BAB II KAJIAN TEORITIK A. Kemampuan Representasi Matematis - PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN STRATEGI THINK TALK WRITE TERHADAP KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS DAN SELF EFFICACY SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 KARANGMONCOL - repository perpus

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Kemampuan Representasi Matematis Janvier (Kartini, 2009) mengungkapkan bahwa konsep tentang

  representasi merupakan salah satu konsep psikologi yang dipakai dalam pendidikan matematika untuk menjelaskan tentang bagaimana cara berfikir anak-anak. Cai, Lane, dan Jacabcain (1996) menyatakan bahwa representasi merupakan cara yang sering digunakan untuk mengkomunikasikan jawaban matematis antara lain:tabel, gambar, grafik, pernyataan matematika ataupun kombinasi semuanya. Menurut NCTM (2000) representasi merupakan cara yang digunakan seseorang untuk mengkomunikasikan jawaban atau gagasan matematik yang bersangkutan.

  Kartini (2009) mengungkapkan bahwa representasi matematis adalah ungkapan-ungkapan dari ide-ide matematika (masalah, pernyataan, definisi, dll) yang digunakan untuk memperlihatkan (mengkomunikasikan) hasil kerjanya dengan cara tertentu (cara konvensional/tidak konvensional) sebagai hasil interpretasi dari pikirannya. Representasi merupakan proses pengembangan mental yang sudah dimiliki seseorang, yang terungkap dan divisualisasikan dalam berbagai model matematika, yakni : verbal, gambar, benda konkrit, tabel, model-model manipulatif atau kombinasi dari semuanya (Steffe dalam Hudoyo, 2002). Menurut Jones dan Knuth (1991) representasi merupakan model atau bentuk pengganti dari suatu situasi masalah yang digunakan untuk menemukan solusi. Sebagai contoh, suatu masalah dapat direpresentasikan dengan gambar, kata-kata, atau simbol matematika.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan representasi matematis adalah kemampuan siswa untuk mengungkapkan ide atau gagasan matematika ke dalam salah satu bentuk: gambar, diagram grafik, tabel, simbol matematika, teks tertulis/kata-kata sebagai interpretasi dari pikirannya.

  Dalam penelitian ini indikator kemampuan representasi yang diteliti adalah sebagai berikut: 1) Kemampuan menggunakan visualisasi berupa gambar untuk menyelesaiakan masalah.

  2) Kemampuan membuat model matematika dengan melibatkan simbol-simbol dan ekspresi matematis dalam menyelesaikan masalah. 3) Kemampuan melibatkan teks tertulis (kata-kata) dalam menyelesaiakan masalah.

  B.

   Self-Efficacy

  Bandura (1997) mendefinisikan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan seseorang tentang kemampuannya sendiri untuk menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu. Orang lebih mungkin terlibat dalam perilaku tertentu ketika mereka yakin bahwa mereka akan mampu menjalankan perilaku tersebut dengan sukses yaitu, ketika mereka memiliki self-efficacy yang tinggi. Perasaan self-efficacy siswa mempengaruhi pilihan aktivitas mereka, tujuan mereka, dan usaha serta persistensi mereka dalam aktivitas-aktivitas kelas. Dengan demikian, self-

  

efficacy pun pada akhirnya mempengaruhi pembelajaran dan prestasi

  mereka (Bandura, 1982 & Zimmerman, 1995). Self-efficacy menurut Ormord (2008) secara umum adalah penilaian seseorang tentang kemampuannya sendiri untuk menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu.

  Ciri

  • –ciri seseorang yang memiliki self-efficacy menurut Ormrod (2008):

  1) Seseorang yang memiliki self-efficacy tinggi lebih mengerahkan segenap tenaga ketika mencoba suatu tugas baru dan tidak mudah menyerah. 2) Seseorang yang memiliki self-efficacy rendah akan lebih bersikap setengah hati dan begitu cepat menyerah ketika menghadapi kesulitan. 3) Seseorang yang memiliki self-efficacy tinggi cenderung lebih banyak belajar dan berprestasi dari pada seseorang yang memiliki self-

  efficacy rendah.

  Tiga dimensi self-efficacy menurut Bandura (1997) yaitu sebagai berikut:

  1) Level/Magnitude

  

Level/Magnitude berkaitan dengan derajat/level kesulitan tugas yang

  dihadapi, di mana seseorang merasa mampu atau tidak untuk melakukannya. Penerimaan dan keyakinan seseorang terhadap suatu tugas berbeda-beda, mungkin orang hanya terbatas pada tugas yang sederhana, menengah atau sulit. Keyakinan seseorang berimplikasi pada pemilihan tingkah laku sesuai dengan tingkat kesulitan suatu tugas. Seseorang terlebih dahulu akan mencoba tingkah laku yang dirasa mampu dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang berada di luar batas kemampuannya.

  2) Strength

Strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai

  kemampuan yang dimiliki. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan dalam usahanya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan. Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan

  Individu yang memiliki keyakinan yang keyakinan individu itu pula.

kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam usaha untuk

menyampaikan kesulitan yang dihadapi.

  3) Generality

Dimensi ini berkaitan dengan keyakinan seseorang akan

kemampuannya melaksanakan tugas diberbagai aktivitas dan situasi tertentu. Aktivitas dan situasi yang bervariasi menuntut apakah seseorang merasa yakin atau tidak yakin atas kemampuannya dalam melaksanakan tugas.

  Jadi, self-efficacy merupakan keyakinan atas kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu agar berhasil di dalam tugas serta dapat mengarahkan ke dalam pemilihan perilaku seseorang. Indikator self-efficacy pada penelitian ini dikembangkan dari dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Bandura (1997). Dimensi tersebut yaitu Magnitude/Level (Derajat kesulitan tugas yang dihadapi, dimana seseorang mampu atau tidak untuk melakukannya),

  Strength (Kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang

  dimiliki), dan Generality (Keyakinan sesorang akan kemampuannya melaksanakan tugas diberbagai aktivitas atau situasi tertentu).

Tabel 2.1 Indikator yang digunakan dalam penelitian.

  Dimensi/Komponen Indikator

  Level (Derajat

  1. Mampu menyelesaikan tugas kesulitan tugas yang matematika. dihadapi, dimana

  2. Mampu menghadapi tugas matematika seseorang mampu atau di luar kemampuan. tidak untuk melakukannya)

  1. Bertahan dan ulet dalam mengerjakan Strength (Kuatnya soal matematika. keyakinan seseorang

  2. Kegigihan dalam menghadapi tugas mengenai kemampuan matematika. yang dimiliki) 3. Pengaruh pengalaman pribadi.

  Generality (Keyakinan

  1. Konsisten pada tugas matematika dan sesorang akan aktivitas. kemampuannya 2. Kesiapan menghadapi situasi. melaksanakan tugas di berbagai aktivitas atau situasi tertentu)

C. Model Pembelajaran Langsung

  Pembelajaran langsung adalah suatu model pengajaran yang bersifat

  

teacher center. Menurut Arend (Trianto, 2009) bahwa model pembelajaran

  langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang sesuatu yang dapat berupa fakta konsep, prinsip, atau generalisasi) dan pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan sesuatu) yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah.

  Pembelajaran langsung tersebut berpusat pada guru, dan harus menjamin terjadinya keterlibat siswa. Dalam hal ini, guru menyampaikan isi/ materi akademik dalam format yang terstruktur, mengarahkan kegiatan para siswa, dan menguji keterampilan siswa melalui latihan-latihan di bawah bimbingan dan arahan guru. Jadi lingkungannya harus diciptakan yang berorientasi pada tugas-tugas yang diberikan pada siswa.

  Menurut Kardi&Nur (Trianto, 2009), ciri-ciri pembelajaran langsung adalah sebagai berikut : 1) Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk prosedur penilaian belajar.

  2) Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran. 3) Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar kegiatan pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan berhasil yang mendukung berlangsung dan berhasilnya pembelajaran.

  Tahapan pelaksanaan pembelajaran langsung menurut Majid (2014) adalah sebagai berikut : 1) Guru menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa 2) Mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan 3) Membimbing pelatihan 4) Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik 5) Memberikan kesempatan untuk latihan lanjutan dan penerapan konsep

  Menurut Majid (2014), pembelajaran langsung mempunyai beberapa kelebihan, yaitu sebagai berikut : 1) Guru dapat mengendalikan isi materi dan urutan informasi yang diterima oleh siswa, sehingga dapat mempertahankan focus mengenai apa yang harus dicapai siswa. 2) Dapat diterapkan secara efektif dalam kelas yang besar maupun kecil.

  3) Merupakan cara yang paling efektif untuk mengajarkan konsep dan keterampilan-keterampilan yang eksplisit kepada siswa yang berprestasi rendah. 4) Menekankan kegiatan mendengarkan (melalui ceramah) sehingga membantu sehingga membantu siswa yang cocok belajar dengan cara-cara ini.

  5) Model pembelajaran direct instruction (terutama kegiatan demonstrasi) dapat memberikan tantangan untuk mempertimbangkan kesenjangan antar teori (hal yang seharusnya) dan observasi (kenyataan yang terjadi).

  Selain memiliki kelebihan-kelebihan tersebut, pembelajaran langsung juga memiliki kekurangan-kekurangan. Menurut Majid (2014), kekurangan-kekurangan, yaitu sebagai berikut :

  1) Sulit untuk mengatasi perbedaan dalam hal kemampuan, pengetahuan awal, tingkat pembelajaran dan pemahaman, gaya belajar, atau ketertarikan siswa. 2) Karena siswa hanya memiliki sedikit kesempatan untuk terlibat secara aktif, sulit bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan sosial dan interpersonal mereka. 3) Karena guru memainkan peran pusat, kesuksesan strategi pembelajaran ini bergantung pada image guru. Model pembelajaran langsung sangat bergantung pada gaya komunikasi guru. 4) Jika model pembelajaran langsung tidak banyak melibatkan siswa, siswa akan kehilangan perhatian setelah 10-15 menit, dan hanya akan mengingat sedikit isi materi yang disampaikan.

D. Pembelajaran Berbasis Masalah

  Menurut Kemendikbud (2013), pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual, sehingga merangsang siswa untuk belajar dan bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world). Adapun pendapat Arend (Trianto, 2009) bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan ketrampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri. Sanjaya (2008) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara alamiah.

  Menurut Kemendikbud (2013), menguraikan tahapan-tahapan pembelajaran berbasis masalah yaitu:

Tabel 2.2 Langkah-Langkah PBM

  Tahapan Perilaku Guru Fase 1 Orientasi siswa kepada masalah

  Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, dan memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih.

  Fase 2 Mengorganisasikan siswa untuk belajar

  Membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Fase 3 Membimbing penyelidikan individu dan kelompok

  Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

  Fase 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

  Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model dan berbagi tugas dengan teman. Fase 5 Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka Menganalisa dan dan proses yang mereka gunakan. mengevaluasi proses pemecahan masalah

  Menurut Kemendikbud (2013), kelebihan pembelajaran berbasis masalah di antaranya: 1) Dengan pembelajaran berbasis masalah pembelajaran akan lebih bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.

  2) Dalam situasi pembelajaran berbasis masalah, siswa mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. 3) Pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

  Adapun dalam penerapannya pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa kelemahan. Menurut Sanjaya (2010) kelemahan pembelajaran berbasis masalah diantaranya:

  1) Jika siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka siswa akan merasa malas untuk mencoba. 2) Keberhasilan pembelajaran melalui pemecahan masalah membutuhkan cukup banyak waktu untuk persiapan.

  3) Tanpa pemahaman mengapa siswa berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajarai, maka siswa tidak dapat belajar sesuai dengan yang diinginkan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pembelajaran yang memberikan masalah-masalah yang dapat merangsang siswa untuk berpikir dan menyampaikan ide-ide pada suatu masalah yang berorientasi pada dunia nyata. Dalam pembelajaran berbasis masalah terdapat lima tahapan yang dilaksanakan selama proses pembelajaran, secara garis besar dalam pembelajaran berbasis masalah terdiri dari kegiatan menyajikan masalah nyata dan bermakna bagi siswa, mengorganisasikan siswa dalam kelompok, siswa melakukan penyelidikan, menyajikan hasil karya, dan terakhir menganalisis.

E. Strategi Think Talk Write (TTW)

  Menurut Kemp (1995) strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Adapun pendapat Gerlach dan Ely (Hamruni, 2012) bahwa strategi pembelajaran adalah cara-cara yang pilih untuk menyampaikan materi pembelajaran dalam lingkungan pembelajaran tertentu. Jadi dapat disimpulkan strategi pembelajaran adalah cara yang akan digunakan oleh guru pada proses pembelajaran agar pelaksanaan berjalan dengan lancar dan tujuan pembelajaran tercapai.

  Strategi pembelajaran Think Talk Write merupakan strategi belajar yang melalui tahapan berfikir, berbicara, dan menulis. Strategi ini pertama kali diperkenalkan oleh Huinker dan Laughlin (1996), bahwa strategi TTW membangun pemikiran, merefleksikan, dan mengorganisasikan ide kemudian menguji ide tersebut sebelum peserta didik diharapkan untuk menulis. Menurut Ansari (2003), strategi TTW dimulai dari keterlibatan siswa dalam berfikir atau berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses membaca, selanjutnya berbicara dan membagi ide dengan temannya sebelum menulis. Jadi, strategi Think Talk Write adalah strategi pembelajaran yang dirancang dan dipengaruhi oleh pola interaksi siswa, yang memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir (Think), berbicara (Talk), dan menulis (Write).

  Kegiatan siswa dengan menggunakan strategi TTW menurut Haji (2014) sebagai berikut:

  1) Siswa membaca dan memahami teks soal selanjutnya memikirkan jawabannya (Think).

  2) Siswa mengkomunikasikan ide-ide yang dimilikinya dalam menyelesaikan suatu soal kepada teman kelompoknya. Dalam kegiatan ini mereka menggunakan bahasa dan kata-kata mereka sendiri untuk menyampaikan pendapatnya (Talk).

  3) Siswa menuliskan jawaban dari hasil diskusi dengan teman kelompoknya (Write).

F. Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Think Talk Write

  Pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi Think

  

Talk Write yaitu penggabungan pembelajaran berbasis masalah dengan

  strategi Think Talk Write. Proses pembelajarannya menggunakan sintaks pembelajaran berbasis masalah dan di dalam pembelajaran menerapkan strategi Think Talk Write. Adapun langkah-langkahnya berikut ini :

Tabel 2.3 Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah dengan strategi TTW

  Tahapan Perilaku Guru Fase 1 1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran. Orientasi siswa pada

  2. Memotivasi siswa agar terlibat aktif dalam masalah pembelajaran kemudian guru memberikan masalah kontekstual kepada siswa terkait dengan matei yang di pelajari. Fase 2

  1. Guru membagi siswa ke dalam beberapa Mengorganisasikan kelompok dengan anggota kelompok siswa untuk belajar masing-masing 3-5 siswa.

  2. Guru membagikan LKS yang berkaitan dengan materi yang dipelajari.

  3. Guru membantu setiap siswa dalam mengidentifikasi dan mengkoordinasi LKS yang diberikan. Fase 3

  1. Guru memberi kesempatan kepada siswa Membimbing untuk berpikir (Think) secara individu penyelidikan dalam mencoba menyelesaikan masalah individu dan pada LKS yang diberikan. kelompok

  2. Guru meminta siswa untuk berkelompok dengan anggota kelompoknya masing- masing, kemudian mendiskusikan hasil pekerjaan masing-masing siswa dan mencari jawaban yang benar. (Talk) Fase 4

  1. Guru memberikan kesempatan kepada Mengembangkan siswa untuk menuliskan jawaban dari dan menyajikan hasil hasil diskusi pada lembar jawab yang karya sudah disediakan (Write) dan kemudian mempersiapkan hasil diskusinya didepan kelas.

  2. Guru memanggil salah satu siswa pada setiap kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja mereka dalam memecahkan masalah.

  3. Guru memberikan kesempatan kepada siswa lain untuk berpartisipasi aktif menanggapi hasil diskusi yang sedang dipresentasikan. Fase 5

  1. Guru dan siswa membahas bersama setiap Menganalisis dan pendapat yang telah dikemukakan siswa mengevaluasi proses dan melakukan evaluasi dari hasil pemecahan masalah presentasi.

  2. Guru mempersilahkan siswa untuk bertanya mengenai apa yang belum dipahami dari materi yang telah dipelajari.

  3. Guru dan siswa bersama-sama menyimpulkan hasil pembelajaran yang diperoleh.

G. Materi Pembelajaran

  Kompetensi Inti : KI 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

  KI 2. Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.

  KI 3. Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata.

  KI 4. Mengolah, menyaji, dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.

  Kompetensi Dasar dan Indikator : 1.1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.

  2.1 Menunjukkan sikap logis, kritis, analitik, konsisten dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah.

  2.2 Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika serta memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang terbentuk melalui pengalaman belajar.

  2.3 Memiliki sikap terbuka, santun, objektif, menghargai pendapat dan karya teman dalam interaksi kelompok maupun aktivitas sehari-hari.

  3.4 Menentukan persamaan garis lurus dan grafiknya.

  3.4.1 Menentukan persamaan garis lurus melalui sebuah titik dan gradien.

  3.4.2 Menentukan persamaan garis lurus melalui dua titik sembarang.

  3.4.3 Menentukan persamaan garis lurus melalui sebuah titik dan sejajar dengan garis yang diketahui persamaannya.

  3.4.4 Menentukan persamaan garis lurus melalui sebuah titik dan tegak lurus dengan garis yang diketahui persamaannya.

  3.4.5 Menentukan kedudukan dua buah garis yang saling sejajar atau saling berimpitan.

  3.4.6 Menentukan kedudukan dua buah garis yang saling berpotongan atau berpotongan tegak lurus.

H. Penelitian Relevan

  Ada beberapa penelitian yang berkenaan dengan kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian yang dilakukan Dewanto (2008) menunjukkan bahwa semakin tinggi self-efficacy mahasiswa makin tinggi pula kemampuan representasi multiple matematisnya, yang artinya keyakinan . diri berkorelasi positif dengan kemampuan representasi matematis

  Penelitian yang dilakukan oleh Fitriani (2014) yaitu Studi Komparasi Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas VIII SMP N 1 Somagede dengan Pembelajaran Penemuan Terbimbing dan Pembelajaran Berbasis Masalah, diperoleh hasil bahwa kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII SMP N 1 Somagede yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah lebih baik dari pada kemampuan representasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran penemuan terbimbing.

  Penelitian yang sama dilakukan oleh Rohana (2014), dengan judul Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa kelas VIII SMP N 2 Sokaraja. Dalam penelitiannya diperoleh hasil bahwa kemampuan representasi matematis siswa kelas VIII SMP N 2 Sokaraja yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah lebih baik dari pada yang mengikuti pembelajaran langsung.

  Berdasarkan penelitian di atas, menunjukkan bahwa melalui PBM mampu berdampak positif terhadap kemampuan representasi matematis siswa. Persamaan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan PBM dalam pembelajarannya. Perbedaan penelitian ini adalah Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah dengan strategi Think Talk Write terhadap kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa.

I. Kerangka Berpikir

  Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pembelajaran yang memberikan masalah-masalah yang dapat merangsang siswa untuk berpikir dan menyampaikan ide-ide pada suatu masalah yang berorientasi pada dunia nyata. Kegiatan pembelajaran ini, dipusatkan kepada masalah- masalah yang disajikan oleh guru dan siswa menyelesaikan masalah tersebut secara berkelompok. Pembelajaran ini, siswa memahami konsep atau materi dimulai dari belajar pada situasi masalah yang disajikan pada awal pembelajaran, sehingga siswa di berikan kesempatan untuk menyatakan ide-ide matematis yang akan membangun dan melatih pola pikir siswa mereka dalam mencari solusi dari masalah yang diberikan.

  Oleh karena itu, pembelajaran berbasis masalah mampu berdampak positif terhadap kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa.

  Untuk dapat mengoptimalkan kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa maka dipadukan dengan strategi Think Talk Write.

  Strategi TTW memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan jawabannya dalam memecahkan masalah secara individu maupun kelompok dan saling membantu sama lain. Melalui strategi TTW memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir dalam menuangkan ide-ide matematika untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Strategi TTW juga merupakan salah satu pembelajaran yang dapat meningkatkan aktifitas siswa dan kerjasama siswa hal itu dikarenakan dalam tahapan pembelajaran TTW dimulai dari siswa Think (berpikir) secara individu,

  

Talk (berbicara) untuk mengkomunikasikan ide-ide yang dimilikinya

  dalam menyelesaikan suatu masalah kepada teman kelompoknya dan Write (menulis) jawaban dari hasil diskusi.

  Dengan adanya penggunaan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi Think Talk Write diduga mampu membantu kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa menjadi lebih baik. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kerangka pikir bahwa melalui pembelajaran berbasis masalah dengan strategi Think Talk Write dapat berpengaruh positif terhadap kemampuan representasi matematis dan self- siswa.

  efficacy J.

   Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan permasalahan di atas, hipotesis dalam penelitian ini adalah :

  1. Kemampuan representasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan strategi TTW lebih baik dari pada kemampuan representasi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran langsung

  2. Self-efficacy siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis masalah dengan strategi TTW lebih baik dari pada self-efficacy siswa yang mengikuti pembelajaran langsung.

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN STRATEGI THINK TALK WRITE (TTW) DITINJAU DARI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA (Studi pada kelas VIII SMPN 8 Bandar Lampung Semester Genap Tahun 2011/2012)

0 6 61

EFEKTIVITAS STRATEGI PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP Negeri 29 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 3 55

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE

1 5 56

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE DITINJAU DARI KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA

5 41 61

EKSPERIMENTASI MODEL SINEKTIK TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN SELF EFFICACY SISWA Muhammad Jainuri

1 1 10

PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN THINK - TALK -- WRITE (TTW) TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH SISWA PADA MATERI PELUANG DIKELAS X SMA NEGERI 1 AIR JOMAN. TA 2017/2018

0 0 9

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN THINK – TALK - WRITE TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP NEGERI 3 MAGELANG

0 0 8

MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN PENALARAN MATEMATIS SERTA MENGEMBANGKAN SELF CONFIDENCE DENGAN STRATEGI PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE - repo unpas

0 0 26

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE (TTW) DENGAN STRATEGI REACT (RELATING, EXPERIENCING, APPLYING, COOPERATING, TRANSFERRING ) UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR DAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA SISWA KELAS VIII E SMP NEGERI 1 WEDI TAHUN PELAJA

0 0 18

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE DAN THINK PAIR SHARE DENGAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION TERHADAP PRESTASI BELAJAR DAN DISPOSISI MATEMATIS DITINJAU DARI KECERDASAN LOGIS MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMP NEGERI SE-KABUPATEN K

0 0 21