Penegakan Hukum vs Operasi Militer dalam

PENEGAKAN HUKUM vs OPERASI MILITER
DALAM PENANGANAN TERORISME
oleh : STANISLAUS RIYANTA
email : stanislausriyanta@gmail.com

Pendahuluan
Sabtu 8 Agustus 2009 di Temanggung Jawa Tengah, polisi melakukan
penyerbuan ke sebuah rumah yang diduga menjadi sarang teroris. Tidak
tanggung-tanggung, pasukan polisi dari Densus 88/AT Mabes Polri turun
langsung. Tembak (menembak) terjadi selama hampir 17 jam. Tidak hanya
tembakan dari senapan yang ditampilkan oleh polisi tetapi juga ledakan-ledakan
yang diarahkan ke rumah sasaran. Lebih hebat lagi adalah peristiwa ini disiarkan
secara langsung oleh stasiun televisi. Hasil dari 17 jam serbuan tersebut adalah
korban tewas, hanya satu, bernama Ibrohim
Terlepas dari siapa yang berhasil ditembak dalam serbuan 17 jam tersebut,
banyak pihak menyibir aksi polisi. Ada pihak yang mengatakan serbuan tersebut
adalah rekayasa1, dianggap proyek, dan tidak transparan.
Secara teknis proses penyergapan atau penyerbuan tersebut juga tidak
efektif. Amunisi yang dihamburkan dari puluhan senjata selama 17 jam ternyata
hanya untuk melawan dan melumpuhkan (hingga tewas) seorang teroris.
Suara-suara publik akhirnya bermunculan, kenapa harus Densus 88 atau

Polisi yang melakukan penyerbuan? Kenapa bukan pasukan khusus dari TNI
seperti Sat Gultor-81/Kopassus yang sudah teruji dan berpengalaman diturunkan?
Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan institusi antara Polri dan TNI terus menguat. Polri
menjalankan amanat undang-undang untuk melakukan penanganan aksi terorisme.
TNI mempunyai tugas dalam operasi militer selain perang dalam penanganan

1

Dien Syamsuddin mencurigai bahwa penangkapan teroris hanya proyek rekayasa, dan tidak
transparan. Sumber berita di http://nasional.tempo.co/read/news/2013/08/06/063502587/diensyamsuddin-curiga-rekayasa-kasus-teroris

terorisme. Selain itu TNI mempunyai pasukan-pasukan penanggulangan teror
yang dianggap lebih mampu dan cakap dalam melawan teror.
Pemisahan Polri dan TNI yang diatur dalam UUD 1945 pasal 30 ayat 2,
mempertegas TNI untuk kembali ke barak dan berada dalam posisi menjaga
pertahanan negara. Kewenangan polisi di bidang keamanan dan penagakan hukum
yang bersentuhan dengan masyarakat seringkali menjadi gesekan antara Polri
dengan TNI. Hal ini tentu akan berbahaya jika gesekan tersebut juga muncul
dalam penanganan terorisme.

Polisi atau Tentara?
Pertanyaan umum muncul, mengapa dalam penanganan teroris, polisi yang
bertindak, mengapa bukan TNI? Mengapa penanganan terorisme dengan
pendekatan penegakan hukum, bukan operasi militer yang lebih cepat?
Esensi sebenarnya untuk menjawab pertentangan antara siapa yang lebih
tepat menangani masalah terorisme, Polri atau TNI, bukan hanya soal kemampuan
teknis melawan teroris, tetapi lebih pada kewenangan sesuai hukum dan dampak.
TAP MPR-RI No VI/MPR-RI/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri
secara tegas menyebutkan kewenangan masing-masing. TNI mempunyai peran
dalam pertahanan negara, Polri berperan dalam memelihara keamanan. Dijelaskan
juga jika ada kegiatan yang berkaitan antara pertahanan dan keamanan maka TNI
dan Polri harus bekerja sama.
Pertanyaannya adalah apakah penanganan teroris akan menggunakan
penegakan hukum yang ditangani oleh Polri atau menggunakan pendekatan
operasi militer yang ditangani oleh TNI. Bagaimana dasar pelaksanaan dan
dampaknya?
Penegakan Hukum
Majelis Umum PBB pada 1999 mendefinisikan terorisme sebagai berikut :
semua kejahatan yang dimaksudkan untuk memprovokasi atau melahirkan terror
kepada masyarakat umum, kepada sekelompok orang atau kepada orang-orang

tertentu untuk tujuan-tujuan politik tertentu yang tak dapat dijustifikasi baik
secara politik, filosofis, ideologis, rasial, etnis, agama dan lain-lain.

Terorisme dapat dikatakan sebagai suatu kriminal politik, untuk
membedakan dengan tindak kriminal umum. Tindakan kriminal politik dilandasi
oleh motif dilakukannya tindakan kriminal yang biasanya memperjuangan suatu
keyakinan dan aliran tertentu.
Pelaku teror adalah wargan negara, yang kebetulan mempunyai haluan dan
cara pandang yang beda. Teroris memaksakan kehendaknya dengan cara
kekerasan. Penegakan hukum dilakukan polisi agar warga negara tersebut jera dan
berubah serta kembali ke lingkungannya sebagai warga negara yang baik. Mereka
tidak dianggap sebagai musuh seperti dalam terminologi perang.
Saat ini dasar hukum bagi penanggulangan terorisme adalah UndangUndang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sesuai dengan undang-undang tersebut maka yang berhak melakukan penyidikan,
penangkapan, dan penahanan adalah kepolisian. Hal inilah yang menjadi dasar
polisi melakukan tindakan-tindakan terhadap kasus terorisme.
Penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri sudah tepat dan sesuai
dengan koridor hukum. Pertentangan yang terjadi didasari oleh adanya ancaman
terorisme perlu pendekatan kekuatan tempur untuk melawan terorisme yang lebih
tepat jika dilakukan oleh militer, walaupun secara teknis polisi sudah mempunyai

unit khusus untuk melakukan hal tersebut yaitu Densus 88/AT Mabes Polri.
Operasi Militer
Peran TNI dalam menangani terorisme disebutkan dalam UU No 34 Tahun
2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pasal 7 yang menyebutkan terdapat dua
operasi militer yaitu (a) operasi militer untuk perang, dan (b) operasi militer selain
perang. Pada poin b disebutkan bahwa operasi militer selain peran adalah (3)
mengatasi aksi terorisme, point lain menyebutkan (1) membantu Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban
masyarakat yang diatur dalam undang-undang.
Secara hukum jika mengacu UU No 34 Tahun 2004 maka jika TNI terlibat
dalam penangana terorisme dengan menggunakan operasi militer adalah sah. UU
No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menjadi salah satu rujukan selain
UU No 34 Tahun 2004, menyebutkan bahwa dalam menghadapi ancaman yang

bersifat militer, TNI merupakan komponen utama dalam sistem pertahanan
nasional, sedangkan komponen-komponen lain merupakan komponen pendukung.
Dalam menghadapi berbagai ancaman non-militer, TNI merupakan
komponen pendukung sedangkan komponen lainnya tergantung pada sifat dan
jenis ancaman, dapat menjadi kompnen utama.
UU No 3 Tahun 2002 ini bisa menjadi landasan TNI dalam menangani

teroris mengingat teroris termasuk ancaman nasional seperti tertuang dalam UU
No 15 Tahun 2003 poin (b) bahwa terorisme merupakan kejahatan lintas negara,
terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan
keamanan nasional maupun international.
Secara logika hukum maka tidak ada hal yang dilanggar jika TNI terlibat
dalam penanganan terorisme di Indonesia. Tetapi menangani terorisme dengan
pendekatan operasi militer akan membawa masalah terorisme ke dalam suasana
tempur/perang. Teroris akan ditumpas hingga kalah, doktrin TNI memang
demikian. Hal tersebut juga pasti bukan persoalan bagi TNI yang mempunyai
kemampuan penanggulangan teror
Selanjutnya setelah ditumpas dengan pendekatan operasi militer apakah
terorisme

akan

selesai?

Bagaimana

dengan


jaringannya,

keluarganya,

simpatisannya? Bagaimana jika mereka dendam? Bukankah hal tersebut akan
menjadikan musuh baru bagi negara?

Mereka tidak akan jera, justru akan

semakin nekad karena sentimen/kebencian yang semakin bertambah.
Pembagian Peran
Peran Polri dan TNI harus diatur dengan jelas dan diberi kekuatan hukum.
Tanpa kekuatan hukum maka justru akan menjadi masalah tersendiri yang akan
mengurangi kekuatan dan konsentrasi tugas utama untuk menangani terorisme.
Konflik kepentingan antara Polri dan TNI akan terus terjadi selama tidak
ada ketentuan hukum yang secara tegas mengatur fungsi dan peran masingmasing institusi.
Pembagian peran sebaiknya dalam rangka untuk penguatan penanganan
terorisme, bukan sekedar untuk pembagian proyek atau untuk menunjukkan
eksistensi institusi. Untuk menghandari hal tersebut maka peran apapun yang


dilakukan oleh Polri atau TNI sebaiknya dibawah lembaga tersendiri, (bukan Polri
atau TNI), seperti BNPT.
Contoh pembagian peran berdasarkan kondisi, yang sebaiknya penentuan tingkat
kondisi dilakukan oleh BNPT , yang penulis usulkan adalah sebagai berikut :
Kodisi Teror
Indikasi ada gerakan
terorisme
Ada ancaman
terorisme

Peran Polri
Melakukan penyelidikan

Terjadi tindak
terorisme yang
mengancam /
menimbulkan korban
masyarakat


Melakukan penggulangan,
penyelidikan, penyidikan,
dan penanganan korban.

Terjadi serangan
terorisme terhadap
instansi pemerintah /
simbol negara

Polri melakukan backup,
jika TNI belum ada di
tempat maka Polri
melakukan tindakan awal
penaggulangan hingga
TNI datang/siap.

Penyelidikan dan
Pencegahan

Peran TNI

Membantu dengan
informasi intelijen
Memberikan back up
kepada Polri jika
diperlukan/diminta
Memberikan back up
kepada Polri, jika Polri
belum ada di tempat maka
TNI melakukan tindakan
awal penanggulangan
hingga Polri datang/siap.
TNI melakukan tindakan
penanggulangan

Pembagian peran Polri dan TNI dalam penanganan terorisme sangat rawan
akan gesekan lapangan. Jika hal ini terjadi maka harus dilakukan penguatan
lembaga penanganan terorisme seperti BNPT yang berfungsi sebagai koordinator
kegiatan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden No 46 Tahun 2010 tentang
pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Tugas dari BNPT
sesuai dengan Pepres tersebut adalah :

1. Menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang
penanggulangan terorisme
2. Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan dan
melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme
3. Melaksanakan kebijakan di bidang penanggulangan terorisme dengan
membentuk Satuan Tugas-Satuan Tugas yang terdiri dari unsur-unsur

institusi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan
masing-masing.
Mengacu pada Pepres tersebut, maka sudah tepat jika BNPT menjadi
koordinator dalam penanganan (penanggulangan terorisme) termasuk membagi
peran Polri dan TNI sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya masingmasing.
Kerjasama Intelijen
Mengingat ancaman terorisme yang bisa berdampak besar bagi masyarakat
dan negara, maka Polri dituntut mempunyai peran tidak hanya pada penegakan
hukum tetapi juga pada pencegahan, deteksi dini dan peringatan dini, dengan
memaksimalkan fungsi intelijen.
Dalam kegiatan intelijen untuk penanggulangan terorisme, TNI dapat
menujukkan peran dan wewenangnya dengan baik dan sesuai dengan ketentuan
hukum untuk mendukung Polri. Produk intelijen TNI tentang terorisme dapat

digunakan oleh Polri untuk langkah lebih lanjut. Hal ini sesuai dengan UndangUndang No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme ayat 26 pasal 1 yang
berbunyi “untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat
menggunakan setiap Laporan Intelijen”
Intelijen Polri dapat berkoordinasi dan bekerja sama dengan intelijen dari
instansi lain seperti dari Kementrian Luar Negri, Kementrian Dalam Negeri,
PPATK, BAIS TNI, dan kegiatan intelijen tersebut jika melibatkan organisasi lain
sebaiknya dalam koordinasi Badan Intelijen Negara.
Hal ini sekaligus guna menjalankan amanat UU No 17 Tahun 2011 yang
menyebutkan Badan Intelijen Negara berkedudukan sebagai koordinator
penyelenggara Intelijen Negara. Penyelenggara Intelijen Negara lainnya, yaitu
Intelijen

TNI,

Intelijen

Kepolisian,

Intelijen

Kejaksaan

dan

Intelijen

Kementerian/lembaga pemerintah non-Kementerian wajib berkoordinasi dengan
Badan Intelijen Negara
Rekomendasi dan Kesimpulan

Mengingat masih adanya kontroversi tentang pembagian peran Polri dan
TNI dalam penanganan terorisme, terutama dengan adanya rancangan Peraturan
Presiden

tentang

Penataan

Organisasi

yang

diajukan

oleh TNI

yang

mengindikasikan “keluar barak” dan menyentuh area keamanan 2, maka
direkomendasikan dalam konteks penanganan terorisme sebagai berikut :


Adanya penguatan fungsi dan wewenang Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme, penguatan ini yang akan mengatur gerakan Polri dan TNI
dalam penanganan terorisme di bawah BNPT, bukan Kapolri atau
Panglima TNI.



Mempertegas kewenangan BNPT selaku badan yang menangani masalah
terorisme, termasuk sebagai koordinator, agar tidak tumpang tindih dengan
kewenangan institusi lain.



Membagi peranan Polri dan TNI dengan syarat dan kondisi tertentu yang
tertuang dalam aturan yang jelas, dengan rincian kapan menjadi domain
Polri, kapan menjadi domain TNI, atau kapan Polri dan TNI melakukan
penanganan secara bersama-sama.



Jika terdapat suatu kegiatan/operasi yang melibatkan Polri dan TNI secara
bersama-sama, maka kegiatan tersebut sebaiknya dibawah kendali BNPT,
bukan Kapolri atau Panglima TNI, hal ini untuk menghindari ego sektoral.
Contoh kerjasama lembaga dapat melihat pada penanganan bencana yang
merupakan salah satu tugas TNI dalam operasi militer selain perang.
Ketika TNI megirimkan pasukan untuk penanganan bencana maka TNI
berada di bawah kendali Badan SAR Nasional. Hal ini juga bisa dilakukan
jika TNI akan melakukan operasi pembersihan pengguna narkoba di
internal TNI, maka POM TNI dapat di-BKO- di bawah BNN.



Kegiatan bersama antara Polri dan TNI sebaiknya tidak hanya dalam
operasi penanganan terorisme, tetapi harus diawali dengan latihan
bersama/gabungan di bawah kendali BNPT dan kerjasama pertukaran
informasi intelijen, sehingga kegiatan selanjutnya di lapangan tidak terjadi
gesekan.

2

Lihat di Majalah Tempo edisi 8 November 2015 hal 84-85, “Muslihat Ke Luar Barak”

Peran bersama Polri dan TNI dalam penanganan terorisme jika diatur
dengan baik dan meninggalkan ego sektoral, jika ditujukan untuk kepentingan
mencegah ancaman kepada negara, bukan sesuatu yang haram. Kepentingan
negara harus diutamakan.
Hal paling esensial adalah jangan sampai terjadi rebutan peran atau proyek
penanganan terorisme. Jika terjadi, maka hal tersebut justru akan menjadi
ancaman yang serius, lebih dari ancaman terorisme.
Penguatan BNPT sebagai koordinator penanganan terorisme, yang
dilengkapi dengan penguatan lembaga dan ketentuan hukum untuk menentukan
kewenangan dan peran Polri dan TNI sesuai dengan kondisi yang terjadi, dapat
mencegah konflik kepentingan antar institusi.
TNI dan Polri harus bekerja sama dalam kegiatan intelijen untuk deteksi
dini dan peringatan dini (pencegahan) ancaman terorisme. Polri melakukan
tindakan penegakan hukum dan penanggulangan aksi terorisme dalam konteks
menjaga keamanan negara. TNI siap siaga untuk membantu Polri jika terjadi aksi
terorisme yang harus diatasi dengan pendekatan tempur. ***
*) Stanislaus Riyanta, peneliti masalah keamanan dan terorisme, alumnus
Program Pascasarjana S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.

Bahan Bacaan
1. Strategi Penguatan Hukum dan Deradikalisasi dalam Mengeliminasi
Tindak Pidana Terorisme oleh Dr. Petrus Reinhard Golese.
2. Ratifikasi Konvensi Multilateral Terkait Pemberantasan Terorisme oleh
Indra Rosandry.
3. Pengembangan Pemikiran dan Solusi Strategis Penanggulangan Aksi
Terorisme dalam Perspektif Hukum dan HAM oleh Usman Hamid
4. Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun Formil terhadap UU No.
15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme oleh T.
Nasrullah.