PEMANFAATAN KACANG KACANGAN LOKAL MENDUK

Pengembangan Inovasi Pertanian 3(3), 2010: 238-245

PEMANFAATAN KACANG-KACANGAN LOKAL
MENDUKUNG DIVERSIFIKASI PANGAN1)
Winda Haliza, Endang Y. Purwani, dan Ridwan Thahir
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Jalan Tentara Pelajar No. 12 Bogor 16114
Telp. (0251) 8321762, 8350920, Faks. (0251) 8321762
e-mail: bb_pascapanen@litbang.deptan.go.id

PENDAHULUAN
Pemantapan ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam agenda pembangunan nasional karena: (1) akses terhadap pangan dengan gizi yang cukup merupakan hak yang paling azasi bagi manusia; (2) kualitas pangan dan gizi yang
dikonsumsi merupakan unsur penentu
yang penting bagi pembentukan sumber
daya manusia yang berkualitas; (3) ketahanan pangan merupakan salah satu pilar
utama yang menopang ketahanan ekonomi
dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu,
aman, bermutu, bergizi dan beragam dengan harga yang terjangkau masyarakat,
dan diutamakan berasal dari pangan lokal.
Diversifikasi pangan lokal sangat penting untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat. Sebagai negara agraris
yang dianugerahi sumber daya alam melimpah, Indonesia memiliki sumber daya

kacang-kacangan lokal yang potensial. Beragam jenis kacang-kacangan lokal yang
potensial memiliki kandungan nutrisi ham-

1)

Bagian dari naskah yang diterbitkan pada Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Volume
3 Nomor 1, Tahun 2007, hlm. 1-8.

pir sama dengan kedelai. Namun, potensi
tersebut sampai saat ini belum dikembangkan secara optimal sehingga pemanfaatannya relatif terbatas.
Diversifikasi pangan lokal khususnya
kacang-kacangan lokal diperlukan dan
potensial untuk dikembangkan, mengingat
produksi kedelai nasional belum mampu
memenuhi kebutuhan konsumsi nasional.
Sampai saat ini, pemerintah masih mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Namun, krisis kedelai yang terjadi pada akhir tahun 2007
telah mengakibatkan gangguan terhadap
stabilitas ketahanan pangan. Hal tersebut
harus dihadapi sebagai konsekuensi ketergantungan pada kedelai impor.
Diversifikasi ini tidak bertujuan untuk

menggantikan kedelai, namun memberikan
ruang dan alternatif kepada masyarakat
untuk memilih komoditas pangan lokal
yang memiliki kualitas gizi, rasa, cita rasa,
dan citra yang tidak kalah dengan kedelai.
Disadari, kedelai memiliki citra superior,
mengungguli kacang-kacangan lainnya.
Masyarakat Indonesia tidak bisa lepas dari
kedelai karena sejak dulu sampai sekarang
masyarakat telah memanfaatkannya sebagai bahan baku tempe dan tahu. Sekitar
80% konsumsi kedelai dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan industri tahu dan
tempe, sedangkan sisanya untuk berbagai

macam industri seperti kecap, susu kedelai,
dan makanan ringan (Departemen Pertanian 2004). Kandungan gizi tahu dan
tempe mampu bersaing dengan bahan pangan hewani seperti daging, telur dan ikan,
baik kandungan protein, vitamin, mineral
maupun karbohidratnya. Rasa yang enak
dan harga yang relatif murah menyebabkan kedua produk olahan kedelai tersebut

disukai dan terjangkau masyarakat. Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap
manfaat kesehatan dari kedelai juga merupakan faktor pendorong meningkatnya
konsumsi produk olahan berbasis kedelai.
Studi pola konsumsi pangan menunjukkan bahwa tempe dan tahu dikonsumsi
minimal tiga kali dalam satu minggu oleh
masyarakat. Konsumsi tempe dan tahu
masing-masing meningkat dari 4,42 kg dan
4,63 kg/kapita/tahun pada tahun 1990
menjadi 7,70 kg dan 8,27 kg/kapita/tahun
pada tahun 2002 (Soejadi et al. 1993). Selanjutnya pada tahun 2006, laju konsumsi
kedelai per kapita meningkat rata-rata 6,3%/
tahun sehingga konsumsi kedelai mencapai 8,31 kg/kapita/tahun. Kondisi konsumsi ini kontradiktif dengan produksi.
Pada satu sisi produksi demikian rendah,
pada sisi lain konsumsi meningkat 4,3%/
tahun (Nuryanti dan Kustiari 2007).
Pemerintah terus berupaya meningkatkan produktivitas dan produksi kedelai
melalui berbagai langkah strategis untuk
mengatasi kekurangan pasokan di dalam
negeri. Langkah strategis yang ditempuh
antara lain adalah perluasan areal tanam,

penyiapan bibit unggul, pemberian benih
gratis kepada petani, dan insentif lainnya
demi terwujudnya swasembada kedelai.
Langkah-langkah strategis tersebut berhasil meningkatkan produksi kedelai pada
tahun 2009 mencapai 974.512 ton dengan
luas tanam 722.791 ha, dibandingkan
808.353 ton pada tahun 2005 (BPS 2010).

Kebijakan peningkatan produksi kedelai tidak cukup ditempuh hanya melalui
peningkatan produksi, tetapi juga perlu
mengoptimalkan potensi kacang-kacangan
lokal selain kedelai. Upaya ini dirasa sangat
rasional mengingat beragam jenis kacangkacangan lokal yang potensial tumbuh di
Indonesia. Kacang tunggak (Vigna unguiculata), misalnya, dapat tumbuh pada
tanah sulfat masam. Kacang faba (Vicia
faba), meskipun berasal dari wilayah subtropik, mampu tumbuh pada lahan kering
dataran tinggi (>1.000 m dpl). Kacang bogor
(Vigna subterranea) tumbuh di daerah
tropis dengan ketinggian sampai 1.600 m
dpl. Kacang komak (Dolichos lablab) sangat toleran terhadap kekeringan, beradaptasi baik pada lahan kering dengan

ketinggian 0-2.100 m dpl. Kacang tunggak
umumnya ditanam di lahan kering pada
musim kemarau, namun dapat pula di lahan
sawah setelah padi. Hal ini terkait dengan
salah satu sifat unggul kacang tunggak
yang lebih toleran terhadap kekeringan
dibanding jenis kacang-kacangan lainnya.
Ditinjau dari ketersediaan bibit, beberapa
varietas unggul kacang tunggak telah
tersedia (Kasno et al. 1991; Adisarwanto
2002; Marwoto dan Suhartina 2002;
Trustinah dan Kasno 2002; Kurniawan et
al. 2004).
Salah satu kebijakan pembangunan
pangan dalam mencapai ketahanan pangan
adalah melalui diversifikasi pangan untuk
memberikan alternatif bahan pangan sehingga mengurangi ketergantungan pada
komoditas tertentu. Penganekaragaman
pangan juga diharapkan akan memperbaiki
kualitas konsumsi pangan masyarakat, karena semakin beragam konsumsi pangan

maka suplai zat gizi lebih lengkap daripada
mengonsumsi satu jenis bahan pangan saja.
Undang-undang No.7/1996 tentang
Pangan menyebutkan ketahanan pangan

sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi
setiap rumah tangga, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik mutu
maupun jumlahnya, aman, merata, dan
terjangkau. Oleh karena itu, paradigma
pembangunan ketahanan pangan difokuskan pada pengembangan komoditas tertentu menjadi lainnya yang sesuai dengan
potensi dan sumber daya daerah.
Secara tradisional, masyarakat Indonesia telah mengonsumsi beragam jenis
pangan. Kacang-kacangan lokal dapat dimanfaatkan dalam membuat tempe, bahkan
secara komersial sudah dikenal di beberapa
tempat, misalnya tempe benguk (terbuat
dari kacang koro benguk) di Yogyakarta,
dan tempe gembus di Jawa Timur. Namun,
pemanfaatannya masih terbatas pada
daerah tertentu.


PELUANG DAN TANTANGAN
PENGEMBANGAN KACANGKACANGAN LOKAL
Peluang
Setiap tahun Indonesia mengimpor kedelai
dalam jumlah yang cukup besar untuk
mencukupi kebutuhan dalam negeri yang
terus meningkat. Produksi kedelai domestik tidak sepesat pertumbuhan konsumsinya. Pemenuhan konsumsi kedelai
lebih banyak berasal dari impor. Selain harga kedelai impor lebih murah, keberlanjutan pasokan kedelai impor lebih terjamin
dibanding kedelai nasional. Impor kedelai
mencapai 2,3 juta ton setiap tahun (19962005). Separuh dari volume impor tersebut
berasal dari negara maju. Amerika Serikat
mendominasi impor kedelai Indonesia,
mencapai hampir 50% dari total impor
setiap tahun (Sawit et al. 2006). Volume dan

nilai impor kedelai masing-masing tumbuh
8,4% dan 7,9%/tahun (1996-2006). Sampai
dengan September 2006, volume impor
kedelai mencapai 3,38 juta ton (BPS 2010).

Kondisi ini mengharuskan upaya pemenuhan kebutuhan kedelai tidak dapat hanya
dilakukan melalui peningkatan produksi,
tetapi juga diperlukan kebijakan di bidang
pengolahan atau diversifikasi pangan.
Salah satu kebijakan dan strategi yang
dapat ditempuh adalah mengoptimalkan
potensi kacang-kacangan lokal sebagai
pengganti kedelai. Kebijakan ini sangat
mungkin dilakukan mengingat berbagai
penelitian menunjukkan kacang-kacangan
lokal dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pensubstitusi dalam pembuatan tempe,
seperti tempe dari kacang gude (Damardjati
dan Widowati 1995; Indrasari et al. 1992)
atau kacang tunggak (Richana dan Damardjati 1999). Substitusi kedelai dengan
kacang gude hingga 30% masih dapat
menghasilkan tempe yang diterima konsumen (Indrasari et al. 1992). Kacang tunggak tanpa dicampur kedelai dapat menghasilkan tempe dengan kualitas yang baik
(Purwani et al. 2006).
Berbeda dengan kedelai, kacang-kacangan lokal pada umumnya belum mampu
berperan sebagai cash crop. Sebagian

besar kacang-kacangan lokal merupakan
tanaman sampingan yang ditanam di pekarangan, pematang sawah atau ditumpangsarikan dengan tanaman pangan lain.
Sampai saat ini, perluasan pertanaman
secara optimal belum serius dilakukan
sehingga produksi dan pemanfaatannya
relatif terbatas. Oleh karena itu, diperlukan
kebijakan pengembangan tanaman kacangkacangan lokal potensial. Pengembangannya sebaiknya diarahkan pada daerah
yang memiliki sumber daya alam dan manusia serta pasar bagi komoditas tersebut.

Sifat Fisik Kacang-kacangan
Ketidakmampuan kacang-kacangan lokal
(kacang tunggak, kacang komak, dan sebagainya) bersaing dengan kedelai tampaknya bukan disebabkan oleh ketidakmampuannya tumbuh, tetapi karena perbedaan sifat. Sifat fisik maupun kimia kacang-kacangan sangat menentukan fungsi
dan pemanfaatannya lebih lanjut. Ukuran
dan bentuk termasuk salah satu sifat fisik
yang memiliki arti penting. Biji kedelai yang
berukuran besar lebih disukai produsen
tempe. Namun sifat tersebut tidak diperlukan pada pengolahan tahu maupun susu
kedelai. Oleh karena itu, ukuran dan bentuk
termasuk salah satu sifat yang memberi
nilai tambah pada kedelai.

Warna dan tingkat kekerasan biji kacang-kacangan lokal bervariasi, begitu
pula warna dan ukurannya. Kendala yang
sering ditemui pada pengolahan kacangkacangan lokal (misalnya untuk tempe)
adalah kulit biji sulit dikupas atau dipisahkan. Biji gude perlu dimasak (3 jam) dan
direndam (18 jam) lebih lama dibandingkan
dengan kedelai untuk membuang kulit sebelum diolah menjadi tempe (Sambudi dan
Buckle 1992) karena biji gude lebih keras.
Masalah biji keras juga ditemui pada biji
kecipir dan komak. Kondisi ini menjadi
alasan bagi petani untuk memanen kecipir
atau kacang gude saat masih muda untuk
dikonsumsi sebagai sayur.

Sumber Nutrisi Pangan
Ditinjau dari aspek gizi, kacang-kacangan
merupakan sumber protein, lemak, dan
karbohidrat. Kacang-kacangan lokal tidak
kalah dalam kandungan protein, begitu
pula kualitas protein yang ditentukan oleh
susunan asam amino. Secara umum, ka-


cang-kacangan lokal memiliki kelebihan
asam amino esensial lisin, tetapi kekurangan asam amino sulfur seperti metionin
dan sistin. Namun, kekurangan ini dapat
dikompensasi dengan cara mengombinasikannya dengan protein serealia yang mengandung metionin dan sistin.
Berdasarkan analisis kandungan zat
gizi, tidak ada satu jenis pangan pun yang
mengandung zat gizi lengkap yang mampu
memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan
manusia. Satu bahan pangan mungkin kaya
akan zat gizi tertentu, namun kurang mengandung zat gizi lainnya. Padahal untuk
dapat hidup sehat, seseorang paling tidak
memerlukan 40 jenis zat gizi yang diperoleh
dari makanan. Untuk hidup sehat, orang
perlu mengonsumsi pangan yang beragam,
termasuk pangan pokoknya.
Pengertian penganekaragaman pangan
mencakup peningkatan jenis dan ragam
pangan, baik dalam bentuk komoditas
(bahan pangan), pangan semiolahan dan
olahan, maupun pangan siap saji. Pendekatan penganekaragaman tersebut dalam
program pembangunan nasional dikenal
dengan istilah diversifikasi horisontal dan
vertikal. Melalui pengembangan budi daya
berbagai komoditas pangan (diversifikasi
horisontal) akan dihasilkan beragam bahan
pangan seperti kacang tunggak, gude,
koro, dan komak. Dengan pengembangan
aneka produk pangan olahan akan dihasilkan produk seperti tempe, tahu, susu, dan
kecap (diversifikasi vertikal).
Selain zat gizi, hampir semua kacangkacangan, termasuk kedelai, mengandung
senyawa antigizi seperti trypsin inhibitor,
asam fitat, dan tanin. Trypsin inhibitor
dapat menurunkan ketersediaan protein
pada sistem pencernaan, sedangkan asam
fitat berikatan dengan mineral penting dan
protein membentuk senyawa kompleks.
Akibatnya kemampuan menyerap mineral

menurun. Tanin membentuk senyawa
kompleks dengan protein dan karbohidrat.
Kadar zat antigizi pada setiap jenis kacang
berbeda. Pada kacang-kacangan lokal,
kandungan zat antinutrisi seperti tanin
secara eksplisit terlihat dari warna kulit biji
yang lebih gelap. Senyawa antigizi dapat
dihilangkan atau dikurangi melalui proses
pengolahan, antara lain fermentasi, pengecambahan, perendaman maupun pemasakan. Tanin umumnya terkonsentrasi
pada kulit biji sehingga dapat dihilangkan
dengan cara mengupas kulit biji.
Senyawa fenol termasuk salah satu
senyawa fitokimia penting yang memiliki
aktivitas antioksidan atau antimutagen.
Senyawa fenol pada kedelai, terutama isoflavon, telah diteliti secara intensif. Sebaliknya informasi senyawa fenol pada kacang-kacangan selain kedelai sangat terbatas. Kacang tunggak mengandung senyawa fenol berupa ester protokatekat
(protocatechuic) yang selanjutnya terhidrolisis menjadi asam protokatekat bebas. Senyawa ini diduga memiliki fungsi
tertentu dalam diet.
Salah satu faktor penyebab petani
enggan membudidayakan kacang-kacangan lokal adalah terbatasnya pengetahuan
dan kemampuan dalam mengolah maupun
memanfaatkannya. Oleh karena itu, teknologi pengolahan dan pemanfaatan kacang-kacangan lokal perlu terus dikembangkan.

PENGEMBANGAN
KACANG TUNGGAK SEBAGAI
PENGGANTI KEDELAI
Salah satu teknologi yang sangat mungkin
diterapkan untuk mengembangkan kacangkacangan lokal adalah pengolahan menjadi
tempe. Proses pembuatan tempe cukup

sederhana dan umumnya masyarakat
Indonesia mengenal produk ini. Berbagai
penelitian menunjukkan, kacang-kacangan
lokal dapat diolah menjadi tempe, seperti
tempe dengan bahan baku kacang gude
(Indrasari et al. 1992; Damardjati dan Widowati 1995) atau kacang tunggak (Richana
dan Damardjati 1999). Substitusi kedelai
dengan kacang gude hingga 30% menghasilkan tempe yang diterima konsumen
(Indrasari et al. 1992).
Kacang tunggak tanpa dicampur kedelai dapat menghasilkan tempe dengan
kualitas yang baik. Kacang tunggak, setelah diolah menjadi tempe, mempunyai
kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Setiap 100 g tempe kacang tunggak mengandung protein 34 g, lemak 3 g, karbohidrat
53 g, serat 3 g, dan abu 1 g. Kandungan
asam amino esensial (asam amino yang
tidak dapat disintesis tubuh) pada kacang
tunggak relatif sama dengan kedelai. Asam
ferulat yang terkandung dalam tempe
mampu menurunkan tekanan darah dan
kandungan glukosa darah. Senyawa fenilpropanoid lainnya, yaitu asap p-koumarik
mampu melemahkan zat nitrosamin yang
menjadi salah satu penyebab penyakit
kanker. Uji preferensi terhadap responden
yang berasal dari Bogor dan Mataram
menunjukkan, tempe kacang tunggak dapat diterima dan disukai responden (Haliza
et al. 2007)
Ditinjau dari aspek produksi, kacangkacangan lokal, khususnya kacang tunggak memiliki potensi cukup besar untuk
dikembangkan lebih lanjut. Hasil kacang
tunggak mencapai 1,5-2,0 t/ha, bergantung
varietas, lokasi, musim tanam, dan teknologi budi daya yang diterapkan (Kasno et
al. 1991). Benih unggul kacang tunggak
dan galur-galur harapan hasil pemuliaan
dalam negeri telah tersedia cukup banyak.
Budi daya kacang tunggak sudah dikenal

petani, meskipun hasilnya masih terbatas
untuk konsumsi sendiri. Harga jualnya pun
cukup baik; harga kacang tunggak di tingkat petani berkisar antara Rp3.500-Rp4.000/
kg, hampir sama dengan harga kedelai lokal
di tingkat petani. Namun, saat panen raya,
harga kacang tunggak lebih murah, sekitar
Rp2.500/kg. Penanaman secara monokultur biasanya dilakukan setelah panen tembakau.Tumpang sari kacang tanah dan kacang tunggak dilaksanakan dengan mengatur waktu dan jarak tanam, seperti yang
dipraktekkan petani di Lombok Timur dan
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Komoditas ini menjadi pilihan petani di wilayah tersebut karena harga jualnya sangat
baik dan dapat meningkatkan pendapatan
di luar usaha tani padi atau kacang tanah.

STRATEGI IMPLEMENTASI

Tidak semua petani dapat melaksanakan
pengupasan kulit. Bila hal ini tidak dapat
diterapkan di tingkat petani, perlu memanfaatkan Kopti. Produsen tempe umumnya
bergabung dalam Kopti sehingga lembaga
tersebut dapat berperan dalam penyediaan
kacang tanpa kulit. Cara lain yang dapat
ditempuh adalah menumbuh-kembangkan
lembaga jasa pengupasan kulit kacangkacangan.

Sosialisasi Produk Tempe
Nonkedelai
Saat ini masyarakat belum terbiasa mengonsumsi tempe selain dari kedelai. Produsen juga perlu diinformasikan bahwa
substitusi kedelai dengan kacang-kacangan lokal bukan merupakan pemalsuan.
Sosialisasi dapat dilakukan dengan memberdayakan peran penyuluh.

Kebijakan Penyediaan
Sarana Pengolahan
Dukungan Penelitian
Pemanfaatan kacang-kacangan lokal sebagai bahan baku tempe memiliki peluang
cukup besar. Substitusi kedelai dengan
kacang-kacangan lokal dapat dilaksanakan pada berbagai tingkatan. Teknologi
pengolahannya telah tersedia dan dikenal
masyarakat. Namun, perlu diperhatikan ketersediaan sarana dan prasarana proses.
Pengolahan tempe dari kacang-kacangan
lokal membutuhkan sarana pengupasan
kulit.

Penguatan Kelembagaan
Pengolah Tempe
Pengupasan kulit biji menjadi titik kritis
dalam pengembangan industri pengolahan
pangan berbasis kacang-kacangan lokal.

Produk fermentasi seperti tempe kacangkacangan lokal sebagian sudah dikenal
masyarakat dan secara komersial sudah ada
di beberapa tempat, seperti tempe benguk
di Yogyakarta dan tempe gembus di Jawa
Timur. Penelitian sifat dan karakteristik
kacang-kacangan lokal untuk menghasilkan produk khas (tempe) perlu dilakukan
terus sebagai pendukung diversifikasi pangan. Di samping itu, pola dan tingkat penerimaannya oleh masyarakat terhadap
produk tersebut perlu menjadi acuan penelitian.
Penelitian juga perlu dilakukan untuk
mempelajari kualitas dan manfaat kesehatan produk fermentasi berbasis kacangkacangan lokal. Kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan akan membuka pe-

luang peningkatan penerimaan pangan
berbasis kacang-kacangan lokal.

3. Menyusun skim kredit atau melengkapi
kebijakan bantuan peralatan pascapanen dengan alat pengupas kulit kacang-kacangan lokal.

KESIMPULAN
DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
DAFTAR PUSTAKA
Kesimpulan
1. Kacang-kacangan lokal, khususnya kacang tunggak mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai pengganti
kedelai. Salah satu produk olahan pangan yang berpeluang dikembangkan
untuk mengurangi konsumsi kedelai
dan mendukung diversifikasi pangan
adalah tempe nonkedelai.
2. Diversifikasi pangan melalui pemanfaatan kacang-kacangan lokal memberi
manfaat bagi kesehatan karena kandungan unsur-unsur gizi, protein, lemak, dan karbohidrat yang cukup tinggi.
3. Diversifikasi pangan melalui pengolahan tempe nonkedelai membutuhkan
dukungan lembaga jasa pengupas kulit
biji serta kebijakan yang memungkinkan petani/pengolah memperoleh sarana pengupas kulit biji dengan mudah.

Implikasi Kebijakan
1. Pada saat ini, areal pertanaman kacangkacangan lokal masih terbatas sehingga harganya relatif mahal. Oleh karena
itu, perlu adanya kebijakan pengembangan areal pertanaman kacang-kacangan lokal yang berpotensi tinggi
untuk dimanfaatkan.
2. Perlunya melengkapi program penyuluhan dengan materi pengetahuan
pengolahan kacang-kacangan lokal
dan manfaatnya.

Adisarwanto, T. 2002. Manfaat dan prospek pengembangan kacang faba. hlm.
60-90. Dalam Pengembangan Kacangkacangan Potensial Mendukung Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Departemen Pertanian. 2004. Statistik
Pertanian 2004. Departemen Pertanian,
Jakarta.
BPS (Badan Pusat Statistik). 2010. Luas
tanam, produktivitas dan produksi
kedelai seluruh provinsi. http://www.
bps.go.id/tnmn_pgn. php?eng=0.
Damardjati, D. dan S. Widowati. 1995.
Prospek pengembangan kacang gude
di Indonesia. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian IV(3): 53-59.
Haliza, W., E.Y. Purwani, I. Agustinisari,
Triyantini, H. Setiyanto, dan E. Savitri.
2007. Teknologi pemanfaatan kacangkacangan untuk produk tempe. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
Indrasari, S.D., D.K. Sadra, and D.S.
Damardjati. 1992. Evaluation of producer acceptance on soy-pigeon pea
tempe production in Puwakarta
District, Indonesia. p. 604-615. Proc.
the 4th Asean Food Conference 1992.
IPB Press, Bogor.
Kasno, A., Trustinah, dan T. Adisarwanto.
1991. Kacang tunggak: Tanaman yang
mudah dibudidayakan, toleran terhadap kekeringan dan mempunyai prospek sebagai alternatif pemenuh ke-

butuhan akan kacang-kacangan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian XIII(1): 6-7.
Kurniawan, I.H. Somantri, T.S. Silitonga,
S.E. Pudiarti, Hadiatmi, Asadi, S.A.
Rais, N. Zuraida, Sutoro, T. Suhartini,
N. Dewi, dan M. Setyowati. 2004. Katalog data paspor plasma nutfah tanaman pangan. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor.
Marwoto dan Suhartina. 2002. Kacang
bogor: Budidaya, potensi dan pengembangan. hlm. 83-92. Dalam Pengembangan Kacang-kacangan Potensial
Mendukung Ketahanan Pangan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Nuryanti, S. dan R. Kustiari. 2007. Meningkatkan kesejahteraan petani kedelai
dengan kebijakan tarif optimal. Pusat
Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian, Bogor. 12 hlm.
Purwani, E.Y., W. Haliza, E. Sukasih, I.
Agustinisari. H. Herawati, Triyantini,
S. Usmiati, T. Marwati, Haeruddin, H.
Setiyanto, dan Widaningrum. 2006. Teknologi pemanfaatan kacang-kacangan
sebagai substitusi kedelai untuk produk tempe. Laporan Hasil Penelitian.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.
Richana, N. dan D.S. Damardjati. 1999.
Karakteristik fisiko-kimia biji kacang

tunggak (Vigna unguiculata L. Walp)
dan pemanfaatannya untuk tempe.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
18(1): 72-77.
Sambudi, S.H.E and K.A. Buckle. 1992.
Soaking and boiling on microstructure
of winged bean seeds. p. 503-517. In
O.B. Liang, A. Buchanan, and D. Fardiaz
(Eds.). Development of Food Science
and Technology in South East Asia.
Proc. the 4th Asean Food Conference
1992. IPB Press, Bogor.
Sawit, H.M., S. Bachri, S. Nuryanti, dan
F.B.M. Dabukke. 2006. Fleksibilitas
Penerapan Special Safe-guard Mechanism (SSM) dan Kaji Ulang Kebijakan
Domestic Support (DS) untuk Special
Product (SP) Indonesia. Laporan Hasil
Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Soejadi, E.Y. Purwani, dan D.S. Damardjati.
1993. Studi pola konsumsi dan tata
menu masyarakat di beberapa daerah
di Indonesia. Reflektor 6(1-2): 18-25.
Trustinah dan A. Kasno. 2002. Pengembangan dan kegunaan kacang komak.
hlm. 70-82. Dalam Pengembangan
Kacang-kacangan Potensial Mendukung Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Bogor.

Dokumen yang terkait

PERANCANGAN KINCIR AIR PEMBANGKIT LISTRIKPADA PEMANFAATAN AIR SUNGAIDI KECAMATAN NGUTER, KABUPATEN SUKOHARJO,JAWA TENGAH

1 71 1

MANAJEMEN STRATEGI RADIO LOKAL SEBAGAI MEDIA HIBURAN (Studi Komparatif pada Acara Musik Puterin Doong (PD) di Romansa FM dan Six To Nine di Gress FM di Ponorogo)

0 61 21

INDIKASI PRODUSEN TEMPE MEMILIH KEDELAI IMPOR DAN PRODUSEN TAHU MEMILIH KEDELAI LOKAL DALAM MEMPRODUKSI TEMPE DAN TAHU DI KECAMATAN GAMBIRAN

3 29 18

PENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG KETERAMPILAN GURU DALAM MENGELOLA KELAS DAN PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN TERHADAP HASIL BELAJAR SEJARAH SISWA KELAS XI IPS SEMESTER GANJIL SMA NEGERI 4 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2011/2012

0 32 102

PENGARUH MOTIVASI BELAJAR DAN PEMANFAATAN SARANA BELAJAR DI SEKOLAH TERHADAP HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN AKUNTANSI KEUANGAN SISWA KELAS XI AKUNTANSI SMK WIYATA KARYA NATAR TAHUN PELAJARAN 2010/2011

10 119 78

HUBUNGAN PEMANFAATAN MEDIA AUDIOVISUAL TERHADAP TINGKAT PEMAHAMAN DAN SIKAP SISWA KELAS VII SMP NEGERI 3 BATANGHARI NUBAN LAMPUNG TIMUR

25 130 93

PENGARUH PEMANFAATAN SARANA BELAJAR DI SEKOLAH DAN MOTIVASI BELAJAR SISWA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SEMESTER GENAP SMP NEGERI 5 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

1 46 78

PENGARUH PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DAN MINAT BACA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 WAY

18 108 89

ANALISIS PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DANAU RAWA PENING KABUPATEN SEMARANG

9 68 121

PENGARUH GAYA MENGAJAR GURU, PEMANFAATAN SARANA BELAJAR DI RUMAH, DAN KESIAPAN BELAJAR SISWA TERHADAP HASIL BELAJAR EKONOMI

1 13 86