Analisa Penggunaan Piranti Lunak Treatme

Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012)
7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia

Analisa Penggunaan Piranti Lunak Treatment Planning System (TPS)
Prism: Suatu Studi Kasus pada Fantom Air
Mohammad Haekal* dan Freddy Haryanto
Diterima xx Juni 2012, direvisi xx Juli 2012, diterbitkan xx Agustus 2012
Abstrak
Prism merupakan piranti lunak non-komersil yang dikembangkan untuk membantu dalam proses treatment
planning system (TPS) dalam radioterapi. Studi kasus dilakukan untuk meninjau kinerja Prism dalam proses
TPS tersebut. Dilakukan tiga studi kasus dengan tiga jenis fantom yang memiliki perbedaan dimensi maupun
geometri. Studi kasus pertama dilakukan untuk mengamati penghitungan percentage depth dose (PDD)
pada fantom. Studi kasus kedua dilakukan untuk mengamati penghitungan persebaran dosis pada fantom
pada saat dilakukan optimasi menggunakan Prism. Studi kasus ketiga dilakukan untuk mencoba optimasi
pengaturan beam pada fantom dengan geometri yang tidak beraturan. Hasil yang didapatkan menunjukkan
profil PDD sesuai dengan acuan pada rujukan. Persebaran dosis pada studi kedua berhasil memenuhi
kriteria +7% dan -5% pada PTV. Studi kasus ketiga membutuhkan pengembangan lebih lanjut dalam teknik
planning yang digunakan.
Kata-kata kunci: prism TPS, kurva isodosis, PDD
Pendahuluan
Tabel 1. Pengaturan standar beam


Prism treatment planning system (TPS)
merupakan piranti lunak non-komersil yang
dikembangkan di University of Washington [1].
Pengembangan Prism selain untuk penggunaan
klinis juga digunakan dalam kegiatan penelitian
dan pembelajaran mengenai TPS [2].
Penelitian ini mengamati kinerja dari Prism
dalam proses TPS. Untuk pengamatantersebut
dilakukan studi kasus penggunaan Prism pada
fantom air. Studi kasus yang dilakukan terutama
mengacu pada eksperimen yang dirancang oleh
Meyer [3] dan Sun [1] dengan beberapa
modifikasi pada bentuk fantom pada eksperimen
Meyer dan perbedaan teknik planning pada
eksperimen Sun.

Jenis/Nilai
SL20A
6 MV


field size

10x10 cm

SSD
collimator rotation
couch rotation
gantry rotation

100 cm




2

Studi kasus kedua menggunakan fantom
3
dengan dimensi 20x20x20 cm dengan tiruan

jaringan tumor dan resiko organ di dalamnya.
Densitas pada fantom ini sama dengan densitas
fantom pada studi kasus pertama. Isocenter dari
mesin dipusatkan menjadi titik tengah dari
fantom, dan di dalamnya tiruan jaringan tumor
juga dipusatkan pada isocenter ini. Jaringan
tumor memiliki geometri kubus dengan dimensi
3
5x5x5 cm . Resiko organ terletak 2.5 cm di
3
bawah jaringan tumor dan berdimensi 4x4x4 cm
dengan geometri kubus. Densitas dari resiko
3
organ sebesar 1.8 g.cm setara dengan densitas
tulang pada tubuh manusia [3].

Eksperimen
Pada studi kasus pertama digunakan fantom
3
dengan dimensi 40x40x40 cm dengan bagian

permukaan dibuat sejajar dengan isocenter dari
3
mesin. Densitas fantom diatur menjadi 1.0 g/cm ,
serupa dengan air. Didefinisikan 15 titik
pengamatan yang menjadi titik acuan dalam
penghitungan dosis [3]. Variasi yang akan
dilakukan dalam studi kasus ini adalah
pengubahan field size pada penyinaran fantom,
pengubahan energi dari beam, dan pengubahan
Source-to-Surface Distance (SSD). Variabel
yang diamati merupakan perubahan profil
percentage depth dose (PDD) dari tiap-tiap
perubahan parameter terhadap pengaturan
standar dari beam. Pengaturan standar yang
dimaksud seperti nampak pada tabel 1.

ISBN xxx-x-xxxx-xxxx-x

Parameter
mesin

energi

Di sekeliling tumor dibentuk PTV dengan
metode tri-linear expansion dengan margin 1 cm
di
sekeliling
tumor.
Titk
pengamatan
didefinisikan sebanyak 6 titik dengan posisi satu
pada resiko organ bagian tengah, satu buah di
bagian tengah PTV, dan 4 titik di bagian-bagian
tepi dari PTV.

1

http://proceedings.fi.itb.ac.id/cps/

Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012)
7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia


penggunaan beam dibatasi hingga berjumlah
lima, dan akan dicari perbedaan optimasi dari
masing-masing jumlah beam dan posisi beam.

Variasi yang akan dilakukan pada studi kasus
kedua merupakan pengaturan jumlah dan posisi
beam serta penggunaan wedge pada bentuk
kurva isodosis yang dihasilkan. Akan diuji lima
konfigurasi beam dengan ketentuan seperti pada
tabel 2.

Semua studi kasus pada penelitian ini
melakukan normalisasi dosis pada kedalaman
zmax menjadi 100 cGy untuk memudahkan
pengamatan pengubahan laju dosis terhadap
parameter.

Tabel 2. Konfigurasi beam yang digunakan pada
studi kasus dua

Jumlah beam

Sudut beam

1



2

0° dan 180°

Hasil dan diskusi
Dari studi kasus pertama didapatkan data
seperti ditampilkan pada grafik di gambar 2,

90° dan 270°
3

0°, 120°, dan 240°

0°, 90°, dan 270°
0°, 60°, dan 300°

Studi kasus ketiga menggunakan fantom
berbentuk bulat dengan diameter 30 cm, dengan
tiruan resiko organ berbentuk bulat di dalamnya
dengan dimensi 6 cm yang dipusatkan pada
isocenter. Di sekeliling resiko organ dibentuk
PTV berbentuk lengkung dengan diameter
dalam 8 cm dan diameter luar 20 cm. Geometri
fantom ini tampak seperti pada gambar 1,

Gambar 2. Kurva perbandingan PDD antara
2
pengaturan standar (biru), field size 20x20 cm
(kuning), SSD 50 cm (ungu), SSD 150 cm
(merah), dan energi beam 18 MV (hijau)
Nampak
dalam
grafik

bahwa
hasil
penghitungan yang dilakukan Prism pengaruh
perubahan parameter-parameter tersebut sesuai
dengan hasil penelitian pada eksperimen Buzdar
[4]. Semakin besar field size maka penurunan
dosis per cm nya semakin kecil karena
perbedaan efek hamburan radiasi yang terjadi.
Pengubahan SSD menimbulkan pengaruh yang
paralel dimana semakin kecil SSD maka
penurunan dosis per cm semakin tinggi.
Sedangkan pengubahan energi menjadi 18 MV
juga meningkatkan daya penetrasi dari beam
sehingga dosis maksimum muncul pada tingkat
yang lebih dalam.

Gambar 1.Tampilan fantom pada studi kasus
ketiga pada penampang transversal. Hijau:
outline fantom. Merah: resiko organ. Kuning:
PTV


Pada studi kasus kedua, didapatkan data dari
penggunaan
single
beam
tidak
dapat
menghasilkan persebaran dosis yang merata
sebagaimana dianjurkan dalam ICRU reports no
50. Pada konfigurasi dua beam, didapatkan data
persebaran dosis pada posisi beam 90° dan
270° dengan menggunakan wedge 60 ° berhasil
menampilkan profil kurva isodosis yang
diinginkan dengan batas -5% dan +7.4% pada
area PTV. Kelebihan 0.4% masih bisa dioptimasi
dengan pengaturan posisi beam lebih lanjut.

Studi kasus ini dilakukan menggunakan teknik
forward planning untuk dibandingkan persebaran
dosisnya dengan metoda Intense Modulated Arc

Therapy (IMAT) yang dilakukan Sun [1]. Analisa
akan dilakukan pada perbedaan penggunaan
teknologi forward planning dan IMAT pada hasil
kurva isodosis.
Variasi yang dilakukan pada studi kasus ini
terletak pada jumlah beam. Pada studi kasus ini

ISBN xxx-x-xxxx-xxxx-x

2

http://proceedings.fi.itb.ac.id/cps/

Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2012 (SNIPS 2012)
7-8 Juni 2012, Bandung, Indonesia

Studi kasus ketiga menyajikan hasil kurva
isodosis yang tidak merata seperti pada gambar
3. Penggunaan 5 beam dirasakan masih belum
cukup karena pengaruh geometri yang begitu
sulit. Penambahan jumlah beam sangat
disarankan, namun dengan teknik forward
planning akan memakan waktu yang lama untuk
pemilihan konfigurasi beam yang tepat dan
penghitungan dosis nya pun memakan waktu
yang tidak sedikit. Penggunaan 5 beam dengan
metode fine grid pada penghitungan dosis
memakan waktu lebih dari 10 detik.

[2] I.J. Kalet, J.P. Jacky, M.M Austin-Seymour,
S.M. Hummel, K.J. Sullivan, dan J.M.
Unger, “Prism: A New Approach to
Radiotherapy
Planning
Software”,
International Journal of Radiation Oncology,
Biology, and Physics 36 (2), 451-461
(1996)
[3] Juergen Meyer, “A Tutorial for Treatment
Planning in Radiation Therapy”. Update
09.08.2010,
URL
http://www2.phys.canterbury.ac.nz/~physm
ed/prismtutorial/Mainpage.html [accessed
29 May 2012]
[4] S.A. Buzdar, M.A. Rao, A. Nazir, “An
Analysis of Depth Dose Characteristics of
Photon in Water”, J Ayub Med Coll
Abbottabad 21 (4), (2009)

Mohammad Haekal
Nuclear Physics and Biophysis Research Division
Institut Teknologi Bandung
haekalmohammad@students.itb.ac.id

Gambar 3. Optimasi
menggunakan lima beam

pada

fantom

tiga

Kesimpulan
Prism TPS menggunakan penghitungan
dosis yang bisa dipakai pada proses TPS baik
secara klinis maupun untuk penelitian.
Disarankan melakukan pengembangan pada
metode IMAT dan IMRT menggunaan Prism
untuk melakukan planning pada bidang dengan
tingkat heterogenitas yang tinggi.
Ucapan terima kasih
Penulis mengucapkan terima kasih pada Ira J.
Kalet, Ph.D, Professor Emeritus, dan Juergen
Meyer Ph.D atas diskusi dan sarannya dalam
penelitian ini.
Terima kasih khususnya pada Franz, Inc.
yang
telah
memberi dukungan
berupa
pemberian lisensi compiler CLISP pada
keberjalanan penelitian ini.
Referensi
[1] Jidi Sun, “Implementation of 2-Step
Intensity Modulated Arc Therpy”, Tesis
Magister, University of Canterbury, New
Zealand, 2010

ISBN xxx-x-xxxx-xxxx-x

3

http://proceedings.fi.itb.ac.id/cps/

MH