HUBUNGAN LOCUS OF CONTROL DANKETAKUTAN AKAN KEGAGALAN DENGAN Hubungan Locus Of Control Dan Ketakutan Akan Kegagalan Dengan Perilaku Menyontek Pada Siswa.

HUBUNG
UNGAN LOCUS OF CONTROL D
DAN
KETAKUT
UTAN AKAN KEGAGALAN DEN
DENGAN
PERILA
LAKU MENYONTEK PADA SISWA
NASKAH PUBLIKASI

Di susun Oleh :
MAOLANA MOHAMMAD SAH
M
S 300 110 032

MAGISTER SAINS PSIKOLOGI
M
PROGRAM PASCA SARJANA
P
KARTA
SITAS MUHAMMADIYAH SURAKA

UNIVERSI
2014

HUBUNGAN LOCUS OF CONTROL DAN
KETAKUTAN AKAN KEGAGALAN DENGAN
PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA
Maolana Mohammad Sah
(S 300 110 032)
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara locus of
control dan ketakutan akan kegagalan dengan perilaku menyontek pada siswa.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMK Negeri 1 Miri Kab.
Sragen yang berjumlah 353 siswa. Peneliti menggunakan teknik cluster random
sampling untuk mencari sampel 187 siswa dan untuk mempermuda penelitian,
peneliti menggunakan skala perilaku menyontek, skala locus of control dan skala
ketakutan akan kegagalan. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara locus of control dan ketakutan akan kegagalan dengan perilaku
menyontek. Dimana perilaku menyontek dan ketakutan akan kegagalan memiliki
kategori sedang, serta locus of control memiliki kategorik sangat rendah. Hasil
analisis diketahui terdapat hubungan yang positif signifikan antara locus of

control dan ketakutan akan kegagalan dengan perilaku menyontek. Sumbangan
efektif locus of control terhadap perilaku menyontek sebesar = 2,94 %, dengan
aspek chance lebih dominan mempengaruhi dan sumbangan efektif ketakutan
akan kegagalan terhadap perilaku menyontek sebesar = 10,76 %, dengan aspek
perfectionist lebih dominan mempengaruhi. Total sumbangan efektif locus of
control dan ketakutan akan kegagalan adalah 13,7 %. Walaupun itu, pengaruh
locus of control dan ketakutan akan kegagalan terhadap perilaku menyontek
antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara signifikan.

Kata kunci : Perilaku menyontek, Locus of control dan Ketakutan akan kegagalan

RELATIONSHIP BETWEEN LOCUS OF CONTROL AND
FEAR OF FAILURE WITH
CHEATING BEHAVIOR OF STUDENTS
Maolana Mohammad Sah
(S 300 110 032)
ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the relationship between locus
of control and fear of failure with cheating behavior of students. The population in
this study was a class XI student of SMK Negeri 1 Miri in Sragen = 353 students.

Researchers using cluster random sampling technique to sample 187 students and
seek to rejuvenate the study, researchers used a scale of cheating behavior, locus
of control scale and the scale of the fear of failure. The results showed no
significant relationship between locus of control and fear of failure with cheating
behavior. Where cheating and the fear of failure has a medium category, and locus
of control has a very low categorical. The results of analysis show that there is a
significant positive relationship between locus of control and fear of failure with
cheating behavior. Effective contribution of locus of control on cheating at =
2.94%, with the chance aspect more dominant and effective contribution to the
fear of failure cheating at = 10.76 %, with the more dominant aspect perfectionist.
The total contribution of the effective locus of control and fear of failure is 13.7%.
Despite that, the influence of locus of control and fear of failure against cheating
behavior between men and women did not differ significantly.

Keywords : Cheating Behavior, Locus of control and Fear of failure

(Hendra, 2012), Evans dkk (Sartelee,
2002) dan Alhadza (Jahja 2007),
menyebutkan salah satu yang
mempengaruhi perilaku menyontek

adalah ketakutan akan kegagalan.
Sedangkan, Anderman dkk, (2007),
Rotter (Stone dkk, 2010), Wideman
(2008), menyebutkan bahwa salah
satu yang mempengaruhi perilaku
menyontek adalah locus of
control.
Berdasrkan uraian diatas,
peneliti ingin membuktikan secara
empiris hubungan antara locus of
control
dan
ketakutan
akan
kegagalan
dengan
perilaku
menyontek pada siswa SMKN 1
Miri, sehingga dapat diketahui
apakah perilaku menyontek yang

terjadi di SMKN 1 Miri berhubungan
dengan locus of control dan
ketakutan akan kegagalan.
.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Perilaku Menyontek

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Setiap tahun banyak media
masa
mengungkapkan
perilaku
menyontek terjadi hampir disetiap
wilayah.
Selain
itu
perilaku
menyontek bisa dijumpai disetiap
jenjang

pendidikan.
Hal
ini
memberikan efek yang negatif
terhadap tujuan pendidikan yang
ingin membentuk siswa yang
memiliki karakter dan kecerdasan
(Sari dkk, 2013).
Selama 30 tahun terakhir
perilaku menyontek mengalami
peningkatan
yang
signifikan,
peningkatan ini disebabkan oleh
kepercayaan siswa bahwa perilaku
menyontek
bisa
dibenarkan
dibeberapa situasi (Cizek, dalam
Murdock dkk, 2006) dan dianggap

sesuatu yang biasa (Jahja, 2007). Hal
ini dipertegas oleh Etter dkk (2006)
yang menyatakan bahwa siswa
melihat perilaku menyontek sebagai
suatu cara yang layak dilakukan
untuk mencapai kesuksesan.
Hasil kuesioner terbuka yang
dilakukan peneliti kepada 37 siswa
(29 laki-laki dan 8 perempuan) di
kelas XI SMK Negeri 1 Miri Kab.
Sragen, diperoleh 100% siswa telah
melakukan perilaku menyontek.
Walaupun dilatar belakangi dengan
alasan-alasan yang berbeda. 64,86%
disebabkan karena soalnya sulit,
13,51% disebabkan mendapatkan
nilai bagus, 13,51% disebabkan tidak
belajar, 5,4% disebabkan takut
remedial dan 2,7% disebabkan tidak
percaya diri.

Beberapa penelitian tentang
perilaku
menyontek,
terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi
variabel tersebut. Misalnya, Mobarok

Strom,
dkk
(2007)
mengatakan perilaku menyontek
merupakan perilaku yang tidak jujur
dengan cara menyalin bahan materi
dari buku, jurnal, atau sumber di
Internet dan membuat suatu catatan
materi yang dipersiapkan dari rumah.
Menurut Hard, dkk (2006),
perilaku
menyontek
adalah

menyelesaikan tugas yang diberikan
oleh guru dengan cara memberi atau
menerima bantuan yang tidak
diperbolehkan. Dalam menjelaskan
dimensi memberi atau menerima.
Calabrese, dkk (Lestari, 2013)
membagi
2
macam
perilaku
menyontek,
yakni
perilaku
menyontek pasif adalah membantu
siswa lain dalam menyelesaikan
tugas dan periaku menyontek aktif

1

orang lain (eksternalitas), yang biasa

dikaitan dengan komitmen tinggi
serta berkelanjutan untuk mengubah
(Munir dkk, 2010). Sementara
Lantara (2012) mengatakan locus of
control dapat didefinisikan sebagai
sikap siswa yang menunjukkan suatu
peristiwa yang dialami oleh mereka
dapat dikendalikan atau tidak.
Menurut Andriati (2009),
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi locus of control
seseorang, anatra lain:
a. Orangtua. Perkembangan locus
of control didukung oleh peran
orangtua, dimana orangtua yang
fleksibel dan mengajar siswa
mandiri akan mendorong siswa
ke internal locus of control.

Sedangkan
orangtua
yang
memiliki sifat menghukum,
memusuhi dan otoriter akan
mendorong siswa ke arah
external locus of control.
b. Kognitif.
Kesadaran
dalam
berpikir
dan
menggunakan
pengetahuan dapat mengarahkan
dan mempengaruhi seberapa
besar siswa memiliki locus of
control.
c. Perbedaan respon. Pemberian
respon yang sesuai dengan
perilaku
siswa,
akan
menimbulkan
motif
yang
dipelajari (internal locus of
control). Sedangkan pemberian
respon yang tidak tepat, akan
mengarahkan siswa kepada suatu
tanggapan bahwa perilakunya
tidak mempunyai nilai positif
terhadap
lingkungannya.
Sehingga siswa percaya bahwa
lingkunganlah
yang
dapat
menentukan kehidupannya.
d. Lingkungan
adalah
faktor
terakhir disposisi locus of

adalah menyelesaikan tugas dengan
tidak
jujur
dengan
tujuan
meningkatkan nilainya sendiri.
Anderman
dkk
(2007)
mengkategorikan
faktor
yang
menyebabkan perilaku menyontek
yakni: (1) Demografi (usia, jenis
kelamin, perbedaan kebudayaan), (2)
Kepribadian (dorongan mencari
sensasi, self-control, perkembangan
moral dan sikap, locus of control),
(3) Motivasi (tujuan dan alasan
dalam pembelajaran) dan (4)
Akademik meliputi kemampuan,
subjek area, institusi dan organisasi.
Jahja (2007) mengatakan
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruh perilaku menyontek
pada siswa, yakni: Adanya pengaruh
dari orang yang melakukan perilaku
menyontek, adanya peluang untuk
melakukan perilaku menyontek,
ketakutan akan kegagalan, keinginan
untuk mendapatkan nilai yang tinggi,
tidak percaya diri, dan siswa terlalu
cemas dalam menghadapi ujian.
Menurut
Marsden,
dkk
(2005)
bentuk-bentuk
perilaku
menyontek
terdiri
dari;
menggunakan catatan dalam ujian,
mencari jawaban melalui teman saat
ujian, bekerjasama dengan teman
dalam ujian, dan bekerjasama dalam
meyelesaikan tugas.
2. Locus of Control
Locus of control juga
didefinisikan sebagai kecenderungan
siswa untuk percaya bahwa yang
mengendalikan peristiwa dalam
kehidupannya adalah dirinya sendiri
(internalisasi), yang biasa dikaitkan
dengan afektif tinggi dan komitmen
normatif untuk mengubah atau
dikontrol oleh faktor luar, seperti

2

control. Lingkungan yang tidak
memberikan kesempatan dan
selalu memberikan hambatan
kepada siswa, akan membentuk
external locus of control pada
siswa. Sebaliknya, lingkungan
yang mendukung peran siswa
dan
selalu
memberikan
kesempatan, dapat membentuk
internal locus of control pada
siswa.
Sedangkan Levenson (Azwar,
2008) mengungkapkan beberapa
aspek yang mengungkap locus of
control, yakni:
a. Aspek Internal (I), adalah keyaki
nan siswa akan kejadian-kejadian
dalam kehidupannya ditentukan
oleh kemampuan dirinya sendiri.
b. Aspek Powerful Others (P), adala
h keyakinan siswa bahwa kejadia
n dalam hidupnya ditentukan ole
h orang lain yang lebih berkuasa.
c. Aspek Chance (C), adalah keyaki
nan siswa bahwa kejadian dalam
hidupnya ditentukan oleh nasib, p
eluang, dan keberuntungan.
Dalam skala IPC, aspek
internal (I) adalah aspek yang
mengungkap internal locus of
control, sedangkan aspek powerful
others (P) dan chance (C) adalah
aspek yang mengungkap external
locus of control. Menurut Halpert,
dkk (2011), skala IPC milik
Levenson merupakan perkembangan
dari skala Rotter, dimana skala
tersebut dapat mengungkap dimensi
external Locus of control. Maka dari
itu dapat ditarik kesimpulan bahwa
aspek-aspek locus of control adalah
internal, powerful others, dan
chance.

2. Ketakutan Akan Kegagalan
Ketakutan akan kegagalan (fear
of failure; faalangst) adalah suatu
perasaan yang disertai kegelisaan
dan ketegangan yang dihadapi
dimana terhadap suatu tekanan
secara terus-menerus baik dari orang
lain maupun diri sendiri untuk
mendapatkan prestasi yang baik
(Winkel, 2009). Elison, dkk (2012)
mendefinisikan takut gagal sebagai
disposisi
untuk
menghindari
kegagalan atau menghindari rasa
malu
atau
penghinaan
yang
merupakan
konsekuensi
dari
kegagalan.
Menurut Winkel (2009)
terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi rasa takut gagal pada
siswa:
a. Suasana dalam kelas
Hubungan guru dan siswa yang
kurang harmonis, kesukaran
materi
pelajaran,tingkat
pentingnya bidang studi dalam
kurikulum, dan cara evaluasi
belajar.
Hal
ini
dapat
menyebabkan
timbulnya
ketakutan yang bersifat negatif.
b. Suasana dalam keluarga
Orang tua yang sering menuntut
prestasi tinggi pada siswa dalam
bidang tertentu membuat siswa
dikejar-kejar dengan harapan
orang tua dan akan merasa
khawatir menngecewakan orang
tau serta mengecewakan dirinya
sendiri. Selain itu orang tua juga
jarang memberikan umpan positif
dengan hasil yang didapat dan
meragukan kemampuan anak
dengan menyalahkannya.
c. Alam pikiran siswa
Dampak dari tekanan yang
didapat dari sekolah maupun

3

dirumah menyebabkan siswa
membentuk konsep yang negatif
mengenai dirinya sendiri.

untuk mencari cara lain selain
belajar.
Cara yang paling efektif
untuk mengurangi ketegangan dan
stres dalam kondisi tersebut, adalah
melalui aktivitas motorik atau
tindakan fisik (Halleck, dalam Shon,
2006). Hal ini serupa dengan
perilaku menyontek yang melibatkan
investasi yang signifikan dari waktu
yang disediakan, energi, dan sumber
daya, apalagi, melibatkan sejumlah
besar tindakan fisik sebelum dan
selama ujian. Hal ini disebabkan,
perilaku
menyontek
sangatlah
bergantung
pada
peluang,
kesempatan dan kelebihan orang
lain. Oleh karena itu, dapat
diasumsikan bahwa locus of control
cenderung mendorong
sisiwa
melakukan perilaku menyontek.
Sari, dkk (2013) dari 148
orang
yang
diteliti
juga
mengungkapkan bahwa secara umum
siswa yang memiliki external locus
of control cenderung melakukan
perilaku menyontek. Sedangkan
siswa yang memiliki internal locus of
control memiliki korelasi negatif
terhadap
perilaku
menyontek.
Menurut Rotter (Stone dkk, 2010),
juga menunjukkan konsistensi antara
pelanggaran akademik dengan siswa
yang memiliki external locus of
control dibandingkan siswa yang
memiliki internal locus of control.
Perilaku menyontek juga
sangat dipengaruhi oleh ketakutan
akan kegagalan. Sebab, adanya
tuntutan dari orang tua atau guru
serta harga diri yang dipertaruhkan
dari
sebuah
kompetisi
yang
diskriminasi
membuat
siswa
mengkhawatirkan dirinya dalam
memperoleh prestasi yang baik. Hal
ini ditegaskan berdasarkan dari

Aspek-aspek
ketakutan
akan
kegagalan menurut Rothblum, dkk
(Damayanti, 2008) antara lain:
a. Perfectionist.
Seseorang yang perfectionis akan
menginginkan hasil yang sempurna.
Dengan pola kepribadian ini akan
berusaha mencapai targetnya dengan
berorientasi pada prestasi yang baik.
Namun, apabila standar tersebut tidak
tercapai maka siswa akan mengalami
kekhawatiran dan ketakutan yang bisa
menimbulkan suatu kegagalan.
b. Low self-esteem (penghargaan diri
yang rendah).
Penghargaan diri yang rendah akan
cenderung berpikir negatif. Pikiran
negatif ini mendorong anak menjadi
cemas, panik, dan muncul perasaan
bersalah yang mengganggu kosentrasi.
Sehingga siswa yang berpikiran negatif
akan berfokus pada kegagalan.
c. Evaluation anxiety (kecemasan
terhadap evaluasi).
Kecemasan ini membuat siswa akan
takut dinilai negatif oleh teman, guru
dan orang tua. Hal ini dapat
mengakibatkan siswa merasa takut akan
kegagalan yang akan dihadapi.

3. Hubungan Locus of Control
dan
Ketakutan
Akan
Kegagalan dengan Perilaku
Menyontek
Setiap tahun tuntutan merahi
prestasi menjadi meningkat, serta
adanya tuntutan orang tua atau guru
yang
memaksa
siswa
untuk
mendapatkan prestasi yang baik. Hal
ini membuat siswa menjadi jenuh
dalam belajar, kehilangan semangat
belajar, dan kemampuan siswa yang
semakin menurun (downshifting)
(Chatib, 2012). Hal ini dapat
mengakibatkan siswa lebih memilih

4

akan kegagalan disusun berdasarkan
aspek perfectionist, low self-esteem,
dan evaluation anxiety .
Metode analisis data yang
digunakan dalam penelitian adalah
analisis regresi berganda, stepwise,
dan chow test.

sebuah penelitian awal
yang
menggunakan kuesioner terbuka,
mencatat ada 21,62% yang takut
tidak naik kelas.
Penelitian
yang
telah
dilakukan oleh Evans, dkk (Sartelee,
2002), menyatakan bahwa salah satu
faktor yang menetukan perilaku
menyontek adalah ketakutan akan
kegagalan. Selain itu Anderman dkk
(Nora, 2010), perilaku menyontek
berkaitan dengan ketakutan akan
kegagalan dan memiliki hubungan
terbalik
antara
keberhasilan
akademik dan kecurangan (Murdock
dkk, dalam Nora 2010).

PEMBAHASAN HASIL
PENELITIAN
1. Perilaku Menyontek
Berdasarkan
kriteria
kategorik skala perilaku menyontek
dengan nilai mean hipotetiknya
adalah 50 , mean empirik perilaku
menyontek adalah 46,98 dan berada
pada rentang skor 40 – 60, hal ini
dimaksudkan
bahwa
perilaku
menyontek dalam kategorik sedang.
Namun
menurut
Cizek
(dalam Murdock dkk, 2006) selama
30
tahun
terakhir
perilaku
menyontek mengalami peningkatan
yang signifikan, peningkatan ini
disebabkan oleh kepercayaan siswa
bahwa perilaku menyontek bisa
dibenarkan dibeberapa situasi dan
dianggap sesuatu yang biasa (Jahja,
2007).

METODE
Populasi pada penelitian ini
adalah siswa kelas XI SMK Negeri 1
Miri Kab. Sragen yang berjumlah
353 siswa dengan Jurusan Teknik
Mekanik Otomotif terdiri dari 4 kelas
berjumlah 130 siswa, Teknik
Gambar Bangunan (Arsitek) terdiri
dari 1 kelas berjumlah 32 siswa,
Teknik Instalasi Tenaga Listrik
(Listik Pemakaian) terdiri dari 2
kelas berjumlah 63 siswa dan Teknik
Informatika / Multimedia terdiri dari
4 kelas berjumlah 128 siswa.
Sampel dalam penelitian ini
sebanyak 187 siswa kelas XI SMK
Negeri 1 Miri Kab. Sragen. Teknik
pengambilan sampel pada penelitian
ini adalah cluster random sampling.
Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan skala yang terdiri dari
: skala perilaku menyontek yang
merupakan modifikasi dari skala
perilaku menyontek Lestari (2013),
skala locus of control yang difiltrasi
dari skala locus of control Levenson
(Azwar, 2008) serta skala ketakutan

2. Locus of Control
Hasil analisis kategorik juga
diketahui variabel locus of control
memiliki rerata empirik 11,73 lebih
kecil dari rerata hipotetik 52,5 yang
berarti locus of control siswa sangat
rendah. Sedangkan peranan atau
sumbangan efektif locus of control
terhadap perilaku menyontek sebesar
= 2,94%. Walaupun itu, menurut
Hume dkk (2006), Keyakinan pada
perilaku menyontek telah menjadi
suatu
harapan
siswa
dalam
memperoleh nilai yang bagus. Sebab

5

memiliki external locus of control
cenderung
melakukan
perilaku
menyontek. Sedangkan siswa yang
memiliki internal locus of control
memiliki korelasi negatif terhadap
perilaku menyontek.

siswa mempercayai hasil yang
diperoleh berada di bawah kendali
keberuntungan, nasib, atau orang lain
yang lebih kuat dari dirinya. siswa
yang melakukan perilaku menyontek
tidak memiliki inisiatif untuk
berusaha atau belajar lebih giat dan
siswa lebih cenderung untuk
berpegang pada integritas pribadi
untuk
memanfaatkan
banyak
kesempatan melakukan perilaku
menyontek.
Diketahui pula bahwa aspek
chance (n = 47, rata-rata = 5,864)
lebih
mempengaruhi
perilaku
menyontek daripada aspek Power
Others (n = 71, rata-rata = 0,518)
dan internal (n = 56, rata-rata = 6,382). Keyakinan ini menunjukkan
bahwa dominan
siswa memiliki
external locus of control akan
melakukan perilaku menyontek,
dibandingkan dengan siswa yang
memiliki internal locus of control.
Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh stone
(2010) menyatakan locus of control
memiliki
keterkaitan
yang
konsistensi
terhadap
perilaku
menyontek dengan eksternalitas
lebih mungkin untuk menipu
daripada internal.
Rotter (Stone dkk, 2010) juga
mengatakan bahwa locus of control
menunjukkan konsistensi antara
pelanggaran akademik dengan siswa
yang memiliki external dibandingkan
siswa yang memiliki internal. Hal
yang senada diungkapkan oleh Davis
dkk (2007) & Underwood dkk
(2003) bahwa ada hubungan negatif
antara internal locus of control
dengan perilaku menyontek. Selain
itu Sari, dkk (2013) dari 148 orang
yang diteliti juga mengungkapkan
bahwa secara umum siswa yang

3. Ketakutan Akan Kegagalan
Ketakutan akan kegagalan
memiliki rerata empirik 39,18 lebih
besar dari rerata hipotetik 47,5, hal
ini berarti bahwa ketakutan akan
kegagalan siswa tergolong sedang.
Evans, dkk (Sartelee, 2002),
menyatakan bahwa salah satu faktor
yang menetukan perilaku menyontek
adalah ketakutan akan kegagalan.
Selain itu Anderman dkk (Nora,
2010),
mengatakan
perilaku
menyontek
berkaitan
dengan
ketakutan akan kegagalan dan
memiliki hubungan terbalik antara
keberhasilan
akademik
dan
kecurangan (Murdock dkk, dalam
Nora 2010). Smith (Shon, 2006)
mengatakan, siswa memiliki tekanan
untuk mencapai IPK tertinggi dan
mendapatkan
ancaman
dengan
penghapusan
beasiswa
serta
mendapatkan tekanan dari orang tua,
memungkinkan untuk melakukan
perilaku menyontek dari pada yang
tidak mengalami hal tersebut. karena
siswa dengan kemampuan rendah
merasa tidak mampu untuk bersaing
dengan siswa-siswa yang memiliki
kemapuan yang tinggi. Hal ini akan
mendorong siswa untuk mencari
suatu cara untuk membantu siswa
tersbut untuk dapat berkompetisi
dengan siswa-siwa yang lain.
Sedangkan
sumbangan
efektif ketakutan akan kegagalan
terhadap perilaku menyontek sebesar
= 10,76 %. Dimana aspek

6

perfectionist (n = 68, rata-rata =
6,24) mimiliki lebih mempengaruhi
perilaku menyontek daripada aspek
low self-esteem (n = 55, rata-rata = 8,481) dan evaluation anxiety (n =
56, rata-rata = 2,241). Hamachek
(dalam Aditomo, A dkk. 2004)
mengatakan
perfectionist
yang
menetapkan standar pencapaian yang
lebih tinggi daripada kemampuan
yang
dimiliki,
mengakibatkan
kesulitan mencapai rasa puas, disebut
perfeksionis
yang
neurotic.
Sedangkan aspek low self-esteem
merupakan aspek yang memiliki
pengaruh
terhadap
perilaku
menyontek sangat rendah, yakni nilai
jumlah rata-rata = -8,481.
Walaupun ketakutan akan
kegagalan bisa menjadi sumber
motivasi yang positif, namun bisa
juga menjadi sumber motivasi
negatif (Heller 2008). Dengan kata
lain siswa akan lari dari masalah atau
menjadi konservatif dalam mencapai
suatu tujuan akan melakukan
perilaku menyontek. Hal serupa
dikatakan oleh Anderman dkk (Nora
dkk, 2010), perilaku menyontek
berkaitan dengan ketakutan akan
kegagalan dan memiliki hubungan
terbalik
antara
keberhasilan
akademik dan kecurangan (Murdock
dkk, dalam Nora dkk 2010). Adanya
hasil yang diperoleh oleh siswa dari
perilaku
menyontek.
Seperti
menghindar
dari
kegagalan,
mengakibatkan
timbulnya
ketergantungan siswa pada perilaku
tersebut.

4. Hubungan Locus of Control
dan Ketaktan Akan Kegagalan
dengan Perilaku Menyontek
Berdasarkan analisis regresi
kedua variabel prediktor tersebut
terhadap
perilaku
menyontek
menunjukkan nilai F=14.607 dan
p=0,000. Dengan demikian, hipotesis
“locus of control dan ketakutan akan
kegagalan memiliki peranan dalam
perilaku menyontek” terbukti.
Selain itu, diketahui pula
bahwa locus of control umum
berkorelasi positif secara sangat
signifikan
dengan
perilaku
menyontek (r = 0,480; p = 0,001),
begitupun juga ketakutan akan
kegagalan berkorelasi positif secara
sangat signifikan dengan depresi (r =
0,529; p=0,000). Dengan demikian,
dapat diprediksi bahwa semakin
tinggi locus of control dan ketakutan
akan kegagalan siswa maka semakin
tinggi perilaku menyonteknya, dan
sebaliknya.
Hasil
penelitian
yang
menunjukkan sumbangan efektif
variabel locus of control dan
ketakutan akan kegagalan terhadap
perilaku menyontek sebesar 13,7%
yang ditunjukkan oleh koefisien
determinan (
) 0,137. Namun
dalam masalah perbedaan jenis
kelamin, pengaruh locus of control
dan ketakutan akan kegagalan
terhadap perilaku menyontek tidak
memiliki
perbedaan
antara
perempuan dan laki-laki. Hal ini
mengakibatkan
ketidakjujuran
akademik bukan lagi persoalan baru
dalam dunia akademik, namun
menjadi keanehan moral dalam dunia
publik.
Sebab
dari
beberapa
penelitian menunjukkan siswa yang
mengakui telah melakukan perilaku

7

(ME=11,73