Kepastian Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Di Kawasan Hutan (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45 Puu-Ix 2011 Dihubungkan Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 47 P Hum 2011)

BAB II
KEPASTIAN HUKUM PEMEGANG HAK ATAS
TANAH DI KAWASAN HUTAN PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 45/PUU- IX/2011

A.

Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah dalam Perundang-undangan
Hak dapat diartikan sebagai hubungan hukum antara subjek dengan objek,

dalam hal ini orang dan atau badan hukum terhadap tanah yang diatur dan ditetapkan
oleh negara42. Hak atas tanah menurut UUPA pada hakekatnya mengandung
kekuasaan atau kewenangan bagi pemegangnya secara bersamaan dengan adanya
kewajiban. Hak seseorang atas tanah semestinya harus dihormati dalam arti tidak
boleh orang lain melakukan tindakan yang melawan hukum untuk memiliki tanah
tersebut.
Oleh karena itu, jika ada hak seseorang di atas tanah seyogianya hak tersebut
harus didukung oleh bukti hak, dapat berupa sertifikat bukti hak tertulis non sertifikat
ataupun pengakuan dan keterangan yang dapat dipercaya kebenarannya. Dengan kata
lain, penguasaan atas tanah yang didasarkan atas kekuasaan arogansi dan kenekatan
semata pada hakekatnya dapat dikatakan bahwa penguasaan tersebut sudah melawan

hukum. Dengan demikian, secara hukum yang bersangkutan tidak bisa dikatakan
telah mempunyai hak atas tanah dimaksud43.

42
43

Tampil Anshari Siregar, Op.Cit,.hal. 3
Ibid ., hal. 2

Pengaturan hak-hak atas tanah di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial
Belanda, dan kemudian diperbaharui setelah kemerdekaan. Dengan demikian,
pengaturan hak atas tanah di Indonesia secara garis besar dapat dibedakan atas dua
kurun waktu, yaitu pengaturan hak atas tanah sebelum terbitnya UUPA dan
pengaturan yang dikeluarkan sesudahnya.
1.

Pengaturan Hak Atas Tanah sebelum UUPA
Hukum agraria pada masa pemerintahan kolonial Belanda dibangun atas dasar

kepentingan dan tujuan atau sendi-sendi pemerintahan jajahan. Hukum tanah pada

masa itu dibuat dan dilaksanakan sesuai kepentingan politik pertanahan kolonial.
Dilihat dari sejarahnya, pengaturan hukum agraria pada masa kolonial terbagi atas
sekurangnya enam periode, yaitu: (1) masa terbentuknya VOC (1602-1799); (2) masa
Pemerintahan Gubernur Herman Daendels (1800-1811); (3) masa Pemerintahan
Gubernur Thomas Raffles (1811-1816); (4) masa pemerintahan Gubernur Johannes
van den Bosch; (5) masa berlakunya Agrarische Wet Stb 1870 No. 55; dan (6) masa
berlakunya Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 118. Masing-masing periode memiliki
kekhususan pengaturan hukum sesuai kepentingan politik colonial antara lain
berdasarkan prinsip dagang, dengan empat ciri yaitu dominasi, eksploitasi,
diskriminasi dan dependensi44.
Pengaturan hak atas tanah pada masa kolonial mengalami dualisme, karena
perbedaan-perbedaan hukum yang berlaku atas tanahnya. Pada masa itu terdapat

44

Urip Santoso, Hukum Agraria , Kajian Komprehensif; Penerbit Kencana; 2013, hal. 14-25.

empat jenis pengaturan hukum atas tanah di Indonesia, yaitu: (i) tanah-tanah dengan
hak-hak barat atau tanah-tanah Eropa, seperti hak eigendom, hak erfpacht dan hak
opstal;


45

(ii) hak-hak atas tanah adat, yaitu tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia

berdasarkan hukum adat46; (iii) tanah-tanah dengan hak-hak ciptaan Pemerintah
Hindia Belanda, seperti hak Agrarisch Eigendom, Landerijen Bezitrecht; (iv) hak-hak
tanah ciptaan Pemerintah Swapraja, seperti Grant Sultan. Jenis hak-hak atas tanah
selain hak-hak barat di atas disebut juga sebagai „tanah hak Indonesia‟, yang cakupan
pengertiannya lebih luas dari tanah-tanah hak adat47. Dengan kata lain, sifat dualisme
hukum agraria kolonial tersebut meliputi (a) bidang-bidang hukumnya (hukum
agraria barat, hukum agraria adat, hukum agraria swapraja, hukum agraria
administratif dan hukum agraria antargolongan), dan (b) hak atas tanah (Hak
Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht; tanah-tanah hak adat; Grant Sultan, Agrarisch
Eigendom, Landerijen Bezitrecht)48.

2.

Pengaturan Hak Atas Tanah setelah UUPA
Pengaturan hak-hak atas tanah di Indonesia mengalami perubahan setelah 15


tahun kemerdekaan, tepatnya sejak terbitnya UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Terbitnya
Undang-undang ini merupakan upaya perbaikan pengaturan keagrariaan yang sesuai
45

Hak Eigendom (dikonversi menjadi Hak Milik) yaitu hak milik atas tanah, yang
terpenuh,tertinggi yang dapat dipunyai seseorang .Hak Erfpacht (dikonversi menjadi HGU) yaitu hak
menikmati kegunaan benda tidak bergerak milik orang lain dengan membayar uang kepada pemiliknya
.Hak Opstal (dikonversi menjadi HGB) adalah hak untuk mempunyai rumah atau bangunan di atas
tanah milik orang lain
46
Tanah dengan hak-hak adat termasuk hak ulayat, hak milik adat, hak pakai adat, (termasuk
hak partuanan, gogolan dll)
47
Boedi Harsono, Op.Cit,hal. 53.
48
Urip Santoso, Op.Cit, hal. 21-22.

dengan kepentingan nasional, terlepas dari pengaturan agraria sebelumnya yang sarat
dengan kepentingan dan tujuan kolonial, bersifat diskriminatif, mengandung

dualisme, serta tidak menjamin kepastian hukum bagi kepentingan rakyat Indonesia.
Melalui penyusunan hukum agraria yang baru (UUPA) Pemerintah Indonesia
berupaya menyesuaikan hukum agraria kolonial dengan keadaan dan kebutuhan
setelah Indonesia merdeka. Beberapa perbaikan mendasar dalam pengaturan agraria
melalui UUPA antara lain penggunaan kebijaksanaan dan tafsir baru 49yang
disesuaikan dengan Pancasila dan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945; penghapusan hak-hak
konversi, penghapusan tanah-tanah partikelir, perubahan peraturan persewaan tanah
rakyat, pengawasan pemindahan hak atas tanah, pengaturan mengenai tanah-tanah
perkebunan; dan lain sebagainya50.
Terkait dengan pengaturan hak atas tanah, UUPA tidak secara khusus
mendefinisikan apa yang disebut dengan hak atas tanah. Pada Pasal 4 ayat (2)
disebutkan hak-hak atas tanah yang merujuk kepada „hak menguasai negara‟ seperti
dimaksud dalam Pasal 2. Pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan adanya macam-macam
“hak atas permukaan bumi yang disebut tanah”, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,
serta badan-badan hukum. Mengacu kepada Pasal 4 UUPA Supriyadi51 membedakan
antara „hak-hak penguasaan atas tanah‟ dengan „hak-hak atas tanah‟. „Hak-hak
49

Sebagai contoh adalah mengenai hubungan antara negara dengan tanah, yang tidak lagi

menerapkan domein verklaring (negara sebagai pemilik tanah) melainkan negara sebagai yang
menguasai tanah (bukan memiliki).
50
Urip Santoso, Op.Cit, hal. 32-36.
51
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan: Aspek Hukum Pertanahan dalam
Pengelolaan Hutan Negara , PT. Rajagrafindo Persada, 2013, hal. 48.

penguasaan atas tanah‟ adalah hak-hak yang masing-masing berisikan kewenangan,
tugas/kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu
dengan bidang tanah yang mempunyai hak atas tanah tersebut. Sementara itu hak atas
tanah adalah hak atas permukaan bumi, yaitu hanya meliputi sebagian tertentu dari
permukaan bumi yang berbatas, yang disebut bidang tanah.
Hak-hak atas tanah diberikan kepada orang atau badan hukum sesuai dengan
kedudukan hukumnya, peruntukan dan penggunaannya, serta di atas tanah mana hak
itu diberikan. Pemberian atau penetapan hak-hak atas tanah dimaksudkan sebagai
upaya untuk pemberian jaminan kepastian hukum bagi pemegang haknya, yang
didasarkan pada hukum dan diselesaikan secara hukum (yuridis-teknis) berlandaskan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA52.
Hak-hak atas tanah berdasarkan sistem UUPA terikat kepada beberapa azas

atau prinsip terutama adanya prinsip hak menguasai Negara, zas kebangsaan, prinsip
kesamaan kedudukan, fungsi sosial hak atas tanah dan lain-lain, yang kesemua
prinsip tersebut melekat pada masing-masing hak atas tanahnya53. Pasal 16 UUPA
menyebutkan hak-hak atas tanah terdiri dari (a) Hak Milik, (b) Hak Guna Usaha, (c)
Hak Guna Bangunan, (d) Hak Pakai, (e) Hak Sewa, (f) Hak Membuka Tanah; (g) Hak
Memungut Hasil Hutan, (h) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut
di atas yang ditetapkan dengan Undang-undang, serta hak-hak yang sifatnya

52

Muhammad Yamin Lubis & Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah , Penerbit Mandar
Maju, 2008, hal. 4.
53
Tampil Anshari,0p.Cit.,hal.26

sementara. 54 Pihak yang dapat menerima atau memiliki hak atas tanah menurut Pasal
4 ayat (1) UUPA terdiri dari perorangan (baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain) dan badan hukum. Hak untuk menguasai tanah berupa tanah ulayat dapat
juga dimiliki oleh suatu persekutuan hukum yang disebut masyarakat hukum adat,
seperti diatur dalam Pasal 3 UUPA. Selain ketiga subjek tersebut di atas, subjek yang

bisa menerima atau memiliki hak atas tanah adalah instansi Pemerintah, berdasarkan
apa yang disebut sebagai „Hak Pengelolaan‟.55
Hak Pengelolaan tersebut sesungguhnya tidak diatur secara eksplisit di dalam
pasal-pasal UUPA. Lahirnya hak pengelolaan ini merupakan penjabaran dari
Penjelasan Umum II/UUPA melalui frasa yang berbunyi “…atau memberikannya
dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau

Daerah Swatantra)…”. Hak pengelolaan untuk pertama kali disebut dan diatur dalam
Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak
Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-ketentuan tentang Kebijaksanaan
Selanjutnya. Keberadaan hak pengelolaan ini kemudian dipertegas atau diperkuat
melalui sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya, baik berupa Undangundang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri yang terbit sejak tahun 1965
sampai dengan tahun 199956.

54

Defenisi yang lengkap mengenai masing-masing hak atas tanah telah diuraikan dalam bunyi
pasal-pasal terkait dalam UUPA
55
Bambang Eko Supriyadi, Op.Cit, hal. 65.

56
Urip Santoso, Op.Cit, hal 161-162.

Sementara itu, A.P. Parlindungan berpendapat bahwa Hak Pengelolaan
merupakan suatu hak atas tanah yang sama sekali tidak ada istilahnya dalam UUPA,
tetapi delegasi wewenanng pelaksanaan Hak Menguasai Negara yang terkandung
dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA memberikan kemungkinan untuk membuka penerbitan
hak baru yang namanya ketika itu belum ada, tetapi merupakan suatu delegasi
pelaksanaan kepada daerah-daerah otonom dan masyarakat hukum adat. Delegasi
wewenang pelaksanaan Hak Menguasai Negara itulah yang kemudian berkembang
menjadi Hak Pengelolaan.57 Selanjutnya Parlindungan mengatakan

bahwa Hak

Pengelolaan berasal dari istilah Belanda “beheersrecht” yang bermakna hak
penguasaan, dan istilah ini sudah muncul dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Thn
1953 yang berisikan: (a) merencanakan, peruntukan, penggunaan tanah tersebut; (b)
menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya; (c) menerima
uang pemasukan/ganti rugi dan atau uang wajib tahunan. Pada peraturan-peraturan
yang diterbitkan selanjutnya istilah hak penguasaan itu kemudian berganti menjadi

Hak Pengelolaan.58
Penempatan Hak Pengelolaan sejajar dengan hak atas tanah lain yang diatur
dalam pasal 16 UUPA tampak dalam peraturan perundang-undangan yaitu:

59

diatur

dalam Permendagri No.1/1967 yang diubah diubah dengan Permendagri No.6/1972

57

A.P.parlindungan,Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Penerbit: Mandar Maju,
Bandung, hal.1
58
Ibid ,hal.6
59
Maria,S.W.Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit:
PT.Kompas Nusantara,Jakarta, 2008, hal.204.


Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah, dan dalam Permendagri
No.5/1973 Tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah.
Dari sejumlah peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang hak
pengelolaan tadi, dapat disebutkan pihak-pihak yang digolongkan sebagai subjek
hukum pemegang Hak Pengelolaan, antara lain: Departemen, Lembaga Pemerintah
Non-Departemen, Direktorat, Daerah Swatantra, Jawatan Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, PT. Persero, Badan
Otorita, dan badan-badan hukum lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah. Hak
Pengelolaan tidak bisa diberikan kepada perorangan. Menurut Urip Santoso60 Hak
Pengelolaan dapat dikategorikan sebagai hak atas tanah yang bersifat “right to use”
tidak “right of dispossal”, yaitu pemegang hak pengelolaan hanya mempunyai hak
untuk menggunakan tanah untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya, tidak
mempunyai hak untuk mengalihkan hak pengelolaan kepada pihak lain. Arie Sukanti
Hutagalung & Markus Gunawan61 berpendapat bahwa Hak Pengelolaan bukan
merupakan salah satu hak atas tanah, namun hanya merupakan pelimpahan hak
menguasai dari negara berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Hak atas tanah mengandung kewenangan bagi pemegang haknya untuk
menggunakan dan mengambil manfaat dari suatu bidang tanah tertentu dan memberi
kewajiban kepadanya untuk tetap menjaga kelestariannya atau dipelihara sesuai
dengan tujuan pemberian haknya tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa tanah
60

Urip Santoso, Op.Cit,hal.177-178
Arie Sukanti Hutagalung & Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, Penerbit Rajawali Pers, 2008, hal 49.
61

dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedang hak atas tanah adalah hak
atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas,berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar.62Dalam UUPA telah ditentukan mengenai hierarki hak-hak
penguasaan atas tanah yang terdiri dari : (1) hak bangsa Indonesia atas tanah; (2) hak
menguasai negara atas tanah; (3) hak ulayat masyarakat hukum adat; dan (4) hak
perorangan atas tanah63

B.

Hak Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan

1.

Pengertian Hutan dan Kawasan Hutan
Dalam khasanah ilmu kehutanan di Indonesia pengertian hutan dibedakan

dengan kawasan hutan. Hal itu terlihat jelas dalam ketentuan yang termuat dalam
undang-undang kehutanan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Undang-undang kehutanan pertama setelah
kemerdekaan sebagai pengganti Bosch Ordonantie 1927) maupun Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (sebagai pengganti UU no. 5 Tahun 1967).
Definisi hutan menurut UU No. 5 Thn 1967 adalah “suatu lapangan bertumbuhan
pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati
beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan”.
Sedangkan kawasan hutan didefinsikan sebagai “wilayah-wilayah tertentu yang oleh
Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap”. Dalam Pasal 1 angka
(2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hutan dedefinisikan
62
63

Urip Santoso, Op.Cit.hal.75
Ibid .,hal 77

sebagai “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan”. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka (3)
pegertian kawasan hutan adalah “wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapakan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadannya sebagai hutan tetap”.
Pengertian hutan dalam rumusan kedua Undang-undang tersebut lebih
menekankan pada pengertian fisik dan ekologi hutan, yaitu berupa “lapangan
bertumbuhan

pohon-pohonan”

atau

“kesatuan

ekosistem…yang

didominasi

pepohonan”. Namun dalam rumusan UU Kehutanan terdapat penekanan bahwa
hamparan lahan yang didominasi pepohonan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan
persekutuan alam lingkungannya. Lahan atau tanah merupakan alam lingkungan yang
menjadi tempat bertumbuhnya pepohonan tersebut, sehingga rumusan pengertian
hutan dalam UU Kehutanan secara tersirat tidak memisahkan antara aspek hutan
(dominasi pepohonan) dengan tanah tempat tumbuhnya. Dari perspektif hukum
pertanahan, penyatuan aspek hutan dengan tanahnya mengandung suatu potensi
problematik. Pengertian „kawasan hutan‟ pada kedua Undang-undang tersebut
mengacu pada hal yang sama yaitu suatu wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Definisi kawasan hutan lebih mengacu
kepada aspek yuridis atau status hukum, sementara pengertian hutan

mengacu

kepada aspek fisik dan ekologis.
Jika ketentuan dalam bunyi Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan tersebut dijadikan
sebagai patokan untuk mengartikan kawasan hutan maka setiap wilayah yang

ditunjuk oleh pemerintah sebagai hutan baik terdapat atau tidak terdapat tumbuhan
pepohonan di dalamnya maka kawasan tersebut merupakan kawasan hutan. Dalam
kenyataannya, penerapan pasal ini dalam pengaturan kawasan hutan di Indonesia
selama ini telah menimbulkan permasalahan sengketa atau konflik di antara berbagai
pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya yang ada di dalam kawasan hutan,
terutama menyangkut situasi ketidakpastian hukum pemegang hak atas tanah di
kawasan hutan menurut pandangan pihak yang bersengketa. Penunjukan atau
penetapan suatu wilayah tetentu menjadi kawasan hutan oleh Pemerintah
menimbulkan komplain dari warga masyarakat yang merasa dirugikan hak-haknya,
karena dalam banyak kasus penetapan tersebut dilakukan mencakup suatu wilayah
atau areal yang dalam kenyataannya di lapangan tidak berupa hutan lagi, atau karena
wilayah yang ditetapkan mencakup areal yang terdapat hak penguasaan lain atas
tanahnya.
Persoalan yuridis tidak hanya terjadi dalam kaitan penetapan suatu kawasan
hutan oleh Pemerintah yang menimbulkan keberatan masyarakat seperti disebutkan di
atas. Penyatuan antara hutan (dominasi pepohonan) dengan tanahnya (tempat
pepohonan tersebut bertumbuh) sebagai persekutuan yang „tidak dapat dipisahkan‟
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka (2) UU Kehutanan mengandung
problematika yuridis, yaitu menyangkut apakah tanah yang ada di dalam kawasan
hutan tidak termasuk sebagai objek hukum pertanahan, sehingga persoalan-persoalan
sengketa tanah yang terjadi di suatu wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan hutan
harus diletakkan di luar kewenangan institusi Pemerintah yang mengurusi pertanahan.

Dengan kata lain, apakah semua permasalahan sengketa tanah yang berada di dalam
suatu kawasan hutan harus ditangani menurut UU Kehutanan dan Kementerian
Kehutanan yang memonopoli seluruh urusan menyangkut kawasan hutan.
Terkait dengan permasalahan yuridis tersebut, para ahli hukum tampaknya
memiliki pandangan yang berbeda-beda. Boedi Harsono64 mengatakan jika “ditinjau
dari sudut Hukum Tanah, tanah di atas mana ada tumbuh-tumbuhannya itu, biarpun
memenuhi unsur-unsur „hutan‟, penguasaannya diatur oleh Hukum Tanah.
Pengelolaannya ditugaskan kepada Menteri/ Departemen Kehutanan atas dasar Hak
Pengelolaan yang diperolehnya karena hukum menurut UU

Kehutanan”. Ia

mencontohkan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) tidak diwajibkan
mengajukan permohonan untuk memperoleh hak atas tanah yang berada di areal
HPH-nya jika tanah tersebut digunakan untuk usaha yang sesuai dengan pemberian
HPH yang bersangkutan, karena dengan diberikannya HPH, maka untuk
menggunakan tanah yang diperlukan dianggap telah diberikan kepada pengusaha
yang bersangkutan. Tetapi sebaliknya mengenai penggunaan tanah dalam areal HPH
yang tidak sesuai dengan pemberiannya, maka pengusaha wajib meminta hak atas
tanah kepada Menteri Agraria/Kepala BPN dengan mengikuti tatacara yang
ditetapkan dalam perundang-undangan agraria yang berlaku. Dengan demikian
pemberian hak atas tanah tersebut dilakukan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN
menurut ketentuan Hukum Tanah, sementara yang diberikan menurut Hukum
Kehutanan adalah Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Memungut Hasil Hutan.
64

Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 9

Di pihak lain ada ahli hukum yang berpandangan bahwa tanah di kawasan
hutan adalah objek hukum yang sekaligus menyatu dalam lingkup hukum kehutanan,
bukan sesuatu yang bisa dipisahkan satu sama lain.

Bambang Eko Supriyadi 65

misalnya tidak sependapat dengan ahli hukum yang mengatakan bahwa penguasaan
hutan

oleh

Kementerian

Kehutanan

hanya

terbatas

pada

penguasaan

pohonnya/tegakannya saja dan bukan pada tanahnya, sehingga apabila di tanah
kawasan hutan tegakannya/pohonnya sudah ditebang dan tanahnya beralih fungsi
menjadi tanah kosong, persawahan/tagalan, atau pemukiman, maka tanah tersebut
bukan hutan lagi dan statusnya kembali menjadi tanah Negara . Menurut Bambang
penguasaan tanah kawasan hutan oleh instansi kehutanan sudah berlangsung sejak
lama, yang bisa dibuktikan jika merunut kepada sejarah pengelolaan hutan sejak
zaman kolonial. Bahkan kewenangan instansi kehutanan untuk menguasai dan
mengelola tanah-tanah Negara yang ditetapkan sebagai kawasan hutan menurut
Bambang lebih diperkuat setelah kemerdekaan Indonesia, antara lain melalui
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara.
Selain itu, ketentuan Pasal 1 angka (2) UU Kehutanan disebutkan secara jelas juga
menyiratkan hal itu, karena pengertian kesatuan ekosistem berupa “hamparan lahan”
mengandung arti yang sama dengan “tanah”. Dengan demikian UU Kehutanan dinilai
sebagian ahli secara jelas menyiratkan hak atas tanah di dalam kawasan hutan
termasuk wilayah hukum kehutanan, bukan hukum pertanahan.

65

Bambang Eko Supriyadi, Op.Cit, hal. 79-87.

Perbedaan pandangan dan tafsiran atas ketentuan hukum berkaitan dengan
pemegang wewenang pengurusan hak atas tanah di dalam kawasan hutan tersebut
telah membawa implikasi kepada terjadinya kasus-kasus sengketa pertanahan. Adalah
suatu fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa sengketa tanah di kawasan hutan
semakin banyak seiring perkembangan zaman yang semakin didominasi oleh
kepentingan eksploitasi sumberdaya alam, termasuk hutan. Ditambah dengan
peningkatan pertumbuhan penduduk yang makin pesat mengakibatkan kebutuhan
akan lahan semakin bertambah. Perluasan pemukiman penduduk memaksa lahan
yang dulunya termasuk kawasan hutan dan ditumbuhi pepohonan telah menjadi
kawasan perumahan dan perkantoran. Didukung oleh berbagai faktor seperti adanya
pemekaran wilayah propinsi atau kabupaten yang kesemuanya pasti membutuhkan
perluasan lahan yang tidak sedikit untuk membangun berbagai fasislitas yang
dibutuhkan. Kemudian perkembangan areal-areal perkebunan oleh badan-badan
usaha makin meluas bahkan cenderung melampaui batas sampai pada tahap
perusakan hutan dan ekosistemnya yang berdampak sangat berbahaya bagi
kelangsungan mahluk hidup khususnya manusia. Kondisi demikian memicu
terjadinya saling klaim atas lahan di kawasan hutan antara pemerintah dan atau
pengusaha sebagai mitranya dengan masyarakat yang sudah hidup lama dan menetap
di kawasan hutan tersebut. Konflik seperti ini sudah berlangsung lama dan terjadi
hampir di setiap daerah di Indonesia.
Konflik tanah di kawasan hutan antara lain terjadi karena di satu sisi
masyarakat lokal sebagai pemilik hak penguasaan lahan di kawasan hutan berpegang

dan mendasarkan haknya kepada hukum adat dan hak ulayat66 sebagai aspek historis
kultural, sedangkan pihak pengusaha mendasarkan hak penguasaan kawasan hutan
yang dikelolanya pada aturan formal dengan izin yang sah dari Pemerintah, sehingga
masing-masing pihak memiliki dasar yang kuat untuk tetap mempertahankan hak
atas tanahnya. Pentingnya penguasaan tanah bagi seseorang atau sekelompok
masyarakat yang tinggal di kawasan hutan

dengan sendirinya akan mendorong

munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi
dari pihak luar, yang pada gilirannya menimbulkan konflik, baik konflik terbuka
maupun tersembunyi.67
Dalam banyak kasus sengketa agraria di kawasan hutan antara penduduk lokal
dengan badan usaha, peran dari institusi Negara sangat menentukan karena selama ini
dengan alasan yang dikedepankan adalah dalam rangka memajukan kepentingan
perekonomian nasional melalui sektor kehutanan, Negara cenderung lebih berpihak
kepada pengusaha yang memiliki izin pengusahaan hutan di satu pihak, dan
menyampingkan hak-hak masyarakat lokal di pihak lain. Keadaan yang demikian
berlaku terhadap hak perorangan dan hak-hak ulayat masyarakat adat. 68

66

Van Vollenhoven mengatakan bahwa hak ulayat merupakan hak komunitas secara
keseluruhan (persekutuan hidup atau masyarakat hukum adat) atas tanah-tanah yang diduduki, atas
pohon-pohon atau benda-benda yang berada dibawah maupun di atas permukaan tanah dalam suatu
wilayah yang dikuasainya, disebutnya dengan istilah “beschikkingrecht”, sedangkan masyarakat
hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai suatu
komunitas bersama dalam suatu persekutuan hukum karena kesamaan tingga ataupun atas dasar
keturunan /hubungan darah.
67
Endang Suhendar danYohana Budi Winarni, Op.Cit,hal.2
68
Ibid .,hal. 132

Dalam menyelesaikan konflik agraria yang berkepanjangan perlu kesadaran
dari semua warga untuk memahami sejauh mana kita mengetahui bahwa tanah
merupakan sumber daya alam yang sangant vital, yang melandasi semua aspek
kehidupan. Bukan hanya sekedar asset tetapi juga merupakan basis untuk meraih
kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik.69Hak seseorang atau kelompok atas suatu
luasan tanah akan terjamin kepastiannya jika memperoleh pengakuan secara utuh
baik dari masyarakat maupun pemegang kekuasaan.
2.

Pengukuhan Kawasan Hutan
Salah satu sumber konflik yang terjadi selama ini khususnya antara Pemerintah

dan swasta dengan masyarakat karena tidak jelasnya batas-batas kewenangan yang
dijadikan patokan oleh pihak-pihak tertentu dalam pengelolaan hutan dan
pengukuhan hutan.70 Kewenangan untuk pengukuhan kawasan hutan ini kemudian
diatur dalam UU Kehutanan yaitu mengenai pengukuhan dan penatagunaan kawasan
hutan. Pengukuhan kawasan hutan bertujuan memberikan kepastian hukum atas
kawasan hutan sesuai dengan ketentuan UU Kehutanan yang menyatakan bahwa
untuk memperoleh kepastian hukum atas suatu kawasan hutan harus melalui proses
pengukuhan.
Dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan disebutkan definisi kawasan hutan sebagai “wilayah tertentu yang
69

Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir , Penerbit:Insist Press,
KPA dan Pustaka Pelajar,Yogyakarta,2000,hal.85-87
70
Supriadi, Hukum Kehutanan,Hukum Perkebunan di Indonesia ,Sinar Grafika,Jakarta, 2010,
hal:50

ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadannya
sebagai hutan tetap”. Berdasarkan definisi itu, dapat diartikan bahwa suatu wilayah
dapat menjadi kawasan hutan hanya berdasarkan pada penunjukan saja, maupun
melalui penunjukan dan penetapan, mengingat di dalamnya ada frasa “dan/atau”.
Dalam Pasal 14 UU Kehutanan disebutkan bahwa Pemerintah menyelenggarakan
pengukuhan kawasan hutan yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas
kawasan hutan. Selanjutnya dalam Pasal 15 disebutkan bahwa pengukuhan kawasan
hutan harus dilakukan melalui proses sebagai berikut: (a) penunjukan kawasan hutan;
(b) penataan batas kawasan hutan; (c) pemetaan kawasan hutan; dan (d) penetapan
kawasan hutan. Disebutkan juga dalam Pasal 15 ayat (2) bahwa pengukuhan kawasan
hutan dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 membedakan hutan berdasarkan
statusnya yang terdiri dari dua jenis yaitu hutan negara dan hutan hak.71 Hutan
negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya
kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap)72. Sementara hutan hak adalah
hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Selain itu, jika dilihat
dari fungsinya, pengurusan hutan menjadi salah satu poin yang penting yang diatur
dalam UU Kehutanan, dimana dalam Pasal 10 UU Kehutanan disebutkan pengurusan
itu meliputi beberapa kegiatan mulai dari perencanaan kehutanan, pengelolaan

71

Pasal 5 angka (1) UU Kehutanan
Ketentuan UU Kehutanan yang menyebut hutan adat sebagai hutan negara sudah diubah
dengan adanya Putusan MK 35/PUU-X/2012 yang menetapkan bahwa hutan adat bukan termasuk
hutan negara.
72

kehutanan, penelitian dan pengembangan pendidikan, serta penyuluhan dan
pengawasan. Dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa perencanaan kehutanan harus
dilaksanakan secara transparan, bertanggung gugat, partisipasi, terpadu, serta
memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.
Tujuan dari penyelenggaraan kehutanan sebagaimana diamanatkan dalam UU
Kehutanan adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan
berkelanjutan. Prinsip “Hak Menguasai Negara” di bidang kehutanan secara jelas
tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: “Semua hutan dalam wilayah
Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam menjalankan
penguasaan hutan oleh Negara dengan amanat menyelenggarakan kehutanan yang
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemerintah memiliki wewenang
berdasarkan Pasal 4 ayat (2) untuk:
a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan dan hasil hutan.
b. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan
hutan sebagai bukan kawasan hutan.
c. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan
hutan serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
C.

Uji Materi terhadap Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan
Penyelenggaraan kehutanan sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun Undang-undang kehutanan sebelumnya
telah menimbulkan banyak komplikasi di tengah masyarakat selama ini, yang antara
lain bersumber dari adanya bunyi pasal-pasal tertentu yang dinilai tidak bisa

memenuhi rasa keadilan warga negara yang merasa hak-haknya terabaikan berkaitan
dengan penguasaan tanah di kawasan hutan. Meskipun ada ketentuan dalam Undangundang yang dinilai tidak bisa memenuhi rasa keadilan warga, tapi tidak tersedia
ruang yang memungkinkan warga negara menyampaikan keberatan agar ketentuan
bisa diubah, kecuali berdasarkan kemauan politik dari DPR dan Pemerintah. Namun
ruang itu menjadi terbuka sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang salah
satu tugasnya adalah menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Maruarar Siahaan73 menyebutkan bahwa pengujian Undang-undang terhadap UUD
1945 (salah satu dari lima wewenang MK) merupakan tugas yang mendominasi
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang terlihat dari banyaknya jumlah permohonan
yang masuk dan terdaftar di kepaniteraan MK.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan salah satu
Undang-undang yang lahir pada awal reformasi, yaitu era demokratisasi, keterbukaan
dan penguatan partisipasi rakyat dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Namun
dalam kenyataannya UU Kehutanan ini termasuk salah satu Undang-undang produk
reformasi yang banyak dipersoalkan oleh banyak pihak dan dimohon-ujimaterikan ke
Mahkamah Konstitusi. UU Kehutanan ini dinilai belum bisa memenuhi harapan
masyarakat baik secara individu maupun kelompok khususnya masyarakat yang ada
di dalam dan sekitar kawasan hutan. Permohonan uji materi terhadap UU Kehutanan
73

Maruarar Siahaan , Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Indonesia , Sinar Grafika,Jakarta,
2012, hal 14

menyangkut bunyi pasal-pasal yang dimuat di dalam Undang-undang tersebut.
Permohonan uji materi UU Kehutanan dilakukan oleh beragam pihak mulai dari
Pemerintah Daerah, kelompok masyarakat, perseorangan maupun LSM.
Sampai dengan tahun 2014 tercatat sudah ada delapan permohonan uji materi
terhadap UU Kehutanan tersebut. Yance Arizona74 menyebutkan setidaknya terdapat
dua alasan mengapa Undang-undang Kehutanan termasuk Undang-undang yang
paling banyak dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi. Pertama, UU Kehutanan
dibentuk sebelum dilakukan empat kali amandemen UUD 45 (1999- 2003), sehingga
dapat dipahami jika Undang-undang yang dibentuk sebelum amandemen banyak
memiliki ketidak sesuaian dengan norma konstitusi baru hasil amandemen. Kedua,
UU Kehutanan disahkan dalam suasana yang tergesa-gesa sehingga Undang-undang
ini sebenarnya produk hukum yang sepenuhnya belum jadi. Selain itu, UU Kehutanan
ini sebenarnya masih mempertahankan asumsi-asumsi dan konsep kehutanan yang
lama meskipun berupaya mengadopsi perkembangan-perkembangan baru secara
terbatas.
Dari (8) delapan perkara pengujian UU Kehutanan, nampak bahwa pihak yang
paling banyak tampil di MK adalah individu masyarakat. Terdapat 81 orang
perseorangan warga negara yang menjadi pemohon dalam pengujian UU Kehutanan,
12 pemohon merupakan LSM, 2 pemohon merupakan masyarakat hukum adat, 6
pemohon pengusaha dan 6 pemohon adalah kepala daerah. Pengujian UU Kehutanan

74

Yance Arizona, Op.Cit

juga merupakan pengujian Undang-undang yang kualifikasi pemohonnya paling
beragam, oleh karena permohonan pengujian UU Kehutanan diajukan mulai dari
individu warga negara yang berprofesi sebagai petani, LSM, kesatuan masyarakat
hukum adat, pengusaha sampai dengan kepala daerah.75 Dari delapan permohonan uji
materi tersebut, hanya tiga kasus yang diterima dan dikabulkan seluruhnya atau
sebagian oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan sisanya tidak diterima. Tiga putusan
Mahkamah Konstitusi yang dikabulkan adalah sebagai berikut:
1. Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011 tentang konstitusionalitas definisi
kawasan hutan yang dimohonkan oleh 5 (lima) Bupati di Propinsi
Kalimantan Tengah. Pokok permohonan adalah uji materi terhadap pasal 1
angka (3) UU Kehutanan
2. Putusan MK Nomor 34/PUU-IX/2011 tentang konstitusionalitas penguasaan
hutan oleh Negara yang dimohonkan oleh perseorangan. Pokok permohonan
adalah uji materi terhadap pasal 4 angka (3) UU Kehutanan
3. Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tentang konstitusionalitas definisi
hutan adat yang dimohonkan oleh Aliansi Masyarakat Hukum Adat. Pokok
permohonan adalah uji materi terhadap pasal 1 angka (6) UU Kehutanan

1.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi terkait Uji Materiil
Uji materiil (Yudicial Review) adalah suatu hak atau kewenangan yang dimiliki

oleh lembaga yudikatif untuk melakukan pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu

75

Yance Arizona, Ibid

peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Faturrohman mengatakan
bahwa Uji Materiil merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap
produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Pemberian kewenangan kepada hakim untuk melakukan uji materiil
merupakan penerapan prinsip Checks and Balances yang menjadi salah satu pokok
pikiran dalam UUD 1945 pasca amandemen.76
Hak uji materiil ini dibedakan atas dua macam yaitu, (1) uji materiil atas
Undang-undang terhadap UUD yang kewenangannya diberikan kepada Mahkamah
Konstitusi, (2) uji materiil atas peraturan perundang-undangan yang tingkatannya
lebih rendah dari Undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi yang kewenangannya diberikan kepada Mahkamah Agung.
Sebelum amandemen UUD 1945 hak menguji Undang-undang terhadap UUD
tidak jelas pengaturan hukumnya, sehingga terjadi kekosongan hukum tentang hak uji
konstitusionalitas Undang-undang terhadap UUD, padahal dalam prakteknya banyak
dijumpai substansi suatu Undang-undang bertentangan dengan UUD yang
mengakibatkan kerugian konstitusional bagi warga masyarakat. Menurut Jimly
Asshiddiqie77, dalam rangka amandemen UUD tersebut Negara mengadopsi prinsipprinsip baru dalam ketatanegaraan antara lain prinsip pemisahan kekuasaan, yang
76

Faturrohman, Memahami keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia , Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004,hal 34
77
Jimly Asshiddiqie, Workshop tentang Koordinasi, Konsultasi, Evaluasi, Implementasi MOU
Helsinki dan UU No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh serta Penyelenggaraan Pemilukada
Aceh 2011 yang Aman, Tertib dan Damai, di Jakarta, Kamis 8 Desember 2011.

dipertegas dengan diaturnya mekanisme penegakan hukum dimulai dari penegakan
konstitusi sebagai hukum tertinggi. Amandemen UUD 1945 merupakan dasar hukum
pembentukan Mahkamah Konstitusi yaitu dalam Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan
bahwa “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.” Lahirnya Mahkamah Konstitusi ini dilatarbelakangi adanya kehendak
untuk membangun pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances
diantara lembaga-lembaga negara, serta menjamin dan melindungi hak-hak azasi
manusia.78
Ada dua macam hak menguji yaitu: (1) Hak menguji formal (formale
toetsingrecht) dan hak menguji materiil (materiele toetsingrecht). Hak menguji

formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif dibuat dengan
cara-cara prosedur sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku. Hak
uji materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan
perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht ) berhak
mengeluarkan sustu peraturan tertentu.79Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan
pengujian formal maupun pengujian materiil. Pengujian secara materiil berkenaan

78

Irianti A.Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi:Telaah
Terhadap
Kewenangan
Mahkamah
Konstitusi ,Penerbit
PT.Alumni,Bandung,2008,hal ix
79
Sri Soemantri, Hak Uji Materil di Indonesia, Penerbit PT.Alumni,Bandung 1996,hal.8

dengan materi muatan dari Undang-undang yang menyangkut bunyi pasal, ayat dan
atau bagian Undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dapat
dimintakan untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.80
Dalam kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan
hak menguji materiil Undang-undang terhadap UUD didasarkan pada Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945, yaitu “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang
terhadap UUD…”. Pengaturan yang sama juga terdapat dalam pasal 29 ayat (1) UU
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman, dan Pasal 10 ayat (1) UU
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Yang diuji materiil atas suatu
Undang-undang bisa terhadap satu bab, pasal atau kalimat dalam Undang-undang
tersebut. Jika permohonan dikabulkan, putusan MK menyatakan bahwa substansi
Undang-undang bertentangan dengan UUD 1945.

2.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/ 2011
Putusan Hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara

yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan (uitspraak) bertujuan
untuk mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara antar para pihak.81Putusan
Mahkamah

Konstitusi

Nomor

45/PUU-IX/2011

diputuskan

dalam

Rapat

Permusyawaratan Hakim Majelis Hakim Konstitusi pada tanggal 9 Februari 2012,
dan dibacakan pada Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum
80
81

Ibid , hal 20
Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2004

pada tanggal 21 Februari 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi ini yang mengadili
perkara dengan registrasi Nomor 45/PUU-IX/2011 yang terdaftar di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi pada 22 Agustus 2011, yang dimohonkan oleh para pemohon
yang terdiri dari:
1. Pemerintah Kabupaten Kapuas yang diwakili oleh Ir. H. Muhammad

Mawardi, MM, Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, sebagai Pemohon I
2. Drs. Hambit Bintih, MM, Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, sebagai

Pemohon II
3. Drs. Duwel Rawing,MM, Bupati Katingan, Kalimantan Tengah, sebagai

Pemohon III,
4. Drs. Zain Alkim, Bupati Barito Timur, Kalimantan Tengah,disebut sebagai

Pemohon IV
5. H. Ahmad Dirman, Bupati Sukamara, Kalimantan Tengah,disebut sebagai

Pemohon V
6. Drs.Ahmad

Taufik

MPd,

wiraswasta,

bertempat

tinggal

di

Palangkaraya,sebagai Pemohon VI
Para pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 1 angka (3) Undangundang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi: “Kawasan hutan
adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannnya sebagai hutan tetap” [cetak miring oleh penulis].
Permohonan uji materi diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan bahwa hak

dan atau kewenangan konstitusional pemohon maupun masyarakat Kabupaten
Kapuas telah dirugikan dengan ketentuan Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan.

2.1.

Kedudukan hukum (Legal Standing) dan alasan permohonan Uji Materiil
Kedudukan hukum atau legal standing adalah kemampuan subjek hukum

untuk

memenuhi

persyaratan

menurut

Undang-undang

dalam

mengajukan

permohonan perkara konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi.82Mahkamah Konstitusi
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman memiliki beberapa kewenangan,
salah satunya adalah kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD194583
Para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara ke
Mahkamah Konstitusi karena tergolong sebagai “pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang”
sesuai Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi84. Berdasarkan pasal
tersebut, Pemohon I selaku Kepala Daerah mewakili Pemerintah Daerah Kabupaten
Kapuas mempunyai kapasitas sebagai lembaga negara untuk bertindak sebagai
Pemohon mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan 85. Sementara itu,
Pemohon II-VI adalah perorangan warga negara Indonesia. Dalam pertimbangannya
82

Jimly Asshiddqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang , Sekretariat Jenderal
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,Jakarta 2005,hal.68
83
Ibid,hal.17
84
Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa pihak-pihak yang dapat
menjadi pemohon uji materi meliputi: (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (c) badan hukum publik atau privat,
atau (d) lembaga negara. Sedangkan yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang
diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
85
Tugas dan wewenang kepala daerah untuk mewakili daerahnya di dalam dan di luar
pengadilan diatur dalam Pasal 25 huruf f UU No. 32 Thn 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pemohon I memenuhi
kualifikasi sebagai

Lembaga Negara dan Pemohon II-VI memenuhi kualifikasi

sebagai perorangan.
Terkait kerugian konstitusional pemohon Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
karena berlakunya Undang-undang.86
Dari uraian dalam Putusan MK 45/PUU-IX/2011 pada bagian Kerugian
Konstitusional Pemohon I selaku Pemerintah Daerah (Poin 2.3.)87 dapat diringkas
beberapa kerugian konstitusional yang menjadi alasan dimohonkannya uji materi
Pasal 1 angka (3), yang ringkasannya sebagai berikut:
a. Hak dan atau kewenangan konstitusional Pemohon I maupun masyarakat
Kabupaten Kapuas telah dirugikan dengan ketentuan Pasal 1 angka (3) UU
Kehutanan yang menyatakan : “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang
ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap”. Dengan adanya frasa “ditunjuk dan atau
ditetapkan” tersebut, maka penunjukan kawasan hutan telah ditafsirkan
secara keliru oleh Pemerintah Pusat yang menganggap bahwa penunjukan
mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan penetapan kawasan hutan
serta mempunyai kekuatan hukum yang pasti, padahal menurut Pasal 15 ayat
(1) UU Kehutanan menyatakan “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses sebagai berikut: (a)
Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa „kerugian konstitusional‟ sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi lima syarat, yaitu :
(1) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (2) hak
dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya
Undang-undang yang dimohonkan pengujian; (3) kerugian tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi; (4) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya
Undang-undang yang dimohonkan pengujian; (5) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
87
Lihat Putusan MK 45/2011, hal.22-27
86

penunjukan kawasan hutan; (b) penataan batas kawasan hutan; (c) pemetaan
kawasan hutan; dan (d) penetapan kawasan hutan”. Pada ayat (2) disebutkan
“Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah”. Dengan demikian,
seharusnya status suatu kawasan hutan baru mempunyai kepastian hukum
ketika sudah melalui proses pengukuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 15
ayat (1) UU Kehutanan. Pada faktanya, terdapat beberapa Keputusan dan
Peraturan yang menyatakan bahwa penunjukan sama dengan penetapan
kawasan hutan88.
b. Akibat penafsiran Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan oleh Pemerintah, seluruh
wilayah Kabupaten Kapuas dimasukkan kedalam kawasan hutan, maka
Pemohon I tidak bisa melaksanakan kewenangan otonomi seluas-luasnya
khususnya dalam memberikan perizinan usaha yang baru dan perpanjangan
izin lama terkait usaha perkebunan, pertambangan, peternakan dan
sebagainya. Hal itu terkait dengan Penunjukan Areal Hutan di Wilayah
Provinsi Kalimantan Tengah yang sudah pernah diterbitkan berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/Kpts/Um/10/1982 tertanggal 12
Oktober 1982, seluas 15.300.000 hektar yang di dalamnya menunjuk
wilayah hutan di Kabupaten Kapuas. Surat Edaran Menteri Kehutanan No.
404/Menhut-II/03 tanggal 10 Juli 2003 menyatakan bagi provinsi yang
belum ada Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kembali
atas kawasan hutan yang didasarkan pada hasil pemaduserasian antara
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK), maka kawasan hutan pada provinsi tersebut mengacu
dan berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan tentang TGHK. Karena
Provinsi Kalimantan Tengah belum memiliki padu serasi antara RTRWP
dengan TGHK, maka yang digunakan adalah TGHK yang mengacu kepada
Kepmentan Nomor 759 Thn 1982 tadi. Padahal menurut pemohon lokasilokasi di Kabupaten Kapuas secara faktual bukan berupa hutan, namun
dinyatakan sebagai kawasan hutan akibat adanya ketentuan Pasal 1 angka (3)
UU Kehutanan. Aset-aset daerah Pemohon I maupun fasilitas lainnya berada
di kawasan hutan.Dengan kenyataan seluruh wilayah Kabupaten Kapuas
termasuk kedalam kawasan hutan berdasarkan Kepmentan Nomor 759 Thn
1982 itu, Pemohon I mendapat ancaman kriminalisasi oleh aparat penegak
88

Pemohon menunjukkan contoh: (i) Surat Menteri Kehutanan No. S.426/Menhut-VIII/2006 tgl
12 Juli 2006 perihal Penjelasan Menteri Kehutanan tentang Status Kawasan Hutan yang Ditujukan
kepada Kapolri, dengan tembusan kepada Presiden, Wakil Presiden, Menkum HAM, Meneg LH, Jaksa
Agung dan Eselon I lingkup Dephut; (ii) Peraturan Menteri Kehutanan No. P.50/Menhut-II/2009
tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan; yang dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan:
“Kawasan hutan telah mempunyai kekuatan hukum apabila: (a) telah ditunjuk dengan keputusan
Menteri, atau (b) telah ditata batas oleh Panitia Tata Batas, atau (c) Berita Acara Tata Batas Kawasan
Hutan telah disahkan oleh Menteri, atau (d) Kawasan Hutan telah ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.

hukum dan Kementerian Kehutanan karena dianggap memberikan izin baru
atau perpanjangan izin lama di areal yang dianggap sudah masuk kawasan
hutan. Karena itu, Pemohon I beserta seluruh penduduk Kapuas dapat
dipidana berdasarkan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b jo. Pasal 78 ayat (2) UU
Kehutanan.
c. Pemohon I selaku Pemerintah Daerah tidak bisa melaksanakan kewenangan
otonomi seluas-luasnya, padahal Kabupaten Kapuas telah menjadi daerah
otonom sejak 1953, dan pemohon mempunyai hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2),
Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 28D ayat
(1) Undang-Undang Dasar 194589. Dalam Pasal 28D ayat (1) dinyatakan
bahwa:”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Di sisi lain, berdasarkan Pasal 27 ayat (1) huruf b dan c Undang-undang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa: “Kepala Daerah mempunyai
kewajiban meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memelihara
ketenteraman dan ketertiban masyarakat”. Namun, dengan penafsiran Pasal 1
angka (3) UU Kehutanan tersebut di atas, maka Pemohon I tidak
mendapatkan jaminan kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya.
Sementara itu, dengan bunyi pasal 1 angka (3) tersebut kerugian konstitusional
Pemohon II-VI selaku perorangan warga negara dapat diringkaskan sebagai berikut:
a. Pemohon II, III, IV dan V adalah warga negara yang memiliki hak-hak
konstitusional yang dijamin oleh konstitusi negara untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam
naungan Negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun pada saat mengajukan permohonan,
Pemohon secara pribadi yang pekerjaannya sebagai Bupati di wilayahnya
masing-masing diancam pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
50 juncto Pasal 78 UU Kehutanan karena memberikan izin baru atau
memperpanjang izin yang ada sebelumnya di dalam kawasan

89

Pasal 1 (3) berbunyi, Negara Indonesia adalah negara hukum.
Pasal 18 ayat (2), Pemerintahan daerah propinsi,daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas perbantuan.
Pasal 18 ayat (5), Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai sebagai urusan pemerintahan pusat.
Pasal 18 ayat (6),Pemerintah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan
Pasal 18A ayat (2), Hubungan keuangan,pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya ala

Dokumen yang terkait

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

Kepastian Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Di Kawasan Hutan (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45 Puu-Ix 2011 Dihubungkan Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 47 P Hum 2011)

0 0 18

Kepastian Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Di Kawasan Hutan (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45 Puu-Ix 2011 Dihubungkan Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 47 P Hum 2011)

0 0 2

Kepastian Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Di Kawasan Hutan (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45 Puu-Ix 2011 Dihubungkan Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 47 P Hum 2011)

1 1 30

Kepastian Hukum Pemegang Hak Atas Tanah Di Kawasan Hutan (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45 Puu-Ix 2011 Dihubungkan Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 47 P Hum 2011)

0 0 6