Pajak Daerah Dalam Perspektif Desentrali

KERTAS KERJA

PAJAK DAERAH
DALAM PERSPEKTIF DESENTRALISASI FISKAL DAN FUNGSI PAJAK

Oleh
Bilal Dewansyah

Pusat Studi Kebijakan Negara
Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran
Bandung
2010

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 18 Agustus 2009 DPR dan Presiden telah menyetujui Undang Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru1, yaitu Undang – Undang No. 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun 2009).

Pemberlakuan UU tersebut baru dimulai pada tanggal 1 Januari 2010.2 Berbeda dengan
dengan UU No. 18 Tahun 1997 dan perubahan pertamanya (UU No. 34 Tahun 2000), UU
No. 28 Tahun 2009, mengatur jenis pajak daerah sistem daftar tertutup3. Artinya, daerah
tidak dapat memungut pajak daerah selain yang ditentukan dalam UU tersebut.
UU No. 28 Tahun 2009 juga menambahkan jenis pajak daerah baru, masing –masing 1
untuk provinsi (pajak rokok) dan 3 untuk kabupaten/ kota (pajak sarang burung wallet, PBB
pedesan dan perkotaan serta BPHTB).4 Sebelumnya, semua PBB, termasuk PBB pedesaan
dan perkotaan menjadi kewenangan pusat, BPHTB. Walaupun tidak semua jenis PBB
diberikan kewenangan kepada daerah, namun hal ini merupakan satu kemajuan dalam hal
kewenangan daerah memungut pajak. Padahal jika dibandingkan dengan negara-negara
asia tenggara lainnya, seperti Filipina, Thailand, Malaysia PBB atau secara umum dikenal
sebagai property tax sudah diberikan kewenangannya kepada daerah sejak lama.5

1

RUU Pajak da Retri usi Daerah Disahka Jadi UU , Media Indonesia, Selasa, 18 Agustus 2009,
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/91036/20/2/RUU-Pajak-dan-Retribusi-Daerah-DisahkanJadi-UU, diakses pada tanggal 20 Agustus 2009.
2
Lihat Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009.
3

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Selasa
/
e gataka : “iste ya g ditetapka
ersifat daftar tertutup, arti ya daerah ha ya diper olehka
memungut pajak dan retribusi sesuai undang-undang ini sehingga tidak ada lagi daerah yang perlu mengubah,
mencari, atau berkreasi yang tidak baik dalam arti mencari- ari pe ghasila asli daerah, Pajak Daerah
Di atasi, Pelaya a kepada Masyarakat Waji Diti gkatka , Kompas, Rabu, 5 Agustus 2009, diakses dari
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/05/04112298/pajak.daerah.dibatasi.
4
Ibid.
5
Filipina memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut the real property tax sejak
diundangkannya Local Government Act 1959, sementara Thailand memberikan kewenangan kepada daerah
untuk memungut a single property based tax (1999). Malaysia juga memberikan kewenangan yang sama
kepada daerah (berupa property tax) sejak diundangkannya Local Government Act 1976 (Act No. 171). Lihat,

2
Pungutan atas usaha rokok sebelumnya, hanya dikenal pungutan cukai rokok,
sementara dalam UU No. 28 Tahun 2009, selain cukai rokok yang menjadi kewenangan
provinsi, cukai rokok pun tetap diberlakukan dan tetap menjadi kewenangan pemerintah

pusat. Pajak rokok sebagai pajak daerah baru ditentukan untuk dipungut instansi
pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan pungutan cukai rokok.6 Pajak
rokok ini baru berlaku 1 Januari 2014.7
Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai rokok yang ditetapkan pemetintah terhadap
rokok dan tarif pajak rokok ditentukan sebesar 10% dari cukai rokok.8 Hasil penerimaan
pajak tersebut juga merupakan objek pembagian antara kabupaten/ kota dan provinsi. Hasil
penerimaan pajak tersebut sebesar 70% dialokasikan untuk kabupaten/kota9, sehingga
provinsi menerima sisanya (30%). Sementara itu, pajak sarang burung walet merupakan
pajak daerah yang dipungut bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya tersebut
dengan tarif maksimal 10 %.10
Selain penambahan jenis pajak baru, UU No. 28 Tahun 2009 juga mengubah beberapa
pengaturan pajak daerah yang sebelumnya telah ada dalam UU sebelumnya.
Pertama, pajak kendaraan bermotor menggunakan tarif pajak progresif untuk
kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya dengan tarif 2% sampai maksimal 10% di
mana ketentuan progresivitasnya ditentukan oleh Perda provinsi, kepemilikan pertama
ditetapkan tariff minimal 1% dan maksimal 2%.11 Kedua, tarif pajak bahan bakar kendaraan
bermotor ditetapkan maksimal 10%12, namun tarif pajak untuk kendaraan umum dapat
ditentukan 50% lebih rendah dari tarif kendaraan pribadi.13 Bila terjadi kenaikan harga tinggi

Larry “ hroeder, Fis al De e tralizatio i “outh East Asia , Journal of Public Budgeting, Accounting &

Financial Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003, hlm. 392, 393, 402, 405.
6
Pasal 27 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009.
7
Pasal 181 UU No. 28 Tahun 2009.
8
Lihat Pasal 28 dan Pasal 29 UU No. 28 Tahun 2009.
9
Pasal 94 ayat (1) huruf c UU No. 28 Tahun 2009.
10
Pasal 75 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009.
11
Pasal 6 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009.
12
Pasal19 ayat(1) UU No. 28 Tahun 2009.
13
Pasal19 ayat(2) UU No. 28 Tahun 2009.

3
atas BBM, pemerintah pusat dapat mengubah besaran tarif Perda melalui Perpres.14 Ketiga,

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang semula
merupakan kewenangan Provinsi, digantikan istilahnya dengan pajak pengambilan dan
pemanfatan air tanah dan air permukaan. Tidak sekedar menggantikan nomenklatur, UU
tersebut juga menentukan bahwa pajak air tanah menjadi pajak daerah kabupaten/kota,
sementara pajak air permukaan menjadi pajak daerah provinsi,15 dan air permukaan yang
hanya di satu kabupaten/kota berlaku aturan khusus.16 Keempat, ada beberapa jenis pajak
daerah yang sudah ada, basis pajaknya (tax base) diperluas, yaitu, Pajak Kendaraan
Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan
Pemerintah,17 Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel,18 Pajak
Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering.19 Kelima, ada beberapa jenis
pajak yang hasil penerimaan ditentukan penggunaannya, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor
(minimal 10% dari hasi penerimaan pajak ini untuk belanja infrastruktur jalan (pembangunan
dan/atau pemeliharaan jalan) serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum di
daerahnya)20; Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota,
dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan
masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang21; dan Pajak Penerangan
Jalan juga sebagian dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.22

14


Pasal19 ayat(3) UU No. 28 Tahun 2009.
Lihat Pasal 2 ayat(1) huruf d, dan Pasal 2 ayat (2) huruf h UU No. 28 Tahun 2009.
16
Hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80%
(delapan puluh persen). Lihat Pasal 94 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009.
17
Tarif pajak Kendaraan pemerintah (termasuk TNI/POLRI, dan Pemerintah Daerah) bersama Kendaraan
Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan
keagamaan, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan Perda, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% dan
paling tinggi sebesar 1%. Lihat Pasal 6 ayat(3) UU No. 28 Tahun 2009.
18
Pengertian hotel menjadi diperluas menjadi: fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa
terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma
pariwisata,pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari
10 (sepuluh). Lihat Pasal 1 angka 21 UU No. 28 Tahun 2009.
19
Pengertian restoran dalam Pasal 1 angka 23 UU No. 28 Tahun 2009 juga mencakup jasa boga/katering.
20
Lihat Pasal 8 ayat (5) UU No. 28 Tahun 2009.
21

Pasal 31 UU No. 28 Tahun 2009.
22
Pasal 56 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009.

15

4
Berdasarkan UU tersebut, ditentukan 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak
kabupaten/ kota. Jumlah jenis pajak daerah tersebut lebih banyak dibandingkan pada masa
UU sebelumnya.23 Alasan pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 melakukan pembaruan pajak
daerah, karena:
“Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang
mendukung pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang semakin
besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam
perpajakan….. Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya
kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan Daerah selalu
mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya. Ketergantungan
Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal
kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah.Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk

mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak ingin
mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan
Retribusi”.24
Alasan di atas lebih menunjukkan bahwa tujuan pembentukan UU No. 28 Tahun
2009 adalah untuk memperbesar kemampuan keuangan daerah dari pendapatan pajak
daerah. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi ketergantungan daerah terhadap transfer
dana dari pusat melalui mekanisme perimbangan keuangan. Hal tersebut menunjukkan
fungsi budgeter dari pajak daerah.25 Namun demikian, pajak tidak hanya memiliki fungsi
budgeter, tetapi juga fungsi mengatur, yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.26

23

Pada masa UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 terdapat 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 jenis
Pajak provinsi dan 7 jenis Pajak kabupaten/kota.
24
Penjelasan Umum paragraf 8 UU No. 28 Tahun 2009.
25
Menurut Rochmat Soemitro, fungsi budgeter, yaitu fungsi yang letaknya di sektor publik dan pajak di sini
merupakan suatu alat atau sumber mendapatkan dana dari masyarakat untuk dimasukkan ke dalam kas

negara. Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung, 1982, hlm. 9.
26
Ibid.

5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
1. apakah dengan penambahan jenis-jenis pajak baru, penyesuaian tarif pajak,
restrukturisasi jenis-jenis pajak daerah yang telah ada, daerah lebih memiliki otonomi
pendapat dalam konteks desentralisasi fiscal?
2. apakah dalam UU No. 28 Tahun 2009 juga memperhatikan fungsi mengatur dari
pajak daerah, selain fungsi budgeter?

6
BAB II
TEORI DESENTRALISASI FISKAL DAN FUNGSI PAJAK

A. Desentralisasi Fiskal
Bahcrul Elmi mengatakan bahwa desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai
pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang sebelumnya tersentralisasi, baik

secara administrasi dan pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat27.
Namun demikian, ada yang mengartikan desentralisasi fiskal lebih

luas dari sekedar

pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan. Dalam perspektif ilmu ekonomi,
desentralisasi fiskal diartikan dalam ukuran – ukuran keuangan seperti expenditure
(pengeluaran/belanja) atau revenue (penerimaan/pendapatan). Pengertian desentralisasi
fiskal yang tidak hanya pada aspek penerimaan, namun juga pada aspek pengeluaran,
berhubungan dengan adanya kewenangan daerah atas sumber-sumber penerimaan daerah
digunakan untuk membiayai pengeluaran/ belanja sesuai dengan kewenangan daerah.
Persoalan desentralisasi fiskal terutama dari aspek ekonomi selalu dikaitkan dengan
persoalan efisiensi, misalnya Oates (1993) mengatakan bahwa peningkatan efisiensi
ekonomi merupakan dasar ekonomis dari desentralisasi.28 Teori keuangan negara
melekatkan desentralisasi dalam rangka mencapai efisiensi pada dua pelaku: konsumen
dan produsen.29 Efisiensi dari aspek konsumen didefinisikan sebagai keuntungan yang
didapatkan oleh konsumen dari kebijakan pengeluaran/belanja (negara) yang sesuai
dengan preferensi pembayar pajak. Sementara itu, efisiensi dari aspek produsen
didefinisikan sebagai keuntungan ekstra yang didapatkan ketika sejumlah pengeluaran yang
sama dapat menghasilkan barang dan jasa dengan kuantitas yang besar atau kualitas yang


27

Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, UI-Press, Jakarta,2002, hlm 26.
Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization and The
Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy
Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003, hlm. 13.
29
Ibid.

28

7
lebih baik, atau ketika sejumlah barang dan jasa dapat dihasikan dengan biaya yang lebih
rendah.30
Persoalannya, jika tujuan desentralisasi fiskal adalah hanya efisiensi, maka hal tersebut
dapat dilakukan dengan skema hubungan pusat daerah yang sentralistik.31 Padahal, sepeti
dikatakan oleh Bagir Manan bahwa hakikat dari otonomi yang merupakan wujud
desentralisasi adalah kemandirian walaupun bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan
yang merdeka.32 Otonomi juga berkaitan dengan gagasan demokrasi di mana masyarakat
daerah berhak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Seperti dikatakan oleh Moh. Hatta, bahwa:
”[M]enurut dasar kedualatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya
ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di
desa, di daerah...jadi, bukan saja persekutuan yang besar, rakyat semuanya,
mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri melainkan juga tiap-tiap bagian dari
negeri atau bagian dari rakyat yang banyak. Keadaan yang seperti itu penting sekali,
karena keperluan tiap-tiao tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berlainan”.33
Dalam konteks desentralisasi fiskal, pendapat di atas sejalan dengan pendapat Roy
Bahl yang mengatakan, bahwa ”as a working definition, fiscal decentralization as ”the
empowerment of people by fiscal empowerment of their local govenment” (pemberdayaan
masyarakat melalui pemberdayaan fiskal dari pemerintah daerahnya).34 Artinya, efisiensi
dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat dalam sistem desentralisasi, hanya
memungkinkan jika terdapat kebebasan berotonomi, karena otonomilah ujung tombak usaha

30

Ibid.,hlm. 14.
Misalnya, untuk kasus Indonesia dalam fase awal desentralisasi fiskal (2001-masa efektif pemberlakuan UU
No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999), dikatakan oleh Joko mengutip pendapat Benyamin Hoesein
bahwa “Pola pengaturan hubungan antara Pusat dan Daerah yang semula bersifat sentralistik di masa Orde
Baru yang diterjemahkan melalui Undang – Undang No 5 tahun 1974, telah dirubah dalam suatu pola hubungan
yang lebih bersifat desentralisasi, dimanifestasikan melalui dasar hukum Undang - Undang No 22 tahun 1999
serta Undang – Undang No 25 tahun 1999. Besaran perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tersebut
dapat disimak dari pergeseran sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah, dari “structural efficiency
model“ yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal dirubah menjadi “local democracy
model“ dengan penekanan pada nilai-nilai demokrasi dan keberagaman di dalam penyelenggaraan
pemerintahan lokal”. (cetak tebal oleh Tim Peneliti). Joko Tri Haryanto, “ Potret PAD Dan Relevansinya
Terhadap
Kemandirian
Daerah”,
makalah,
Jakarta,
tanpa
tahun,
hlm.
1.
http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CPAD.pdf. Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2009.
32
Bagir Manan, Menyongsong Fajar…., op.cit, hlm. 26.
33
Bagir Manan, Hubungan Antara…., op.cit, hlm. 33.
34
Roy Bahl dalam Jameson Boex, Renata R Simatupang, “Fiscal Decentralisation and Empowerment: Evolving
Concepts and Alternative Measures” Journal Compilation Institute of Fiscal Studies Vol. 29, No. 4, Blackwell
Publishing Ltd, UK-USA, 2008, hlm. 442.
31

8
mewujudkan kesejahteraan tersebut.35

Hal ini sejalan dengan pendapat Bahcrul Elmi,

bahwa :
”...salah satu makna dari desentralisasi fiskal dalam bentuk otonomi, penerimaan
otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan) kepada daerah-daerah
merupakan suatu proses mengintensifkan peranan dan sekaligus pemberdayaan
daerah dalam pembangunan.36
Desentralisasi fiskal dapat menjadi salah satu ukuran keberhasilan otonomi. Pola dan
ukuran dalam desentralisasi fiskal akan mencerminkan derajat otonomi yang dimiliki daerah.
Hal ini sejalan dengan pendapat Bird (1986), bahwa:
”...a decentralization measure is the autonomy or power of decision making of regional
government. In this context, a fiscal decentralization measure should be able to quantify
the amount of independent decesion - making power (or discretion) in the provision of
public services at different level of government”. 37
Anwar Shah mengatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal mencakup (1) the
assignment of services responsibilities (penetapan tanggung jawab penyelenggaraan
pelayanan), (2) assignment of local government revenue raising authority (penetapan
kewenangan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan), dan (3) design of
intergovernmental transfer system (desain sistem transfer antar susunan pemerintahan).38
Penetapan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan dibutuhkan agar tidak terjadi
hasil yang tidak efektif ketika ada satu susunan pemerintahan atau lebih menyediakan
pelayanan yang sama atau ketika satu susunan pemerintahan gagal menyediakan
pelayanan dengan harapan, akan disediakan oleh susunan pemerintahan lainnya.39
Sementara itu, kewenangan untuk meningkatkan pendapatan daerah untuk membiayai
belanja daerah, biasanya diperoleh dengan dua cara, yaitu pendapatan yang diperoleh oleh
daerah sendiri (pendapatan asli- pen) dan transfer dana dari pemerintahan tingkat yang lain
35
36

37

Ibid.
Ibid.

Dikutip dari Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization
and The Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of
Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003, hlm.`12.
38
Anwar Shah, “The Reform of Intergovenmental Fiscal Relation in Developing and Emerging Market Economy”,
World Bank Policy and Research Series No.23, The World Bank, Washington DC, 1994, sebagimana dikutip
dalam Larry Schroeder, “Fiscal Decentralization in South East Asia”, Journal of Public Budgeting, Accounting &
Financial Management, Vol. 15 No. 3, PrAcademic Press, 2003, hlm. 388.
39
Ibid.

9
(pinjaman daerah juga merupakan sumber pendapatan daerah lainnya yang harus dibayar
kemudian dengan pendapatan asli atau transfer dana).40 Masalah yang umumnya dihadapi
adalah kewenangan daerah yang sangat terbatas untuk dapat meningkatkan pendapatan
asli (own revenue), misalnya melalui pajak daerah atau retribusi.41

Bahkan dengan

kewenangan atas jenis-jenis pajak terbatas, daerah hanya memiliki otonomi dalam
menentukan tarif pajak dan batas yang telah ditentukan (to rate setting within the limit).42
Dalam hal ini, adanya intergovernental fiscal transfer menjadi mekanisme yang diharapkan
dapat menciptakan horizontal equity (kesamaan horizontal) antara susunan pemerintahan
daerah.43 Hal tersebut (bersama keterbatasan pendapatan asli daerah), harus menjadi
bagian dari desain transfer dana antara tingkatan pemerintahan.
Desentralisasi fiskal bagaimana pun kebijakannya harus dikaitkan dengan upaya
membangun kemandirian daerah untuk membiayai urusan pemerintahannya baik dalam hal
pendapatan

daerah

(termasuk

alternatif

lainnya)

maupun

kewenangan

untuk

membelanjakan pendapatan tersebut. Dalam hal ini, Shah menegaskan komponen
desentralisasi fiskal yang menjadi ukuran keberhasilan desentralisasi fiskal, yaitu (a)
revenue autonomy and adequacy (otonomi dan kecukupan pendapatan); (b) expenditure
autonomy (otonomi dalam pengeluaran/ belanja) dan; (c) borrowing privileges (keleluasaan
untuk melakukan pinjaman).44 Terpenuhinya ukuran-ukuran tersebut merupakan kunci
keberhasilan dari desentralisasi fiskal.
Prinsip otonomi dalam pendapatan artinya sejauh mana daerah memiliki sumbersumber pendapatan yang merupakan pendapatan asli daerah. Dalam literatur, otonomi
pendapatan secara dominan diukur dari kewenangan daerah memungut pajak.45 Artinya,

40

Ibid.
Anwar Shah, “Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies: Progress, Problems, and the
Promise” World Bank Policy Research Working Paper 3282, World Bank, Washington, DC USA, April 2004, hlm.
18.
42
Ibid., hlm. 18 – 19.
43
Larry Schroeder, op.cit., hlm. 389.
44
Anwar Shah, Theresa Thompson, “Implementing Decentralized Local Governance: A Treacherous Road with
Potholes, Detours and Road Closures”, World Bank Policy Research Working Paper 3353, The World Bank,
Washington DC, USA, June 2004, hlm. 8.
45
Lihat, Norris, Loc.cit., hlm. 107.; Bagir Manan, Hubungan Antara…,op.cit., hlm. 204.; Roy Bahl, ” Promise and
Reality of Fiscal Decentralization”, dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian
Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009, hlm. 3.; Jaime Bonet, “Fiscal
41

10
ukuran suatu daerah memiliki otonomi dalam pendapatan adalah seberapa besar
kewenangan untuk memungut pajak daerah atau pungutan lain, termasuk dalam
menentukan tarifnya. Seperti dikatakan oleh Norris bahwa:
On the revenue side, this requires that subnational governments have the authority to
own-finance locally provided services at the margin. More complete revenue autonomy
requires a minimum of authority to set tax rates and an assignment of at least one
significant tax source.46
Sementara itu, prinsip otonomi dalam pengeluaran artinya daerah memiliki keleluasaan
untuk membelanjakan, termasuk menentukan prioritas-prioritas belanja daerah atas
pendapatan daerah yang dimiliki. Dalam hal ini, prinsip otonomi pengeluaran berkaitan
dengan alokasi penerimaan daerah dalam anggaran belanja daerah. Seperti dikatakan oleh
Norris bahwa: ”this requires subnational budget flexibility to decide – within limits –
expenditure priorities and the choice of both the output mix and techniques of production”.47
Prinsip-prinsip tersebut akan terlihat dalam pengaturan sumber-sumber penerimaan
pemerintahan daerah untuk memenuhi belanja daerah.

2. Fungsi Pajak
Menurut Rochmat Soemitro, terdapat dua fungsi pajak,yaitu: 48
1. Fungsi budgetair (budgeter), yaitu fungsi yang letaknya di sektor publik dan pajak di
sini merupakan suatu alat atau sumber mendapatkan dana dari masyarakat untuk
dimasukkan ke dalam kas negara.
2. Fungsi mengatur atau reguleren yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.
Sindian Isa Djajadiningrat, mengutip pendapat Smeets, juga menekankan bahwa
pajak dalam masa sekarang tidak hanya untuk mengisi kas negara (budgetaire functie),
melainkan harus pula “mengatur” (regulerende functie).49

decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag
Published online: 12 April 2006, hlm. 663.
46
Norris, loc.cit.
47
Ibid.

48

Rochmat Soemitro, loc.cit.,hlm.9.

11
Sebelumnya, ada juga pakar yang menambahkan fungsi lain dari pajak selain dua
fungsi di atas. Adriani atau Mann, misalnya, menambahkan pemerataan ekonomi atau
redistribusi sebagai salah satu fungsi pajak.50 Namun demikian, menurut Sindian Isa
Djajadiningrat, fungsi redistribusi termasuk dalam fungsi mengatur.51
Sebelum tahun 1880, fungsi pajak yang lebih diutamakan adalah fungsi budgeter.
Dalam konteks tersebut, pajak hanya semata-semata untuk mengusi kas negara, bahkan
harus netral dalam arti tidak boleh membawa akibat-akibat sosial atau ekonomi.52 Dalam
perkembangannya, muncul fungsi mengatur dari pajak. Bahkan Lerner dan Kreuniet
berpendapat bahwa justru karena fungsi mengatur dari pajak adalah demikian luasnya,
maka fungsi budgeter tidak diperlukan lagi, karena untuk itu Pemerintah selaku dapat
meminjam uang atau mencetaknya.53
Dalam

konteks

kebijakan

fiskal

(fiscal

policy),

pendapat

Soemitro

Djojohadikoesoemo menengahi kedua pandangan di atas. Menurut Soemitro, fiscal policy
sebagai suatu alat pembangunan harus mempunyai tujuan yang simultan, yaitu secara
langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan

untuk public investment, dan

secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private saving ke arah sektor-sektor
yang produktif, sekaligus digunakan untuk mencegah pengeluaran-pengeluaran yang
menghambat pembangunan atau yang “mubazir” dalam berbagai bentuknya.54 Tujuan
menemukan dana-dana yang digunakan untuk public investment di atas merupakan fungsi
budgeter dari pajak, sementara mencegah pengeluaran-pengeluaran yang menghambat
pembangunan merupakan fungsi mengatur dari pajak. Dengan demikian, kedua-duanya
sama pentingnya, dan harus dilakukan secara simultan (bersamaan). Artinya, pajak dapat
mencapai tujuannya jika kedua fungsi tersebut tidak ditekan salah satunya, melainkan suatu
kesatuan yang saling mendukung.
49

Sindian Isa Djajadiningrat, Hukum Padjak dan Keadilan, Eresco, Bandung, 1965, hlm. 16.
Ibid., catatan kaki nomor 42.
51
Ibid.
52
Ibid.
53
Ibid., hlm. 16- 17.
54
Soemitro Djojohadikoesoemo dalam R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco,
Bandung, 1995, hlm. 205.
50

12
Bohari menggambarkan beberapa bidang dalam konteks fungsi mengatur dari pajak,
antara lain dalam bidang ekonomi, moneter, sosial, dan budaya.55 Dalam bidang ekonomi,
pemberian tax holiday untuk menarik para investor asing merupakan salah satu contoh
fungsi mengatur, sementara dalam bidang moneter dicontohkan pengampunan terhadap
pengusutan fiskal wajib pajak tahun sebelumnya agar “uang panas” yang belum terjangkau
oleh aparat perpajakan dapat dimunculkan. Sementara itu, dalam bidang sosial, Bohari
mencontohkan penerapan pajak barang mewah yang tinggi untuk mencegah gangguan
sosial agar terjadi redistribusi pendapatan, dan dalam bidang budaya, fungsi mengatur
dicontohkan dalam hal penghapusan pajak bagi para pengarang (penulis), agar lebih
banyak buku yang terbit.

55

Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Rajagrafindo Persada, Jakarta, cetakan keempat, 2004, hlm. 135 – 139.

13
BAB III
PAJAK DAERAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 DALAM
PERSPEKTIF DESENTRALISASI FISKAL DIKAITKAN DENGAN FUNGSI PAJAK

A. Pajak Daerah Dalam Perspektif Desentralisasi Fiskal
Dalam konteks desentralisasi fiskal, pengaturan pajak daerah dalam UU No. 28
Tahun 2009 tampaknya menjawab kritik-kritik terhadap UU sebelumnya yang dianggap tidak
memberikan kecukupan sumber pendapatan asli daerah, terutama dari sektor pajak daerah.
Roy Bahl, misalnya, mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia, hasil yang terlihat adalah
terlalu besarnya desentralisasi pengeluaran (expenditure decentralization)56. Bahl mengutip
Fengler dan Hofman, menegaskan bahwa, desentralisasi di Indonesia dapat dikatakan
sebagai a very successful decentralization that was comprehensive (suatu desentralisasi
yang berhasil secaral komprehensif, namun kegagalan untuk mengatur masalah pajak
daerah sampai saat ini menjadi tantangan yang belum terselesaikan.57 Tingginya
desentralisasi pengeluaraan atau dalam istilah Shah, otonomi pengeluaran, dapat dilihat
dari besarnya pengeluaran daerah dibandingkan pendapatan asli daerah (PAD)58, sehingga
daerah sangat bergantung pada transfer dana dari pusat59 (dana perimbangan), baik berupa
DAU, DBH, maupun DAK. Daerah pun secara bebas dapat menggunakan dana-dana
tersebut tanpa ditentukan peruntukannya, kecuali DBH sektor minyak dan gas, dan DAK
yang ditentukan peruntukannya (ear marked).60 Sementara itu, dalam konteks rendahnya
otonomi pendapatan, dalam konteks PAD dari pajak daerah, dapat dilihat dari kebijakan
pajak yang tidak memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengatur kebijakan pajaknya

56

Roy Bahl, op.cit., hlm. 17.
Ibid., hlm. 20- 21.
58
Di tingkat kabupaten/ kota kontribusi PAD hanya menyumbang kurang dari 10% terhadap APBD. Tjip Ismail,
Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, cetakan kedua, 2007, hlm. 263.
59
Ibid.
60
DBH dari penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi, dalam UU No. 33 Tahun 2004 mengatur
bahwa sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar (Pasal 20 ayat(1)). DAK
digunakan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional (lihat Pasal 1 angka 3 UU No. 33 Tahun 2004).
57

14
sesuai dengan kondisi dan kemampuan masyarakatnya.61 Pajak daerah dalam UU No. 18
Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000 lebih menekankan pada keseragaman antar daerah,
dalam bentuk kewenangan memungut pajak tertentu (positive list) yang basis pajaknya/
objeknya telah ditetapkan dalam undang-undang.62
Diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009 telah memberikan harapan baru bagi
daerah untuk memperbesar PAD-nya dari sektor pajak daerah, dengan adanya beberapa
pajak daerah baru, pengaturan tentang tariff yang dianggap lebih disesuaikan dengan
kondisi daerah. Namun demikian, dengan sistem penetapan jenis pajak daerah yang bersifat
tertutup, apakah daerah masih memiliki otonomi pendapatan?
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa pengaturan pajak daerah dalam
UU No. 28 Tahun 2009 ditujukan untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dari potensi yang ada di daerahnya
sehingga daerah lebih akuntabel dan tidak terlalu bergantung pada dana perimbangan. Hal
tersebut diakukan dengan memperluas basis pajak, baik ditetapkan pajak daerah baru
maupun dengan perluasan objek pajak yang sudah ada. Namun demikian, dari jenis pajak
daerah baru tersebut, hanya pajak rokok yang secara signifikan memberikan kontribusi
terhadap PAD dengan tarif 10% dari cukai nasional dan sebagian lagi dari pajak hiburan
yang dapat mencapai tariff maksium 75 % untuk hiburan-hiburan tertentu.63 Sementara itu,
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pedesaan dan Perkotaan serta Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan(BPHTB) sebenarnya bukan pajak baru, karena hal tersebut
merupakan pajak pusat yang seluruh hasilnya dikembalikan kepada daerah sebagai dana
bagi hasil(DBH) dari sektor pajak.64 Sementara itu, Pajak Sarang Burung Walet dipungut

61

Ibid., hlm. 264.
Ibid.
63
Hiburan tertentu yang dimaksud adalah Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan,
diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa. Lihat Pasal 45 ayat (2)
UU No. 28 Tahun 2009.
64
Pengaturan persentase perimbangan alokasi DBH PBB dan BPHTB antara pusat dan daerah adalah 10 % : 90
% untuk DBH PBB dan 20% : 80 % untuk DBH BPHTB. 10 % bagian pusat dari PBB dan 20 % bagian pusat dari
BPHTB dibagikan seluruhnya kepada daerah dengan formula tertentu. Lihat Pasal 12 ayat (2) dan ayat(5) UU
No. 33 Tahun 2004.
62

15
bagi daerah-daerah yang memiliki potensi ini. Artinya, tidak semua daerah dapat memungut
pajak daerah tersebut, karena tidak setiap daerah memiliki potensi sarang burung walet.

Perluasan objek pajak daerah, misalnya untuk pajak hotel dan restoran sebenarnya
juga bukan hal baru. Beberapa daerah juga telah menetapkan jenis pajak daerah di luar UU
No. 34 Tahun 2000, yang menyerupai perluasan objek pajak tersebut, misalnya pajak rumah
kos di Kabupaten Sumedang. Dengan demikian, perluasan objek pajak tersebut sebenarnya
hanya mengambil dan mengukuhkan secara nasional pajak-pajak daerah yang sebelum
telah dipungut di beberapa daerah.
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang tarifnya ditentukan secara progresif pun di
mulai dari prosentase tariff 1% untuk kepemilikan kendaraan pribadi yang pertama,
walaupun untuk kendaraan kedua dan seterusnya dapat naikkan secara progresif hingga
10%. Artinya, hasil finansial dari perubahan pengaturan PKB tidak dapat didapatkan secara
langsung. Begitu pula dengan pemecahan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
menjadi Pajak Air Tanah (kabupaten/ kota) dan Pajak Air Permukaan (untuk provinsi), pada
dasarnya memiliki objek pajak yang tidak berubah, dengan tarif yang sama dengan UU
sebelumnya untuk Pajak Air Tanah (maksimal 20%65), namun lebih rendah untuk Pajak Air
Permukaan (maksimal 10%).66
Hal – hal di atas menunjukkan bahwa pemberian pajak baru, penyesuaian tariff pajak
daerah tidak dapat dipastikan dapat meningkatkan PAD. Apalagi jika dikaitkan dengan
kemungkinan masalah yang muncul dalam praktik, misalnya mekanisme pengawasan
kepemilikan kendaraan bermotor pribadi dengan tariff pajak progresif. Jika mekanisme
tersebut tidak dibentuk, maka pelaksanaan pemungutan pajak tersebut, berpotensi
menimbulkan ketidakadilan.67 Berdasarkan hal-hal tersebut, maka otonomi pendapatan yang
diharapkan dapat meningkat dengan adanya UU ini, belum tentu dapat terwujud.

65

Pasal 70 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009.
Pasal 24 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009.
67
UU No. 28 Tahun 2009 tidak mewajibkan mekanisme balik nama jika terjadi peralihan hak atas kepemilikan
kendaraan pribadi. Artinya, jika seseorang telah menjual kendaraannya kepada orang lain tanpa melakukan
66

16
Jika asumsi PAD dari sektor pajak daerah belum dapat ditingkatkan dengan adanya
UU No. 28 Tahun 2009, maka dengan sistem penetapan jenis pajak yang tertutup, daerah
kurang dapat memanfaatkan potensi pajak daerah lain, selain yang telah ditetapkan secara
limitatif dalam UU tersebut. Hal ini berbeda dengan UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34
Tahun 2000 di mana daerah masih dapat menetapkan jenis pajak daerah baru dengan
kriteria tertentu, walaupun kriteria-kriteria tersebut sulit dipenuhi.68
Pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 berargumen bahwa sistem tertutup tersebut
dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.69 Namun demikian,
pembentukan UU tersebut tidak melihat bahwa otonomi daerah yang diterapkan di
Indonesia adalah otonomi seluas-luasnya di mana urusan pemerintahan daerah sangat
luas, mencakup seluruh urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat.70 Artinya, dibutuhkan biaya yang sangat besar untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah, sehingga hal tersebut harus didukung
dengan sumber pendapatan yang juga sangat besar.
Pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 berargumen bahwa dengan sistem pajak daerah
selama ini, banyak daerah yang melanggar kriteria yang telah ditetapkan untuk menetapkan
pajak daerah baru, ditambah dengan lemahnya pengawasan penetapan Perda Pajak
Daerah dan perilaku banyak daerah yang tidak menyampaikan Perda Pajak Daerah untuk
dievaluasi.71 Namun demikian, UU No. 28 Tahun 2009 tetap menerapkan sistem yang semi
terbuka untuk retribusi daerah. Artinya, selain retribusi daerah yang ditetapkan dalam UU
No. 28 Tahun 2009, daerah dapat menetapkan jenis retribusi daerah lain, berdasarkan
kriteria yang ditetapkan.72 Padahal pembentuk UU No. 28 Tahun 2009 juga mengakui

balik nama, maka orang tersebut akan dikenakan tariff progresif jika akan membeli kendaraan bermotor lagi
untuk jenis yang sama, padahal orang tersebut secara de facto hanya memiliki 1 kendaraan pribadi.
68
Tjip Ismail pada masa berlakunya UU No. 34 Tahun 2000, mengatakan: sangat sulit menemukan jenis pajak
baru yang dapat memenuhi kriteria tersebut. Tjip Ismail, op.cit., hlm. 266.
69
Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009.
70
Pasal 18 ayat
Peru aha Kedua UUD 1
, e yataka : Pe eri taha daerah e jala ka oto o i
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat .
71
Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009.
72
Pasal 150 UU No. 28 Tahun 2009.

17
bahwa penetapan retribusi daerah yang banyak melanggar kriteria yang telah ditetapkan
disebabkan, hasil penerimaan dari jenis pajak daerah yang ditetapkan, tidak dapat
memenuhi kebutuhan daerah.73 Padahal dengan sistem pajak daerah yang sifatnya tertutup
maka, pelangggaran terhadap kriteria jenis retribusi daerah lain kemungkinan akan terulang
kembali. Hal tersebut menunjukkan ambiguitas pemikiran para pembentuk UU No. 28 Tahun
2009 dalam mendudukkan pajak daerah dan retribusi daerah.

B. Fungsi Pajak Daerah Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009
Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa latar belakang ditetapkannya UU No. 28
Tahun 2009 adalah pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah kurang mendukung
pelaksanaan otonomi daerah. Lebih tegas lagi dalam Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun
2009 dinyatakan bahwa hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan
memiliki peranan yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) khususnya bagi daerah kabupaten dan kota. Dengan demikian, dalam konteks
pajak daerah, tujuan pembentukan UU No. 28 Tahun 2009 adalah untuk meningkatkan
kontribusi pajak daerah terhadap APBD. Dalam konteks fungsi pajak, hal tersebut lebih
mencerminkan fungsi budgeter. Namun demikian, seperti telah dibahas sebelumnya,
menguatnya otonomi pendapatan dalam pemungutan pajak daerah tidak dapat dipastikan
dapat terwujud, bahkan cenderung mengurangi otonomi pendapatan dengan penerapan
sistem pajak daerah yang tertutup.
Sementara itu, UU No. 28 Tahun 2009 tidak menegaskan secara eksplisit fungsi
mengatur dari pajak daerah. Walaupun demikian, secara implisit ada beberapa pajak daerah
yang juga secara sekilas mencerminkan fungsi pajak yang bersifat mengatur, antara lain
pajak progresif untuk PKB kendaraan pribadi, pengurangan tariff Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor untuk kendaraan umum dan sebagain hasilnya diharuskan digunakan
untuk peningkatan infrastruktur jalan dan sarana transportasi umum, serta pajak rokok untuk
mengurangi tingkat konsumsi rokok dan sebagian hasilnya harus digunakan untuk
73

Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2009.

18
peningkatan pelayanan kesehatan dan penegakan hukum, serta Pajak Penerangan Jalan
yang sebagian hasilnya digunakan untuk penyediaan penerangan jalan, serta tarif yang
lebih tinggi untuk pajak hiburan tertentu.
Namun demikian, oleh karena target utama pembentukan UU No. 28 Tahun 2009
adalah untuk meningkatkan fungsi budgeter, bagaimanakah keberadaan fungsi mengatur
dalam pajak-pajak tersebut?
Untuk tariff pajak PKB untuk kendaraan pribadi dan pengurangan tariff Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan umum, fungsi mengatur lebih dominan dari
pada

fungsi

budgeter.

Namun

demikian,

mekanisme

praktik

di

lapangan

perlu

dipertimbangkan dengan baik agar pemungutan PKB tidak menimbulkan ketidakadilan.
Begitu pula, pengaturan pengurangan pajak bahan bakar untuk kendaraan umum. Hal ini
disebabkan, pajak bahan bakar kendaraan bermotor dipungut di tempat pembelian bahan
bakar. Artinya, setiap tempat penjualan bahan bakar kendaraan bermotor akan memiliki
harga penjualan yang berbeda-beda sesuai dengan kebijakan setiap. Jika aturan
pelaksanaan pajak tersebut tidak mempertimbangkan kesulitan dari tempat penjualan bahan
bakar minyak, maka pengurangan tariff tersebut justru dapat menimbulkan masalah baru.
Sementara itu, untuk pajak penerangan jalan, walaupun ditentukan bahwa sebagian
hasilnya digunakan untuk penyediaan penerangan jalan, namun karena tidak ditentukan
berapa prosentase-nya, maka dikhawatirkan hasil penerimaan pajak penerangan jalan untuk
penyediaan penerangan jalan dikhawatirkan sangat kecil prosentasenya. Hal tersebut juga
menunjukkan bahwa fungsi mengatur dari pajak tersebut tidak diatur dengan baik. Dengan
kondisi pengaturan demikian, pemungutan pajak penerangan jalan akan lebih menekankan
pada fungsi budgeter, dari pada menerapkannya secara simultan dengan fungsi mengatur.
Sementara itu, untuk pajak hiburan tertentu yang tarifnya lebih tinggi dari tariff
maksimal dala UU sebelumnya, sebenarnya telah menunjukkan fungsi mengatur, dalam hal
mencegah

pengeluraan-pengeluaran

yang

tidak

produktif.74

namun

mengesampingkan keragaman kondisi budaya tiap-tiap daerah. Walaupun
74

Soemitro Djojohadikoesoemo, dalam Santoso Brotodihardjo, loc.cit.

hal

tersebut

tariff pajak

19
hiburan tertentu cukup tinggi, namun hal tersebut tidak menjamin berkurangnya konsumsi
masyarakat

terhadap jasa-jasa hiburan tersebut.

Untuk

daerah yang

daya beli

masyarakatnya tinggi untuk hiburan-hiburan tersebut, maka tariff maksimal 75% tidak
merupakan suatu jaminan untuk mengurangi jenis-jenis hiburan yang cenderung tidak
produktif tersebut. Dalam hal ini, fungsi mengatur dalam hal tariff pajak hiburan tertentu,
tidak mempertimbangkan lokalitas budaya daerah yang berbeda-beda. Dengan demikian,
fungsi mengatur dari pajak hiburan akan lebih didominas oleh fungsi budgeter.
Untuk pajak rokok, walaupun hasilnya sebagian dialokasikan untuk pelayanan
kesehatan dan penegakan hukum, namun yang menjadi pertanyaan, mengapa hal tersebut
tidak dilakukan dengan memperbesar cukai rokok lalu hasilnya dibagi-hasilkan kepada
daerah? Pajak rokok lebih menunjukkan fungsi budgeter dari pada fungsi mengatur. Hal ini
disebabkan sifat pajak rokok yang tidak sepenuhnya menunjukkan pajak daerah, karena
dipungut oleh pemerintah pusat (instansi yang berwenang memungut cukai rokok) lalu
disetorkan pada kas daerah provinsi. Hal tersebut menjadikan pola pemungutan pajak rokok
sama seperti dana bagi hasil (DBH) seperti DBH dari PBB dan BPHTB sebelum ditetapkan
menjadi pajak daerah, di mana semua hasil penerimaan pajak tersebut pada dasarnya
dibagikan kepada daerah. Dengan demikian, pajak rokok lebih menunjukkan kompromi
antara Pemerintah Pusat dan Provinsi yang selama ini tidak mendapatkan bagi hasil secara
langsung dari penerimaan cukai rokok.
Hal – hal di atas menunjukkan, walaupun pengaturan pajak daerah dalam UU No. 28
Tahun 2009 juga mencerminkan fungsi mengatur namun, pengaturannya masih tidak
mengatur keseimbangan dengan fungsi budgeter yang mentitikberatkan pada peningkatan
kontribusi penerimaan pajak daerah terhadap APBD.

20
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut:
1. Ditetapkannya UU No. 28 Tahun 2009 ditujukan untuk meningkatan kontribusi pajak
daerah dan retribusi daerah terhadap APBD agar daerah tidak terlalu bergantung pada
pusat. Namun demikian, ada pajak baru, penyesuain tariff, dan pengaturan peruntukan
belum dapat dipastikan dapat memenuhi tujuan tersebut, karena beberapa hal: potensi
pajak tiap-tiap daerah berbeda-beda sementara daerah tidak dapat memungut jenis pajak
daerah lain selain yang ditetapkan UU tersebut. Pada akhirnya, tidak dapat dipastikan
apakah otonomi pendapatan sebagai salah satu prinsip desentralisasi fiskal dapat menguat
atau justru melemah.
2. Walaupun UU No. 28 Tahun 2009 lebih menekankan fungsi budgeter dari pada fungsi
mengatur, namun

secara implisit fungsi mengatur dari beberapa pajak daerah. Namun

demikian, oleh karena pengaturan dalam UU No. 28 Tahun 2009 lebih ditujukan untuk
meningkatkan hasil penerimaan pajak daerah maka fungsi mengatur dari beberapa pajak
daerah belum tentu dapat memberikan dampak positif dalam kehidupan bermasyarakat di
daerah.

B. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, penulis menyarankan hal-hal
sebagai berikut:
Pemerintah pusat perlu mempersiapkan aturan pelaksanaan yang dapat menjamin efekfitas
pemungutan pajak daerah dalam meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pajak
daerah.
Pemerintah pusat juga perlu mempersiapkan instrumen dan mekanisme pengawasan
pemungutan pajak daerah untuk jenis-jenis pajak daerah baru.

21
Sebaiknya pemerintah daerah tidak hanya mempertimbangkan fungsi pajak daerah dari
aspek budgeter, tetapi juga mempertimbangkan fungsi mengatur dari pajak daerah.

22

DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal, Makalah
Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, UI-Press, Jakarta,2002.
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1994.
__________, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH UII, Yogyakarta, cetakan
ketiga, 2004. .
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Rajagrafindo Persada, Jakarta, cetakan keempat, 2004.
Larry Schroeder, “Fiscal Decentralization in South East Asia”, Journal of Public Budgeting,
Accounting & Financial Management, Vol. 15 No. 3, Academic Press, 2003.
Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung, 1982.
Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal
Decentralization and The Composition of Public Expenditures, Disertasi,
Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State
University, Atlanta, 2003.
Jameson Boex, Renata R Simatupang, “Fiscal Decentralisation and Empowerment: Evolving
Concepts and Alternative Measures” Journal Compilation Institute of Fiscal Studies
Vol. 29, No. 4, Blackwell Publishing Ltd, UK-USA, 2008.
Anwar Shah, “Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies: Progress,
Problems, and the Promise” World Bank Policy Research Working Paper 3282,
World Bank, Washington, DC USA, April 2004.
Anwar Shah, Theresa Thompson, “Implementing Decentralized Local Governance: A
Treacherous Road with Potholes, Detours and Road Closures”, World Bank Policy
Research Working Paper 3353, The World Bank, Washington DC, USA, June
2004.
Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World
Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009.
Jaime Bonet, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the
Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006.
Sindian Isa Djajadiningrat, Hukum Padjak dan Keadilan, Eresco, Bandung, 1965.
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1995.
Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, cetakan kedua,
2007.
Sumber Internet
Joko Tri Haryanto, “ Potret PAD Dan Relevansinya Terhadap Kemandirian Daerah”,
makalah, Jakarta, tanpa tahun. http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CPAD.pdf.
Diunduh pada tanggal 20 Agustus 2009.
“RUU Pajak dan Retribusi Daerah Disahkan Jadi UU”, Media Indonesia, Selasa, 18 Agustus
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/91036/20/2/RUU-Pajak-dan2009,
Retribusi-Daerah-Disahkan-Jadi-UU, diakses pada tanggal 20 Agustus 2009.
“Pajak Daerah Dibatasi, Pelayanan kepada Masyarakat Wajib Ditingkatkan”, Kompas,
Rabu,
5
Agustus
2009,
diakses
dari
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/05/04112298/pajak.daerah.dibatasi.