ADVOKASI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDI PERAN KOALISI PEREMPUAN INDONSIA (KPI) KOTA SALATIGA TAHUN 2010-2015) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

  

ADVOKASI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(STUDI PERAN KOALISI PEREMPUAN INDONSIA (KPI)

KOTA SALATIGA TAHUN 2010-2015)

  

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam

  

Oleh:

Sri Jarwati

NIM 211-12-025

  JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH

  

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)

SALATIGA

2016

  

MOTTO

Yakilah Bahwa Setiap Usaha Pasti Akan

Sampai Pada Tujuannya

  

YAKUSA

  PERSEMBAHAN Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta karunia-Nya, skripsi ini penulis persembahkan untuk:

   Bapak dan ibuku tercinta, Bapak Sartono dan Ibu Warsiti

  yang telah mencurahkan segenap kasih sayangnya, do’anya,

serta segala dukungannya dalam setiap langkah-langkahku.

   Adik-adikku tersayang Wahyuningsih dan Wardoyo.

  Untuk Andri Ikhsan Nur Taqwim terimaksih telah memberikan motivasi dan dukungan.

KATA PENGANTAR

  Bismillahirrahmanirrohim Alhamdul illahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

  SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ADVOKASI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KDRT (STUDI PERAN KPI KOTA SALATIGA TAHUN 2010- 2015”.

  Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi agung, Nabi

  

Akhiruzzaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta

  pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah yang membawa umat manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang, yakni Dinul Islam.

  Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1.

  Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga 2. Sukron Ma‟mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah.

3. Dra. Siti Zumrotun, M,Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah.

  4. Farkhani, S.H., S.H.I., M.H., selaku dosen pembimbing yang dengan iklas membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan tenaganya untuk penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.

  5. Bapak serta Ibu dosen serta karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

  6. Sekretaris Cabang KPI Kota Salatiga ibu Satuf Hidayah, S.E. yang telah memberikan ilmu-ilmunya kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini.

  7. Keluarga besar HMI Cabang Salatiga.

  8. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

  Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya, serta pembaca pada umumnya. Amin.

  Salatiga, 25 September 2016 Penulis

  

ABSTRAK

Jarwati, Sri. 2016. ADVOKASI PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN

KDRT (STUDI PERAN KPI KOTA SALATIGA TAHUN 2010-2015).

Skripsi. Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah. Fakultas Syariah. Institut Agama

Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing: Farkhani, S.H.,S.H.I,.M.H.

  Kata Kunci : Advokasi Korban KDRT, Peran KPI Kota Salatiga

  Kekerasan perempuan dan anak merupakan masalah yang sudah lama terjadi ditengah-tengah masyarakat, KDRT atau biasa juga disebut sebagai kekerasan domestik (domestic violence) merupakan suatu masalah yang sangat khas karena kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat berstatus sosial rendah sampai masyarakat berstatus sosial tinggi. Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak dan pelakunya ialah suami. Hal ini mendorong aktivis perempuan gencar dan terus menuntut haknya, banyak lembaga dan organisasi sosial yang gencar menuntut haknya, salah satu organisasi sosial di Kota Salatiga yang perduli akan perempuan ialah KPI (Koalisi perempuan Indonesia) Kota Salatiga. Peneliti merumuskan dalam penelitian ini untuk mengetahui peran KPI Kota Salatiga dalam mengadvokasi perempuan dan anak korban KDRT.

  Peneliti menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yakni berupa penjelasan kata- kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

  diamati dari hasil penelitian. Metode yang akan digunakan adalah dengan melakukan wawancara, dan pemanfaatan dokumentasi.

  KPI Kota Salatiga sangat minim berperan dalam mengadvokasi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, terbukti dari sepuluh indikator keberhasilan peran yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.

  

DAFTAR ISI

  HAL AMAN JUDUL ……………………………...……………………..………...i

  HALAMAN BE RLOGO ……...…………………………………………..…….. ii

  HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………….….……………….… iii

  HALAMAN PENGESAHAN NASKAH SKRIPSI …..……………….…..….... iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

  …..……..…...…….…… v HALAM

  AN MOTTO …………...……………………………………..…….…..vi HALAMAN PERSEMBAHAN …..…………...……...…….…………………. vii KATA PEN

  GANTAR ……..………………………………….…….……..…… ix AB

  STRAK ……..……………………………………………..…..…………….. xi DA

  FTAR ISI ……...………………………………………...………………….. xii

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……..……………………………..... 1

  B.

  Rumusan Masalah ……………………………………..…….. 5 C. Tujuan Penelitian …..……………………..……………….... 6 D.

  Kegunaan Penelitian ..…………………………………...…… 6 E. Penegasan Istilah …..……………………………………........ 7 F. Telaah Pustaka …..…………………………...…………...... 11 G.

  Metode Penelitian 1.

  Jenis Penelitian ….…………………...…………………. 13 2. Lokasi Penelitian ……...………...……………………... 14 3. Sumber Data …………….…...………………...………. 14 4. Prosedur pengumpulan Data ………………..………….. 14 5. Analisis Data ………………………..………………….. 15 H. Sistematikan Penulisan …………...……………………….... 16

  BAB II TINJAUAN UMUM ADVOKASI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA TEORI PERAN A. Advokasi 1. Sejarah Advokasi …………………………………..….…18 2. Pengertian Advokasi …………………………….……… 18 B. Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak 1. Pengertian Kekerasan Perempuan Dan Anak ………….. 24 2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak ……………………………………………………………27 3. Sebab-Sebab Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak

  …………………………………………………………... 30

  4. Dampak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak .…. 35 5.

  Perlindungan Terhadap Korban Dan Sanksi Hukum Pelaku Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak ………….... 38 6. Menanggulangi Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak

  …………………………………………………………... 43 C. Teori Peran …………………...………..………..…….……. 46

  BAB III Laporan Hasil penelitian A. KPI Kota Salatiga Dalam Mengadvokasi Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak Di Kota Salatiga.

  1. Gambaran Umum KPI Kota Salatiga …………….…….. 50 2.

  Visi Dan Misi KPI Kota Salatiga …….………................. 51 3. Sumber Daya Manusia KPI Kota Salatiga ………...……. 53 B. Tugas Dan Tanggung Jawab Serta Hambatan KPI Kota

  Salatiga Dalam Mengadvokai Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak Di Kota Salatiga Tahun 2010-2015.

  1. Tugas Dan Tanggung Jawab KPI Kota Salatiga Tahun 2010- 2 015 …………..………………………………….. 55

  2. Hambatan KPI Kota Salatiga Dalam Upaya Advokasi Kekerasan Terhadap Perempuan di Salatiga tahun 2010- 2015 ………………………………..…………………………. 62

  C.

  Aktifitas KPI Kota Salatiga dalam Mengadvokasi Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Korban KDRT di Kota Salatiga Tahun 2010- 2015 …………………………………..……… 64

  BAB IV Analisis Peran KPI Kota Salatiga Terhadap Advokasi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tahun 2010- 2015 A.

  Analisis Dari Perbandingan Data Perempuan Dan Anak Korban Kdrt Anatara Kpi Kota Salatiga Dan Ppa Polres Salatiga ...... 72 B. Analisis Peran Dan Kinerja KPI Kota Salatiga ……...……... 74

  BAB V PENUTUP KESIMPULAN ………………………………………………… 81

  SARAN ……………………………………………………….. 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan suatu masalah yang

  sudah lama terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam buku karangan Nawal El Saadawi (2001:1) yang berjudul “Perempuan Dalam Budaya Patriarki” menggambarkan bagaimana kekerasan dalam rumah tangga terjadi sejak adanya budaya. Perempuan menjadi korban diskriminasi, penganiayaan, kekerasan seksual dan lainnya diakibatkan oleh suatu budaya (patriarki).

  KDRT atau biasa juga disebut sebagai kekerasan domestik (domestic

  

violence) merupakan suatu masalah yang sangat khas karena kekerasan dalam

  rumah tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat berstatus sosial rendah sampai masyarakat berstatus sosial tinggi. Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak dan pelakunya ialah suami.

  Dengan di keluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap perempuan khususnya, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan dengan keluarnya Undang- Undang ini ada pergeseran dari masalah hukum privat ke hukum publik. Artinya dalam meningkatkan perlindungan perempuan, negara ikut campur menentukan hukuman bagi pelaku kekerasan. Ironisnya, perempuan yang menjadi korban KDRT sering menutupi kasus ini. Ada beberapa alasan yang menyebabkan kasus KDRT ini ditutup-tutupi misalnya terkait faktor budaya patriarki masyarakat, agama, alasan-alasan subjektif korban atau ketidaktahuan sistem hukum. Tidak berbeda dengan seorang anak yang berada dalam rumah tangga yang posisinya lebih lemah, lebih rendah karena secara fisik mereka memang lemah dari pada orang dewasa serta masih tergantung pada orang-orang dewasa disekitarnya.

  Harkristuti Harkrisnowo dalam artikelnya "Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan” (2000: 82-83) mengatakan adanya non-reporting of crime disebabkan :

  1. Si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya baik fisik, psikologis, dan sosial.

  2. Si korban berkewajiban melindungi nama baik keluarganya terutama pelaku adalah anggota keluarga.

  3. Si korban merasa proses peradilan pidana belum tentu membuat dipidananya pelaku.

  4. Si korban khawatir bahwa proses kasus ini akan memcemarkan nama baiknya, misalnya publikasi di media massa.

  5. Si korban khawatir akan adanya pembalasan dari pelaku.

  6. Lokasi kantor polisi yang jauh dari tempat tinggal korban membuatnya enggan melapor.

  7. Keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak akan mendapat perlindungan khusus penegak hukum.

  8. Ketidaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadapnya merupakan suatu bentuk tindak kekerasan.

  Diundangkanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai payung hukum bagi para Korban Kekerasan dalam rumah tangga, mendorong perubahan pandangan bagi para korban untuk memberikan laporan-laporan tentang tindak kekerasan yang dialami atau yang dilihat (Moerti, 2012: 37).

  Lahirnya

  Women’s Crisis Center sebagai bukti kesadaran perempuan untuk mempertahankan haknya.

  Women’s Crisis Center (WCC) memberikan

  perlindungan kepada perempuan untuk mempertahankan haknya dan meminimalis tindak kekerasan terhadap perempuan.

  Women’s Crisis Center diantaranya

  Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) Jogjakarta yang lahir pada 1982, Mitra Perempuan, Yayasan Kalyanamitra tahun 1985, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Solidaritas Perempuan (SP), Komnas Perempuan yang lahir dengan Keppres No. 181 tahun 1998, dan lembaga atau yayasan lainnya yang melindungi dan mempertahankan hak perempuan. Lembaga-lembaga tersebut yang dibutuhkan seorang korban (terutama perempuan) untuk mempertahankan dan menuntut haknya.

  Keberadaan lembaga-lembaga sosial ini juga melahirkan para aktivis perempuan yang terus gencar mencari dan menuntut haknya. Salah satunya Koalisi Perempuan Indonesia pertama kali diumumkan berdirinya pada tanggal 18 mei 1998 oleh sekelompok aktivis di Jakarta dengan dukungan 75 aktivis perempuan dari berbagai daerah yang menyetujui dibentunya Koalisi Perempuan Indonesia.

  Berdasarkan data kekerasan dalam rumah tangga yang diajukan oleh komnas perempuan (Moerti, 2012: 3). Pada tahun 2001 terdapat 3.160 kasus KDRT. Jumlah kasus meningkat pada tahun 2002 menjadi 5.163. Pada tahun 2003, kasus KDRT meningkat menjadi 7.787 kasus, lalu pada tahun 2004 meningkat dengan jumlah 14.020, dan pada tahun 2005 berjumlah 20.391 kasus.

  Data di atas, menunjukan bahwa kasus KDRT mengalami peningkatan setiap tahun. Hal ini menujukan bahwa peran dari WCC atau lembaga sosial yang bergerak dalam bidang perempuan sangat besar dalam memberikan sebuah kesadaran kepada perempuan atau masyarakat luas tentang hak perempuan dan anak serta dalam melakukan upaya mempertahankan hak perempuan dan anak.

  Besarnya peranan lembaga-lembaga sosial atau WCC dalam menanamkan kesadaran akan hak dan memberikan pendampingan serta perlindungan kepada korban kasus KDRT dipengaruhi lahirnya perundang-undangan di Indonesia. Lahirnya UU No. 23 tahun 2006 tentang penyelengaraan dan kerjasama pemulihan korban KDRT, Peraturan Presiden No. 65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional Perempuan, Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang memberikan tugas dan fungsi kepada lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam perlindungan terhadap perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan peraturan perundang- undagan tersebut tidak terlepas dari peran lembaga sosial.

  KPI Kota Salatiga adalah salah satu lembaga sosial yang turut andil dalam upaya membela hak-hak perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. KPI merupakan organsasi yang bersifat independen dalam menjalankan kebijakan dan menjalankan organisasi KPI tidak terikat pada pihak lain diluar organisasi, nir-laba bahwa dalam menjalankan program-programnya tidak mencari keuntungan semata-mata, non-partisan bahwa KPI tidak menjadi bagian dari partai politik maupun organisasi yang menjadi bagian dari partai politik, non sectarian bahwa KPI bukan menjadi bagian dari agama, aliran kepercayaan atau aliran keyakinan tertentu.

  Hal tersebut mendasari penulis untuk melakukan penelitian terhadap lembaga sosial yang berorientasi kepada perempuan dan anak secara khusus dalam hal kekerasan dalam rumah tangga di kota Salatiga. Menjadi latar belakang penulisan skripsi dengan judul “Advokasi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Peran Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Kota Salatiga tahu 2010-2015).

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan diskripsi di atas maka perumusan masalah yang akan dibahas adalah bagaimana peran KPI Kota Salatiga dalam mengadvokasi korban kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2010-2015 ?

  C. Tujuan Penulisan

  Berdasarkan permasalahan yang ada, maka skripsi ini bertujuan untuk mengetahui peran KPI Kota Salatiga dalam mengadvokasi korban kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2010-2015.

  D. Kegunaan Penelitian

  Kegunaan penelitian ini adalah :

  1. Manfaat Teoritis Sebagai penambah wawasan ilmu pengetahuan bagi pembaca khususnya perempuan terhadap pemahaman KDRTdan Lembaga- lembaga yang dapat membantunya ketika KDRT terjadi pada dirinya.

  2. Manfaat Praktis

  a. Bagi civitas akademik sebagai bahan untuk memikirkan dibentuknya suatu lembaga sosial yang berorientasi dalam memberikan perlindungan hukum terhadap orang-orang korban kekerasan dalam rumah tangga secara khusus dan kekerasan terhadap perempuan dan anak secara luas.

  b. Bagi lembaga penegak hukum dan lembaga lainya yang disebutkan dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga sosial dalam melakukan upaya mengurangi angka kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

  c. Bagi korban, keluarga korban, dan masyarakat untuk tidak takut melaporkan kekerasan dalam rumah tangga dan meminta pendampingan terhadap korban kepada lembaga sosial yang ada.

E. Penegasan Istilah

  1. Advokasi Advokasi adalah membangun organisasi- organisasi demokratis yang kuat untuk membuat para penguasa bertanggung jawab, dan menyangkut peningkatan keterampilan serta pengertian rakyat tentang kekuasan itu bekerja. Advokasi memusatkan perhatian pada banyak soal siapa dapat apa di masyarakat, seberapa banyak mereka mendapatkannya, siapa yang ditinggalkan, bagaimana uang rakyat dibelanjakan, bagaimana keputusan- keputusan dibuat, bagaimana jumlah orang dicegah untuk ikut serta dalam keputusan-keputusan itu, dan bagaimana informasi dibagikan atau disembunyikan (Hermoyo, 2005:12).

  Advokasi dapat didefinisikan sebagai proses melobi yang terfokus untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan secara langsung. Dalam situasi lain advokasi boleh jadi menekankan pada proses pendidikan dan pemberdayaan yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat agar mereka dapat menjadi pembela-pembela yang efektif.

  2. Anak Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum Islam. Secara internasional defenisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau

  United Nation Convention on The Right of The Child tahun 1989,

  aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nation Standard

  Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (“The

Beijing Rules”) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau

Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948. ( Marlina,

  2005: 33) Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan, di antaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih di dalam kandungan, sedangkan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak telah mencapai usia 8 tahun tetapi belum mencapai usia18 tahun dan belum pernah menikah. (Marlina, 2005: 33)

  Defenisi anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda dengan defenisi menurut hukum Islam dan hukum Adat.

  Menurut hukum Islam dan hukum adat sama-sama menentukan seseorang masih anak-anak atau sudah dewasa bukan dari usia anak. Hal ini karena masing-masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum Islam menentukan defenisi anak dilihat dari tanda-tanda pada seseorang apakah seseorang itu sudah dewasa atau belum. Artinya seseorang dinyatakan sebagai anak apabila anak tersebut belum memiliki tanda-tanda yang dimiliki oleh orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam hukum

  Islam.

  Ter Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum adat memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orang tua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri (Marlina, 2005: 35).

  Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention on the Rights of the Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah. Sementara itu, UNICEF mendefenisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-Undang RI No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah.

  Sedangkan Undang-Undang Perkawinan menetapkan batas usia 16 tahun. (Abu Huraerah, 2000: 19)

  3. Kekerasan dalam rumah tangga Kekerasan merupakan suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang dapat diberikan sanksi pidana yang telah diatur dalam undang-undang. Menurut

  WHO (WHO, 1999) kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Menurut PERPPU Nomor 1 Tahun 2002, Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.

  Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Di dalam UU.No.

  23 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

F. Telaah pustaka

  Sri Mulyati berjudul Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga

  

Menurut UU No. 23 Tahun 2004 dan Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan

Negeri Salatiga No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No: 20/Pid.B/PN. Sal/2006) ,

  STAIN Salatiga 2007. Kesimpulannya antara lain menjelaskan Persoalan UU PKDRT dan hukum Islam mempunyai semangat sama yang melandasi dua hukum tersebut, yakni penghormatan terhadap martabat manusia, kaitannya dengan hak- hak suami istri dalam rumah tangga serta anti kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam undang-undang sudah jelas ketentuan pidananya, sedang dalam hukum Islam tidak ditentukan pidananya bagi mereka yang melakukan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga, akan tetapi kembali pada konsep perkawinan yaitu sakinah, mawadah, warahmah. Dari sini jelaslah bahwa kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga menurut UU PKDRT dan Hukum Islam tidak diperbolehkan.

  Dalam skripsi Eni Kusrini Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan

  

Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut PKDRT (Studi Kasus di

Polres Salatiga Tahun 2004-2006) STAIN Salatiga 2006 diantaranya memberikan

  kesimpulan sebagai berikut : Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban adalah kepolisian yang akan memberikan perlindungan dengan cara menerima laporan dari pihak korban atau keluarganya; melakukan penyelidikan terhadap pelaku tindak kekerasan; kepolisian menjelaskan hak-hak korban dan melakukan penangkapan apabila pelaku tindak kekerasan melanggar penetapan perlindungan dari pengadilan; vonis hukuman bagi pelaku sesuai dengan penetapan dari pengadilan. Perlindungan yang diberikan oleh Polres Salatiga sudah sesuai dengan UU KDRT No. 23 Tahun 2004.

  Fitria Awwalin dalam skripsi Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah

  

Tangga (Studi Komparatif Terhadap Hukum Islam Dengan UU No. 23 Tahun

2004) STAIN Salatiga 2005, memberikan kesimpulan diantaranya sebagai

  berikut: Dalam hubungan dengan KDRT, hukum Islam dan UU KDRT memiliki semangat yang sama. Asas yang melandasi keduanya adalah penghormatan terhadap martabat manusia, penghormatan terhadap perempuan sebagai manusia merdeka kaitanya dengan hak dan kewajiban suami istri, serta anti kekerasan dan diskriminasi. Sedang semangat al Qur`an dalam masalah KDRT merupakan paduan dari semangat: pembebasan (dari kekerasan riil yang dialami perempuan); perlindungan (dari berbagai bentuk dan pelaku kekerasan); pemberdayaan (dari lingkaran kekerasan yang selama ini membuat perempuan tidak berdaya); pemulihan (dari perempuan yang dinistakan menjadi individu yang merdeka, terhormat, bermartabat di mata Tuhan dan Manusia). Sebuah semangat yang mengarah pada tujuan yang sama, yaitu penolakan terhadap segala bentuk kekerasan terutama yang mengarah pada perempuan. Hal ini secara tidak langsung ”merubah” citra Islam, dari agama yang ”sangat dekat” dengan kekerasan menjadi agama yang peduli pada perempuan sebagai manusia yang sering mendapat kekerasan karena kondisi yang ”terlanjur” melemahkan posisi perempuan.

  Tiga skripsi di atas pada umumnya membahas kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dengan segala variasinya.

  Sedangkan skripsi ini yang menjadi kajian utamanya yakni peran lembaga KPI Kota Salatiga dalam mengadvokasi perempuan dan anak korban KDRT.

G. Metodologi Penelitian 1. Jenis penelitian.

  Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian penelitian lapangan (field research) yaitu peneliti berangkat ke obyek yang akan diteliti untuk mengadakan pengamatan tentang sesuatu fenomenon dalam suatu keadaan alamiah atau „in situ‟ (Lexy J. Moloeng, 2011: 26).

  2. Lokasi Penelitian.

  Sesuai dengan judul skripsi yang penulis ajukan, maka lokasi penelitian penulis adalah KPI Kota Salatiga, dan obyeknya adalah peran KPI Kota Salatiga dalam advokasi korban KDRT.

  3. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

  a) Sumber data primer; yaitu hasil temuan data di lapangan melalui wawancara dengan Pihak KPI Kota Salatiga.

  b) Sumber data sekunder; yaitu data yang diperoleh dari literatur buku-buku, surat kabar, majalah, catatan, perundang-undangan dan kepustakaan ilmiah lain yang menjadi referensi maupun sumber pelengkap penelitian.

  4. Prosedur pengumpulan data.

  a. Wawancara.

  Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto, 1998:115). Pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung dengan pihak-pihak yang berkaitan. Wawancara penulis lakukan terhadap penaggungjawab kegiatan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan pada KPI Kota Salatiga serta orang-orang yang berkompeten dalam pokok permasalahan.

  b. Dokumentasi.

  Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, agenda, dan sebagainya (Suharsimi, 1997 : 236).

  Dalam penelitian ini, penulis mencari data dari buku, majalah, transkrip, foto, dan catatan yang terkait aktivitas KPI Kota Salatiga, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk menambah data yang ada pada peneliti.

  5. Analisis data.

  Dalam menganalisis hasil data yang diperoleh pada penelitian ini digunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yakni berupa penjelasan kata- kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dari hasil penelitian (Moleong, 2001: 3). Pendekatan ini penulis gunakan untuk menganalisis berbagai aktifitas KPI Kota Salatiga dalam mengadvokasi kekerasan terhadap perempuan di Kota Salatiga.

  6. Pengecekan keabsahaan data.

  Untuk menghindari ketidakakuratan data yang telah diperoleh dalam penelitian, penulis akan mengkonfirmasikan terhadap berbagai pihak yang yang berkaitan. Misal; data jumlah kekerasan terhadap perempuan yang diperoleh dari KPI akan dikonfirmasikan pada bagian Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Salatiga atau Pengedilan Negeri Salatiga yang secara hukum menjadi bagian dari dua lembaga ini. Bila perlu validitas data akan dipertajam dengan wawancara dengan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.

  Sistematika Penulisan.

  H.

  Pembahasan skripsi ini melalui tiga tahap, yaitu pendahuluan, isi, dan penutup. Dari bagian-bagian tersebut terdiri dari bab-bab dan dalam bab tersebut terdapat sub-sub bab. Sistematika pembahasannya dapat dilihat sebagai berikut :

  Pada bagian isi skripsi didalamnya terdiri dari lima bab. Keseluruhannya dapat dilihat sebagai berikut : Bab I : pendahuluan yang menguraikan; latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penjelasan istilah, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

  Bab II : Tinjauan umum advokasi kekerasan terhadap perempuan dan anak, secara garis besar kajian pustaka berisi tentang: pengertian kekerasan terhadap perempuan dan anak; bentuk- bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak; sebab-sebab kekerasan terhadap perempuan dan anak; dampak kekerasan terhadap perempuan dan anak; perlindungan terhadap korban dan sangsi hukum pelaku kekerasan terhadap perempuan anak; menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak; teori peran.

  Bab III : Laporan Hasil Penelitian, berisi tentang : gambaran umum koalisi perempan indonesia Kota Salatiga; tugas dan tanggung jawab koalisi perempuan Indonesia Kota Salatiga; kekerasan terhadap perempuan di Kota Salatiga tahun 2010-2015 yang melapor ke KPI Kota Salatiga.

  Bab IV : Analisis Advokasi perempuan dan anak korban kekerasan dalam rumah tangga (Studi Peran KPI Kota Salatiga Tahun 2010-2015). Bab V : Penutup, yang berisi tentang ; kesimpulan dan saran.

BAB II TINJAUAN UMUM ADVOKASI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SERTA TEORI PERAN A. Advokasi

  1. Sejarah Advokasi Advokasi semula berasal dari bahasa Latin yaitu

  “advocates” mengandung arti pembelaan yang memberikan bantuan hukum atau pertolongan dalam soal-soal hukum. Bantuan atau pertolongan ini bersifat memberi nasehat-nasehat sebagai jasa- jasa baik, dalam perkembangannya kemudian dapat diminta oleh siapapun yang memerlukan, membutuhkannya untuk beracara dalam hukum (Lasdin Wlas, 1989: 2).

  Semenjak abad pertengahan kerajaan romawi dinamakan

  Duivel Advocaten yaitu bertugas memberikan segala macam

  keberatan-keberatan dan nasehat-nasehat dalam suatu acara pernyataan suci bagi seseorang yang telah meninggal (Lasdin Wlas, 1989: 2).

  2. Pengertian Advokasi Definisi advokasi beraneka ragam serta berubah-ubah sepanjang waktu tergantung pada keadaan, kekuasaan, dan politik pada suatu kawasan tertentu. Advokasi menurut bahasa adalah pembelaan. Beberapa pengertian advokasi diantaranya;

  Menurut Valerie Miller dan Jane Covey (2005: 12-13) dalam bukunya yang berjudul advokasi adalah proses perhubungan dan transformasi sosial yang diarahkan untuk membuat hubungan- hubungan kekuasaan di masyarakat lebih demokratis, seraya menjamin orang-orang yang dipinggirkan mendapat tempat dalam keputusan-keputusan publik dan membuat hidup mereka lebih sehat, aman dan produktif.

  Kaminski dan Walmsley (1995) menjelaskan bahwa advokasi adalah satu aktivitas yang menunjukkan keunggulan pekerjaan sosial berbanding profesi lain. Selain itu, banyak defenisi yang diberikan mengenai advokasi. Beberapa di antaranya mendefinisikan advokasi adalah suatu tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atas program dari suatu institusi (Desi Anwar, 2003: 17).

  Abdul Wahid dan Muhammad Irfan (2001: 23) mengartikan advokasi sebagai upaya pemberian jaminan kepada pihak yang sedang terlibat dengan kasus untuk memperoleh keadilan. Advokasi bisa diartikan sebagai pendampingan, yakni pendampingan yang dilakukan terhadap korban untuk memperoleh keadilan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengartikan pendampingan sebagai pekerja sosial yang mempunyai kompetensi di dalam bidangnya. Jika pendampingan di hadapan pengadilan, maka pendamping haruslah ahli hukum. Jika pendampingan bertujuan untuk memulihkan kondisi psikis korban, maka harus dilakukan psikolog atau konselor.

  Dalam mengadvokasi perempuan dan anak korban KDRT mempunyai dasar hukum sebagai berikut : a. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

  Pasal 10 menyatakan bahwa korban berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

  b. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

  Pasal 8 menyatakan “perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah”.

  Pasal 65 menyatakan‚ setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya‛.

  c. Undang- Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

  Pasal 5 menyatakan, seorang saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

  d. Undang Undang 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

  Pasal 69 menjelaskan perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal sebelumnya yakni pasal 59 Undang-Undang ini adalah meliputi kekerasan fisik, psikis dan seksual dilakukan melalui upaya: penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan pemantauan pelaporan dan pemberian sanksi.

  Dari ketiga undang-undang di atas, dijadikan sebagai dasar dilaksanakannya advokasi perlindungan terhadap perempuan dan anak korban KDRT, serta dapat menguatkan posisi pendamping ketika melakukan advokasi perlindungan hukum.

  Bentuk advokasi dalam perlindungan hukum perempuan dan anak korban KDRT, yang diperjuangkan ialah hak- hak perempuan dan anak tersebut. Hak perempuan dan anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi. Bentuk advokasi perlindungan korban, sebagai berikut: a.

  Reparasi Reparasi adalah upaya pemulihan kondisi korban pelanggaran HAM kembali ke kondisinya sebelum terjadi pelanggaran HAM tersebut pada dirinya (YLBHI, 2007: 304). Reparasi meliputi beberapa aspek memulihkan korban pasca pelanggaran HAM. Di antaranya adalah pemulihan kondisi fisik, psikis, harta benda atau status sosial korban yang dirampas.

  b.

  Kompensasi Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya (UU No.3 tahun 2002) c. Restitusi

  Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu ( UU No. 3 Tahun 2002).

  d.

  Rehabilitasi Rehabilitasi korban KDRT adalah tindakan fisik dan psikososial sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri secara maksimal dan untuk mempersiapkan korban secara fisik, mental dan sosial dalam kehidupannya di masa mendatang. Dalam hal korban kejahatan secara globlal, rehabilitasi diartikan dengan pemulihan kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik dan jabatan (Agustinus Edy K, 2009: 305). Tujuan rehabilitasi meliputi aspek medik, psikologik dan sosial.

  Dalam mengadvokasi korban KDRT bisa dilakukan oleh banyak pihak seperti individu, kelompok, atau organisasi, seperti yang disampaikan Elbiando Lumban Gaol dalam artikelnya bahwa yang berhak mengadvokasi diantaranya (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001: 23): a.

  Mahasiwa (individu) atau organisasi/Komunitas kemahasiswaan.

  b.

  Organisasi masyarakat dan organisasi politik.

  c.

  Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Organisasi non- pemerintah.

  d.

  Komunitas masyarakat, serta organisasi-organisasi masyarakat.

  e.

  Organisasi keagamaan.

  f.

  Media.

B. Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak 1. Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak.

  Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelanataran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dala lingkup rumah tangga. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (Suharso, 2009: 240) kata kekerasan diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan kerugian fisik maupun non fisik.

  Zaitunah Subbhan (2006: 6-7) dalam bukunya dari beberapa sumber makna kekerasan terhadap perempuan, antara lain:

  1. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan, dan pengabaian hak asasi perempuan atas dasar gender. Tindakan tersebut mengakibatkan (dapat mengakibatkan) kerugian dan penderitaan terhadap perempuan dalam hidupnya, baik secara fisik, psikis, maupun seksual. Termasuk didalamnya ancaman, paksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat, maupun bernegara (Kantor Menteri Negara PP.RAN PKTP, Tahun 2001-2004);

  2. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis. Termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan publik maupun kehidupan pribadi (lihat pasal 2 Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan);

  3. Kekerasan maupun kehidupan perempuan adalah sebuah tindakan sosial, dimana pelaku-pelakunya hrus memepertanggungjawabkan tindakanya kepada masyarakat (Lee Ann Hoff, 1994: 5-9);

  4. Kekerasan terhadap perempuan adalah perilaku yang muncul sebagai akibat adanya bayangan tentang peran identitas berdasarkan jenis kelamin, dan berkaitan dengan bayangan mengenai kekuasaan yang dapat dimilikinya.

  Kekerasan terdiri atas tindakan memaksakan kekuatan fisik dan kekuasaan pihak lain. Biasanya diikuti dengan tujuan untuk mengontrol, memperlemah, bahkan menyakiti pihak lain. Tindakan kekerasan terhadap perempuan meliputi beberapa fenomena, baik hukum, etika, kesehatan, budaya, politik, maupun moral (Hentietta Moore, 1994: 66).

  Sedangkan kekerasan terhadap anak adalah perbuatan menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional, istilah kekerasan terhadap anak meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orangtua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaraan kebutuhan-kebutuhan dasar anak (Richaed J.

  Gelles, 2004: 1).