Uji Antioksidan Daun Muda dan Daun Tua Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk) Berdasarkan Perbedaan Tempat Tumbuh Pohon
TINJAUAN PUSTAKA
Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)
Pohon gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) merupakan salah satu jenis
tanaman kehutanan yang telah dikembangkan dengan teknik kultur jaringan. Jenis
A. malaccensis Lamk merupakan jenis pohon gaharu yang paling banyak ditemukan
di Sumatera Utara (Yusnita, 2003).
Taksonomi tumbuhan gaharu (A. malaccensis Lamk) menurut Tarigan (2004)
adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Sub Kelas
: Dialypetalae
Ordo
: Myrtales
Famili
: Thymeleaceae
Genus
: Aquilaria
Species
: A. malaccensis Lamk.
Gaharu (A. malaccensis Lamk) memiliki morfologi atau ciri-ciri morfologi,
tinggi pohon ini dapat mencapai 40 meter dengan diameter batang mencapai 60 cm.
Pohon ini memiliki permukaan batang licin, warna keputih-putihan, kadang beralur
dan kayunya agak keras. Bentuk daun lonjong agak memanjang, panjang 6-8 cm,
lebar 3-4 cm, bagian ujung meruncing. Daun yang kering berwarna abu-abu
kehijauan, agak bergelombang, melengkung,
permukaan daun atas-bawah licin dan
mengkilap 12-16 pasang, Bunga terdapat di ujung ranting, ketiak daun, kadangkadang di bawah ketiak daun. Berbentuk lancip, panjang sampai 5 mm. Buahnya
berbentuk bulat telur, tertutup rapat oleh rambut-rambut yang berwarna merah.
Biasanya memiliki panjang hingga 4 cm lebar 2,5 cm. Buah gaharu (A. malaccensis
Lamk.) berbentuk kapsul, dengan panjang 3,5 cm hingga 5 cm, ovoid dan berwarna
coklat. Kulitnya agak keras dan berbaldu. Mengandung 3 hingga 4 biji benih bagi
setiap buah (Tarigan, 2004 )
Syarat Tumbuh dan Penyebaran Gaharu di Indonesia
Syarat untuk tumbuh dengan baik, gaharu tidak memilih lokasi khusus.
Umumnya gaharu masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah dengan
struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrim. Gaharu pun dapat dijumpai
pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun hutan
pegunungan dengan tekstur tanah berpasir. Gaharu ( A. malaccensis Lamk.) sesuai
ditanam di antara kawasan dataran rendah hingga ke pegunungan pada ketinggian 0 –
750 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun.
Suhu yang sesuai adalah antara 27°C hingga 32°C dengan kadar cahaya matahari
sebanyak 70%. Kesesuaian tanah adalah jenis lembut dan liat berpasir dengan pH
tanah antara 4.0 hingga 6.0 (Sumarna, 2009).
Beberapa hasil uji coba serta informasi dan pengalaman di lapangan
menunjukkan bahwa gaharu tidak memerlukan persyaratan khusus untuk membatasi
suatu upaya pengembangannya. Oleh karena itu, secara teknis pengembangan gaharu
dapat dilakukan pada berbagai lahan dengan variasi kondisi lingkungan dan iklim.
Namun, pertumbuhan optimal akan diperoleh pada kondisi lahan yang struktur
tanahnya lempung, dan liat berpasir, serta solum yang dalam (Sumarna, 2007).
Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai
dari India, Pakistan, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia,
Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia ( A. malaccensis,
A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial ). Keenam jenis
tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara. Pohon gaharu di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti
calabac, karas, kekaras, mengkaras (Dayak), galoop (Melayu), kareh (Minang), age
(Sorong), bokuin (Morotai), lason (Seram), ketimunan (Lombok), ruhuwama
(Sumba), seke (Flores), halim (Lampung) dan alim (Batak) (Sumarna, 2002).
Semakin tingginya tingkat permintaan akan gaharu menyebabkan terjadinya
eksploitasi A. malaccensis Lamk secara besar-besaran di hutan alam. Saat ini tanaman
gaharu berada diambang kepunahan, hal ini
sesuai dengan hasil penelitian dari
CITES (Convention On International Trade Endangered Species Of Wild Flora And
Fauna ) yang memasukkan tanaman A. malaccensis ke dalam jenis tanaman terancam
punah (Apendix II) (Sumarna, 2009). Pohon gaharu dapat dimanfaatkan bukan hanya
gubalnya saja akan tetapi bagian batang, kulit batang, akar dan daun juga sudah
dimanfaatkan sebagai bahan untuk merawat wajah dan menghaluskan kulit (Tarigan,
2004).
Pemanfaatan daun gaharu akan menjadi sangat penting mengingat masa panen
gaharu setelah terinfeksi jamur (tampak sakit) adalah 3–4 tahun. Selama daur panen
yang terbilang cukup lama, daun gaharu dapat dimanfaatkan sebagai obat. Kurangnya
pengetahuan masyarakat akan manfaat daun gaharu menyebabkan pemanfaatan
bagian-bagian gaharu seperti daun belum populer di kalangan masyarakat khususnya
petani gaharu itu sendiri.
Kondisi Iklim di Arboretum Universitas Sumatera Utara Kuala Bekala
Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang
Arboretum USU merupakan bagian dan terletak di areal kampus Universitas
Sumatera Utara (USU) Kuala Bekala Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli
Serdang. Arboretum ini dapat dicapai melalui dua jalur yaitu Medan-Pancur batuKampus USU Kuala Bekala dengan waktu tempuh sekitar 30 menit, dan MedanSimalingkar-Kampus USU Kuala Bekala dengan areal Kebun Binatang Medan. Luas
arboretum USU yang diperoleh dari BPDAS Wampu sei Ular yaitu seluas 64,813 Ha.
Secara geografis, arboretum USU berada pada wilayah yang dibatasi kordinatkordinat (UTM) sebagai berikut 0518598 (X) dan 0369433 (Y) (titik ujung UtaraTimur ); 0494330 (X) dan 0390761 (Y) (titik ujung Utara- Barat); 0463655 (X) dan
0394483 (Y) ( titik ujung Selatan – Barat ); dan 0461526 (X) dan 0393193 (Y) (titik
ujung Selatan- Timur ) atau 3028’4λ.5λ” Lintang Utara dan λ8038’03.17” Bujur
Timur. Arboretum USU berbatasan dengan sungai Bekala di sebelah Selatan dan
Timur serta area penggunaan lain untuk sarana kampus di sebelah Barat dan Utara.
Keadaan topografi arboretum USU cenderung datar hingga agak curam dengan
kemiringan 0-60% dan berada pada ketinggian 73 meter di atas permukaan laut. Jenis
tanah didominasi ordo Ultisol (Podsolik Merah- Kuning ). Tipe iklim adalah tipe B
dengan curah hujan rata-rata 2000-2500 mm per tahun. Sedangkan untuk penggunaan
lahan di arboretum USU untuk kehutanan adalah sebesar 42,21 Ha (Siregar, 2013).
Arboretum USU yang dibangun di atas tanah seluas 65 hektar di lahan
Kampus USU Kuala Bekala, saat ini telah mengkoleksi sebanyak 57 jenis pohon
yang terdiri dari 32 jenis pohon hutan, 9 jenis pohon/tanaman perkebunan dan
industri, 12 jenis pohon/tanaman buah-buahan,dan 4 jenis pohon sayuran.dari 57 jenis
pohon tersebut,11 jenis diantaranya merupakan tanaman/pohon eksisting ( yang telah
ada sebelum arboretum dibangun ), dan sisanya 46 jenis merupakan tanaman/pohon
yang diintroduksikan setelah pembangunan Arboretum USU tersebut dicanangkan (
Rauf, 2009 ).
Keadaan Iklim di Langkat, Provinsi Sumatera Utara
Nilai curah hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Januari 68 mm/bulan
dan nilai curah hujan terbesar terjadi pada bulan Oktober sebesar 300 mm/bulan.
Menurut klasifikasi Iklim Oldeman yang penggolongannya menitik beratkan pada
bulan basah, lokasi penelitian yang mewakili Langkat termasuk dalam Zona
Agroklimat E2 yang berdasarkan kesesuaian untuk pertanian menunjukkan daerah ini
umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali palawija, itupun tergantung
adanya hujan (Handoko,1995).
A. Topografi
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa keadaan topografi untuk
semua daerah penelitian adalah berbeda-beda (bervariasi). Ini dapat dilihat pada
lokasi Bahorok dan Batang Serangan didominasi oleh topografi dengan kemiringan >
40% (berbukit, curam), sedangkan untuk daerah Sei Bingei 8 -15% (agak miring atau
bergelombang), Kuala 2 – 8% (landai atau berombak) dan selesai 0 – 2% (datar)
(Handoko,1995).
B. Tanah (Sifat Fisik Tanah)
Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa tekstur tanah di Langkat
adalah lempung berliat, lempung liat berpasir dan liat. Kedalaman efektif tanah di
Langkat didominasi oleh kedalaman > 90 cm (dalam) sedangkan pada lokasi Bahorok
didominasi oleh kedalaman efektif 60-90 cm (sedang) dan pada lokasi Selesai, Kuala
dan Sei Bingei didominasi oleh kedalaman 30 – 60 cm (dangkal). Nilai permeabilitas
tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah di daerah tersebut
memiliki permeabilitas cepat, sedang sampai cepat dan sedang (Handoko,1995).
Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga
terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair.
Diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan
pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai
simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan
lain-lain (Ditjen POM, 2000).
Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan dalam berbagai penelitian
menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen POM, 2000) antara lain
yaitu:
A. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu
kamar. Maserasi kinetik dilakukan dengan pengadukan yang kontinu. Remaserasi
dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian
maserat pertama dan seterusnya. Prinsip metode ini adalah pencapaian konsentrasi
pada keseimbangan, cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru
sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada suhu kamar.
Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,
tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) yang terus-menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. Hasil akhir
perkolasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan zat aktif secara kualitatif pada
perkolat terakhir.
B. Cara panas
1. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut
yang selalu baru, yang umumnya dilakukan dengan alat khusus (menggunakan alat
Sokhlet) sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan
dengan adanya pendingin balik.
2. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut pada
temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti
Digesti adalah proses penyarian simplisia dengan pengadukan secara terusmenerus pada temperatur yang lebih tinggi dari suhu kamar, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50°C.
4. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut air
pada temperatur 90°C selama 30 menit.
5. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut air
pada temperatur 90°C selama waktu 15 menit.
Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia adalah pemeriksaan kimia secara kualitatif terhadap
senyawa-senyawa aktif biologis yang terdapat dalam simplisia tumbuhan. Senyawasenyawa tersebut adalah senyawa organik. Oleh karena itu skrining terutama
ditujukan terhadap golongan senyawa organik seperti alkaloid, glikosida, flavonoid,
terpenoid, tanin dan lain-lain. Pada penelitian tumbuhan, untuk aktivitas biologi atau
senyawa yang bermanfaat dalam pengobatan perlu diisolasi. Oleh karena itu
pemeriksaan
fitokimia,
teknik
skrining
dapat
membantu
langkah-langkah
fitofarmakologi yaitu seleksi awal dari pemeriksaan tumbuhan tersebut untuk
membuktikan adanya senyawa kimia tertentu dalam tumbuhan tersebut dan dapat
dikaitkan dengan aktivitas biologinya (Farnsworth, 1996).
Golongan senyawa-senyawa organik yang perlu diskrining pada penelitian ini
adalah:
1. Alkaloida
Alkaloida sering diartikan dengan senyawa yang mengandung nitrogen
bersifat basa dan mempunyai aktivitas farmakologis. Alkaloida merupakan senyawa
yang mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol dan digunakan secara luas dalam
bidang pengobatan (Harbone, 1987). Pada umumnya alkaloid merupakan senyawa
padat berbentuk kristal atau amorf, tidak berwarna dan mempunyai rasa pahit. Dalam
bentuk bebas alkaloid merupakan basa lemah yang sukar larut dalam air tetapi mudah
larut dalam pelarut organik (Rusdi, 1998).
2. Glikosida
Glikosida adalah komponen yang menghasilkan satu atau lebih gula jika
dihidrolisis. Komponen
gula disebut glikon dan bukan gula disebut aglikon.
Berdasarkan atom penghubung bagian gula (glikon) dan bukan gula (aglikon), maka
glikosida dapat dibedakan menjadi:
a. C-glikosida, jika atom C menghubungkan bagian glikon dan aglikon.
b. N-glikosida, jika atom N menghubungkan bagian glikon dan aglikon.
c. O-glikosida, jika atom O menghubungkan bagian glikon dan aglikon.
d. S-glikosida, jika atom S menghubungkan bagian glikon dan aglikon.
Gula yang paling sering dijumpai dalam glikosida adalah glukosa (Tyler, et al., 1976;
Robinson, 1995)
3. Flavonoid
Flavonoida merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar, mengandung
15 atom karbon dalam inti dasarnya. Flavonoida mencakup banyak pigmen dan
terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus hingga angiospermae.
Flavonoida dalam tubuh bertindak menghambat enzim lipooksigenase yang berperan
dalam biosintesis prostaglandin. Hal ini disebabkan karena flavonoida merupakan
senyawa pereduksi yang baik sehingga akan menghambat reaksi oksidasi
(Robinson, 1995).
4. Steroida/triterpenoida
Inti steroida sama dengan inti triterpenoida tetrasiklik. Steroida alkohol
biasanya dinamakan dengan “sterol”, tetapi karena praktis semua steroida tumbuhan
berupa alkohol seringkali disebut “sterol”. Sterol adalah triterpen yang kerangka
dasarnya cincin siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu sterol dianggap sebagai
senyawa hormon kelamin, tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa
tersebut ditemukan dalam jaringan tumbuhan
(Harbone, 1987; Robinson, 1995).
5. Saponin
Saponin berasal dari bahasa Latin yaitu “ Sapo” yang berarti sabun dan
sifatnya menyerupai sabun. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat
dan menimbulkan busa, jika dikocok dengan air. Beberapa saponin bekerja sebagai
antimikroba. Dikenal dua jenis saponin, yaitu glikosida triterpenoida dan glikosida
struktur tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal. Kedua jenis saponin ini
larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter (Robinson, 1995).
6. Tanin
Tanin merupakan senyawa yang terdapat dalam tumbuhan dan tersebar luas,
memiliki gugus fenol, memiliki rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak
kulit. Tanin dikelompokkan menjadi dua secara kimia yaitu tanin kondensasi dan
tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat
dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal. Tanin terhidrolisis
mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika di didihkan dalam asam klorida
encer (Robinson, 1995).
Pelarut Etanol
Etanol adalah cairan tak berwarna yang mudah menguap dengan aroma yang
khas. Ia terbakar tanpa asap dengan lidah api berwarna biru yang kadang-kadang
tidak dapat terlihat pada cahaya biasa. Sifat-sifat fisika etanol utamanya dipengaruhi
oleh keberadaan gugus hidroksil dan pendeknya rantai karbon etanol. Gugus hidroksil
dapat berpartisipasi ke dalam ikatan hidrogen, sehingga membuatnya cair dan lebih
sulit menguap dari pada senyawa organik lainnya dengan massa molekul yang sama.
Etanol merupakan pelarut yang serbaguna, larut dalam air dan pelarut organik
lainnya, meliputi asam asetat, aseton, benzena, karbon tetraklorida, kloroform, dietil
eter, etilen glikol, gliserol, nitrometana, piridina, dan toluena. Ia juga larut dalam
hidrokarbon alifatik yang ringan, seperti pentana dan heksana, dan juga larut dalam
senyawa klorida alifatik seperti trikloroetana dan tetrakloroetilena. Pada ekstraksi
bahan pangan tidak boleh ada residu etanol pada bahan pangan yang diekstraksi
(Federal Food, Drug and Cosmetic Regulation ). Dalam pemilihan jenis pelarut faktor
yang perlu diperhatikan antara lain adalah daya melarutkan bahan (berdasarkan
kepolaritasan), titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan pengaruh
terhadap peralatan ekstraksi (Gamse, 2002).
Secara umum pelarut yang sering digunakan adalah etanol karena etanol
mempunyai polaritas yang tinggi sehingga dapat mengekstraksi bahan lebih banyak
dibandingkan jenis pelarut organik yang lain. Pelarut yang mempunyai gugus
karboksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk dalam pelarut polar. Etanol
mempunyai titik didih yang rendah dan cenderung aman. Etanol juga tidak beracun
dan berbahaya. Kelemahan penggunaan pelarut etanol adalah etanol larut dalam air,
dan juga melarutkan komponen lain seperti karbohidrat, resin dan gum. Larutnya
komponen ini mengakibatkan berkurangnya tingkat kemurniannya. Keuntungan
menggunakan pelarut etanol dibandingkan dengan aseton yaitu etanol mempunyai
kepolaran lebih tinggi sehingga mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak,
minyak, asam lemak, karbohidrat, dan senyawa organik lainnya. Penggolongan mutu
etanol dibagi menjadi 4 golongan yaitu: (1) etanol industri, (2) spiritus, (3) etanol
murni, dan (4) etanol absolut (Paturau, 1982).
Radikal Bebas
Radikal bebas adalah setiap molekul yang mengandung satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas sangat reaktif dan dengan mudah
menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol menghasilkan ikatan silang dengan DNA,
protein, lipida, atau kerusakan oksidatif pada gugus fungsional yang penting pada
biomolekul. Perubahan ini akan menyebabkan proses penuaan. Radikal bebas juga
terlibat dan berperan dalam patologi dari berbagai penyakit degeneratif, yakni kanker,
aterosklerosis, jantung koroner, katarak dan penyakit degeneratif lainnya (Silalahi,
2006). Radikal bebas dapat terbentuk dalam tubuh atau masuk melalui pernafasan,
kondisi lingkungan yang tidak sehat dan makanan berlemak (Kumalaningsih, 2006).
Secara teoritis radikal bebas dapat terbentuk bila terjadi pemisahan ikatan
kovalen. Radikal bebas dianggap berbahaya karena menjadi sangat reaktif dalam
upaya mendapatkan pasangan elektronnya, dapat pula terbentuk radikal bebas baru
dari atom atau molekul yang elektronnya terambil untuk berpasangan dengan radikal
bebas sebelumnya. Oleh karena sifatnya yang sangat reaktif dan gerakannya yang
tidak beraturan, maka apabila terjadi di dalam tubuh makhluk hidup akan
menimbulkan kerusakan di berbagai bagian sel (Muhilal, 1991; Aruoma, 1994).
Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul akan
berlangsung sepanjang hidup. Radikal bebas yang sangat berbahaya dalam makhluk
hidup antara lain adalah golongan hidroksil (OH-), superoksida (O-2), nitrogen
monooksida (NO), peroksidal (RO-2), peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorit (HOCl)
dan hidrogen peroksida (H2O2) (Silalahi, 2006).
Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang dalam kadar rendah mampu menghambat laju
oksidasi molekul target atau senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat
memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutuskan reaksi
berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih, 2006). Antioksidan juga dapat
didefinisikan sebagai senyawa yang dapat mencegah terjadinya reaksi oksidasi
makromolekul, seperti lipid, protein, karbohidrat atau menetralkan senyawa yang
telah teroksidasi dengan cara menyumbangkan hidrogen dan atau elektron (Silalahi,
2006). Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas
dengan cara mendonorkan satu atom protonnya sehingga membuat radikal bebas
stabil dan tidak reaktif (Lusiana, 2010).
Berdasarkan sumbernya, secara umum antioksidan digolongkan dalam dua
jenis, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Contoh antioksidan sintetik
yang sering digunakan masyarakat antara lain butylated hydroxyanisole (BHA),
butylated hydroxytoluene (BHT), tert-butylhydroquinone (TBHQ) dan α-tocopherol
(Irianti, 2008). Keuntungan menggunakan antioksidan sintetik adalah aktivitas anti
radikalnya yang sangat kuat, namun antioksidan sintetik BHA dan BHT berpotensi
karsinogenik. Untuk itu pencarian sumber antioksidan alami sangat dibutuhkan untuk
menggantikan peran antioksidan sintetik. Antioksidan alami adalah antioksidan yang
merupakan hasil ekstraksi dari bahan alami. Sayur-sayuran dan buah-buahan kaya
akan zat gizi (vitamin, mineral, serat pangan) serta berbagai kelompok zat bioaktif
lain yang disebut zat fitokimia (Silalahi, 2006).
Irianti (2008) juga menyatakan bahwa antioksidan alami sebenarnya sudah
sejak dahulu digunakan secara turun temurun, namun belum banyak diteliti aktivitas
dan kandungan bioaktifnya. Misalnya saja daun gaharu (A. malaccensis Lamk.) yang
sudah dimanfaatkan tetapi belum begitu populer karena kurangnya informasi tentang
kandungan senyawa-senyawa kimia dan kandungan bioaktifnya.
Senyawa kimia yang bermanfaat dari tumbuhan adalah hasil dari metabolit
sekunder yang berupa alkaloid, steroida/terpenoida, flavonoid atau fenolik. Senyawa
ini diantaranya berfungsi sebagai pelindung terhadap serangan atau gangguan yang
ada di sekitar, sebagai antibiotik dan juga sebagai antioksidan (Atmoko dan Ma’ruf,
2009).
Tabel 1. Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Metanol Daun Gaharu
(A. malaccensis)
Jenis
Daun
Pemeriksaan
Alkaloid
Glikosida
Steroid/
triterpenoid
Flavonoid
Tanin
Saponin
4M
-
+
+
+
+
-
4T
-
+
+
+
+
-
7M
-
+
+
+
+
-
7T
-
+
+
+
+
-
4M
-
+
+
+
+
+
Ekstrak
4T
-
+
+
+
+
+
Metanol
7M
-
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
Simplisia
7T
Keterangan : 4M
4T
7M
7T
+
-
: daun muda dari pohon yang berumur 4 tahun
: daun tua dari pohon yang berumur 4 tahun
: daun muda dari pohon yang berumur 7 tahun
: daun tua dari pohon yang berumur 7 tahun
: Terdeteksi mengandung senyawa
: Tidak terdeteksi mengandung senyawa
Sumber : Skrining Fitokimia dan Aktivitas antiradikal bebas ekstrak metanol daun
gaharu (Mega dan Swastini, 2010)
Dari Tabel 1 diperoleh bahwa simplisia dan ekstrak metanol positif memiliki
senyawa glikosida, steroid/triterpenoid, flavonoid dan tanin. Perbedaan dapat dilihat
pada saponin, dimana pada simplisia saponin tidak terdeteksi sedangkan pada ekstrak
metanolnya positif mengandung saponin hal ini dikarenakan pelarut metanol bersifat
semipolar yang dapat menarik analit yang bersifat polar dan nonpolar sehingga
saponin akan cenderung tertarik oleh pelarut semi polar.
Antioksidan Alami
Antioksidan alami adalah antioksidan yang merupakan hasil ekstraksi dari
bahan alami. Sayur-sayuran dan buah-buahan kaya akan zat gizi (vitamin, mineral,
serat pangan) serta berbagai kelompok zat bioaktif lain yang disebut zat fitokimia. Zat
bioaktif ini bekerja secara sinergistik, meliputi mekanisme enzim detoksifikasi,
peningkatan sistem kekebalan, pengurangan agregasi platelet, pengaturan sintesis
kolesterol dan metabolisme hormon, penurunan tekanan darah, antioksidan,
antibakteri serta efek antivirus (Silalahi, 2006).
Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau
polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin
dan tokoferol. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi
flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavanon dan kalkon. Senyawa antioksidan alami
polifenolik dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkelat
logam dan peredam terbentuknya singlet oksigen (Kumalaningsih, 2006).
Antioksidan atau reduktor berfungsi untuk mencegah terjadinya oksidasi atau
menetralkan senyawa yang telah teroksidasi dengan cara menyumbangkan hidrogen
dan atau elektron (Silalahi, 2006).
Tanaman yang berkhasiat sebagai antioksidan menurut Hernani dan Rahardjo
(2006), dikelompokkan atas 4 golongan yaitu:
1. Kelompok tanaman sayuran
Brokoli, kubis, lobak, wortel, tomat, bayam, cabai, buncis, pare dan mentimun.
2. Kelompok tanaman buah
Anggur, alpukat, jeruk, semangka, markisa, apel, belimbing, pepaya dan kelapa.
3. Kelompok tanaman rempah
Jahe, temulawak, kunyit, lengkuas, temu putih, kencur, kapulaga, temu ireng, lada,
cengkeh, pala dan asam jawa.
4. Kelompok tanaman lain
Teh, ubi jalar, kedelai, kentang, labu kuning dan petai cina.
Dari segi kimia, komponen yang dikandung oleh sumber-sumber antibiotik
tersebut di atas adalah:
a. Sejenis polifenol
Polifenol merupakan senyawa turunan fenol yang mempunyai aktivitas
sebagai antioksidan. Antioksidan fenolik biasanya digunakan untuk mencegah
kerusakan akibat reaksi oksidasi pada makanan, kosmetik, farmasi, dan plastik.
Fungsi polifenol sebagai penangkap dan pengikat radikal bebas dari rusaknya ion-ion
logam. Senyawa polifenol banyak ditemukan pada buah, sayuran, kacang-kacangan,
teh dan anggur (Hernani dan Rahardjo, 2006).
b. Bioflavonoid (flavon, flavonol, flavanon, katekin, antosianida, isoflavon)
Kelompok ini terdiri dari kumpulan senyawa polifenol dengan aktivitas
antioksidan cukup tinggi. Senyawa flavonoid mempunyai ikatan gula yang disebut
sebagai glikosida. Senyawa induk atau senyawa utamanya disebut aglikon yang
berikatan dengan berbagai gula dan sangat mudah terhidrolisis atau mudah terlepas
dari gugus gulanya. Di samping itu senyawa ini mempunyai sifat antibakteri dan
antiviral (Hernani dan Rahardjo, 2006).
c. Vitamin C
Vitamin C mempunyai efek multifungsi, tergantung pada kondisinya. Vitamin
C ini dapat berfungsi sebagai antioksidan, proantioksidan, pengikat logam, pereduksi
dan penangkap oksigen. Vitamin C sangat efektif sebagai antioksidan pada
konsentrasi tinggi. Tubuh sangat memerlukan vitamin C, karena kekurangan vitamin
C dalam darah dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti: asma, kanker, diabetes,
dan penyakit hati. Selain daripada itu vitamin C dapat memperkecil terbentuknya
penyakit katarak dan penyakit mata (Hernani dan Rahardjo, 2006).
d. Vitamin E
Vitamin E merupakan antioksidan yang cukup kuat dan memproteksi sel-sel
membran serta LDL (Low Density Lipoprotein) kolesterol dari kerusakan radikal
bebas. Vitamin E dapat juga membantu memperlambat proses penuaan pada arteri
dan melindungi tubuh dari kerusakan sel-sel yang akan menyebabkan penyakit
kanker, penyakit hati dan katarak. Vitamin E dapat bekerja sama dengan antioksidan
lain seperti vitamin C untuk mencegah penyakit-penyakit kronik lainnya, namun
dalam mengkonsumsi vitamin ini dianjurkan jangan terlalu berlebihan karena akan
menekan vitamin A yang masuk ke dalam tubuh (Hernani dan Rahardjo, 2006).
e. Karotenoid
Beta karotein adalah salah satu dari kelompok senyawa yang disebut
karotenoid. Dalam tubuh senyawa ini akan dikonversi menjadi vitamin A.
Kekurangan beta-karotein dapat menyebabkan tubuh terserang kanker servik. Kanker
ini banyak menyerang kaum wanita yang mempunyai kadar beta-karotein, vitamin E
dan vitamin C rendah dalam darah. Untuk kaum laki-laki vitamin E sangat efektif
mencegah penyakit kanker prostat. Golongan senyawa karotenoid antara lain: alfakarotein, lutin dan likopen (Hernani dan Rahardjo, 2006).
f. Katekin
Katekin termasuk dalam senyawa golongan polifenol dari gugusan flavonoid
yang banyak terdapat pada teh hijau. Dalam ekstrak teh terkandung 30-40% katekin.
Epigallokatekin merupakan katekin yang sangat penting dari teh hijau karena
mempunyai daya antioksidan yang cukup tinggi, serta berperan dalam pencegahan
penyakit jantung dan kanker. Dalam daun kering, teh hijau terdapat sekitar 30-50 mg
flavonoid (Hernani dan Rahardjo, 2006).
Menurut keterangan di atas maka dapat dinyatakan bahwa kelompok
antioksidan dari bioflavonoid (flavon, flavonol, flavanon, katekin, antosianida,
isoflavon) merupakan senyawa dengan aktivitas antioksidan yang cukup tinggi.
Senyawa flavonoid diduga dimiliki daun gaharu ( A. malaccensis Lamk.) sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai obat karena diduga memiliki antioksidan yang berperan
dalam menekan radikal bebas dalam tubuh manusia.
Pengujian Aktivitas Antioksidan
Aktivitas antioksidan suatu senyawa dapat diukur dari kemampuannya dalam
menangkap radikal bebas. Metode untuk menentukan aktivitas antioksidan ada
beberapa cara, akan tetapi metode pengukuran antioksidan yang sederhana, cepat dan
tidak membutuhkan uji lainnya (santin, oksidase, metode tiosianat, antioksidan total)
adalah metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). Goldschmidt dan Renn pada
tahun 1922 menemukan senyawa berwarna ungu radikal bebas stabil DPPH, yang
sekarang digunakan sebagai reagen kolorimetri untuk proses redoks. Metode DPPH
merupakan suatu metode yang cepat, sederhana, dan murah yang dapat digunakan
untuk mengukur kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan. Metode
DPPH dapat digunakan untuk sampel yang padat dan juga dalam bentuk larutan dan
berlaku untuk keseluruhan kapasitas antioksidan sampel (Ionita, 2005).
DPPH
merupakan
singkatan
untuk
senyawa
kimia
1,1-diphenyl-2-
picrylhydrazil. DPPH berupa serbuk berwarna ungu gelap yang terdiri dari molekul
radikal bebas yang stabil. DPPH mempunyai berat molekul 394,32 dengan rumus
bangun C18H12N5O6. Penyimpanannya dalam wadah tertutup baik pada suhu -20°C
(Molyneux, 2004). Prinsipnya adalah elektron ganjil pada molekul DPPH
memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang tertentu, berwarna ungu.
Warna akan berubah dari ungu menjadi kuning lemah apabila elektron ganjil tersebut
berpasangan dengan atom hidrogen yang disumbangkan senyawa antioksidan.
Perubahan warna ini berdasarkan reaksi kesetimbangan kimia (Prakash, 2001).
DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering
digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak
bahan alam. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau
radikal hidrogen pada DPPH, akan menetralkan radikal bebas dari DPPH dan
membentuk DPPH tereduksi. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi
berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang.
Perubahan ini dapat diukur sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang
ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya zat reduktor (Molyneux, 2004).
Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah harga
Inhibition Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat
menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat
antioksidan yang memberikan % penghambatan sebesar 50%. Bila nilai IC50 yang
diperoleh berkisar antara 200-1000 ppm, maka zat tersebut kurang aktif namun masih
berpotensi sebagai zat antioksidan. Dikatakan mempunyai aktivitas antioksidan
tinggi, akan mempunyai harga IC50 yang rendah (Molyneux, 2004).
Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)
Pohon gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) merupakan salah satu jenis
tanaman kehutanan yang telah dikembangkan dengan teknik kultur jaringan. Jenis
A. malaccensis Lamk merupakan jenis pohon gaharu yang paling banyak ditemukan
di Sumatera Utara (Yusnita, 2003).
Taksonomi tumbuhan gaharu (A. malaccensis Lamk) menurut Tarigan (2004)
adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Sub Kelas
: Dialypetalae
Ordo
: Myrtales
Famili
: Thymeleaceae
Genus
: Aquilaria
Species
: A. malaccensis Lamk.
Gaharu (A. malaccensis Lamk) memiliki morfologi atau ciri-ciri morfologi,
tinggi pohon ini dapat mencapai 40 meter dengan diameter batang mencapai 60 cm.
Pohon ini memiliki permukaan batang licin, warna keputih-putihan, kadang beralur
dan kayunya agak keras. Bentuk daun lonjong agak memanjang, panjang 6-8 cm,
lebar 3-4 cm, bagian ujung meruncing. Daun yang kering berwarna abu-abu
kehijauan, agak bergelombang, melengkung,
permukaan daun atas-bawah licin dan
mengkilap 12-16 pasang, Bunga terdapat di ujung ranting, ketiak daun, kadangkadang di bawah ketiak daun. Berbentuk lancip, panjang sampai 5 mm. Buahnya
berbentuk bulat telur, tertutup rapat oleh rambut-rambut yang berwarna merah.
Biasanya memiliki panjang hingga 4 cm lebar 2,5 cm. Buah gaharu (A. malaccensis
Lamk.) berbentuk kapsul, dengan panjang 3,5 cm hingga 5 cm, ovoid dan berwarna
coklat. Kulitnya agak keras dan berbaldu. Mengandung 3 hingga 4 biji benih bagi
setiap buah (Tarigan, 2004 )
Syarat Tumbuh dan Penyebaran Gaharu di Indonesia
Syarat untuk tumbuh dengan baik, gaharu tidak memilih lokasi khusus.
Umumnya gaharu masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah dengan
struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrim. Gaharu pun dapat dijumpai
pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun hutan
pegunungan dengan tekstur tanah berpasir. Gaharu ( A. malaccensis Lamk.) sesuai
ditanam di antara kawasan dataran rendah hingga ke pegunungan pada ketinggian 0 –
750 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun.
Suhu yang sesuai adalah antara 27°C hingga 32°C dengan kadar cahaya matahari
sebanyak 70%. Kesesuaian tanah adalah jenis lembut dan liat berpasir dengan pH
tanah antara 4.0 hingga 6.0 (Sumarna, 2009).
Beberapa hasil uji coba serta informasi dan pengalaman di lapangan
menunjukkan bahwa gaharu tidak memerlukan persyaratan khusus untuk membatasi
suatu upaya pengembangannya. Oleh karena itu, secara teknis pengembangan gaharu
dapat dilakukan pada berbagai lahan dengan variasi kondisi lingkungan dan iklim.
Namun, pertumbuhan optimal akan diperoleh pada kondisi lahan yang struktur
tanahnya lempung, dan liat berpasir, serta solum yang dalam (Sumarna, 2007).
Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai
dari India, Pakistan, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia,
Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia ( A. malaccensis,
A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial ). Keenam jenis
tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara. Pohon gaharu di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti
calabac, karas, kekaras, mengkaras (Dayak), galoop (Melayu), kareh (Minang), age
(Sorong), bokuin (Morotai), lason (Seram), ketimunan (Lombok), ruhuwama
(Sumba), seke (Flores), halim (Lampung) dan alim (Batak) (Sumarna, 2002).
Semakin tingginya tingkat permintaan akan gaharu menyebabkan terjadinya
eksploitasi A. malaccensis Lamk secara besar-besaran di hutan alam. Saat ini tanaman
gaharu berada diambang kepunahan, hal ini
sesuai dengan hasil penelitian dari
CITES (Convention On International Trade Endangered Species Of Wild Flora And
Fauna ) yang memasukkan tanaman A. malaccensis ke dalam jenis tanaman terancam
punah (Apendix II) (Sumarna, 2009). Pohon gaharu dapat dimanfaatkan bukan hanya
gubalnya saja akan tetapi bagian batang, kulit batang, akar dan daun juga sudah
dimanfaatkan sebagai bahan untuk merawat wajah dan menghaluskan kulit (Tarigan,
2004).
Pemanfaatan daun gaharu akan menjadi sangat penting mengingat masa panen
gaharu setelah terinfeksi jamur (tampak sakit) adalah 3–4 tahun. Selama daur panen
yang terbilang cukup lama, daun gaharu dapat dimanfaatkan sebagai obat. Kurangnya
pengetahuan masyarakat akan manfaat daun gaharu menyebabkan pemanfaatan
bagian-bagian gaharu seperti daun belum populer di kalangan masyarakat khususnya
petani gaharu itu sendiri.
Kondisi Iklim di Arboretum Universitas Sumatera Utara Kuala Bekala
Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang
Arboretum USU merupakan bagian dan terletak di areal kampus Universitas
Sumatera Utara (USU) Kuala Bekala Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli
Serdang. Arboretum ini dapat dicapai melalui dua jalur yaitu Medan-Pancur batuKampus USU Kuala Bekala dengan waktu tempuh sekitar 30 menit, dan MedanSimalingkar-Kampus USU Kuala Bekala dengan areal Kebun Binatang Medan. Luas
arboretum USU yang diperoleh dari BPDAS Wampu sei Ular yaitu seluas 64,813 Ha.
Secara geografis, arboretum USU berada pada wilayah yang dibatasi kordinatkordinat (UTM) sebagai berikut 0518598 (X) dan 0369433 (Y) (titik ujung UtaraTimur ); 0494330 (X) dan 0390761 (Y) (titik ujung Utara- Barat); 0463655 (X) dan
0394483 (Y) ( titik ujung Selatan – Barat ); dan 0461526 (X) dan 0393193 (Y) (titik
ujung Selatan- Timur ) atau 3028’4λ.5λ” Lintang Utara dan λ8038’03.17” Bujur
Timur. Arboretum USU berbatasan dengan sungai Bekala di sebelah Selatan dan
Timur serta area penggunaan lain untuk sarana kampus di sebelah Barat dan Utara.
Keadaan topografi arboretum USU cenderung datar hingga agak curam dengan
kemiringan 0-60% dan berada pada ketinggian 73 meter di atas permukaan laut. Jenis
tanah didominasi ordo Ultisol (Podsolik Merah- Kuning ). Tipe iklim adalah tipe B
dengan curah hujan rata-rata 2000-2500 mm per tahun. Sedangkan untuk penggunaan
lahan di arboretum USU untuk kehutanan adalah sebesar 42,21 Ha (Siregar, 2013).
Arboretum USU yang dibangun di atas tanah seluas 65 hektar di lahan
Kampus USU Kuala Bekala, saat ini telah mengkoleksi sebanyak 57 jenis pohon
yang terdiri dari 32 jenis pohon hutan, 9 jenis pohon/tanaman perkebunan dan
industri, 12 jenis pohon/tanaman buah-buahan,dan 4 jenis pohon sayuran.dari 57 jenis
pohon tersebut,11 jenis diantaranya merupakan tanaman/pohon eksisting ( yang telah
ada sebelum arboretum dibangun ), dan sisanya 46 jenis merupakan tanaman/pohon
yang diintroduksikan setelah pembangunan Arboretum USU tersebut dicanangkan (
Rauf, 2009 ).
Keadaan Iklim di Langkat, Provinsi Sumatera Utara
Nilai curah hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Januari 68 mm/bulan
dan nilai curah hujan terbesar terjadi pada bulan Oktober sebesar 300 mm/bulan.
Menurut klasifikasi Iklim Oldeman yang penggolongannya menitik beratkan pada
bulan basah, lokasi penelitian yang mewakili Langkat termasuk dalam Zona
Agroklimat E2 yang berdasarkan kesesuaian untuk pertanian menunjukkan daerah ini
umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali palawija, itupun tergantung
adanya hujan (Handoko,1995).
A. Topografi
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa keadaan topografi untuk
semua daerah penelitian adalah berbeda-beda (bervariasi). Ini dapat dilihat pada
lokasi Bahorok dan Batang Serangan didominasi oleh topografi dengan kemiringan >
40% (berbukit, curam), sedangkan untuk daerah Sei Bingei 8 -15% (agak miring atau
bergelombang), Kuala 2 – 8% (landai atau berombak) dan selesai 0 – 2% (datar)
(Handoko,1995).
B. Tanah (Sifat Fisik Tanah)
Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa tekstur tanah di Langkat
adalah lempung berliat, lempung liat berpasir dan liat. Kedalaman efektif tanah di
Langkat didominasi oleh kedalaman > 90 cm (dalam) sedangkan pada lokasi Bahorok
didominasi oleh kedalaman efektif 60-90 cm (sedang) dan pada lokasi Selesai, Kuala
dan Sei Bingei didominasi oleh kedalaman 30 – 60 cm (dangkal). Nilai permeabilitas
tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah di daerah tersebut
memiliki permeabilitas cepat, sedang sampai cepat dan sedang (Handoko,1995).
Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga
terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair.
Diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan
pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai
simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan
lain-lain (Ditjen POM, 2000).
Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan dalam berbagai penelitian
menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen POM, 2000) antara lain
yaitu:
A. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu
kamar. Maserasi kinetik dilakukan dengan pengadukan yang kontinu. Remaserasi
dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian
maserat pertama dan seterusnya. Prinsip metode ini adalah pencapaian konsentrasi
pada keseimbangan, cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru
sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada suhu kamar.
Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,
tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) yang terus-menerus
sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. Hasil akhir
perkolasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan zat aktif secara kualitatif pada
perkolat terakhir.
B. Cara panas
1. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut
yang selalu baru, yang umumnya dilakukan dengan alat khusus (menggunakan alat
Sokhlet) sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan
dengan adanya pendingin balik.
2. Refluks
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut pada
temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti
Digesti adalah proses penyarian simplisia dengan pengadukan secara terusmenerus pada temperatur yang lebih tinggi dari suhu kamar, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50°C.
4. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut air
pada temperatur 90°C selama 30 menit.
5. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut air
pada temperatur 90°C selama waktu 15 menit.
Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia adalah pemeriksaan kimia secara kualitatif terhadap
senyawa-senyawa aktif biologis yang terdapat dalam simplisia tumbuhan. Senyawasenyawa tersebut adalah senyawa organik. Oleh karena itu skrining terutama
ditujukan terhadap golongan senyawa organik seperti alkaloid, glikosida, flavonoid,
terpenoid, tanin dan lain-lain. Pada penelitian tumbuhan, untuk aktivitas biologi atau
senyawa yang bermanfaat dalam pengobatan perlu diisolasi. Oleh karena itu
pemeriksaan
fitokimia,
teknik
skrining
dapat
membantu
langkah-langkah
fitofarmakologi yaitu seleksi awal dari pemeriksaan tumbuhan tersebut untuk
membuktikan adanya senyawa kimia tertentu dalam tumbuhan tersebut dan dapat
dikaitkan dengan aktivitas biologinya (Farnsworth, 1996).
Golongan senyawa-senyawa organik yang perlu diskrining pada penelitian ini
adalah:
1. Alkaloida
Alkaloida sering diartikan dengan senyawa yang mengandung nitrogen
bersifat basa dan mempunyai aktivitas farmakologis. Alkaloida merupakan senyawa
yang mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol dan digunakan secara luas dalam
bidang pengobatan (Harbone, 1987). Pada umumnya alkaloid merupakan senyawa
padat berbentuk kristal atau amorf, tidak berwarna dan mempunyai rasa pahit. Dalam
bentuk bebas alkaloid merupakan basa lemah yang sukar larut dalam air tetapi mudah
larut dalam pelarut organik (Rusdi, 1998).
2. Glikosida
Glikosida adalah komponen yang menghasilkan satu atau lebih gula jika
dihidrolisis. Komponen
gula disebut glikon dan bukan gula disebut aglikon.
Berdasarkan atom penghubung bagian gula (glikon) dan bukan gula (aglikon), maka
glikosida dapat dibedakan menjadi:
a. C-glikosida, jika atom C menghubungkan bagian glikon dan aglikon.
b. N-glikosida, jika atom N menghubungkan bagian glikon dan aglikon.
c. O-glikosida, jika atom O menghubungkan bagian glikon dan aglikon.
d. S-glikosida, jika atom S menghubungkan bagian glikon dan aglikon.
Gula yang paling sering dijumpai dalam glikosida adalah glukosa (Tyler, et al., 1976;
Robinson, 1995)
3. Flavonoid
Flavonoida merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar, mengandung
15 atom karbon dalam inti dasarnya. Flavonoida mencakup banyak pigmen dan
terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus hingga angiospermae.
Flavonoida dalam tubuh bertindak menghambat enzim lipooksigenase yang berperan
dalam biosintesis prostaglandin. Hal ini disebabkan karena flavonoida merupakan
senyawa pereduksi yang baik sehingga akan menghambat reaksi oksidasi
(Robinson, 1995).
4. Steroida/triterpenoida
Inti steroida sama dengan inti triterpenoida tetrasiklik. Steroida alkohol
biasanya dinamakan dengan “sterol”, tetapi karena praktis semua steroida tumbuhan
berupa alkohol seringkali disebut “sterol”. Sterol adalah triterpen yang kerangka
dasarnya cincin siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu sterol dianggap sebagai
senyawa hormon kelamin, tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa
tersebut ditemukan dalam jaringan tumbuhan
(Harbone, 1987; Robinson, 1995).
5. Saponin
Saponin berasal dari bahasa Latin yaitu “ Sapo” yang berarti sabun dan
sifatnya menyerupai sabun. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat
dan menimbulkan busa, jika dikocok dengan air. Beberapa saponin bekerja sebagai
antimikroba. Dikenal dua jenis saponin, yaitu glikosida triterpenoida dan glikosida
struktur tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal. Kedua jenis saponin ini
larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter (Robinson, 1995).
6. Tanin
Tanin merupakan senyawa yang terdapat dalam tumbuhan dan tersebar luas,
memiliki gugus fenol, memiliki rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak
kulit. Tanin dikelompokkan menjadi dua secara kimia yaitu tanin kondensasi dan
tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat
dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal. Tanin terhidrolisis
mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika di didihkan dalam asam klorida
encer (Robinson, 1995).
Pelarut Etanol
Etanol adalah cairan tak berwarna yang mudah menguap dengan aroma yang
khas. Ia terbakar tanpa asap dengan lidah api berwarna biru yang kadang-kadang
tidak dapat terlihat pada cahaya biasa. Sifat-sifat fisika etanol utamanya dipengaruhi
oleh keberadaan gugus hidroksil dan pendeknya rantai karbon etanol. Gugus hidroksil
dapat berpartisipasi ke dalam ikatan hidrogen, sehingga membuatnya cair dan lebih
sulit menguap dari pada senyawa organik lainnya dengan massa molekul yang sama.
Etanol merupakan pelarut yang serbaguna, larut dalam air dan pelarut organik
lainnya, meliputi asam asetat, aseton, benzena, karbon tetraklorida, kloroform, dietil
eter, etilen glikol, gliserol, nitrometana, piridina, dan toluena. Ia juga larut dalam
hidrokarbon alifatik yang ringan, seperti pentana dan heksana, dan juga larut dalam
senyawa klorida alifatik seperti trikloroetana dan tetrakloroetilena. Pada ekstraksi
bahan pangan tidak boleh ada residu etanol pada bahan pangan yang diekstraksi
(Federal Food, Drug and Cosmetic Regulation ). Dalam pemilihan jenis pelarut faktor
yang perlu diperhatikan antara lain adalah daya melarutkan bahan (berdasarkan
kepolaritasan), titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan pengaruh
terhadap peralatan ekstraksi (Gamse, 2002).
Secara umum pelarut yang sering digunakan adalah etanol karena etanol
mempunyai polaritas yang tinggi sehingga dapat mengekstraksi bahan lebih banyak
dibandingkan jenis pelarut organik yang lain. Pelarut yang mempunyai gugus
karboksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk dalam pelarut polar. Etanol
mempunyai titik didih yang rendah dan cenderung aman. Etanol juga tidak beracun
dan berbahaya. Kelemahan penggunaan pelarut etanol adalah etanol larut dalam air,
dan juga melarutkan komponen lain seperti karbohidrat, resin dan gum. Larutnya
komponen ini mengakibatkan berkurangnya tingkat kemurniannya. Keuntungan
menggunakan pelarut etanol dibandingkan dengan aseton yaitu etanol mempunyai
kepolaran lebih tinggi sehingga mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak,
minyak, asam lemak, karbohidrat, dan senyawa organik lainnya. Penggolongan mutu
etanol dibagi menjadi 4 golongan yaitu: (1) etanol industri, (2) spiritus, (3) etanol
murni, dan (4) etanol absolut (Paturau, 1982).
Radikal Bebas
Radikal bebas adalah setiap molekul yang mengandung satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas sangat reaktif dan dengan mudah
menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol menghasilkan ikatan silang dengan DNA,
protein, lipida, atau kerusakan oksidatif pada gugus fungsional yang penting pada
biomolekul. Perubahan ini akan menyebabkan proses penuaan. Radikal bebas juga
terlibat dan berperan dalam patologi dari berbagai penyakit degeneratif, yakni kanker,
aterosklerosis, jantung koroner, katarak dan penyakit degeneratif lainnya (Silalahi,
2006). Radikal bebas dapat terbentuk dalam tubuh atau masuk melalui pernafasan,
kondisi lingkungan yang tidak sehat dan makanan berlemak (Kumalaningsih, 2006).
Secara teoritis radikal bebas dapat terbentuk bila terjadi pemisahan ikatan
kovalen. Radikal bebas dianggap berbahaya karena menjadi sangat reaktif dalam
upaya mendapatkan pasangan elektronnya, dapat pula terbentuk radikal bebas baru
dari atom atau molekul yang elektronnya terambil untuk berpasangan dengan radikal
bebas sebelumnya. Oleh karena sifatnya yang sangat reaktif dan gerakannya yang
tidak beraturan, maka apabila terjadi di dalam tubuh makhluk hidup akan
menimbulkan kerusakan di berbagai bagian sel (Muhilal, 1991; Aruoma, 1994).
Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul akan
berlangsung sepanjang hidup. Radikal bebas yang sangat berbahaya dalam makhluk
hidup antara lain adalah golongan hidroksil (OH-), superoksida (O-2), nitrogen
monooksida (NO), peroksidal (RO-2), peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorit (HOCl)
dan hidrogen peroksida (H2O2) (Silalahi, 2006).
Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang dalam kadar rendah mampu menghambat laju
oksidasi molekul target atau senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat
memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutuskan reaksi
berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih, 2006). Antioksidan juga dapat
didefinisikan sebagai senyawa yang dapat mencegah terjadinya reaksi oksidasi
makromolekul, seperti lipid, protein, karbohidrat atau menetralkan senyawa yang
telah teroksidasi dengan cara menyumbangkan hidrogen dan atau elektron (Silalahi,
2006). Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas
dengan cara mendonorkan satu atom protonnya sehingga membuat radikal bebas
stabil dan tidak reaktif (Lusiana, 2010).
Berdasarkan sumbernya, secara umum antioksidan digolongkan dalam dua
jenis, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Contoh antioksidan sintetik
yang sering digunakan masyarakat antara lain butylated hydroxyanisole (BHA),
butylated hydroxytoluene (BHT), tert-butylhydroquinone (TBHQ) dan α-tocopherol
(Irianti, 2008). Keuntungan menggunakan antioksidan sintetik adalah aktivitas anti
radikalnya yang sangat kuat, namun antioksidan sintetik BHA dan BHT berpotensi
karsinogenik. Untuk itu pencarian sumber antioksidan alami sangat dibutuhkan untuk
menggantikan peran antioksidan sintetik. Antioksidan alami adalah antioksidan yang
merupakan hasil ekstraksi dari bahan alami. Sayur-sayuran dan buah-buahan kaya
akan zat gizi (vitamin, mineral, serat pangan) serta berbagai kelompok zat bioaktif
lain yang disebut zat fitokimia (Silalahi, 2006).
Irianti (2008) juga menyatakan bahwa antioksidan alami sebenarnya sudah
sejak dahulu digunakan secara turun temurun, namun belum banyak diteliti aktivitas
dan kandungan bioaktifnya. Misalnya saja daun gaharu (A. malaccensis Lamk.) yang
sudah dimanfaatkan tetapi belum begitu populer karena kurangnya informasi tentang
kandungan senyawa-senyawa kimia dan kandungan bioaktifnya.
Senyawa kimia yang bermanfaat dari tumbuhan adalah hasil dari metabolit
sekunder yang berupa alkaloid, steroida/terpenoida, flavonoid atau fenolik. Senyawa
ini diantaranya berfungsi sebagai pelindung terhadap serangan atau gangguan yang
ada di sekitar, sebagai antibiotik dan juga sebagai antioksidan (Atmoko dan Ma’ruf,
2009).
Tabel 1. Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Metanol Daun Gaharu
(A. malaccensis)
Jenis
Daun
Pemeriksaan
Alkaloid
Glikosida
Steroid/
triterpenoid
Flavonoid
Tanin
Saponin
4M
-
+
+
+
+
-
4T
-
+
+
+
+
-
7M
-
+
+
+
+
-
7T
-
+
+
+
+
-
4M
-
+
+
+
+
+
Ekstrak
4T
-
+
+
+
+
+
Metanol
7M
-
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
+
Simplisia
7T
Keterangan : 4M
4T
7M
7T
+
-
: daun muda dari pohon yang berumur 4 tahun
: daun tua dari pohon yang berumur 4 tahun
: daun muda dari pohon yang berumur 7 tahun
: daun tua dari pohon yang berumur 7 tahun
: Terdeteksi mengandung senyawa
: Tidak terdeteksi mengandung senyawa
Sumber : Skrining Fitokimia dan Aktivitas antiradikal bebas ekstrak metanol daun
gaharu (Mega dan Swastini, 2010)
Dari Tabel 1 diperoleh bahwa simplisia dan ekstrak metanol positif memiliki
senyawa glikosida, steroid/triterpenoid, flavonoid dan tanin. Perbedaan dapat dilihat
pada saponin, dimana pada simplisia saponin tidak terdeteksi sedangkan pada ekstrak
metanolnya positif mengandung saponin hal ini dikarenakan pelarut metanol bersifat
semipolar yang dapat menarik analit yang bersifat polar dan nonpolar sehingga
saponin akan cenderung tertarik oleh pelarut semi polar.
Antioksidan Alami
Antioksidan alami adalah antioksidan yang merupakan hasil ekstraksi dari
bahan alami. Sayur-sayuran dan buah-buahan kaya akan zat gizi (vitamin, mineral,
serat pangan) serta berbagai kelompok zat bioaktif lain yang disebut zat fitokimia. Zat
bioaktif ini bekerja secara sinergistik, meliputi mekanisme enzim detoksifikasi,
peningkatan sistem kekebalan, pengurangan agregasi platelet, pengaturan sintesis
kolesterol dan metabolisme hormon, penurunan tekanan darah, antioksidan,
antibakteri serta efek antivirus (Silalahi, 2006).
Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau
polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin
dan tokoferol. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi
flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavanon dan kalkon. Senyawa antioksidan alami
polifenolik dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkelat
logam dan peredam terbentuknya singlet oksigen (Kumalaningsih, 2006).
Antioksidan atau reduktor berfungsi untuk mencegah terjadinya oksidasi atau
menetralkan senyawa yang telah teroksidasi dengan cara menyumbangkan hidrogen
dan atau elektron (Silalahi, 2006).
Tanaman yang berkhasiat sebagai antioksidan menurut Hernani dan Rahardjo
(2006), dikelompokkan atas 4 golongan yaitu:
1. Kelompok tanaman sayuran
Brokoli, kubis, lobak, wortel, tomat, bayam, cabai, buncis, pare dan mentimun.
2. Kelompok tanaman buah
Anggur, alpukat, jeruk, semangka, markisa, apel, belimbing, pepaya dan kelapa.
3. Kelompok tanaman rempah
Jahe, temulawak, kunyit, lengkuas, temu putih, kencur, kapulaga, temu ireng, lada,
cengkeh, pala dan asam jawa.
4. Kelompok tanaman lain
Teh, ubi jalar, kedelai, kentang, labu kuning dan petai cina.
Dari segi kimia, komponen yang dikandung oleh sumber-sumber antibiotik
tersebut di atas adalah:
a. Sejenis polifenol
Polifenol merupakan senyawa turunan fenol yang mempunyai aktivitas
sebagai antioksidan. Antioksidan fenolik biasanya digunakan untuk mencegah
kerusakan akibat reaksi oksidasi pada makanan, kosmetik, farmasi, dan plastik.
Fungsi polifenol sebagai penangkap dan pengikat radikal bebas dari rusaknya ion-ion
logam. Senyawa polifenol banyak ditemukan pada buah, sayuran, kacang-kacangan,
teh dan anggur (Hernani dan Rahardjo, 2006).
b. Bioflavonoid (flavon, flavonol, flavanon, katekin, antosianida, isoflavon)
Kelompok ini terdiri dari kumpulan senyawa polifenol dengan aktivitas
antioksidan cukup tinggi. Senyawa flavonoid mempunyai ikatan gula yang disebut
sebagai glikosida. Senyawa induk atau senyawa utamanya disebut aglikon yang
berikatan dengan berbagai gula dan sangat mudah terhidrolisis atau mudah terlepas
dari gugus gulanya. Di samping itu senyawa ini mempunyai sifat antibakteri dan
antiviral (Hernani dan Rahardjo, 2006).
c. Vitamin C
Vitamin C mempunyai efek multifungsi, tergantung pada kondisinya. Vitamin
C ini dapat berfungsi sebagai antioksidan, proantioksidan, pengikat logam, pereduksi
dan penangkap oksigen. Vitamin C sangat efektif sebagai antioksidan pada
konsentrasi tinggi. Tubuh sangat memerlukan vitamin C, karena kekurangan vitamin
C dalam darah dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti: asma, kanker, diabetes,
dan penyakit hati. Selain daripada itu vitamin C dapat memperkecil terbentuknya
penyakit katarak dan penyakit mata (Hernani dan Rahardjo, 2006).
d. Vitamin E
Vitamin E merupakan antioksidan yang cukup kuat dan memproteksi sel-sel
membran serta LDL (Low Density Lipoprotein) kolesterol dari kerusakan radikal
bebas. Vitamin E dapat juga membantu memperlambat proses penuaan pada arteri
dan melindungi tubuh dari kerusakan sel-sel yang akan menyebabkan penyakit
kanker, penyakit hati dan katarak. Vitamin E dapat bekerja sama dengan antioksidan
lain seperti vitamin C untuk mencegah penyakit-penyakit kronik lainnya, namun
dalam mengkonsumsi vitamin ini dianjurkan jangan terlalu berlebihan karena akan
menekan vitamin A yang masuk ke dalam tubuh (Hernani dan Rahardjo, 2006).
e. Karotenoid
Beta karotein adalah salah satu dari kelompok senyawa yang disebut
karotenoid. Dalam tubuh senyawa ini akan dikonversi menjadi vitamin A.
Kekurangan beta-karotein dapat menyebabkan tubuh terserang kanker servik. Kanker
ini banyak menyerang kaum wanita yang mempunyai kadar beta-karotein, vitamin E
dan vitamin C rendah dalam darah. Untuk kaum laki-laki vitamin E sangat efektif
mencegah penyakit kanker prostat. Golongan senyawa karotenoid antara lain: alfakarotein, lutin dan likopen (Hernani dan Rahardjo, 2006).
f. Katekin
Katekin termasuk dalam senyawa golongan polifenol dari gugusan flavonoid
yang banyak terdapat pada teh hijau. Dalam ekstrak teh terkandung 30-40% katekin.
Epigallokatekin merupakan katekin yang sangat penting dari teh hijau karena
mempunyai daya antioksidan yang cukup tinggi, serta berperan dalam pencegahan
penyakit jantung dan kanker. Dalam daun kering, teh hijau terdapat sekitar 30-50 mg
flavonoid (Hernani dan Rahardjo, 2006).
Menurut keterangan di atas maka dapat dinyatakan bahwa kelompok
antioksidan dari bioflavonoid (flavon, flavonol, flavanon, katekin, antosianida,
isoflavon) merupakan senyawa dengan aktivitas antioksidan yang cukup tinggi.
Senyawa flavonoid diduga dimiliki daun gaharu ( A. malaccensis Lamk.) sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai obat karena diduga memiliki antioksidan yang berperan
dalam menekan radikal bebas dalam tubuh manusia.
Pengujian Aktivitas Antioksidan
Aktivitas antioksidan suatu senyawa dapat diukur dari kemampuannya dalam
menangkap radikal bebas. Metode untuk menentukan aktivitas antioksidan ada
beberapa cara, akan tetapi metode pengukuran antioksidan yang sederhana, cepat dan
tidak membutuhkan uji lainnya (santin, oksidase, metode tiosianat, antioksidan total)
adalah metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). Goldschmidt dan Renn pada
tahun 1922 menemukan senyawa berwarna ungu radikal bebas stabil DPPH, yang
sekarang digunakan sebagai reagen kolorimetri untuk proses redoks. Metode DPPH
merupakan suatu metode yang cepat, sederhana, dan murah yang dapat digunakan
untuk mengukur kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan. Metode
DPPH dapat digunakan untuk sampel yang padat dan juga dalam bentuk larutan dan
berlaku untuk keseluruhan kapasitas antioksidan sampel (Ionita, 2005).
DPPH
merupakan
singkatan
untuk
senyawa
kimia
1,1-diphenyl-2-
picrylhydrazil. DPPH berupa serbuk berwarna ungu gelap yang terdiri dari molekul
radikal bebas yang stabil. DPPH mempunyai berat molekul 394,32 dengan rumus
bangun C18H12N5O6. Penyimpanannya dalam wadah tertutup baik pada suhu -20°C
(Molyneux, 2004). Prinsipnya adalah elektron ganjil pada molekul DPPH
memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang tertentu, berwarna ungu.
Warna akan berubah dari ungu menjadi kuning lemah apabila elektron ganjil tersebut
berpasangan dengan atom hidrogen yang disumbangkan senyawa antioksidan.
Perubahan warna ini berdasarkan reaksi kesetimbangan kimia (Prakash, 2001).
DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering
digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak
bahan alam. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau
radikal hidrogen pada DPPH, akan menetralkan radikal bebas dari DPPH dan
membentuk DPPH tereduksi. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi
berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang.
Perubahan ini dapat diukur sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang
ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya zat reduktor (Molyneux, 2004).
Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah harga
Inhibition Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat
menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat
antioksidan yang memberikan % penghambatan sebesar 50%. Bila nilai IC50 yang
diperoleh berkisar antara 200-1000 ppm, maka zat tersebut kurang aktif namun masih
berpotensi sebagai zat antioksidan. Dikatakan mempunyai aktivitas antioksidan
tinggi, akan mempunyai harga IC50 yang rendah (Molyneux, 2004).