Laporan Praktik Lapang Kondisi Umum Ekos
KEADAAN UMUM EKOSISTEM LAMUN DI PERAIRAN DESA TANJUNG SEBAUK KECAMATAN TANJUNGPINANG KOTA PROVINSI KEPULAUAN RIAU LAPORAN PRAKTIK LAPANG
Oleh RAHADATUL ‘AISY JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2016
KEADAAN UMUM EKOSISTEM LAMUN DI PERAIRAN DESA TANJUNG SEBAUK KECAMATAN TANJUNGPINANG KOTA PROVINSI KEPULAUAN RIAU LAPORAN PRAKTIK LAPANG
Hasil praktik lapangan ini diajukan untuk memenuhi persyaratan melaksanakan tugas akhir (Skripsi) di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Maritim Raja Ali Haji
Oleh
RAHADATUL ‘AISY NIM. 1302 5424 1023
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2016
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan laporan praktik lapang dengan judul Keadaan Umum Ekosistem Lamun di Perairan Desa Tanjung Sebauk Kecamatan Tanjungpinang Kota Provinsi Kepulauan Riau.
Laporan praktik lapang ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan Ibu Ita Karlina, S. Pi., M. Si., sebagai Dosen Pembimbing praktik lapangan. Laporan kegiatan ini belumlah sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna perbaikan penulisan dimasa yang akan datang.
Tanjungpinang, 12 Juni 2016
RAHADATUL ‘AISY
DAFTAR GRAFIK
Grafik Halaman
23
1. Hasil pengukuran kualitas perairan yang telah dirata-ratakan
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Tanjungpinang terletak di koordinat 1º5' 0” LU dan 104º29'0” BT, tepatnya di Pulau Bintan. Luas wilayah Kota Tanjungpinang mencapai 313,8 bt 2 .
Kecamatan terluas adalah Kecamatan Tanjungpinang Timur dan Kecamatan terkecil adalah Kecamatan Tanjungpinang Barat. Kota Tanjungpinang saat ini terdiri dari 5 pulau selain Pulau Bintan. Kota Tanjungpinang memiliki kondisi sumberdaya pesisir dan laut yang sangat berlimpah dikarenakan lautan lebih luas dibandingkan daratannya. Hal ini menyebabkan sumberdayanya menjadi beragam yang salah satunya adalah sumberdaya perikanan pada ekosistem lamun.
Kecamatan Tanjungpinang Kota merupakan bagian wilayah Kota Tanjungpinang. Kecamatan Tanjungpinang Kota dibentuk berdasarkan Undang- undang No.5 Tahun 2001, sejalan dengan pembentukan Kota Tanjungpinang dan bagian-bagiannya. Luas wilayah Kecamatan Tanjungpinang Kota mencapai 52,5
km 2 . Sekitar pesisir wilayah Desa Tanjung Sebauk sebagian besar ditempati
penduduk, sehingga semua aktivitas penduduk berkontak langsung dengan laut dan mengakibatkan kondisi perairan yang terganggu. Keadaan ini akan berdampak pada kondisi perikanan yang ada. Berbagai macam limbah rumah tangga dan rumah makan yang ada akan mempengaruhi kondisi perairan sehingga bisa berdampak pada kondisi perikanan yang ada.
Aktifitas masyarakat di sekitar pesisir yang bisa menyebabkan banyak kerugian maka dibutuhkan suatu Praktik Lapang pengukuran kondisi umum perairan di wilayah tersebut untuk keperluan pengelolaan dimasa akan datang.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pratik lapang ini adalah :
1. Mengetahui jenis lamun dan fauna asosiasi di Desa Tanjung Sebauk.
2. Mengetahui kondisi perairan fisika dan kimia di Desa Tanjung Sebauk.
3. Mengetahui permasalahan lingkungan yang dihadapi masyarakat di Desa Tanjung Sebauk.
1.3 Manfaat
Manfaat dari Praktik Lapang ini diharapkan agar bisa menjadi bahan rujukan kepada instansi terkait seperti pengembangan usaha dan upaya pelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan, khususnya bagi pemerintah daerah setempat dan dapat bermanfaat bagi mahasiswa guna menambah pengetahuan wawasan tentang potensi sumberdaya perikanan yang ada dan keadaan perairan yang baik untuk ekosistem lamun dan jenis lamun beserta fauna asosiasinya. Hasil praktik lapang ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan bahan kajian dalam pengolahan sumberdaya kelautan dan perikanan
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Lamun
Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut, lamun pada kawasan pesisir membentuk hamparan padang lamun yang terdiri dari beberapa jenis lamun (Polyspesifik) atau hanya satu jenis lamun saja yang mendominasi (Monospesifik). Padang lamun tersebut membentuk sebuah ekosistem kompleks dengan beragam biota – biota asosiasi (Alfiansyah, 2014). Jadi sangat berbeda dengan rumput laut (algae) (Azkab, 2010), fungsi utama ekosistem lamun dapat memberikan nutrisi terhadap biota yang berada diperairan sekitarnya, ekosistem lamun merupakan produsen primer dalam rantai makanan di perairan laut dengan
produktivitas primer berkisar antara 900-4650 gC/m 2 /tahun. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan produktivitas primer lamun pada suatu perairan
umumnya ditentukan oleh ketersediaan zat hara fosfat, nitrat dan ammonium. Sejak tahun 1980 sampai sekarang, diperkirakan lamun di dunia telah mengalami degradasi sebesar 54% (Bjork, et all, 2008).
Ekosistem padang lamun memiliki biota – biota asosiasi yang bernilai ekonomis tinggi (Alfiansyah, 2014). Beberapa di antaranya adalah kerang- kerangan
(bivalve), keong-keongan (gastropoda), teripang-teripangan
(echinodermata), udang, berbagai jenis ikan dan rumput laut (algae).
Dari sekian banyak hewan laut, penyu hijau (Chelonia mydas) dan ikan duyung atau dugong (dugong dugon) adalah dua hewan “pecinta berat” padang lamun. Boleh dikatakan dua hewan ini amat bergantung pada lamun. Hal ini tak lain karena tumbuhan tersebut merupakan sumber makanan penyu hijau dan dugong. Penyu hijau biasanya menyantap jenis lamun Cymodocee, Thalasia, dan Halophilla. Sedangkan dugong mengkonsumsi lamun terutama bagian daun dan akar rimpangnya (rhizome) karena dua bagian ini memiliki kandungan nitrogen yang cukup tinggi (Pramanda, 2009).
Menurut Syahid (2014), lamun mempunyai peran di perairan dangkal yang sangat penting sebagai produsen primer, habitat biota, penangkap sedimen, dan pendaur zat hara.
2.2 Siklus Aliran Energi Pada Ekosistem Lamun
Aliran energi dan efisiensinya dialirkan melalui tingkat makanan (trophic levels). Dimana efisiensi pemindahan tersebut sebesar 10%. Hal ini sesuai dengan Hukum Thermodinamika II yang menjelaskan bahwa perilaku energi dalam ekosistem dapat diistilahkan sebagai arus energi, karena transformasi energi berlangsung satu arah dimana arus energi tersebut berkurang pada setiap tahap.
Siklus aliran energi yang terjadi pada ekosistem lamun meliputi siklus dalam proses makan – memakan. Pada rantai makanan (food chain) di ekosistem lamun dimana produsen (penghasil/pembuat makanan) yaitu produsen utama, atau tumbuhan autotrof (penghasil makanan sendiri), sebagai produsen yang meerupakan dasar dari semua rantai makanan. Produsen yang terdapat pada ekosistem lamun adalah lamun, phytoplankton, dan microphytobenthos. Lamun dan produsen lainnya biasa memproduksi hasil metabolisme dari proses fotosintesis yang hasilnya akan dikonsumsi oleh tingkat konsumen pertama yang dihuni oleh organisme seperti: zooplankton, bivalves, gastropods, dan ikan kecil. Beberapa anggota dari Aplysidae dan bulu babi diketahui aktif memakan lamun, tetapi makanan utamanya bukan daun yang hijau (segar) tetapi algae yang berassosiasi dengan lamun. Para organisme ini memanfaatkan dari tumbuh- tumbuhan yang hidup di lamun untuk menjadi bahan-bahan makanannya.
Untuk konsumen tingkat kedua yaitu ditempati oleh karnivora yang memangsa konsumen tingkat pertama sebagai makanannya, mereka bertindak sebagai predator yang mengkonsumsi moluska, crustacean, dan ikan-ikan kecil.
Pada konsumen tingkat ketiga merupakan hewan tingkat tertinggi dalam rantai makanan, biasanya memangsa konsumen tingkat kedua. Pada konsumen tingkat ketiga terdapat organisme seperti burung-burung laut. Semua organisme baik itu produsen, konsumen tingkat pertama, kedua, dan ketiga apabila mati akan Pada konsumen tingkat ketiga merupakan hewan tingkat tertinggi dalam rantai makanan, biasanya memangsa konsumen tingkat kedua. Pada konsumen tingkat ketiga terdapat organisme seperti burung-burung laut. Semua organisme baik itu produsen, konsumen tingkat pertama, kedua, dan ketiga apabila mati akan
Sumber: shifadini.wordpress.com Gambar 1. Siklus Energi Ekosistem Lamun
2.3 Deskripsi Bioekologis Lamun
2.3.1 Lamun (seagrass)
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan untuk hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini terdiri dari rhizome, daun, dan akar. Rhizome merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar, serta berbuku-uku dimana tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga, serta berakar (Nontji, 2007).
Menurut Azkab (2006) dalam Septiyadi (2011) lamun juga sebagian besar memiliki struktur berumah dua yang artinya dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau bunga betina saja. Salah satu hal yang paling penting dalam adaptasi reproduksi lamun adalah bersifat hidrophillus yaitu kemampuannya untuk melakukan polinasi di bawah air.
2.3.2 Klasifikasi Lamun (seagrass)
Menurut ITK-IPB (2007) dalam Septiyadi (2011) di Indonesia hanya terdapat 7 genus dan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili yaitu: Hydrocharitacea (9 marga, 35 jenis) dan Potamogetonaceae (3 marga, 15 jenis). Jenis Thalassia hemprichii tersebar luas di seluruh Indonesia dan tumbuh merambat secara vertikal dari zna intertidal bawah ke zona subtidal, sedangkan Halophila ovalis juga tersebar dan tumbuh secara vertikal dari zona intertidal dengan kedalaman 20 meter dan tumbuh dengan baik dalam sedimen dasar (Kuirandewa et al (2003) dalam Green & Frederick, 2003 dalam Septiyadi, 2011).
Secara rinci klasifikasi lamun menurut Den Hartog (1970) dan Menez, Phillips, dan Calumpong (1983) diacu dalam Septiyadi (2011) adalah sebagai berikut: Divisi: Anthophyta
Kelas: Angiospermae Famili: Potamogenetonacea Sub famili: Zosteroideae Genus: Zostera, Phyllospadix, Heterozostera Sub famili: Posidoniodeae Genus: Posidonia Sub famili: Cymodoceoideae Genus: Halodule, Cymodeceae, Syprongodium, Amphibolis,
Thallassodendron
Famili: Hydroccharitaceae Sub famili: Hydroccharitaceae Genus: Enhalus Sub famili: Thallassiodeae Genus: Thallasia Sub famili: Halophiloideae Genus: Halophilla
2.3.3 Morfologi Lamun (seagrass)
Secara morfologis, tumbuhan lamun mempunyai bentuk yang hampir sama, terdiri dari akar, batang, dan daun. Daun umumnya memanjang, kecuali jenis Halophila memiliki bentuk daun lonjong. Adapun morfologi tumbuhan lamun dapat dilihat pada Gambar 2 (Tuwo, 2011) berikut:
Sumber: Tuwo, 2011 Gambar 2. Morfologi Lamun
2.3.3.1 Akar
Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antara jenis lamun yang dapat digunakan untuk taksonomi. Akar pada beberapa spesies seperti Halophila dan Halodule memiliki karakteristik tipis (fragile), seperti rambut, diameter kecil, sedangkan spesies Thalassodendron memiliki akar yang kuat dan berkayu dengan sel epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, akar dan akar rambut lamun tidak berkembang dengan baik. Namun, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang sama dengan tumbuhan darat. Akar-akar halus yang tumbuh di bawah permukaan rhizoma, dan memiliki adaptasi khusus (contoh : aerenchyma, sel epidermal) terhadap lingkungan perairan. Semua akar memiliki pusat stele yang dikelilingi oleh endodermis. Stele mengandung phloem (jaringan transport nutrien) dan xylem (jaringan yang menyalurkan air) yang sangat tipis. Karena akar lamun tidak berkembang baik untuk menyalurkan air maka dapat dikatakan bahwa lamun tidak berperan penting dalam penyaluran air (Laidat, 2014).
2.3.3.2 Rhizome dan Batang
Rhizome merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar, serta berbuku-buku dimana tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga, serta berakar.
Semua lamun memiliki lebih atau kurang rhizoma yang utamanya adalah herbaceous , walaupun pada Thallasodendron ciliatum (percabangan simpodial) yang memiliki rhizoma berkayu yang memungkinkan spesies ini hidup pada habitat karang yang bervariasi dimana spesies lain tidak bisa hidup. Kemampuannya untuk tumbuh pada substrat yang keras menjadikan T. ciliatum memiliki energi yang kuat dan dapat hidup berkoloni disepanjang hamparan terumbu karang.
Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama sama dengan akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif dan reproduksi yang dilakukan secara vegetatif merupakan hal yang lebih penting daripada reproduksi dengan pembibitan karena lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma merupakan 60 – 80% biomas lamun (Laidat, 2014).
2.3.3.3 Daun
Seperti semua tumbuhan monokotil, daun lamun diproduksi dari meristem basal yang terletak pada potongan rhizoma dan percabangannya. Meskipun memiliki bentuk umum yang hampir sama, spesies lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk morfologi sangat mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun, keberadaan atau ketiadaan ligula. Contohnya adalah puncak daun Cymodocea serrulata berbentuk lingkaran dan berserat, sedangkan C. Rotundata datar dan halus. Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi Seperti semua tumbuhan monokotil, daun lamun diproduksi dari meristem basal yang terletak pada potongan rhizoma dan percabangannya. Meskipun memiliki bentuk umum yang hampir sama, spesies lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk morfologi sangat mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun, keberadaan atau ketiadaan ligula. Contohnya adalah puncak daun Cymodocea serrulata berbentuk lingkaran dan berserat, sedangkan C. Rotundata datar dan halus. Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi
2.3.4 Ciri Ekologis Lamun (seagrass)
Menurut Den Hartog (1970) dalam Azkab (2006) dalam Septiyadi (2011) ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain:
1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir
2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang
3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung
4. Sangat bergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan
5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif
6. Mampu hidup di media air asin
7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang biak. Menurut Den Hartog (1970) dalam Azkab (2006) dalam Septiyadi (2011) perbedaan ekologik lamun mempunyai kaitan terhadap berbagai bentuk pertumbuhan lamun. Misalnya bentuk „Parvozosterid’ dan „Halophilid’ dapat dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari pasir yang kasir sampai lumpur yang lunak, mulai dari daerah dangkal sampai dalam dan mulai dari laut terbuka sampai estuaria.
2.3.5 Peran dan Fungsi Ekosistem Lamun (seagrass)
Menurut Ngangi (2003) dalam Septiyadi (2011) ekosistem padang lamun berperan sebagai penyuplai energi, baik pada zona bentik maupun pelagis, salah satunya detritus daun lamun yang tua didekomposisi oleh sekumpulan jasad bentik crustacea (seperti udang, kepiting, termasuk bakteri), sehingga dihasilkan
Nutrien tersebut tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan lamun, tetapi juga bermanfaat untuk pertumbuhan fitoplankton dan selanjutnya zooplankton, juvenil ikan dan lainnya (Dahuri (2003) dalam Ngangi, 2003 diacu dalam Septiyadi, 2011)
2.4 Parameter Lingkungan Perairan
2.4.1 Parameter Kimia
Oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) adalah jumlah oksigen dalam miligram yang terdapat dalam satu liter air (ppt). Oksigen terlarut umumnya berasal dari difusi udara melalui permukaan air, aliran air masuk, air hujan, dan hasil dari proses fotosintesis plankton atau tumbuhan air.
Derajat keasaman adalah pH yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Ia didefinisikan sebagai
kologaritma aktivitas ion hidrogen (H + ) yang terlarut.
2.4.2 Parameter Fisika
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Pada kisaran suhu 25 - 30°C, fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas yaitu 5-35°C (Hutomo, 1999).
Salinitas menunjukkan kadar garam pada suatu perairan. Kadar garam merupakan ciri pembeda antara ekosistem air tawar dan air asin. Kecepatan arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan dalam densitas air laut dan dapat pula disebabkan oleh gerakan gelombang yang panjang. Arus yang disebabkan oleh pasang surut biasanya lebih banyak diamati di perairan pantai terutama pada selat yang sempit dengan kisaran pasang surut yang tinggi (Syahid,
Kecepatan arus atau aliran air adalah parameter fisika yang dapat dijadikan pembeda beberapa ekosistem perairan tawar. Perbedaan utama ekosistem lotik dan lentik adalah arus. Pada padang lamun, kecepatan arus mempunyai pengaruh yang sangat nyata. Produktivitas padang lamun tampak dari pengaruh keadaan kecepatan arus perairan, dimana mempunyai kemampuan maksimum menghasilkan “standing crop” pada saat kecepatan arus sekitar 0,5 m/det (Dahuri, 2001).
2.4.3 Parameter Biologi
Lamun adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan untuk hidup terbenam dalam laut yang morfologinya terdiri dari rhizome, daun, dan akar.
Fauna asosiasi adalah jenis-jenis hewan yang berasosiasi pada ekosistem lamun.
III.METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Praktik lapang ini dilaksanakan pada bulan April 2016 yang berlokasi di Desa Tanjung Sebauk Kecamatan Tanjungpinang Kota, Provinsi Kepulauan Riau. Adapun lokasi praktik lapang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 3. Peta Lokasi Praktik Lapang
3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang akan digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan untuk Praktik Lapang
Cara Penggunaan No
Alat dan
Parameter Pengukuran
Bahan
Alat
Oksigen Terlarut
Digunakan multi tester dengan
1. Multi tester
(DO)
mencelupkan probe ke air
Parameter
Menggunakan multi tester dengan
Kimia Derajat Keasaman
menyambung probe ke badan
2. Multi Tester
monitor multi tester kemudian
(pH)
mencelupkan ujung probe ke permukaan perairan.
Menggunakan multi tester dengan menyambung probe ke badan
3. Suhu
Multi Tester
monitor multi tester kemudian mencelupkan ujung probe ke
permukaan perairan. Dikalibrasi dengan menggunakan
Hand aquades.
4. Salinitas Teteskan beberapa sampel air.
Refractometer
Kemudian di cek skala salinitasnya
Parameter pada angka terakhir yang bergerak.
Meletakkan botol pada permukaan
Fisika
air dan memegang ujung tali. Botol dibiarkan mengapung mengikuti gerak arus hingga tali
Botol dan menegang sambil dihitung
5. Kecepatan Arus
waktunya dengan menggunakan
Tali
stopwatch. Hasil dari berapa lama waktu
yang dibutuhkan untuk tali menegang dibagi dengan panjang tali.
Lamun
Pengamatan
Diamati langsung pada lokasi
praktik untuk mengetahui jenis
Parameter
identifikas lamun Biologi
Langsung
Fauna asosiasi
Pengamatan
Diamati langsung pada lokasi
praktik untuk mengetahui jenis
Langsung
identifikas lamun
3.3 Metode Pengumpulan Data
3.3.1 Data Primer
Data primer yang diperoleh dalam penelitian ini adalah jenis-jenis parameter-parameter yang berkaitan dengan keadaan ekosistem lamun seperti jenis lamun pada perairan Desa Tanjung Sebauk. Kebutuhan data kondisi parameter kimia, dan fisika perairan dan biologi perairan dilakukan dengan metode survei yaitu pengamatan langsung dengan pengambilan contoh lapangan di tiga stasiun sebagai perwakilan dari kondisi perairan.
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dari penelusuran berbagai pustaka serta dari instansi terkait seperti dinas kelautan dan perikanan, dan Kantor desa.
3.4 Pengolahan dan Analisis Data
3.4.1 Data Primer
Data primer yang telah diperoleh disajikan dalam bentuk tabel, skema dan gambar. Data tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif setelah ditabulasikan. Data primer merupakan data yang akan diperoleh dari lapangan praktik langsung. Data primer yang diperoleh dalam penelitian ini adalah jenis- jenis parameter-parameter yang berkaitan dengan keadaan ekosistem lamun dan keadaan kimia, biologi dan fisika lingkungan perairan. Parameter yang berkaitan dengan keadaan padang lamun pada perairan Desa Tanjung Sebauk yaitu parameter keadaan kimia dan fisik lingkungan tersebut yang akan diukur, dan parameter biologi yang berupa mengidentifikasi jenis lamun dan fauna asosiasi.
3.4.2 Data Sekunder
Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari lapangan kemudian data tersebut dibandingkan dengan tinjauan pustaka dan berbagai literature lainnya. Adapun pengambilan data monografi pada instansi lokasi penelitian seperti kantor Kepala Desa Tanjung Sebauk. Data tersebut meliputi Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari lapangan kemudian data tersebut dibandingkan dengan tinjauan pustaka dan berbagai literature lainnya. Adapun pengambilan data monografi pada instansi lokasi penelitian seperti kantor Kepala Desa Tanjung Sebauk. Data tersebut meliputi
3.4.3 Parameter Kimia Perairan
a. Oksigen Terlarut (DO)
Untuk mengukur oksigen terlarut digunakan multi tester dengan menyambung kabel probe DO ke badan multi tester kemudian hidupkan multi tester. Kalibrasi multitester sesuai Standar Oprasional Pemakaian. Setelah itu multitester siap digunakan dengan cara mencelupkan probe ke air untuk mengukur oksigen terlarut.
b. Derajat Keasaman (pH )
Untuk mengukur oksigen terlarut digunakan multi tester dengan menyambung kabel probe pH ke badan multi tester kemudian hidupkan multi tester. Kalibrasi multitester dengan buffer 4 sesuai Standar Oprasional Pemakaian. Setelah itu multitester siap digunakan dengan cara mencelupkan probe ke air untuk mengukur pH. Lihat angka yang tertera di monitor untuk melihat hasil akhirnya.
3.4.4 Parameter Fisika Perairan
a. Suhu
Suhu diukur dengan menggunakan Multi Tester menggunakan Multi Tester dengan menyambung probe suhu ke badan multi tester kemudian hidupkan multi tester. Kalibrasi multitester sesuai Standar Oprasional Pemakaian. Setelah itu multitester siap digunakan dengan cara mencelupkan probe ke air untuk mengukur suhu. Lihat angka yang tertera di monitor untuk melihat hasil akhirnya.
b. Salinitas
Pengukuran salinitas dilakukan pada setiap stasiun dengan menggunakan hand refraktometer.
1. Dengan dikalibrasi dengan menggunakan aquades
2. Di cek skala salinitasnya ( dengan memasukkan beberapa tetes air sample ). Melihat angka terakhir yang bergerak, maka itulah hasil salinitas yang diperoleh, maka salinitasnya akan ditunjukkan pada alat
dengan satuan ‰.
c. Kecepatan Arus
Prosedur kerjanya yaitu botol diikat dengan tali sepanjang 2 meter ke permukaan perairan dan dibiarkan tali botol menegang dengan menggunakan stopwatch. Kemudian diukur dan hasil pengukuran tersebut dinyatakan dalam centimeter/detik (cm/t). Dengan demikian rumus perhitungan kecepatan arus adalah :
Velocity (v) meter / second = jarak (cm) / waktu (s)
3.4.5 Parameter Biologi
a. Lamun
Prosedur kerjanya yaitu lamun diamati secara langsung mulai dari struktur tubuh yang berupa rhizoma, daun dan akar. Pengamatan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi jenis lamun.
b. Fauna Asosiasi
Fauna asosiasi yang berada pada ekosistem lamun diamati secara langsung untuk mengetahui identifikasi setiap fauna asosiasi yang berada pada lokasi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Letak Geografi
Wilayah Desa Tanjung Sebauk merupakan bagian dari Kelurahan Senggarang Kecamatan Tanjungpinang Kota. Desa Tanjung Sebauk secara
geografis berada pada posisi 104 o 25 ‟
10”BT – 104 o 23‟45”BT dan 0 58‟25”LU –
0 o 59‟44”LU. Secara administrasi Desa Tanjung Sebuk terletak di wilayah Kelurahan Senggarang Kecamatan Tanjungpinang Kota Provinsi Kepulauan Riau.
Wilayah Desa Tanjung Sebauk secara administratif dibatasi oleh: Sebelah Utara berbatasan dengan Pemerintah Kabupaten Bintan Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Senggarang Besar Sebelah Barat berbatasan dengan Tanjung Geliga Sebelah Timur berbatasan dengan Senggarang Pusat
Luas wilayah Desa Tanjung Sebauk yaitu 6 Km 2 . Luas lahan yang terbagi dalam beberapa peruntukan seperti untuk perladangan, perikanan,
pertambangan/galian, fasilitas umum, pemukiman, kegiatan sekolah dan hutan. Iklim Desa Tanjung Sebauk sama seperti tempat-tempat lain yang berada di
wilayah Kota Tanjung Pinang yaitu iklim kemarau dan penghujan. Namun kadangkala keadaan musim yang demikian tidak dapat dijadikan pedoman karena saat ini telah terjadi perubahan musim di seluruh dunia yang diakibatkan oleh pemanasan global.
4.2 Demografi
4.2.1 Penduduk
Jumlah penduduk Desa Tanjung Sebauk sampai akhir tahun 2015 mencapai
90 jiwa. Penduduk Desa Tanjung Sebauk berdasarkan data yang diperoleh dari kepala desa sampai akhir 2015 terdiri dari laki-laki berjumlah sebanyak 50 jiwa dan perempuan berjumlah 40 jiwa. Mayoritas suku bangsa yang mendiami desa ini terdiri dari suku asli Melayu, dan suku pendatang seperti Jawa dan Tionghoa. Dan untuk lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat dari tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin No.
Jenis Kelamin
Jumlah (jiwa)
Sumber: Profil Desa Tanjung Sebauk
4.2.2 Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu hal penting untuk memajukan desa. Tolak ukur tingkat kesejahteraan dan tingkat perekonomian suatu desa biasanya dilihat dari tingkat pendidikan yang ada di desa tersebut. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan mendongkrak tingkat kecakapan, tingkat kecakapan juga akan mendorong munculnya tumbuhnya keterampilan kewirausahaan dan kemudian akan mendorong munculnya lapangan pekerjaan yang baru dan dengan sendirinya akan membantu program pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan yang baru guna mengatasi tingkat pengangguran. Pendidikan biasanya akan dapat mempertajam pola pikir individu, selain itu akan mudah menerima perkembangan informasi dan teknologi yang semakin canggih. Berikut ini merupakan tabel yang menunjukkan tingkat rata-rata pendidikan akhir penduduk Desa Tanjung Sebauk.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan. No.
Lulusan
Jumlah (jiwa)
1 Belum Tamat SD
5 D1-D3/Akademi
6 Sarjana (S1)
Jumlah
Sumber: Profil Desa Tanjung Sebauk
4.2.3 Mata Pencaharian
Sebagian besar mata pencaharian penduduk yang berada di Desa Tanjung Sebauk adalah nelayan. Mata pencaharian yang lain terdiri dari karyawan dan tani.
Meskipun begitu kehidupan penduduk di Desa Tanjung Sebauk sangat bergantung pada hasil tangkapan laut. Selain melaut penduduk desa Pengujan juga mencari pemasukan lewat hasil penjualan ikan. Hampir seluruh hasil kegiatan ekonomi masyarakat yang ada di jual Tempat Penjualan Ikan Sebauk. Kaum perempuan Dewasa yang ada di desa Tanjung Sebauk ini sebagian besar pekerjaannya ialah mengurus rumah tangga. Untuk lebih jelasnya mata pencaharian penduduk Desa Tanjung Sebauk dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian No.
Mata Pencaharian
Jumlah (jiwa)
1 Tidak bekerja
Sumber: Profil Desa Tanjung Sebauk
4.2.4 Agama
Agama merupakan kepercayaan manusia yang di dapat melalui wahyu Tuhan terhadap keberadaan Tuhan dan digunakan sebagai pedoman hidup manusia. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk desa Tanjung Sebauk berdasarkan kepercayaan atau agama yang mereka anut.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama No.
Agama
Jumlah (jiwa)
Sumber: Profil Desa Tanjung Sebauk Kategori penduduk berdasarkan agama untuk masyarakat Desa Tanjung
Sebauk dapat dikategorikan masyarakat yang mendekati homogen. Hal ini disebabkan sebagian besar masyarakat desa pengujan ini menganut agama Islam. Secara budaya pegangan agama islam ini merupakan suatu yang di dapat dari hubnungan kekeluargaan dan kekerabatan yang kental di antara mereka. Selain daripada itu perkembangan agama berkembang berdasarkan garis keturunan dari orang tua sampai ke anak cucu.
4.2.5 Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana merupakan salah satu penunjang bagi kemajuan desa khususnya bagi pembangunan dan pengembangan daerah. Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Tanjung Sebauk dapat dilihat di bawah ini.
Tabel 6. Sarana dan Prasarana No.
Nama Objek
3 TPA/TPQ
4 PAUD
5 Pos Kamling
6 Lapangan Voli
7 Lapangan Sepak Bola
8 Posyandu
9 Sumur Umum
10 Pelabuhan Nelayan
Sumber: Profil Desa Tanjung Sebauk
4.3 Keadaan Umum Perairan
4.3.1 Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan
Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia di lapangan yang di ukur pada pagi hari pukul 08.15 WIB dan Sore Hari 17.15 Wib tanggal 13 April sampai 17 April 2016, maka di dapat beberapa kondisi parameter kualitas perairan, di sajikan pada tabel 7 dan 8.
Tabel 7. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Perairan
Nilai dan Stasiun
Parameter Tanggal
Stasiun III Rata-rata Fisika
Stasiun I
Stasiun II
Suhu ( 0 C) 15 April 26 27 27 27 27 28 27 2016
Salinitas 15 April
7,5 7,1 arus (cm/s)
Kecepatan 15 April
Sumber: Data Primer Dari tabel diatas dapat dilihat hasil pengukuran parameter fisika selama
praktik lapang. Parameter suhu yang paling rendah suhunya adalah pada tanggal
15 April di Stasiun I saat pagi hari dengan suhu 26 0
C. Suhu tertinggi pada tanggal
C. Parameter salinitas yang terendah pada 15 April di stasiun III saat pagi hari dengan nilai salinitas 25,5% 0 . Parameter salinitas tertinggi pada 13 April di stasiun II saat sore hari dan 17 April di stasiun III saat sore hari dengan nilai salinitas 35,5% 0 . Parameter kecepatan arus terendah pada tanggal 17 April 2016 Stasiun I saat pagi hari dengan kecepatan arus 4,1 cm/s dan kecepatan arus tertinggi pada tanggal 15 April 2016 Stasiun II sore hari dengan kecepatan 8,8 cm/s.
13 April di stasiun III saat sore hari dengan suhu 30 0
Tabel 8. Hasil Pengukuran Parameter Kimia Perairan
Nilai dan Stasiun
Parameter Tanggal
Stasiun III Rata-rata Kimia
Stasiun I
Stasiun II
15 April pH
15 April DO (mg/L)
Sumber: Data Primer Dari tabel diatas dapat dilihat hasil pengukuran parameter kimia selama
praktik lapang. Parameter pH yang terendah pada tanggal 13 April di stasiun II saat pagi dan sore dengan nilai 7, dan yang tertinggi pada tanggal 15 April di stasiun I saat pagi dengan nilai 7,9. Parameter DO yang terendah yaitu 8, dan yang tertinggi yang didapati dengan nilai 8,4.
Grafik 1. Hasil pengukuran kualitas perairan yang telah dirata-ratakan
Suhu (⁰C) Salinitas (‰)
20 Kecepatan arus (cm/s)
15 pH 10
DO (mg/L)
Pengukuran kuaitas perairan
Dari tabel diatas dapat dilihat hasil pengukuran kualitas perairan fisika dan kimia yang telah dirata-ratakan. Suhu yang telah dirata-ratakan adalah 27,8 0 C, Dari tabel diatas dapat dilihat hasil pengukuran kualitas perairan fisika dan kimia yang telah dirata-ratakan. Suhu yang telah dirata-ratakan adalah 27,8 0 C,
Hasil pengamatan parameter biologi yang berupa identifikasi jenis lamun dan fauna asosiasi di lapangan yang diamati pada tanggal 13 April sampai 17 April 2016, maka di dapat beberapa jenis dari lamun dan fauna asosiasi, di sajikan pada tabel 10 dan 11.
Tabel 9. Jenis lamun di perairan Desa Tanjung Sebauk Famili
Spesies
Enhalus acoroides Hydrocharitaceae
Halophila minor Thalassia hemprichii Syringodium isoetifolium
Cymodoceaceae Cymodocea serrulata
Tabel 10. Jenis Fauna di Perairan Desa Tanjung Sebauk Nama lokal
Spesies
Protoreaster nodulosus Bintang laut Protoreaster nodosus
Rajungan Syclla serrata Pranaesus duodecimalis
Ikan Gerres macrosoma
Kerang Polymesoda expansa Udang
Macrobacium sp
4.3.1.1 Suhu perairan
Dari hasil pengukuran suhu, perairan pantai Desa Tanjung Sebauk berkisar
C dan masih berada pada suhu normal untuk pertumbuhan lamun. Menurut Hutomo (1985) suhu yang normal untuk pertumbuhan lamun di perairan
27 o – 29
Suhu perairan untuk Enhalus acoroides
Dharmayanthi (1989) dalam Faiqoh (2006) dalam Hasanah (2014) menemukan bahwa kisaran suhu Enhalus acoroides yang tumbuh di pulau Lima
(Serang, Banten) adalah 26-27 0
C. Sedangkan menurut Erftemeijer and Middelburg (1993) dalam Hasanah (2014) Enhalus tumbuh pada temperatur 26,5-
C yang pada saat siang hari di perairan dangkal dan pada saat air sedang surut suhu ini dapat mencapai 38 0 C.
Suhu perairan untuk Halophila minor
Sambara (2014) mendapatkan Halophila sp hidup pada kisaran suhu 29 – 32
0 C di Pulau Barrang Lompo.
Suhu perairan untuk Thalassia heprichii
Sambara (2014) mendapatkan Thalassia hemprichii hidup pada kisaran suhu
29 0 – 32 C di Pulau Barrang Lompo.
Suhu perairan untuk Syringodium isoetifolium
Hendra (2011) menemukan Syringodium isoetifolium tumbuh pada temperatur 30 0 C di perairan Pulau Barrang Lompo.
Suhu perairan untuk Cymodocea serrulata
Sambara (2014) mendapatkan Cymodocea sp hidup pada kisaran suhu 29 –
32 0 C di Pulau Barrang Lompo.
4.3.1.2 Kecepatan arus perairan
Terjadi perbedaan kecepatan arus pada saat pagi dan sore. Hal ini disebabkan oleh tiupan angin dan arus yang tidak menentu sehingga mampu mengubah gerakan air yang berada di permukaan perairan.
Kecepatan arus perairan berpengaruh pada produktifitas padang lamun. Arus tidak memengaruhi penetrasi cahaya, kecuali jika mengangkat sedimen sehingga mengurangi cahaya yang masuk dalam suatu perairan (Moore, 1996). Lamun mempunyai kemampuan maksimal untuk menghasilkan standing crop pada saat kecepatan arus 0,5 m/detik yang masih termasuk kondisi yang baik untuk pertumbuhan lamun (Dahuri et al., 2001 ; Irwanto, 2010; Hasanah 2014).
Kecepatan arus untuk Enhalus acoroides
Kisaran arus yang didapatkan pada daerah lokasi adalah 0,007 m/detik – 0,039 m/detik untuk lamun jenis Enhalus acoroides (Sambara, 2014).
Kecepatan arus untuk Halophila minor
Kisaran arus yang didapatkan pada daerah lokasi adalah 0,007 m/detik – 0,039 m/detik untuk lamun jenis Halophila sp (Sambara, 2014).
Kecepatan arus untuk Thalassia hemprichii
Kisaran arus yang didapatkan pada daerah lokasi adalah 0,007 m/detik – 0,039 m/detik untuk lamun jenis Thalassia hemprichii (Sambara, 2014).
Kecepatan arus untuk Syringodium isoetifolium
Kecepatan arus perairan dilokasi penelitian untuk stasiun Syringodium isoetifolium adalah 0,0214 m/s (Hendra, 2011).
Kecepatan arus untuk Cymodocea serrulata
Kisaran arus yang didapatkan pada daerah lokasi adalah 0,007 m/detik – 0,039 m/detik untuk lamun jenis Cymodocea sp (Sambara, 2014).
4.3.1.3 Salinitas
Salinitas perairan Desa Tanjung Sebauk berkisar antara 25,5 ‰ -35,5‰. Hal ini didukung oleh Hutomo (1999) menjelaskan bahwa lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar yaitu 10- 40‰. Nilai salinitas yang optimum untuk lamun adalah 35‰. Walaupun spesies lamun memiliki toleransi terhadap salinitas
yang berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang besar terhadap salinitas yaitu antara 10- 30 ‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis.
Salinitas untuk Enhalus acoroides
Hasil penelitian Lanuru (2011) dalam Hasanah (2014) menyatakan bahwa lamun Enhalus acoroides dapat hidup pada kisaran salinitas antara 28-32 ‰ di Pulau Lae lae, Makassar.
Salinitas untuk Halophila minor
Hasil penelitian Sambara (2014) menemukan pada bentuk vegetatif lamun yang salah satunya adalah Halophila sp hidup pada kisaran salinitas antara 30 - 35‰ di Pulau Barrang Lompo.
Salinitas untuk Thalassia sp
Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 3,5-60 ‰, namun dengan waktu toleransi yang singkat. Kisaran optimum untuk pertumbuhan Thalassia dilaporkan dari salinitas 24-35 ‰ (Azkab, 1999 dalam Hendra, 2011).
Salinitas untuk Syringodium isoetifolium
Hasil penelitian Hendra (2011) menyatakan bahwa lamun Syringodium isoetifolium dapat hidup pada salinitas 35 ‰ di Pulau Barrang Lompo.
Salinitas untuk Cymodocea serrulata
Hasil penelitian Sambara (2014) menemukan pada bentuk vegetatif lamun yang salah satunya adalah Cymodocea sp hidup pada kisaran salinitas antara 30 - 35‰ di Pulau Barrang Lompo.
4.3.1.4 Oksigen Terlarut
Kandungan oksigen terlarut yang optimum bagi pertumbuhan lamun dan organisme asosiasinya pada suatu perairan adalah lebih dari 5 mg/L (Baku Mutu air laut Mentri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Th. 2004). Rata-rata oksigen terlarut di Desa Tanjung Sebauk adalah 8<x<8,5 yang menandakan oksigen terlarut di lokasi ini termasuk dalam kategori optimum bagi pertumbuhan lamun organisme asosiasinya.
Oksigen Terlarut untuk Enhalus acoroides
Kisaran oksigen terlarut yang didapatkan di perairan Pulau Bonetambung yang ada pada vegetasi Enhalus acoroides adalah 3,4 – 5,47 mg/L (Qurahman, 2013).
Oksigen Terlarut untuk Halophila minor
Kisaran oksigen terlarut (DO) yang didapatkan di perairan Pulau Mantehage, Sulawesi Utara yang ada pada vegetasi Halophila minor adalah antara 4,19 – 5,99 mg/L (Patty, et al., 2013).
Oksigen Terlarut untuk Thalassia hemprichii
Kisaran oksigen terlarut yang didapatkan di perairan Pulau Bonetambung yang ada pada vegetasi Thalassia hemprichii adalah 3,4 – 5,47 mg/L (Qurahman, 2013).
Oksigen Terlarut untuk Syringodium isoetifolium
Hasil penelitian Hendra (2011) menyatakan bahwa lamun Syringodium isoetifolium dapat hidup pada kandungan DO 4,86 mg/L di Pulau Barrang Lompo.
Oksigen Terlarut untuk Cymodocea serrulata
Hasil penelitian Syahid (2014) menyatakan bahwa lamun Cymodocea sp dapat hidup pada kandungan DO 7,2 – 7,6 mg/L di Pulau Miangas.
4.3.1.5 Derajat Keasaman (pH)
Hasil pengukuran kandungan derajat keasaman di perairan Desa Tanjung Sebauk Kecamatan Tanjungpinang Kota Kepulauan Riau adalah 6,9<x<8 yang menandakan bahwa perairan ini memiliki produktivitas yang sangat tinggi. Menurut Odum (1971) air laut merupakan sistem penyangga yang sangat luas dengan pH relatif stabil sebesar 7,0-8,5. Ini membuktikan bahwa perairan Desa Tanjung Sebauk tergolong stabil berdasarkan pH.
pH perairan untuk Enhalus acoroides
pH perairan untuk Enhalus acoroides ditemukan pada kisaran nilai 6 – 8 (Feryatun, et al. 2012).
pH perairan untuk Halophila minor
pH perairan untuk Halophila sp ditemukan pada kisaran nilai 8 (Feryatun, et al. 2012).
pH perairan untuk Thalassia hemprichii
pH perairan untuk Thalassia hemprichii ditemukan pada kisaran nilai 6 –8 (Feryatun, et al. 2012).
pH perairan untuk Syringodium isoetifolium
pH perairan untuk Syringodium isoetifolium ditemukan pada kisaran nilai 7 – 8 (Feryatun, et al. 2012).
pH perairan untuk Cymodocea serrulata
pH perairan untuk Cymodocea serrulata ditemukan pada kisaran nilai 6 –8 (Feryatun, et al. 2012).
4.3.1.6 Lamun
Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai yang dasarnya bisa berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, Pendukung lain adalah kecerahan perairan yang tinggi, suhu yang stabil, dengan kedalaman sekitar 1 – 10 meter. Pada perairan yang sangat jernih, beberapa jenis lamun ditemukan tumbuh di kedalaman 8 hingga 15 meter.
4.3.1.7 Fauna Asosiasi Perairan
Pada perairan Desa Tanjung Sebauk terdapat jenis-jenis fauna yang berupa rajungan, udang, ikan, kerang-kerangan dan bintang laut. Jenis yang mendominasi di lokasi ini adalah dari jenis ikan seperti ikan bilis, ikan sembilang dan selangat dan juga dari jenis rajungan. Data ini didapatkan melalui pengamatan langsung
4.3.1.8 Keterkaitan Kualitas Perairan dan Lamun
Perairan Desa Tanjung Sebauk merupakan perairan ekosistem lamun masih berada dalam batas toleransi bagi lamun dan biota asosiasi sekitarnya. Hal ini dibuktikan dengan referensi yang mendukung bagi lamun dan biota asosiasinya. Berikut tabel pengukuran kualitas perairan Desa Tanjung Sebauk yang dibandingkan dengan KepMen. LH No. 51 tahun 2004 dan referensi terkait.
Tabel 11. Keterkaitan kualitas perairan lamun dibandingkan baku mutu Parameter
Rata-
Baku
No. Keterangan*** Perairan
Rata*
Mutu**
Menurut Hutomo (1985) suhu yang o
normal untuk pertumbuhan lamun di
1 Suhu ( C)
perairan tropis berkisar antara 24 °C –
35 °C.. Hutomo (1999), lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda
terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar yaitu 10- 40‰.
Kecepatan arus
(cm/s)
Odum (1971) air laut merupakan sistem penyangga yang sangat luas
dengan pH relatif stabil sebesar 7,0-
Effendi (2003), perairan yang mempunyai konsentrasi oksigen
5 DO (mg/L)
terlarut >5 mg/L merupakan perairan yang tidak tercemar.
Sumber: *Data Primer **KepMen. LH no. 51 tahun 2004, tentang baku mutu air laut untuk biota laut ***Referensi Terkait
4.3.2. Sumberdaya Perikanan
4.3.2.1 Kondisi Umum Perikanan
Desa Tanjung Sebauk adalah salah satu Desa yang terdapat di wilayah Kecamatan Tanjungpinang Kota Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah perairan di Desa Tanjung Sebauk banyak dilakukan juga aktivitas nelayan, desa ini juga terdapat Tempat Penjualan Ikan yang bermanfaat bagi perekonomian warga setempat.
4.3.2.2 Perikanan Tangkap
a. Masyarakat Nelayan
Dari hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan dengan Kepala Desa Tanjung Sebauk diketahui bahwa kegiatan perikanan di desa ini secara umum dilakukan secara turun temurun. Jika dilihat dari jenis usaha penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan, maka perikanan di daerah ini termasuk perikanan pantai dan perikanan lepas pantai.
Nelayan yang ada di desa Tanjung Sebauk umumnya merupakan nelayan tetap dimana profesi nelayan dijadikan mata pencaharian utama. Kehidupan masyarakat nelayan desa pengujan tergolong sederhana. Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan desa Tanjung Sebauk sebagian kecil untuk dikonsumsi sendiri oleh nelayan atau di jual kepada masyarakat desa. Ikan yang tersisa dibawa langsung ke Tempat Penjualan Ikan. Dalam menjual hasil perikanan yang menentukan harga adalah para pengumpul.
Faktor pendidikan merupakan prioritas utama bagi setiap nelayan karena walaupun aktivitas penangkapan yang mereka lakukan bersifat tradisional, masyarakat nelayan Desa Tanjung Sebauk tetap menjunjung nilai pendidikan. Ini didukung dengan data dari Kepala Desa dimana nelayan desa Tanjung Sebauk rata – rata mengakhiri pendidikannya pada jenjang SMA.
b. Musim tangkap
Nelayan yang ada di Desa Tanjung Sebauk dipengaruhi oleh musim di saat akan melakukan penangkapan. Pada musim angin bertiup dari arah utara angin sangat kencang dan laut berombak besar, sehingga mereka tidak turun untuk melaut.
Biasanya nelayan akan turun melaut pada saat musim timur, karena angin bertiup pelan dan laut relatif tidak berombak. Ada juga musim selatan meskipun angin agak kencang dan laut relatif berombak nelayan masih bisa juga melaut. Ada juga musim barat keadaan angin relatif tidak stabil sehingga terkadang mereka harus turun melaut dan bahkan tidak bisa sama sekali.
c. Alat penangkapan ikan
Alat tangkap merupakan salah satu faktor utama dari beberapa faktor yang akan menentukan keberhasilan suatu usaha perikanan. Dari info yang didapatkan dari Kepala Desa di dapat hasil yaitu alat tangkap yang biasa dipakai oleh masyarakat di Desa Tanjung Sebauk yaitu jaring, kelong, sondong dan bubu.
Alat tangkap yang biasa digunakan di daerah pengujan salah satunya adalah jaring insang. Jaring insang adalah alat penangkapan ikan berbentuk lembaran jaring empat persegi panjang, yang mempunyai ukuran mata jaring merata. Jaring ini disebut jaring insang karena cara tertangkapnya ikan adalah ikan terjerat di bagian insangnya di mata jaring. Ukuran ikan yang tertangkap relatif seragam.
Cara pengoprasian jaring yaitu dengan cara membentang jaring pada daerah yang diinginkan dengan diameter kedalaman tertentu. Hasil tangkapan yang didapat dalam sehari penangkapan bisa mencapai puluhan kg. Adapun jenis-jenis yang ditangkap seperti ikan selar (Selaroides sp), ikan kembung, dan beberapa jenis ikan lainnya. Pada jenis udang, udang galah juga bisa tertangkap dan bahkan kadang menjadi tujuan nelayan untuk menangkapnya meskipun kadang yang tertangkap adalah kepiting rajungan.
Kelong merupakan suatu kreasi manusia untuk menangkap ikan, dalam hal ini masyarakat Desa Tanjung Sebauk menggunakan kelong sebagai menangkap ikan bilis/teri.
Selain dari jaring insang, kelong, adalagi bubu yang merupakan salah satu alat tangkap yang di pakai oleh masyarakat desa pengujan alat tangkap ini dikenal pada kalangan masyarakat desa pengujan yang berupa jebakan yang bersifat pasif. Sebagian besar yang digunakan oleh masyarakat Desa Tanjung Sebauk ini adalah bubu kepiting. Cara pengoperasian dengan menurunkan alat dan mengulurkan tali sampai kedalaman tertentu. Adapun hewan yang ditangkap seperti ketam bakau (Scylla serrsts).
Sondong merupakan alat tradisional yang biasa digunakan oleh masyarakat Desa Tanjung Sebauk untuk menangkap udang. Mereka biasa memakai alat sondong ini pada saat air laut sedang mau surut hongga mau pasang. Alat ini digunakan dengan cara di dorong agar udang bisa masuk kedalam alat sondong ini. Biasanya mereka bisa mendapatkan hasil tangkapannya berupa udang.
Peningkatan produksi perikanan tidak terlepas dari tersedianya kapal perikanan, operasi penangkapan pada areal yang luas dan keterampilan dari nelayan itu sendiri. Armada perikanan yang ada di desa Tanjung Sebauk berdasarkan data yang diperoleh dari Kepala Desa serta berdasarkan hasil observasi langsung ke lapangan adalah perahu motor dan perahu tanpa motor.
Armada penangkapan didesa Tanjung Sebauk sudah tergolong menuju modern karena dapat dilihat sebagian besar nelayan menggunakan perahu motor untuk menangkap ikan. Hal ini karena nelayan setempat memikirkan waktu yang ditempuh dengan perahu motor akan lebih cepat sehingga waktu penangkapan ikan lebih banyak.
Budidaya perairan adalah suatu seni atau kreasi manusia untuk memelihara, mambesarkan dan menumbuhkan organisme dalam perairan secara terkontrol untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang besar. Potensi perikanan laut untuk Budidaya perairan adalah suatu seni atau kreasi manusia untuk memelihara, mambesarkan dan menumbuhkan organisme dalam perairan secara terkontrol untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang besar. Potensi perikanan laut untuk