PENELITIAN TINDAKAN KELAS SMA - Blog Sekolah Dasar BAB II

(1)

BAB II 

KAJIAN TEORI 

2.1. Pendekatan Belajar 

Menurut   teori   belajar   kontekstual,   belajar   terjadi   hanya   ketika siswa memproses informasi maupun pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga informasi tersebut beradaptasi dengan kerangka acuan mereka. Pendekatan   ini   menganggap   bahwa   pikiran   manusia   secara   alamiah mencari   makna   dalam   suatu   konteks,   yaitu   berkaitan   dengan lingkungan seseorang. 

Dari   pemahaman   pendekatan   teori   belajar   di   atas,   belajar hendaknya memfokuskan pada banyak aspek dari lingkungan belajar, sekolah,   laboratorium,   maupun   lingkungan   sekitar   siswa.   Dengan demikian, siswa akan menemukan hubungan yang bermakna antara ide abstrak   dan   aplikasi   praktis   dikonteks   dunia   nyata,   dan   konsep diinternalisasi melalui proses penemuan, penguatan, dan pengaitan. 

Menurut   David   Kolb,   (dalam   Ekohariadi,   2002)   Siswa   belajar cenderung   menerima   informasi   secara   abstrak   (thinking)   maupun kongkrit   (feeling)   dan   lalu   memproses   informasi   secara   aktif   (doing) maupun reflektif (watching). Namun masih menurut Kolb, kebanyakan siswa   mempunyai   kecenderungan   belajar   dengan   cara   kongkrit penekanan   pada  feeling  dan   (doing),   sedangkan   sistem   persekolahan


(2)

cenderung mengajar dengan cara abstrak (penekanan pada thinking dan watching). 

Dalam   penelitian   ini,   peneliti   berusaha   melakukan   pendekatan belajar dengan membiasakan siswa menerima dan memproses informasi melalui pengalaman dan eksperimen kongkrit.

Dalam   menggunakan   metode   eksperimen,   menurut   Winarno Surakhmad (1986) ada beberapa kelemahan, seperti keterbatasan alat yang mengakibatkan tidak semua siswa dapat memperoleh kesempatan untuk   melakukan   eksperimen   dan   jika   dalam   pelaksanaannya membutuhkan   waktu   yang   cukup   lama   dapat   menghambat   pelajaran selanjutnya,   juga   kurangnya   persiapan   dan   pengalaman   siswa   dapat menimbulkan   kesulitan   dalam   pelaksanaan   eksperimen   tersebut. Namun menurut Aripin (1995), keuntungan dalam menggunakan metode eksperimen   lebih   banyak   manfaatnya,   antara   lain   dapat   memberikan pengalaman   praktis   serta   ketrampilan   dalam   menggunakan   alat­alat praktikum, memberikan gambaran yang konkrit tentang suatu peristiwa sehingga   siswa   tidak   mudah   percaya   pada   sesuatu   yang   belum   pasti kebenarannya   sebelum   mereka   mengamati   secara   langsung,   serta melatih   siswa   lebih   aktif   dan   mengembangkan   cara   berpikir   ilmiah. Eksperimen tidak harus dilakukan dengan menggunakan peralatan dan bahan   kimia   yang   mahal,   tetapi   dapat   dilaksanakan   dengan menggunakan peralatan sederhana yang didesain sendiri oleh guru.  2.2. Penggunaan Alat Peraga dalam Pembelajaran Kimia


(3)

Alat   peraga   adalah   segala   sesuatu   yang   digunakan   untuk menjelaskan   konsep   pembelajaran   dari   materi   yang   bersifat   abstrak menjadi nyata sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan   minat   siswa   yang   menjurus   ke   arah   terjadinya   proses   belajar mengajar.  Penggunaan   alat   peraga   dalam   pembelajaran   sangat dianjurkan,   karena   dengan   memanfaatkan   alat   peraga   yang   sesuai dengan materi, pembelajaran kimia akan lebih efektif dengan langsung memperagakan dan melakukan percobaan. Selain itu dengan mengguna­ kan alat peraga, pembelajaran kimia yang dikenal siswa sebagai mata pelajaran yang rumit dan sukar dipelajari, akan menjadi lebih mudah dipahami, menyenangkan bagi siswa dan guru dapat lebih kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran. 

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan peranan alat peraga dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut: 

1. Alat   untuk   memperjelas   bahan   pembelajaran   pada   saat   guru menyampaikan pelajaran.

2. Alat untuk mengangkat atau menimbulkan persoalan untuk dikaji lebih  lanjut dan dipecahkan   oleh para  peserta didik  dalam  proses belajarnya. 

3. Sumber belajar bagi siswa baik secara individu ataupun kelompok.  4. Melalui alat peraga siswa terbantu dalam memahami konsep kimia


(4)

Dalam   penelitian   ini,   alat   peraga   yang   digunakan   adalah molarimeter   optik   yang   didesain   sendiri   oleh   guru.   Molarimeter   optik adalah alat yang dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi larutan. Dengan   alat   ini   pula   siswa   dapat   mengamati   perubahan   konsentrasi larutan   setelah   pengenceran.   Prinsip   kerja   alat   ini   adalah   interaksi antara cahaya dengan materi.

Besar   penyerapan   cahaya   (absorbansi)   dari   suatu   kumpulan atom/molekul dinyatakan oleh Hukum Beer­Lambert.

1. Hukum Lambert menyatakan bahwa proporsi berkas cahaya datang yang   diserap   oleh   suatu   bahan/medium   tidak   bergantung   pada intensitas berkas cahaya yang datang. Hukum Lambert ini tentunya hanya   berlaku   jika   di   dalam   bahan/medium   tersebut   tidak   ada reaksi   kimia  ataupun  proses   fisis   yang  dapat  dipicu  atau  diimbas oleh berkas cahaya datang tersebut. Dalam hal demikian, intensitas cahaya yang keluar setelah melewati bahan/medium tersebut dapat dituliskan dalam bentuk sederhana sbb.:

I = T x I0, 

dimana I adalah intensitas berkas cahaya keluar, I0 adalah intensitas

berkas   cahaya   masuk/datang,   dan   T   adalah   transmitansi.   Jika transmisi dinyatakan dalam prosentase, maka

%T = (I/I0) x 100      (dalam satuan %) 

2. Hukum   Beer   menyatakan   bahwa   absorbansi   cahaya   berbanding lurus dengan konsentrasi dan ketebalan bahan/medium, yakni


(5)

dimana  ε  adalah   molar   absorbsitivitas   untuk   panjang   gelombang tertentu, atau disebut juga sebagai koefisien ekstinsif (dalam l mol­1

cm­1)),

 c adalah konsentrasi molar (mol l­1),

 l   adalah   panjang/ketebalan   dari   bahan/medium   yang   dilintasi oleh cahaya (cm).

Kombinasi dari kedua hukum tersebut (Hukum Beer­Lambert) dapat dituliskan sebagai berikut:

%T = (I/I0) x 100 = exp(− ε c l)

atau

A = log (I0/I) =   c l.ε

Gambar di bawah menunjukkan plot %T vs. c dan A vs. c. Bentuk persamaan   terakhir   menyatakan   sebuah   hubungan   penting,   yakni absorbansi A memiliki hubungan linier dengan konsentrasi c (A µ c) dan dapat   ditentukan   dengan   mengukur   ratio   antara   intensitas   cahaya setelah   melewati   bahan/medium   dan   intensitas   sebelum   melewati bahan/medium.


(6)

Karena   sifat   hubungan   linieralitas   antara   A   dan   c,   penentuan konsentrasi   bahan/sampel   dapat   dilakukan   dengan   lebih   mudah   jika bekerja   dengan   absorbansi   A  daripada   bekerja   dengan   transimisi   %T. Konsentrasi   dapat   ditentukan   lewat   perkalian   atau   pembagian sederhana dari nilai koefisien molar ekstinsi yang telah diketahui.

2.3. Molaritas

Konsentrasi adalah istilah umum untuk menyatakan banyaknya bagian zat terlarut dan pelarut yang terdapat dalam larutan. Konsentrasi dapat   dinyatakan   secara   kuantitatif   maupun   secara   kualitatif.   Untuk ukuran secara kualitatif, konsentrasi larutan dinyatakan dengan istilah larutan   pekat   (concentrated)   dan   encer   (dilute).  Kedua   istilah   ini menyatakan   bagian   relatif   zat   terlarut   dan   pelarut   dalam   larutan. Larutan   pekat   berarti   jumlah   zat   terlarut   relatif   besar,   sedangkan larutan encer berarti jumlah zat terlarut relatif lebih sedikit. Biasanya, istilah pekat dan encer digunakan untuk membandingkan konsentrasi dua atau lebih larutan.

Dalam ukuran kuantitatif, konsentrasi larutan dinyatakan dalam g/mL (sama seperti satuan untuk densitas). Namun, dalam perhitungan stoikiometri satuan gram diganti dengan satuan mol sehingga diperoleh satuan mol/L. Konsentrasi dalam mol/L atau mmol/mL dikenal dengan istilah molaritas atau konsentrasi molar.


(7)

Molaritas atau kemolaran menyatakan jumlah mol zat terlarut (n) dalam satu liter larutan (L) atau milimol zat terlarut (n) dalam setiap satu mililiter larutan (mL).

     atau  

      

Keterangan: W   = berat zat (gram)

       Mr  = masa molekul relative zat        V   =  volume larutan (mL) 2.4. Proses Titrasi

Titrasi merupakan suatu metode untuk menentukan kadar suatu zat dengan menggunakan zat lain yang sudah diketahui konsentrasinya. Titrasi   biasanya   dibedakan   berdasarkan   jenis   reaksi   yang   terlibat   di dalam proses titrasi, sebagai contoh bila melibatkan reaksi asam basa maka disebut sebagai titrasi asam basa, titrasi redox untuk titrasi yang melibatkan reaksi reduksi oksidasi, titrasi kompleksometri untuk titrasi yang   melibatkan   pembentukan   reaksi   kompleks   dan   lain   sebagainya. (disini hanya dibahas tentang titrasi asam basa).

Zat yang akan ditentukan kadarnya disebut sebagai “titrant” dan biasanya   diletakan   di   dalam   Erlenmeyer,   sedangkan   zat   yang   telah diketahui konsentrasinya disebut sebagai “titer” dan biasanya diletakkan di dalam “buret”. Baik titer maupun titrant biasanya berupa larutan.


(8)

Gambar 2.1. Proses Titrasi Prinsip Titrasi Asam Basa

Titrasi   asam   basa   melibatkan   asam   maupun   basa   sebagai   titer ataupun titrant. Titrasi asam basa berdasarkan reaksi penetralan. Kadar larutan   asam   ditentukan   dengan   menggunakan   larutan   basa   dan sebaliknya.

Titrant   ditambahkan   titer   sedikit   demi   sedikit   sampai   mencapai keadaan   ekuivalen   (artinya   secara   stoikiometri   titrant   dan   titer   tepat habis bereaksi). Keadaan ini disebut sebagai “titik ekuivalen”.

Pada saat titik ekuivalen, proses titrasi dihentikan, kemudian kita mencatat   volume   titer   yang   diperlukan   untuk   mencapai   keadaan tersebut.   Dengan   menggunakan   data   volume   titrant,   volume   dan konsentrasi titer kita bisa menghitung kadar titrant.

Cara Mengetahui Titik Ekuivalen

Ada   dua   cara   umum   untuk   menentukan   titik   ekuivalen   pada titrasi asam basa, yaitu.


(9)

1. Memakai pH meter untuk memonitor perubahan pH selama titrasi dilakukan, kemudian membuat plot antara pH dengan volume titrant untuk   memperoleh   kurva   titrasi.   Titik   tengah   dari   kurva   titrasi tersebut adalah “titik ekuivalent”.

2. Memakai indikator asam basa. Indikator ditambahkan pada titrant sebelum proses titrasi dilakukan. Indikator ini akan berubah warna ketika titik ekuivalen terjadi, pada saat inilah titrasi kita hentikan.

Pada umumnya cara kedua yang dipilih, hal ini disebabkan dapat mempermudah dalam pengamatan, tidak diperlukan alat tambahan, dan sangat praktis. Indikator yang dipakai dalam titrasi asam basa adalah indikator   yang   berbahan   warna   dipengaruhi   oleh   pH.   Penambahan indikator   diusahakan   sesedikit   mungkin   dan   umumnya   adalah   dua hingga tiga tetes.

Untuk memperoleh ketepatan hasil titrasi maka titik akhir titrasi dipilih sedekat mungkin dengan titik equivalen, hal ini dapat dilakukan dengan   memilih   indikator   yang   tepat   dan   sesuai   dengan   titrasi   yang akan dilakukan. Keadaan dimana titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan warna indikator disebut sebagai “titik akhir titrasi”.

Rumus Umum Titrasi

Pada saat titik ekuivalen maka mol­ekuivalent asam akan sama dengan   mol­ekuivalent   basa,   maka   hal   ini   dapat   kita   tulis   sebagai berikut:


(10)

Mol­ekuivalen diperoleh dari hasil perkalian antara Normalitas dengan volume maka rumus di atas dapat kita tulis sebagai:

NxV asam = NxV basa

Normalitas diperoleh  dari hasil perkalian antara molaritas (M) dengan jumlah   ion   H+   pada   asam   atau   jumlah   ion   OH   pada   basa,   sehingga rumus di atas menjadi:

nxMxV asam = nxVxM basa

keterangan : N = Normalitas V = Volume M = Molaritas

n = jumlah ion H+ (pada asam) atau OH – (pada basa) 2.5 Molarimeter Optik

 Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan molarimeter optik:

Bahan  Jumlah

Cermet 10 K 4 biji

LDR 4 biji

R 10 K 10 biji

R 18  4 biji

R 82  4 biji

Kabel jumper 2 meter

Pcb lobang IC 1 lembar

Holder/ battery 9 V 1

IC 7805 4 biji


(11)

Transistor  2N3906 4 biji LED superbright biru, merah, kuning, hijau 1 biji

Volt meter  4

Aluminium  50 x 50 cm

Cuvet (tempat larutan/sampel) 4

a. Rancangan alat seperti gambar berikut :

Gambar 2.2. PCB Molarimeter Optik Tampak Atas


(12)

Gambar 2.4. Skema Molarimeter Optik


(13)

(1)

Gambar 2.1. Proses Titrasi

Prinsip Titrasi Asam Basa

Titrasi   asam   basa   melibatkan   asam   maupun   basa   sebagai   titer ataupun titrant. Titrasi asam basa berdasarkan reaksi penetralan. Kadar larutan   asam   ditentukan   dengan   menggunakan   larutan   basa   dan sebaliknya.

Titrant   ditambahkan   titer   sedikit   demi   sedikit   sampai   mencapai keadaan   ekuivalen   (artinya   secara   stoikiometri   titrant   dan   titer   tepat habis bereaksi). Keadaan ini disebut sebagai “titik ekuivalen”.

Pada saat titik ekuivalen, proses titrasi dihentikan, kemudian kita mencatat   volume   titer   yang   diperlukan   untuk   mencapai   keadaan tersebut.   Dengan   menggunakan   data   volume   titrant,   volume   dan konsentrasi titer kita bisa menghitung kadar titrant.

Cara Mengetahui Titik Ekuivalen

Ada   dua   cara   umum   untuk   menentukan   titik   ekuivalen   pada titrasi asam basa, yaitu.


(2)

1. Memakai pH meter untuk memonitor perubahan pH selama titrasi dilakukan, kemudian membuat plot antara pH dengan volume titrant untuk   memperoleh   kurva   titrasi.   Titik   tengah   dari   kurva   titrasi tersebut adalah “titik ekuivalent”. 2. Memakai indikator asam basa. Indikator ditambahkan pada titrant sebelum proses titrasi dilakukan. Indikator ini akan berubah warna ketika titik ekuivalen terjadi, pada saat inilah titrasi kita hentikan. Pada umumnya cara kedua yang dipilih, hal ini disebabkan dapat mempermudah dalam pengamatan, tidak diperlukan alat tambahan, dan sangat praktis. Indikator yang dipakai dalam titrasi asam basa adalah indikator   yang   berbahan   warna   dipengaruhi   oleh   pH.   Penambahan indikator   diusahakan   sesedikit   mungkin   dan   umumnya   adalah   dua hingga tiga tetes.

Untuk memperoleh ketepatan hasil titrasi maka titik akhir titrasi dipilih sedekat mungkin dengan titik equivalen, hal ini dapat dilakukan dengan   memilih   indikator   yang   tepat   dan   sesuai   dengan   titrasi   yang akan dilakukan. Keadaan dimana titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan warna indikator disebut sebagai “titik akhir titrasi”.

Rumus Umum Titrasi

Pada saat titik ekuivalen maka mol­ekuivalent asam akan sama dengan   mol­ekuivalent   basa,   maka   hal   ini   dapat   kita   tulis   sebagai berikut:


(3)

Mol­ekuivalen diperoleh dari hasil perkalian antara Normalitas dengan volume maka rumus di atas dapat kita tulis sebagai:

NxV asam = NxV basa

Normalitas diperoleh  dari hasil perkalian antara molaritas (M) dengan jumlah   ion   H+   pada   asam   atau   jumlah   ion   OH   pada   basa,   sehingga rumus di atas menjadi:

nxMxV asam = nxVxM basa

keterangan : N = Normalitas V = Volume M = Molaritas

n = jumlah ion H+ (pada asam) atau OH – (pada basa)

2.5 Molarimeter Optik

 Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan molarimeter optik:

Bahan  Jumlah Cermet 10 K 4 biji LDR 4 biji R 10 K 10 biji R 18  4 biji R 82  4 biji Kabel jumper 2 meter Pcb lobang IC 1 lembar Holder/ battery 9 V 1 IC 7805 4 biji Saklar togel 1 biji


(4)

Transistor  2N3906 4 biji LED superbright biru, merah, kuning, hijau 1 biji

Volt meter  4

Aluminium  50 x 50 cm

Cuvet (tempat larutan/sampel) 4 a. Rancangan alat seperti gambar berikut :

Gambar 2.2. PCB Molarimeter Optik Tampak Atas


(5)

Gambar 2.4. Skema Molarimeter Optik


(6)