KESENJANGAN INFORMASI PADA MASYARAKAT WILAYAH TERTINGGAL DAN FUNGSI PUSTAKAWAN. Oleh: KANTI RAHAYU. – JURNAL JP3

68. JP3 Vol 4 No 1, Maret 2014

  

KESENJANGAN INFORMASI PADA MASYARAKAT WILAYAH

TERTINGGAL DAN FUNGSI PUSTAKAWAN

  Oleh: KANTI RAHAYU

  SMP Negeri 1 Ambulu Jember

  

Abstract. In the current information age, the issue of information gaps still be a

problem that has not found a solution for developing countries not least

developed countries. Information gap itself is a result of various factors,

including the factor of political, economy, social construction, and individual

cognitive factors. For the people who live below the poverty line, they have

limited access to information such as the example of access to education and

technology. Facing problems about the information gap, a librarian as

information professionals are faced with the challenge to be able to provide

solutions and positive contribution to the community on this issue so that the

existence of librarians still be calculated.

  Keywords: information gaps, information society, librarians PENDAHULUAN

  Pada era globalisasi seperti saat ini, masyarakat dalam setiap kegiatannya tidak pernah terlepas dari kebutuhannyaakan informasi. Terlebih lagi, saat ini masyarakat sudah bergerak menuju perubahan menjadi masyarakat informasi. Konsep tentang masyarakat informasi, pada awalnya dikembangkan oleh Daniel Bell pada awal tahun 1970-an melalui prediksinya ketika itu tentang masyarakat pasca industri. Bell menyebutkan bahwa basis kekuatan masyarakat post-industrial berbeda dengan dua jenis masyarakat sebelumnya, yaitu masyarakat pra industri dan masyarakat industri. Bila kekuatan utama masyarakat pra-industri terletak pada sumber daya alam, terutama lahan, dan masyarakat industri pada mesin, maka dalam masyarakat post-industrial, Bell berpendapat informasi serta teknologi informasilah yang menjadi kekuatan utamanya. Tanpa memiliki kemampuan untuk mengolah informasi dan dukungan teknologi informasi, boleh dikata tidak akan mungkin masyarakat mampu bertahan dan survive dalam melangsungkan kehidupannya.

  Masyarakat informasi itu sendiri muncul karena adanya perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesatnya sehingga mampu membantu menyelesaikan segala bentuk pekerjaan manusia.Dimana informasi menjadi suatu aspek utama dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi masyarakat. Dengan begitu kehidupan masyarakat saat ini sangat bergantung dengan peranan informasi. Daniel Bell (1973; dalam Widiastuti, 2010) mengatakan dalam bukunya The

  

Coming of Post-Industrial Society: A Venture in Social Forecasting bahwa

  “informasi adalah komoditi”.Komoditi yang paling utama di era masyarakat pasca industri adalah pengetahuan dan informasi, oleh karena itu barang siapa yang menjadi produsen informasi akan menjadi kalangan yang super elit.

  Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2008

  69

  merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu mendapatkan informasi merupakan hak bagi setiap orang yang tidak bisa diganggu gugat. Dengan maraknya penggunaan teknologi sebagai media penyebaran informasi merupakan salah satu strategi dalam menyediakan informasi yang dapat digunakan oleh orang banyak.

  Melihatrealita yang ada di Indonesia pada era informasi saat ini, tidak semua kalangan masyarakat mendapatkan akses informasi yang setara. Kebanyakan semua sarana informasi hanya terpusat di daerah perkotaan saja. Hal ini tentu saja menyebabkan timbulnya kesenjangan informasi antara masyarakat yang ada di kota dengan masyarakat desa atau di daerah tertinggal. Di Indonesia,daerah yang termasuk dalam kategori wilayah tertinggal masih cukup banyak. Sesuai dengan catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2009, di Indonesia terdapat 183 Kabupaten yang masuk kategori wilayah tertinggal, dari jumlah tersebut 30 % berada di kawasan barat Indonesia dan 70 % berada di kawasan timur (kemkominfo).

  PEMBAHASAN Pengertian Kesenjangan Informasi dan Kemiskinan Informasi

  Untuk dapat memahami kesenjangan dan kemiskinan informasi, dalam jurnal Liangzhi Yu menganalisis dari beberapa hasil penelitian, yaitu:

  Kemiskinan informasi merupakan suatu bentuk kekurangan informasi:

   kurangnya akses informasi, serta informasi yang berlebihan tetapi tidak diimbangi dengan motivasi dalam pemenuhan kebutuhan informasi (misalnya keengganan untuk menggunakan perpustakaan) (Britz, 1998, 2004; Goulding, 2001; Haywood, 1995; Sweetland, 1993; Van Dijk, 1997, 2000). Sweetland (1993).; Kesenjangan informasi didefinisikan sebagai ketimpangan dalam

   kepemilikan dan penggunaan informasi dan komunikasi sumber-sumber di masyarakat tertentu, ketidaksetaraan informasi yang beragam dan beberapa aspek yang dapat tumbuh sementara yang lain mengalami penurunan tajam (Van Dijk, 1997, 2000); Ketimpangan informasi didefinisikan berdasarkan kerangka kerja konseptual

   segi pengetahuan, informasi dan infrastruktur informasi (Britz, 1998; Britz dan Blignaut, 2001). Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemiskinan informasi disebabkan karena hilangnya kesempatan memperoleh infomasi yang diakibatkan oleh kurangnya akses informasi dan infrastruktur yang dapat digunakan untuk mengakses informasi. Selain itu juga bisa disebabkan karena kurangnya motivasi dalam diri individu untuk memenuhi kebutuhan informasinya karena keterbatasan keterampilan dalam mengolah informasi padahal informasi yang dibutuhkan sudah cukup tersedia.

  Karena adanya masyarakat yang kesulitan dalam mengakses informasi sehingga menyebabkan kemiskinan informasi dan dapat menimbulkan suatu kesenjangan informasi. Yakni keadaan dimana di satu sisi terdapat masyarakat/

70. JP3 Vol 4 No 1, Maret 2014

  kelompok/ individu yang kaya akan informasi dan disisi lain terdapat masyarakat/ kelompok/ indiviudu yang miskin akan informasi.Dalam mengurangi adanya kemiskinan informasi, para peneliti mencoba mengidentifikasi faktor kausal dari masalah ini dengan membahas faktor potensial pada tiga tingkat yang berbeda yaitu : macro level (masyarakat), middle level (komunitas), serta micro level (individu). Seperti yang dijelaskan oleh Kim dan Kim (2001) dalam kerangka kerja konseptual yang dibuat olehnya yakni:

  

Sumber: Kim dan Kim, 2001 (dalam Yu, 2006)

  Melihat gambar diatas, dapat disimpulkan bahwa Kim dan Kim membagi 3 faktor kesenjangan informasi dalam 3 level yang berbeda, yakni:

  1. Pada macro level (masyarakat) kesenjangan informasi disebabkan oleh faktor ekonomi politik.

  Seperti apa yang telah dikatakan oleh Dahlan bahwa kemiskinan terjadi secara timbal balik, antara seseorang kesulitan untuk mengakses informasi karena miskin dan miskin karena tidak bisa memperoleh informasi (Widiastuti, 2010).

  Contohnya saja dalam hal pendidikan, faktor ekonomi akan sangat mempengaruhi aksesibilitas pendidikan, bagi masyarakat kalangan ekonomi rendah tentunya mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pendidikan mereka. Karena untuk memperoleh sarana pendidikan yang layak tidak membutuhkan biaya yang sedikit. Meski saat ini pemerintah telah banyak memberikan sarana pendidikan gratis bagi masyarakat tidak mampu, tetapi pada kenyataannya pendidikan gratis itu tidak bisa berjalan maksimal sebagaimana mestinya seperti pada sekolah-sekolah yang memiliki biaya mahal. Hal ini tentu sudah tidak diherankan lagi karena segala sesuatu yang gratis pasti hanya akan berjalan seadanya saja. Sebab apabila pihak sekolah ingin mengembangkan sekolahannya untuk bisa lebih maju, lagi-lagi akan terhambat masalah dana, dan dari murid-muridnya sendiri pun tidak bisa diandalkan jika menyangkut masalah dana karena mereka juga berasal dari kalangan yang tidak mampu. Selain itu masyarakat dengan kelas ekonomi rendah juga memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk dapat menggunakan teknologi. Karena tentunya daya beli masyarakat tidak mampu menandingi harga yang ditawarkan. Ketidaksetaraan perolehan sarana pendidikan serta penggunaan teknologi ini tentunya juga berpengaruh terhadap kebutuhan

  71

  informasi, informasi yang diperoleh, serta aksesibilitas informasi masyarakat.

  2. Pada middle level (kelompok/komunitas) kesenjangan informasi disebabkan oleh faktor sosial budaya.

  3. Pada micro level (individu) kesenjangan informasi disebabkan oleh faktor personal kognitif.

  Perkembangan Teknologi Informasi dan Kesenjangan Informasi

  Di satu sisi, dengan berkembangnya teknologi informasi yang kian pesat dapat mempermudah dan mempercepat akses dan penyebaran informasi. Tetapi di sisi lain tanpa disadari juga bahwa sebenarnya dengan adanya perkembangan teknologi informasi semakin memperbesar kesenjangan tersebut, terutama bagi kelompok miskin dan daerah tertinggal yang tidak memiliki peluang akses terhadap pembangunan dan sumber informasi untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan kehidupannya.Karena faktor-faktor tertentu tersebut, teknologi informasi tidak dapat tersebar secara merata di masyarakat. Terdapat kalangan yang memiliki kesempatan dan kemampuan yang lebih besar untuk menguasai dan menggunakan teknologi informasi, akan tetapi banyak juga kalangan yang tidak memiliki kesempatan tersebut (Ratnasari, 2004). Dampak yang dihadapi ketika terdapat ketidaksetaraan aksesibilitas informasi tersebut adalah terciptanya kondisi masyarakat yang menguasai informasi lebih banyak (information rich) pada satu pihak dan masyarakat yang kekurangan informasi atau sedikit menguasai informasi (information poor) di lain pihak, sehingga menimbulkan kesenjangan informasi pada masyarakat.

  Jika dilihat secara ekonomis,informasi dapat digolongkan ke dalam sumber daya, seperti yang telah disampaikan oleh Severind dan Tankard (1997; dalam Ratnasari, 2004): “Information is a resource. It has value, and its lets people do

  

things that they couldn’t do otherwise. An old aphorism states that knowledge is

power, and this mean simply that knowledge gives people capability to do things, to

take advantage of opportunities.”. Mereka juga menegaskan bahwa pengetahuan

  sebagai wujud kekayaan yang lain tidak terdistribusikan secara merata di kalangan masyarakat. Sehingga rata-rata orang yang memiliki masalah kesulitan perekonomian biasanya mereka juga miskin informasi.

  Faktor Demografi Pemicu Kesenjangan Informasi

  Selain karena faktor kemiskinan, wilayah tertinggaljuga mengalami kesenjangan dikarenakan letak geografisnya yang membuat pemerintah sulit untuk menjangkau sarana pelayanan seperti pendidikan dan kesehatan. Wilayah Indonesia yang berupa kepulauan membuat negara ini kesulitan untuk melakukan pemerataan aksesibilitas informasi. Seperti realita yang telah kita ketahui saat ini, segala bentuk aktivitas perekonomian, pendidikan, dan pembangunan semua terpusat di pulau Jawa. Lalu bagaimana dengan keadaan masyarakat di pulau-pulau lainnya yang tentunya juga membutuhkan perhatian dari pemerintah.

  Masyarakat tertinggal hidup dalam keterbatasan akses informasi dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Pada dasarnya mereka juga memiliki kebutuhan informasi, yaitu kondisi yang mengharuskan mereka menambah informasi mengenai sesuatu. Pencarian informasi masyarakat di daerah tertinggal/ di

72. JP3 Vol 4 No 1, Maret 2014

  lain seperti internet, buku dan koran jarang ditemui di desa. Selain kesibukan dalam bekerja, fasilitas di desa juga kurang memenuhi. Selain itu tingginya angka buta huruf di wilayah tertinggal juga mempengaruhi konsumsi masyarakat terhadap media massa.

  Kesenjangan informasi masih menjadi suatu permasalahan yang belum menemukan solusi bagi negara berkembang yang memiliki wilayah luas dan penduduk yang multikultur seperti Indonesia. Di negara-negara maju saat ini sudah melewati era industri dan informasi. Namun pada negara berkembang, mereka belum melalui era industri tetapi sudah harus dihadapkan dengan era informasi. Peristiwa ini merupakan suatu tantangan tersendiri bagi negara berkembang dimana di satu sisi mereka harus melakukan pembangunan, tetapi di sisi lain mereka juga harus mengejar ketertinggalan dalam hal teknologi informasi.

  Begitu pula halnya dengan Indonesia yang merupakan negara berkembang yang memiliki banyak sekali suku dan kebudayaan yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Di satu sisi, hal tersebut merupakan aset yang besar bagi negara Indonesia karena tidak semua negara dikaruniai kebudayaan yang beragam. Tetapi di sisi lain, realita tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk dapat membina seluruh masyarakatnya agar menjadi masyarakat yang melek informasi.Jika diperhatikan, pemerintah masih belum mampu menyediakan akses informasi yang layak bagi seluruh masyarakat Indonesia. Banyak sekali daerah- daerah tertinggal yang belum terjamah oleh sarana pendidikan, kesehatan, maupun bentuk pelayanan lainnya. Apabila kita pernah melihat tayangan di televisi mengenai kehidupan di daerah-daerah terpencil seperti contohnya suku pedalaman di Nusa Tenggara Timur, mereka hidup dalam keterbatasan. Daerah perkampungan mereka jauh dari sekolah. Bagi anak-anak mereka yang ingin pergi ke sekolah harus berjalan berkilo-kilo meter bahkan juga harus menyeberangi sungai untuk sampai disekolah. Bagi sebagian masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan tentu mereka akan tetap berjuang untuk bisa sekolah. Tetapi bagi sebagian masyarakat lain yang tidak memiliki kesadaran atas pendidikan sudah pasti mereka tidak akan bertaruh untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

  Jika faktor yang mendasar saja seperti pendidikan belum menyentuh wilayah tertinggal, apalagi faktor pendukung dalam pengaksesan informasi seperti penggunaan teknologi informasi dan lembaga informasi misalnya perpustakaan. Mungkin saat ini pemerintah sudah banyak menggalakkan perpustakaan desa di berbagai daerah-daerah. Tetapi tentunya tidak semua wilayah dapat terjangkau oleh program perpustakaan desa tersebut. Program perpustakaan desa ini digalakkan oleh pemerintah berdasarkan peraturan yang telah tertera pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 43 tahun 2007 Bab II pasal 5 ayat 2 yang berbunyi: “Masyarakat

  

di daerah terpencil, terisolasi, atau terbelakang sebagai akibat faktor geografis

berhak memperoleh layanan perpustakaan secara khusus.” Kemudian yang menjadi

  pertanyaannya saat ini adalah apakah perpustakaan-perpustakaan tersebut sudah berjalan sebagaimana fungsinya dan dapat memenuhi kebutuhan informasi masyarakat sekitarnya?

  Masyarakat Tertinggal Sulit Manerima Perubahan

  Di sisi lain pada dasarnya pemerintah sudah mulai memberikan perhatian khusus kepada masayarakat di wilayah tertinggal mengenai aksesibilitas mereka

  73

  terhadap informasi dengan cara memberikan sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan tersebut. Hanya sajawilayah yang diberikan perhatian khusus oleh pemerintah ini hanya wilayah-wilayah tertinggal yang bisa dijangkau secara geografis saja. Karena tentunya tidak semua orang mau di tugaskan di daerah-daerah terpencil tersebut. Lebih mirisnya lagi sebagian besar masyarakat tradisional yang tinggal di wilayah pedalaman sulit untuk menerima perubahan. Hal ini bisa dikarenakan terlalu patuhnya masyarakat tradisional terhadap hukum adat yang telah mereka anut secara turun temurun, memberikan halangan terhadap pintu masuk perubahan.

  Perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat disebut dengan perubahan sosial. Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2012) mengatakan bahwa perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Secara singkat Samuel Koenig mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern. Perubahan sosial tentuya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Dalam kasus ini perubahan sosial bisa dipengaruhi oleh sebab yang bersumber dari masyarakat itu sendiri yakni adanya penemuan-penemuan baru dan sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat yakni adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

  Contoh riil di Indonesia kita bisa melihat kehidupan pada masyarakat suku Baduydalam yang sangat tertutup terhadap perubahan. Masyarakat suku Baduy merupakan masyarakat yang masih memegang erat adat istiadat dan tradisi nenek moyang. Sebenarnya suku Baduy bukanlah suku terasing, tetapi mereka mengasingkan diri dari dunia luar. Dulu pemerintah sudah pernah memiliki rencana untuk mendirikan sekolah di Baduy, tetapi masyarakat menolaknya dengan alasan melanggar adat. Masyarakat suku Baduy juga memiliki pandangan bahwa untuk apa bersekolah tinggi-tinggi jika tidak bisa bekerja dan menghasilkan uang. Selain itu suku Baduy juga menolak adanya teknologi dalam kehidupan mereka. Jadi masyarakat suku Baduy tidak mengenal teknologi sama sekali, di rumah-rumah mereka pun tidak menggunakan listrik. Realitas tersebut merupakan salah satu faktor pemicu tingginya kesenjangan informasi di Indonesia yang dikarenakan masyarakat intern itu sendiri karena menolak adanya penemuan-penemuan baru seperti teknologi. Suku Baduy hanya merupakan salah satu contoh suku pedalaman di Indonesia yang belum tersentuh oleh budaya modernisasi. Dan masih banyak lagi suku-suku di Indonesia yang masih belum mendapatkan sarana informasi yang layak.

  Melihat contoh kasus dari suku Baduy tersebut, hal ini membuktikan bahwa sebuah masyarakat lokal yang hidup di pedesaan terpencil mampu mengatur keteraturan informasi dalam kehidupannya melalui institusi adat yang berlaku sehingga tidak memerlukan pelayanan pustakawan atau petugas keinformasian. Sebaliknya, masyarakat kota dan pedesaan yang maju sudah menjadi kompleks tidak memfungsikan lagi institusi adat sebagai acuan dalam mengatur dan menjaga keberlangsungan keteraturan informasi – maka disini dibutuhkan pustakawan dan petugas keinformasian yang dapat mengatasi berbagai masalah pemenuhan

74. JP3 Vol 4 No 1, Maret 2014

  kebutuhan informasi yang menjadi hambatan kerja anggota masyarakat pada pusat informasi yang bersangkutan (Lawanda).

  Pada hakikatnya, untuk menuju perubahan tentunya diperlukan dukungan baik dari pihak intern maupun ekstern masyarakat. Yang dimaksud dengan pihak intern adalah masyarakat itu sendiri. Apabila dari masyarakat tersebut menolak adanya perubahan, maka sekuat apapun pengaruh dari luar untuk menuju perubahan tidak akan memberikan dampak yang signifikan. Begitu pula sebaliknya, apabila suatu masyarakat menginginkan perubahan terhadap kehidupannya tetapi tidak ditunjang dengan sarana yang memadai atau tidak ada faktor pendukung untuk menuju perubahan karena kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan sekitar, maka usaha tersebut akan sia-sia. Oleh karena itu perlu adanya sinergi antara kemauan masyarakat itu sendiri untuk berubah dengan faktor pendukung dari luar yakni pemerintah dan lingkungan sekitar.

  Kehadiran Pustakawandalam Menanggapi Masalah Kesenjangan Informasi

  Jika melihat dari beberapa realita mengenai kesenjangan informasi di Indonesia, lalu bagaimanakah peranan seorang information professional dalam menanggapi permasalahan tersebut? Selain karena faktor kurang meratanya aksesibilitas informasi di seluruh kalangan masyarakat dan kurang terbukanya masyarakat tradisional terhadap perubahan, kesenjangan informasi juga bisa disebabkan karena rendahnya perhatian pemerintah dan kepedulian masyarakat dalam pembangunan perpustakaan sebagai suatu infrastruktur informasi.

  Saat ini ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pustakawanselaku

  

information professional dalam mengembangkan perpustakaan. Permasalahan yang

  pertama adalah kehadiran perpustakaan di lingkungan masyarakat masih belum mampu memberikan kontribusi secara langsung dalam memecahkan persoalan bangsa. Contohnya saja, perpustakaan sebagai salah satu lembaga informasi yang dituntut untuk dapat turut membantu mencerdaskan anak bangsa pada kenyataannya belum terlalu mengambil bagian dalam hal pengentasan tingginya angka buta huruf di Indonesia. Selain itu eksistensi perpustakaan di tengah masyarakat belum dapat dimanfaatkan dan diberdayakan secara maksimal. Berdasarkan fungsinya, perpustakaan seharusnya dijadikan sebagai suatu wadah sentral informasi masyarakat dengan berbagai macam aktivitasnya (Sudarsono,2006). Dalam upaya menumbuhkembangkan perpustakaan, tidak cukup apabila hanya bertumpu kepada tindakan pemerintah saja, tetapijuga memerlukan dukungan dari berbagai pihak diantaranya adalah masyarakat. Maka dari itu untuk menuju perubahan ke arah yang lebih baik lagi dan untuk mengejar ketertinggalan informasi, bangsa Indonesia memerlukan dukungan dari berbagai pihak salah satunya adalah pustakawan.

  Pustakawan melakukan fungsinya dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai penyedia informasi dan pendukung kehidupan yang bertanggung jawab khusus untuk menjaga keteraturan informasi dan pemenuhan kebutuhan informasi yang tekait, dalam bentuk penerapan peraturan untuk mengelola informasinya maupun dalam bentuk upaya pencegahan ketidakpuasan terhadap pemenuhan kebutuhan informasi agar masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam kebutuhan informasi yang terpenuhi. Kegiatan-kegiatan pustakawan dan petugas informasi adalah berkaitan dengan masalah kebutuhan informasi yaitu berkenaan dengan gejala kebutuhan yang ada dalam kehidupan intelektual sosial dalam suatu

  75

  masyarakat yang dirasakan sebagai beban dan atau gangguan yang merugikan anggota masyarakat tersebut. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat setempat yaitu dimana pusat informasi tersebut ada, maupun masyarakat luas dimana masyarakat tersebut menjadi bagiannya, lokal maupun nasional.

  PENUTUP

  Memasuki era informasi seperti saat ini yang ditandai dengan berkembangnya teknologi informasi, menuntut Indonesia untuk selalu tanggap terhadap perubahan yang terjadi. Kesenjangan informasi bukan hanya menjadi permasalahan pada negara berkembang saja, tetapi juga terjadi pada negara-negara maju, hanya kapasitasnya saja yang berbeda. Karena kesenjangan informasi bisa dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti salah satu contohnya adalah ketimpangan ekonomi pada masyarakat yang menyebabkan terjadinya perbedaan kesempatan akses terhadap pendidikan dan teknologi.

  Kesenjangan informasi juga bisa dipengaruhi oleh konstruksi sosial dalam masyarakat. Setiap individu dalam suatu komunitas pasti memiliki norma-norma sosial dan kebiasaan yang sama. Norma-norma dan adat menentukan bagaimana individu dalam suatu kelompok memahami informasi yang mereka terima, sehingga menentukan apa sajakah informasi yang mereka butuhkan dan bagaimanakah agar mereka bisa mengakses kebutuhan informasi mereka tersebut. Oleh karena itu perbedaan budaya antara masyarakat tradisional dan masyarakat kota juga menjadi kendala dalam pemerataan informasi. Seperti contohnya pada kehidupan suku Baduy yang sangat berpegang teguh terhadap nilai adat istiadat menutup mereka terhadap akses informasi dari dunia luar. Karena mereka beranggapan bahwa hukum adat yang ada pada masyarakat sudah bisa memenuhi kebutuhan informasi mereka.

  Faktor ketiga adalah faktor demografis pada suatu wilayah. Ketersediaan akses informasi masih belum bisa menembus masyarakat di daerah-daerah terpencil yang juga membutuhkan pembangunan di wilayahnya. Sehingga masyarakat di kalangan ini sangat sulit untuk memperoleh pendidikan yang layak dan sarana informasi yang memadai.

  Pada intinya, untuk mengatasi kesenjangan informasi di Indonesia, membutuhkan campur tangan dari semua pihak. Salah satunya adalah pustakawan yang berperan sebagai seorang information professional. Seorang pustakawan dituntut untuk dapat memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan terkait dengan informasi di seputar masyarakat, salah satunya adalah kesenjangan informasi.Kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa Indonesia, ditambah dengan kemunculan berbagai teknologi informasi memberi tantangan bagi pustakawan yang menuntut kemampuan profesionalnya untuk dapat mengatasi masalah serta tuntutan informasi yang muncul secara tepat dan bijaksana. Untuk itu, pustakawan harus mengambil bagian secara langsung terhadap permasalahan masyarakat agar keberadaan pustakawandapat terus diakui seiring dengan perkembangan masyarakat dengan pedoman kepustakawanan yang sesuai dengan fungsi pustakawan sebagai suatu profesi yang diberi kewenangan untuk menjadi pengelola kebutuhan informasi masyarakat dan pengatur keteraturan distribusi informasi.

76. JP3 Vol 4 No 1, Maret 2014

  Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. 2011. “Masyarakat Tertinggal Butuh Informasi”. kominfo.go.id. diakses tanggal 5 Maret 2013

  Ratnasari, Anne. 2004. “Perkembangan Teknologi Informasi dan Kesenjangan Informasi”. MediaTor. Vol 5 (2): 327-336

  Redaksi. 2012. “Multimedia dan Masyarakat Informasi”. Majalah MATAN. Edisi 77, Desember 2012. Halaman 5. Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers Sudarsono, Blasius. 2006. Antologi Kepustakawanan Indonesia. Jakarta: Ikatan

  Pustakawan Indonesia Supriyanto, dkk. 2006. Aksentuasi Perpustakaan dan Pustakawan. Jakarta: Ikatan

  Pustakawan Indonesia Sutoyo, Agus. 2001. Strategi dan Pemikiran Perpustakaan. Jakarta: Sagung Seto Undang-Undang Republik Indonesia nomor 43 tahun 2007 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2008 Widiastuti, Tuti. 2010. “Kemiskinan Struktural Informasi”. Jurnal Ilmu Komunikasi.

  Vol 8 (1): 11-26 Yu, Liangzhi. 2008. “Understanding Information Inequality: Making Sense of The

  Literature of The Information and Digital Divide”. Science Journal of

  

Librarianship and Information. Vol 38 (4): 229-252.lis.sagepub.com

Dokumen yang terkait

Metode Penelitian - HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI STKIP PGRI LUMAJANG – JURNAL JP3

0 0 8

UPAYA PENINGKATAN DISIPLIN SISWA MELALUI PENDEKATAN BELAJAR KELOMPOK PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA – JURNAL JP3

0 0 10

USING MIND-MAPPING STRATEGY TO IMPROVE THE ACHIEVEMENT OF STUDENTS IN WRITING RECOUNT TEXT (AN ACTION RESEARCH DONE AT SMPN I KENCONG) – JURNAL JP3

0 0 13

UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR MELALUI TEKNIK OBSERVATION VISITS DI SMPN 1 PUGER – JURNAL JP3

0 0 11

Peningkatan Aktivitas Belajar Sejarah Pokok Bahasan “Organisasi Gerakan Non Blok, Asean Dan Oki” Melalui Pendekatan Kontekstual Model Kooperatif – JURNAL JP3

0 0 14

PENYIMPANGAN PERILAKU SISWA DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI DI SMP NEGERI 1 KEDUNGJAJANG LUMAJANG) Oleh: Husni Mahrus (SMP Negeri 1 Kedungjajang) – JURNAL JP3

0 0 12

PENINGKATAN HASIL BELAJAR PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA KESEHATAN MELALUI PENERAPAN METODE PROBLEM SOLVING SISWA KELAS VIII-A SMPN 1 KEDUNGJAJANG. Oleh: Suhasan (SMPN 1 Kedungjajang Lumajang) – JURNAL JP3

0 0 7

METODE PENELITIAN - EVALUASI KINERJA GURU EKONOMI (STUDI KOMPARASI DI SEKOLAH KEMENDIKBUD DAN SEKOLAH KEMENAG) Oleh: RONI WIRANATA – JURNAL JP3

0 0 10

METODE PENELITIAN - PENINGKATKAN HASIL BELAJAR PKn MELALUI MODEL PEMBELAJARAN GROUP INVESTIGATION(GI) DI KELAS IX C SMP NEGERI 01 PASIRIAN Oleh: WIN SANTJOJO – JURNAL JP3

0 0 11

IMPROVING COMPREHENSION ACHIEVEMENT BY USING FOLKLORE. Oleh: SRI MULYATI PRIHATININGSIH – JURNAL JP3

0 0 7