Surga Dunia dalam Imaji

Backpackin’

Edisi 2 / Maret - April 2010

Keliling Eropa dalam 6 bulan hanya dengan

1000 Dollar + Pertemanan

31 Mei Frankfurt 14 Juni Moscow

10 Juli Helsinki 14 Juli Stockholm

23 Juli Oslo 1 Agustus Kopenhagen ...

Segara Surga Dunia dalam Imaji Anakan

Jalan Jaksa

Salam Ransel !

George Santayana dalam Philosophy of Travel menulis, “Kita butuh waktu untuk pergi merasakan kesunyian sejati, ek- sistensi tanpa tujuan, beberapa tindakan

Memaknai berbahaya guna memaknai hari libur

dan menguji batas kemampuan kita,

Tiap

demi mencicipi kesusahan.” Sepaham! Kami seirama dengan George.

Rupiah

Pun dengan Backpackin’ edisi kedua ini. Kami menyuguhkan cerita kesusa- han demi kesenangan tak berbentuk dalam Catper Ciregal dan petualangan

Segara Anakan Marina menjelajah Eropa dengan uang 21

JAKSA GAL

Bumi

Menyenangkan jika tiap rupiah yang kita keluarkan punya tutur. Apalagi

29 23 ala

secara tidak langsung, bisa ikut mendamaikan dunia, simak cerita ten-

Back- packer

tang pengawinan backpacker dengan isu perdamaian dunia di rubrik Bu-

lok. Sekaligus kami suguhkan bincang-bincang dengan Nancy Margare- tha, Ambassador Country for Indonesia untuk CouchSurfing, komunitas

backpacker yang sedang naik daun di Indonesia.

1000 Dollar + Pertemanan

Camping

Nancy

= EROPA 6 Bulan!

Kami rasa, cerita Jalan Jaksa bisa turut memeriahkan pemaknaan rupi-

ah, terutama di Jakarta. Jalan pendek yang punya cerita panjang sampai telinga manusia Eropa.

Beberapa rubrik baru turut kami perkenalkan, seperti Tips, Aksesori, Re- sensi, dan Galeri. Semua demi kesegaran pembaca sekalian. Beberapa

2 Salam Ransel !

21 Galeri

saran dari pembaca juga coba kami akomodir, termasuk penambahan

Memaknai Tiap Rupiah

Imaji indah Segara Anakan

halaman. Tidak akan pernah kami lepaskan gendang telinga dari kritikan pembaca.

17 Resensi

41 Info BI

Travelling in Blog

Launching Backpacker Indonesia

Sambutan dari para pembaca atas terbitnya Backpackin’ edisi pertama kemarin sungguh memicu semangat kami untuk terus memberikan yang

19 Aksesori

terbaik. Terima kasih dan selamat menikmati Backpackin’ edisi kedua

Memasak Praktis di Alam

ini.

PASUKAN BACKPACKIN’

Redaksi

Pimpinan Umum Jeremy Gemarista Pemimpin Redaksi Ambar Arum Tim Redaksi Adi Widiyanto, Hana Ariesta, Muhammad Iqbal, Nizar Wogan, Sri Anindiaty Nursastri, Suci Humaira Sophia, Yeni Diah W Tim Produksi Aditya Hadi Pratama, Ricky Akbar

Catper

1000 Dollar +Pertemanan dan yang paling membantu adalah na-mana! Akupun ikut larut dalam

Perjalanan bisa diminimalisir ber-

pun heboh! Penduduk memenuhi

kat beberapa temanku di Eropa,

jalanan, dan bendera Jerman dima-

jaringan hospitality di dunia maya. euforia tersebut bersama ribuan Aku bergabung dengan hospitali-

= EROPA 6 Bulan!

penduduk lain di depan big screen tyclub.org dan mendapatkan yang Olympia Stadium. Jerman menang

aku perlukan untuk backpacking

disana: host! Host adalah orang yang bersedia menerima kita di

14 Juni – 10 Juli 2006

rumahnya, sekaligus mengajak

Rusia: Moscow – St. Petersburg –

kita mengenal negaranya dengan

Vyborg (1 euro)

lebih dalam. Bagiku ini merupakan Host: Fr. Timothi, Sr, Nadezha, salah satu cara yang efektif untuk Marina (Moscow), Father Lavr dan mempromosikan pariwisata suatu keluarga (Vyborg) negara.

Aku datang kesini karena undangan

Perjalanan bisa

Oke! Langsung saja

dari Father Timothy

diminimalisir berkat

kuceritakan pengala-

yang kutemui tiga ta-

beberapa temanku hun yang lalu di In-

manku selama 6 bu-

lan disana. Sebagai

di Eropa, dan yang dia. Ternyata disana

keterangan: aku me-

paling membantu

sedang berlangsung

nambahkan inisial HC adalah jaringan

dialog antar agama

dibelakang nama host hospitality di dunia dengan seorang guru yang kukenal lewat

maya.

Sikh, Mr Manjit. Dari

hospitalityclub.org, dan

sini aku tahu sejarah

aku memisahkan rin-

Sikhisme yang berasal cian biaya transport di akhir tulisan. dari seorang saint di India bernama

Guru Nanak. Ditengah konflik antar

31 Mei – 14 Juni 2006 6 agama pada jamannya, beliau Jerman: Frankfurt – Munich – Ber- memberi ajaran yang mengejutkan

mpaian juga pergi ke Eropa tahun 2006! 1000 dollar yang P tan dengan pembukaan World Cup langsung bangunan unik warna-

erjalanan ini sudah kurencanakan sejak 2 tahun

lin (30 euro)

bahwa semua agama itu benar,

sebelum keberangkatanku. Selama itu pula aku

Host: Okan (Frankfurt), Ninit dan

asal para pengikutnya menyelamin-

menabung, cari-cari informasi sekaligus mem-

Daniel HC (Munich), Sara (Berlin) ya dalam-dalam.

persiapkan keberangkatan. Fiuh! Akhirnya kesa-

Kunjunganku ke Munich bertepa-

Lalu aku ke Red Square! Melihat

aku punya setelah dikonversi ke euro, jadinya dapet 700

2006 yang berlangsung di Jerman. warni yang sangat terkenal di se-

euro. Uang segitulah yang aku bawa ke Eropa. Ternyata

Pada pembukaan ini, tim Jerman

luruh dunia itu. Disini aku hanya

masih ada sisanya pas pulang! Haha!!

tanding lawan Costa Rica. Jerman menghabiskan 1 euro buat beli es tanding lawan Costa Rica. Jerman menghabiskan 1 euro buat beli es

10 -14 Juli 2006

Finlandia: Helsinki (0 euro) Host: Piia HC Inilah kota dengan predikat World’s Best Place to Live In (PBB). Memang benar! Alamnya sangat terjaga, masyarakatnya terbiasa dengan budaya daur ulang, anti rasis, dan menjalankan fair trade. Akupun dibuat terpeso- na dengan Suomenlinna, benteng di kepulauan yang lokasinya tidak jauh dari pusat kota Helsinki.

14 – 23 Juli 2006

Swedia: Stockholm (0 euro, malah nambah 50 euro!) Host: Tobias HC dan John Kali ini host ku, Tobias, adalah seorang pemain Saksofon jazz. Ia membawaku ke sebuah pulau bernama Gamla Stan yang berisi bangunan-bangunan abad perten- gahan. Ajaib! Seiring dengan mela- junya kapal feri menuju pulau itu, aku merasa waktu semakin mun- dur dengan cepat ke beratus-ratus tahun yang lalu. Disana Tobias manggung dengan sebuah band bernama Hermann’s Cafe. Keren! Pengalaman menarik lainnya ada- lah ketika bersama host ku satunya lagi, John, seorang manajer McD di Stockholm. Aku mendapat kes- empatan untuk part-time di McD!

Hasilnya? 50 euro, cukup sampai Perancis! Hahaha...

23 Juli – 1 Agustus 2006

Norwegia: Trondheim – Oslo (3 euro) Host: Lisa (Trondheim) Norwegia adalah negara termahal di Eropa, dan negara termahal ked- ua di dunia setelah Jepang. Tapi disini pengeluaranku cuma 3 euro! Semua itu berkat Lisa, host ku yang baik banget! Aku juga dapet tiket gratis nonton festival musik karena aku bersedia jadi sukarela- wan cleaning service di acara itu. Lumayan, bisa liat The Cardigans manggung secara langsung.

1 – 5 Agustus 2006

Denmark: Kopenhagen (0 euro)

Host: Bryan HC Disini pengeluaranku nol. Seben- ernya perlu buat ongkos disana, tapi ajaibnya ada seorang imigran Afghanistan yang ngasih 23 krone saat di kereta. Padahal waktu itu aku cuma nanya apakah money changer di Kopenhagen buka malam apa ga..

5 – 10 Agutus 2006

Belgia: Ghent – Brugge – Brussels (1 euro) Host: Charlotte HC (Ghent), Dirk & Luc (Brugge), Pavel HC (Brussels) Ketika sedang terpesona dengan katedral di Brugge, tiba-tiba se- orang kakek menyapaku. ”Kau tahu siapa mereka?” tanyanya sambil menunjuk deretan patung ksatria di langit-langit. Aku menggeleng.

”Freemasons” ujarnya kemudian. Namanya Dirk. Lalu ia memanduku keliling sana sekaligus mentraktir makan. Ternyata Dirk adalah seja- rahwan seni yang senang berbagi cerita. Selanjutnya Pavel men- emaniku selama di Brussels, kota yang penuh dengan gerai-gerai cokelat lengkap dengan tester grat- isnya!

10 – 13 Agustus 2006

Luxemburg (0 euro, malah dapet

30 euro dari host!) Host: Carla & Jean Luc HC Selama disini Carla dan Jean Luc benar-benar memanjakanku! Bayangkan, ditraktir makan di resto Italia mewah yang harga sepiring- nya 50 euro, diajak nonton bio- skop yang harga tiketnya 20 euro, dikasih parfum Guerlain asli karena

’sudah tidak ada tempat lagi di

kamar mandi’, dan dibekali 250 krones Swedia! Luxemburg.. kota ini tidak memiliki sumber alam, tapi masyarakatnya sangat mak- mur seperti Carla dan Jean Luc. ”Kami sebuah negara yang berdiri makmur hanya karena permainan ekonomi... Kami melakukan apa pun agar uang mengalir ke sini,” Carla menjawab keherananku. Kemudian sambil menyajikan keju berkualitas tinggi di atas meja, ia menjelaskan tentang negaranya: penurunan pajak, network yang sangat luas, dan keterbukaannya kamar mandi’, dan dibekali 250 krones Swedia! Luxemburg.. kota ini tidak memiliki sumber alam, tapi masyarakatnya sangat mak- mur seperti Carla dan Jean Luc. ”Kami sebuah negara yang berdiri makmur hanya karena permainan ekonomi... Kami melakukan apa pun agar uang mengalir ke sini,” Carla menjawab keherananku. Kemudian sambil menyajikan keju berkualitas tinggi di atas meja, ia menjelaskan tentang negaranya: penurunan pajak, network yang sangat luas, dan keterbukaannya

13 – 20 Agustus 2006

Perancis: Paris (15,5 euro) Host: Cindy Cindy adalah teman sekampusku yang kuliah S2 di Paris. Namun ketika aku sampai di Paris, dia lagi

balik ke Indonesia. Jadi flatnya pin- dah tangan ke aku 100%. Aku pun

mengeluarkan sekitar 7 euro untuk belanja makanan selama seming- gu. Flatnya Cindy ada di area Ger- main des-Pres, cuma 10 menit dari Louvre, tempat berdirinya piramida kaca yang sangat terkenal itu!

20 – 23 Agustus 2006

Spanyol: Barcelona – Lienza (0 euro) Host: Clara (Barcelona), Cathar Community (Lienza) Perjalananku ke Barcelona sebe- narnya berkat Pavel HC (host ku di Brussels) yang berteman dengan Clara di Barcelona. Pavel menitip- kan salep bayi buat anak pertama Clara yang baru lahir. Namun ke- tika aku ke Barcelona, Clara tidak

ada. Maka flatnya pun aku tinggali dengan asistensi Oriol, adiknya

Clara. Aku dan Oriol menghabiskan waktu

bersama dengan sangat seru kar- ena kami sama-sama suka U2! Kamipun nonton DVD ”U2 Live in Chicago” dan bernyanyi bersama. ”Bayangkan jika dunia suatu saat bisa bernyanyi bersama begini! Habislah semua masalah di dunia ini! Kau tahu, masalah di dunia ini memang hanya batas-batas neg- ara!. Jika tidak ada itu, tidak akan ada negara-negara yang harus di- bela melawan yang lainnya!” Lagu One pun mengiringi pembicaraan kami. ”One is not uniformity. Kita ini ’harus’ berbeda-beda. Kalau tidak, bagaimana bisa carry each other?” Wow!

23 – 24 Agustus 2006

Perancis (2): Nice (0 euro) Host: Michel HC Di sini aku bermalam di apartemen mewah French Riviera milik Michel yang cuma perlu jalan kaki 3 me- nit untuk sampai ke pinggir pantai Nice. Setelah 3 menit itu aku lalui, kini laut Mediterania terbentang luas dihadapanku. Michel mengam- bil batu ceper diantara kerikil, ke- mudian melemparkan batu tersebut ke laut, membentuk tiga pantulan diatasnya. ”Wow, aku selalu ingin bisa melakukannya! Bisakah kau mengajariku?” Michel pun mem- berikan tips-tips nya. Namun tetap saja, batu yang kulempar langsung tenggelam. Tak apalah, laut Medit- erania ini saja sudah cukup menye-

garkan mataku...

24 – 30 Agustus 2006

Italia: Florence – Roma – Venice (2,5 euro) Host: Nicola HC (Florence), Maria, Luigi dan Maurizio (Roma), Tom HC (Venice) Italia... tidak perlu kujelaskan lagi, keindahan kotanya luar biasa! Her- an, hampir segala hal di Italia be-

gitu indah: Fashion? Semua model ingin masuk Vogue. Lukisan? ada Leonardo da Vinci. Film? Godfa- ther. Musik? Madonna pun ketu- runan Italia! Makanan? Favorit di seluruh Eropa hingga ke Bandung! Bola? Baru saja menang di Piala Dunia kemarin. ”Apa sih rahasian- ya?” tanyaku pada Nicola. ”Oh.. Ada yang bilang kami selalu mem- berikan 110% pada apa yang kami gitu indah: Fashion? Semua model ingin masuk Vogue. Lukisan? ada Leonardo da Vinci. Film? Godfa- ther. Musik? Madonna pun ketu- runan Italia! Makanan? Favorit di seluruh Eropa hingga ke Bandung! Bola? Baru saja menang di Piala Dunia kemarin. ”Apa sih rahasian- ya?” tanyaku pada Nicola. ”Oh.. Ada yang bilang kami selalu mem- berikan 110% pada apa yang kami

mandangan terindah di Eropa: Kat- genal masyarakat yang tinggal ber- sion,” jawabnya santai. Oh begitu... nya yang kuno tapi memiliki warna

Cheb karena bangunan-bangunan-

edral Koln. Tinggiannya setara den- sama alam mereka, kota mereka,

pastel yang imut-imut, dan yang

gan tinggi gedung pencakar langit. dan matahari dari sudut pandang

mereka. Peluang yang jika tidak Austria: Wina (0 euro)

30 Agustus – 1 September 2006 paling ajaib, disapa Dalai Lama

Aku tak habis pikir, bagaimana

cara mereka membangun katedral kau ambil, maka kita telah kehilan- Host: Fabian HC

ketika aku menghadiri Forum Poli-

gan separuh jiwa para pelancong Pusat kota Wina sangat kental bau Rasanya bisa aku buat satu buku

tik Tahunan di Praha!! Aaahhh!!

dengan detil yang sangat indah

seperti ini, ketika dulu teknologinya yaitu : saling berbagi! sejarahnya. Semua bangunan dira- khusus tentang perjalananku di

belum secanggih sekarang? Per-

wat dengan baik, seakan tidak ter- negeri ini saja!

tanyaanku tidak terjawab, namun

makan usia. Bunyi tapal kuda yang

mataku terpuaskan dengan arsitek-

melintas pun menyempurnakan

16 – 29 Oktober 2006

turnya yang mempesona.

Pengeluaran hidup selama di Eropa

nuansa sejarah tersebut. Lagi-lagi Austria (2): Guntramsdorf – Baden

83 euro

aku tidak mengerluarkan uang sep- – Modling – Grossgmain – Salz-

Demikian kisahku di Eropa. Tera-

* Dikasih uang saku sama host 80 euro -

erserpun disini. Wina dapat dikelil- burg – Wina (10 euro) khir aku keluar 20 euro untuk biaya 3 euro! ingi dengan berjalan kaki saja,

Host: Henning dan Helgard (Gun-

penggantian tanggal keberang-

Pengeluaran transportasi selama di Eropa

sedangkan makanan sepenuhnya tramsdorf), Alice (Groggsmain),

katan dari Frankfurt menjadi 5

* Frankfurt – Munich – Berlin

bareng host. 30 euro Fabian (Wina) November 2006. Di KL nya gratis

* Berlin – Moscow

135 euro

Warga Austria sangat suka menda-

berkat host Shirhan HC yang baik

* Moscow – Helsinki

0 euro

1 September – 16 Oktober 2006

ki gunung. Akupun memiliki kesem-

banget!

(dibayarin orang Rusia yang terharu kar-

Ceko: Praha – Cheb – Karlovy Vary patan pergi hiking ke pegunungan

ena

– Ceske Budejovice – Cesky Krum- Rex. Gunungnya bersih, sejuk dan

Semua pengalaman itu membuatku

saya bela-belain ke negara dia. Hihihi...) * Helsinki – Wina

lov – Brno (0 euro) 345 euro indah... tak heran gunung ini men- yakin akan satu hal: bahwa back-

(10 negara dari Finlandia sampai Austria)

Host: Ludek dkk, Pavel HC, para

jadi tempat pelarian nomor satu

packing tidak hanya tentang alam-

* Wina – Praha

10 euro

mahasiswi Malaysia (Praha), Olga orang Wina dari segala kepenatan

alam indah yang akan kita susuri,

* Praha – Koln

21,5 euro

(Brno), Milan HC (Ceske Budejov- kota.

tidak hanya tentang kota-kota me- * Koln – Frankfurt

30 euro

ice)

nawan yang akan kita lewati, tidak

Disinilah aku mengalami hari-hari

29 Oktober – 5 November 2006

hanya tentang sunset dan sunrise

TOTAL = 574,5 EURO!!

yang campur aduk: ga sengaja

Jerman (2): Munich – Bonn – Num-

yang selalu diburu, tidak hanya

ketemu para mahasiswi Malaysia di berg – Koln (0 euro)

itu! Backpacking merupakan pe-

mesjid dan diajak tinggal di asrama Host: Nico dan Thomas(Munich),

luang bagi kita untuk dapat men-

meraka, ketemu lagi dengan Pavel Margaret (Bonn) HC yang sedang pulang kampung Ini adalah kota terakhirku di Eropa,

Backpacking merupakan pe-

dari Brussels, terpesona dengan

setelah itu aku akan meluncur ke

luang bagi kita untuk dapat

bandara Frankfurt untuk kemudian

mengenal masyarakat yang

singgah di Kuala Lumpur sebelum

tinggal bersama alam mereka,

kembali ke Indonesia. 6 jam sebe-

kota mereka, dan matahari

lum check-in di Bandara Frankfurt,

dari sudut pandang mereka.

aku sempatkan diri menikmati pe-

Tamah Bumi ala

ACKPACKER

Wajar sekali perjalanan jauh membuat peluh berbiak dengan produktif. Hal yang biasa dialami backpacker. Saking biasanya, kenestapaan itu terkadang bukan menjadi gangguan yang berarti lagi. Tapi ada hal lain yang cukup mengganggu dan menjadi pe-

mikiran para petualang. Bagaimana mendapatkan keamanan dan ka- lau bisa kenyamanan dalam tidur malam ini? Tidur menjadi sangat penting karena perjalanan belum berakhir di titik ini, masih ada be- sok dan besoknya.

Budaya Lokal

11

M ungkin

semangat Gandhi tersebut

yang juga menggam-

barkan cita-cita para

backpacker pulu-

han tahun yang

lalu. Canggihnya

teknologi men- dorong hal terse- but semakin kuat. Maka sekarang bukan hal yang aneh kalau orang dari puluhan ribu kilometer sana bisa langsung akrab dan berbagi banyak hal ketika pertama kali bertemu di lingkungan kita, di rumah kita.

Beberapa backpacker mengam- bil inisiatif untuk beramah tamah dengan warga sekitar. Membicara- kan banyak hal agar dapat akrab dengan warga. Satu misi penting: malam ini bisa tidur di rumah warga tersebut. Banyak motif di belakang- nya, bisa karena ingin menekan anggaran, atau karena memang ingin mengetahui banyak tentang kebiasaan, budaya, dan cara pan- dang masyarakat di daerah yang dia kunjungi.

Hal ini kurang lebih mirip dengan cikal bakal terbentuknya Servas dulu, pada tahun 1949. Servas adalah sebuah lembaga Interna-

sional non profit non pemerintahan yang punya misi perdamaian dunia.

Bersama Servas, para petualang punya kesempatan berkecim- pung di kehidupan sang tuan ru- mah selama 2 hari. Bob Luitweiler membentuk Servas Internasional dengan fondasinya berupa saling pengertian, toleransi, dan cita-cita yang sama. Ia juga dikenal sebagai seorang penggerak perdamaian.

Bob gencar mempromosikan jarin- gan dan cita-cita yang ingin dicapa- inya ke khalayak. Sebetulnya dari gerakan tersebut bukanlah ter- bentuk simbiosis parasitisme yang merugikan satu pihak. Tapi justru mutualisme. Pihak yang, katakan- lah dikunjungi, bisa mengambil

manfaat dari kedatangan tamunya tersebut. Dia bisa mengeksplorasi budaya dan segala hal di daerah asal si tamu. Dari situ diharapkan kadar toleransi semakin pekat. Se- cara tidak langsung berkontribusi positif pada perdamaian dunia. Perjuangan Bob menarik minat banyak orang yang punya cita-cita sama. Terus berkembang sampai sekarang Servas punya hubungan yang cukup baik dengan PBB, se- bagai salah satu konsultan di bi- dang ekonomi dan sosial.

Namun, ada prosedur yang harus dilalui untuk masuk dalam jaringan Servas. Interview dengan National Secretary (NS) di negara masing- masing wajib dilewati untuk menda- patkan “lisensi” menginap di rumah anggota Servas lain. Sebetulnya prosedur ini bukan mempersulit tapi justru memperlancar keber- langsungan sistem, untuk menyortir orang-orang yang punya isi kepala tidak baik.

Setelah lolos interview, anggota akan mendapatkan Letter of In- troduction atau lebih dikenal LOI, semacam surat pengantar yang ditandatangani. Juga paspor yang distempel khas Servas. Katakanlah sebagai bukti konkret sudah men- jadi anggota.

With every true friendship we build more firmly the foundations on which

the peace of the whole world rests

-Mahatma Gandhi-

begitulah yang tertera di halaman sign up nya. Setelah mengisi form pertanyaan data diri standar, maka tunailah urusan “administrasi”. Hari itu juga sudah sah dikatakan ang- gota CS.

Enam tahun kemudian, didukung teknologi informasi yang semakin mengakar rumput, maka mem- bludaklah anggota CS. Tercatat 1.630.188 couchsurfer dari 234 negara di 69.246 kota. Dalam wak- tu sesingkat itu, CS berhasil mem- buat 1.895.658 persahabatan dan menerbitkan 3.027.834 pengala- man positif. Itu yang tercatat, sep- ertinya masih banyak yang belum tercatat.

Cap itulah yang menjadi bukti sah masuk ke rumah 13 ribu ang- gotanya di lebih dari 100 negara, tentunya dengan persetujuan sebe- lumnya dari sang empunya rumah. Italia adalah negara yang memiliki anggota terbanyak, hampir 2 ribu orang. Indonesia hanya 43 orang. Pemutakhiran host list cukup rutin dilakukan yang kemudian disebar- kan ke seluruh anggota sebagai pegangan untuk mempermudah menapak sudut bumi lain. Kalau mau pergi ke kota di negara ter- tentu, tinggal cari anggota Servas yang ada di kota itu lalu men- ghubunginya terlebih dahulu.

Puluhan tahun berlalu. Banyak anggota di dalamnya yang sudah semakin dekat sehingga saling berbagi cita. Mereka berpikir untuk tidak hanya berbagi atap dan ma- kanan ke sesama anggota. Maka

aktiflah mereka di beberapa kegia- tan sosial, sebut saja penggalan-

gan dana untuk korban gempa di Kashmir pada 2005 oleh anggota- anggota Servas Pakistan.

Rasa Baru

Jaringan Servas sudah cukup be- sar, tapi sepertinya orang-orang baru yang ingin masuk Servas merasa rumit dengan persyaratan yang dimintai Servas. Belum lagi kewajiban memberikan laporan

singkat ke NS sekembalinya ke negara asal.

Maka sejak 2004 lahirlah Couch Surfing (CS). Tidak banyak ber-

beda tentang dasar pemikiran dan cita-citanya. Hanya saja persyara- tan untuk menjadi anggota tidak serumit Servas, tidak perlu inter- view, tidak perlu cap, dan tidak diwajibkan memberikan laporan singkat. Cukup buka website-nya

di www.couchsurfing.org kemudian sign up.

“You don’t need a couch to join! As long as you anticipate sharing your couch sometime in your lifetime, or have already shared it, you’re 100% welcome here! Cheers!”

Lalu muncul pertanyaan, dengan demikian mudahnya menjadi ang- gota CS, apa aman menjadi host atau traveler di komunitas CS? Nah, ini perbedaan yang cukup sig-

nifikan antara CS dan Servas. CS membebankan tanggung jawab

tersebut sepenuhnya pada anggota sedangkan Servas punya sortiran awal di sesi interview. Anggota CS sendiri yang harus melaku-

kan verifikasi apa betul niat orang yang akan mengunjunginya atau

dikunjunginya sesuai dengan yang di-cita-citakan. Bisa dilakukan den-

gan melihat profil orang tersebut di website CS. Di situ juga tertulis ko-

mentar anggota lain tentang orang tersebut. Muncullah penilaian. Ka- lau tidak sesuai, hak besar untuk menolaknya. Fakta bahwa 99,6% anggota mempunyai pengalaman positif mungkin bisa membuat se- muanya jauh lebih tenang.

Pengalaman menarik dialami Wahyudi Panggabean, salah satu anggota CS. Ia termasuk anggota baru, bergabung pada September 2009. Tamu pertamanya cukup membuat kaget, seorang ambassa- dor CS dari Spanyol. Ambassador bisa dikatakan sebagai pemegang keputusan tertinggi di negaranya untuk perihal CS.

Tidak mengapa bagi Wahyu, me-

Kanada, kepada kru Backpackin’.

mang ia terbiasa menerima tamu

Steve menjual rumah, mobil, dan

anggota HC hampir semudah CS,

asing sejak sebelum masuk CS.

seluruh hartanya untuk keliling dun-

cukup mengisi form ringkas. Lalu

Servis yang diwajibkan pada host

ia selama beberapa tahun. Sangat

sang pengatur di balik layar HC

hanyalah tempat yang cukup un-

menyenangkan mengenal budaya

akan menilainya, apakah calon

tuk tidur. Wahyu menerabasnya. Ia dan cara pemikiran yang letaknya

anggota itu layak dijadikan ang-

memberikan jasa penjemputan dari puluhan ribu kilometer dari Indo-

gota. Tahap itulah yang membeda-

bandara, kamar ber-AC, makan

nesia walau hanya dua jam. Bisa

kannya dengan CS. Setelah dirasa

seadanya, ajakan keliling Jakarta, dibayangkan pengalaman yang

sesuai dengan cita bersama, Voila,

bahkan sampai PC lengkap dengan didapat Wahyu setelah menerima

silakan langsung menikmati keang-

jaringan internetnya. Semuanya

sekian banyak tamu.

gotaan.

gratis!

Saudara Tua

Kala Backpackin’ tanya, “Kenapa sampai segitunya?” Dia cuma

Satu komunitas serupa yang juga

jawab, karena ingin

cukup happening di

berbagi. “Bonusnya,

Pada tahun 2000,

Indonesia adalah

saya jadi tahu orang

Veit, seorang

Hospitality Club (HC).

Spanyol itu juga ma-

Usianya sedikit lebih

pemuda umur 22

kan nasi dan dia pu-

tua dari CS. Awal ter-

tahun mendapatkan

nya grammer bahasa

bentuknya cukup untuk

inspirasi mendirikan

Steve

yang paling susah di

membuat sumringah

HC setelah

dunia. Sekaligus saya

kita, warga Indonesia.

menghisap

dapat bonus latihan

Pada tahun 2000, Veit,

Bahasa Inggris gratis, ROKOK KRETEK seorang pemuda umur

hehe, pengaruh banget INDONESIA.

Dengan banyaknya pilihan jarin- loh….” Bahkan, Wahyu

22 tahun mendapatkan

gan silaturahmi tersebut, semoga mengaku, dia bisa

inspirasi mendirikan

cita-cita besar perdamaian dunia sekaligus mengamati perbedaan

HC setelah menghisap

bisa ikut digodok bersama para logat Bahasa Inggris dari berbagai Empat adiknya yang kesemuanya

ROKOK KRETEK INDONESIA.

backpacker. Demi bumi yang lebih negara.

mengikuti pertukaran pelajar AFS

indah dan damai…=)

mendukung Veit sepenuhnya.

Baru beberapa bulan saja, Wahyu Maka semakin muluslah perjalanan bisa punya kenalan dari Spanyol,

HC.

New York, Perancis, dan Kanada, tepat di bawah atap rumahnya

Dasar pemikiran dan cita-cita yang

sendiri. Sekali waktu, Wahyu mem- digarap tidak berbeda jauh dengan

oleh : Muhammad Iqbal

perkenalkan Steve, tamunya dari

Servas dan CS. Masuk menjadi

foto : Wahyudi Panggabean

salah satu tamu Wahyudi

Alamat: www.travelblog.org Di dalam blog yang bersifat open

source ini kita dapat melihat ber- bagai kisah dan foto dari berbagai negara. Kita bisa memiliki teman yang bercerita tentang bagaimana ia menelusuri sungai Mekong dan tertawa melihat anak-anak kecil yang sedang berenang di sana. Ada juga yang bertutur tentang perjalanan panjangnya dari Beijing menuju Ulan Bator, ibukota Mon-

Alamat: www.naked-traveler.com Tentu nama Trinity dan buku Naked

Traveler karyanya sudah familiar bagi petualang Indonesia. Di situs ini, kita akan menemukan berbagai tulisannya yang dimutakhirkan se- cara berkala. Sama seperti tulisan- tulisan di dalam bukunya, dalam blog ini pun Trinity menceritakan berbagai pengalamannya selama bertualang, mulai dari pandangan- nya secara umum tentang suatu

Resensi

Menelanjangi Sang ’Naked Traveler’

Travel Blog: Mata – Mata Dunia

golia. Ketika dia serasa akan gila karena bosan karena harus duduk di kereta selama 30 jam!

Sistem navigasi sederhana yang ada di dalamnya mudah dimengerti

dan sangat spesifik. Kota Solo pun memiliki kategori sendiri yang di

dalamnya terdapat tiga belas tu- lisan perjalanan. Akan mudah men- emukan teman yang bercerita ten- tang kisahnya di tempat tujuan kita. Selain catatan perjalanan, situs ini memberikan informasi hotel, hostel, dan penerbangan. Ambil contoh hostel. Sebutlah Bali, ada 45 Hos- tel yang punya keterangan lengkap fasilitas apa saja yang ada di sana, tuntunan menuju ke penginapan itu dari bandara, sampai bisa cek harganya pada tanggal yang kita inginkan. Ada 21 kota di Indonesia dan 182 negara yang punya pen- jabaran sama baiknya.

destinasi sampai hal-hal kecil yang menarik perhatian, seperti pen- galamannya dengan berbagai jenis pengemis di India. Trinity membuka kesempatan bagi penulis setipe untuk berkontribusi dalam blog ini. Tentu ada syarat- syarat tertentu. Terbuka kemungki- nan tulisan itu akan masuk dalam bukunya berikutnya. Ada satu kelebihan dari blog ini yang tidak akan kita dapatkan dari buku yang telah kita baca tersebut, yaitu interaksi. Ketika menjela- jahi dunia Naked Traveler di dunia maya, lalu kita akan membaca se- suatu yang menarik hati kita, maka mudah saja berkomentar.

Trinity cukup sering mengunjungi blog ini untuk sekedar membalas komentar-komentar pembacanya. Terkadang, ia membahas beberapa pertanyaan juga. Mungkin lewat blog ini kita benar-benar dapat me- nelanjangi sang ’Naked Traveler’.

emasak di alam menjadi ritual wajib para back- packer ketika menjalankan ak-

sinya terutama di gunung. Peralatan seperti nest- ing dan kompor sudah pasti ada dalam daftar bawaan para backpacker. Banyak pilihan kompor yang dapat dipilih, seperti kompor parafin, kompor gas, dll.

Namun kini sudah ada kom- por camping dari Trangia yang lengkap dan praktis. Trangia memiliki dimensi antara 25x 15 cm. wujudnya seperti nesting namun ber- bentuk bulat. Didalamnya

lengkap memuat peralatan memasak ala pelancong sep- erti kompor, teko, pengg- orengan, penahan angin, serta nesting itu sendiri yang dapat berfungsi seba- gai panci. Kompor Trangia menggunakan spiritus. Api dapat meny- ala nonstop selama kurang lebih 40 menit. Setelah itu, wadah kompor dapat diisi lagi dengan spiritus untuk melanjutkan penggu- naan kompor. Umumnya, para pengguna Trangia membawa spiritus dalam wadah botol air min- eral bekas sesuai kebutu- han. Setelah spiritus di- gunakan, botol air mineral dapat dipepatkan sehingga mengurangi beban dan ruang barang bawaan. Ini lebih praktis ketimbang botol gas yang tetap lebih be- rat dan lebih menghabiskan ruang sekalipun gas sudah habis, padahal kita akan tetap membawa botol terse- but hingga kita menuruni gunung dan menemukan tem- pat sampah.

Memasak Praktis di Alam

Ini dia yang namanya Trangia!

Aksesori

Trangia juga dilengkapi dengan penahan angin yang sangat bermanfaat mengin- gat kita akan memasak di alam terbuka yang tidak memberikan kesempatan un- tuk memprediksi kedatan- gan dan kekencangan angin. Dengan demikian nyala api dapat lebih stabil. Hal ini juga membuat Trangia aman untuk digunakan di dalam tenda, apabila cuaca sedang tidak memungkinkan untuk memasak di luar ten-

da, misalnya sedang hujan. Di Indonesia Trangia da- pat dibeli dengan kisaran harga di atas Rp400 ribu. Memang cukup mahal, tapi sangat layak dan berguna untuk dimiliki para pe- cinta alam. Trangia bisa didapatkan di toko-toko outdoor di kota besar sep- erti Jakarta dan di be- berapa online shop yang menjual khusus peralatan camping.

Tips: berikan tanda khusus pada botol wadah spiritus untuk membedakannya dari botol minuman lainnya. Karena warna air spiri- tus sama seperti air minum biasa. Apabila ceroboh, maka air spiritus dapat

terminum. Ini berbahaya. Salah satu cara memberi tanda adalah dengan me- masukan daun ke dalam bot- ol wadah spiritus sehingga

warna air spiritus berubah menjadi hijau.

Keterangan:

1. panci 2. penggorengan 3. stik 4. teko 5. kompor 6. tali pengaman 7. penahan angin

Oleh : Ambar Arum

GALERI

Karang Bolong sunrise di Pulau Sempu

kan jalan darat. Sebelum menuju Pulau Sempu, kita harus mendarat ter- P

ulau Sempu berada di Jawa Timur, tepatnya di Kota Malang. Perjalanan menuju pulau yang diklaim menjadi salah satu pu- lau yang masih virgin di Indonesia ini membutuhkan waktu sekitar empat jam dari pusat Kota Malang dengan mengguna-

lebih di desa Sendang Biru. Perjalanan dari Sendang Biru ke bibir pantai Pulau Sempu membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit dengan meng- gunakan kapal motor berkapasitas sembilan orang. Tiba di bibir pantai, kita masih melanjutkan perjalanan dengan tracking yang akan mema- kan waktu selama satu setengah jam. Tracking akan dihiasi riuh rendah kicau burung, teriakan monyet, dan pohon tumbang di sana-sini yang membuat tracking menuju Pulau Sempu jadi tidak terasa berat. Tiba di lokasi kita akan mendapat sajian pancaran cahaya dari Karang Bolong, pasir putih, dan hijau tosca air laut yang membuat suasana Pulau Sem- pu semakin eksotis.

foto : Galih Permadi

Segara Anakan dari atas tebing karang

Arum Tegal. Satu var- ian kereta ekonomi yang baru pertama kunaiki. Beranjak dari Pasar Senen (Jakarta) pukul 15:19, menuju Tegal di akhir Desem- ber 2009. Empat be- las ribu rupiah. Aku pesan turun di Cire- bon Prujakan, lebih murah seribu menjadi

13 ribu. Pecahan dua puluh ribuanku ditu- kar dengan sebuah tiket, sebuah kupon PMI, dan uang 6 ribu. Petugas memperkosa seribuku tanpa izin, disumbangkan ke PMI. Setelah berlalu, Aku baru sadar kupon PMI hanya senilai lima ra- tus. Berarti lima ratus

lagi raib. Diperkosa dua kali. Ada beberapa cara menuju Cirebon. Per- tama dengan bus, setahuku ada yang dari Pulogadung. Ong- kosnya sekitar 30an ribu (tergantung kelas), perjalanan selama empat jam. Kedua, menggunakan kereta Cirebon Ekspres (Ek- sekutif dan Bisnis) bisa sampai dengan tiga jam saja, tapi biayanya

80 ribu! Itupun baru kelas bisnis. Tentu Aku lebih memilih Arum Tegal, walau mungkin lebih tidak nyaman tapi jauh lebih murah. Itulah enaknya sering berkunjung ke website KAI dan punya banyak teman di banyak daer-

ah, jadi bisa mendapat banyak pilihan. Tepat empat jam Aku sampai Cirebon. Aldi, kawanku, sudah siap dengan motornya di depan stasiun. Sebe- lumnya memang Aku minta tolong untuk dijemput, selain kar- ena sudah malam dan tidak hapal daerah

Cirebon dan Tegal memang bu- kan menjadi tempat tujuan utama backpacker. Namun keterbatasan dana menjadi tantangan tersendiri yang membuat trip biasa jadi leb- ih seru. Hanya dengan 186 ribu saja sudah cukup mengarungi 3 Keraton di Cirebon, Pantai Alam Indah dan Guci di Tegal, serta menjelajahi kehidupan dua kota tersebut selama 3 hari.

Catper

CIRE GAL

Cirebon, juga untuk pengiritan, hihi. Menginap di rumah Aldi juga termasuk pengiritan, apalagi makan malam dan makan pagi keesokan harinya pun disediakan oleh keluarganya. Bah- kan Aku diantar dari rumahnya ke keraton yang akan kukunjungi. Merasa tidak enak, kuisikan bensin mo- tornya, sepuluh ribu rupiah. Ada tiga keraton di ko- tamadya Cirebon, yaitu Kacirebonan, Kasepu- han, dan Kanoman. Letak ketiganya sal- ing berdekatan, hanya berselang sekitar 1 km.

Kacirebonan yang ku- kunjungi pertama. Sepi sekali. Aku adalah pengunjung satu-sat- unya. Se- orang Ibu tua sedikit kata mengham- piriku dan mengajak masuk ke dalam ru- angan ge- lap berde- bu dengan foto raja nyengir. Kalau tidak ada plang Keraton, tempat itu lebih mirip rumah hantu. Perabot- perabot tua sudah duduk manis di teras dan di dinding. Ibu tua tersebut bisa dibilang

kuncen keraton. Dia membuka setiap ruan- gan yang ingin kulihat. Banyak kursi antik

terlihat, seakan rapuh me- nyangga dirinya sendiri. Dalam satu lemari kaca, ada kumpulan uang ru-

piah zaman dulu yang masih menggunakan satuan sen, baik kertas maupun logam. Salah satu ruangan memuat perabot musik. Namun yang kukenal cuma gamelan, selebihnya masih alat musik pu-

“Dulu, orang yang sudah dibunuh dengan keris ini rambutnya dipotong sebagian untuk ditempel di pangkal keris.”

Guci dari atas bukit

tulisan dan foto : Muhammad Iqbal

kul tapi entah na- manya. Di belakang bangunan keraton, rupanya ada aktivi- tas latihan alat musik tradision- al. Mudi- mudi inilah yang akan

meneruskan budaya musik lokal. Menjelang pulang, Aku diminta mengisi buku tamu. Ibu tua tadi memberikan selembar kertas tentang sejarah Keraton Kacirebonan. Kutanya, “Untukku?” Dia mengangguk. Aku selipkan 6 ribu rupiah di buku tersebut. Sep- ertinya Ibu itu cukup senang menerimanya. Tidak seperti Kacire- bonan, Keraton Kasepuhan punya tarif khusus. Tiga ribu rupi-

ah untuk manusia dan dua ribu rupiah untuk kamera. Tempatnya cukup ramai, rapi, dan luas. Wajar kalau tarif ditetapkan. Beruntung, waktu itu

Aku datang ketika ker- is-keris koleksi keraton sedang dibersihkan. Ada kemenyan beras- ap dan potongan-po- tongan jeruk nipis yang bertaburan di sekeliling mereka yang sedang membersihkan. Ada satu keris yang pada pangkal bawahnya ada juntaian rambut. Aku tanya, “Itu apa mas?” Dijawab, “Dulu, orang yang sudah dibunuh dengan keris ini ram- butnya dipotong se- bagian untuk ditempel di pangkal keris.” Kok terdengar sarkastik ya? Rehat sejenak, Aku menuju ke tempat re- komendasi kawanku, kumpulan kios untuk

“moci”. Moci adalah budaya minum teh dari Tegal. Teh yang di- gunakan jenis tubruk. Dimasukkan dalam poci dari tanah liat. Tahukah kawan, poci yang digunakan tidak pernah dicuci! Sambil meracik, penjual teh poci itu berkomentar “Makin berkerak hitam makin nikmat mas.” Memang betul, bagian dalam poci itu kelam stadium empat! Gula yang digunakan adalah gula batu. Baru kali ini Aku melihat ada jenis gula ini. Ben- tuknya seperti bong- kahan kristal sebesar telur puyuh, memenuhi gelas yang juga dari tanah liat. Gelas itu tak lebih besar dari gelas belimbing. Kalau kebi- asaannya begini, hati- hati diabetes kawan. Satu poci berharga lima ribu rupiah. Cu- kup menyenangkan rehat sambil moci. Aromanya, rasanya, menenangkan sekali. Orang Tegal akrab dengan teh Wasgitel: wangi, sedap, legi,

Mudi-mudi berlatih musik tradisional

di Keraton Kacirebonan

kentel. Lanjut ke Keraton Ka- noman. Letaknya di tengah-tengah pasar Kanoman. Bayangkan keraton di tengah- tengah pasar! Betul, sangat tidak nyaman. Tempatnya juga kotor, kurang terawat. Kolek- sinya tidak terlalu ban- yak. Tidak ada alasan kuat untuk berlama- lama di dalamnya. Sudah sore, dalam itinerary-ku, malam ini sudah harus sampai Tegal. Segera berge- gas membeli 2 kg jeruk untuk oleh-oleh Aldi dan keluarga, lalu beranjak menuju termi- nal Cirebon. Pengamen di terminal Cirebon menyebal- kan. Selama bus nge- tem sekitar setengah jam, ada sekitar 10 pengamen. Naik tu- run tanpa jeda. Minta dengan memaksa. Dia colek-colek. Calo bus pun tak jelas, tarif ber- beda tiap penumpang. Tadinya Aku ditembak dua puluh ribu untuk sampai Tegal. Kuta- war, akhirnya sampai

di angka sebelas ribu. Perjalanan bus tidak sampai dua jam. Sebelumnya, Aku su- dah janjian dengan kawanku untuk dijem- put di halte depan Mal

Pacific, mal paling besar di Tegal. Aku

diajak tidur di masjid. Tapi sebelum tidur, Aku mampir di war- ung terdekat untuk makan nasi Lengko, makanan khas Tegal. Semacam pecel, tapi unsur sayurannya leb- ih sedikit. Cuma ada tahu, tempe, dan tauge yang dibaluri bumbu kacang. Ditemani mi- numan jeruk hangat Aku cukup membayar tujuh ribu. Sebelum matahari bersinar gagah kee- sokan harinya, Aku sudah keluar menuju pasar pagi untuk hunt- ing teh tubruk tradis- ional. Merk-merk Poci, Tong Tji, Guji, Gopek, Pecco, 2 Tang dapat dengan mudah ditemu- kan. Kalau di Jakarta sulit sekali mencarin- ya. Sekali lagi dengan bendera pengiritan,

Aku memilih jalan kaki. Walau berjarak 2 km menuju pasar ini, tak apalah. Kalau naik be- cak akan kena sekitar

10 ribu. Sayang. Hehe. Menuju Pantai Alam Indah (PAI) Aku juga berjalan kaki, sekitar

2 km lagi dari pasar pagi. PAI adalah pan- tai yang paling bagus di Tegal. Tapi biasa- biasa saja menurutku. Cuma ada satu yang spesial, yaitu restoran di tengah pantai, di atas kapal besar. Tapi sekarang, pukul dela- pan pagi, belum buka. Menuju kapal terse- but, ada jalan khusus yang terbuat dari kayu, panjangnya sekitar 100 meter menuju laut. Di ujung jalan ini angin cukup kencang. Lampu-lampu antik di- pajang di pinggir jalan tersebut, berderet rapi. Sepertinya indah kalau malam. Satu tempat yang ka- tanya jadi objek wisata andalan di Tegal: Guci. Merupakan nama satu wilayah 40 km di se- latan Tegal, tetangg-

Keris berbulu di Keraton Kasepuhan

anya gunung Slamet. Menuju ke Guci, per- tama dengan bus kecil tujuan Bumiayu turun di Yomani. Busnya aneh, hanya enam be- las tempat duduk. Se- bagai perbandingan, Metro Mini punya lebih dari dua puluh tempat duduk. Tarifnya lima ribu rupiah dengan lama perjalanan satu jam. Dari Yomani, lanjut dengan bus macam itu lagi, menuju Tu- wel. Perjalanan seten- gah sampai satu jam. Jalannya menanjak, menyenangkan sekali. Jalannya sudah as- pal mulus, dua jalur. Kanan kiri jalan selalu menghidangkan pepo- honan dan gunung. Sesekali saja bata dan beton. Di Tegal, jarang yang menggunakan Bahasa Indonesia. Bahasa Tegal adalah bahasa Jawa blekok-blekok, istilahku. Banyak ter- dengar huruf “k” yang di-qolqolah-kan dan banyak apostrof. Se- tiap kalimat bagiku

selalu terdengar meng- gantung, seperti belum habis terucap. Di perut bus, kondektur bicara padaku setelah kuberi lima ribu, “bla bla…blekok-blekok…. bla bla...PITUNGEWU MAS… blekok- blekok…” Cuma dua kata yang kutangkap, PITUNGEWU MAS. Untungnya ini terden- gar seperti inti kalimat- nya. Aku ingat wong pitu. Tujuh. Mungkin tujuh ribu. Kujawab, ”Limangewuooo.” Agak ragu, apa lima dalam bahasa Jawa lima juga ya? Di akhir kalimat, Aku panjangkan den- gan lambaian “ooo”. Demikian yang sering kudengar dari Falakh, kawan kuliahku yang dari Tegal. Kuikuti saja. Tuwel adalah titik tera- khir sebelum mengga- pai Guci. Satu-satunya transportasi umum yang bisa dipakai ada- lah pick up. Warga Guci dan sekitarnya mengandalkan per- tanian sebagai motor ekonominya. Pick up

mereka gunakan un- tuk mengangkut hasil pertaniannya. Jangan heran kalau tiap lima menit ada pick up yang lewat sehingga dijadi- kan alat transportasi umum, walaupun plat hitam. Ongkos pick up Tuwel- Guci sebesar sepuluh ribu. Tak perlu bayar tiket masuk Guci lagi. Jaraknya sekitar 6 kilo. Kacang tanah, wor- tel, dan kol melambai sepanjang perjalan- an. Gunung Slamet mengintip lewat kabut tebal di sebelah kiri. Gunung Traju di sebe- lah kanan. Aku babak belur diberikan pe- mandangan hijau me- nenangkan. Sayang tidak kuta- war lebih jauh. Geram sekali mendengar in- formasi warga bahwa tarif pick up itu stan- darnya 3 ribu saja. Terakhir Aku baru tahu, masalah tawar- menawar, dengan orang Tegal, jangan tanggung-tanggung. Jangan percaya orang yang baru dikenal,

coba konfirmasikan dengan orang lain.

Sampai di Guci, ra- mai sekali. Kebetulan memang sedang libur natal. Aku cuma mer- endam kaki setengah betis, rileks, layaknya diurut. Sensasi kon- trakafein terpapar ke seluruh tubuh meresap sampai ke jaringan saraf. Air yang lewat tidak satu suhu. Ka- dang dingin, kadang hangat, tapi tidak per- nah panas. Merasa tidak puas hanya merendam be- tis, Aku menuju bukit, hanya jalan setapak kecil yang tersedia. Menanjak sekitar 300 meter dari pemandian air panas yang jenuh

manusia itu. Lebih nikmat menikmati Guci dari atas sini. Tanam- tanaman warga ber- deret rapi. Syahdu luar biasa. Kembali ke Tegal. Malamnya Aku ber- jalan menuju alun- alun. Di manapun itu, yang namanya alun-alun selalu ra- mai lancar. Seluruh iklan di sekelilingnya adalah iklan teh. Bah-

punya fasilitas moci. Di Tegal, teh jauh lebih favorit daripada kopi. Gula batunya betul- betul eksotis. Teh yang dimasukkan ke da- lam gelas makin lama makin manis seiring larutnya gula. Mung- kin mirip perjuangan hidup, pahit di awal, (semoga) manis di akhir…=)

Pengeluaran:

Arum Tegal (Senen-Prujakan) 14.000

Bensin

10.000 Sumbangan di Kacirebonan 6.000 Tarif 1 orang+ 1 kamera

Jeruk 2 kg

20.000 Angkot (Kanoman-rumah Aldi)

3.000 Angkot (rumah Aldi-terminal Cirebon) 2.000 Bus Cirebon-Tegal

11.000 Ongkos mal Pacific-Guci PP

Makan 5x

Moci 4x

Becak (masjid-stasiun)

10.000 Arum Tegal (Tegal-Senen)

kan ada yang na- manya Taman Poci. Sebegitu cintanya masyarakat Tegal dengan teh. Jangan pernah lewatkan moci di malam hari. Di jalan Ahmad Yani, setiap malam berjamuran lapak kaki lima. Sekitar 30% nya

Jangan pernah lewatkan moci di malam hari. Di jalan Ahmad Yani, setiap malam berjamu- ran lapak kaki lima. Sekitar 30% nya pu- nya fasilitas moci. Di Tegal, teh jauh lebih favorit daripada kopi.

Hari ini pukul 8 pagi, Jakarta telah ramai dengan kesibukannya. Wilayah Sudirman – Thamrin sebagai pusat kegiatan bisnis Ibukota pun telah memulai

perputaran uangnya. Namun, coba lihat sebuah jalan yang mendunia, jalan sepi yang padat ketika matahari tergelincir, Jalan Sabang namanya.

Bangkok punya Khao San Road. Bali punya Jalan Kuta. Jakarta tidak akan pernah mau kalah, ada pula yang namanya Jalan Jaksa. Na- mun, ehem, mungkin pernyataan dari seorang blogger asing berikut agak membuat dagu kita menun- duk:

“On Khao San, you can’t escape the neon signs and seizure-induc- ing strobe lights. On Jalan Jaksa, all they have is one sad looking banner spelling out the name of the street in sagging and half burnt-out Christmas lights. On Khao San, everyone drinks like it’s New Year’s. On Jalan Jaksa, everyone drinks because if they stop drinking, they’ll remember they’re on Jalan Jaksa.”

Haha. Agak menggelikan. Tapi, su- dahlah, mungkin penulisnya orang Jerman yang hobi mabuk. Kita bu-

kan bangsa pemabuk, bukan? Jalan Jaksa terletak tepat di jantung kota, dekat dengan pusat perbelan- jaan Sarinah. Cukup berjalan kaki

5 menit dari Stasiun Gondangdia. Juga tidak jauh dari Stasiun Gam- bir, salah satu stasiun terbesar di Indonesia. Bertetangga dengan Pusat Jajanan Jakarta: Jalan Sa- bang.

Apabila kita menelusuri Jalan Jak- sa, kita tidak akan menemui banyak perbedaan dengan jalan-jalan lain- nya, terutama di siang hari. Kec- uali, kita akan sesekali berpapasan dengan ‘bule’ di trotoar dan melihat beberapa dari mereka sedang asyik membaca Jakarta Post dan memi- num secangkir kopi di dalam kafe sepanjang Jalan Jaksa. Selain di Jalan Sabang, Jalan Jak- sa sendiri juga memberikan banyak pilihan makanan, mulai dari indomie

On The Spot

Jalan Jaksa : 400m untuk Seluruh Dunia

rebus dan nasi uduk dengan harga Rp5 ribu sampai rumah makan yang harganya berkisar Rp15-25 ribu. Harga yang sangat masuk akal dan ter- jangkau. Apalagi untuk sebuah daerah yang menjadi kawasan wisatawan mancane- gara (wisman). Sebuah gedung yang lebih mirip rumah dengan bilboard besar bertu- liskan “Media of Tourism’s” bisa menjadi sumber informasi bagi se- luruh wisman. Gedung tersebut ada berkat kerja sama empat perusahaan wisata. Segala jenis informasi wisata ada di situ. Penerban- gan domestik dan paket dari Travel Agent bisa deal di tempat itu juga. Telepon umum dan warnet pastinya juga ada. Standar tarif warnet di Jalan Jaksa adalah Rp10 ribu per jam.

Jaksa Cinthiya Book menjadi salah satu ciri khas Jalan Sabang. Walau tidak semegah Gramedia, tapi mungkin koleksi buku dari Inggris, Belanda, Jerman, Swedia, dan ban-

yak negara lain lebih lengkap dari koleksi Gramedia Matraman seka- lipun. Beberapa buku yang tampak, yaitu The Fight Club karya Chuck Palahuik, Love in The Time of Chol-

era karya Gabriel Garcia Marquetz. Mudah menemukan buku-buku berba- hasa selain Bahasa Indonesia dan Ba- hasa Inggris. Uniknya lagi, buku yang dibeli di toko ini bisa di- jual kembali dengan harga 50% dari pem- belian. Barter buku merupakan hal yang

wajar di sini.

Sejarah Jalan Jaksa

Disebut Jalan Jaksa karena jalan tersebut adalah tempat tinggal siswa-siswa sekolah hukum (Re- chts Hogeschool) pada masa ko-

Kisah Jalan Jaksa yang sebenarnya dimulai pada tahun 1968. Seorang pria bernama Nathanael Lawalata yang menjabat sebagai Sekjen Indonesia Youth Hostel Association membangun beberapa kamar di rumah yang mereka tinggali untuk disewakan.

oleh : Jeremy Gemarista foto : Galih Permadi

lonial. Namun, kisah Jalan Jaksa yang sebenarnya dimulai pada ta- hun 1968. Seorang pria bernama Nathanael Lawalata yang menjabat sebagai Sekjen Indonesia Youth Hostel Association membangun beberapa kamar di rumah yang mereka tinggali untuk disewakan. Hostel itu adalah penginapan per- tama yang berdiri di Jalan Jaksa, namanya Wisma Delima.

Tamu pertama dari Wisma Delima adalah sepasang backpacker yang mengetahui tempat tersebut dari database International Youth Hostel Association. Padahal pada saat itu Wisma Delima masih dalam tahap pembangunan dan belum ada ka- mar yang siap untuk menampung mereka. Tapi kedua backpacker tersebut berkata bahwa mereka hanya butuh lantai untuk tidur. Itu- lah kisah awal dari jalan Jaksa yang kita kenal sampai saat ini.

Kisah Backpacker di Jalan Jaksa

Backpackin’ mencoba mendalami opini seorang wisman yang sedang bertempat di Jalan Jaksa. Gadis berkebangsaan Jerman itu berna- ma Katrina. Suatu hari dia melaku- kan sebuah perjalanan ke Kuba dan bertemu dengan seorang pria dari Spanyol bernama Ruben. Mer- eka pun berjanji untuk melakukan perjalanan bersama mengelilingi Asia Tenggara suatu hari nanti. Petualangan dimulai. Saat Back- packin’ menemui mereka, pada awal 2010 kemarin, telah empat bu- lan mereka melintasi negara-nega- ra anggota ASEAN. Laos, Vietnam, dan Thailand telah mereka jelajahi. Hari itu mereka baru saja tiba di Jakarta dari Phuket. Tak langsung memutari jalan Jaksa untuk mencari tempat menginap, dengan memanggul ransel besar di punggungnya, mereka mencari tempat duduk di kafe untuk ma-

kan. Katrina menunggu selama Ruben mencari pengi- napan.

Sebenarnya tidak sulit un- tuk mencari penginapan yang murah di tempat itu, hanya ber- jalan sepuluh sampai lima

Katrina: Kami rasa tidak terlalu bagus. Sebagai contoh di Laos dan Vietnam, dengan 8 Euro (setara dengan Rp100 ribu), kami menda- pat kamar dengan fasilitas yang bagus dan tempat yang bersih. Sedangkan disini dengan harga yang sama, kamarnya tidak terlalu nyaman karena kotor dan tidak pu- nya fasilitas yang memadai seperti lemari pakaian.

Ruben di dalam kamar sederhananya,

belas menit pun kita sudah dapat menemukan beberapa tempat yang menyediakan kamar. Tapi entah kenapa Ruben selalu keluar dari penginapan dengan muka kecewa. Berikut wawancara singkat Back- packin’ dengan mereka:

Backpackin’ (BP): Bagaimana menurut kalian tentang kualitas penginapan di Indonesia?

Pemandangan siang hari di Jalan Jaksa

BP: Ruben, kenapa sih sulit sekali buat kamu untuk menemukan ka- mar? Walaupun sebenarnya harga tidak terlalu bermasalah bukan?

Ruben: Hmmm.... tidak bagus. Karena selain tempatnya yang ko- tor, saya merasa tempatnya kurang nyaman dan aman. Selain paka- ian, di dalam ransel ini pun terdapat notebook dan beberapa benda ber- harga lainnya. Saya ingin tempat yang saya tinggali bisa membuat saya merasa aman dan nyaman. Mungkin kalau saya hanya tinggal selama satu atau dua hari di sini, saya tidak akan bermasalah den- gan kualitas penginapan tersebut. Tetapi saya akan tinggal di sini se- lama beberapa hari dan saya mau penginapan itu....... yaaa tau lah.

BP: Dan kamu tidak merasa kalau penginapan – penginapan di jalan Jaksa bisa memberikan hal terse- but? Ruben: Hmmmm..... Tidak.

Rp20 Ribu per Malam

Berani mengatakan pusat men- daratnya backpacker dunia, be- rarti berani memberikan fasilitas penginapan murah. Sepanjang jalan, ada lima hotel dan delapan hostel/wisma. Tiga yang akan diba- has sekilas: Wisma Delima, Nick’s Hostel,d an Tator Hotel.

Wisma Delima bisa dibilang menja- di yang paling dikenal di Jalan Jak- sa. Wajar saja, karena wisma inilah yang menawarkan jasa akomodasi pertama kali bagi wisatawan asing di Jalan Jaksa, seperti dijelaskan di atas. Empat belas kamar tersedia di dalamnya. Kamar dengan dua ka- sur dihargai Rp50 ribu sedangkan kamar satu kasur Rp30 ribu.