Intervensi Militer Terhadap Politik Thai

Intervensi Militer Terhadap Politik Thailand
(Studi Kasus: Kudeta tahun 1991 dan 2006)
Arita Gloria Zulkifli
1306460961
Abstract

This paper aims to explain how and why the military had a consistent influence in Thailand’s
politics since the 1990s, by explaining two specific casual explanation at the intervention on 1991
and 2006. A comparative analysis is used to explain the extention of Thailand’s military
involvement, before and after both two coups. Referring to a journal written by Katsamaporn
Rakson, this paper will review the military’s role in Thailand’s political system by seeing the cause
of military intervention, then to describe the pattern of the military interventions in 1996 and 2006
coups, and analysing the difference of both’s coups.

Keywords: Thailand military, coups, military intervention, democracy.

Pendahuluan
Hubungan militer dan sipil merupakan suatu permasalahan klasik yang acap terjadi banyak
negara, terutama di negara dengan kriteria dan kondisi sosial politik dan ekonominya cenderung
tidak stabil. Dalam keadaan pemerintahan sipil tidak lagi mampu mengelola permasalahan
negaranya, militer cenderung untuk masuk dalam politik demi menstabilkan keadaan. Sikap militer

dalam intervensi politik berkaitan dengan perilaku pemerintah sipil dalam menjaga negara. Jika
pelanggaran pemerintahan sipil itu kekuatan yang mengarah ke penghancuran pemerintahan,
motivasi militer untuk campur tangan dalam politik semakin menguat.
Dasar dari keterlibatan militer Thailand dalam politik merupakan akibat dari pengakuan
militer sebagai wali negara serta melaksanakan kepentingannya dalam menjaga baik negara maupun
perusahan dari angkatan bersenjata. Alasan yang menjadikan Thailand terus mempertahankan
kebijakan intervensi pemerintahan selama beberapa dekade adalah keyakinan bahwa sentralitas dari
lembaga-nya kuat untuk melindungi negara dari rasa ketidak aman-an. Militer Thailand
mendefinisikan dirinya sebagai lembaga Thailand yang paling terorganisir, dan lembaga yang
1

paling disiplin sejak revolusi tahun 1932. Di Thailand, pemikiran bahwa militer merupakan ‘tulang
punggung negara’ merupakan pemikiran yang masih tetap kuat1. Dengan dibawah konsep respect,
deference and loyalty to superiors, atau konsep hormat, keseganan dan kesetiaan pada atasan,
militer Thailand selalu berusaha untuk menyesuaikan struktur hirarkis-nya ke dalam kerangka
politik di Thailand2. Akibatnya, tingkat intervensi militer di dalam politik Thailand mulai dikurangi.
Untuk memahami penggambaran peran militer dalam politik di Thailand, penting untuk kita
memahami bagaimana militer di Thailand mempertahankan profesionalismenya dalam mengintervensi urusan politik. Di Thailand, militer menganggap dirinya sebagai sebuah lembaga
profesional yang bertanggung jawab untuk melindungi negara dengan mengintervensi dalam politik
ketika dibutuhkan. Namun, hal tersebut bukan menjadi jaminan bahwa militer Thailand benar-benar

profesional dalam menjalankan perannya terutama ketika mengintervensi urusan politik Thailand.
Jika dilihat hingga hari ini, keterlibatan militer dalam politik Thailand masih terus ada. Militer
cenderung mempertahankan pengaruh nya dalam tingkat tinggi pada urusan politik dan ekonomi
demi kepentingannya sendiri daripada untuk melayani kepentingan masyarakat umum. Sebagai
contoh, militer malah justru menjadi penghalang normatif untuk demokrasi yang stabil3.
Pada tahun 1991, meskipun militer Thailand mendominasi politik sesuai dengan peran yang
diyakini-nya profesional, ia tetap mengabaikan aturan-aturan demokrasi. Jika militer memiliki motif
dan alasan yang kuat untuk melindungi negara ketika terjadi ancaman, maka militer boleh
mengintervensi urusan politik4.
Militer Thailand memiliki ideologi militer yang kuat dan penting dalam memandu
tindakannya. Kewajiban dari ideologi ini terdiri dari loyalitas monarki, layanan pengorbanan untuk
negara, perlindungan dan promosi demokrasi dan pertahanan kehormatan dan prestise dari institusi
militer itu sendiri.
Keberhasilan meluncurkan kudeta di Thailand tergantung pada kapasitas militer untuk
memobilisasi kekuatannya dengan menggulingkan pemerintah-dengan sipil atau tanpa penggunaan
aktual kekerasan sesuai dengan pola-pola intervensi militer, sebagai contoh tahun 1991 dan 2006.
Meskipun kedua intervensi memperlihatkan pola non-kekerasan serupa untuk menggulingkan
1

http://www.murdoch.edu.au/Research-capabilities/Asia-Research-Centre/_document/working-papers/wp166.pdf

diakses pada 15 Februari 2016 pukul 17:23 WIB.
2

Ibid.

3

Huntington, S.P. (1995). ‘Reforming civil-military relations’, Journal of Democracy, hal. 15.

4

http://www.murdoch.edu.au/Research-capabilities/Asia-Research-Centre/_document/working-papers/wp166.pdf
diakses pada 15 Februari 2016 pukul 18:06 WIB.

2

pemerintah Chatchai dan Thaksin, peluncuran kudeta pada 1991 itu lebih cepat, berlangsung sekitar
empat tahun ke masa pemerintah Chatchai (1988-1991) dengan tujuan konservasi kepentingan
militer sendiri.
Kekuatan militer digunakan untuk melestarikan kepentingan bisnis seperti perusahaan milik

militer termasuk stasiun radio dan televisi, lembaga keuangan dan perusahaan saham-trading, yang
bisa terancam dibubarkan oleh perubahan pemerintahan. Korupsi tradisional yang merajalela
tradisional di pemerintahan Chatchai tidak terlalu mempengaruhi warga sipil karena reputasi
pemerintahannya dalam mendukung kebijakan populis lebih rendah daripada pemerintah Thaksin,
sehingga menjadikan terjadinya intervensi militer untuk mengakhiri pemerintahan itu dan berujung
pada kerusuhan Mei 1992.
Pada masa pemerintahan Thaksin dan pemerintahannya penyelewengan banyak dilakukan
pada tahun 2006-an. Intervensi militer pada tahun 2006 terjadi setelah beberapa waktu, kira-kira
setelah tujuh tahun, mengikuti ideologi yang mengamankan monarki dan promosi dan konsolidasi
demokrasi, dengan motif signifikan untuk memulai kudeta. Intervensi ini tampaknya menjadi bukti
kerjasama antara militer dan raja sesuai dengan ideologi

militer yang bertindak sebagai 'wali

monarki' karena berfokus pada kesetiaan kepada Raja bukan pemerintah. Namun, apabila pada
kudeta tahun 1990-an militer menggunakan kekerasan dalam meng-intervensi pemerintahan dan
berakhir dengan kerusuhan Mei 1996, kali ini militer tidak menggunakan kekerasan dalam
melakukan kudeta.
Sejak tahun 1990-an, militer telah terus-menerus terlibat dalam politik melalui intervensi
militer contohnya pada tahun 1991 dan 2006 dengan tujuan melindungi institusi militer, serta

melindungi kepentingan negara. Kedua intervensi termotivasi oleh keinginan militer untuk
mempengaruhi politik sebelum atau setelah kudeta berlangsung. Tidak hanya pemerintah tetapi juga
militer menjadi faktor signifikan dalam situasi politik Thailand saat ini lagi terutama pasca kudeta
2006. Meskipun setelah insiden Mei 1992, peran militer itu diubah mengikuti profesionalisme
militer, tanpa perlu intervensi dalam politik.
Karakteristik anti-demokrasi yang diterapkan pada kudeta tahun 1991, disebabkan oleh
ideologi yang kuat dari militer dalam upayanya untuk menjadi wali dari institusi militer, tidak
seperti kudeta 2006, dimana mereka menunjukkan institusinya sebagai 'pro-demokrasi' karena
mereka terlihat berusaha untuk memainkan peran sebagai penjaga negara, bukan hanya sebatas
menjaga institusinya.

3

Pertanyaan Makalah
Berangkat dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas, penulis merumuskan sebuah
masalah terkait intervensi militer di Thailand pada dua kudeta yang menjadi rujukan penulis dalam
menganalisa kasus, yaitu :
“Bagaimanakah perbedaan pola intervensi militer Thailand pada kudeta 1991 dan 2006?”

Kerangka Pemikiran

Dalam menulis makalah ini, penulis merujuk pada dua konsep, yaitu Demokrasi, dan Kudeta
Militer untuk kemudian menjadi alur dari kerangka pemikiran penulis dalam menganalisa dan
membahas makalah.

A. Demokrasi
Hendra Nurtjahyo merangkum sejumlah prinsip demokrasi yang dikemukakan para ahli
dengan menyatakan adanya nilai-nilai yang substansial dan nilai-nilai yang bersifat prosedural dari
demokrasi. Kedua kategori nilai tersebut baik subtansial dan prosedural sama pentingnya dalam
demokrasi. Tanpa adanya nilai tersebut, demokrasi tidak akan eksis, dan kemuda prinsip
eksistensial dari demokrasi itu sendiri adalah : kebebasan, kesamaan, dan kedaulatan suara
mayoritas5.
Selain itu, pendapat sejenis juga dikemukakan oleh Maswadi Rauf, bahwa demokrasi
memiliki dua prinsip utama yaitu kebebasan/persamaan (freedom/equality), dan kedaulatan rakyat
(people’s sovereignity).

B. Kudeta Militer
Eric Nordlinger telah menaruh perhatiannya kepada kudeta sebagai bagian dari proses
politik. Menurutnya, kudeta merupakan sebuah kunci bagi seorang perwira militer untuk dapat
mengambil alih kekuasaan negara. Hal ini biasanya dilakukan berdasarkan keadaan negara yang
situasinya memburuk dari sisi ekonomi dan politik, misalnya korupsi oleh pejabat negara, aktoraktor separatisme, kenaikan tingkat inflasi, tingkat pengangguran yang naik, dll6. Biasanya, kudeta

militer ini digunakan ketika masyarakat sipil mulai tidak percaya lagi terhadap pemerintah yang
5

Nurtjahjo, H. Filsafat Demokrasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Hal. 74-75.

6

https://www.jstor.org/stable/4190524?seq=1#page_scan_tab_contents diakses pada 15 Maret 2016 pukul
1:15 UTC.

4

sedang berkuasa dan berlaku disobedience atau tidak taat. Pada saat itulah, militer merasa perlu
unutk dapat mengambil alih pada momentum politik.

Pembahasan
Intervensi Militer Thailand Terhadap Politik
Dasar dari keterlibatan militer dalam politik Thailand pada tahun 1991 dan 2006 akibat dari
militer yang mengidentifikasi dirinya sebagai wakil negara, serta kepercayaan mereka untuk
menjaga kepentingan korporasi dari angkatan bersenjata. Alasan utama, yang menjadikan militer

Thailand terus menerus mempertahankan kebijakan intervensi di pemerintahan negeri selama
beberapa dekade, adalah keyakinan dalam sentralitas dari lembaga kuat untuk melindungi negara
dari rasa ketidak-amanan7. Militer Thailand memiliki ideologi militer yang kuat yang esensial
dalam melakukan tindakannya. Hal ini terdiri dari loyalitas monarki, layanan pengorbanan untuk
negara, perlindungan dan promosi demokrasi dan pertahanan kehormatan dan prestise dari institusi
militer itu sendiri. Selain itu, dalam menanggapi krisis potensi revolusi, perlindungan kepentingan
militer adalah penting sebagai motivasi untuk intervensi militer dalam politik. Militer juga perlu
melestarikan kekuasaannya sebanyak mungkin untuk melaksanakan peran dalam menyelesaikan
masalah-masalah negara8 .
Investigasi dalam kudeta 1991 dan 2006 memperlihatkan alasan utama untuk intervensi
militer dalam politik. Pada kedua kesempatan itu, kinerja lemah dan pemerintah korupsi. Hal ini
menyebabkan intervensi militer karena keyakinan militer dalam perannya dalam penghapusan
'musuh negara’.

Kudeta 1991
Pada akhir 1980-an, sistem partai politik Thailand terus berkembang, meskipun tidak secara
tetap. Hal ini merupakan tahap halus transisi dari status masa lalu sebagai tambahan untuk
pembentukan birokrasi untuk peran yang lebih besar sebagai saluran untuk representasi populer dan
penyedia eksekutif politik atas. Konsep politik partai tunggal kembali ke awal 1930-an, tapi dampak
umumnya tidak signifikan, dan telah dibayangi oleh elit militer-birokrasi. Perebutan kekuasaan


7

Hoadley, J. S. (1975). Soldiers and Politics in Southeast Asia: Civil-Military Relations in Comparative
Perspective, Cambridge: Schenkman Publishing. hal. 2.
8

http://www.murdoch.edu.au/Research-capabilities/Asia-Research-Centre/_document/working-papers/
wp166.pdf diakses pada 15 Maret 2016 pukul 11:02 UTC.

5

hampir selalu diselesaikan oleh kudeta, dan tuntutan pluralistik masyarakat ditampung baik melalui
saluran birokrasi atau koneksi patron-client.
Persepsi bahwa partai-partai politik dan politisi yang tidak layak tersebar luas pada tahun
1987. Namun, kudeta diperintah oleh Chaovalit, komandan pasukan baru di kepala, meskipun ia
secara terbuka menghukum politisi sebagai korup dan munafik. Pada bulan Februari ia menegaskan
bahwa partai politik, konstitusi, dan pemilihan saja tidak akan membuat untuk demokrasi sejati di
Thailand, di mana, ia berpendapat, sistem partai dan pemilihan umum dikendalikan oleh beberapa
kaya yang menggunakan ornamen demokrasi untuk kepentingan mereka sendiri. Tampil di hadapan

komite parlemen pada April 1987, Chaovalit menyatakan bahwa untuk membangun demokrasi yang
sesungguhnya bergaya Thailand dengan raja sebagai kepala negara, kesenjangan pendapatan yang
semakin besar harus dipersempit dahulu dan pada saat yang sama partai-partai politik dan semua
badan pemerintah termasuk militer "harus bergandengan tangan dan berjalan ke depan bersamasama"9
Peluncuran kudeta pada 1991 ini lebih cepat dari kudeta 2006, berlangsung sekitar empat
tahun ke masa pemerintah Chadchai (1988-1991) dengan tujuan konservasi kepentingan diri militer,
(yang memiliki dukungan kuat di jajaran militer dan institusi militer Thailand). Kekuatan militer
digunakan untuk melestarikan kepentingan bisnis seperti perusahaan milik militer termasuk stasiun
radio dan televisi, lembaga keuangan dan perusahaan sahamperdagangan, yang bisa terancam
dibubarkan oleh perubahan pemerintahan. Korupsi merajalela adat di pemerintahan Chatchai tak
berpengaruh besar terhadap warga sipil atau wacana sosial karena reputasi untuk mendukung
kebijakan populis dalam pemerintahannya adalah lebih rendah daripada pemerintah Thaksin. Oleh
karena itu, intervensi militer pada tahun 1991 terjadi untuk mengakhiri kegagalan sistem politik
Thailand cepat terjad.Terlihat, intervensi ini dimulai tanpa izin dari Raja dan menyebabkan
kekerasan politik Mei 1992 yang berakhir dengan mediasi Raja.
Selama pemerintah dengan latar belakang dukungan militer pada tahun 1991, yakni
pemerintah sementara, yang dipimpin oleh Anad Panyarachun, merupakan hasil dari set up militer
Thailand di bawah ajaran dari pemecahan krisis negara melalui pemerintahan militer. Namun, dasar
nyata untuk keterlibatan militer dalam politik adalah untuk melindungi kepentingan militer yang
menyebabkan hubungan yang tidak nyaman antara militer dan pemerintah sementara terkait dengan

persaingan untuk mengontrol kepentingan bisnis besar. Awalnya, pemimpin kudeta pada tahun
1991, General Suchinda Kraprayoon mewakili kepentingan National Peacekeeping Council (NPC)
9

http://www.globalsecurity.org/military/world/thailand/coup-1991.htm diakses pada 16 Februari 2016 pukul
3:12 UTC.

6

dengan menunjuk dirinya sebagai Perdana Menteri pada bulan April 1992 sebab militer meyakini
bahwa daya yang efektif harus dikontrol oleh junta (diktator), bukan otoritas sipil.
Lebih penting lagi, Suchinda Kraprayoon (PM menteri Thailand yang menjabat hanya 1
bulan di tahun 1992) lebih meningkatkan kekuatannya untuk terlibat dalam politik dengan
mendirikan partai 'Samakee Dhamma', yakni

'partai prajurit'. Tindakan ini tak memberikan

kontribusi pada efektivitas pemerintahan yang demokratis. Melainkan akhirnya menyebabkan
kekacauan politik di tahun 1992, bukannya membuka jalan bagi pemerintahan yang demokratis
karena dia menggunakan kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan dengan mengakhiri krisis
politik di bawah strategi militer yang kuat yang merupakan Phairi Phinat ("menghancurkan
musuh"), yang mengarah ke kematian puluhan warga sipil tak bersenjata. Dengan menggunakan
kekuatan kekerasan. Pada tahun 1991, Thailand tidak belajar untuk mengembangkan demokrasi
menjadi demokrasi penuh ketika berada dibawah pimpinan militer pada saat itu, sebab alasan
intervensi militer pada saat itu adalah untuk keinginan militer mengakhiri kemajuan Thailand
menuju demokrasi.

Kudeta 2006
Kudeta 2006 diawali dengan beberapa faktor pergoncangan politik di Thailand. Intervensi
militer pada tahun 2006 terjadi setelah beberapa waktu, kira-kira setelah tujuh tahun, mengikuti
ideologi menjaga monarki dan promosi dan konsolidasi demokrasi, yang merupakan motif
signifikan untuk memulai kudeta. Militer percaya perkembangan politik menuju demokrasi yang
efektif hanya bisa dipastikan dengan kekuatannya untuk menghalangi pemerintahan yang korup
melalui intervensi sebagai pembela negara. Yang dikhawatirkan adalah bahwa, kepala pemerintahan
telah melanggar hukum majesté lèse dengan membuat beberapa tuduhan untuk menantang hak
prerogatif dari monarki, yang berarti hal tersebut menunjukkan adanya ketidak patuhan terhadap
keluarga kerajaan. Intervensi ini merupakan bentuk dari kerjasamaa militer dan kerajaan yang
dimana hal tersebut merupakan praktik dari ideologi militer yang juga sebagai ‘wali monarki’, yaitu
pro kerajaan dibandingkan pemerintahan.
Berbagai praktik korupsi dari pemerintah Thaksin seperti monopoli sistem pemilu,
manipulasi konstitusi, menghindari membayar pajak, memobilisasi politik uang untuk mendapatkan
dukungan akar rumput dan menghancurkan stabilitas cek-dan-saldo, semuanya semakin parah di
bawah pemerintah Chatchai, hal ini menjadi katalis lain untuk memulai kudeta 2006. Militer ingin
mempertahankan citra sebagai pelindung yang baik dari masyarakat sebagai hasil dari pengalaman
belajar yang berharga dalam cara melestarikan peran militer dalam politik diperoleh dari tahun 1991
7

kudeta. Penggunaan taktik kudeta yang dilakukan oleh militer kali ini menggunakan cara lembut
tanpa kekerasan, sehingga masyarakat setuju dengan resolusi militer untuk menghindari krisis
politik, dengan tujuan untuk membangun persatuan nasional dalam bentuk dari proses demokrasi.
Singkatnya, di tahun 2006 kudeta oleh militer yang didukung pemerintah berusaha untuk
melindungi negara dalam hal melestarikan kepentingan negara tanpa menggunakan tindakan
kekerasan, tidak seperti tahun 1991 karena kepribadian kuat dari pemimpin kudeta, yang memiliki
keinginan kuat untuk kekuasaan melalui keterlibatan politik yang kuat. Hal ini juga dapat
diasumsikan bahwa kudeta pada tahun 2006 mungkin telah belajar dari kesalahan dari kudeta
sebelumnya (tahun 1991) tentang bagaimana menjadikan citra militer 'baik' di mata publik.

Perbandingan Kedua Kudeta
Dengan menganalisis pola yang berbeda dari intervensi militer dalam politik selama periode
kudeta dan pemerintah yang didukung militer berikutnya, kudeta pada 1991 yang adalah tiba-tiba
dapat menjelaskan ideologi militer, yang mempunyai prinsip utama yaitu memotivasi keterlibatan
militer dalam politik. Selain itu, pemimpin kudeta pada tahun 1991 memiliki daya tarik yang kuat
berkuasa, memotivasi dia untuk meluncurkan kudeta relatif cepat dan menggunakan kekerasan
untuk mempertahankan tempatnya dalam politik pada tahun 1992. Sebaliknya, kudeta pada tahun
2006 terjadi relatif lambat karena militer menganggap itu adlaah tugas yang signifikan untuk
mereka campur tangan dalam politik, terutama untuk menyelesaikan krisis politik yang terkait
dengan menjaga monarki, mengatasi perpecahan politik dan mempromosikan demokrasi yang
efektif.
Pemulihan demokrasi pada tahun 2006 lebih secara bertahap efektif daripada pada tahun
1991 sejak militer diawetkan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi militer. Selanjutnya,
persetujuan publik dalam pemerintahan militer pada tahun 2006 lebih optimis daripada tahun 1991
karena responnya adalah untuk menanggapi krisis serius dalam politik nasional, bukan semata
melestarikan kepentingan militer. Oleh karena itu, pola intervensi militer pada tahun 1991 disajikan
sebagai kekuatan negatif, bukan kekuatan positif di tahun 2006.
Pada tahun 1991, kegagalan untuk meningkatkan stabilitas politik terutama dengan
konsolidasi demokrasi dihasilkan dari insentif yang kuat untuk melestarikan kepentingan dan pada
akhirnya memotivasi pemimpin kudeta untuk mengerahkan kekuatan yang kuat oleh politik
memasuki tahun 1992. Terlihat secara tersirat bahwa jenis kudeta pada tahun 1991 adalah negatif
dalam hal kontribusi untuk membangun demokrasi yang stabil dalam politik Thailand. Sebaliknya,
pemulihan demokrasi pada tahun 2006 secara bertahap lebih efektif daripada pada tahun 1991.
8

Penutup
Kesimpulan
Sejak tahun 1990-an, militer telah terus-menerus terlibat dalam politik melalui intervensi
militer 1991 dan 2006 dengan tujuan melindungi institusi militer, serta melindungi kepentingan
negara. Kedua intervensi termotivasi oleh keinginan militer untuk memiliki pengaruh dalam politik
sebelum atau setelah kudeta berlangsung. Tingkat pengaruh politik oleh militer memiliki implikasi
untuk pembentukan demokrasi yang stabil dalam pemerintahan Thailand.
Ketidak stabilan sistem demokrasi di Thailand ini dapat dilihat dari perebutan kekuasaan
yang kerap terjadi diantara elit-elit Thailand untuk memerintah negara, korupsi besar-besaran, dan
kurangnya area bagi sipil untuk dapat berpartisipasi dalam politik. Hal-hal tersebutlah yang menurut
penulis menjadi trigger dari keputusan militer untuk ber campur tangan dalma politik dengan
melakukan kudeta. Intervensi militer biasanya merupakan output dari ketidak stabilan negara
dimana nanti militer merasa bahwa ia memiliki peran untuk bertanggung jawab untuk menstabilkan kembali negara nya. Hal ini juga dapat menjelaskan bahwa demokrasi Thailand belum
membaik pasca pendudukkan militer karena pemerintah terlalu rapuh dan tidak efektif untuk
meningkatkan demokrasi yang stabil.
Menuru penulis, perbedaan pola kudeta yang terjadi pada tahun 1991 dan tahun 2006
menurut penulis dapat menggambarkan bahwa sebenarnya militer di Thailand berkembang dan
belajar dalam melaksanakan tugasnya untuk menjaga kestabilan negara. Jika tahun 1991 kudeta
yang terjadi belum terlalu terarah dan sangat pro-militer sehingga banyak mengabaikan value dari
tujuan kudeta itu sendiri demi kepentingan organisasinya, pada tahun 2006 pola kudeta yang
dilakukan oleh militer Thailand sudah semakin baik dan telah belajar dari kudeta 1991 bahwa
kekerasan dan ketidak sinergi-an lembaganya dengan kerajaan tidak menghasilkan sebuah hasil
yang baik, sehingga pada tahun 2006 ketika menghadapi ketidak stabilan politik, militer di Thailand
sudah semakin membaik.
Hal lain yang menarik bagi penulis dan ingin penulis tambahkan adalah merujuk pada
konsep demokrasi itu sendiri. Penulis secara pribadi meragukan apakah demokrasi adalah sebuah
rezim yang tepat untuk Thailand atau tidak. Meskipun kedua-nya militer dan pemerintah
mengerahkan diri melalui gagasan kontribusi demokrasi konsolidasi dengan menghindari kekerasan
lebih lanjut dan pembantaian, masih sulit untuk menjembatani kesenjangan antara pendukung
Thaksin dan pemerintah Thailand hingga saat ini.

9

Referensi

Buku
Hoadley, J. S. (1975). Soldiers and Politics in Southeast Asia: Civil-Military Relations in
Comparative Perspective, Cambridge: Schenkman Publishing.
Huntington, S.P. (1995). ‘Reforming civil-military relations’, Journal of Democracy’.
Nurtjahjo, H. (2006). ‘Filsafat Demokrasi’. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Website

http://www.ide.go.jp/English/Publish/Download/Vrf/pdf/483.pdf diakses pada 15 Februari 2016
pukul 19:27 WIB

http://www.murdoch.edu.au/Research-capabilities/Asia-Research-Centre/_document/workingpapers/wp166.pdf diakses pada 15 Februari 2016 pukul 17:23 WIB
https://www.jstor.org/stable/4190524?seq=1#page_scan_tab_contents diakses pada 15 Maret 2016
pukul 1:15 UTC.

http://www.globalsecurity.org/military/world/thailand/coup-1991.htm diakses pada 16 Februari
2016 pukul 3:12 UTC.

10