POLA PEMBINAAN KEAGAMAAN BAGI TUNANETRA :Studi Deskriptif di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung Tahun 2014.

(1)

POLA PEMBINAAN KEAGAMAAN BAGI TUNANETRA

(Studi Deskriptif di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna

Bandung Tahun 2014)

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat dalam meperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam

Oleh Lela Ulfah

1000924

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG


(2)

POLA PEMBINAAN KEAGAMAAN BAGI TUNANETRA (Studi Deskriptif di Panti Sosial Bina Netra Wyta Guna Bandung

Tahun 2014)

Oleh : LELA ULFAH

Sebuah Skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

©

LELA ULFAH 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2014

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Skripsi ini tidak boleh diperbanyak

seluruhnya atau sebagian,

dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa izin dari penulis.


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

POLA PEMBINAAN KEAGAMAAN BAGI TUNANETRA

(Studi Deskriptif di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung Tahun 2014) oleh

Lela Ulfah 1000924

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:

Pembimbing I

Dr. H.Abas Asyafah, M.Pd. NIP 19581016 198601 1 003

Pembimbing II

Drs. H. Udin Supriadi, M. Pd. NIP 19590617 198601 1 001

Mengetahui

Ketua Prodi Ilmu Pendidikan Agama Islam

Dr. H.Endis Firdaus, M.Ag. NIP 19570303 198803 1 001


(4)

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI Skripsi ini telah diuji pada :

Hari, tanggal : Rabu, 27 Agustus 2014 Tempat : Lantai 2 Gedung FPIPS UPI

Panitia Ujian

1. Ketua :

Prof. Dr. H. Karim Suryadi, M.Si. NIP. 19700814 199402 1 001 2. Sekretaris :

Dr. H. Endis Firdaus, M.Ag. NIP. 19570303 198803 1 001

3. Penguji :

Dr. Munawar Rahmat, M.Pd. NIP. 19580128 198612 1 001

Dr. Fahrudin, M.Ag. NIP. 19591008 198803 1 003

Agus Fakhruddin, S.Pd., M.Pd. NIP. 19760817 200501 1 001


(5)

vi DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH………..…….…ii

ABSTRAK……….….iv

ABSTRACT……….……….…..v

DAFTAR ISI…………...………...…....…vi

DAFTAR GAMBAR DAN DAFTAR TABEL….……….……...x

DAFTAR LAMPIRAN………..xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN………..xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi Masalah Penelitian ... 10

C Rumusan Masalah Penelitian... 11

D. Tujuan Penelitian ... 11

E. Manfaat Penelitian ... 12

F. Struktur Organisasi ... 13

BAB II PEMBINAAN KEAGAMAAN DAN TUNANETRA ... 15

A. Konsep Pembinaan ... 15

1. Pengertian pembinaan ... 15

2. Ruang Lingkup Pembinaan ... 16

3. Prosedur Pembinaan ... 19

4. Pendekatan Pembinaan... 21

B. Konsep Pembinaan Agama Islam ... 23


(6)

vii

2. Dasar Pembinaan Agama Islam ... 25

3. Tujuan Pembinaan Agama Islam ... 27

4. Unsur-Unsur Pembinaan Agama ... 28

C. Konsep Tunanetra ... 29

1. Pengertian Tunanetra ... 29

2. Klasifikasi Tunanetra ... 31

3. Faktor-Faktor Penyebab Ketunanetraan ... 32

4. Dampak Ketunanetraan pada Perilaku Anak ... 33

D. Layanan Pendidikan Non Formal Bagi Tunanetra……….34

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

A. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 39

1. Lokasi penelitian ... 39

2. Subjek Penelitian ... 39

B. Desain Penelitian ... 40

C. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian... 41

1. Metode Penelitian………...……….41 2. Pendekatan Penelitian…..………41 D. Definisi Operasional ... 42

E. Instrumen Penelitian ... 44

F. Teknik Pengumpulan Data ... 46

1. Observasi ... 47

2. Wawancara ... 47

3. Studi Dokumen ... 48


(7)

viii

1. Data Reduction (Reduksi Data) ... 50

2. Display Data (Penyajian Data) ... 51

3. Uji Validitas ... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 53

A. Pemaparan Data Hasil Penelitian... 53

1. Profil Panti Sosial Bina Netra Wyataguna Bandung ... 53

2. Perencanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyataguna Bandung ... 65

3. Proses pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wiyataguna Bandung ... 68

4. Hasil dari pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wiyataguna Bandung ... 77

5. Faktor penghambat dan faktor pendukung dalam pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyataguna Bandung………78

B. Pembahasan Penelitian ... 80

1. Analisis Profil Panti Sosial Bina Netra Wyataguna Bandung ... 80

2. Analisis Perencanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyataguna Bandung ... 83

3. Analisis Proses pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wiyataguna Bandung ... 86

4. Analisis Hasil dari pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wiyataguna Bandung ... 94

5. Analisis Faktor penghambat dan faktor pendukung dalam pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyataguna Bandung……….………...96

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI……….100

A. Kesimpulan…..………..…...100


(8)

ix


(9)

Pola Pembinaan Keagamaan bagi Tunanetra

(Studi Deskriptif di Panti Sosial Wyata Guna Bandung Tahun 2014) Lela Ulfah (1000924)

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan yang terjadi dalam dunia pendidikan non formal bagi tunanetra. Di Indonesia banyak lembaga-lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan non formal akan tetapi masih jarang lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan non formal bagi anak berkebutuhan khusus terutama pelayanan dalam hal keagamaan. Hal tersebut menunjukan bahwa mereka yang berkebutuhan khusus (tunanetra) juga perlu mendapatkan pelayanan berupa bimbingan/pembinaan keagamaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis (1) profil Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung (2) perencanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung (3) proses pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung (4) hasil dari pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung (5) faktor penghambat dan faktor pendukung pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Perencanaan pembinaan keagamaan dilihat dari jadwal kegiatan yang telah dirancang sebelumnya. Kemudian jadwal kegiatan tersebut diimplementasikan melalui pelaksanaan. Adapun pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung dilihat dari kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan, materi yang disampaikan, metode yang digunakan, dan pemateri-pemateri keagamaan di PSBN Wyata Guna Bandung. Kegiatan pembinaan keagamaan di antaranya bimbingan mental bulanan, bimbingan mental mingguan, JIHAD (Kajian Ahad), dan kegiatan ekstrakulikuler keagamaan yang terdapat dalam program OSK (Organisasi Siswa-Siswi Klien). Materi-materi yang disampaikan meliputi materi ibādaħ, aqīdaħ, akhlāq, Al-Qur’ān , bahasa Arab, sejarah peradaban Nabi, dan materi tentang etika berdakwah. Materi-materi itu disampaikan dnegan menggunakan metode yang bervariasi seperti metode ceramah, metode bercerita, metode hafalan, metode kerja kelompok, dan metode praktek. Hasil dari pembinaan keagamaan di PSBN Wyata Guna Bandung tergolong berhasil, terlihat dari perubahan sikap para klien khususnya perubahan sikap dalam hal keagamaan (ibadah sehari-hari).


(10)

PATTERNS OF RELIGIOUS GUIDANCE BLIND STUDENT

(DESCRIPTIVE STUDY OF SOCIAL DEVELOPMENT IN THE

ORPHANAGE FOR NETRA WYATA BANDUNG 2014)

Study Program Islamic Science Education, Faculty of Social Sciences Education, University of Education Indonesia

ABSTRACT

This research is backgrounded by a problem which exist in non-formal eduaction for a blind student. In indonesia ther are so many institutions which service non formal guidance but there are still a rare institutions which give a non formal guidance for a child with special needs, especially in term of Religion guidance. It shows tha a child with a special needs (blind student) also needs an guidance service in a term of religion. This research aims for explore a analyze (1) Bina Netra Wyata Guna Bandung Orphanage’s profile (2) Guidance Planning of Bina Netra Wyata Guna Bandung Orphanage’s (PSBN) (3) Learning implementation Bina Netra Wyata Guna Bandung Orphanage’s (4) Guidance results of Bina Netra Wyata Guna Bandung Orphanage’s (5) Threat Factor and Strengthen factor Bina Netra Wyata Guna Bandung Orphanage’s. This research uses descriptive method with a qualitative approach. The data of this research collected by observation, interview, and documentation study. Religion guidance planning viewed by a scheduled that has been planned before. Then that schedule is implemented through the action. The implementation of religion guidance for blind student in PSBN Wyata Guna Bandung viewed by activities which will be implemented, the content, method, and instructors in PSBN Wyata Guna Bandung. The content of religion guidance sort a monthly mental guidance, weekly mental guidance, JIHAD (Sunday discussion), and religion extracurricular which exist in OSK (Student and client’s organization). The content is about worship, faith, akhlaq, al Quran, Arabic language, prophet’s history, missionary. Those contents is being told through variative methods such a lecturing method, storry telling method, memorized method, work group method, practice method. The result of religion guidance in PSBN Wyata Guna Bandung is succes, it can be viewed by attitude that changed in a religious content (daily worship).


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Manusia adalah makhlūq tuhan yang paling sempurna, selain memiliki insting dan naluri, manusia juga dibekali akal untuk berpikir. Berbeda dengan mahluq tuhan lainnya seperti hewan yang tidak diberikan akal. Oleh karena itu, manusia harus bisa menggunakan potensinya sebagai benih untuk menjadi manusia yang diharapkan Allāh.

Manusia diciptakan oleh Allāh dengan tujuan untuk beribadah kepada

Allāh SWT. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Żāriyāt ayat 56 sebagai berikut:















Artinya : ‟Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku “ (Q.S Al-Żāriyāt : 56).*

Selain itu, manusia juga diberi kepercayaan oleh Allāh SWT untuk menjadi khalīfaħ di muka bumi ini, tugas kekhalīfaħan ini terdapat dalam surat Al-Baqaraħ ayat 30 sebagai berikut :





































*

Seluruh teks dan terjemah Al-Qur‟ān dikutip dari menu Qur’ān in Word dalam Microsoft Word,

yang disesuaikan dengan Al-Qur‟ān dan Terjemahnya.Penerjemah : Tim Penerjemah Departemen


(12)























Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malāikat:”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalīfaħ di muka bumi”:Mereka

berkata:”mengapa Engkau hendak menjadikan khalīfaħ di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: ”Sesungguhnya Aku

mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”(Q.S. Al-Baqaraħ[2]:30).

Ayat tersebut memberikan gambaran bahwa manusia dipercaya oleh Allāh

untuk mengemban tugas sebagai khalīfaħ di muka bumi ini. Untuk menjadi seorang khalīfaħ, manusia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh makhlūq lainnya. Dengan demikian seperti yang dikemukakan di atas bahwa terdapat perbedaan antara manusia dengan makhlūq lainnya, yaitu manusia dianugerahi

akal pikiran oleh Allāh SWT sehingga manusia dapat disebut sebagai makhlūq yang harus atau perlu dididik dan mendidik dan makhlūq yang dapat dididik dan mendidik.

Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Rasyidin dkk. ( 2010, hlm. 3-4) mengungkapkan bahwa:

Hakikat manusia dalam hubungannya dengan pendidikan adalah manusia sebagai makhlūq yang harus atau perlu dididik dan mendidik, dan manusia sebagai makhlūq yang dapat dididik dan mendidik. Hal tersebut dikarenakan manusia lahir dengan tidak berdaya, tidak dilengkapi insting yang sempurna, memiliki kemampuan yang masih terbatas, sehingga manusia memerlukan bantuan, perlindungan, dan perawatan.

Berkenaan dengan hal di atas, bahwa sesungguhnya pendidikan itu tidak terlepas dari kehidupan manusia, karena sasaran pendidikan adalah manusia. Banyak di antara para ahli yang mengatakan bahwa pendidikan bermaksud untuk memanusiakan manusia atau untuk mengembangkan potensi kemanusiaannya. Menurut Langeveld (dalam Ishak, 2013) mengatakan bahwa manusia adalah


(13)

Animal Educandum artinya makhlūq yang memerlukan pendidikan. selain itu, masih dalam web yang sama, menurut Khumairanura (2010) bahwa :

Pendidikan berarti mengantarkan peserta didik menuju kematangan dan kedewasaan rohani dan jasmani sehingga peserta didik dapat menjadi manusia yang benar-benar sempurna baik dari aspek kecerdasan, emosional, spiritual, sikap, dan lain sebagainya.

Artinya, dengan pendidikan kita akan menjadi manusia dewasa dan berguna, juga dengan pendidikan yang dimiliki diharapkan akan terwujud manusia yang beriman, bertakwa, berakhlāk mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 yang menyebutkan bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlāk mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Manusia sebagai mahluk pendidikan harus bisa bersosialisasi dengan lingkungan, baik lingkungan keluarga ataupun lingkungan masyarakat. Manusia sangat membutuhkan hidup dan keberlangsungan hidupnya, maka dari itu manusia memerlukan pendidikan sebagai dasar untuk mendapatkan kehidupan yang bermanfaat dan menjadikan manusia sebagai manusia yang terdidik.

Rasyidin dkk. (2010, hlm. 219) mengungkapkan bahwa di Indonesia sudah ada Undang-Undang yang mengatur mengenai masalah pendidikan secara lengkap di antaranya ialah Pasal 31 Undang-Undang dasar 1945, Ayat 1: Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, Ayat 2: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Berkenaan dengan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya pendidikan itu memanusiakan manusia tanpa terkecuali. Pendidikan bersifat


(14)

universal artinya berhak diberikan kepada siapapun, pendidikan diberikan kepada anak bangsa yang sehat jasmani dan rohani serta sehat fisik dan mental bahkan bagi anak berkebutuhan khusus atau disabilitas.

Rasyidin dkk ( 2010, hlm. 219) menyatakan bahwa dalam Pasal 5 UU RI No. 20 Tahun 2003 ayat 2 dijelaskan bahwa warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Pasal 5 ayat 2 s.d ayat 4 dan UU RI No. 20 Tahun 2003 Pasal 32.

Ajaran Islam juga tidak membeda-bedakan antara mereka yang terlahir sempurna maupun yang terlahir dengan memiliki sejumlah kekurangan atau keterbatasan fisik. Semuanya merupakan makhlūq Allāh SWT yang memiliki potensi untuk maju dan berkembang. Sebagaimana yang tertera dalam Q.S Al-Hajj ayat 5 sebagai berikut :














































































































(15)

































Artinya : Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah (Q.S Al-Hajj :5).

Menurut Fwan (2007) mengungkapkan bahwa dari ayat di atas, muncul sejumlah penafsiran terkait dengan masalah asal-usul penciptaan manusia, termasuk di dalamnya difabel/disabilitas atau juga dikenal dengan nama ABK (anak berkebutuhan khusus). Imam Al-Ťabari misalkan, menjelaskan bahwa lafaẓ mukhallaqah yang terdapat dalam di atas memiliki arti "seseorang yang lahir dalam keadaan sempurna, lengkap dengan segala anggota fisiknya serta fungsinya". Sedangkan ghairu mukhallaqah punya arti "seseorang yang lahir akan tetapi belum sempurna (secara fisik) atau gugur pada saat masih di dalam kandungan". Dengan demikian, bagi al-ṭabari, kata mukhallaqaħ dan gairu mukhallaqaħ adalah sifat nuṭfaħ (mani) yang menjadikan manusia itu sempurna dan tidak sempurna secara fisik.


(16)

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Baiẓawi dan al-qurṭubi dalam tafsīrnya yang mengutip pendapat para ulama sebelumnya, yaitu Ibnu Zaid dan Al-Farra‟. Mereka berpendapat bahwa mukhallaqaħ punya arti "seseorang yang sempurna". Misalkan mempunyai dua tangan dan dua kaki dengan sempurna tanpa cacat dan begitu juga sebaliknya. Sementara menurut

Tafsīr al-Maragi, gairu mukhallaqaħ berarti seseorang yang lahir serta berkembang menjadi manusia kecil, pendek, panjang, dan berlebih ataupun berkurang sebagaimana manusia yang lain (Fwan, 2007).

Dengan demikian, menurut Fwan (2007) bila kita mengacu pada penafsiran sejumlah ulama atas surah al-Hajj ayat 5 di atas, maka keberadaan

difabel/disabilitas/anak berkebutuhan khusus di muka bumi ini tidak lepas dari skenario Tuhan. Sehingga tidak heran, tidak sedikit kita jumpai seseorang yang secara fisik mengalami kekurangan namun secara non-fisik, baik itu inteleqtualitasnya, instingnya, maupun kekuatan spiritualnya, mengalami kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang sempurna secara fisik.

Menurut Kosasih (2012, hlm.1) anak berkebutuhan khusus (ABK) dapat diartikan anak yang lambat atau mengalami gangguan yang tidak akan pernah berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus dapat juga diartikan sebagai anak yang mengalami gangguan fisik, mental, intelegensi, dan emosi sehingga membutuhkan pembelajaran secara khusus.

Banyak istilah yang dipergunakan sebagai dari kebutuhan khusus, salah satunya yang sering kita dengar yaitu disability. Disability/disabilitas adalah keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari impairment) untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal, biasanya digunakan dalam level individu (Kosasih, 2012, hlm.1)

Anak-anak yang tergolong dari ABK/disabilitas di antaranya adalah:

autism, cereblal palsy, down syndrome, indigo, kesulitan belajar, Sindrom asperger, Thalassemia, Tunadaksa, Tunagrahita, Tunalaras, Tunanetra, dan


(17)

Tunarungu. Adapun Jumlah populasi penduduk yang memiliki kebutuhan khusus yang diungkapkan oleh Wibisono (2014) adalah sebagai berikut:

Menurut Pusat Data Informasi Nasional (PUSDATIN) dari kementrian sosial pada tahun 2010, menyebutkan bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia berjumlah sebesar 11.580.117 orang dengan rincian 3.474.035 orang adalah tunanetra, 3.010.830 orang adalah tunadaksa, 2.547.626 orang adalah tunarungu, 1.389.614 orang adalah tunagrahita, dan 1.158.012 orang adalah penyandang disabilitas kronis. Data lain mengenai jumlah penduduk yang memiliki kebutuhan khusus diungkapkan oleh Aravena (2013) adalah sebagai berikut :

Menurut data dari Kementrian Republik Indonesia pada tahun 2011 jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 3,11% atau sebesar 6,7 juta jiwa. Sedangkan menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia jumlah penyandang disabilitas lebih besar yaitu 6% dari total populasi penduduk Indonesia. Akan tetapi bila mengacu pada standar Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 10 juta jiwa.

Selain itu, berdasarkan data terbaru tahun 2012 jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang termasuk tunanetra berjumlah 1.749.981 jiwa, tunarungu/wicara berjumlah 602.784 jiwa, tunadaksa berjumlah 1.652.741 jiwa, dan tunagrahita berjumlah 777.761 jiwa. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, jumlah populasi penyandang disabilitas laki-laki lebih banyak yaitu sekitar 57,96% (Aravena, 2013).

Menurut Direktur Utama Rumah Sakit Mata Cicendo Hikmat

Wangsaatmadja (dalam Wiyono, 2012) mengungkapkan bahwa: “pada tahun 2012 di Indonesia terdapat 3,5 juta jiwa penyandang tunanetra atau sebanyak

jumlah penduduk di Singapura”. Jika jumlah penyandang tunanetra itu dibiarkan

tanpa diberikan pendidikan atau pembinaan keagamaan, berarti kita sudah menyia-nyiakan potensi dari 3,5 juta jiwa di Indonesia.

Berdasarkan data yang diperoleh di atas jumlah populasi anak berkebutuhan khusus di Indonesia tergolong cukup banyak. Seperti dikatakan dalam sebuah web bahwa jumlah populasi anak berkebutuhan khusus di


(18)

Indonesia adalah terbesar keempat di dunia. Selain itu, sebagaimana yang dikemukakan di atas, bahwa yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah salah satu dari anak berkebutuhan khusus yaitu tunanetra. Somantri (2007, hlm.65) menjelaskan bahwa anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari layaknya orang yang biasa. Akan tetapi intelegensi anak tunanetra secara umum tidak mengalami hambatan yang berarti. Hal tersebut dikarenakan anak tunanetra memiliki kemampuan diri untuk melakukan eksplorasi melalui indra peraba, sehingga secara mental mereka dapat menghubung-hubungkan bagian-bagian yang terpisah dari suatu objek atau benda menjadi suatu konsep utuh.

Faktanya, banyak di antara para penyandang tunanetra di dunia yang berhasil dan mempunyai prestasi lebih dibandingkan dengan orang normal lainnya, seperti Hellen Keller seorang wanita yang tidak bisa melihat dan mendengar asal Amerika yang sukses menjadi seorang penulis buku dan politisi juga pendidik terkenal di dunia. Dalam bidang keagamaan ada seorang anak tunanetra berusia 11 tahun bernama Muadz asal Mesir yang hafal Al-Qur‟ān 30

juz. Selain itu di Indonesia juga ada seorang mubaligh/penceramah dan Qiro‟aħ

tunanetra terkenal bernama Ust. Moh. Thoha Hasan asal Bondowoso, contoh yang terakhir didapat dari situs www.gemaislam.com yaitu seorang remaja tunanetra asal Bandung yang meraih juara ke-3 lomba hafalan 10 Juz tingkat Nasional. Dia mampu bersaing dengan puluhan peserta yang normal dan dia adalah satu-satunya peserta yang tidak bisa melihat/tunanetra.

Dari fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka tidak akan meraih prestasi seperti itu jika mereka tidak mendapatkan pendidikan atau pembinaan keagamaan.

Sebagaimana terdapat dalam firman AllāhSWT dalam surat „Abasa ayat 1-10 yaitu :


(19)





















































































Artinya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang yang buta kepadanya. Tahukan kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera untuk mendapatkan pengajaran. Sedang ia takut kepada Allāh. Maka kamu mengabaikannya. (QS. ‘Abasa 1-10).

Rahmawati (2001, hlm. 9) mengungkapkan bahwa dari ayat di atas, dapat kita lihat orang yang buta (tunanetra) haruslah mendapatkan perhatian dan pembinaan yang penuh. Manusia pada dasarnya selalu ingin mengikuti hawa nafsunya namun manakala hati dan pikirannya dipenuhi muatan ajaran agama maka hawa nafsu tersebut akan bisa diarahkan dan dibimbing ke jalan yang lurus. Islam memandang bahwa semua manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Begitupun halnya dengan penyandang tunanetra, akan tetapi karena kekurangannya mereka membutuhkan bantuan dan pertolongan untuk mengembangkan potensi dirinya agar mereka mampu hidup layaknya orang normal dan mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki.

Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa sesungguhnya orang yang memiliki kekurangan khususnya tunanetra harus lebih di perhatikan, agar mereka bisa mengembangkan potensi yang mereka miliki terlebih dalam jal keagamaan.


(20)

Panti sosial merupakan panti yang mampu memberikan pembinaan untuk mengembangkan potensi diri para penyandang tunanetra. Panti Sosial Bina Netra adalah salah satu panti yang membantu para penyandang tunanetra dengan memberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, bimbingan, dan pembinaan, termasuk salah satunya pembinaan keagamaan, pembinaan yang diberikan dengan sentuhan nilai-nilai agama Islam. Agar mereka mampu menghadapi tantangan dan cobaan hidup juga mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki.

Sejauh ini ketika peneliti melakukan survey pendahuluan pada hari Jum‟at tanggal 21 Maret 2014 di Panti Sosial Bina Netra Wiyataguna Bandung ditemukan bahwa d panti tersebut terdapat beberapa bimbingan/pembinaan, khususnya bimbingan/pembinaan keagamaan. Beberapa contoh dari pembinaan keagamaan tersebut yaitu bimbingan mental bulanan/pengajian rutin yang dilakukan setiap sebulan sekali dengan mendatangkan penceramah dari luar, bimbingan mental mingguan/pengajian mingguan (malam jum‟at), ṣalāt berjamaah, qiro‟at, hafalan, kajian membaca Al-Qur‟ān Braile, Jihad (Kajian Ahad), dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, peniliti tertarik untuk mengetahui dan memperoleh informasi lebih mendalam mengenai pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra yang dilaksanakan di Panti Sosial. Oleh karena itu, untuk mengetahui jawabannya peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “ Pola Pembinaan Keagamaan bagi Tunanetra (Studi Deskriptif di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung Tahun 2014)”.

B. Identifikasi Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, peneliti mengidentifikasikan masalah penelitian yaitu bahwa di Indonesia masih terjadi diskriminasi terhadap tunanetra di kalangan masyarakat. Masyarakat Indonesia pada umumnya masih melihat penyandang disabilitas sebagai kaum marginal. Mereka tersisih dari


(21)

interaksi masyarakat karena dianggap tidak mampu melakukan apa yang dapat dilakukan oleh orang normal. Buktinya orang tunanetra pada umumnya dianggap hanya bisa menjadi pengemis ataupun tukang pijat. Pandangan negatif yang muncul di masyarakat ini juga didukung oleh belum adanya sistem yang sesuai oleh pemerintah untuk memberdayakan tunanetra. Ini terjadi di bidang pendidikan di mana pemerintah belum menyediakan sistem dan prasarana yang tepat dan lengkap untuk pendidikan inklusif bagi tunanetra dan disabilitas lainnya. Misalnya saja masih banyak tunanetra yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa padahal secara kemampuan dia bisa bersaing di sekolah umum, namun hanya keterbatasan mata saja yang membedakan. Selain itu pada SLB ataupun sekolah inklusif belum tersedia banyak buku braille ataupun ketersediaan teknologi informasi yang mendukung perkembangan seorang tunanetra. Selain itu, ada juga permasalahan yang terjadi dalam dunia pendidikan non formal bagi anak berkebutuhan khusus di antaranya adalah jumlah populasi anak berkebutuhan khusus yang setiap tahunnya mengalami peningkatan tetapi tidak dibarengi dengan pelayanan pendidikan non formal bagi anak berkebutuhan khusus. Di Indonesia sendiri masih jarang ada lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan non formal khususnya dalam hal keagamaan bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Hal tersebut mengakibatkan kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa mereka yang berkebutuhan khusus juga perlu mendapatkan bimbingan/pembinaan keagamaan. Adapun fokus penelitian yang peneliti teliti yaitu tentang pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra.

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah penelitian di atas dapat dirumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana Pola Pembinaan Keagamaan bagi Tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung”.


(22)

Berdasarkan masalah ini, dapat dijabarkan ke dalam beberapa sub pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana profil Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung?

2. Bagaimana perencanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung?

3. Bagaimana proses pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wiyataguna Bandung?

4. Bagaimana hasil dari pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wiyataguna Bandung.

5. Apa saja faktor penghambat dan faktor pendukung dalam pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung. D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan pokok penelitian ini adalah mengungkapkan Pola Pembinaan Keagamaan Penyandang Tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wiyataguna Bandung. Sedangkan secara khusus, tujuan yang ingin diperoleh dari penelitian ini yaitu:

1. Mengetahui profil Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung.

2. Menganalisis perencanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung.

3. Menganalisis proses pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi Tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung.

4. Menganalisis hasil dari pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wiyataguna Bandung.

5. Mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung. E. Manfaat Penelitian


(23)

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pola pembinaan keaagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung serta sebagai bahan pertimbangan bagi panti-panti sosial lainnya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi dan bahan pertimbangan dalam upaya pembinaan keagamaan di panti sosial bina netra.

a. Bagi Pembina

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembina khususnya dalam pembinaan keagamaan.

b. Bagi Bidang Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran kepada panti sosial lainya khususnya panti sosial bina netra mengenai pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra. Dan mudah-mudahan memberikan inspirasi yang positif bagi dunia pendidikan.

c. Bagi Civitas Akademik

Hasil penelitian ini bisa dijadikan bahan rujukan penelitian perluasan bagi peneliti lainnya tentang pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra. d. Bagi Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam

Hasil penelitian ini bisa dijadikan masukan bagi dosen dalam memberikan materi tentang pembinaan keagamaan.

e. Bagi mahasiswa Ilmu Pendidikan Agama Islam

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber literatur untuk penelitian selanjutnya yang masih terkait dengan pola pembinaan


(24)

keagamaan bagi tunanetra, dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai hasil dari pola pembinaan keagamaan tersebut.

F. Struktur Organisasi

Adapun sistematika dalam penulisan skripsi. Peneliti akan menyusun dalam lima Bab. Bab I Pendahuluan, Bab II Kajian Pustaka, Bab III Metode dan Prosedur Penelitian, Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, dan Bab V Kesimpulan dan Saran.

BAB I, Pendahuluan memaparkan beberapa alasan mengapa masalah tersebut penting untuk diteliti. Pendahuluan meliputi Latar Belakang Penelitian, Identifikasi dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Struktur Organisasi Penelitian.

BAB II, Kajian Pustaka memaparkan mengenai Pola Pembinaan Keagamaan bagi Tunanetra, meliputi konsep Pendidikan Agama Islam, konsep Pembinaan, konsep Pembinaan Keagamaan, dan konsep Tunanetra.

BAB III, Metode dan Prosedur Penelitian yang berisi tentang metode dan prosedur penelitian yang digunakan oleh peneliti meliputi Metode Penelitian, Pendekatan Penelitian, Lokasi dan Subjek/Sampel Penelitian, Definisi Operasional, Instrumen Penelitian, Teknik Pengumpula Data, dan Analisis Data.

BAB IV, Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi tentang peneliti memaparkan hasil penelitia yang diperoleh dan pembahasan menganalisis hasil penelitian dengan cara menghadirkan beberapa teori sesuai data yang diperoleh.

BAB V, Kesimpulan dan Saran, berisi tentang kesimpulan dengan mengacu pada tujuan penelitian dan saran yang menunjang untuk pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra selanjutnya.


(25)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini berlokasi di Panti Sosial Bina Netra Wytaguna Bandung, yang beralamat di jalan Pajajaran No. 52, Bandung, Telp (022) 4205214-4203148, e-mail: psbn_Wyata Guna@live.com, blog: Wyata Guna.depsos.go.id/.

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Sumber. map.google.co.id

Peneliti memlih lokasi tersebut karena PSBN Wyata Guna Bandung adalah salah satu panti yang jumlah kliennya terbanyak se-Asia Tenggara. Selain itu, PSBN Wyata Guna juga merupakan satu-satunya panti yang di dalamnya diberikan pelayanan atau adanya jurusan agamanya yang dinamai KIAB (Kursus Ilmu Al-Qur‟an Braille)

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah Pimpinan PSBN Wyata Guna Bandung, Pembina/Pengasuh/Ketua Seksi Kerohanian, Guru di Kelas KIAB, dan para siswa Tunanetra (yang mengikuti pembinaan keagamaan).


(26)

B. Desain Penelitian

Sukmadinata (2011, hlm. 287) mengemukakan bahwa : „‟Desain Penelitian merupakan rancangan bagaimana penelitian tersebut dilaksanakan. Desain penelitian Kualitatif bersifat berubah, dan berkembang, disesuaikan dan disempurnakan.

Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu membuat desain penelitian yang disesuaikan dengan pendekatan penelitian kualitatif. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara mengumpulkan dan menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan penelitian itu (Nasution, 2003, hlm. 23). Penelitian dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang diharapkan jika persiapan dilakukan dengan matang, dan untuk memudahkan penelitian agar dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, peneliti mempersiapkan penelitian ini dengan rancangan penelitian sebagai berikut :

Bagan 3.1 Desain Penelitian C. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian

1. Metode Penelitian

Tahap Analisis Data

Kegiatan analisis data ini dilakukan setelah data yang diperlukan terkumpul. Dengan demikian, pada tahap ini peneliti berusaha mengorganisasikan data yang diperoleh yang terdiri dari hasil observasi, wawancara, dan studi dokumen.

Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah selesai tahap pra penelitian, maka peneliti terjun ke lapangan untuk memulai pelaksanaan penelitian dengan menekankan bahwa instrumen yang paling utama adalah peneliti sendiri melalui observasi, wawancara, dan studi dokumen.

Tahap Pra Survey

Pada tahap ini, peneliti mencoba menyusun rancangan penelitian terlebih dahulu dengan melakukan pra-penelitian ke PSBN Wyata Guna Bandung dengan maksud untuk mengetahui terlebih dahulu kondisi umum di tempat tersebut. Hal ini dilakukan guna untuk mendapatkan data tentang keadaan pembinaan keagamaan di PSBN Wyata Guna Bandung.


(27)

Penelitian ini dilakukan untuk melihat dan menganalisis secara lebih dekat serta mendalam bagaimana pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung. Hasil penglihatan dan analisis peneliti dituangkan dalam bentuk karya tulis ilmiah berupa skripsi. Adapun penulisan dalam skripsi ini menggunakan metode deskriptif, yaitu melukiskan dan menafsirkan keadaan yang ada sekarang.

Metode deskriptif menurut Nawawi (1993, hlm.63) adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dnegan menggambarakan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain).

Moleong (2012, hlm.11) mengatakan bahwa “metode deskriptif akan

menghasilkan laporan penelitian yang berisi kutipan-kutipan data (berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka) untuk memberi gambaran

penyajian laporan tersebut”.

Ciri-ciri metode deskriptif menurut Nawawi (1993:64) ada dua,

yaitu:‟‟memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat

penelitian dilakukan (saat sekarang); 2) menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi dnegan interpretasi

rasional”.

Mardalis (2009, hlm.26) mengatakan bahwa metode deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada.

2. Pendekatan Penelitian

Merujuk pada pemaparan di atas, maka penelitian ini tergolong penelitian deskriptif, adapun pendekatan yang dipilih adalah pendekatan kualitatif, Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2007, hlm.3) mendefinisikan


(28)

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati”. Tidak jauh berbeda dengan Meleong, Sukmadinata (2005, hlm.18) memaparkan bahwa “penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif merupakan penggambaran keadaan secara naratif kualitatif”.

Moleong (2012, hlm.7) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistic atau cara kuantifikasi lainnya. Jelas bahwa pengertian ini mempertentangkan penelitian kualitatif dengan penelitian yang bernuansa kuantitatif dengan menonjolkan bahwa usaha kuantifikasi apapun tidak perlu digunakan pada penelitian kualitatif.

Nasution (2006, hlm.18) menjelaskan bahwa :

“Penelitian kualitatif disebut juga penelitian naturalistic. Disebut

kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan yang bercorak kualitatif bukan kuantitatif, karena menggunakan alat-alat pengukur. Disebut

naturalistic karena situasi lapangan penelitian bersifat “natural” atau

wajar, sebagaimana adanya tanpa dimanipulasi.

Penelitian kualitatif memiliki karakteristik tertentu, seperti yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (dalam Moleong, 2012, hlm.8) sebagai berikut : Latar alamiah, manusia sebagai alat atau instrument, menggunakan metode kualitatif, teori berasal dari dasar, penelitian bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, pembatasan penelitian berdasarkan fokua, adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, desain yang bersifat sementara, dan hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.

Dengan berbagai pendapat para ahli di atas, penulis memandang bahwa penelitian kualitatif sangat tepat untuk digunakan dalam penelitian yang penulis lakukan.

D. Definisi Operasional

Menurut Sarwono (2006, hlm.27), definisi operasional adalah definisi yang menjadikan variabel-variabel yang sedang diteliti menjadi bersifat operasional


(29)

dalam kaitannya dengan proses pengukuran variabel-variabel tersebut. Variabel adalah objek penelitian yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2010, hlm.161).

Berdasarkan uaraian di atas, definisi operasional adalah definisi atau penggambaran istilah yang dibuat oleh peneliti terutama yang berkaitan dengan objek penelitian. Dalam penelitian ini terdapat definisi yang perlu dijabarkan mengenai Pola Pembinaan Keagamaan bagi Tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pola

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia pola adalah bentuk atau model yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu.

Merujuk pada pengertian di atas, maka kata “Pola" yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah Pola Pembinaan Keagamaan bagi Tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung.

2. Pembinaan Keagamaan

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kata “Pembinaan” adalah

usaha yang dilakukan secara sistematis, terarah, dan mempunyai tujuan yang jelas terhadap seseorang atau sekelompok orang sebagai usaha untuk mencapai hasil yang diinginkan. (Ulwan, 2001, hlm. 35). Secara eksplisit yang dimaksud keagamaan sendiri adalah pengahayatan iman atau praktik-praktik yang memadukan pengalaman iman dengan unsur-unsur yang sebenarnya asing baginya (Dagun, 1997, hlm.53).

Menurut (Gazabla, 1971, hlm.168) pembinaan keagamaan ialah mengarahkan, memberi pandangan, sikap dan tata cara hidup itu pada Islam untuk suatu ketika nanti dalam tahap-tahap pembangunan selanjutnya sampai pada : 1) sikap dan pandang hidup yang taqwa, 2) tingkah laku dan akhlāk Islam, 3) laku perbuatan berasaskan amal sholeh.


(30)

Senada dengan itu, Arifin (1985, hlm.25) mengatakan bahwa Pembinaan/bimbingan dan penyuluhan agama adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami kesulitas-kesulitan ruhaniyah dalam lingkungan hidupnya agar orang tersebut mampu mengatasinya sendiri.

3. Tunanetra

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan Tunanetra adalah seseorang yang tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk pendidikan, sehingga untuk mengikuti pendidikan ia memerlukan pendekatan dan metode khusus serta alat bantu yang dimodifikasi atau pun alat bantu khusus serta alat bantu tidak dapat digunakan oleh anak anak awas (Solehudin, 2011 : 9).

Ditinjau dari segi sosial : Tunanetra adalah orang yang tidak sanggup ikut serta dalam kehidupan yang dilakukan orang-orang awas pada umumnya, karena tidak berfungsinya alat penglihatan, mereka tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana lazimnnya yang dapat dilakukan oleh orang awas (Solehudin, 2011 : 9).

E. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen juga harus

“divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap melakukan penelitian yang

selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya (Sugiyono, 2013, hlm.222). Penelitian kualitatif sebagai human instrumen, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat


(31)

kesimpulan atas semuanya. Fokus penelitiannya pun ada pada persepsi dan pengalaman informan dan cara mereka memandang kehidupannya, sehingga tujuannya bukan untuk memahami realita tunggal, tetapi realita majemuk. Penelitian kualitatif memusatkan perhatian proses yang berlangsung dan hasilnya (Patilima, H., 2011, hlm. 61).

Dalam penelitian kualitatif segala sesuatu yang akan dicari dari obyek penelitian belum jelas dan pasti masalahnya, sumber datanya, hasil yang diharapkan semuanya belum jelas. Rancangan penelitian masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti memasuki obyek penelitian.

Menurut Nasution (dalam Sugiyono, 2013, 223), menyatakan :

Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa, segala sesuatunya belum mepunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapatditentukan secara pasti da jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa dalam penelitian kualitatif pada awalnya di mana permasalahan belum jelas dan pasti, maka yang menjadi instrumen adalah peneliti sendiri. Tetapi setelah masalahnya yang akan dipelajari jelas, maka dapat dikembangkan suatu instrumen. Dalam penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara (Sugiyono, 2013, hlm.223).

Senada dengan itu, Moleong (2012, hlm.9) dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Selain itu, hanya manusia sebagai alat sajalah yang dapat berhubungan dengan responden atau objek lainnya, dan hanya manusialah yang mampu


(32)

memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif ialah sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelopor hasil penelitiannya. Menurut Nasution (dalam Sugiyono, 2013, hlm.224), disebutkan ada beberapa ciri peneliti sebagai instrumen penelitian, di antaranya yaitu : a) peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian; b) peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri tehadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus; c) tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada situasi instrumen berupa test atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia; dan d) suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat difahami dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering merasakannya, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka instrumen utama dalam penelitian ini yaitu peneliti itu sendiri. Peneliti bertindak sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, dan penafsir data.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian, karena itu seorang peneliti harus terampil dalam mengumpulkan data agar mendapatkan data yang valid. Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh human instrument agar data yang diperoleh sesuai dengan yang diperlukan adalah melalui observasi, wawancara, dan studi dokumen. Ketiga teknik pengumpulan data ini dilakukan karena menyesuaikan dengan metode dan pendekatan penelitian yang telah


(33)

dibahas di atas. Melalui observasi, peneliti melihat secara langsung bagaimana proses kegiatan yang dilakukan sesuai dengan kenyataannya tanpa ada rekayasa, selanjutnya melalui wawancara, peneliti dapat menanyakan data yang diperlukan yang tidak didapat dalam observasi, dan yang terakhir adalah melalui studi dokumen, teknik pengumpulan data ini digunakan untuk memperkuat data temuan dari hasil wawancara dan observasi, karena dengan adanya dokumen tersebut berarti terdapat kebenaran atas apa yang ditanyakan dalam wawancara. 1. Observasi

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi/pengamatan, yang dapat didefinisikan sebagai perhatian yang terfokus terhadap kejadian, gejala, atau sesuatu. Dalam Sugiyono (2013, hlm.226) Nasution menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Marshal (dalam Sugiyono, 2013, hlm.226) melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut.

Moleong (2012, hlm.174) tidak memberikan batasan tentang observasi, tetapi menguraikan beberapa pokok persoalan dalam membahas observasi, di antaranya: a) alasan pemanfaatan pengamatan, b) macam-macam pengamatan dan derajat pengamatan.

Senada dengan itu, Sarwono (2006, hlm.224) mengatakan bahwa

“kegiatan observasi meliputi melakukan pencatatan secara sistematik

kejadian-kejadian, perilaku, obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yag

diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan”.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tehnik pengumpulan data melalui observasi. Observasi yang dilakukan peneliti di antaranya dengan melihat bagaimana pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina netra Wyata Guna Bandung.


(34)

2. Wawancara

Esterberg (Sugiyono, 2013, hlm.317) menyatakan bahwa wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.

Dalam penelitian ini pengumpulan data yang bersumber dari narasumber (informan) dikumpulkan melalui wawancara. Wawancara atau interview merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang banyak dilakukan dalam penelitian deskriptif kualitatif. Wawancara dilaksanakan secara lisan dalam pertemuan tatap muka secara individual. Jadi dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi.

Pelaksanaan teknik wawancaranya yaitu dengan wawancara terstruktur dengan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan dan wawancara tidak terstruktur, peneliti akan bebas melakukannya sewaktu-waktu ada data yang kurang dan mempertanyakan kembali atas jawaban yang tidak mengerti oleh peneliti.

3. Studi Dokumen

Menurut Sugiyono (2013, hlm.329) mengemukakan bahwa dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlaku. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan, ceritaria, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan ain-lain. Dokumen yang berbentuk karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain.

Hasil penelitian dari observasi atau wawancara, akan lebih kredibel/dapat dipercaya apabila didukung oleh sejarah pribadi kehidupan di masa kecil, di sekolah, di tempat kerja, di masyarakat, dan autobiografi. Hal ini dilakukan untuk melengkapi data yang dikumpulkan peneliti, dan juga


(35)

dapat digunakan sebagai bukti dari sebagian data hasil wawancara maupun observasi.

G. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data bermacam-macam dan dilakukan secara terus-menerus sampai titik jenuh jawaban yang dibutuhkan. Sebagaimana Sugiyono (2012, hlm.244) menjelaskan bahwa :

“Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusub ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan

sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain”.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Menurut Nasution

(dalam Sugiyono, 2013, hlm.245) menyatakan “Analisis telah mulai sejak

merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian.

Menurut Sugiyono (2011, hlm 336-338) Anaisis data dilakukan sejak sebelum ke lapangan, dalam penelitian kualitatif analisis data difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data. Analisis data dibagi tiga yaitu:

a. Analisis sebelum di lapangan

Diambil dari data hasil studi pendahuluan atau data sekunder yang akan digunakan namun sifatnya sementara, karena data akan terus berkembang. Dalam hali ini, peneliti pada awalnya melakukan analissis terhadap dokumen-dokumen yang ada di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung. Seperti profil PSBN Wyata Guna, visi misi PSBN Wyata Guna, dokumentasi kegiatan, data klien. Peneliti juga menganalisis


(36)

infomasi-informasi lain yang diperoleh dari wawancara pimpinan, pembina, instruktur, pemateri, ketua OSK dan ketua Seksi kerohanian/rohis. Dan kegiatan ini dilakukan mulai bulan April, dari data yang diperoleh kemudian dilakukan reduksi data, membuat pernyataan penelitian, memilih dan menentukan narasumber, kemudian menentukan jadwal penelitian.

b. Analisis selama di lapangan

Analisis data dilakukan saat pengumpulan data berlangsung secara kontinu. Analisis data selama di lapangan dibagi tiga yaitu: reduksi data, kategorisasi dan klasifikasi data sesuai dengan fokus pertanyaan penelitian. Pengumpulan data di lapangan ini, peneliti lakukan mulai pada minggu ke ketiga di bulan April. Pengumpulan data ini penelti lakukan bersamaan dengan dilakukannya bimbingan dengan dosen pembimbing, agar data yang diperoleh dapat dikonsultasikan secara langsung sehingga pada tahap terakhir data yang tidak penting akan dibuang, dan hanya menganalisis data yang sesuai dengan peneliti yakni tentang pola pembinaan keagamaan di PSBN Wyata Guna Bandung saja.

c. Setelah pengumpulan data

Setelah pengumpulan data seluruh, analisis dilakukan terhadap seluruh data yang diperoleh melalui berbagai tehnik pengumpulan data. Penyajian data atas keseluruhan dilakukan dalam bentuk teks naratif yang mendeskripsikan analisis tentang pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung.

Kemudian peneliti melakukan analisis data kualitatif, dengan cara sebagai berikut :

1. Data Reduction (Reduksi data)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-halyang penting, kemudian dicari tema dan polanya. Data yang telah terkumpul dan diperoleh dari lapangan kemudian dirangkum dan disusun secara sistematis dalam bentuk uraian


(37)

atau laporan agar mudah dipahami. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan (Satori & Komariah, 2011, hlm. 202).

Seluruh data yang telah peneliti peroleh melalui metode observasi, wawancara, studi dokumentasi setelah trianggulasi kemudian diklasifikasi berdasarkan kategori-kategori yang relevan dengan permasalah penelitian, kategorisasi ini menggunakan tehnik koding (pengkodean data). Koding adalah memberi kode tanda terhadap data-data untuk kepentingan klasifikasi. Berguna untuk memudahkan peneliti dalam membandingkan semua temuan dalam satu kategori atau silang kategori. Adapun kategorisasi dalam penelitian ini berdasarkan rumusan masalah seperti: Profil Panti (PP), Perencanaan Pembinaan (PP), Proses pelaksanaan (PL), dan Hasil Pembinaan (HP), Faktor Penghambat/Pendukung (FP).

2. Data Display (penyajian data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Menurut Alwasilah (2008, hlm.164) melalui display, gagasan dan interpretasi peneliti menjadi lebih jelas dan permanen sehingga memudahkan berpikir. Dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, dan merencanakan kerja penelitian berdasarkan data yang telah diperoleh.

Untuk menganalisis transkips interviuw atau catatan lapangan perlu diberi kode secara konsiten untuk fenomena yang sama (Alwasilah, A. Chaedar, 2012, hlm. 159). Koding digunakan terhadap data yang telah diperoleh: 1) untuk sumber data: Observasi= O, Wawancara= W, Dokumentasi= D; 2) untuk jenis responden: Pimpinan= P, Pembina=A, Instruktur/Pemateri =I, Ketua OSK = K; Rohis = R dan 3) untuk lokasi observasi: Mesjid= M, Kelas= K, dan Sekre = S.


(38)

Dalam hal ini, peneliti menggunakan teks yang bersifat naratif untuk menyajikan data penelitian kualitatif ini.

3. Uji Validitas

Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan penelitian dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti.

Maka dari itu, uji validitas dalam peelitian ini dilakukan beberapa hal:

a. Kecukupan pengamatan, maksudnya adalah peneliti sudah mendapatkan data jenuh atau sudah berulang-ulang mendapatkan data yang sama sehingga dirasakan cukup. Peneliti melakukan pengamatan hampir pada setiap kegiatan pembinaan keagamaan yang terjadi di Panti Sosial Bina Netra. Di mesjid, kelas, dan sekre. Demikian juga, pada pagi, siang, sore dan malam hari. Hal ini peneliti lakukan untuk mencapai keabsahan data dan menangkap makna dari peristiwa yang terjadi.

b. Trianggulasi, menurut Wiliam ( dalam Sugiyono, 2011, hlm. 372) trianggulasi dalam pengujian kreabilitas ini diartikan sebagai pengecekkan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dalam trianggulasi, ada beberapa format yang dapat digunakan.

c. Member-check, dilakukan untuk mengkonfirmasi seluruh data yang diperoleh. Dalam penelitian ini, proses member check dilakukan dengan cara peneliti menyusun hasil wawancara dan observasi secara tertulis kemudian menyampaikannya kepada pihak yang bersangkutan untuk divalidasi. Setelah diperiksa oleh responden, kemudian ditandatangani oleh yang bersangkutan, yakni pemberi data.


(39)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disampaikan pada BAB IV, berikut dikemukan beberapa kesimpulan yang dapat diambil mengenai pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung. Kesimpulan diambil dari hasil pengolahan data penelitian dan analisis data penelitian berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan pada Bab I. Kesimpulan ini mencakup (a) Profil Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung; (b) Perencanaan pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung; (c) Pelaksanaan pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung; (d) Hasil dari pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung; (e) faktor penghambat dan faktor pendukung dalam pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung.

Pertama, Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung merupakan salah satu unit pelaksana teknis di bidang rehabilitasi dan pelayanan sosial di lingkungan kementerian sosial, berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial. PSBN Wyata Guna Bandung terletak di Jalan Pajajaran No.52 Kelurahan Cicendo, Kecamatan Pasir Kaliki, Kota Bandung.

Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung ini sudah berdiri selama kurang lebih 113 tahun, pada tanggal 6 Agustus 1901 PSBN ini didirikan dengan nama Yayasan Perbaikan Nasib Orang Buta (Rumah Buta) oleh DR. Ch. A weSTHOFF seorang dokter ahli mata bangsa Belanda. Berdasarkan SK Mensos NO.41/HUK/KEP/XI/79 Tanggal l November 1979 Wyata Guna merupakan unit pelaksana teknis kanwil Departemen Sosial Provinsi Jawa Barat, dengan nama Panti Rehabilitasi Penderita Cacat Netra (PRPCN) dan berdasarkan SK Dirjen


(40)

Binrehsos NO.06/KEP/BRS/IV/1994 maka PRPCN dirubah menjadi Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna.

Visi Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung adalah menjadi pusat rehabilitasi dalam mewujudkan kemandirian dan perlindungan disabilitas netra. Sedangkan misi PSBN Wyata Guna Bandung adalah : Pertama, meningkatkan kualitas rehabilitasi sosial sesuai dengan kebutuhan. Kedua,meningkatkan perencanaan program rehabilitasi sosial dan jejaring sosial sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan. Ketiga, mengoptimalkan pengelolaan administrasi yang transparan dan akuntabel.

Kedua, pembinaan keagamaan bagi tunanetra yang dilakukan di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung meliputi perencanaan, pelaksanaan, hasil pembinaan, dan faktor penghambat dan faktor pendukung. Perencanaan pembinaan keagamaan di PSBN Wyata Guna Bandung dilihat dari tujuan yang ingin dicapai oleh setiap pembina/pemateri dan dilihat dari ketetapan jadwal kegiatan yang sudah dirancang dan disusun sebelumnya. Karena keberhasilan dari suatu kegiatan ditentukan oleh perencanaanya. Apabila perencanaan suatu kegiatan dirancang dengan baik, maka kegiatan akan lebih mudah dilaksanakan, terarah dan terkendali. Demikian pula halnya dengan pembinaan keagamaan di PSBN Wyata Guna Bandung, agar pelaksanaan pembinaan keagamaan terlaksana dan terkendali dengan baik maka diperlukan perencanaan kegiatan yang telah dirancang sebelumnya.

Ketiga, pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung merupakan langkah kedua setelah perencanaan dan jalan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah dirancang. Pembinaan keagamaan yang dilaksanakan di PSBN Wyata Guna Bandung menggunakan pembinaan dengan pendekatan langsung (direct contect) yakni pembina/pemateri melakukan pembinaan melalui tatap muka langsung dengan para klien contohnya pada kegiatan bimbingan mental di mesjid, kegiatan di kelas, dan kegiatan ekstrakulikuler keagamaan lainnya.


(41)

Pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra meliputi segi kegiatan yang dilaksanakan, materi yang disampaikan, metode yang digunakan, dan pemateri-pemateri dalam pembinaan keagamaan di PSBN Wyata Guna Bandung. Kegiatan-kegiatan yang ada di PSBN Wyata Guna Bandung di antaranya bimbingan mental bulanan, bimbingan mental mingguan, JIHAD (Kajian Ahad), adanya pelajaran agama di setiap kelas, dan kegiatan-kegiatan yang ada dalam program ekstrakulikuler keagamaan OSK (Organisasi Siswa-Siswi Klien). Adapun materi yang disampaikan mencakup materi aqīdaħ, ibādaħ/fiqih, akhlāq,

Al-Qur’ān, bahasa Arab, dan sejarah Nabi. Materi-materi itu disampaikan dengan

metode yang bervariasi, di antaranya metode ceramah, metode bercerita, metode hafalan, metode kelompok, dan metode praktek. Adapun para pembina/pemateri merupakan orang yang ahli dalam bidang agama karena telah menempuh pendidikan agama Islam baik di perkuliahan, di Pesantren, dan sebagai aktifis di organisasi-organisasi keagamaan.

Keempat, hasil pembinaan keagamaan dari pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung dikatakan berhasil dengan hasil yang baik. Keberhasilan ini dilihat dari perubahan sikap mereka khususnya dalam

beribādaħ, dan dari motivasi mereka untuk mengikuti setiap kegiatan keagamaan

yang dilaksanakan di PSBN Wyata Guna Bandung.

Kelima, pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung tidak terlepas dari hambatan dan masalah. Beberapa yang menjadi faktor penghambat di antaranya adalah latar belakang pendidikan para klien yang beda, keterampilan menulis dan membaca Arab braille yang berbeda-beda, sumber-sumber kurang memadai, pendamping asrama/yang piket kurang aktif dan kurang memperhatikan, dan minat sebagian para klien yang naik turun terkadang semangat dan terkadang tidak semangat untuk mengikuti setiap program pembinaan keagamaan.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut ada beberapa solusi yang dilakukan di antaranya adalah pendekatan secara khusus bagi mereka yang kurang


(42)

atau belum bisa baca tulis Braille dan bagi mereka yang latar pendidikannya lebih rendah dibanding dengan teman-temannya, banyak memberi motivasi khususnya bagi mereka yang kurang antusias dalm hal agama, banyak mencari pengetahuan di luar seperti internet dan sumber-sumber lainnya.

Selain itu ada juga faktor pendukung yang ikut menunjang berjalannya pembinaan keagamaan di PSBN Wyata Guna Bandung di antaranya seperti 1) fasilitas/sarana dan prasarana yang memadai 2) jarak yang tidak terlalu jauh, 3) suasana kekeluargaan yang erat, 4) lingkungan yang bersih, aman, tentram (kondusif), 5) hubungan baik dengan para pembina, 6) bervariasinya metode yang digunakan oleh para pembina, dan 7) materi dan pemateri yang berbeda-beda. B. REKOMENDASI

Berdasarkan kesimpulan yang diambil, maka penulis mengajukan beberapa saran yang kiranya bisa dijadikan masukan dalam upaya meningkatkan kualitas pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung. Adapun saran yang diajukan adalah sebagai berikut : 1. Bagi Pembina dan Pemateri Agama di Panti Sosial Bina Netra Wyata

Guna Bandung

a. Pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung sudah cukup baik tetapi hanya saja masih ada pembina atau pemateri yang kurang memperhatikan klien, alhasil tidak semua klien selalu mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan. Maka dari itu pembina harus lebih aktif lagi dalam memotivasi para klien.

b. Dalam hasil pembinaan keagamaan sebaiknya terkonsep dan tertulis contoh dengan adanya buku amalan sehari-hari, agar pembina bisa melihat perubahan para klien setelah mengikuti dan sebelum mengikuti pembinaan keagamaan.


(43)

2. Bagi para Klien yang tinggal di PSBN Wyata Guna Bandung

a. Para klien harus lebih aktif dan lebih semangat lagi dalam mengikuti setiap kegiatan pembinaan keagamaan khususnya dalam mengikuti kegiatan ekstrakulikuler OSK (Organisasi Siswa-Siswi Klien) yang terlihat hanya beberapa persen dari klien yang mengikutinya.

b. Para klien harus lebih disiplin dan sungguh-sungguh dalam mengikuti pembinaan keagamaan agar mereka bisa mendapatkan manfaat dan pengetahuan dari setiap kegiatan pembinaan keagamaan yang mereka ikuti. 3. Bagi Bidang Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran kepada panti sosial lainnya khususnya panti sosial bina netra mengenai pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra. Dan mudah-mudahan memberikan inspirasi yang positif bagi dunia pendidikan.

a. Bagi Civitas Akademik

Hasil penelitian ini bisa dijadikan bahan rujukan penelitian perluasan bagi peneliti lainnya tentang pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra.

b. Bagi Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam

Hasil penelitian ini bisa dijadikan masukan bagi dosen dalam memberikan materi tentang pembinaan keagamaan.

c. Bagi mahasiswa Ilmu Pendidikan Agama Islam

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber literatur untuk penelitian selanjutnya yang masih terkait dengan pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra, dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai hasil dari pola pembinaan keagamaan tersebut.


(44)

DAFTAR PUSTAKA

...(2009) Al-Qur’ān dan Terjamahnya, Penerjemah Tim Departemen Agama RI, Bandung : Sygma Exmedia..

Aravena, Y. (21.Februari.2013). Simpang siur populasi disabilitas di Indonesia. 25 April.2014. http://www.kartunet.com/simpang-siur-populasi-disabilitas-di-indonesia-1295.html/

Arifin. (2008). Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara.

Arifin, M. (1976). Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama.

Jakarta: Bulan Bintang.

Arifin, M. (1987). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Dagun, S. M. (1997). Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Daradjat, Z. (1982). Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. Jakarta: Bulan Bintang.

Fadhlan, H. (2011). Pengaruh Pembinaan Keagamaan Terhadap Prestasi Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran PAI ( Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia).

Fwan. (07 Juli 2007) Berlaku diskriminatif nabipun ditegur.. 15 Mei 2014.

http://klikpsq.blogspot.com/2007/07/berlaku-diskriminatif-nabi-pun-ditegur.html

Gazalba, S. (1971). Masjid Pusat Pembinaan Umat. Jakarta: Pustaka Antara. Harjanto. (2008). Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Ishak, I. (2013, Januari). Pendidikan Berkarakter: Upaya memanusiakan manusia. Retrieved Maret 25, 2014, from Salam Insan Cita: http://ibnishak92.blogspot.com/2013/01/pendidikan-berkarakter-upaya.html


(45)

Kosasih, E. (2012). Cara Bijak Memahami Anak Berkebetuhan Khusus. Bandung: Yrama Widya.

Mangunhardjana, A. (1991). Pembinaan : Arti dan Metodenya. Yogyakarta: Kanisius.

Mardalis. (2009). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.

Moleong, L. (2007). Metodologi Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Moleong, L. J. (2012). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mujib, A., & Mudzakkir, J. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group.

Musnawar, T. (2000). Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami.

Yogyakarta: UII Pres.

Nasution. (2003). Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.

Nawawi, H. (1993). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rahmawati, Amik. (2001). Pembinaan Keagamaan bagi Tunanetra di YAKETUNIS.

Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ramayulis. (2008). Ilmu Pendidikian Islam. Jakarta : Kalam Mulia. Rasyidin dkk. (2010). Landasan Pendidikan. Bandung. Tidak diterbitkan

Riantika, M. K. (2013). Model Pembinaan Keagamaan di Wisma Lansia J.S Nasution Bandung. Skripsi: Universitas Pendidikan Indonesia.

Saefullah, K. (2009). Pengantar Manajemen. Jakarta : Salemba Empat.

Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Satori, D., & Komariah, A. (2011). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.


(1)

Pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra meliputi segi kegiatan yang dilaksanakan, materi yang disampaikan, metode yang digunakan, dan pemateri-pemateri dalam pembinaan keagamaan di PSBN Wyata Guna Bandung. Kegiatan-kegiatan yang ada di PSBN Wyata Guna Bandung di antaranya bimbingan mental bulanan, bimbingan mental mingguan, JIHAD (Kajian Ahad), adanya pelajaran agama di setiap kelas, dan kegiatan-kegiatan yang ada dalam program ekstrakulikuler keagamaan OSK (Organisasi Siswa-Siswi Klien). Adapun materi yang disampaikan mencakup materi aqīdaħ, ibādaħ/fiqih, akhlāq,

Al-Qur’ān, bahasa Arab, dan sejarah Nabi. Materi-materi itu disampaikan dengan

metode yang bervariasi, di antaranya metode ceramah, metode bercerita, metode hafalan, metode kelompok, dan metode praktek. Adapun para pembina/pemateri merupakan orang yang ahli dalam bidang agama karena telah menempuh pendidikan agama Islam baik di perkuliahan, di Pesantren, dan sebagai aktifis di organisasi-organisasi keagamaan.

Keempat, hasil pembinaan keagamaan dari pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung dikatakan berhasil dengan hasil yang baik. Keberhasilan ini dilihat dari perubahan sikap mereka khususnya dalam

beribādaħ, dan dari motivasi mereka untuk mengikuti setiap kegiatan keagamaan

yang dilaksanakan di PSBN Wyata Guna Bandung.

Kelima, pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung tidak terlepas dari hambatan dan masalah. Beberapa yang menjadi faktor penghambat di antaranya adalah latar belakang pendidikan para klien yang beda, keterampilan menulis dan membaca Arab braille yang berbeda-beda, sumber-sumber kurang memadai, pendamping asrama/yang piket kurang aktif dan kurang memperhatikan, dan minat sebagian para klien yang naik turun terkadang semangat dan terkadang tidak semangat untuk mengikuti setiap program pembinaan keagamaan.


(2)

atau belum bisa baca tulis Braille dan bagi mereka yang latar pendidikannya lebih rendah dibanding dengan teman-temannya, banyak memberi motivasi khususnya bagi mereka yang kurang antusias dalm hal agama, banyak mencari pengetahuan di luar seperti internet dan sumber-sumber lainnya.

Selain itu ada juga faktor pendukung yang ikut menunjang berjalannya pembinaan keagamaan di PSBN Wyata Guna Bandung di antaranya seperti 1) fasilitas/sarana dan prasarana yang memadai 2) jarak yang tidak terlalu jauh, 3) suasana kekeluargaan yang erat, 4) lingkungan yang bersih, aman, tentram (kondusif), 5) hubungan baik dengan para pembina, 6) bervariasinya metode yang digunakan oleh para pembina, dan 7) materi dan pemateri yang berbeda-beda.

B. REKOMENDASI

Berdasarkan kesimpulan yang diambil, maka penulis mengajukan beberapa saran yang kiranya bisa dijadikan masukan dalam upaya meningkatkan kualitas pelaksanaan pembinaan keagamaan bagi tunanetra di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung. Adapun saran yang diajukan adalah sebagai berikut :

1. Bagi Pembina dan Pemateri Agama di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung

a. Pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra di PSBN Wyata Guna Bandung sudah cukup baik tetapi hanya saja masih ada pembina atau pemateri yang kurang memperhatikan klien, alhasil tidak semua klien selalu mengikuti kegiatan pembinaan keagamaan. Maka dari itu pembina harus lebih aktif lagi dalam memotivasi para klien.

b. Dalam hasil pembinaan keagamaan sebaiknya terkonsep dan tertulis contoh dengan adanya buku amalan sehari-hari, agar pembina bisa melihat perubahan para klien setelah mengikuti dan sebelum mengikuti pembinaan keagamaan.


(3)

2. Bagi para Klien yang tinggal di PSBN Wyata Guna Bandung

a. Para klien harus lebih aktif dan lebih semangat lagi dalam mengikuti setiap kegiatan pembinaan keagamaan khususnya dalam mengikuti kegiatan ekstrakulikuler OSK (Organisasi Siswa-Siswi Klien) yang terlihat hanya beberapa persen dari klien yang mengikutinya.

b. Para klien harus lebih disiplin dan sungguh-sungguh dalam mengikuti pembinaan keagamaan agar mereka bisa mendapatkan manfaat dan pengetahuan dari setiap kegiatan pembinaan keagamaan yang mereka ikuti.

3. Bagi Bidang Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran kepada panti sosial lainnya khususnya panti sosial bina netra mengenai pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra. Dan mudah-mudahan memberikan inspirasi yang positif bagi dunia pendidikan.

a. Bagi Civitas Akademik

Hasil penelitian ini bisa dijadikan bahan rujukan penelitian perluasan bagi peneliti lainnya tentang pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra.

b. Bagi Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam

Hasil penelitian ini bisa dijadikan masukan bagi dosen dalam memberikan materi tentang pembinaan keagamaan.

c. Bagi mahasiswa Ilmu Pendidikan Agama Islam

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber literatur untuk penelitian selanjutnya yang masih terkait dengan pola pembinaan keagamaan bagi tunanetra, dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai hasil dari pola pembinaan keagamaan tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

...(2009) Al-Qur’ān dan Terjamahnya, Penerjemah Tim Departemen Agama RI, Bandung : Sygma Exmedia..

Aravena, Y. (21.Februari.2013). Simpang siur populasi disabilitas di Indonesia. 25 April.2014. http://www.kartunet.com/simpang-siur-populasi-disabilitas-di-indonesia-1295.html/

Arifin. (2008). Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara.

Arifin, M. (1976). Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama.

Jakarta: Bulan Bintang.

Arifin, M. (1987). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Dagun, S. M. (1997). Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Daradjat, Z. (1982). Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. Jakarta: Bulan Bintang.

Fadhlan, H. (2011). Pengaruh Pembinaan Keagamaan Terhadap Prestasi Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran PAI ( Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia).

Fwan. (07 Juli 2007) Berlaku diskriminatif nabipun ditegur.. 15 Mei 2014.

http://klikpsq.blogspot.com/2007/07/berlaku-diskriminatif-nabi-pun-ditegur.html

Gazalba, S. (1971). Masjid Pusat Pembinaan Umat. Jakarta: Pustaka Antara. Harjanto. (2008). Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Ishak, I. (2013, Januari). Pendidikan Berkarakter: Upaya memanusiakan manusia. Retrieved Maret 25, 2014, from Salam Insan Cita: http://ibnishak92.blogspot.com/2013/01/pendidikan-berkarakter-upaya.html


(5)

Kosasih, E. (2012). Cara Bijak Memahami Anak Berkebetuhan Khusus. Bandung: Yrama Widya.

Mangunhardjana, A. (1991). Pembinaan : Arti dan Metodenya. Yogyakarta: Kanisius.

Mardalis. (2009). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.

Moleong, L. (2007). Metodologi Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.

Moleong, L. J. (2012). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mujib, A., & Mudzakkir, J. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group.

Musnawar, T. (2000). Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami.

Yogyakarta: UII Pres.

Nasution. (2003). Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.

Nawawi, H. (1993). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rahmawati, Amik. (2001). Pembinaan Keagamaan bagi Tunanetra di YAKETUNIS.

Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ramayulis. (2008). Ilmu Pendidikian Islam. Jakarta : Kalam Mulia. Rasyidin dkk. (2010). Landasan Pendidikan. Bandung. Tidak diterbitkan

Riantika, M. K. (2013). Model Pembinaan Keagamaan di Wisma Lansia J.S Nasution Bandung. Skripsi: Universitas Pendidikan Indonesia.

Saefullah, K. (2009). Pengantar Manajemen. Jakarta : Salemba Empat.

Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Satori, D., & Komariah, A. (2011). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.


(6)

Syah, D. (2007). Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta : Gaung Persada Press.

Soemarno. (1982). Ortodidaktik Anak Tunanetra. Jakarta: Bina Floral Utama. Somantri. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Utama.

Solehudin. (2011). Pembelajaran Al-Qur'an Braille bagi Tunanetra Rehabilitasi di PSBN Wyata Guna Bandung. Skripsi, Sarjana: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumiati, Y. (2013). Pelaksanaan Pembelajaran Menghafal Al-Qur'an Pada Anak Tunanetra di SLB Negeri A Pajajaran Kota Bandung.Skripsi : Universitas Pendidikan Indonesia.

Sudjana. (2010). Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. 2010. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kauntitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata, S. N. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ulwan, A. N. (2001). Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam.[ Penerj] Jamaluddin Miri. sSemarang: Asy-Syifa''.

Wibisono, N. A. (21 Maret 2014). Kesetaraan Hak Pilih untuk Penyandang Disabilitas.. 25 April. http://www.anwibisono.com/2014/03/kesetaraan-hak pilih-untuk-penyandang.html.


Dokumen yang terkait

Sistem Informasi Management Pelayanan Sosial Penyandang Cacat Netra Di PSBN Wyata Guna

0 5 1

Perancangan company profile Panti sosial Bina Netra Wyata Guna

2 30 62

POLA ASUH PEMBIMBING ASRAMA ASTER DALAM MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN BELAJAR DISABILITAS TUNANETRA DI PANTI SOSIAL BINA NETRA WYATA GUNA BANDUNG.

1 6 33

PELATIHAN KEMANDIRIAN BAGI KLIEN TUNA NETRA PSBN (PANTI SOSIAL BINA NETRA) WYATA GUNA SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI BEKERJA(STUDI DESKRIPTIF DIPANTI SOSIAL BINA NETRA BANDUNG).

2 8 40

PENGARUH HASIL PELATIHAN ORIENTASI MOBILITAS TERHADAP PENINGKATAN KEMANDIRIAN PENYANDANG DENGAN KECACATAN NETRA DI PANTI SOSIAL BINA NETRA WYATA GUNA BANDUNG.

1 1 44

Studi Deskriptif Mengenai Self-Compassion Pada Pekerja Sosial di Panti Sosial Bina Netra "X" Bandung.

0 0 39

Studi Deskriptif Mengenai Status Identitas Bidang Vokasional Pada Remaja Tunanetra Usian 18-22 Tahun Yang Mengikuti Program Rehabilitasi di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung.

0 0 73

Apresiasi Penyandang Tuna Netra Di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna Bandung Terhadap Program Siaran Suara Difabel di Radio Republik Indonesia Bandung.

0 0 2

POLA ASUH PEMBIMBING ASRAMA ASTER DALAM MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN BELAJAR DISABILITAS TUNANETRA DI PANTI SOSIAL BINA NETRA WYATA GUNA BANDUNG - repository UPI S PLB 1000076 Title

0 0 2

POLA PEMBINAAN KEAGAMAAN BAGI TUNANETRA :Studi Deskriptif di Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung Tahun 2014 - repository UPI S PAI 1000924 Title

0 0 4