Menyoroti Kleptomania Akademisi.

--- -- -----

£t Pikiran
o Se/asa
4

5

0
6

20

21

o Mar

OApr

Rakyat


Rabu 0 Kamis 0 Jumat
7
8
9
10
11
22
23
24
25
26

OMel

OJun

OJul

. Sabtu0 Minggu
12


27

0 Ags OSep

(9 28
OOId

14

29

15

30

ONov

16


31

ODes

Menrl!roti Kleptornan~~ !ikademisi
Oleh DEDE MARIANA

K

LEPTOMANIA
.

ada-

lah orang yang memi-

liki hobi mencuri, ngutil, biasanya di supermarket. lni
penyakit psikologis. Bagaimana
menyembuhkan orang yang hobinya mencuri? Entah kita akan
terkejut atau tidak, sedih dan

prihatin, kleptonamia dilakukan
akademisi yang disebut plagiasi
kembali teIjadi, diberitakan media masa cetak dan elektronik.
Kreatif kriminal. Barangkali
kata itu yang cocok untuk yang
senang mencuri karya orang
lain. Biasanya menggunakan
rumus ATM (amati-tiru-modifikasi). Orangnya sering disebut
plagiat, "ajaran"-nya disebut
plagiarisme, yakni perilaku kecenderungan kaum terdidik,
yang dekat dengan dunia

mengajar, meneliti, dan menulis, mencuri karya orang lain,
untuk kemudian diklaim sebagai karya dirinya. Plagiasi teIjadi juga di dunia musik dan karya seni lainnya.
Akhir-akhir ini, dunia akademik kembali dihebohkan oleh
ulah akademisi yang "dituding"
melakukan plagiarisme. Tidak
etis untuk menyebut nama. Penulis hanya mengingatkan diri
sendiri dan kaum yang sering
disebut masyarakat ilmiah, untuk melakukan pengawasan internal bahwa plagiarisme adalah

aib. Persoalannya, mengapa kejadian seperti itu selalu terulang
dari tahun ke tahun?
Mencantumkan
pendapat,
ide, sebagian atau bahkan seluruhnya dari karya orang lain,
adalah pekeIjaan mudah. Mengutip pendapat dari makalah,
majalah ilmiah, jurnal, atau buku, amatlah gampang, karena
jelas penulisnya, jelas sumbernya,jelas penerbitnya. Mengapa
yang mudah ini kadang ada
yang melanggamya?
Alasan klasik adalah "malas".
Tidak mau.konsisten dan konsekuen menjadi bagian dari masyarakat ilmiah. Atau karena sekarang zaman instan, ada saja
bagian dari komunitas akademik ilmiah atau kaum cendekiawan, yang senang menggunakan
jalan instan. Padahal; harga diri

dan wibawa cendekiawan tidak
ditentukan oleh klaim: inilah
pendapatku! Tidak! Menghormati dan menghargai karya
orang lain,justru menjadijalan
ampuh untuk menegakkan wibawa kaum cendekiawan.

Menghindari plagiarlsme
Di alam teknologi informasi
dan komunikasi yang serba
canggih, karya tulis seseorang
bisa dipantau setiap saat oleh
publik hanya dengan meng-googling nama dan kata kunci di
media internet. Pada dekade
198o-an, marak istilah pelacuran intelektual. Salah satu bentuknya adalah mencuri karya
orang lain. Betul, ide bisa datang
pada saat yang bersamaan kepada semua orang. Huruf, kata,
dan kalimat pun, itu-itu juga
yang digunakan. Boleh jadi ide
dan kalimat yang kita susun mirip dengan ide dan kalimat digunakan orang lain. Ini kebetulan
mananya, tetapi hanya mirip,
belum tentu persis.
Cara paling gampang untuk
tidak mencuri karya orang lain
adalah dengan niat, tidak berniat melakukan hal tercela seperti
itu. Kemudian, tidak mencobacoba. Bisajadi hobi yang satu ini
adiktif. Berikutnya, tidak gila

hormat. Penghormatan terhadap kaum akademisi dan cendekiawan akan muncul dengan
sendirinya, apabila yang bersangkutan dapat mengaplikasikai1ilmunya di tengah masyarakat dan masyarakat rriendapat-

Kliping Humas Unpad 2010

kan manfaatedari ilmu tersebut.
Apabila kita yakin babwa ide,
pemikiran, dan konsep pemab
diungkapkan orang lain dalam
karyanya, akuilah dan hargailab
dengan cara mencantumkan nama yang bersangkutan di dalarn
tulisan, yang kita buat dalarn
bentuk sitasi atau memberi credit title. Dengan cara ini kita belajar menghargai dan mengakui
orang lain atas karya berupa ide,
pemikiran, dan konsep yang
pemab dikemukakannya. Berpikirlab, andai karya kita berupa
ide, pemikiran, dan konsep diarnbil begitu saja oleh orang lain
tanpa memberi credit title atau
sitasi, tentu kita akan jengkel,
keuheul, bahkan marah. Meski

memang dalam konteks kehidupan akademik di Indonesia,
dari pengalarnan bila ada seseorang mengadukan soal plagiasi
cenderung ditanggapi sepi, babkan kasusnya hilang begitu saja
cenderung dipetieskan, dan
akhimya yangjadi korban plagiasi hanya bersungut-sungut,
kukulutus di belakang.
"Ghost writer"
Apakab menggunakan jasa
ghost writer merupakan plagiarisme? Di dunia modem, khususnya di dunia barat, ada yang
disebut ghost writer, yang lebih
kurang bisa diartikan, orang
yangmemiliki
kapasitas dan
kompetensi untuk menuliskan
ide atau gagasan orang lain. Bukan karena orang lain itu tidak
sanggup---menulis melainkan Ie-

bih karena persoalan teknis, misalnya karena kesibukannya, tetapi ia memiliki sejumlab ide
dan konsep untuk di-breakdown
dan di-rundown lebih lanjut

menjadi satu tulisan. Memang tidak mudab menjadi ghost writer. Babkan, untuk sebutan writer (penulis) atau author (pengarang), masyarakat Indonesia belurn menghargai itu sebagai satu
profesi.
Ghost writer, dalarn konteks
simbiosis mutualistis, satu pihak
memiliki ide dan gagasan tetapi
tidak memiliki waktu yang cu.kup untuk menulis, yang satu pihak lagi memiliki kapasitas dan
kompetensi untuk menulis, dan
selarna dikerjakan secara profesional, barangkali pencurian ide
sedikit banyak relatifbisa dihindari. Apakah satu kesalahan apabila peran ghost writer diberdayakan untuk kemaslahatan bersarna? Dalarn konteks ini, silabkan pilih: memilih menjadi pencoo karya orang lain dengan segudang alasannya dan terjerumus ke dalarn plagiarisme, atau
mempersilabkan adanya peran
ghost writer yang profesional?
Apa yang penulis sarnpaikan,
setidaknya merupakan bahan
bagi semua pihak untuk kembaIi melakukan renungan ulang,
diskusi ulang, agar kita tidak Iebih "parab" ketimbang keledai
yang tidak mau jatuh dua kali di
lubang yang sama.***
Penulis, dosen dan peneliti
di Universitas Padjadjarcin.