Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online)

  JMP Online Vol 2, No. 8, 789-805. © 2018 Kresna BIP.

  Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) e-ISSN 2550-0481

   p-ISSN 2614-7254

  SIMULASI KELAINAN HIPERMETROPIA YANG BERHUBUNGAN DENGAN KINERJA AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH DASAR SWASTA JEMBAR BANDUNG TAHUN 2018 Rohayati SDIT Nur Al Rahman Kota Cimahi Jawa Barat

  INFORMASI ARTIKEL ABSTRAK

  Dikirim : 16 Agustus 2018 Kelainan pada penglihatan akan menjadi suatu Revisi pertama : 20 Agustus 2018 hambatan bagi seseorang dalam menjalankan aktivitas Diterima : 21 Agustus 2018 sehari-hari dan mewujudkan cita-citanya. Diantara Tersedia online : 31 Agustus 2018 kelainan-kelainan pada mata, hipermetropia merupakan kelainan refraksi terbanyak urutan ke-2 setelah kelainan refraksi myopia (rabun jauh) yang dating berobat ke

  Kata Kunci : Simulasi Hipermetropia, Kinerja Akademik, Siswa SD Poliklinik Mata. Pada anak-anak yang memiliki kelainan refraksi ditemukan 25% mereka tidak mampu menunjukan performa yang maksimal dalam bidang akademik

  Email : yeyet.rohayati3@gmail.com dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami kelainan refraksi. Tujun dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil dari Simulasi Kelainan Hipermetropia yang berhubungan dengan Kinerja Akademik siswa di Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018. Desain penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional, jenis penelitian yang digunakan adalah deskriftif analitik dengan sampel sebanyak 30 siswa Sekolah Dasar Swasta Jembar Bandung. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik (membaca, menulis, dan menggambar) dengan nilai ρ = 0.000 < 0,05. Hipermetropia berat yang dinyatakan tidak bisa dalam kinerja akademik sebanyak 28 responden (93,3%).

  PENDAHULUAN Latar Belakang

  Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak dibentuk tepat diretina, melainkan dibagian atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam beberapa bentuk, yaitu: miopia, hipermetropia dan astigmatisma (Ilyas, 2017).

  Kelainan refraksi memiliki prevalensi cukup tinggi di Indonesia, yaitu sebesar 24,7 dan pada anak-anak usia sekolah dasar sebesar 10% dari 66 juta anak Indonesia, kelainan refraksi merupakan kelainan kondisi mata yang paling sering terjadi (Saboe, 2009).

  Orang-orang yang mengalami kelainan refraksi tidak saja harus menanggung beban fisik, melainkan mereka juga memiliki konsekuensi sosial dan finansial. Penglihatan merupakan sesuatu yang secara signifikan memberikan pengaruh dalam pilihan karir dan aktivitas seseorang. Contohnya saja pada anak-anak yang memiliki kelainan refraksi di temukan 25% mereka tidak mampu menunjukan performa yang maksimal dalam bidang akademik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami kelainan refraksi, selain itu, 60% anak-anak dengan masalah belajar di laporkan juga mengalami kelainan pada penglihatan nya (Hedge, et al, 2015).

  Kelainan Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata saat sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan di belakang makula lutea (Ilyas, 2017).

  Masalah penglihatan dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada komprehensi dan kinerja dalam membaca dan menulis, yang menyusun hampir tiga perempat kegiatan belajar di sekolah. Terdapat banyak studi yang menemukan hubungan antara gangguan penglihatan dan buruknya kinerja siswa di sekolah. Penglihatan merupakan bagian besar dari proses belajar, 80% dari apa yang anak-anak pelajari di dapatkan melalui pemprosesan informasi secara visual. Untuk memastikan kemampuan anak-anak untuk belajar, penglihatan yang jelas dan nyaman adalah hal yang penting (Charenton, 2012).

  Berdasarkan hasil observasi di SD Jembar Bandung pada hari Senin 26 Maret 2018. Peneliti mengambil 3 sampel untuk mensimulasikan kelainan hipermetropia dengan ketentuan siswa dan siswi tersebut dalam kondisi tidak ada kelainan refraksi (Emmetropia) dan harus mencapai visus 6/6. Pada sempel pertama dan kedua ketika di beri lensa minus dengan skalaringan dan sedang, objek menyatakan bahwa masih bisa membaca, menulis dan menggambar atau mengenali gambar. Saat diberikan lensa minus dengan skala ukuran berat siswa menyatakan kesulitan dalam membaca, menulis dan menggambar. Sedangkan pada sempel ketiga saat diberi lensa dengan skala ringan objek menyatakan masih bisa membaca, menulis dan menggambar.Ketika di berikan lensa minus dengan skala ringan dan berat objek menyatakan tidak bisa membaca, menulis dan menggambar.

  Berdasarkan ketiga sampel tersebut 100% terganggu ketika disimulasikan kelainan hipermetropia berat dan 33% terganggu kegiatan kinerja akademiknya ketika disimulasikan hipermetropia sedang. Berdasarkan uraian dan data diatas, peneliti menarik untuk mensimulasikan kelainan hipermetropia yang berhubungan dengan kinerja akademik siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018.

  Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merumuskan masalah penelitian, sebagai berikut “Bagaimana hasil hubungan simulasi kelainan hipermetropia yang berhubungan dengan kinerja akademik pada siswa Sekolah Dasar Swasta Jembar Bandung tahun 2018?”.

  Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui hubungan simulasi kelainan hipermetropia yang berhubungan dengan kinerja akademik (membaca, menulis dan menggambar) pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018.

  KAJIAN PUSTAKA Hipermetropia

  Pada simulasi hipermetropia bayangan jatuh tepat di belakang retina. Objek yangakan diteliti adalah siswa dan siswi Sekolah Dasar Jembar Bandung jl. Jatinegara kelas 3, 4 dan 5. Yang akan menjadi objek peneliti siswa dan siswi tersebut dalam kondisi tidak ada kelainan refraksi (Emmetropia) dan harus mencapai visus 6/6.

  Anak dengan usia 5 tahun telah memiliki penglihatan yang berkembang sempurna. Dengan visus normal bisa mencapai 6/6. Dengan demikian pada siswa yang memiliki visus 6/6 sehingga dapat diberikan lensa minus dengan ukuran ringan, sedang dan beratuntuk simulasi hipermetropia. Dimana penglihatan siswa tesebut seolah- olahmengalami gangguan padakeja dekat yang terganggu.

  Sebelum dilakukan simulasi, peneliti melakukan probling lens antara lensa plus dan minus untuk mengetahui kondisi penglihatan siswa tersebut apakah normal (Emmetropia) atau tidak. Saat peneliti memberikan lensa minus dengan ukuran ringan, sedang, dan berat siswadihimbau untuk membaca, menulis dan menggambar apakah jelas atau buram.

  Selanjutnya akan ditinjau oleh peneliti untuk mengidentifikasi apakah tajam penglihatannya menurun dan berpengaruh terhadap kinerja akademiknya. Jika mengalami penurunan tajam penglihatan saat dilakukan tes tersebut tentunya akan mempengaruhi hasil kinerja akademiknya.

  

Gambar 1. Kondisi Mata Saat Mengalami Kelainan Hipermetropia

  Menurut Ilyas (2017), Kelainan Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan di belakang makula lutea.

  Penyebab Hipermetropia

  Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek. Penyebab hipermetropia yang pertama adalah sumbu utama bola mata yang terlalu pendek biasanya terjadi karena mikropthalmia, retinitis sentralis, atau ablasio retina (lapiran retina lepas lari ke depan titik fokus cahaya tidak tepat dibiaskan) ini salah satu penyebab hipermetropia.

  Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah. Penyebab hipermetropia yang kedua adalah terjadi gangguan-gangguan refraksi pada kornea, aqueus humor, lensa dan vitreus humor. Gangguan yang dapat menyebabkan hipermetropia adalah perubahan pada komposisi kornea dan lensa sehingga kekuatan refraksi menurun dan perubahan pada komposisi aqueus humor dan vitreus humor. Misal pada penderita Diabetes Militus terjadi hipermetropiajika kadar gula darah dibawah normal. Ini menjadi salah satu penyebab hipermetropia.

  Kelengkungan kornea dan lensa tidak kuat.penyebab hipermetropia yang ketiga adalah kelengkungan kornea dan lensa tidak kuat. Kelengkungan kornea ataupun lensa berkurang sehingga bayangan difokuskan dibelakang retina. Ini menjadi salah satu penyebab hipermetropia.

  Perubahan posisi lensa penyebab hipermetropia yang berikutnya adalah perubahan posisi lensa. Dalam hal ini, posisi lensa menjadi lebih posterior. Ini salah satu penyebab hipermetropia. (https://oprasi-mata.com/penyebab-hipermetropia-apa- saja/kbbi).

  Terdapat 3 bentuk hipermetropia: 1. Hipermetropia kongenital, diakibatkan bola mata pendek atau kecil.

  2. Hipermetropia simple, biasanya merupakan lanjutan hipermetropia anak yang tidak berkurang pada perkembangan nya jarang melebihi >5 dioptri.

  3. Hipermetropia didapat, umum didapat setelah bedah pengeluaran lensa pada katarak (afakia) (Ilyas, 2017).

  Pengelompokan hipermetropia secara klinis: a. Simple atau developmental hypemetropia, merupakan hipermetropia yang paling sering, yang berhubungan dengan variasi proses pertumbuhan normal dari bola mata.

  b.

  Pathological hypemetropia, dihasilkan dari kondisi tidak normal dari mata, bisa kongenital atau didapat (Khurana AK et al, 2007; Lang GK, 2000).

  Pengelompokan hipermetropia berdasarkan penyebabnya: 1. Hipermetropia aksial, merupakan bentuk hipermetropia yang paling sering dijumpai. Pada hipermetropia ini diameter anteroposterior bola mata lebih pendek dari normal sedangkan total kekuatan refraksi mata normal 2. Hipermetropia refraktif, merupakan hipermetropia yang di sebabkan oleh penurunan kekuatan refraksi mata.

  Jenis hipermetropia ini dibedakan lagi atas: a. Curvatural hypemetropia, hipermetropia yang disebabkan oleh penurunan kekuatan refraksi mata akibat kelengkungan kornea, lensa atau keduanya yang lebih tipis dari normal. b.

  Index hypemetropia, disebabkan penurunan indeks refraksi lensa mata pada usia tua.

  Hipermetropia manifes fakultatif: Kelainan hipermetropia dapat di imbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata, bila di berikan kacamata positif memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan istirahat.

  Gejala Hipermetropia

  Hipermetropia total: Hipermetropia laten dan manifes yang ukurannya di dapatkan sesudah di berikan sikloplegia (Ilyas, 2017).

  e.

  Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus. Hipermetropia hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia absolut.

  Hipermetropia laten: Dimana kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia (atau dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.

  d.

  c.

  c.

  Hipermetropia manifes absolut: Kelainan refraksi tidak di imbangi dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh.

  b.

  Hipermetropia dikenal dalam bentuk: a. Hipermetropia manifes: Hipermetropia manifes di dapatkan tanpa siklopegik, yang dapat dikoresi dengan kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut di tambah dengan hipermetropia fakultatif .

  Hipermetropia sedang: Spheris +3.25 D s/d Spheris +6.00 D 3. Hipermetropia berat : > +6.00 D

  Menurut Ilyas, 2017 Pengelompokan hipermetropia berdasarkan kekuatan lensa koreksi yang dibedakan (derajat) :

  Positional hypemetropia, disebabkan pergerakan lensa mata ke posterior (Khurana AK et al,2007).

  Gejala yang ditemukan pada hipermetropia adalah penglihatan dekat dan jauh kabur, sakit kepala, silau dan kadang rasa juling atau lihat ganda. Pasien hipermetropia sering disebut sebagai pasien rabun dekat. Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan sakit karna terus-menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak dibelakang makula agar terletak didaerah macula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan esotropia atau juling kedalam (Ilyas, 2015).

  Faktor Resiko

  Resiko mengembangkan klinis yang signifikan hipermetropia fisiologis ditentukan oleh kombinasi faktor herediter (keturunan) dan perbedaan biologis. Faktor resiko meliputi : 1.

  Panjang aksial mata terlalu pendek 2. Kelengkungan kornea terlalu datar 3. Ada atau tidak adanya gejala (hyperopic signifikan). (American Optometric Assosiation, 2017).

  Pengobatan

  Mata dengan hipermetropia akan memerlukan lensa cembung untuk mematahkan sinar lebih kuat kedalam mata. Koreksi hipermetropia adalah diberikan koreksi lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal (Ilyas, 2017).

  Diberikan koreksi hipermetropia manifest dimana tanpa sikloplegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal (6/6). Bila terdapat juling kedalam atau esotropia diberikan kacamata koreksi hipermetropia total.Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksotopia) maka diberikan kacamata positif kurang.

  Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal. Bila pasien dengan S+3.00 ataupun dengan S+3.25 memberikan ketajaman penglihatan 6/6, maka diberikan kacamata S+3.25. Hal ini untuk memberikan istirahat pada mata.Pada pasien dimana akomodasi masih sangat kuat atau pada anak-anak, maka sebainya pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sikloplegik atau melumpuhkan otot akomodasi. Dengan melumpuhkan otot akomodasi, maka pasien akan mendapatkan koreksi kacamatanya dengan mata yang istirahat.

  Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan jelas. Pada pasien yang banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama pada usia yang telah lanjut, akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca. Keluhan tersebut berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan. Pada pasien ini diberikan kacamata sferis positif terkuat yang memberikan penglihatan maksimal.

  Jenis derajat Hipermetropia dapat diklasifikasikan menjadi 3 menurut Irvin m.borish: 1998 1.

  Hipermetropia rendah, berukuran S+3.00. Tajam penglihatan biasanya baru terganggu sesudah usia menjelang presbyopia dimana aplitude akomodasi sudah menurun.

  2. Hipermetropia sedang, berukuran antara S+3.12 sampai 5.00 kelainan tajam penglihatan biasanya sudah terganggu sejak muda karena amplitude akomodasinya tidak mampu mengatasi hipermetropia.

  3. Hipermetropia tinggi, berukuran diatas S+5.00, pada kelainan ini biasanya tajam penglihatan sudah terganggu sejak kecil biasanya kelainan astenopia tidak timbul karena hipermetropia terlalu tinggi untuk diatasi dengan akomodasi. Pada kelainan ini bagi penderita yang sangat muda penting perhatikan masalah amblyopia dan strabismus terutama pada strabismus konvergensi, karena memerlukan koreksi sendiri mungkin koreksi penuh sebagai pencegah dan rehabilitasi penglihatan nya pada penderita ini sudah dewasa kelainan ini perlu diperhatikan kesulitan koreksi oleh efek lensa berukuran tinggi.

  Teknik pemeriksaan hipermetropia menurut Irvin m.borish: 1998 1. Pasien duduk menghadap ke kartu Snellen pada jarak 6 meter.

  2. Mata dipasang dengan lensa coba.

  3. Tutup satu mata, biasanya mata kiri ditutup terlebih dahulu untuk memeriksa mata kanan.

  4. Pasien diminta menyebutkan kartu Snellen mulai dari hurup teratas dan diteruskan pada baris dibawah hingga hurup yang masih dilihat atau disebutkan.

  5. Lensa positif (+) terkecil ditambah pada mata yang sedang diperiksa bila lebih jelas lensa positif di mata pasien tersebut ditambah kekuatannya perlahan-lahan dan pasien diminta menyebutkan huruf-huruf pada baris lebih bawah.

  6. Kemudian kekuatan lensa ditambah sampai terlihat huruf-huruf pada baris 6/6.

  7. Tambah lensa positif S+0,25 lagi dan tanyakan kembali pada pasien masih dapat melihat huruf-huruf diatas.

  Alat pemeriksaan menurut Irvin m.borish 1998 a. Snillen b.

  Lensa coba c. Satu set lensa coba

  Kinerja Akademik

  Mulyasa, 2005, menyatakan bahwa kineja adalah “output drive from processes,

  human otherwise

  ”. Kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses. Dikatakan lebih lanjut oleh Mulyasa bahwa kinerja atau performance dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian hasil kerja, hasil-hasil kerja atau unjuk kerja.

  Pengertian tentang kinerja tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah prestasi kerja yang telah dicapai oleh seseorang.Kinerja atau prestasi kerja merupakan hasil akhir dari suatu aktivitas yang telah dilakukan seseorang untuk meraih suatu tujuan.Pencapaian hasil kerja ini juga sebagai bentuk perbandingan hasil kerja seseorang dengan standar yang telah di tetapkan.Apabila hasil kerja yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan standar kerja atau bahkan melebihi standar maka dapat dikatakan kinerja itu mencapai prestasi yang baik.

  Akademik adalah keadaan orang-orang bisa menyampaikan dan menerima gagasan, pemikiran, ilmu pengetahuan dan sekaligus dapat mengujinya secara jujur, terbuka dan leluasa (Fadjar,2002).

  Menurut Krisnawati dan Suryani (2010) Kemampuan akademik merupakan sebagian dari kemapuan intelektualyang umumnya tercermin dalam prestasi akademik (nilai hasil belajar). Konsep kemampuan akademik adalah keyakinan individu dan evaluasi diri mengenai sifat akademik yang berhubungan dengan keterampilan dan kemampuan individu tersebut (McGrew, 2008).

  Kemampuan akademik siswa dapat tergambar dari pencapaian akademiknya. Pencapaian akademik merupakan fungsi akumulatif dari keluarga, masyarakat dan pengalaman sekolah baik masa lalu maupun saat ini (Rivkin, dkk., 2005). Hal tersebut didukung oleh pernyataan Dahar (2011) yang menyatakan bahwa prestasi atau pencapaian akademik siswa sebelumnya menunjukkan kemampuan dan kinerja akademik siswa di kelas sebelumnya.

  Macam-Macam Kinerja Akademik

  Kinerja akademik yang dilihat oleh peneliti dalam simulai kelainan hipermetropia antara lain sebagai berikut.

  1. Membaca Samsu Somadayo (2011), mengungkapkan bahwa membaca adalah suatu kegiatan interaktif untuk memetik serta memahami arti yang terkandung di dalam bahan tulis. Pendapat tersebut didukung Henry Guntur Taringan (2009), yang menjelaskan bahwa membaca adalah memahami pola-pola bahasa dari gambaran tulisannya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa membaca adalah proses pengasosiaan huruf, penerjemahan dan pemahaman makna isi bacaan.

  Menurut Farida Rahim (2008), ada beberapa tujuan membaca yang mencakup kesenangan, menyempurnakan membaca nyaring, memperbaharui pengetahuannya tentang suatu topik, mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahuinya, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik, dan lain- lain, sedangkan menurut Henry Guntur Taringan (2009), tujuan membaca adalah memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta, memperoleh ide-ide utama, membaca untuk menyimpulkan, mengelompokkan atau mengklarifikasi, serta menilai dan mengevaluasi.

  Dari uraian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa tujuan membaca yang paling utama adalah memperoleh informasi. Setelah informasi diperoleh pembaca akan melakukan tindak lanjut yang dapat berupa kegiatan menyimpulkan, menilai dan membandingkan isi bacaan.

  Anderson (Sabarti Akhadiah, dkk., 1992), menjelaskan bahwa ada lima ciri membaca yaitu membaca adalah proses kontruktif, membaca harus lancar, membaca harus dilakukan dengan strategi yang tepat, membaca memerlukan motivasi, serta membaca merupakan keterampilan yang harus dikembangkan secara berkesinambungan.

  2. Menulis Menurut Suparno (2005), menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Sehingga menulis merupakan keterampilan produktif dengan menggunakan tulisan.

  Menurut Semi (2007), mengemukakan bahwa menulis merupakan suatu kreatif memindahkan gagasan dalam lambang-lambang tulisan. Dalam pengertian ini menulis mempunyai tiga aspek utama, yaitu adanya tujuan atau maksud tertentu yang hendak dicapai, adanya gagasan atau maksud tertentu yang hendak dicapai dan sistem pemindahan gagasan itu yaitu berupa sistem bahasa atau penyajian.

  Langkah-langkah kegiatan menulis permulaan terbagi ke dalam dua kelompok, yakni mengenal huruf dan latihan. Pengenalan huruf kegiatan ini dilaksanakan bersama dengan kegiatan pembelajaran membaca permulaan. Penekanan pembelajaran diarahkan pada pengenalan bentuk tulisan serta pelafalannya dengan benar. Fungsi pengenalan ini dimaksudkan untuk melatih indra siswa dalam mengenal dan membedakan bentuk dan lambang-lambang tulisan.

  Menggambar adalah kegiatan-kegiatan membentuk imaji, dengan menggunakan banyak pilihan tekhnik dan alat. Bisa pula berarti membuat tanda- tanda tertentu diatas permukaan dengan mengolah goresan dari alat gambar.

  Definisi Simulasi

  Simulasi berasal dari kata Simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat seakan-akan. Simulasi dapat diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip atau keterampilan tertentu

  (Sanjaya, 2008). Menurut Sa’ud (2005) Simulasi dalam perspektif model pembelajaran adalah sebuah reflikasi atau visualisasi dari perilaku sebuah sistem, misalnya sebuah perencanaan pendidikan, yang berjalan pada kurun waktu yang tertentu.

  Jadi, dapat dikatakana bahwa simulasi itu adalah sebuah model yang berisi seperangkat variabel yang menampilkan ciri utama dari sistem kehidupan yang sebenarnya. Simulasi kemungkinan keputusan-keputusan yang menentukan bagian ciri-ciri utama itu bisa dimodifikasi secara langsung.

  Metode pembelajaran simulasi merupakan metode pembelajaran yang membuat suatu peniruan terhadap sesuatu yang nyata, terhadap keadaan sekelilingnya (state of

  affaris ) atau proses (Sudjana, 2009).

  METODE PENELITIAN Waktu, Tempat dan Subjek Penelitian

  Penelitian ini dilakukan di Sekolah Swasta yaitu Sekolah Dasar Jembar Bandung, sekolah ini didirikan pada tahun 1971 yang berlokasi di Propinsi Jawa Barat Kabupaten Kota Bandung Kecamatan Batununggal Desa Kebon Waru terletak di jalan Jatinegara No.1 yang merupakan salah satu SD dengan luas wilayah 150 m². SD Jembar Bandung ini mepunyai 6 ruang kelas dengan jumlah siswa seluruhnya 81 siswa, selain itu Guru yang mengajar di SD Jembar ini berjumlah 7 orang Guru.

  Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2018.

  Jenis Penelitian

  Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik. Peneliti akan melakukan pengukuran variabel independen dan dependen, kemudian akan menganalisa data yang terkumpul untuk mencari hubungan antara variabel.

  Teknik Pengumpulan Data

  Populasi penelitian ini dibatasi yaitu pada siswa kelas 3, 4 dan 5 yang berjumlah 42 orang. Penelitian dengan cross-sectional dengan 3 kelompok penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Jembar Bandung dalam rentang waktu bulan Februari sampai bulan Mei 2018. Sampel penelitian ini menggunakan metode total samping. Dalam penelitian ini sampel yang diteliti adalah siswa dan siswi kelas3, 4 dan 5 sebanyak 42 orang. Sampel diambil berdasarkan kriteria yang telah ditentukan peneliti yaitu responden dengan mata normal (emmetropia) dan visus mencapai 6/6.

  Teknik Analisis Data

  Teknik analisis data dalam penelitin ini menggunakan teknik analisis univariate dan bivariate. Responden disimulasikan seolah-olah mengalami kelainan hipermetropia dengan klasifikasi hipermetropia ringan, sedang, dan berat peneliti melihat apakah akan mempengaruhi kinerja akademik. Penelitian ini membahas tentang hubungan derajat kelainan hipermetropia dengan kinerja akademik menggunakan metode simulasi pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018.

  Secara skematis penelitian ini dapat digambarkan dalam kerangka konsep sebagai berikut.

  Simulasi Kinerja Akademik Hipermetropia Post

  Peneliti akan melakukan pengukuran variabel independen dan dependen, kemudian akan menganalisa data yang terkumpul untuk mencari hubungan antara variabel. Dalam penelitian ini bertujuan melihat adanya gambaran fungsi penglihatan hipermetropia pada orang simulasi hipermetropia ringan, sedang dan berat. Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran antara gelaja satu dengan gejala yang lain, atau variabel satu dengan variabel yang lain (Notoatmodjo, 2012).

  Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi eksperimental, dalam observasi ini responden dicoba atau dimasukan ke dalam suatu kondisi atau situasi tertentu. Kondisi dan situasi tertentu diciptakan sedemikian rupa sehingga gejala atau perilaku yang akan dicari atau diamati akan timbul. Dengan mengkondisikan kedua bola mata pada orang emmetropia (mata normal) seolah-olah menyerupai keadaan hipermetropia dengan diberikan lensa koreksi ringan, sedang, dan berat. Setelah itu peneliti melihat kinerja akademik pasien dengan tes membaca, menulis, dan menggambar lalu menuliskan hasilnya dilembar observasi. Observasi dibantu oleh numerator yang memiliki kompetensi yang sama dengan peneliti. Kemudian peneliti melakukan penjelasan kepada numerator untuk menyamakan pemahaman (Notoatmodjo, 2012).

  .

  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

  Pada bab ini diuraikan hasil penelitian mengenai Simulasi Kelainan Hipermetropia yang berhubungan dengan Kinerja Akademik pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018. Pengambilan data dengan menggunakan metode penelitian cross sectional data yang menyangkut variabel bebas atau resiko dan variabel terikat atau variabel akibat, akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Selanjutnya data disajikan secara univariat dan bivariat, inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang dapat digunakan setiap orang akan dijadikan sampel (Notoatmodjo 2010). Sampel yang diambil atau didapatkan dalam penelitian ini yaitu anak yang tidak memiliki kelainan refraksi yaitu mata normal (emmetropia) sebanyak 30 sampel.

  Karakteristik Responden Berdasarkan Usia, dan Jenis Kelamin

  Karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin di Sekolah Dasar Jembar Bandung dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

  

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Simulsi Kelainan Hipermetropia yang

Berhubungan dengan Kinerja Akademik Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Distribusi Usia Frekuensi Persentase

  9 7 23,3%

  10 13 43,3%

  11 9 30,0%

  12 1 3,3% Total 30 100,0%

  Distribusi Jenis Kelamin Frekuensi Persentase Laki-laki 16 53,3% Perempuan

  14 46,7% Total 30 100,0%

  Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018) Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 30 responden, dengan kelompok usia antara 9 tahun sampai 12 tahun dengan kelompok usia terbanyak yaitu 10 tahun dengan jumlah 13 siswa (43,3%). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin responden laki-lakisebanyak 16 siswa (53,3%) dan perempuan sebanyak 14 siswa (46,7%).

  Merupakan analisa yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dari variabel independen dan depeden tentang hubungan derajat kelainan hipermetropia dengan kinerja akademik (membaca) menggunakan metode simulasi pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung Tahun 2018. Dalam penyajian data analisa univariat berbentuk tabel distribusi frekuensi dari tiap-tiap variabel. Pada penelitian ini Simulasi Hipermetropia dilakukan pada 30 siswa masing-masing dengan 3 kategori hipermetropia yaitu : hipermetropia ringan, hipermetropia sedang dan hipermetropia berat, sehingga peneliti mendapatkan 90 data peneltian. Distribusi frekuensi simulasi hipermetropia dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

  

Tabel 2. Tabel Distribusi Frekuensi Simulasi Hipermetropia

No. Derajat Hipermetropia Frekuensi Persentase

  1 Hipermetropia Berat 30 33,3%

  2 Hipermetropia Sedang 30 33,3%

  3 Hipermetropia Ringan 30 33,3% Total 90 100.,0%

  Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018) Setelah disimulasikan dengan hipermetropia dengan klasifikasi ringan, sedang dan berat siswa di ukur Kinerja Akademiknya dengan cara siswa diperintahkan untuk membaca, menulis dan menggambar. Distribusi frekuesnsi Kinerja Akademik dapat dilihat pada tabel berikut ini.

  

Tabel 3. Tabel Distribusi Frekuensi Kinerja Akademik

No. Kategori Frekuensi Persentase

  1 Terganggu

  

32

  35.6

  2 Tidak Terganggu

  

58

  64.4 Total 90 100.0

  Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018) Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 3 diatas menunjukan bahwa kinerja akademik yang terganggu sebanyak 32 responden (35,6%), dan kategori tidak terganggu sebanyak 58 responden (64,4%).

  

Tabel 4. Tabel Distribusi Frekuensi Aktivitas Akademik

Terganggu Tidak Terganggu Total No Kinerja Akademik F % F % F %

  1 Membaca 32 35,6 58 64,4 90 100,0

  2 Menulis 31 34,4 59 65,6 90 100,0

  3 Menggambar 30 33,3 60 66,7 90 100,0

  Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018) Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 4 diatas menunjukan bahwa kinerja akademik membaca yang terganggu sebanyak 32 responden (35,6%), dan kategori tidak terganggu sebanyak 58 responden (64,4%). Pada kinerja akademik menulis yang terganggu sebanyak 31 responden (34,4%) dan kategori tidak terganggu sebanyak 59 responden (65,6%). Pada kinerja akademik menggambar yang terganggu sebanyak 30 responden (33,3%) dan kategori tidak terganggu sebanyak 60 responden (66,7%).

  Hasil analisa bivariat hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik sepeti membaca, menulis, dan menggambar dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini.

  

Tabel 5. Hubungan Simulasi Hipermetropia

dengan Kinerja Akademik (Membaca)

Membaca Simulasi Hipermetropia Total P Value Tidak Bisa Bisa

  28

  

2

  30 Hipermetropia Berat 93,3% 6,7% 100,0%

  4

  26

  30 Hipermetropia Sedang 13,3% 86,7% 100,0% P= 0.000 <

  30

  30 0,05 Hipermetropia Ringan .0% 100,0% 100,0%

  32

  58

  90 Total 35,6% 64,4% 100,0%

  Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018) Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 5 diatas menunjukan bahwa simulasi dengan Kinerja Akademik (membaca) pada hipermetropia ringan yang dinyatakan bisa membaca sebanyak 30 siswa (100,0%). Pada hipermetropia berat yang dinyatakan tidak bisa membaca sebanyak 28 siswa (93,3%) dan dinyatakan bisa membaca sebanyak 2 siswa (6,7%).

  

Tabel 6. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik (Menulis)

Simulasi Hipermetropia

  

Tabel 8. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik

Simulasi Hipermetropia

  30 10,0% 90,0% 100,0% Hipermetropia Ringan

  30

  30 .0% 100,0% 100,0% Total

  30

  60

  90 33,3% 66,7% 100,0%

  Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018) Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 7 diatas menunjukan bahwa simulasi dengan Kinerja Akademik (menggambar) pada hipermetropia ringan yang dinyatakan bisa menggambar sebanyak 30 siswa (100,0%). Pada hipermetropia berat yang dinyatakan tidak bisa menggambar sebanyak 27 siswa (90,0%) dan dinyatakan bisa menggambar sebanyak 3 siswa (10,0%).

  

Kinerja Akademik

(Membaca, menulis dan

menggambar)

Total P Value

  3

  Tidak Bisa Bisa

  Hipermetropia Berat

  28

  2

  30 P= 0.000 < 0,05

  93,3% 6,7% 100,0% Hipermetropia Sedang

  4

  26

  27

  30 P= 0.000 < 0,05 90,0% 10,0% 100,0% Hipermetropia Sedang

  

Menulis

Total P Value

  30

  Tidak Bisa Bisa Hipermetropia Berat

  28

  2

  30 P= 0.000 < 0,05 93,3% 6,7% 100,0% Hipermetropia Sedang

  3

  27

  30 10,0% 90,0% 100,0% Hipermetropia Ringan

  30 .0% 100,0% 100,0% Total

  

3

  31

  59

  90 34,4% 65,6% 100,0%

  Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018) Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 6 diatas menunjukan bahwa simulasi dengan Kinerja Akademik (menulis) pada hipermetropia ringan yang dinyatakan bisa menulis sebanyak 30 siswa (100,0%). Pada hipermetropia berat yang dinyatakan tidak bisa menulis sebanyak 28 siswa (93,3%) dan dinyatakan bisa menulis sebanyak 2 siswa (6,7%).

  

Tabel 7. Hubungan Simulasi Hipermetropia

dengan Kinerja Akademik (Menggambar)

Simulasi Hipermetropia

  

Menggambar

Total P Tidak Bisa Bisa

  Hipermetropia Berat

  27

  30 13,3% 86,7% 100,0%

  

Lanjutan Tabel 8. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik

Kinerja Akademik

Simulasi (Membaca, menulis dan Total P Value

menggambar)

Hipermetropia

  Tidak Bisa Bisa

  30

  30 Hipermetropia Ringan .0% 100,0% 100,0%

  32

  58

  90 Total 35,6% 64,4% 100,0%

  Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018) Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 8 diatas menunjukan bahwa Simulasi dengan Kinerja Akademik dalam membaca, menulis dan menggambar pada hipermetropia berat yang dinyatakan tidak bisa sebanyak 28 responden (93,3%), dan dinyatakan bisa sebanyak 2 responden (6,7%). Pada hipermetropia sedang yang dinyatakan tidak bisa sebanyak 4 responden (13,3%), dan dinyatakan bisa sebanyak 26 responden (86,7%). Pada hipermetropia ringan semua responden (100%) tidak mengalami gangguan kinerja akademik (membaca, menulis dan menggambar).

  Pembahasan

  Penelitian ini dilakukan pada bulan 25 Mei tahun 2018 bertempat di SD Jembar Bandung. Pada penelitian ini Simulasi Hipermetropia dilakukan pada 30 siswa masing- masing dengan 3 kategori hipermetropia yaitu : hipermetropia ringan, hipermetropia sedang dan hipermetropia berat,sehingga peneliti mendapatkan 90 data peneltian.

  Simulasi hipermetropia pada penelitian ini dilihat dari kinerja akademik dalam membaca, menulis dan menggambar. Apabila penglihatan siswa tidak terkoreksi sejak dini maka akan terganggu atau berpengaruh pada kinerja akademiknya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Charenton (2012), bahwa masalah penglihatan dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada komprehensi dan kinerja dalam membaca dan menulis, yang menyusun hampir tiga perempat kegiatan belajar di sekolah. Terdapat banyak studi yang menemukan hubungan antara gangguan penglihatan dan buruknya kinerja siswa di sekolah. Penglihatan merupakan bagian besar dari proses belajar, 80% dari apa yang anak-anak pelajari didapatkan melalui pemprosesan informasi secara visual. Untuk memastikan kemampuan anak-anak untuk belajar, penglihatan yang jelas dan nyaman adalah hal yang penting.

  Hasil ini menunjukan bahwa simulasi hipermetropia berhubungan dengan kinerja akademik siswa. Kemampuan akademik yang meliputi menulis, membaca dan menggambar siswa akan menurun apabila semakin besar hipermetropia yang dialami siswa. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ilyas (2017), yaitu kelainan Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina yang mengakibatkan terganggunya penglihatan dekat penderitanya.

  Hal ini sesuai dengan Grosvenor (1971), mengamati bahwa hipermetropia telah mendapat perhatian yang jauh lebih sedikit dari pada myopia, mungkin karena etiologi tes umum nya diyakini hampir seluruhnya karena faktor genetik atau keturunan. Hal ini dapat menghasilkan pengurangan ketajaman visual jauh dan dekat nya tergantung pada kemampuan akomodatif pasien.

  Menurut Jobke, 2008 salah satu gangguan tajam penglihatan pada anak adalah hipermetropia. Pada anak yang mengalami hipermetropia lebih mudah terkena ambliopia dibandingkan dengan miopia. Dari hasil penelitian di Jerman, menunjukan prevalensi kelainan refraksi hipermetropia berdasarkan klasifikasi usia 2-6 tahun, 7-11 tahun, dan 12-17 tahun dibedakan antara laki-laki dengan perempuan sebagai berikut; pada usia 2-6 tahun untuk laki-laki 8,3% dan perempuan 10,9%. Pada usia 7-11 tahun untuk laki-laki 5,6% dan untuk perempuan 7,2%. Pada usia 12-17 tahun untuk laki-laki 8,2% dan untuk perempuan 0,9%.

  Aktivitas kerja dekat seperti membaca dan menulis dianggap sebagai tugas pendidikan terpenting yang di lakukan oleh anak-anak. Anak-anak menghabiskan waktu sekitar 4 sampai 5 jam setiap hari untuk kegiatan akademik selama jam sekolah, tugas dengan menggunakan jarak dekat sebanyak 54% dari kegiatan ini. Studi ini menunjukan bahwa, rata-rata siswa tetap terjaga konstan mendekati fiksasi selama 16 menit setiap kalinya. Menurut Walton HN (1978) kurangnya konsesus mengenai tingkat minimum hipermetropia yang tidak terkoreksi secara negatif akan mempengaruhi kemampuan membaca atau prestasi Akademik umum pada anak-anak (Ritty JM,1993).

  KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

  Berdasarkan hasil penelitian mengenai Simulasi Kelainan Hipermetropia yang Berhubungan dengan Kinerja Akademik pada Siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung Tahun 2018, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan simulasi hipermetropia dengan kinerja akademik (membaca, menulis dan menggambar) pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung 2018.

  Saran 1.

  Bagi Sekolah Dasar Jembar Bandung Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pihak sekolah yaitu kelinan refraksi sehingga dapat dijadikan dasar dalam meningkatkan status kesehatan untuk siswa yang mengalami kelaianan hipermetropia yang berhubungan dengan kinerja Akademik dilihat dari membaca, menulis, dan menggambar.

  2. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian tentang Simulasi

  Kelainan Hipermetropia Yang Berhubungan Dengan Kinerja Akademik dalam waktu yang lebih lama agar hasilnya lebih efektif. Untuk penelitian selanjutnya menggunakan teknik mix method, yaitu dengan pengumpulan data secara kualitatif dan kuantitatif.

  3. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan bagi institusi pendidikan untuk menambah referensi terkait dengan fenomena Simulasi Kelainan Hipermetropia yang Berhubungan dengan

  Kinerja Akademik (membaca, menulis, dan menggambar) pada Siswa Sekolah Dasar.

  Anderson. (Sabarti Akhadiah, dkk). 1992. Jurnal Kreatif Tadulako. Vol: 4. (Online) Diakses pada tanggal 04 Maret 2018. Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Charenton. 2012. The Social and Economic Impact of Poor Vision, The Boston

  Consulting Group and Essilor . (Online)

  Diakses pada tanggal 09 Febuari 2018. Dahar, M.A. 2011. Relationship Between The School Resuorce Inputs and Academic

  Achievement of Student at Secondary Level in Pakistan . Thesis. Islamabad: Higher Education Commision Pakistan.

  Fadjar. 2002. Sistem Informasi Akademik. Yogyakarta: Andi Offset. Farida Rahim. 2008. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi Askara.

  Henry Guntur Taringan. 2009. Pengkajian Pragmatik. Bandung: Angkasa. Hedge, et al. 2015. Kelainan Refraksi Tak Terkoreksi Penuh. (Online)

  Diakses pada tanggal 14 Februari 2018. Ilyas,S. 2017. Ilmu Penyakit Mata, Edisi Kelima. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

  Khurana AK et al. 2007; Lang GK,2000. Comprehensive Opthalmology (Ebook) . 4th Ed. New Dellhi: New Age International. Krisnawati, N dan Suryani,Y. 2010. Bahan Dasar untuk Pelayanan Konseling pada

  Satuan Pendidikan Mencegah Jilid III . Jakarta: Grasindo, (Online)

   Diakses pada tanggal 16 Februari 2018.

  McGrew, K.S. 2008. Beyond IQ: A Model of Academic Competence & Motivation

  (MACM) . (Online)

  kses pada tanggal 16 Februari 2018. Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan

  Menyenangkan . (Online) iakses pada tanggal 12 Febuari 20118.

  Notoatmodjo,S. 2012. MetodologiPenelitianKesehatan. Jakarta: RinekaCipta. Ritty JM. 1993. Impact of Simulated Hyperopia On Academic-Related Performance in

  Childern . (Online)

  kses pada tanggal 09 Febuari 2018. Rivkin, S.G., Hanushek,E.A., danKrain, J.F.2005. Teacher, Scool and Academic

  Achievement. Economical. Vol: 73(2): 417-458. (Online),

   Diakses pada tanggal 16 Februari 2018.

  Saboe. 2009. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prevalensi Kelainan Refraksi Pada Anak. (Online)

  da tanggal 14 Februari 2018. Samsu Somadayo. 2011. Strategi dan Tekhnik Pembelajaran Membaca. Yoyakarta: Graha Ilmu.

  Semi. 2007. Jurnal Kreatif Tadulako. Vol: 4 No.8 ISSN 2354-614X (Online) Diakses pada tanggal 04 Maret 2018. Suparno. 2005. Jurnal Kreatif Tadulako. Vol: 4 (Online) Diakses pada tanggal 04 Maret 2018.