Istilah Kafir dalam Fenomena Terorisme d

Istilah Kafir dalam Fenomena Terorisme di Indonesia
By Wahyu NH Aly
Tindakan terorisme di masa SBY belakangan ini menjamur pesat. Kebanyakan pelakunya
beragama Islam, sehingga acapkali para peneror dikait-kaitkan dengan Islam sebagai ajarannya,
dan hal ini lebih dikuatkan dengan motif mereka yang mengusung “jihad”. Meskipun aksi
terorisme yang ada melahirkan pelbagai opini-opini spekulatif, semisal kemungkinan proyek
aparat, produk pemerintah untuk meredam isu-isu sensitif, serta yang lainnya, namun tanpa
terlepas sejauh mana kebenaran dari masing-masing taksiran, pengusungan “jihad” sudah
menjadi sorotan bombastis media massa. Sehingga, jika pemberitaan yang terkesan memaksa
dari media ini benar, maka menjadi dilematis sekaligus ironi.
Pengusungan “jihad” oleh pelaku teror beragama Islam, dengan menganggap sebagai tugas yang
diberikan agama, menjadikan Islam sebagai agama pilihan mayoritas negara ini tampak dilema.
Umat Islam sebagai mayoritas yang sebagian besar bersikap toleran dan lembut dengan kalangan
yang beragama lain dengan alasan melaksanakan ajaran agama, kemudian dibenturkan dengan
kalangan intoleran ekstrimis yang lebih dikenal sebagai teroris yang juga menggunakan dalih
sama membawa perintah agama. Pemahaman paradoks yang mustinya tidak ada, dalam
realitasnya terlihat jelas keberadaannya. Dilema yang lain, umat Islam yang mayoritas seolah
tidak terlihat karena tertutup bayang-bayang hitam segelintir orang Islam. Umat Islam mayoritas,
yang di dalamnya termasuk pendiri negeri ini, pun seolah harus ikut memikul kekeliruan yang
dilakukan oleh muslim minoritas ekstrimis. Indonesia sebagai bangsa yang di dalamnya
didominasi umat Islam, pun seolah ikut buram, yang lagi-lagi karena ulah sebagian kecil orang

Islam yang berbuat teror.
Fenomena teror dari segelintir umat Islam yang mengaku berpijak pada agamanya, Islam,
tentunya benar-benar ironi. Islam yang mempunyai makna keselamatan, kedamaian,
kesejahteraan, kemudian pengertian yang indah tersebut harus rela tereliminir oleh pradugapraduga salah terhadap Islam yang hanya dikarenakan ulah sebagian kecil umat Islam ekstrim
yang mengaku membawa bendera agama. Sepertinya kurang fair, kurang adil, kurang bijaksana,
namun kenyataannya wacana yang demikian bergulir cukup deras. Sehingga anggapan miring
yang dijejalkan oleh media massa ini, pun mau tidak mau musti diterima oleh seluruh umat Islam
sebagai fakta berita untuk lekas ditanggapi secara proporsional.
Tanpa terlepas sejauhmana kebenaran media massa akan pemberitaan heboh aksi para teroris
dengan membawa “jihad” Islam ini, tentunya perlu dipelajari akan sisi kemungkinan
kebenarannya dari sisi yang lain. Memasukinya, lebih mudah dengan melihat sumber alasan
kemungkinan tindakan teror yang dilakukan oleh teroris yang mengaku dirinya sebagai
“mujahid” atau pelaku “jihad. “Jihad” secara umum melawan orang kafir yang memusuhi Islam.
Dari sini, maka bisa menggunakan rumus: “kafir yang memusuhi Islam – pelaku jihad
(mujahid) = tindakan (jihad)”. Kemudian yang menjadi pertanyaan, sudah benarkah pelaku
teror itu dengan aksinya mengaku sedang ber”jihad”…?

Menjawab pertanyaan di atas, sebelumnya perlu dijelaskan pengertian tentang istilah “kafir”.
“Kafir” secara bahasa memiliki makna berbeda, tidak sama, menolak, tidak menerima, dan
pengertian yang sinonim lainnya. Sedangkan menurut istilah, “kafir” mempunyai pengertian

orang yang berbeda keyakinan tentang Tuhan atau agama Islam.
Menilik “kafir” bermakna berbeda, sehingga di Islam pengertian “kafir” itu sendiri
diklasifikasikan menjadi dua: kafir harbi dan kafir dzimmi. Kafir harbi adalah orang yang tidak
percaya (berbeda keyakinan) atas Allah Swt sebagai Tuhan (Islam) sekaligus memusuhi Islam,
dan sedangkan kafir dzimmi adalah orang yang tidak percaya pada Islam akan tetapi toleran
dengan umat Islam. Adanya pengklasifikasian ini, sehingga dalam sikapnya pun Islam
membedakan atas kafir harbi dan kafir dzimmi. Islam membolehkan melawan kafir harbi
dengan sebatas melindungi diri (tidak melampui batas), dan Islam melarang keras sikap tidak
berbuat adil apalagi sampai menyakiti kafir dzimmi. Sikap boleh melindungi diri (melawan)
terhadap perbuatan keji kafir harbi, pada dasarnya bukan karena pilihan ke”kafiran”nya, akan
tetapi disebabkan oleh sikap jahat (harbi)nya. Juga, tindakan jahat (harbi) yang dilakukan oleh
orang kafir, itu hukumnya sama seperti halnya orang Islam yang bertindak jahat. Karena itu pula,
di Islam dikenalkan dua ibadah; mahdhoh dan ghoiru mahdhoh, yang dari keduanya memiliki
perbedaan dalam ‘mekanisme’ untuk pelaksanaan ibadah dari sumber hukumnya.
Pemahaman ini, karena Islam melukiskan bahwasanya seluruh manusia adalah keluarga dari
ayah dan bundanya, Nabi Adam as. dan Siti Hawa. Analoginya, Bumi sebagai tempat tinggal,
manusia sebagai anak-anaknya dengan segenap keberagaman yang melingkupinya, sedangkan
Adam sebagai ayah dan Siti hawa sebagai Ibunya.
Sebagai tambahan, agar lebih mudah memahami tentang “kafir,” di sini saya akan membuat
sebuah analogi melalui cerita: A dan B merupakan dua saudara yang sekarang ini tinggal di

Jogjakarta, dan keduanya akan pergi ke Jakarta. Akan tetapi, A dan B memiliki panduan peta
yang berbeda. Isi peta yang dimiliki keduanya, pun menunjukan arah yang berbeda tentang
Jakarta. Arah Jakarta pada peta yang dimiliki A, itu ke arah barat, dan arah timur menuju jurang
yang curam. Sedangkan di petan yang menjadi pedoman si B, justru berisi sebaliknya.
Kemudian, keduanya pun saling mendiskusikan, akan tetapi hasilnya nihil. Keduanya tetap
ngotot dengan peta pedomannya masing-masing. Akan tetapi, meskipun keduanya berbeda
pedoman, keduanya tidaklah dibenarkan saling melukai, saling menjahati, apalagi sampai saling
membunuh, karena pilihan masing-masing dari si A dan si B tentunya dibatasi sampai wilayah
debat yang pada dasarnya keduanya belumlah sampai tujuan; apakah Jakarta ataukah jurang yang
curam sebagaimana yang dilukiskan dari masing-masing peta pedoman kedua belah pihak.
Justru, ketika masih di Jogjakarta, si A akan menyayangi sekali saudaranya si B, karena
menilainya si B nantinya akan masuk jurang yang curam. Pun sebaliknya bagi si B atas
saudaranya si A. Wujud sayangnya, misalnya dengan memenuhi segala keinginan saudaranya,
bukan melukai apalagi membunuhnya.
Analogi di atas, digunakan sebagai sarana memahami “kafir” dengan kata kunci: A dan B
sebagai manusia (saudara), Jogjakarta sebagai bumi, Jakarta sebagai tujuan (surga), peta sebagai
pedoman keyakinan (kitab suci), sedangkan kebenaran Jakarta di Timur atau di Barat itu sebagai
“jalan” yang masih diperdebatkan oleh masing-masing agama yang berbeda. Adapun

“perbedaan” yang ada di dalam pilihan dari masing-masing A dan B, disebut “kafir”. Dengan

analogi ini, harapannya lebih mudah dalam memahami tentang definisi “kafir” dalam Islam.
Sayangnya, sekarang ini masih banyak umat Islam yang pada dasarnya sama sekali tidak tahu
tentang Islam namun sok-sokan melaksanakan ajaran Islam. Padahal, Islam sendiri menilai orang
yang demikian amal ibadahnya tidak diterima dan apabila sampai melakukan kejahatan harus
dihukum sesuai dengan apa yang dilakukannya, “Amal tanpa ilmu, itu tertolak.”
Walhasil, apa yang dilakukan terorisme yang mengusung bendera Islam sebagaimana yang
digembar-gemborkan media massa, bukanlah ajaran Islam, dan justru sebaliknya, ajaran Islam
justru mengecam tindakan teror yang seperti itu. Terimakasih….