B. Konstruksi Teologi Lokal GPM - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Orang Basudara: Rancang Bangun Teologi Lokal GPM

BAB V MENUJU TEOLOGI ORANG BASUDARA A. Pengantar Dalam proses berteologi, GPM memahami betapa pentingnya

  berteologi sesuai konteks. Karena itu, GPM kemudian mengusung tema eklesiologi “gereja orang basudara” sebagai respon iman GPM dalam proses berteologi. Namun, untuk dapat menjadi gereja orang basudara,

  GPM memerlukan sebuah teologi yang dapat menjadi landasan eklesiologi tersebut. Demi menjawab kebutuhan GPM, maka penulis akan mengkonstruksikan sebuah teologi lokal GPM. Karena itu, pembahasan pada bab ini terdiri dari; konstruksi teologi lokal GPM, menuju teologi

  orang basudara sebagai sebuah teologi lokal GPM dan kesimpulan.

B. Konstruksi Teologi Lokal GPM

  Dalam proses berteologi, GPM menyadari dua hal; pertama, GPM menyadari dengan sungguh bahwa teologi barat yang selama telah diadopsi oleh GPM yang sangat bersifat kaku dan ekslusif sudah tidak lagi relevan dengan konteks berteologi GPM yang begitu kompleks. Bahkan bagi ketua sinode GPM, teologi barat atau ajaran protestantisme yang diadopsi oleh GPM telah mengalami benturan di konflik Maluku pada tahun 1999, sehingga teologi atau ajaran protestantisme tersebut memang

  1 sudah tidak relevan untuk tetap diadopsi.

  Kedua, GPM menyadari bahwa proses berteologi selalu terikat

  dengan konteks lokal tertentu di mana manusia mendengar suara Tuhan dan merasakan kehadiran Tuhan yang tersembuyi. Tentu konteks lokal tersebut bukanlah konteks lokal yang kosong melainkan konteks lokal yang berisikan budaya, suku, kepercayaan dan juga status sosial yang begitu kompleks. Dalam konteks lokal Maluku tempat di mana GPM bertumbuh dan berkarya, juga bukanlah konteks lokal yang kosong, namun konteks lokal yang begitu kompleks.

  Berdasarkan kesadaran GPM untuk berteologi sesuai konteks, maka GPM mengusung eklesiologi “gereja orang basudara”, tetapi di satu sisi GPM memerlukan landasan teologi yang kuat untuk menjadi landasan ekelsiologi GPM. Oleh sebab itu, penulis akan memakai pikiran Clemens Sedmark sebagai pintu masuk untuk mengkonstruksikan teologi lokal GPM, dengan empat poin usulan Sedmark yang telah disederhanakan oleh penulis:

1 Hasil wawancara dengan ketua sinode Gereja Protestan Maluku, pdt Ates Werinusa di Ambon, tanggal 21 Agustus tahun 2017, pukul 16:00 WIT.

1. Wadah lokal sebagai konteks teologi lokal dibangun

  Bagi Sedmark kapan pun teologi dilakukan, teologi harus

  2

  dilakukan dari suatu tempat, dan bagimana pun tempat itu adalah

  3

  lingkungan kerja teologi yang berkaitan dengan situasi manusia. Oleh sebab itu, di dalam proses mengkonstruksikan sebuah teologi lokal, sang teolog memerlukan konteks lokal tertentu yang adalah situasi manusia itu sendiri.

  Karena itu, ada dua hal mendasar yang membuat sehingga untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal, sang teolog memerlukan suatu konteks lokal tertentu; pertama, sumber daya-sumber daya yang dapat dipakai untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal terdapat di dalam konteks lokal tersebut, sehingga jika ingin mengkonstruksikan sebuah teologi lokal, maka harus berangkat dari konteks lokal tertentu yang memiliki sumber daya-sumber daya yang dapat digunakan dalam pengkonstruksian teologi lokal. Pernyataan ini didukung oleh C.S. Song yang menawarkan paham berteologi yang dikonstruksi dari cerita

  2 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 3. 3 Ibid, 7.

  “cermin” yang merupakan sumber daya lokal yang terdapat dalam konteks

  4 lokal Cina.

  Oleh sebab itu dalam poin pertama, Maluku dengan segala kekhasannya menjadi konteks lokal teologi lokal GPM dikonstruksikan.

  Mengapa demikian? Karena Maluku sebagai konteks lokal memiliki sumber daya-sumber daya yang dapat dipakai oleh penulis untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal, dan sumber daya tersebut ialah

  

falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi manusia Maluku yang

terbentuk di dalam budaya manusia Maluku.

  Kedua, konteks lokal tertentu sangat diperlukan di dalam

  mengkonstruksikan teologi lokal dikarenakan konteks lokal tersebut menjadi wadah tempat teologi lokal dikonstruksikan, karena tidak mungkin teologi lokal dikonstruksikan di awan-awan. Di samping itu, konteks lokal tertentu diperlukan sebagai wadah untuk mengaktualisasikan teologi lokal yang telah dikonstruksikan.

  Karena itu dalam poin kedua ini, Maluku menjadi wadah lokal tempat dikonstruksinya teologi lokal, dan karena teologi lokal yang dikonstruksikan akan menjadi sebuah teologi lokal GPM yang kemudian diimplementasikan oleh GPM, dan GPM sendiri berada dalam konteks 4 C.S Song, Sebutkanlah Nama-

  Nama Kami “Teologi Cerita dari Perspektif Asia ”, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989). 47-48. wilayah Maluku, maka Maluku dengan kekhasannya menjadi konteks lokal untuk implementasi dari teologi lokal dibawah naungan GPM.

2. Sumber daya untuk membangun teologi lokal

  Menurut Sedmark untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal, maka teologi tersebut memerlukan sumber daya dan materi-materi lokal yang terdapat di dalam kelokalan tertentu untuk membangun teologi lokal,

  5

  misalnya patung-patung dan drama-drama. Sehingga menurut Sedmark,

  6 melakukan teologi lokal seperti memasak dengan bahan-bahan lokal.

  Dalam konteks Maluku sebagai wadah lokal tempat teologi lokal GPM dikonstruksikan, mengandung begitu banyak sumber daya-sumber daya yang dapat digunakan untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal, seperti; narasi-narasi, tradisi-tradisi, nyanyian-nyanyian, tari-tarian, budaya dan juga falsafah hidup. Dari sekian banyak sumber daya lokal tersebut, penulis memakai falsafah hidop orang basudara yang adalah kosmologi hidup manusia Maluku sebagai bahan lokal untuk menkonstruksikan sebuah teologi lokal GPM yang menjawab kebutuhan GPM dalam mengusung tema eklesiologi gereja orang basudara.

  5 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002),12. 6 Ibid, 17.

  Mengapa falsafah hidop orang basudara? Karena sebagai kosmologi hidup manusia Maluku, falsafah ini telah menjadi sebuah

  7

  kesadaran kolektif (collective Conscience) yang mampu untuk mempersatukan masyarakat Maluku menjadi satu kebenaran sosial.

  Bahkan kesadaran kolektif di dalam falsafah hidup ini kemudian menjadi cetakan hidup yang lahir, membatin dan bertumbuh bukan hanya bersama manusia Maluku melainkan juga bersama gereja Protestan Maluku. Sehingga ketika GPM mengusung tema gereja orang basudara, tentunya pengusungan tema tersebut tidak terlepas dari falsafah hidop orang itu sendiri yang tumbuh dan hidup bersama dalam kosmologi

  basudara hidup manusia Maluku dan GPM.

  Bahkan sekum GPM menegaskan bahwa falsafah hidop orang

  

basudara sebagai sebuah kebudayaan lokal, harus menjadi material

  8

  teologi GPM berkaitan dengan konsep gereja orang basudara. Dari penegasan tersebut dapat dilihat bahwa sekum GPM menyadari dengan sungguh sebagai gereja yang hidup dan bertumbuh dalam konteks lokal Maluku yang begitu kaya dengan kebudayaan, GPM di dalam konsepnya untuk menjadi gereja orang basudara mesti melihat falsafah hidop orang 7 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi “Dari Teori Sosiologi

  

Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern”, (Yogyakarta: Kreasi

Wacana, 2014), 19. 8 Hasil wawancara dengan Sekum GPM, pdt Elifas Tomix Maspaitela di Kantor sinode GPM, tanggal 22 Agustus 2017, pukul 13.30 WIT.

  

basudara yang terkandung didalam budaya Maluku sebagai sebuah

  material untuk mengkonstruksikan sebuah landasan teologi untuk pijakan GPM sebagai gereja orang basudara di Maluku. Ditambahkan juga oleh Rico Rikumahu bahwa, jika teologi yang menjadi tempat pijakan GPM untuk mengkonsepkan dirinya sebagai gereja orang basudara tidak dibangun dari falsafah hidop orang basudara yang merupakan nilai-nilai luhur manusia Maluku maka konsep dari gereja orang basudara hanya

  9 menjadi sebuah utopia semata.

  Bertolak dari dua penjelasan informan di atas, maka untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal GPM yang dapat menjawab kebutuhan GPM untuk menjadi gereja orang basudara dalam konteks lokal Maluku, maka teologi tersebut harus dibangun di atas dasar falsafah

  

hidop orang basudara yang merupakan sebuah kosmologi hidup manusia

  Maluku. Karena ketika teologi sebagai dasar pijakan gereja orang

  

basudara dibangun dari falsafah hidop orang basudara, maka gereja

orang basudara bukan merupakan sebuah konsep kosong, melainkan

  gereja orang basudara merupakan implementasi dari kosmologi hidup manusia Maluku yang hidup, membatin dan bertumbuh sebagai sebuah kesadaran kolektif bersama dalam konteks lokal Maluku yang begitu kompleks dengan kekhasannya. 9 Hasil wawancara dengan pdt Rico Rikumahu, di Kantor klasis pulau Ambon, tanggal 25 Agustus 2017, pukul 13.22 WIT.

  3. Menilai kembali sumber daya lokal yang akan dipakai untuk mengkonstruksikan teologi lokal dan menemukan pesan Yesus di dalam sumber daya lokal tersebut

  Bagi Sedmark, setelah menemukan sumber daya dan materi-materi lokal di dalam konteks lokal yang akan digunakan untuk mengkonstruksikan teologi lokal, maka sang teolog perlu menilai kembali sumber daya dan materi-materi lokal tersebut untuk menemukan pesan Yesus yang terkandung di dalamnya, dan dari pesan Yesus tersebut, sang teolog dapat mengkonstruksikan sebuah teologi lokal yang membawa

  10 relevansi secara langsung bagi kehidupan masyarakat lokal tersebut.

  Apa yang dikatakan oleh Sedmark untuk menilai kembali sumber daya lokal yang telah ditemukan untuk bahan konstruksi teologi lokal adalah hal yang penting. Mengapa demikian? Karena jika bertolak dari pemikiran Eben Nuban Timo, ALLAH sudah lebih dulu berkarya di dalam

  11

  budaya manusia, oleh sebab itu penting untuk sang teolog menemukan pesan Yesus di dalam sumber daya lokal tersebut dan menjadikannya sebagai sebuah nilai yang dapat dipakai sebagai landasan pembentukan teologi lokal.

  10 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 44. 11 Eben Nuban Timo, Pemberita Firman Pecinta Budaya, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006).

  Namun yang menjadi perhatian juga adalah, nilai yang menjadi

  12

  pesan Yesus tersebut harus dapat memberikan relevansi secara langsung bagi manusia yang menyandang budaya tersebut maupun juga bagi manusia lain yang tidak menyandang budaya tersebut dalam proses hidup bersama. Oleh sebab itu pada tahap ini sang teolog kembali perlu menilai apakah sumber daya lokal yang akan dipakai tersebut mengandung pesan Yesus yang memberikan dampak yang baik bukan hanya bagi orang yang menyandang budaya tersebut melainkan juga bagi orang lain yang tidak menyandang budaya tersebut. Karena gereja bukan hanya ada untuk orang yang menyandang budaya tertentu saja, melainkan gereja ada untuk semua orang yang menyandang budaya yang berbeda-beda.

  Bertolak dari uraian di atas, maka penulis mencoba untuk memaparkan pesan Yesus di dalam falsafah hidop orang basudara.

  Berdasarkan hasil wawancara dan penelitian yang penulis lakukan, penulis menemukan bahwa ada begitu banyak pesan Yesus di dalam falsafah

  

hidop orang basudara . Aholiab Watloly dan kawan-kawan dalam buku

  Perdamaian Berbasis Adat Nusantara menggambarkan pesan Yesus dalam

12 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 44.

  falsafah hidup ini terbentuk di dalam suatu tatanan hidup yang saling

  13 melindungi, saling mengasihi, dan saling mendamaikan.

  Untuk menegaskan bahwa sikap hidup tersebut memang ada di dalam falsafah hidop orang basudara, Aholiab Watloly menegaskan bahwa, falsafah hidop orang basudara adalah sebuah ideologi kultural yang lahir dari tuntutan adanya keinginan yang besar untuk hidup bersama dalam tatanan kehidupan yang damai dan rukun antar sesama manusia di Maluku. Tuntutan hidup tersebut kemudian diwujudkan dengan sikap hidup yang saling menghormati, saling menghargai dan saling mengakui perbedaan-perbedaan manusia Maluku sebagai ade-kaka (adik-kakak), bahkan sikap hidup ini telah menjadi sebuah ritus (perilaku sakral yang

  14 dirayakan setiap hari) yang bersifat mengikat.

  Di satu sisi, jika mengikuti pesan Yesus di dalam falsafah hidop

  

orang basudara yang terbentuk di dalam sikap hidup yang telah penulis

  sebutkan di atas, maka sebenarnya sikap hidup tersebut bertujuan untuk dapat membentuk suatu kehidupan yang setara dalam konteks lokal Maluku yang begitu kompleks. Dengan demikian, menurut penulis esensi yang paling mendasar dari pesan Yesus di dalam falsafah hidop orang

  

basudara sebagai sebuah kosmologi hidup manusia Maluku, ialah 13 Aholiab Watloly dkk, Perdamaian Berbasis Adat Orang Basudara, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 106. 14 Theovania Matatula “Hidop Orang Basudara Suatu Kajian Teologi Agama- Agama di Wayame ”, (Skripsi Teologi UKIM, 2015), 26. kesetaraan hidup. Hal ini juga ditegaskan oleh ketua sinode bahwa pandangan Imagodei dari kacamata Kekristenan yang terkandung di dalam

  

falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku,

  membuat sehingga semua manusia terkhususnya manusia Maluku itu setara, karena manusia Maluku itu merupakan gambar ALLAH yang

  15

  hidup. Ditambahkan oleh Jacky Manuputty bahwa, sebagai manusia yang setara, manusia Maluku mempunyai relasi seimbang yang terdapat di dalam falsafah hidop orang basudara. Disebut relasi seimbang karena relasi dalam falsafah ini mampu menyatukan semua perbedaan yang begitu kompleks menjadi satu tanpa meninggalkan kekhasan masing-

  16 masing.

  Di satu sisi, untuk membuktikan bahwa nilai yang ditemukan dalam falsafah hidop orang basudara selaras dengan iman Kristen, maka penulis memakai Injil (Alkitab) sebagai bingkai untuk melihat keselarasan tersebut. Setelah melihat keselarasan antara nilai yang ditemukan dan Injil, ternyata nilai kesetaraan dalam falsafah hidop orang basudara, juga terdapat di dalam Injil (Alkitab) sebagai identitas Kristen.

  15 Hasil wawancara dengan ketua sinode Gereja Protestan Maluku, pdt Ates Werinusa di Ambon, tanggal 21 Agustus tahun 2017, pukul 16:00 WIT. 16 Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26 Agustus 2017, pukul 12:54 WIT.

  Hal ini nampak dalam ajaran Yesus untuk mengasihi sesama

  17

  manusia seperti dirimu sendiri. Dengan demikian, nilai yang didapatkan di dalam falsafah hidop orang basudara memang benar-benar merupakan pesan Yesus (Injil) yang mengingkarnasi di dalam kosmologi hidup manusia Maluku. Oleh sebab itu, nilai tersebut selaras dengan iman kristen dan dapat menjadi sebuah titik acuan untuk mengkonstruksi teologi lokal GPM.

  Bertolak dari uraian di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa ada pesan Yesus yang terkandung di dalam falsafah hidop orang basudara.

  Bahkan pesan Yesus tentang hidup yang setara tersebut mempunyai relevansi bagi manusia Maluku untuk bagaimana dapat membangun hidup yang setara dalam konteks lokal Maluku yang begitu kompleks, baik dari kepercayaan, suku, budaya dan juga status sosial. Bahkan lebih jauh, menurut penulis, pesan Yesus tentang hidup yang setara dalam falsafah

  

hidop orang basudara di satu sisi juga mempunyai relevansi bukan hanya

  bagi manusia Maluku yang menyandang falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku, namun juga bagi manusia bukan Maluku yang tidak menyandang falsafah hidop orang basudara sebagai sebuah kosmologi hidup dalam upaya membangun hidup bersama di Maluku. 17 Lihat Matius 22:39.

  4. Teologi lokal yang dibangun bertujuan untuk melayani konteks lokal tertentu Karena teologi lokal yang dibangun bertujuan untuk melayani konteks lokal tertentu, maka menurut Sedmark, teologi lokal dibentuk

  18

  untuk meresponi iman komunitas lokal dan gereja lokal tertentu. Oleh sebab itu, apakah dalam konteks Maluku yang begitu kompleks, teologi lokal GPM dapat membantu untuk merespon dan melayani iman Kristen dalam konteks lokal Maluku yang begitu kompleks? Jawabannya sudah tentu dapat.

  Dalam konteks Maluku, manusia Maluku telah lama hidup dengan melandasakan falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku. Karena itu, bagi Rico Rikumahu, falsafah hidop orang

  

basudara sebagai sebuah kosmologi hidup manusia Maluku merupakan

  19

  sesuatu yang telah membatin dalam diri tiap manusia Maluku. Oleh sebab itu, sebagai sesuatu yang membatin, tentu falsafah hidop orang

  

basudara telah menjadi sebuah bagian yang tidak terlepas dari manusia

  Maluku, bahkan menjadi satu dengan kekhasan yang juga melekat di dalam diri manusia Maluku, baik itu kepercayaan, suku, budaya dan juga status sosial. 18 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 97. 19 Hasil wawancara dengan pdt Rico Rikumahu, di Kantor klasis pulau Ambon, tanggal 25 Agustus 2017, pukul 13.22 WIT.

  Karena itu di dalam relasi-relasi yang dibangun baik dalam lingkungan agama dan juga sosial, disamping membawa diri dan kekhasan masing-masing dari manusia Maluku, manusia Maluku juga membawa

  

falsafah hidop orang basudara sebagai bagian yang tidak terlepas dari

  manusia Maluku yang lahir dan hidup di Maluku. Sehingga di dalam proses berelasi, dogma-dogma agama dan pagar-pagar sosial yang ada di dalam habitus agama dan sosial tidak dapat menjadi penghalang di dalam proses berelasi, karena falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku memampukan manusia Maluku untuk dapat berelasi tanpa harus dibatasi dengan penjara habitus agama dan sosial, dan relasi yang dibangun merujuk pada suatu hidup yang setara.

  Oleh sebab itu, jika teologi lokal GPM yang dibangun sebagai landasan tema eklesiologi gereja orang basudara yang diusung oleh GPM berdiri diatas pijakan falsafah hidop orang basudara, maka tentu teologi lokal tersebut mampu untuk memberikan relevansi bagi GPM untuk membantu merespon iman Kristen manusia Maluku sesuai dengan konteks lokal Maluku yang begitu kompleks. Bahkan lebih jauh, teologi lokal tersebut dapat memberi wajah baru bagi GPM di dalam pemahamannya, sehingga GPM dapat keluar dan berjumpa dengan realitas lain di luar GPM dan membangun hidup bersama yang setara sebagai implementasi dari GPM yang juga turut lahir dan bertumbuh dalam kosmologi manusia Maluku yang tercetak di dalam falsafah hidop orang basudara.

  Dengan bertolak dari langkah-langkah yang diusulkan oleh Sedmark untuk merancang sebuah teologi lokal, maka falsafah hidop yang terkandung di dalam sumber daya konteks lokal

  orang basudara

  Maluku dapat dipakai untuk mengkonstruksikan sebuah teologi lokal GPM demi menjawab kebutuhan GPM. Hal ini bermanfaat untuk menjawab kebutuhan GPM dalam mendukung eklesiologi gereja orang

  basudara .

C. Menuju Teologi Orang Basudara Sebagai Teologi Lokal GPM

  Pada umumnya, sebuah tema eklesiologi harus didasarkan pada sebuah teologi tertentu. Karena itu ketika GPM mengusung tema eklesiologi gereja orang basudara, tentunya eklesiologi GPM tersebut harus mempunyai dasar teologi sebagai landasan eklesiologi GPM. Oleh sebab itu, penulis ingin menawarkan sebuah teologi lokal yang dibangun berdasarkan falsafah hidop orang basudara yang adalah sumber daya lokal Maluku sebagai landasan berdirinya eklesiologi GPM.

  Di satu sisi, karena teologi lokal yang ditawarkan oleh penulis sebagai landasan eklesiologi GPM dikonstruksikan berdasarkan falsafah

  

hidop orang basudara , maka penulis menamai teologi lokal ini dengan sebutan teologi orang basudara. Tentunya penamaan teologi ini juga tidak terlepas dengan pemahaman manusia Maluku tentang orang basudara itu sendiri.

  Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, masyarakat Maluku memaknai orang basudara dalam 3 kategori;

  

pertama, orang basudara dalam ikatan gen, kedua, orang basudara

  dalam ikatan kultur dan teritori, ketiga, orang basudara yang melampaui

  20 ikatan gen, kultur dan teritori.

  Bertolak dari pemaknaan orang basudara di atas, penulis memakai pemaknaan ketiga untuk memaknai kata orang basudara di dalam teologi

  

orang basudara , sehingga teologi orang basudara dapat membentuk

  gereja orang basudara sebagai eklesiologi GPM yang tidak terbatas pada ikatan gen, kultur dan teritori. Supaya eklesiologi GPM benar-benar dapat merespon iman Kristen sesuai dengan konteks lokal Maluku yang begitu kompleks, yang mana dalam situasi Maluku yang begitu kompleks tidak hanya terdapat manusia yang menyandang falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidupnya, namun juga terdapat manusia yang tidak menyandang falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidupnya. Oleh sebab itu, teologi orang basudara memiliki beberapa hal penting:

  20 Lihat bab IV halaman 94-99. a. Teologi orang basudara berdiri di atas pijakan Imagodei sebagai landasan berteologi Sebuah teologi yang dikonstruksikan tentu memiliki landasan teologis sebagai landasan konseptual dari sebuah kontruksi teologi.

  Teologi orang basudara yang dikonstruksikan menggunakan falsafah

  

hidop orang basudara sebagai sumber daya konstruksi juga mempunyai

  landasan teologis yang terkandung di dalam falsafah hidop orang

  

basudara yang digambarkan oleh Eben Nuban Timo sebagai sidik jari

  21 ALLAH yang sudah lebih dulu berkarya dalam hidup manusia, terkhususnya manusia Maluku.

  Berdasarkan usulan Sedmark untuk menilai kembali sumber daya

  22

  lokal dan menemukan pesan Yesus di dalam sumber daya tersebut, maka penulis menemukan bahwa di dalam falsafah hidop orang basudara terdapat begitu banyak pesan Yesus, salah satunya yang digambarkan oleh Abidin Wakano bahwa nilai di dalam falsafah hidop orang basudara sangat menghargai perbedaan, baik itu suku, agama maupun golongan dan

  21 Eben Nuban Timo, Pemberita Firman Pecinta Budaya, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006). 22 Clemens Sedmark, Doing Local Theology, (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2002), 44. bersifat proeksistensi, karena sama-sama merasa memiliki dan punya

  23 tanggung jawab terhadap yang lain.

  Lebih jauh, Aholiab Watloly dan kawan-kawan dalam buku Perdamaian Berbasis Adat Nusantara menggambarkan nilai-nilai di dalam sebagai pesan Yesus terbentuk di dalam

  falsafah hidop orang basudara

  suatu tatanan hidup yang saling melindungi, saling mengasihi, dan saling

  24

  mendamaikan. Bahkan semua pesan Yesus yang terbetuk di dalam sikap hidup dan nilai-nilai positif yang ditegaskan oleh informan di atas dan Abidin Wakano merujuk pada satu esensi dasar, yaitu kesetaraan hidup.

  Bagi penulis, kesetaraan hidup yang adalah pesan Yesus tersebut merupakan sidik jari ALLAH yang telah berkarya bagi manusia Maluku melalui falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku, dan itu adalah teologis. Namun di satu sisi penulis bertanya- tanya, mengapa Yesus menginginkan agar manusia Maluku yang begitu kompleks harus setara?

  Dari kacamata Kekristenan, pertanyaan ini dapat dijawab jika disinkronisasikan dengan pemahaman Imagodei yang terkandung di dalam 23 Abidin Wakano, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni Kehidupan

  

Masyarakat Maluku Yang Berbasis Kearifan Lokal” dalam Menggali Sejarah dan

Kearifan Lokal Maluku , eds by Josep Antonius Ufi dkk, (Jakarta: Cahaya pineleng,

2012), 6. 24 Aholiab Watloly dkk, Perdamaian Berbasis Adat Orang Basudara, (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 106.

  

falsafah hidop orang basudara . Untuk menegaskan pemahaman Imagodei

  yang terkandung dalam falsafah hidop orang basudara, ketua sinode GPM menegaskan bahwa sebagai suatu kebenaran Ilahi yang ditemukan oleh generasi masa lampau Maluku, falsafah hidop orang basudara

  25

  mengandung imogodei (gambar ALLAH). Oleh sebab itu, karena semua manusia Maluku dilahirkan dan bertumbuh dalam kosmologi falsafah

  

hidop orang basudara , maka pada dasarnya manusia Maluku adalah

  gambar ALLAH yang hidup, dengan demikian manusia Maluku harus hidup setara, dan itu adalah sebuah landasan teologis. Karena itu, penegasan Imagodei sebagai nilai teologis di dalam falsafah hidop orang

  

basudara harus menjadi landasan teologis atau landasan konseptual bagi

teologi orang basudara.

  Di satu sisi, tema gereja orang basudara sebagai eklesiologi GPM tentu harus mempunyai landasan teologis yang kuat untuk dapat mengaktualisasikan gereja orang basudara sebagai eklesiologi GPM dalam konteks Maluku yang begitu kompleks. Karena di dalam proses aktualisasi gereja orang basudara, GPM tidak hanya menjadi gereja orang

  

basudara bagi orang Kristen saja di Maluku, namun juga bagi orang yang

  bukan Kristen. Oleh sebab itu, eklesiologi GPM harus berdiri pada landasan teologi orang basudara yang berpijak pada landasan teologis 25 Hasil wawancara dengan ketua sinode Gereja Protestan Maluku, pdt Ates Werinusa di Ambon, tanggal 21 Agustus tahun 2017, pukul 16:00 WIT.

  Imagodei, sehingga GPM dapat menjadi gereja orang basudara juga bagi orang yang bukan Kristen di Maluku bukan hanya karena kekuatan budaya, namun karena GPM memahami bahwa orang yang bukan Kristen di Maluku juga adalah Imagodei sama seperti orang Kristen Maluku.

  Dengan demikan, eklesiologi GPM sebagai gereja orang basudara mempunyai dasar teologis yang jelas.

  b. Teologi orang basudara mengandung pola relasi seimbang yang menyetarakan Proses berteologi selalu terjadi di ruang yang memiliki konteks tertentu, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk terjadi dalam konteks yang begitu kompleks, baik kepercayaan, suku, budaya dan juga status sosial. Oleh karena itu, tentunya proses teologi selalu mengalami gesekan- gesekan di dalam konteks tertentu akibat situasi konteks yang begitu kompleks.

  Untuk mengatasi gesekan-gesekan tersebut, para teolog kemudian mengkonstruksi sebuah pola relasi yang sesuai di dalam proses berteologi, sehingga muncullah pola relasi pluralis misalnya dan lain-lain. Teologi

  

orang basudara menawarkan pola relasi seimbang yang terkandung di

  dalam falsafah hidop orang basudara sebagai sumber daya konstruksi teologi orang basudara. Hal ini juga ditegaskan oleh Jacky Manuputty bahwa falsafah hidop orang basudara membentuk sebuah pola relasi seimbang bukan paradoks dalam proses berelasi di lingkungan agama maupun sosial. Karena dengan relasi seimbang, manusia Maluku secara sadar dapat mengakui kelebihan dan kelemahannya serta harus saling menerima kelemahan dan kekurangannya masing-masing di dalam

  26

  kosmologi manusia Maluku sebagai orang basudara. Karena itu, relasi setara yang ditawarkan oleh teologi orang basudara memungkinkan untuk suatu proses berteologi di dalam sebuah konteks yang begitu kompleks dapat berjalan dengan baik.

  Pola relasi seimbang pada dasarnya memahami bahwa manusia selalu menyandang hal yang kompleks, baik itu kepercayaan, suku, budaya dan juga status sosial di dalam hidupnya sebagai suatu bagian yang khas dan tidak dapat dilepaskan dari hidup manusia. Oleh sebab itu, pola relasi seimbang adalah suatu bentuk relasi yang menekankan proses saling mengakui dan menerima masing-masing kekhasan, serta dapat berelasi dengan kekhasan yang menjadi bagian dari masing-masing manusia tanpa harus melepaskan kekhasan tersebut atau tidak memaksa kekhasan tertentu sebagai dasar di dalam proses berelasi.

26 Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26 Agustus 2017, pukul 12:54 WIT.

  Pola relasi seimbang yang dikandung oleh teologi orang basudara secara sederhana dianalogikan oleh Jacky Manuputty seperti dua utas tali berbeda yang terikat. Tali yang berbeda merujuk pada sebuah realitas manusia yang begitu kompleks, baik budayanya, kepercayaannya, status sosialnya dan juga sukunya, yang merupakan kekhasan dari masing- masing manusia. Proses mengikat merujuk pada suatu keinginan tali yang berbeda yang adalah realitas manusia yang begitu kompleks untuk menjalin sebuah hubungan yang intim. Gumpalan dari proses ikatan itu sendiri menunjukan bahwa meskipun realitas manusia yang begitu kompleks telah menjalin relasi, namun relasi tersebut tidak menggeneralisasikan kekhasan dari realitas manusia tertentu sebagai sebuah kekhasan yang harus diikuti oleh semua orang di dalam proses berelasi. Akan tetapi kekhasan dari realitas masing-masing manusia menjadi kekhasan yang tak terlepas dari dirinya sendiri dan tidak boleh menjadi kekhasan yang harus diikuti oleh manusia lain di dalam relasi

  27 yang dibangun.

  Di satu sisi, tentu konsep eklesiologi tidak dapat berdiri sendiri tanpa penyandangan tertentu, dan salah satunya adalah pola untuk mengaktualisasikan konsep eklesiologi tersebut. Oleh karena itu, eklesiologi GPM sebagai gereja orang basudara pun harus memiliki 27 Hasil wawancara dengan pdt Jacky Manuputty di Amahusu, tanggal 26 Agustus 2017, pukul 12:54 WIT. sebuah pola di dalam mengaktualisasikan eklesiologinya, dan bagi penulis landasan pola untuk mengaktualisasikan eklesiologi GPM sebagai gereja

  

orang basudara dalam konteks Maluku yang begitu kompleks yaitu pola

  relasi seimbang di dalam teologi orang basudara. Mengapa demikian? Karena ketika GPM ingin menjadi gereja orang basudara, berarti

  GPM harus keluar dari zona nyaman GPM dan berjumpa serta membangun relasi dengan realitas lain di Maluku yang berbeda dengan GPM. Dalam proses berjumpa dan membangun relasi, tentu GPM tidak dapat memaksakan kekhasan GPM sebagai dasar berelasi atau pun sebaliknya, karena jika demikian maka akan terjadi gesekan yang menimbulkan konflik dan eklesiologi GPM tidak dapat terwujud. Akan tetapi, jika eklesiologi GPM sebagai gereja orang basudara berdiri diatas pola relasi seimbang dalam teologi orang basudara, maka di dalam proses perjumpaan dan relasi yang dibangun tidak akan terjadi gesekan, karena GPM mengakui dan menerima realitas lain di Maluku dengan kekhasannya masing-masing sebagai sebuah kekhasan yang tidak dapat dipisahkan dan juga sebaliknya. Dengan demikian, ketika eklesiologi GPM memakai pola relasi seimbang dalam teologi orang basudara sebagai landasan untuk berelasi, maka GPM dapat mewujudkan eklesiologi GPM sebagai gereja orang basudara di Maluku dengan konteks lokal Maluku yang begitu kompleks.

  Di satu sisi, ketika GPM mengaktualisasikan eklesiologi GPM sebagai gereja orang bersaudara dengan berdiri di atas pijakan relasi setara dalam teologi orang basudara, maka GPM sebagai lembaga keagamaan di Maluku akan mampu untuk mengakomodir kehidupan yang multikultur di Maluku. Di sisi lain, GPM dengan sendirinya dapat menjawab tantangan agama yang ditegaskan oleh Abidin Wakano, bahwa agama haruslah mampu untuk mengakomodir kehidupan yang multikultur

  28 sebagai pemberian ALLAH.

  Lebih jauh, dengan pola relasi seimbang sebagai aktualisasi eklesiologi GPM sebagai gereja orang basudara, maka GPM dapat menjadi sebuah pintu masuk untuk mengembangkan sebuah paham berteologi yang lebih bersifat antrophosentris. Artinya titik pusat pemahaman berteologi bukan lagi bersifat vertikal melainkan juga bersifat horizontal yang diwujudkan dengan tindakan praksis yaitu kesetaraan dalam merespon iman kepada ALLAH dengan mengimani bahwa manusia lain di dunia, terkhususnya Maluku merupakan imagodei ALLAH yang

  29 hidup sesuai dengan yang ditegaskan ole ketua sinode GPM.

  28 Abidin Wakano, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni Kehidupan

Masyarakat Maluku Yang Berbasis Kearifan Lokal” dalam Menggali Sejarah dan

Kearifan Lokal Maluku , eds by Josep Antonius Ufi dkk, (Jakarta: Cahaya pineleng, 2012), 29 Hasil wawancara dengan ketua sinode Gereja Protestan Maluku, pdt Ates Werinusa di Ambon, tanggal 21 Agustus tahun 2017, pukul 16:00 WIT. c. Teologi orang basudara memiliki nilai-nilai teologis yang merujuk pada sebuah nilai kesetaraan Teologi orang basudara sebagai sebuah teologi lokal yang dikonstruksikan dari falsafah hidop orang basudara, mengandung nilai- nilai teologi seperti; saling mengasihi, saling menolong, saling memaafkan, saling menghargai, saling mengakui dan menerima perbedaan, saling menguatkan dan juga saling melindungi. Bahkan lebih jauh, semua nilai-nilai teologi yang terkandung tersebut merujuk pada

  30

  suatu esensi nilai yang paling tinggi, yaitu nilai kesetaraan yang juga merupakan sebuah nilai yang sangat ditekankan oleh Yesus di dalam

31 Alkitab.

  Di satu sisi, nilai teologi yang terkandung di dalam teologi orang

  

basudara dapat menolong GPM untuk mengaktualisasikan konsep

  eklesiologinya sebagai gereja orang basudara di Maluku. Mengapa demikian? Karena ketika GPM mengusung tema eklesiologi gereja orang

  

basudara , tema tersebut bukanlah sebuah tema yang kosong, melainkan

  harus mengandung nilai-nilai teologis yang dapat diimplementasikan sebagai bentuk yang praksis dari eklesiologi GPM. Oleh sebab itu, ketika eklesiologi GPM berdiri diatas nilai-nilai teologi yang terdapat dalam 30 31 Lihat bab IV halaman 81-85 dan bab V halaman 114-118.

  Lihat Roma 13:9. teologi orang basudara, maka eklesiologi GPM memiliki konsep nilai yang jelas dan dapat diimplementasikan sebagai sebuah bentuk praksis dari eklesiologi GPM sebagai gereja orang basudara di Maluku.

D. Kesimpulan

  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa teologi orang

  

basudara yang dikonstruksikan dari falsafah hidop orang basudara

  sebagai sebuah teologi lokal yang ditawarkan oleh penulis untuk menjadi landasan eklesiologi GPM, dapat menolong GPM untuk merespon panggilan GPM demi menjadi gereja orang basudara di Maluku yang begitu kompleks. Karena teologi orang basudara memiliki landasan teologis, pola relasi dan nilai yang dapat menolong eklesiologi GPM dalam mengaktualisasikan eklesiologi GPM sebagai gereja orang basudara di Maluku.