Studi Deskriptif Mengenai Self-Compassion Pada Pekerja Sosial di Panti Sosial Bina Netra "X" Bandung.

(1)

vii Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat self-compassion pada pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung. Self-compassion adalah keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003).

Penelitian ini dilakukan kepada 18 pekerja sosial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur yang dibuat oleh Neff (2003) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Riasnugrahani pada tahun 2012. Setelah itu, alat ukur tersebut diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris oleh Sarintohe pada tahun 2012 dan telah disetujui oleh Neff. Penghitungan validitas dan reliabilitas dilakukan oleh Riasnugrahani dengan menggunakan teknik korelasi dari Pearson dan Alpha Cronbach dengan 26 item valid dengan nilai 0.323-0.606 dan reliabilitas 0.8182 yang tergolong tinggi.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung yang memiliki derajat self-compassion rendah sebanyak 77,78% dan pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung yang memiliki derajat self-compassion tinggi sebanyak 22,22%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagian besar pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung memiliki derajat self-compassion yang rendah.

Saran yang diberikan peneliti adalah melakukan penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitan antara sel-compassion dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-compassion pada sampel penelitian dan melakukan validitas dan reliabilitas alat ukur terhadap sampel penelitian.


(2)

viii Universitas Kristen Maranatha

Abstract

This research was conducted to determine the degree of self-compassion of social workers at social institution “X” in Bandung. Self-compassion is openness and awareness to the suffering, without any escape from suffering, provide an understanding and kindness toward oneself when faced with suffering, failures and imperfections without judging oneself, and see an event as the experience of all human being (Neff, 2003).

The participants were 18 social workers. This research used descriptive method with survey technique. Data were collected by using instrument created by Neff (2003) and has been translated into Indonesian by Riasnugrahani. The instruments was translated back into English by Sarintohe and has been approved by Neff. Validity and reliability testing were done by Riasnugrahani using Pearson correlation and Cronbach Alpha and discovered that 26 items are valid with value 0.323 – 0.606 and the coefficient reliability is 0.8182 (high).

Data were analyzed and concluded 77,78% social workers at social instituion “X” in Bandung have a low degree of self-compassion and 22,22% social workers at social instituion “X” in Bandung have a high degree of self-compassion. The conclusion of this study is that the majority of social workers at social instituion “X” in Bandung have a low degree of self-compassion.

It is suggested to conduct further research regarding correlation between self-compassion and the factors that can affect self-compassion on samples and measure the validity and reliability of the sample.


(3)

ix Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

PERNYATAAN PUBLIKASI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 12

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian ... 12

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 12


(4)

x Universitas Kristen Maranatha

1.5 Kerangka Pemikiran ... 13

1.6 Asumsi Penelitian ... 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Self-Compassion ... 27

2.2 Komponen Self-Compassion 2.2.1 Self-Kindness ... 29

2.2.2 Common Humanity ... 31

2.2.3 Mindfulness ... 32

2.3 Compassion for others ... 35

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-Compassion 2.4.1 Personality ... 36

2.4.2 Jenis Kelamin ... 39

2.4.3 Attachment ... 40

2.4.4 Early Family Experiences Maternal Criticism ... 41

Modeling Parent ... 42

2.4 Dampak Self-Compassion ... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian... 46

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 46 3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


(5)

xi Universitas Kristen Maranatha

3.3.1 Variabel Penelitian... 47

3.3.2 Definisi Operasional ... 47

3.4 Alat Ukur 3.4.1 Alat Ukur Self-Compassion ... 48

3.4.1.1 Kisi-kisi Alat Ukur Self-Compassion ... 48

3.4.2 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 49

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang... 50

3.4.4 Validitas dan Reliabilitas 3.4.4.1 Validitas Alat Ukur ... 50

3.4.4.2 Reliabilitas Alat Ukur... 51

3.5 Populasi dan Karakteristik Sampel 3.5.1 Populasi Sasaran ... 51

3.5.2 Karakteristik Sampel ... 52

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 52

3.6 Teknik Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Subjek Penelitian ... 54

4.1.1 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 54

4.1.2 Berdasarkan Usia... 54

4.1.3 Berdasarkan Lama Bekerja ... 55

4.1.4 Berdasarkan Motivasi Bekerja ... 56


(6)

xii Universitas Kristen Maranatha

4.2 Hasil Penelitian ... 57

4.3 Pembahasan ... 59

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 67

5.2 Saran ... 68

5.2.1 Saran Teoretis ... 68

5.2.2 Saran Praktis ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

DAFTAR RUJUKAN ... 70


(7)

xiii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Self-compassion ... 49

Tabel 3.2 Sistem Penilaian Setiap Komponen Self-compassion ... 50

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 54

Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan usia ... 55

Tabel 4.3 Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan lama bekerja... 55

Tabel 4.4 Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan motivasi bekerja... 56

Tabel 4.5 Gambaran Subjek Penelitian berdasarkan jumlah klien yang didampingi ... 57

Tabel 4.6 Gambaran Self-compassion Subjek Penelitian ... 57


(8)

xiv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

Bagan 1.5 Skema Kerangka Pikir ... 25 Bagan 3.2 Skema Rancangan Penelitian ... 46


(9)

xv Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Teori Pekerja Sosial

Lampiran 2 Kisi-kisi Alat Ukur Self-Compassion

Lampiran 3 Kuesioner Self-Compassion dan Data Penunjang Lampiran 4 Tabel Data Mentah Kuesioner Self-Compassion

Lampiran 5 Tabel Data Kuesioner Self-Compassion dan Data Penunjang Lampiran 6 Tabel Tabulasi Silang

Lampiran 7 Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Self-Compassion Lampiran 8 Biodata Peneliti

Lampiran 9 Lembar Pengesahan Pengambilan Data di Panti Sosial “X” Bandung


(10)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pekerja sosial adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial di lingkungan instansi pemerintah maupun badan/organisasi sosial lainnya (Kepmensos No.10/HUK/2007).

Salah satu instansi pemerintah yang merupakan UPT (Unit Pelaksana Teknis) Kementerian Sosial RI adalah Panti Sosial Bina Netra “X” Bandung. Panti Sosial Bina Netra “X” Bandung adalah unit pelaksana teknik di bidang rehabilitasi sosial dan pelayanan sosial di lingkungan kementrian sosial, berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada dirjen rehabilitasi sosial kementerian sosial RI.

Panti sosial bina netra “X” Bandung mempunyai tugas memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan pengetahuan dasar pendidikan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi para penyandang cacat netra agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan, pemberian

informasi dan rujukan.

(http://wyataguna.depsos.go.id/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid= 10).


(11)

2

Universitas Kristen Maranatha

Cacat netra atau disabilitas netra dibagi atas dua kelompok besar yaitu, buta total dan low vision. Orang dikatakan buta total jika tidak dapat melihat dua jari dimukanya atau hanya dapat melihat sinar atau cahaya yang lumayan dapat dipergunakan untuk orientasi mobilitas. Mereka tidak dapat menggunakan huruf selain Braille. Mereka yang tergolong low vision adalah yang bila melihat sesuatu, mata harus didekatkan atau mata harus dijauhkan dari objek yang dilihatnya, atau mereka yang memiliki pemandangan kabur ketika melihat objek (Geniofam, 2010).

Terdapat 250 orang disabilitas netra yang tinggal di dalam panti sosial bina netra “X” Bandung, yang biasa disebut sebagai klien. Disabilitas netra yang masuk ke panti sosial bina netra “X” Bandung tinggal di dalam asrama dan diberikan bimbingan fisik dan mental, sosial, dan bimbingan keterampilan dan pendidikan. Bimbingan fisik dan mental terdiri dari kegiatan ceramah agama, pengajian rutin, pemeriksaan kesehatan, ADL (Activity Daily Living), motivasi dan konsultasi, bimbingan kedisiplinan, dan bimbingan olahraga. Bimbingan sosial terdiri dari kegiatan bimbingan sosial perorangan, kegiatan rekreasi, kegiatan berkemah, dan pembinaan hubungan anak dan orang tua melalui kunjungan dan motivasi keluarga. Bimbingan keterampilan dan pendidikan terdiri dari tingkat observasi selama tiga bulan, tingkat dasar selama satu tahun, dan kesetaraan selama satu tahun, serta kegiatan ekstrakulikuler.

Selama tinggal di asrama setiap klien akan didampingi oleh seorang pekerja sosial. Pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung merupakan pegawai negeri sipil yang terbagi ke dalam beberapa golongan, yaitu pelaksana


(12)

3

Universitas Kristen Maranatha

pemula, pelaksana lanjutan, penyelia, pertama, muda, dan madya. Terdapat 22 pekerja sosial yang bekerja di panti sosial bina netra “X” Bandung, 4 pekerja sosial diantaranya merupakan disabilitas netra dan 18 pekerja sosial lainnya bukan merupakan disabilitas netra atau biasa disebut awas. Setiap golongan memiliki jobdesc yang berbeda-beda. Secara umum tidak semua golongan memiliki jobdesc untuk membimbing dan mendampingi para disabilitas netra yang tinggal di asrama panti sosial bina netra “X” tetapi, karena kurangnya jumlah pekerja sosial yang ada maka semua pekerja sosial bertugas untuk mendampingi klien. Setiap pekerja sosial mendamping 7 sampai 12 klien disabilitas netra.

Pelaksana lanjutan memiliki jobdesc melakukan wawancara dalam rangka menyeleksi calon klien yang akan masuk ke asrama panti sosial bina netra “X” Bandung, memberikan rujukan mengenai calon klien yang menerima program pelayanan kesejahteraan sosial dan dapat diterima untuk menjadi klien di asrama panti sosial bina netra “X” Bandung, melakukan wawancara awal dan ketika klien berada di dalam asrama, menyusun rancangan penanganan, memberikan supervisi kepada pekerja sosial di bawahnya dalam pendampingan bimbingan fisik dan bimbingan ketrampilan, serta menyusun laporan evaluasi dan rujukan klien. Penyelia memiliki jobdesc memberikan supervisi dalam kegiatan seleksi calon klien kepada pekerja sosial dibawahnya, menyusun rancangan penangan bersama dengan klien dalam rencana kegiatan bimbingan keterampilan, memberikan motivasi kepada klien, memberikan bimbingan sosial kepada klien, dan melakukan evaluasi terhadap hasil program pelayanan kesejahteraan sosial secara menyeluruh.


(13)

4

Universitas Kristen Maranatha

Pekerja sosial pertama memiliki jobdesc menyusun rancangan kegiatan seleksi calon klien, menyusun pedoman wawancara untuk kegiatan seleksi calon klien, melaksanakan kegiatan assesmen masalah dan kebutuhan klien, menyusun rencana pemecahan masalah bersama klien dalam rencana kegiatan bimbingan psikososial dan rencana kegiatan bimbingan sosial. Memberikan motivasi kepada klien dalam bimbingan psikososial, melaksanakan kegiatan bimbingan psikososial terhadap klien, memberikan supervisi kepada pekerja sosial di bawahnya dalam bimbingan sosial, menyusun instrumen evaluasi hasil program dan melaksanakan evaluasi hasil program.

Pekerja sosial muda memiliki jobdesc menyusun rancangan kegiatan dan instrumen asesmen masalah dan kebutuhan klien, menyusun laporan hasil asesmen masalah dan kebutuhan klien, memberikan supervisi kepada pekerja sosial di bawahnya dalam bimbingan psikososial, dan melaksanakan evaluasi proses kegiatan pemecahan masalah klien. Pekerja sosial madya memiliki jobdesc memberikan supervisi dalam kegiatan asesmen masalah dan kebutuhan sistem sumber klien, dan melaksanakan evaluasi proses asesmen masalah dan kebutuhan klien.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada 7 orang pekerja sosial, tugas utama pekerja sosial adalah mendampingi klien. Tugas pekerja sosial sebagai pendamping klien diantaranya adalah melakukan wawancara awal (assessment) ketika klien akan masuk ke asrama, yang biasanya dilakukan oleh pekerja sosial yang akan menjadi pendamping selama klien tinggal di asrama. Wawancara tersebut dilakukan untuk mengetahui antara lain data pribadi,


(14)

5

Universitas Kristen Maranatha

kemampuan, dan minat bakat yang dimiliki oleh klien. Data tersebut dapat digunakan untuk membuat rancangan penanganan yang sesuai bagi klien selama berada di asrama dan juga dapat digunakan untuk membantu klien dalam memilih jurusan yang sesuai dengan kemampuan, bakat dan minat yang dimilikinya.

Pada saat klien masuk ke asrama, pekerja sosial juga bertugas untuk mengajarkan ADL dasar (Activity Daily Living), seperti cara mandi dan menggosok gigi yang benar karena terdapat pula klien yang sebelumnya belum pernah diajarkan cara melakukan kegiatan sehari-hari dengan benar. Selain itu, pekerja sosial juga harus mengajarkan OM dasar (Orientasi Mobilitas), seperti pengenalan ruang kamar, kamar mandi dan juga pengenalan lingkungan panti sosial bina netra “X” Bandung.

Selama klien tinggal di dalam asrama, pekerja sosial bertugas untuk mengunjungi dan memantau secara rutin. Setiap harinya, sebelum atau setelah klien selesai mengikuti kelas, pekerja sosial berkunjung ke asrama klien untuk memastikan bahwa klien mengikuti setiap kegiatan yang ada dan melihat apakah ada klien yang sakit. Setiap Pekerja sosial juga harus ikut serta dalam beberapa kegiatan klien, seperti kegiatan senam dan upacara yang rutin dilakukan setiap minggunya ataupun kegiatan tambahan seperti seminar. Setiap harinya para pekerja sosial harus menuliskan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh klien di dalam sebuah buku harian.

Pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung bekerja dari hari Senin sampai Jumat, pukul 08.00 sampai pukul 16.00 dan pada hari Sabtu terdapat jadwal piket. Selain tugas-tugas tersebut di atas, para pekerja sosial juga harus


(15)

6

Universitas Kristen Maranatha

mengerjakan tugas tambahan seperti menjadi instruktur di dalam kelas, membuat rancangan kegiatan, rancangan intervensi klien dan solusi klien, melakukan home visit dan mengurus koperasi.

Dari 7 pekerja sosial yang diwawancarai 71,42% diantaranya bertugas menjadi instruktur di kelas ADL, OM, atau di kelas memijat. Ada yang bertugas berdua di dalam satu kelas, namun ada pula yang bertugas sendiri di dalam satu kelas yang terdiri dari 12 sampai 15 orang klien. Para pekerja sosial yang bertugas mengajar terkadang merasa kesulitan apabila harus mengajar seorang diri di dalam satu kelas, menurut mereka jumlah klien tersebut terlalu banyak.

Kemampuan yang dimiliki oleh setiap klien dalam menangkap instruksi dan pelajaran yang diberikan berbeda-beda dan pengetahuan yang dimiliki juga berbeda-beda. Misalnya ketika diajarkan bagaimana cara mandi yang benar, ada klien yang memang sudah diajarkan dan terbiasa untuk mandi sendiri ketika di rumah sehingga mereka memang sudah mampu untuk mandi sendiri dengan bersih namun ada juga klien yang tidak pernah diajarkan cara mandi sendiri yang benar sebelumnya. Ada klien yang dapat memahami instruksi yang diberikan secara cepat, tetapi ada juga klien yang harus diberikan instruksi secara berulang-ulang sehingga dapat menghambat klien lain untuk maju ke pelajaran selanjutnya dan waktu yang dibutuhkan untuk mengajar menjadi lebih lama.

Namun apabila di dalam kelas terdapat dua orang atau lebih yang bertugas untuk mengajar maka mereka dapat berbagi tugas, misalnya satu pekerja sosial bertugas untuk terus mengajarkan materi yang harus disampaikan pada hari itu dan pekerja sosial lainnya dapat mengajar satu atau beberapa klien tertentu yang


(16)

7

Universitas Kristen Maranatha

masih tertinggal dan belum dapat memahami suatu materi tertentu. Untuk mengatasi hal tersebut pekerja sosial yang bertugas menjadi instruktur seringkali harus meluangkan waktunya diluar jam kerja untuk mengadakan kelas tambahan bagi klien yang belum menguasai suatu pelajaran tertentu agar tidak tertinggal dari teman-teman lainnya.

Tugas tambahan lain yang harus dilakukan adalah home visit. Home visit adalah kunjungan ke rumah calon klien. Setiap tahunnya panti sosial bina netra “X” Bandung menerima kurang lebih 100 klien baru. Calon klien bisa didapatkan melalui rujukan dari dinas sosial setempat, atau keluarga dari calon klien yang datang secara langsung ke panti sosial bina netra “X” Bandung untuk mendaftar. Pekerja sosial akan melakukan home visit ke rumah calon klien untuk memastikan apakah calon klien memenuhi persyaratan untuk masuk ke panti sosial bina netra “X” Bandung serta untuk mendapatkan gambaran latar belakang keluarga dan kebiasaan klien selama di rumah. Selama menjadi pendamping klien, pekerja sosial diharapkan dapat menjalin hubungan yang baik dengan klien. Hal ini dilakukan agar klien mau terbuka dalam bercerita dan terbuka terhadap masukan yang diberikan oleh pekerja sosial. Komunikasi yang baik tersebut membantu pekerja sosial dalam memahami klien dan dapat memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan klien.

Melihat tugas-tugas yang harus dilakukan oleh pekerja sosial maka para pekerja sosial perlu memiliki compassion for others sehingga dapat lebih memahami keadaan dan dapat memberikan bimbingan dan bantuan sesuai dengan yang diperlukan oleh klien. Compassion for others adalah sikap terbuka akan


(17)

8

Universitas Kristen Maranatha

penderitaan orang lain, adanya keinginan untuk meringankan penderitaan orang lain (Neff, 2003a). Namun apabila seseorang melakukan compassion for others perlu diimbangi dengan self-compassion agar tidak mengalami compassion fatigue (Neff, 2011). Memfokuskan energi terus menerus untuk menolong orang lain dapat mengarah pada compassion fatigue, suatu sindrom yang seringkali muncul pada terapis, suster atau caregiver lainnya. Caregiver yang paling memiliki rasa kepedulian dan paling sensitif cenderung akan lebih beresiko untuk mengalami compassion fatigue, mereka cenderung akan merasakan penderitaan pasien secara mendalam.

Dengan adanya tugas-tugas yang telah disebutkan sebelumnya, 57,14% pekerja sosial merasa lelah dan jenuh dengan pekerjaan mereka dan merasa kekurangan waktu untuk dirinya sendiri dan keluarga. 14,28% tinggal bersama keluarganya di salah satu asrama panti sosial bina netra “X” Bandung dan bertugas menjadi ibu asrama. Pekerja sosial tersebut harus siap sedia selama 24 jam untuk membantu dan mendampingi 17 klien yang tinggal di asrama tersebut. Sebagai ibu asrama, ia harus mengenal setiap klien dengan baik dan memantau terus perkembangan mereka. Asrama tersebut merupakan asrama bagi para klien yang baru masuk sehingga ia juga harus memantau perkembangan keterampilan klien dalam OM dan ADL. Dengan tugas-tugasnya tersebut ia merasa kekurangan waktu untuk dirinya dan waktu untuk keluarganya.

Dari tujuh orang pekerja sosial yang diwawancarai tersebut 28,58% merasa kekurangan waktu untuk dirinya dan keluarga karena seringkali mereka harus membawa pekerjaan mereka ke rumah, misalnya membuat laporan


(18)

9

Universitas Kristen Maranatha

rancangan kegiatan. Mereka juga terkadang harus meluangkan waktu mereka diluar jam kerja untuk memberikan kelas tambahan bagi para klien yang belum menguasai pelajaran tertentu. Dua orang lainnya merasa lelah dan jenuh. Mereka merasa jenuh karena seringkali menghadapi permasalahan yang sama. Klien melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Misalnya dalam hal kebersihan fisik dan kebersihan kamar, setiap minggunya ada saja klien yang malas untuk membersihkan kamarnya. Selain itu, ada juga klien yang sulit untuk diberitahu dan tidak mau mengikuti aturan yang ada di asrama. Contohnya klien yang tidak mau menggunakan tongkat ketika berjalan karena merasa malu dan mampu berjalan tanpa bantuan tongkat, padahal tongkat merupakan alat bantu yang sangat penting. Untuk mempertahankan perilaku positif klien dalam mengikuti kegiatan dan aturan-aturan yang ada di asrama maka, pekerja sosial harus selalu memberikan motivasi penguat kepada klien misalnya dalam bentuk pujian sehingga mereka mau terus berlatih dan melakukan apa yang telah diajarkan dengan baik serta menaati setiap peraturan yang ada di asrama dengan baik.

Penelitian menunjukkan bahwa caregiver yang telah dilatih untuk self-compassion, lebih beresiko kecil untuk mengalami compassion fatigue, karena mereka telah memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk menghindar dari stress yang berlebihan atau burned out ketika mereka berinteraksi dengan pasien-pasien mereka. Individu-individu yang self-compassionate, dapat berbaik hati terhadap orang lain dan juga terhadap dirinya sendiri.

Self-compassion adalah keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan


(19)

10

Universitas Kristen Maranatha

kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003). Neff mengemukakan bahwa terdapat 3 komponen dalam self-compassion yaitu self-kindness, mindfulness, dan common humanity. Self-kindness adalah sikap hangat dan memahami diri sendiri saat menghadapi penderitaan, kegagalan dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri. Mindfulness adalah kemampuan individu untuk menerima dan menyadari perasaan dan pikiran diri sendiri saat mengalami kegagalan apa adanya, tanpa disangkal atau ditekan. Common humanity adalah kesadaran individu bahwa kesulitan hidup dan kegagalan merupakan bagian dari kehidupan yang dialami oleh semua manusia, bukan hanya dialami oleh diri sendiri.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan terhadap 7 orang pekerja sosial, ketika melakukan suatu kesalahan atau berada dalam masa-masa sulit 57,15% tidak memberikan penilaian negatif terhadap diri sendiri ketika mereka melakukan kesalahan atau gagal dalam mendampingi klien, misalnya apabila mereka gagal dalam mendampingi seorang klien sehingga klien tersebut harus dirujuk kepada pekerja sosial lain, mereka bisa menerima kekurangan dan kesalahan yang mereka lakukan (self kindness). 42,85% lainnya mengkritik dan memberikan penilaian negatif terhadap dirinya, merasa dirinya gagal dan tidak memiliki kompetensi yang cukup. Misalnya ketika mereka mengajarkan ADL kepada klien tetapi klien tersebut tidak dapat melakukan apa yang diajarkan dengan baik, mereka cenderung akan menyalahkan diri mereka dan merasa bahwa diri mereka tidak


(20)

11

Universitas Kristen Maranatha

memiliki kompetensi yang cukup dalam mendampingi klien disabilitas netra (self judgement).

71,43% diantaranya menerima dan mengakui kegagalan atau kesalahannya dan tetap berusaha untuk berpikiran positif misalnya ketika mereka harus merujuk klien yang mereka dampingi kepada pekerja sosial lain, mereka dapat menerima bahwa mereka tidak dapat mendampingi klien tersebut dan berpikir bahwa dengan merujuk kepada pekerja sosial lain yang sesuai maka klien tersebut akan mendapatkan bimbingan dan pendampingan yang lebih baik (mindfulness). 28,57% lainnya menghadapi masalah dan kesulitan yang ada secara berlebihan. Ketika mengalami kegagalan, mereka merenungi kesalahan mereka dan menyalahkan diri sendiri (over identification).

Dari 7 orang pekerja sosial yang diwawancarai tersebut, 85,7% menganggap kesulitan dan masalah yang dialaminya juga dialami oleh pekerja sosial lainnya dan bukan hanya dirinya sendiri. Mereka menyadari bahwa setiap pekerja sosial mungkin mengalami berbagai kesulitan dalam mendampingi dan membimbing klien disabilitas netra (common humanity). 14,3% merasa bahwa kesulitan dan masalah yang dihadapinya belum tentu dihadapi oleh pekerja sosial lainnya. Mereka merasa bahwa pekerja sosial lainnya tidak mengalami kesulitan seperti yang mereka alami dan mereka memiliki tugas yang lebih jika dibandingkan dengan pekerja sosial lainnya (isolation).

Berdasarkan fenomena diatas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai self-compassion yang dilihat dari ketiga komponen yaitu self-kindness,


(21)

12

Universitas Kristen Maranatha

mindfulness, dan common humanity pada pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Melalui penelitian ini, ingin diketahui bagaimana gambaran self-compassion pada pekerja sosial di Panti Sosial Bina Netra “X” Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Memperoleh gambaran mengenai self-compassion pada pekerja sosial di Panti Sosial Bina Netra “X” Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Mengetahui gambaran yang lebih jelas mengenai derajat self-compassion pada pekerja sosial di Panti Sosial Bina Netra “X” Bandung melalui tiga komponen self-compassion yaitu self kindness, mindfulness dan common humanity.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

 Memberikan informasi bagi bidang ilmu Psikologi Klinis mengenai self-compassion pada pekerja sosial di Panti Sosial Bina Netra “X” Bandung.


(22)

13

Universitas Kristen Maranatha

 Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada pekerja sosial di Panti Sosial Bina Netra “X” Bandung mengenai pentingnya self-compassion dalam melaksanakan tugas mereka sebagai pembimbing klien sehingga mereka dapat meningkatkan dan mempertahankan kemampuan self-compassion mereka.  Memberikan informasi kepada Panti Sosial Bina Netra “X” Bandung

mengenai derajat self-compassion yang dimiliki oleh pekerja sosial di Panti Sosial “X” Bandung sehingga dapat digunakan sebagai informasi untuk dapat meningkatkan kinerja para pekerja sosial dan kualitas pelayanan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung bertugas untuk mendampingi disabilitas netra, yang biasa disebut sebagai klien. Sebagai pendamping para klien, petugas sosial bertugas untuk memberikan bimbingan sosial, mental, fisik dan juga psikis. Para pekerja sosial membantu klien untuk mengembangkan keterampilan mereka sehingga setelah keluar dari panti sosial bina netra “X” Bandung mereka dapat pekerjaan tertentu, berkeluarga dan ikut berperan di dalam masyarakat.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai pembimbing para disabilitas netra, pekerja sosial perlu memahami kondisi dan kesulitan yang dialami oleh para klien


(23)

14

Universitas Kristen Maranatha

agar dapat memberikan bimbingan serta bantuan yang lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhan para disabilitas netra. Namun disamping itu, pekerja sosial juga perlu memahami kondisi dan kesulitannya sendiri terlebih dahulu. Terbuka dan menyadari kesulitan, kegagalan dan ketidaksempurnaan dirinya namun tidak mengkritik dirinya sendiri atas ketidaksempurnaan dan kegagalannya tersebut. Kondisi tersebut disebut sebagai self-compassion.

Self-compassion adalah keterbukaan dan kesadaran terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003).

Neff (2003a, 2003b) mengemukakan bahwa terdapat 3 komponen dalam self-compassion yaitu self-kindness, mindfulness, dan common humanity. Self-kindness adalah kemampuan pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung untuk dapat bersikap hangat dan penuh pengertian terhadap diri ketika berada dalam masa-masa sulit dan meyadari bahwa melakukan suatu kesalahan merupakan hal yang wajar. Apabila pekerja sosial mengembangkan self-kindness, mereka akan tetap mampu menghargai dirinya sendiri dan tidak melakukan penilaian negatif terhadap dirinya sendiri apabila mereka melakukan suatu kesalahan atau gagal dalam mendampingi klien. Mereka cenderung lembut terhadap diri sendiri dan mengerti kelemahan dan kegagalan yang dimiliki bukan untuk dikritik secara berlebihan. Namun sebaliknya, apabila para pekerja sosial mengembangkan self-judgement maka mereka akan cenderung memberikan


(24)

15

Universitas Kristen Maranatha

penilaian yang negatif terhadap dirinya dan merasa gagal, tidak berguna, marah, stress, dan frustsi ketika menghadapi kegagalan.

Mindfulness merupakan kemampuan pekerja sosial untuk menerima dan menyadari perasaan dan pikirannya sendiri saat mengalami kegagalan apa adanya, tanpa disangkal atau ditekan dan tidak menyangkal aspek-aspek yang tidak disukai baik di dalam dirinya ataupun di dalam kehidupannya. Pekerja sosial yang mengambangkan mindfulness mampu mengakui dan menerima kegagalan atau kesalahannya. Ia tetap berusaha untuk berpikiran positif dan secara tenang berusaha untuk mengatasi kegagalannya tersebut tersebut sehingga ia dapat mengambil langkah yang tepat untuk mengatasi kegagalannya tersebut dan nantinya tidak melakukan kesalahan yang sama. Apabila seorang pekerja sosial merasa kurang mampu dan kurang berpengalaman dalam menangani satu klien tertentu, ia dapat menerima hal tersebut dan berusaha untuk mencari jalan keluar yang tepat misalnya dengan merujuk kepada pekerja sosial lain yang lebih pengalaman sehingga klien tersebut bisa mendapatkan penanganan yang lebih tepat. Namun sebaliknya, apabila pekerja sosial mengembangkan over-identification maka ia cenderung tidak mengakui kegagalannya atau mengeluarkan emosi negatif yang berlebihan ketika mengalami kegagalan, seperti merenungi dan merasa menyesal setiap kali melakukan kegagalan atau tidak mampu menangani klien tertentu.

Common humanity merupakan kemampuan pekerja sosial untuk menyadari bahwa kesulitan hidup dan kegagalan merupakan bagian dari kehidupan yang dialami oleh semua manusia, bukan hanya dialami oleh dirinya


(25)

16

Universitas Kristen Maranatha

sendiri. Dengan common humanity, pekerja sosial tidak melihat kesulitan dan kegagalan yang dialaminya ketika mendampingi klien sebagai sesuatu yang hanya dialami oleh dirinya sendiri, tetapi merupakan sesuatu yang dialami oleh semua pekerja sosial. Namun apabila seorang pekerja sosial merasa bahwa hanya dirinya yang mengalami kesulitan dan kegagalan, berarti pekerja sosial tersebut mengalami isolation.

Ketiga komponen dalam self compassion menurut Neff (2003) saling mempengaruhi dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Mindfulness memiliki kontribusi terhadap dua komponen lainnya yaitu self-kindness dan common humanity. Dengan kemampuan untuk menyadari perasaan dan pikirannya apa adanya, tanpa melebih-lebihkannya, dapat mengurangi self-critism dan meningkatkan self-understanding, sehingga meningkatkan self-kindness. Selain itu juga dengan menyadari perasaan dan pikiran secara apa adanya, dapat mengurangi egocentrism yang dapat menyebabkan perasaan terisolasi dan terpisah dari orang lain, sehingga meningkatkan perasaan interconnectedness. Self-kindness dan perasaan connectedness dapat meningkatkan mindfulness. Dengan berhenti menghakimi diri sendiri akan mempengaruhi dan meningkatkan derajat self-acceptance, dampak negatif dari pengalaman emosional pada individu akan berkurang, sehingga akan mempermudah individu dalam menjaga keseimbangan pikiran dan emosinya –tidak menghindari atau terbawa oleh perasaannya. Demikian pula, dengan menyadari bahwa penderitaan dan kegagalan merupakan sesuatu yang dialami oleh setiap orang membantu individu untuk dapat melihat


(26)

17

Universitas Kristen Maranatha

sesuatu sesuai dengan apa adanya, dan meningkatkan kemampuan untuk menyadari pikiran dan perasaannya dan tidak melebih-lebihkannya.

Self-kindness dan common humanity juga saling mempengaruhi satu sama lain. Ketika individu menghakimi dirinya secara berlebihan, dapat meningkatkan kesadaran diri dan perasaan terisolasi. Namun dengan berbaik hati terhadap diri sendiri dapat mengurangi kesadaran diri, dan meningkatkan perasaan terhubung dengan orang lain.

Ketiga komponen tersebut memiliki derajat interkorelasi yang tinggi. Self-compassion memerlukan ketiga komponen tersebut, satu komponen berhubungan dengan komponen-komponen lainnya dan saling memengaruhi. Self-compassion dari seorang pekerja sosial dapat dikatakan tinggi apabila ketiga komponen tersebut tinggi. Sebaliknya, apabila salah satu atau dua ataupun ketiga komponen tersebut rendah, maka self-compassion dari seorang pekerja sosial dikategorikan rendah.

Selain ketiga komponen dari compassion di atas, derajat self-compassion pada pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdiri dari faktor internal, yaitu personality, attachment dan jenis kelamin, dan faktor eksternal, yaitu early family experiences.

Personality dapat mempengaruhi derajat self-compassion pada pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung. Penelitian menunjukkan bahwa self-compassion memiliki hubungan dengan The Big Five Personality. The Big Five Personality adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk melihat kepribadian


(27)

18

Universitas Kristen Maranatha

manusia melalui trait yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Lima trait kepribadian tersebut adalah extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism dan openess to experiences. Dari kelima trait tersebut, setiap individu memiliki satu trait yang dominan di dalam dirinya.

Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh NEO-FFI, ditemukan bahwa self-compassion memiliki hubungan dengan dimensi neuroticism, agreebleness, extroversion, dan conscientiousness dari the big five personality. Namun, self-compassion tidak memiliki hubungan dengan openness to experience, karena trait ini mengukur karakteristik individu yang memiliki imajinasi yang aktif, kepekaan secara aesthetic, sehingga dimensi openness to experience ini tidak sesuai dengan self-compassion (Neff, 2007).

Self-compassion memiliki hubungan yang paling kuat dengan neuroticism, semakin tinggi derajat self-compassion maka akan semakin rendah derajat neuroticism. Menurut Costa & McCrae (1997) neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman, mudah mengalami kecemasan, rasa marah, dan depresi. Hubungan ini bukanlah suatu hal yang mengejutkan, karena mengkritik diri dan perasaan terasing yang menyebabkan rendahnya self-compassion memiliki kesamaan dengan neuroticism. Misalnya ketika terdapat klien yang lamban atau sulit dalam memahami suatu materi tertentu yang disampaikan di dalam kelas, hal tersebut membuat membuat pekerja sosial yang mengajar di kelas tersebut merasa


(28)

19

Universitas Kristen Maranatha

bersalah, ia merasa bahwa dirinya tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam mengajar sehingga klien tidak dapat memahami materi dengan benar.

Self-compassion menunjukkan hubungan yang positif dengan agreeableness dan extraversion. Agreeableness dapat disebut juga social adaptability yang mengindikasikan individu yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik, dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Agreeableness tinggi ditandai dengan sikap yang baik, penuh simpati, kehangatan dan penuh pertimbangan terhadap perasaan orang lain. Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi positif, energik, tertarik dengan banya hal, ambisius, workaholic juga ramah terhadap orang lain. Extraversion memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan uga dominan dalam lingkungannya.

Kemampuan untuk dapat berbaik hati, perasaan terhubung dengan orang lain dan keseimbangan secara emosional pada individu yang self-compassionate mempengaruhi kemampuan individu untuk dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Pekerja sosial yang memiliki derajat yang tinggi dalam agreeableness dan extroversion berorientasi pada sifat sosial sehingga hal itu dapat membantu mereka untuk bersikap baik kepada orang lain dan melihat pengalaman yang negatif sebagai pengalaman yang dialami semua manusia.

Pekerja sosial yang cenderung extraversion akan memiliki self-compassion tinggi, karena mereka tidak terlalu khawatir dengan pandangan orang lain tentang mereka, yang dapat mengarah pada rasa malu dan perilaku


(29)

20

Universitas Kristen Maranatha

menyendiri. Perasaan interconnectedness pada pekerja sosial yang self-compassionate dapat mempengaruhi derajat extraversion.

Hubungan yang signifikan juga ditemukan antara self-compassion dan conscientiousness. Menurut Costa & McCrae (1997), conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Hal ini dapat membantu pekerja sosial untuk lebih memperhatikan kebutuhan mereka dan untuk merespon situasi yang sulit dengan sikap yang lebih bertanggung jawab, sehingga dapat merespon situasi itu tanpa memberikan kritik yang berlebihan. Keseimbangan emosional pada pekerja sosial yang self-compassionate dapat menghasilkan perilaku yang lebih bertanggung jawab.

Faktor internal kedua yang dapat mempengaruhi derajat self-compassion pada pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung adalah attachment. Attachment dengan orang tua mempengaruhi derajat self-compassion pada pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung. Menurut John Bowlby dalam buku Self-Compassion, bayi mengembangkan secure attachment dengan orang tua mereka ketika kebutuhan mereka terpenuhi. Apabila orangtua menghibur dan memberikan dukungan kepada anak ketika anak sedih dan merasa takut, rasa percaya pada anak akan bertumbuh, mereka akan belajar untuk mempercayai orang tua mereka. Namun apabila orang tua memberikan dukungan secara konsisten terhadap anak mereka, atau dingin dan menolak anak mereka, akan membangun ikatan insecure attachment dengan orang tua mereka. Akan tumbuh


(30)

21

Universitas Kristen Maranatha

perasaan tidak aman pada anak, mereka merasa tidak dapat bergantung dan mengandalkan orang tua mereka.

Bowlby mengemukakan bahwa ikatan early attachment akan mempengaruhi “internal working model” individu dalam hubungannya dengan orang lain. Apabila ketika anak-anak pekerja sosial merasakan secure attachment dengan orang tuanya, mereka akan merasa bahwa dirinya berhak untuk menerima kasih sayang. Mereka pada umumnya akan tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat dan bahagia, mereka percaya bahwa mereka dapat mengandalkan orang lain untuk mendukung dan menenangkan mereka. Namun apabila ketika anak-anak pekerja sosial merasakan insecure attachment, mereka cenderung merasa tidak berharga dan tidak pantas disayangi, dan merasa bahwa orang lain tidak dapat dipercaya. Hal tersebut dapat menimbulkan perasaan insecurity yang lama kelamaan dapat menyebabkan distress secara emosional dan mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjalin relasi dengan orang lain nantinya. Penelitian menyebutkan individu yang mendapatkan insecure attachment memiliki self-compassion yang lebih rendah daripada individu yang mendapatkan secure attachment (Neff,2011). Berdasarkan hal tersebut, pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung yang merasakan insecure attachment dapat memiliki self-compassion yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja sosial yang merasakan secure attachment.

Faktor internal ketiga yang juga mempengaruhi self-compassion adalah jenis kelamin. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan cenderung memiliki derajat self-compassion yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki,


(31)

22

Universitas Kristen Maranatha

terutama karena mereka cenderung lebih sering menghakimi dan mengkritik diri sendiri. Namun di sisi lain, terdapat pula penelitian yang membuktikan bahwa perempuan cenderung lebih perhatian, berempati, dan lebih suka memberi kepada sesama dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan diajarkan untuk mengasuh, secara pribadi membuka hati kepada pasangan, anak-anak, teman, dan orang yang lebih tua, akan tetapi mereka tidak diajarkan bagaimana caranya untuk memperhatikan diri mereka sendiri.

Faktor eksternal yang mempengaruhi derajat self-compassion pada pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung adalah early family experience yang terdiri dari maternal critism dan modeling of parents. Maternal critism mempengaruhi self-compassion pada pekerja sosial. Penelitian menunjukan bahwa anak dengan orang tua yang secara terus menerus mengkritik mereka cenderung memiliki self-compassion yang rendah dan mengalami depresi dan kecemasan ketika mereka dewasa. Apabila orang tua terbiasa menggunakan kritikan yang tajam agar anak mereka tidak melakukan hal-hal yang berbahaya atau agar anak mereka berusaha untuk menjadi lebih baik, maka anak akan menganggap bahwa kritikan sebagai suatu cara yang penting dan berguna untuk memotivasi diri mereka. Mereka cenderung akan mengkritik diri mereka sendiri ketika mereka dewasa. Namun apabila orang tua menunjukan compassion, memberikan batasan-batasan yang jelas kepada anak serta memberitahukan kesalahan apa yang dilakukan oleh anak mereka dengan cara yang baik, hal tersebut dapat membuat anak menjadi sadar bahwa mereka harus berubah dan


(32)

23

Universitas Kristen Maranatha

memperbaiki kesalahan mereka tanpa membuat mereka merasa buruk atas kesalahan yang mereka lakukan.

Selain itu, modeling of parents juga mempengaruhi derajat self-compassion pada pekerja sosial. Modeling dari orang tua, adalah salah satu cara yang paling baik dalam membentuk kemampuan self-compassion pada individu. Apabila orang tua memiliki self-compassion, mereka akan lebih mudah mengakui kesalahan dan kekurangan mereka sebagai orang tua dan meminta maaf atas kesalahan dan kekurangan mereka tersebut. Hal tersebut bukan hanya dapat membuat anak merasa diperhatikan dan dikasihi oleh orang tua mereka, tetapi membuat mereka menyadari bahwa orang tua mereka adalah manusia yang dapat melakukan kesalahan dan hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar. Orang tua memberikan contoh bagi anak-anak mereka untuk meminta maaf atas kesalahan yang mereka lakukan dan tidak mengkritik diri mereka secara berlebihan. Contoh dari orang tua merupakan hal yang penting bagi anak untuk dapat membantu mereka mengembangkan self-compassion di dalam diri mereka. Pekerja sosial yang melihat orang tuanya melakukan self-compassion pada saat mengalami masalah, akan cenderung dapat compassion terhadap dirinya ketika mengalami masalah.

Pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung yang memiliki derajat self-compassion yang tinggi memiliki kemampuan untuk menerima diri apa adanya. Tidak mengkritik dan menghakimi diri sendiri secara berlebihan ketika mereka melakukan kesalahan. Mereka juga mampu menyadari bahwa setiap orang memiliki kesulitan dan kekurangan serta mengalami kegagalan.


(33)

24

Universitas Kristen Maranatha

Selain itu, para pekerja sosial juga mampu menerima dan menyadari perasaan dan pikirannya sendiri saat mengalami kegagalan apa adanya, tanpa disangkal atau ditekan. Mereka juga mampu menyadari dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka sebagai individu sehingga mereka dapat menunjukkan kinerja yang lebih optimal.

Pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung yang memiliki derajat self-compassion yang rendah cenderung mengkritik dirinya secara berlebihan ketika mereka mengalami kegagalan dan melakukan kesalahan. Mereka hanya terpusat pada kekurangan dan kegagalan mereka tanpa menyadari kelebihan yang mereka miliki. Para pekerja sosial kurang menyadari apa yang sebenarnya mereka butuhkan sehingga kebutuhan mereka tidak terpenuhi dan kinerja mereka menjadi kurang optimal.


(34)

25

Universitas Kristen Maranatha Bagan Kerangka Pikir

Bagan 1.5 Skema Kerangka Pikir Pekerja Sosial di

Panti Sosial Bina Netra “X”

Bandung

Self-Compassion

Tinggi

Rendah Komponen:

Self-Kindness Mindfulness

Common Humanity

Faktor Internal:  Personality Attachment  Jenis kelamin Faktor Eksternal:

Early Family Eperience

(Maternal Critism dan Modeling of Parents)


(35)

26

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi

Self-compassion pada pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung terdiri dari tiga komponen yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness.

 Jika pekerja sosial memiliki derajat yang tinggi pada ketiga komponen self-compassion maka pekerja sosial memiliki derajat self-compassion yang tinggi.

 Jika pekerja sosial memiliki derajat yang rendah pada salah satu, dua, atau ketiga komponen self-compassion maka pekerja sosial memiliki derajat self-compassion yang rendah.

Self-compassion pada pekerja sosial dipengaruhi oleh faktor internal yang terdiri dari personality, attachment, jenis kelamin dan faktor eksternal yang terdiri dari early family experience (maternal critism dan modeling of parents).


(36)

67 Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan kesimpulan mengenai hasil pengolahan data terhadap 18 orang pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung, beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebagian besar pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung memiliki derajat self-compassion yang rendah.

2. Pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung yang memiliki derajat self-compassion tinggi menunjukkan derajat tinggi pada ketiga komponen, yaitu self-kindness tinggi, common humanity tinggi, dan mindfulness tinggi. 3. Pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung yang memiliki derajat self-compassion rendah memiliki profile komponen yang bervariasi, dimana salah satu atau lebih dari satu komponennya menunjukkan derajat yang rendah.

4. Faktor personality memiliki kemungkinan keterkaitan dengan derajat self-compassion pada pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung.


(37)

68

Universitas Kristen Maranatha

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan:

5.2.1. Saran Teoritis

Bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai self-compassion disarankan untuk melakukan validitas dan reliabilitas alat ukur terhadap sampel penelitiannya.

Bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai self-compassion disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitan antara self-compassion dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-compassion pada sampel penelitiannya.

5.2.2. Saran Praktis

 Kepada Kepala Panti Sosial Bina Netra “X” Bandung diharapkan dapat memberikan informasi atau pembekalan (misalnya dalam bentuk seminar) mengenai self-compassion kepada pekerja sosial sehingga para pekerja sosial dapat mengetahui pentingnya self-compassion dalam melaksanakan tugas-tugas mereka sebagai pendamping klien disabilitas.


(38)

68 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Departemen Sosial R.I. 2004. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Kep/03/M.PAN/1/2004 tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Amgla Kreditnya. Bandung: Departemen Sosial R.I Biro Kepegawaian dan Hukum.

Geniofam. 2010. Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Jogjakarta: Geraimu.

Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Neff, Kristin. 2003. Self-Compassion: An Alternative Conceptualization of A Healthy Attitude Toward Oneself. Self and Identity, 85-101. Psychology Press.

Neff, Kristin. 2011. Self-Compassion. New York: Harper Collins Publisher. Neff, K., Rude, S. S., & Kirkpatrick, K. L. (2007). An Examination of

Self-Compassion in Relation to Positive Psychological Functioning and Personality Traits, 41, 908-916.

Soehartono, Irwanto. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejateraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan VIII.

Bandung: Rosda.

2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.


(39)

69 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Gunawan, Lucky Natalia. 2014. Studi Deskriptif Mengenai Self-Compassion pada Anggota Tim Search and Rescue (SAR) BASARNAS di Kantor SAR Bandung. Bandung: Fakultas Psikologi Maranatha.

Riasnugrahani, M. 2014. Self-Compassion dan Compassion For Other pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Wyata Guna. (online). (www.wyataguna.kemsos.go.id, diakses tanggal 9 Mei 2014)


(1)

Bagan Kerangka Pikir

Pekerja Sosial di Panti Sosial Bina

Netra “X” Bandung

Self-Compassion

Tinggi

Rendah Komponen:

Self-Kindness Mindfulness

Common Humanity

Faktor Internal:  Personality Attachment  Jenis kelamin Faktor Eksternal:


(2)

26

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi

Self-compassion pada pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung terdiri dari tiga komponen yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness.

 Jika pekerja sosial memiliki derajat yang tinggi pada ketiga komponen self-compassion maka pekerja sosial memiliki derajat self-compassion yang tinggi.

 Jika pekerja sosial memiliki derajat yang rendah pada salah satu, dua, atau ketiga komponen self-compassion maka pekerja sosial memiliki derajat self-compassion yang rendah.

Self-compassion pada pekerja sosial dipengaruhi oleh faktor internal yang terdiri dari personality, attachment, jenis kelamin dan faktor eksternal yang terdiri dari early family experience (maternal critism dan modeling of parents).


(3)

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan kesimpulan mengenai hasil pengolahan data terhadap 18 orang pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung, beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebagian besar pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung memiliki derajat self-compassion yang rendah.

2. Pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung yang memiliki derajat self-compassion tinggi menunjukkan derajat tinggi pada ketiga komponen, yaitu self-kindness tinggi, common humanity tinggi, dan mindfulness tinggi. 3. Pekerja sosial di panti sosial bina netra “X” Bandung yang memiliki derajat self-compassion rendah memiliki profile komponen yang bervariasi,


(4)

68

Universitas Kristen Maranatha

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan saran yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan:

5.2.1. Saran Teoritis

Bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai self-compassion disarankan untuk melakukan validitas dan reliabilitas alat ukur terhadap sampel penelitiannya.

Bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai self-compassion disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitan antara self-compassion dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-compassion pada sampel penelitiannya.

5.2.2. Saran Praktis

 Kepada Kepala Panti Sosial Bina Netra “X” Bandung diharapkan dapat memberikan informasi atau pembekalan (misalnya dalam bentuk seminar) mengenai self-compassion kepada pekerja sosial sehingga para pekerja sosial dapat mengetahui pentingnya self-compassion dalam melaksanakan tugas-tugas mereka sebagai pendamping klien disabilitas.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Sosial R.I. 2004. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Kep/03/M.PAN/1/2004 tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Amgla Kreditnya. Bandung: Departemen Sosial R.I Biro Kepegawaian dan Hukum.

Geniofam. 2010. Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Jogjakarta: Geraimu.

Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Neff, Kristin. 2003. Self-Compassion: An Alternative Conceptualization of A Healthy Attitude Toward Oneself. Self and Identity, 85-101. Psychology Press.

Neff, Kristin. 2011. Self-Compassion. New York: Harper Collins Publisher. Neff, K., Rude, S. S., & Kirkpatrick, K. L. (2007). An Examination of

Self-Compassion in Relation to Positive Psychological Functioning and Personality Traits, 41, 908-916.

Soehartono, Irwanto. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejateraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan VIII.

Bandung: Rosda.

2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.


(6)

69 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Gunawan, Lucky Natalia. 2014. Studi Deskriptif Mengenai Self-Compassion pada Anggota Tim Search and Rescue (SAR) BASARNAS di Kantor SAR Bandung. Bandung: Fakultas Psikologi Maranatha.

Riasnugrahani, M. 2014. Self-Compassion dan Compassion For Other pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Wyata Guna. (online). (www.wyataguna.kemsos.go.id, diakses tanggal 9 Mei 2014)