Bank Century ataupun kasus hukum lainnya. Kita lupa bahwa setiap manusia
itu memiliki paradigma masing-masing yang dengan adanya hal tersebut, menuntun kita
dalam setiap perbuatan. Paradigma itulah yang menuntun para hakim dalam memutus perkara
yang diajukan kepadanya. Bagi seseorang yang merengkuhParadigma Positivisme dengan
aliran Legal Positivisme, maka kebenaran diukur pada logika akal semata, bukan pada hati
nurani dan keadilan yang dicapai adalah keadilan menurut ukuran undang-undang.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen

yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang
mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya
bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan
dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu
diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi. Tokoh
aliran positivisme yang paling terkenal adalah Auguste Comte. Kaum positivis percaya
bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris
dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini
tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan
dari revolusi Perancis. Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the
Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi

filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu
tewujud dalam tahap akhir perkembangan.
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik.
Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran
ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan
(seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik). Positivisme
merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis

ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain
bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Aliran Legal
Positivisme yang dipayungi oleh Paradigma Positivisme memiliki konsep hukum yaitu apa
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan[2], dia memisahkan secara tegas antara
hukum dan moral. Hukum bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal, tidak ada
hukum kecuali perintah penguasa. Keadilan hukum bersifat formal dan prosedural.
Singkatnya, aliran ini mengindentikkan hukum sebagai undang-undang. Oleh karenanya,
Paradigma Positivisme, meletakkan dimensi spiritual dengan segala perpektifnya seperti
agama, etika dan moralitas sebagai bagian yang terpisah.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dalam uraian di atas, maka penulis merumuskan pokok
permasalahannya sebagai berikut :
1.

Bagaimana Paradigma Positivisme menjelaskan dalam hal dijatuhinya putusan
bersalah Nenek Minah karena terbukti mencuri 3 (tiga) buah kakao (lengkap denganset
basic belief ontologi, epistemologi dan metodologinya) ?
2. Bagaimana mengukur keadilan jika dihadapkan dengan penegakan kepastian hukum
dalam suatu kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan Nenek Minah?


BAB II
PEMBAHASAN
1. A.
Paradigma Positivisme dengan Seperangkat Set Basic Belief (Ontologi,
Epistemologi dan Metodologi) Menjelaskan Kasus Nenek Minah
Seorang nenek berumur 55 Tahun yang bernama Minah diganjar 1 bulan 15 hari penjara
karena menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT.
Rumpun Sari Antan (RSA) adalah hal yang biasa saja. Saat itu, Minah sedang memanen
kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,
Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus 2009. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh
PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah
tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian
memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao
itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak
lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya,
siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya.
Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri.
Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan
melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut.

Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja. Namun dugaanya meleset. Peristiwa
kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan
pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk
sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Majelis
hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan
masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Penulis meyakini untuk saat ini merengkuh Paradigma Positivisme yang menuntun setiap
pola pikir yang diyakini bahwa Positivisme merupakan paradigma paling baik dalam
menyelesaikan sebuah permasalahan. Paradigma Positivisme memiliki set basic beliefyaitu
Ontologi, Epistemologi dan Metodologi. Mengenai Ontologi dari Paradigma Positivisme,
dalam kasus Nenek Minah ini realitasnya adalah hukum. Hukum tersebut berada di luar diri
hakim atau sebagai kenyataan yang ada di luar dirinya. Hukum yang dipaparkan adalah Pasal
362 KUHP yang berbunyi “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimilikinya sendiri secara melawan hukum,
diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling
banyak enam puluh rupiah”. Ada atau tidaknya pencurian, terbukti atau tidak pencurian
tersebut, tanpa memperhatikan keadaan yang melingkupinya (ketidaktahuan si Nnenek Minah
dan kemiskinan yang menjeratnya).

Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum melakukan tindak pidana melanggar Pasal 362
KUHP yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Barang siapa
Maksud dari barang siapa adalah orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, sebagai
pendukung hak dan kewajiban yang identitasnya jelas, diajukan kepersidangan karena telah
didakwakan melakukan tindak pidana dan perbuatanya dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya. Setelah mendengar keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa
dipersidangan, didapat fakta bahwa tidak ada kekeliruan orang (error in persona) yang
disangka telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar Nenek Minah. Maka
berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, unsur kesatu ini terpenuhi.
1. Mengambil sesuatu barang
Maksud dari mengambil sesuatu barang adalah memindahkan barang dari satu tempat ke
tempat lain. Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan Nenek Minah pada hari minggu
tanggal 2 Agustus 2009 sekitar pukul 13.00 WIB, telah mengambil 3 (tiga) buah
kakao/cokelat dengan cara memetik dari pohon pada perkebunan PT RSA IV Darmakradenan
di blok A.9 di Desa Darmakradenan, kecamatan Ajibarang, kabupaten Banyumas dan
tertangkap tangan oleh saksi Tarno Bin Sumanto dan Rajiwan alias Diwan dan akibat
perbuatan terdakwa PT RSA IV Darmakradenan mengalami kerugian sekitar Rp 30.000,00
(tiga puluh ribu rupiah). Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka unsur kedua ini
telah terpenuhi.

1. Yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain
Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat oleh
keterangan terdakwa di muka persidangan maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa
benar terdakwa telah mengambil 3 (tiga) buah kakao atau coklat seluruhnya milik PT RSA IV

darmakradenan bukanlah milik terdakwa.maka berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di
atas, unsur ketiga ini telah terbukti.
1. Dengan maksud memiliki barang dengan melawan hukum
Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat oleh
keterangan terdakwa dimuka persidangan maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa
benar terdakwa telah mengambil 3 (tiga) buah kakao/cokelat seberat kurang lebih 3 kg yang
seluruhnya milik PT RSA IV Darmakradenan dan terdakwa mengambil barang tersebut di
atas tanpa izin dan sepengetahuan pemiliknya yaitu PT RSA IV Darmakradenan dengan
maksud akan dimiliki untuk bibit tanaman dan perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan
PT RSA IV Darmakradenan menderita kerugian Rp 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah). Maka
dari itu, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, unsur keempat ini terpenuhi.
Unsur-unsur di atas menunjukan kesalahan dari pelaku tindak pidana. Kesalahan yang
dilakukan oleh Nenek Minah adalah kesengajaan yang bersifat tujuan, yaitu si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan dan benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok
alasan diadakannya ancaman hukuman pidana (constitutief gevol).Karena semua unsur-unsur

yang terkandung dalam Pasal 362 KUHP telah terpenuhi, maka terdakwa Nenek Minah
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tidak pidana pencurian
sebagaimana dalam dakwaan, melanggar Pasal 362 KUHP karena itu terdakwa harus
dihukum sesuai dengan perbuatannya tersebut.
Dengan realitas hukum yang sudah diuraikan di atas, maka dapat ditarik hubungan sebab
akibat sebagai berikut. Nenek Minah terbukti bersalah karena perbuatan yang dilakukannya
memenuhi unsur Pasal 362 KUHP, maka akibatnya dia harus dihukum. Yang menentukan
atau deterministik dalam kasus ini bahwa Nenek Minah harus dihukum adalah adanya
Undang-Undang (KUHP), merupakan peraturan tertulis sifatnya menentukan, memastikan
bahwa hukum itu mengandung kepastian.[3]
Epistemologi dalam hal ini adalah hubungan antara hakim dengan kasus pencurian yang
sedang diperiksa tersebut. Sifatnya adalah dualis-objektif, Peneliti dan objek yang diteliti
dianggap sebagai entitas yang terpisah[4] yaitu ada dua pihak yang sama-sama independen
dan tidak saling memengaruhi (hakim dan kasus hukum dibiarkan menjauh, bebas nilai serta
bebas bias)4[5]. KUHP sudah sempurna sehingga tidak perlu memengaruhi realitas di luar
yang artinya dalam kasus ini hakim adalah “corong” Undang-Undang, sehingga ia tidak
melibatkan nilai (baik kemanusiaan ataupun moral) di dalam kasus tersebut karena
sesungguhnya realitas atau hukumnya sudah pasti. Sedangkan
untuk Metodologi, adalah eksperimental atau manipulatif. Harus selalu dilakukan uji empiris
dan verivikasi yaitu membuktikan bahwa Nenek Minah benar bersalah. Ketika ada dakwaan

dari Penuntut Umum, hakim harus melakukan verivikasi terhadap keterangan saksi-saksi dan

pengajuan alat bukti yang nantinya dicocokkan dengan keterangan terdakwa. Inilah yang
dinamakan proses pembuktian dalam kasus tindak pidana pencurian yang melanggar
ketentuan hukum Pasal 362 KUHP. Yang perlu ditekankan di sini adalah, Paradigma
Positivisme selalu menekankan pada obyektivitas dalam memandang sebuah realitas.
1. B.
Mengukur Keadilan yang Dihadapkan dengan Kepastian Hukum
Kasus nenek Minah menurut Paradigma Positivisme adalah sebuah perbuatan yang harus
dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil kerugian akibat pencurian yang dilakukannya.
Penegakan hukum terhadap Nenek Minah harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial serta
moralitas, karena menurut kacamata Paradigma Positivisme, tujuan hukum adalah kepastian
hukum, tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak akan tercapai walaupun harus
mengenyampingkan rasa keadilan. Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan
terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis
unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya
berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan
atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam
suatu negara.[6] Seorang Positivisme, Hart, mengemukakan pandangan John Austin tentang
kewajiban hukum untuk mematuhi perintah adalah paksaan, itu salah [7] berbagai arti dari

positivisme menurut Hart, sebagai berikut:.
1. Hukum adalah perintah
2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, histories
dan penilaian kritis.
3. keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada
lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan
moralitas.
4. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan
dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan.[8]
Paradigma Positivisme yang memayungi aliran Legal Positivisme, menjelaskan tidak ada
hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Hukum
identik dengan Undang-Undang. Dari bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP menentukan bahwa,
dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang
mengaturnya.Jadi, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam hukum positif,
maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa diminta pertanggung jawaban
hukumnya menurut hukum pidana. Ketika Nenek Minah kedapatan mengambil 3 buah kakao,
yang secara ekonomi nilainya tidak seberapa, nenek Minah harus berurusan dengan hukum,
karena perbuatan yang dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana termasuk kepada
perbuatan pidana yakni tindak pidana pencurian. Menurut Paradigma Positivisme bagaimana
pun hukum harus ditegakkan yang keadilannya adalah keadilan menurut UndangUndang. Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah

kepastian hukum. Menurut penulis,Pertimbangan hakim yang dalam setiap kasus-kasus
yang ditangani memang memberikan kepastian hukum yang tinggi. Karena kepastian hukum
berasal dari penguasa atau negara yang dapat berupa pasal-pasal dalam undang-undang,

BAB III
PENUTUP
1. A.
Kesimpulan
Dari penulisan ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan berdasar pembahasan permasalahan
disertai dengan uraian penjelasannya, yaitu :
Pertama, kasus hukum yang menjerat Nenek Minah ditelaah dengan menggunakan
Paradigma Positivisme, ontologinya adalah sebuah realitas (hukum). Hukum yang dipaparkan
adalah Pasal 362 KUHP. Epistemologi yang bersifat dualis-objektif, pihak-pihak yang
independen,tidak saling memengaruhi (antara hakim dengan kasus hukum yang
diperiksanya). Tidak ada yang melibatkan nilai di sana karena hukum atau realitasnya berada
di luar diri hakim. Metodologinya, selalu adanya verivikasi atau uji empiris. Hakim
melakukannya dengan menghadirkan saksi-saksi dan adanya alat bukti yang dicocokkan
dengan keterangan Nenek Minah sebagai terdakwa. Ketika semua unsur Pasal 362 terpenuhi,
maka Nenek Minah diputus bersalah dan harus dihukum. Singkatnya, Paradigma Positivisme
selalu menekankan objektivitas.

Kedua, Paradigma Positivisme yang memayungi aliran Legal Positivisme, menjelaskan
tidak ada hukum di luar undang-undang, hukum identik dengan Undang-Undang. Bagaimana
pun hukum harus ditegakkan yang keadilannya adalah keadilan menurut UndangUndang. Hukum harus dipisahkan dari nilai kemanusiaan dan moral demi kepastian hukum.
Itulah sebabnya Nenek Minah tetap harus dihukum terlepas dari seberapa besar kerugian
yang diderita PT Rumpun Sari Antan, karena terbukti secara sah melakukan pencurian
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP.
1. B.
Saran
Demi kepastian dan penegakkan hukum Indonesia di masa kini dan mendatang, sudah
seyogyanya menjaga konsistensi putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan
hakim lainnya dalam kasus serupa yang telah diputuskan, apabila untuk kasus serupa terjadi
perbedaan yang besar antara putusan pengadilan satu dengan lainnya, dalam kurun waktu
yang tidak terlalu berbeda tetapi yang satu telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, hal itu
akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Inilah yang harus dihindari dalam upaya
mempertahankan kepastian hukum.

1.
2.

3.

4.
5.
6.

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Indarti, E. SH,MA,PhD. Diskresi dan Paradigma : Sebuah Telaah Filsafat
Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro, 2010.
Guba, E.G. dan Lincoln, Y.S. , Intoduction : Entering the Field of Qualitative
Research, dalam N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research,
London : Sage Publications Inc., 1994..
W.Friedman, Teori dan Filsafat Hukum Dalam Buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori
Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin,Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 1993.
Rasjidi, Lili dan Sidharta, Arief, Filsafat Hukum (Mazhab dan
Refleksinya), Bandung : Remadja Karya , 1989.
Hart, H.L.A., The Concept of Law, Edisi Kedua, Clarendon Press, Oxford, 1994.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penulisan Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali
Press,1986.

[1] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Surabaya, 2005, hlm. 1
[2] Handout Materi Kuliah Filsafat Hukum
[3] Catatan Kuliah Filsafat Hukum, Selasa, 05 Juni 2012
[4] Guba, E.G. dan Lincoln, Y.S. , Intoduction : Entering the Field of Qualitative Research,
dalam N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, London : Sage
Publications Inc., 1994, hlm. 135.
[5] Catatan Kuliah Filsafat Hukum, Selasa, 05 Juni 2012
[6] Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita,
Jakarta, 2009, hlm.6
[7] H.L.A. Hart, The Concept of Law, Edisi Kedua, Clarendon Press, Oxford, 1994, hlm.80.
[8] Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika,
Jakarta, 1985, hlm.111