TUGAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

TUGAS
HUKUM PERATURAN PERIKANAN DAN KELAUTAN
“Peran Hukum Peraturan Perikanan dan Kelautan tentang
Penanganan Degradasi Kawasan Pesisir dan Lautan”
Oleh:
Ulul Azmiatul Mutoharoh (115080601111038)
M. Saiful Alim (115080601111043)

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

Gambaran Umum
Wilayah pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai potensi alam yang
besar, namun juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.
Dalam banyak kasus permasalahan yang menyangkut pemanfaatan ruang pesisir adalah hasil
aktivitas manusia. Permasalahan yang timbul terutama kerusakan lingkungan pesisir, merupakan
permasalahan yang bersifat eksternalitas, artinya pihak yang menimbulkan kerusakan lingkungan

tidak berada di dalam lingkungan masyarakat yang terkena dampak, tetapi berada di luar
kelompok masyarakat itu. Secara umum kawasan pesisir mempunyai tiga (3) fungsi sebagai
berikut :
1. Zona Pemanfaatan, yaitu sebagai kawasan yang dapat dieksploitasi
2. Zona Preservasi, yaitu wilayah yang tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan apapun,
kecuali untuk kegiatan penelitian;
3. Zona Konservasi, yaitu kawasan yang dipergunakan untuk implementasi konsep
pembangunan berkelanjutan, sehingga pemanfaatannya tidak boleh melebihi daya
dukung lingkungan, atau kalau ada kerusakan lingkungan harus segera dipulihkan.
Wilayah pesisir merupakan daerah yang penting tetapi rentan (vulnarable) terhadap
gangguan. Karena rentan terhadap gangguan, wilayah ini mudah berubah baik dalam skala
temporal maupun spasial. Perubahan di wilayah pesisir dipicu karena adanya beerbagai kegiatan
seperti industri, perumahan, transportasi, pelabuhan, budidaya tambak, pertanian, pariwisata.
Untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan diatas, di berbagai tempat diperlukan reklamasi.
Disamping itu, wilayah pesisir sangat dipengaruhi oleh aktivitas di hulu yang menimbulkan
sedimentasi dan pencemaran.
Sejak tahun 1982, berdasarkan hukum laut internasional (Uniteds Nation Convention on
the Law of The Sea,UNCLOS), luas lautan Indonesia mencapai 5,8 juta kilometer persegi
termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 kilometer persegi. Aset tersebut belum
termanfaatkan secara optimal, terbukti share ekonomi kelautan (data 1992) hanya 24 persen

PDB. Di negara-negara yang asetnya lebih kecil, seperti Inggris, Jepang, Taiwan, dan Denmark,
sektor kelautannya menyumbang lebih dari 40 persen PDB. Dari data tersebut, berapa potensi
kelautan kita yang tidak termanfaatkan dari tahun ke tahun, yang harusnya bisa mensejahterakan

masyarakat kita terutama masyarakat pesisir yang terindikasi sebagai masyarakat pinggiran dan
miskin.
Perbedaan pemahaman pengaturan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut di
Indonesia memunculkan banyak konflik diantara para pengguna wilayah tersebut dan daerahdaerah kabupaten/kota yang berbatasan. Kemajemukan peraturan perundangan undangan sangat
potensial menimbulkan terjadinya konflik norma. Upaya melakukan integrasi terhadap
pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir adalah melalui sinkronisasi pengaturan perundanganundangan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Krisis Perikanan
Peneliti internasional memperkirakan pada 2048 akan terjadi kehancuran perikanan
global21. Meski penelitian ini menuai kritik dari peneliti lainnya, ancaman kelangkaan perikanan
adalah hal yang harus menjadi perhatian seluruh umat manusia. Produksi tangkapan ikan laut
dunia kini terkena dampak buruk penangkapan ikan berlebih, yang mencapai puncaknya pada
199622. Pada 2011 produksi global hanya mencapai 78,9 juta ton, lebih rendah di bawah angka
produksi 2007, 80,4 juta ton
Beberapa wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia sudah menghadapi gejala
eksploitasi ikan berlebihan (overfishing) untuk beberapa kelompok komoditas penting, seperti
pelagis besar, pelagis kecil, udang, dan ikan demersal. Ironisnya, nelayan kecil yang merasakan

dampak dari ancaman kelangkaan perikanan tersebut. Betapa tidak, mereka harus mengeluarkan
biaya lebih besar untuk komponen BBM (bahan bakar minyak), karena lokasi penangkapan ikan
(fishing ground) yang semakin menjauh.
Ancaman lainnya adalah pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Aktivitas pertambangan mulai dari penggalian hingga pengolahan mengakibatkan kerusakan dan
pencemaran terhadap ekosistem pesisir dan sumberdaya hayati di sekitarnya.
Dalam rangka mengelola perikanan, pada 3 Agustus 2011 dikeluarkan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor Kep. 45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi
Sumberdaya Ikan di WPP-NRI. Keputusan ini memperkirakan potensi ikan sebesar 6.520.100
ton/tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2011 mencapai 5.345,729 ton.
Dengan demikian, data menunjukkan produksi tangkapan laut sudah menembus angka
82%, melebihi pemanfaatan optimal yang disyarat kan (maximum sustainable yield/MSY) 80%.

Hal ini diperparah dengan angka kegiatan ilegal, tak dilaporkan dan tak diatur (Illegal,
Unreported dan Unregulated Fishing - IUU Fishing) yang diperkirakan mencapai 4.326 kapal
baik lokal maupun asing. Menurut sumber pemerintah, potensi ikan Indonesia yang dicuri
sebesar 25%29, sehingga produksi menembus angka 107%.
Kelangkaan ikan membawa dampak besar bagi nelayan kecil. Menurut UU No.45 tahun
2004, nelayan kecil adalah yang menggunakan kapal penangkap ikan hingga lima gross ton (GT)
dan menggantungkan penghidupan sehari-hari kepada ikan. Pada 2011, jumlah kapal penangkap

ikan kecil berjumlah 520.472 unit atau 89,45% dari total kapal penangkap ikan di Indonesia.
Dengan kata lain, kapal penangkap ikan nasional didominasi oleh kapal penangkap ikan skala
kecil yang hanya mampu melakukan aktivitas penangkapan di sekitar perairan pantai sejauh 12
mil laut.

Kapal Perikanan Ikan Indonesia
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada 2011 jumlah kapal ikan
sebanyak 581.845 unit, dimana tiga pulau dengan jumlah unit tertinggi adalah Sulawesi,
Sumatera dan Jawa, yaitu 1.001.667 unit. Sementara tiga besar alat tangkap mencapai 75% dari
total alat tangkap, antara lain 40% pancing, 28% jaring insang, dan 7% pukat kantong. Alat
tangkap skala besar termasuk 32.040 pukat kantong (purse seine), 18.451 pukat tarik dan 10.125
tali pancing tuna panjang (tuna long line).
Overfishing pada dasarnya adalah terlalu banyak kapal yang menangkap ikan yang terlalu
sedikit. Juga mempertimbangkan tipe alat penangkap, kawasan penangkapan dan pelanggaran
aturan-aturan perikanan. Indonesia telah menentukan estimasi potensi untuk setiap wilayah
pengelolaan perikanan (WPP). Ini menjadi referensi untuk menentukan acuan penangkapan yang
diperbolehkan.
Mayoritas alat tangkap berada di Sulawesi dan Maluku-Papua. Jaring insang digunakan
di semua area. Meskipun alat tangkap skala besar hanya 10%, namun keberadaannya tidak dapat
di nafikan terkait timbulnya overfishing Semakin besar alat tangkap, semakin besar volume

tangkapan.
Konflik antara kapal ikan skala kecil dan skala besar menjadi masalah umum di Asia
Tenggara, termasuk di Indonesia. 67% kapal pukat beroperasi di Sumatera, sementara 55% pukat
kantong di Jawa. Lebih dari setengah kapal pukat kantong 52%-nya berada di Jawa. Tiga besar

daerah dengan alat tangkap tuna long line adalah Jawa, Sumatra dan Papua - Maluku. Jumlah
alat tangkap merupakan indikasi tingkat ekstraksi sumberdaya ikan.

Penangkapan ikan ilegal, tak terlaporkan dan tak diatur (IUU Fishing)
Indonesia menghadapi masalah IUU Fishing yang menimbulkan gejala overfishing.
Pelaku utama IUU Fishing di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
antara lain berasal dari Malaysia, Vietnam, China, Myanmar, Thailand, dan Filipina. Meski
patroli rutin dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan, IUU Fishing masih marak di

Indonesia. Data kapal yang diperiksa mencapai 4.326 unit, baik dalam maupun luar negeri. Dari
kapal yang tertangkap itu, hanya puluhan kapal yang berhasil masuk pengadilan. Asal pelaku
pelanggaran, yaitu Indonesia (317 orang), Malaysia (10 orang), Vietnam (407 orang), Thailand
(270 orang), Filipina (266 orang), Laos (1 orang), Kamboja (1 orang), Myanmar (56 orang), dan
China (1 orang).
Makna yang tersirat dari terjadinya illegal fishing serta kerugian akibat izin operasi

penangkapan ikan yang sebagian besar kapal asing itu adalah, bahwa betapa lemahnya
pengawasan dan penegakkan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan potensi Perikanan
Indonesia. Disisi lain tidak tersedianya pengaturan hukum yang responsive bagi pendayaan
gunaan modal dalam negeri, sehingga izin operasi pengkapan ikan tidak dimiliki kapal asing.
Karena itu, jika pemerintah menempatkan pencapai produksi perikanan sebesar 6.13 juta ton
pada tahun 2003 untuk mencapai devisa dari eksport hasil perikanan sebesar $ 3,2 milyar, serta
penyerapan tenaga kerja perikanan sebanyak 548 ribu orang, ia tentulah sebatas pencapai target
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara. Upaya ekspolitasi sumberdaya perikanan yang
apabila diamati kecenderungan akan meningkat dari tahun ke tahun, maka hal yang harus
dihindarkan kehancuran sumber daya perikanan sebagaimana halnya yang terjadi dengan sumber
daya dataran yang dulunya juga dipacu dan dieksploitasi habis-habisan. Jadi yang perlu
dilakukan adalah bagaimana penyedian suatu perangkat hukum dan pemberdayaan pengawasan
dan penegakkan hukum dalam pemanfataan sumber daya perikanan sehingga pencurian ikan,
penyalahgunaan izin penagkapan, penggunaan alat tangkap yang dilarang dapat diminimalisasi.
Dan pencapaian produksi perikanan Indonesia baru berarti apabila target produksi itu berjalan
seiring dengan minimalisasi pencurian ikan dan penyalahgunaan izin penagkapan. Pencapai
target produksi perikanan Indonesia hanya memperperat kehancuran sumber daya perikanan,
apabila pencurian ikan dan penyalagunaan izin penagkapan dan penggunaan alat tangkap yang
dilarang, serta izin operasional tetap lebih dominan dipegang kapal asing.
Artinya penting pengaturan hukum dalam pemanfaatan potensi perikanan Indonesia itu

dapat dikemukan sebagai satu contoh, bahwa pemicu lebih banyaknya kapal asing yang
memegang izin operasional penangkapan ikan di Indonesia bermula dari pengaturan hukum,
yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumberdaya hayati di
ZEEI. Perturan Pemerintah tersebut memberikan kesempatan kepada orang atau badan hukum
asing untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI (Pasal 2 dan 3 PP No.15 Tahun 1984).

Dampak dari ketentuan yang memberikan kesempatan kepada orang atau badan hukum asing
untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI. Bila sebelum diundangkannya dan atau setelah dua
tahun PP No.15 Tahun 1984 jumlah kapal nasional lebih banyak dibanding kapal perikanan
asing, namun setelah itu terjadi lonjakan yang luar biasa kapal asing yang beroperasi di wilayah
perikanan Indonesia.
Empat tahun setelah PP No.15 tahun 1984 diundangkan, jumlah kapal asing yang
beroperasi di Wilayah Perikanan Indonesia jumlahnya mencapai 992 buah yang pada tahun 1986
hanya berjumlah 323 buah. Fakta dari meningkatkan tajamnya jumlah kapal asing tersebut
sebagai dampak dari diundangkannya PP No.15 tahun 1984 hanyalah sekedar contoh soal, betapa
pentingnya factor pembentukan hukum dalam bidang perikanan. Arti penting pembentukan dan
pengaturan hukum itu makin sukar dipungkiri apabila diperhatikan beberapa factor secara umum
yang mendorong terjadinya pemanfaatan tidak sah atas sumber daya ikan di Wilayah ZEEI
sebagaimana dikemukakan Muhamad Sabri (2002) sebagai berikut;
Pertama, adanya kekosongan armada penangkapan di beberapa kawasan Indonesia,

misalnya di Laut Arafura, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi dan Laut Pasifik. Kedua, law
enforcement yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketiga, tidak lancarnya investasi akibat
krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan sehingga menimbulkan iklim ketidak pastian
dalam berusaha akibatnya hanya sedikit kapal-kapal yang beroperasi di ZEEI. Keempat, kondisi
geografi perairan Indonesia yang memungkinkan terjadinya pencurian ikan tanpa mudah
dideteksi (hit and run).
Pentingnya Hukum Peraturan dan Kelautan
Sumberdaya Kelautan memiliki potensi yang besar untuk pengembangan ekonomi
nasional menyongsong abad 21, namun demikian pemanfaatannya harus dilaksanakan secara
hati-hati agar tidak terjadi kerusakkan ekosistemnya seperti yang terjadi pada

sumberdaya

daratan. Dalam rangka menjadikan bidang kelautan sebagai sektor unggulan

dalam

memperkokoh perekonomian nasional, maka diperlukan suatu formulasi kebijakan kelautan
(ocean policy) yang integral dan komprehensif yang nantinya menjadi payung politik bagi
semua institusi negara yang memperkuat pembangunan perekomian kelautan (ocean economy).

Pengembangan formulasi kebijakan tersebut tidak terlepas dengan sejarah kemajuan
peradaban bangsa Indonesia yang dibangun dari kehidupan masyarakat yang sangat tergantung

dengan sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian dari era kemerdekaan sampai dengan
saat ini belum ada kebijakan mengelola sumberdaya kelautan secara terpadu dibawah satu
koordinasi lembaga Negara yang

sinergis. Diketahui bahwa fokus pernbangunan bidang

kelautan cukup luas yaitu terdiri dari berbagai sektor ekonomi. Namun selama ini pembangunan
yang memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan tidak dilakukan oleh satu koordinasi lembaga
negara tetapi dilakukan secara parsial oleh beberapa lembaga negara seperti departemen
pertahanan,

dalam negeri, luar negeri, perhubungan, energi, pariwisata, industri dan

perdagangan, lingkungan hidup, kelautan dan Perikanan. Departemen tersebut hanya
bertanggungjawab pada masing-masing sektor tersebut, dengan demikian menjadi agak rancu
bila memahami tolok ukur pembangunan kelautan hanya dilihat dan kinerja perdepartemen
seperti dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan. Sebab, lingkup bidang kelautan

terkait dengan berbagai departemen/kementerian seperti depertemen energi dan sumberdaya
mineral, perhubungan, pariwisata, kimpraswill, diknas, hankam,

kelautan dan Perikanan,

koperasi dan UKM, TNI AL POLRI, lingkungan hidup, kesehatan, ristek, perindustrian dan
perdagangan, keuangan, BI, tenaga kerja dan transmigrasi. kehakiman, kejaksaan serta institusi
terkait lainnya di tingkat pusat maupun daerah.
Oleh karenanya bidang kelautan bukanlah merupakan sektor tetapi merupakan main
sector yang terdiri dari berbagai sektor ekonomi seperti pertambangan, perhubungan, pariwisata.
industri dan perdagangan, lingkungan serta perikanan. Sementara Departemen Kelautan dan
Perikanan yang ada selama ini secara riil tugas utamanya adalah menangani sektor perikanan.
Bila melihat kondisi kelautan yang terus menerus mengalami degradasi saat ini, maka
tanggungjawab pembangunan kelautan tidak bisa sepenuhnya dipikul oleh Departemen Kelautan
dan Perikanan. Sebab tolok ukur pembangunan kelautan harus dilihat dari kemajuan berbagai
sektor ekonomi yang memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan. Namun demikian
keberhasilan pembangunan kelautan sangat tergantung dengan keputusan politik; baik dari
eksekutif maupun legislatif dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan kelautan nasional.
Sebab peran serta tanggungjawab eksekutif


dan legislatif ini sangat menentukan arah dan

kapasitas pembangunan kelautan, Pembangunan kelautan memerlukan perhatian yang sangat
besar, mengingat biaya yang dibutuhkan dalam mengelola sumberdaya kelautan cukup besar
karena besarnya investasi awal yang belum dilakukan sebelumnya.

Sementara lingkup tanggungjawab legislatif adalah memberikan guideline hokum dalam
pembangunan kelautan. Perundang-undangan dibidang kelautan perlu disusun dan ditetapkan
sebagai jaminan yang akan memberi kepastian hukum dan akan menjadi rambu-rambu dalam
pengelolaan sumberdaya kelautan didukung dengan penegakan hukum (peran yudikatif) yang
konsisten. Dukungan legislatif terhadap eksekutif dalam menyusun kebijakan termasuk rencana
anggaran pembangunan yang terkait dengan

bidang kelautan sangat penting untuk

meningkatkan kapasitas pembangunan kelautan nasional.
Soal pengaturan hukum sesungguhnya sangat menentukan bagi pencapai tujuan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan secara lestari dan berkesinambungan di
wilayah perikanan Indonesia. Dan dilain pihak pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
perikanan Indonesia hanya akan mendatang kehancuran dan pemasalahan yang bedampak jangka
panjang bila tidak tersedia perangkat hukum yang responsive dan hanya sekedar mengejar target
produksi nasional demi mengejar devisa.

Daftar Pustaka
Arif, Ainul. SH. 2008. Pengaturan Hukum Dalam Mewujudkan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Yang Berbasis Masyarakat Di Kabupaten Rembang. Universitas Diponegoro.
Semarang
Greenpeace. 2013. Laut Indonesia dalam Krisis. Greenpeace Southeast Asia (Indonesia). Jakarta
Tamin, Boy Yendra. SH. MH. 2012. Kontribusi Hukum Bagi Wilayah Perikanan Indonesia dan
Pemanfatannya. Universitas Bung Hatta. Padang.
Kusumastanto, Tridoyo, Prof. 2000. Pemberdayaan Sumberdaya Kelautan, Perikanan Dan
Perhubungan Laut Dalam Abad XXI. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor Kep. 45/Men/2011 tentang
Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di WPP-NRI.
UU No.45 tahun 2004
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Peraturan Pemerintah (PP) No 15 Tahun 1984
Uniteds Nation Convention on the Law of The Sea,UNCLOS. 1982

Dokumen yang terkait

STUDI KANDUNGAN BORAKS DALAM BAKSO DAGING SAPI DI SEKOLAH DASAR KECAMATAN BANGIL – PASURUAN

15 183 17

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA EMPIRIS PADA PASIEN RAWAT INAP PATAH TULANG TERTUTUP (Closed Fracture) (Penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

11 138 24

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

STUDI PENGGUNAAN ACE-INHIBITOR PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) (Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan)

15 136 28

PROSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM SITUASI PERTEMUAN ANTAR BUDAYA STUDI DI RUANG TUNGGU TERMINAL PENUMPANG KAPAL LAUT PELABUHAN TANJUNG PERAK SURABAYA

97 602 2

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

AN ANALYSIS OF LANGUAGE CONTENT IN THE SYLLABUS FOR ESP COURSE USING ESP APPROACH THE SECRETARY AND MANAGEMENT PROGRAM BUSINESS TRAINING CENTER (BTC) JEMBER IN ACADEMIC YEAR OF 2000 2001

3 95 76

EFEKTIVITAS PENGAJARAN BAHASA INGGRIS MELALUI MEDIA LAGU BAGI SISWA PROGRAM EARLY LEARNERS DI EF ENGLISH FIRST NUSANTARA JEMBER

10 152 10

FUNGSI DAN KEWENANGAN BADAN PENGAWAS PASAR MODAL (BAPEPAM) DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM DI BURSA EFEK JAKARTA (BEJ)

5 65 215

IMPLEMENTASI PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT (Studi Deskriptif di Desa Tiris Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo)

21 177 22