Masa Depan Pidana Mati di Indonesia Afir
Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2
FHUI) merupakan salah satu badan otonom di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia yang bergerak di ranah kegiatan penalaran dan pengkajian
ilmiah terutama di bidang hukum. Berdiri sejak tahun 1988, LK2 FHUI diresmikan
menjadi badan otonom pada tanggal 29 Mei 1999 melalui SK Mendikbud No.
155/U/1988
dengan
mengacu
pada
ketetapan
BPM
FHUI
No.
02/BPM/FHUI/V/1988 dan ketetapan Musma UI No. 8/Tap/Musma UI/1999 dan
ketetapan BPM FHUI No. 02/BPM FHUI/V/1999. Lembaga ini lahir sebagai
jawaban atas tantangan perkembangan intelektual dewasa ini yang semakin
kompleks dengan mahasiswa sebagai salah satu aktor kuncinya.
Melalui berbagai kegiatan seperti diskusi rutin, forum debat, workshop dan
seminar, LK2 FHUI berfungsi menjadi wadah bagi anggota-anggotanya untuk
mengembangkan kemampuan ilmiah mereka, diantaranya kemampuan analisis dan
berpikir kritis. Tujuannya, untuk menumbuhkembangkan pola pikir ilmiah pada
anggota LK2 FHUI khususnya mahasiswa pada umumnya, serta menjadikan LK2
FHUI ini sebagai lembaga kajian yang responsif, proaktif dan dapat membentuk
opini publik melalui kegiatan ilmiahnya. Diharapkan melalui kegiatan-kegiatan
tersebut LK2 FHUI dapat membentuk insan cendekia yang mampu berkontribusi
nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Utamanya ilmu pengetahuan hukum.
Sebagai sebuah organisasi, LK2 FHUI memiliki organ-organ yang
memungkinkannya bekerja sesuai tujuan yang ditetapkan. Organ-organ tersebut
adalah sebagai berikut:
Direktur Eksekutif
Sekretaris Umum
Bendahara Umum
Bidang Kajian Ilmiah
Bidang Penelitian
Bidang Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia
Bidang Literasi dan Penulisan
Biro Kesekretariatan Organisasi
Biro Hubungan Masyarakat
Biro Jurnalistik
Biro Wirausaha
Ruang Student Center Gedung F
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Depok, 16424
www.lk2fhui.com
Analisis Hukum Mengenai Peran Indonesia dalam Kerangka Kerjasama Regional
untuk Menangkal Praktik Dumping di Era Perdagangan Global: Studi Kasus Terigu
Impor Turki – Ariawan Gunadi
Reaktualisasi Timor Gap Treaty 1989 dalam Kerangka Pengembangan Mata Kuliah
Hukum Sumber Daya Alam - Idris
Kekosongan Hukum Perlindungan ABK di Luar Negeri - June Kuncoro H.
Masalah Penangkapan dan Penahanan ‘Manusia Perahu’ Terkait Illegal Fishing di
Wilayah Perairan Indonesia dalam Perspektif Hukum Internasional - Davina
Oktivana
Urgensi Pengakuan Hukum Kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender di
Indonesia: Perspektif Partikularisme HAM – Rachminawati
Pengaruh United Nations Convention For Corruption terhadap Pemberantasan
Korupsi Indonesia dan Hubungan Indonesia dengan Dunia Internasional – Adipa
Rizky Putra
Prinsip Non-Refoulement dalam Hukum Internasional: Bentuk Perlindungan HAM
bagi Manusia Perahu Rohingya - Alfiana Qisthi
Agresi dalam Perspektif Hukum Internasional dan Kaitannya dengan Masyarakat
Berbasis Global - Ananda K. Sukarmaji
Hukum Internasional: Implementasi dan Efeknya dalam Kasus ICCPR - Angela
Vania Rustandi
Relevansi PBB di Abad ke-21: Apakah PBB Terjebak Konsepsi LBB? - Bella
Nathania
Masa Depan Pidana Mati di Indonesia: Afirmasi Ketentuan International Covenant
on Civil and Political Rights dalam Hukum Nasional Indonesia - Dion Valerian
Peran Konvensi Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Melindungi
Kelompok Minoritas: Ketentuan Pidana Hate Speech di Indonesia - Diovio Alfath
Urgensi Indonesia dalam Meratifikasi Protokol Kyoto: Backfire? - Fadilla Rahmatan
Putri
The Rapidly Changing Landscape Of International Relations: A Political-Economic
Survey of Issues and Potential Research Agenda - Justin Ian Manjares
Kekuatan Mengikat Hukum Internasional: Sebuah Analisis atas Keberlakuan Resolusi
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa - Sherley Mega Sandiori
Hukum Perdagangan Internasional serta Isu Lingkungan sebagai Batasan dalam
Perdagangan Internasional - Stephanie Pretty Rizka Juwana
i
Volume 5, Juni 2015
Penanggung Jawab Redaksi
Ananda Kurniawan Sukarmaji
Pemimpin Umum
Amanda S. Besar
Wakil Pemimpin Umum
Aristyo Rizka Darmawan
Anbiya Annisa
Pemimpin Redaksi
Ni Made Chyntia Trisna Eva Dewi
Redaktur Pelaksana
Ad’jdam Riyange Zulfachmi Sugeng
Staf Redaksi
Annisa Sholihah
Rizka Nadhira
Thareq Akmal Hibatullah
M. Fatwa Faturohman
Desain dan Tata Letak
Elizabeth Elysia
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
ii
PENGANTAR REDAKSI
Dunia telah mengalami perubahan dan perkembangan akibat
globalisasi. Kenyataan tersebut membuat Indonesia dan negara lainnya bisa
berhubungan satu sama lain dengan mudah. Hubungan yang bersifat kerja
sama tersebut tidak jarang melibatkan kepentingan negara sebagai bagian
dari masyarakat internasional. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan
sebuh instrumen yang berfungsi untuk menjamin dan melindungi
kepentingan masyarakat internasional, instrumen tersebut adalah hukum
internasional.
Penerapan hukum internasional
antaranya:
mencakup berbagai sektor, di
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Namun, penerapan hukum internasional dalam berbagai negara seringkali
tidak sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Salah satu contoh kasus
yang saat ini sedang dibicarakan di Indonesia adalah pro dan kontra death
penalty bagi terpidana kasus narkotika. Berdasarkan fakta tersebut, penting
bagi setiap orang, tidak hanya terbatas bagi yang berkecimpung dalam
bidang ilmu hukum, untuk mengetahui bagaimana sebenarnya penerapan
hukum internasional di berbagai negara dan berbagai sektor sebagai bahan
perbandingan. Hal ini menjadi perlu, mengingat kepentingan masyarakat
seluruh negara dalam lalu lintas internasional semakin berkembang.
Melalui Juris ini, jurnal hukum dari Lembaga Kajian dan
Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kami dari tim redaksi
berharap bahwa para pembaca akan mendapatkan manfaat dari jurnal-jurnal
yang terkumpul. Tidak hanya untuk menambah wawasan, tetapi juga untuk
menimbulkan ketertarikan terhadap isu yang relevan saat ini. Harapannya,
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
iii
akan muncul karya-karya berikutnya dari kalangan praktisi, akademisi, dan
khususnya mahasiswa.
Akhir kata, kami dari Tim Redaksi berharap, bahwa kehadiran
Juris dapat bermanfaat bagi para pembaca. Untuk itu, demi perbaikan edisiedisi berikutnya, kami sangat mengharapkan kritik yang membangun dari
semua pihak.
Selamat membaca,
Tim Redaksi Juris
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
iv
SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2
FHUI
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Seperti yang dikatakan Aristoteles, manusia adalah makhluk sosial
yang tidak dapat hidup sendiri, manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Hal ini adalah yang mendasari bagaimana kita menjalani hidup ini dalam
segala aspek. Hal ini juga terkait dengan kenyataan bahwa masyarakat dunia
juga saling berhubungan satu sama lain. Tentunya diperlukan suatu
instrumen yang berfungsi untuk menjamin dan melindungi kepentingan
masyarakat internasional. Hal ini juga berhubungan dengan keamanan dan
ketertiban yang ada di antara masyarakat internasional. Instrumen atau
manifetasi dari hal yang diperlukan tersebut berupa hukum internasional.
Adanya hukum internasional ini tidak semata hanya suatu peraturan atau
konvensi yang mengikat tanpa menyerap berbagai sektor kehidupan dari
masyarakat internasional sendiri, seperti: ekonomi, politik, sosial, budaya,
pertahanan, dan keamanan. Hal ini juga meng-aminkan bahwa hukum
terletak pada poros di setiap aspek kehidupan kita dan memperlihatkan
betapa penting eksistensi hukum tersebut maupun implementasinya. Tidak
berbeda dalam hal adanya hukum internasional, yang mencakup seluruh
masyarakat internasional. Pada dasarnya, hukum internasional telah
melibatkan negara nasional sebagai subjek hukumnya ke dalam suatu
masyarakat internasional. Masyarakat hukum internasional dituntut untuk
memahami bagaimana sebenarnya permasalahan dan penerapan hukum
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
v
internasional secara global dan dalam berbagai sektor sebagai bahan
perbandingan. Hal ini menjadi perlu mengingat kepentingan masyarakat
seluruh negara dalam lalu lintas internasional yang semakin berkembang.
Penjabaran yang di atas inilah yang menjadi latar belakang Juris
kali ini memilih tema “Menyongsong Masyarakat Hukum Berbasis Global”.
Diharapkan dengan diangkatnya tema ini dapat membangkitkan kepedulian
akademisi, praktisi, dan mahasiswa, khususnya anggota LK2 FHUI terhadap
permasalahan hukum internasional. Juris kali ini membuka kesempatan para
penulis untuk mengeksplorasi isu-isu hukum internasional dari berbagai
persepektif disiplin ilmu hukum, disertai dari berbagai sektor yang juga
sudah disebutkan. Pada akhirnya, diharapkan kepedulian dengan menulis di
Juris Volume 5 ini akan melahirkan pemikiran kritis serta ide-ide solutif
yang efektif dan efisien untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada.
Dalam Juris ini terdapat beberapa judul, yaitu: 1) Analisis Hukum Mengenai
Peran Indonesia dalam Kerangka Kerjasama Regional untuk Menangkal
Praktik Dumping di Era Perdagangan Global: Studi Kasus Terigu Impor
Turki; 2) Reaktualisasi Timor Gap Treaty 1989 dalam Kerangka
Pengembangan Mata Kuliah Hukum Sumber Daya Alam; 3) Kekosongan
Hukum Perlindungan ABK di Luar Negeri; 4) Masalah Penangkapan dan
Penahanan “Manusia Perahu” Terkait Illegal Fishing di Wilayah Perairan
Indonesia dalam Perspektif Hukum Internasional; 5) Urgensi Pengakuan
Hukum Kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender di Indonesia:
Perspektif Partikularisme HAM, 6) Pengaruh United Nations Convention for
Corruption terhadap Pemberantasan Korupsi Indonesia dan Hubungan
Indonesia dengan Dunia Internasional; 7) Prinsip Non-Refoulement dalam
Hukum Internasional: Bentuk Perlindungan HAM bagi Manusia Perahu
Rohingya; 8) Agresi dalam Perspektif Hukum Internasional dan Kaitannya
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
vi
dengan Masyarakat Berbasis Global; 9) Hukum Internasional: Implementasi
dan Efeknya dalam Kasus ICCPR; 10) Relevansi PBB di Abad ke-21:
Apakah PBB Terjebak Konsepsi LBB?; 11) Masa Depan Pidana Mati di
Indonesia: Afirmasi Ketentuan International Convention Civil and Political
Rights dalam Hukum Nasional Indonesia; 12) Peran Konvensi Internasional
untuk Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Melindungi Kelompok Minoritas:
Ketentuan Pidana Hate Speech di Indonesia; 13) Urgensi Indonesia dalam
Meratifikasi Protokol Kyoto: Backfire? ; 14) The Rapidly Changing
Landscape Of International Relations: A Political-Economic Survey of
Issues and Potential Research Agenda ; 15) Sebuah Analisis atas
Keberlakuan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa; dan
16) Hukum Perdagangan Internasional serta Isu Lingkungan sebagai Batasan
dalam Perdagangan Internasional.
Sebagaimana disebutkan, Juris merupakan jurnal terbitan LK2
FHUI sebagai wadah bagi para praktisi, akademisi, dan mahasiswa,
khususnya mahasiswa LK2 FHUI untuk menyumbangkan hasil pemikiran
dan gagasan sesuai dengan tema yang telah ditentukan. Semoga Juris sebagai
salah satu corong produk ilmiah yang dikeluarkan LK2 FHUI dapat menjadi
suatu hal yang bermanfaat bagi masyarakat luas dan penulis sendiri.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah mendukung terbitnya Juris Volume 5 ini. Sukses untuk kita
semua.
Ananda K. Sukarmaji
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Keilmuan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
vii
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi…………………………………………………………… ii
Sambutan Direktur Eksekutif LK2 FHUI……………………………….......iii
Daftar Isi………………………………………………………………….…vii
Analisis Hukum Mengenai Peran Indonesia dalam Kerangka Kerjasama
Regional untuk Menangkal Praktik Dumping di Era Perdagangan Global:
Studi Kasus Terigu Impor Turki (Oleh: Ariawan Gunadi)…………………...1
Reaktualisasi Timor Gap Treaty 1989 dalam Kerangka Pengembangan Mata
Kuliah Hukum Sumber Daya Alam (Oleh: Idris)…………………………...25
Kekosongan Hukum Perlindungan ABK di Luar Negeri (Oleh: June Kuncoro
Hadiningrat)………………………………………………………………... 97
Masalah Penangkapan dan Penahanan ‘Manusia Perahu’ Terkait Illegal
Fishing
di
Wilayah Perairan Indonesia
dalam
Perspektif Hukum
Internasional (Oleh: Davina Oktivana)…………………………………… 116
Urgensi Pengakuan Hukum Kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender
di Indonesia: Perspektif Partikularisme HAM (Oleh: Rachminawati)…… 142
Pengaruh
United
Nations
Convention
for
Corruption
terhadap
Pemberantasan Korupsi Indonesia dan Hubungan Indonesia dengan Dunia
Internasional (Oleh: Adipa Rizky Putra)………………………………….. 176
Prinsip Non-Refoulement dalam Hukum Internasional: Bentuk Perlindungan
HAM bagi Manusia Perahu Rohingya (Oleh: Alfiana Qisthi)……………. 187
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
viii
Agresi dalam Perspektif Hukum Internasional dan Kaitannya dengan
Masyarakat Berbasis Global (Oleh: Ananda K. Sukarmaji)……………… 206
Hukum Internasional: Implementasi dan Efeknya dalam Kasus ICCPR
(Oleh: Angela Vania Rustandi)…………………………………………… 224
Relevansi PBB di Abad ke-21: Apakah PBB Terjebak Konsepsi LBB?
(Oleh: Bella Nathania)……………………………………………………. 240
Masa Depan Pidana Mati di Indonesia: Afirmasi Ketentuan International
Convention Civil and Political Rights dalam Hukum Nasional Indonesia
(Oleh: Dion Valerian)……………………………………………………... 259
Peran Konvensi Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik dalam
Melindungi Kelompok Minoritas: Ketentuan Pidana Hate Speech di
Indonesia (Oleh: Diovio Alfath)………………………………………….. 278
Urgensi Indonesia dalam Meratifikasi Protokol Kyoto: Backfire? (Oleh:
Fadilla Rahmatan Putri)…………………………………………………... 298
The Rapidly Changing Landscape Of International Relations: A PoliticalEconomic Survey of Issues and Potential Research Agenda (Oleh: Justin Ian
Manjares)…………………………………………………………………. 310
Kekuatan Mengikat Hukum Internasional: Sebuah Analisis atas Keberlakuan
Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Oleh: Sherley
Mega Sandiori)……………………………………………………………. 336
Hukum Perdagangan Internasional serta Isu Lingkungan sebagai Batasan
dalam Perdagangan Internasional (Oleh: Stephanie Pretty Rizka Juwana). 349
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
259
MASA DEPAN PIDANA MATI DI INDONESIA: AFIRMASI
KETENTUAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND
POLITICAL RIGHTS DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA
Dion Valerian 1
Abstract
Indonesia as a part of the international society has ratified The
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) through Law
Number 12 of the Year 2005. Rule witihin the ICCPR that is used to be an
analytical basis for this essay is Article 6 of the ICCPR that regulates the
right to life and matters about the restriction of the death penalty
penalization within states that have not abolished the death penalty. In
Indonesia’s own positive law, the death penalty is one of the primary
penalty forms according to Article 10 of the Penal Code of Indonesia. The
Constitutional Court of Indonesia through Decision Number 2-3/PUUV/2007 also has decided the constitutionality of the death penalty. In the
agenda of Indonesian criminal law reform, there is the Draft of the Penal
Code of Indonesia which also regulates about the penalization of the death
penalty but the regulation is essentially different with the regulation in the
Penal Code of Indonesia that exists now. How is the connection between the
ICCPR rules and Indonesian national law about the death penalty? To
provide a proper answer to this question, the author investigates and
analyses the layers of rules that regulate the death penalty in the ICCPR, the
Penal Code of Indonesia, the Decision of the Constitutional Court of
Indonesia Number 2-3/PUU-V/2007 and the Draft of the Penal Code of
Indonesia.
Keywords: death penalty, draft of the penal code of Indonesia, ICCPR
1
Mahasiswa FHUI Angkatan 2012. Pernah menjadi Ketua Delegasi FHUI yang
meraih Juara 1 Kompetisi Constitutional Drafting – Sidang Semua MPR RI Padjajaran Law
Fair Fakultas Hukum Universitas Indonesia Padjajaran 2015. Sekarang sedang mengemban
amanah sebagai Ketua Mahkamah Mahasiswa UI 2015.
260
I.
PENDAHULUAN
Ide awal tulisan ini lahir dari rasa keingintahuan penulis terhadap
hubungan antara pengaturan hak untuk hidup dalam Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) yang di dalamnya mengatur tentang pidana mati,
dengan ketentuan pidana mati dalam sistem hukum nasional Indonesia.
Pengembangan terhadap ide awal itu membawa penulis pada analisis
mengenai posisi Indonesia dalam masyarakat internasional dan hak untuk
hidup dalam ICCPR. Selain itu, untuk mengetahui lebih dalam mengenai
pidana mati di Indonesia, penulis melakukan analisis terhadap pengaturan
mengenai pidana mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dan undang-undang lain, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 23/PUU-V/2007, dan ketentuan pidana mati dalam Rancangan UndangUndang (RUU) KUHP.
Ternyata, penulis mendapati adanya dinamika dan perkembangan
pemikiran mengenai pidana mati apabila dilihat dari tiga dokumen hukum
tersebut. Penulis juga menemukan terdapatnya keterkaitan antara ketentuan
ICCPR dengan Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 dan RUU KUHP yang
saling berkelindan-paut. Uraian dalam tulisan ini penulis pisahkan dalam
beberapa subjudul untuk memudahkan pembaca dalam memahaminya.
II. ISI
A.
INDONESIA DAN MASYARAKAT INTERNASIONAL
Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa eksistensi hukum
internasional mengharuskan adanya suatu masyarakat internasional yang
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
261
diatur oleh tertib hukum internasional tersebut, sehingga eksistensi
masyarakat internasional-lah yang menjadi landasan sosiologis adanya
hukum internasional. Masyarakat internasional menjadi ada ketika terdapat
dua unsur, yaitu adanya negara-negara dan adanya hubungan yang tetap
antara negara-negara tersebut sebagai anggota masyarakat internasional.
Hubungan yang tetap itu merupakan manifestasi atas adanya sifat saling
membutuhkan antara masing-masing anggota masyarakat internasional
tersebut. Kepentingan bersama berupa hubungan internasional itu perlu
ditertibkan, diatur dan dipelihara sehingga dibutuhkan hukum untuk
menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang
teratur.2
Dua unsur yang telah diuraikan di atas, menurut pendapat Mochtar
Kusumaatmadja, hanyalah
merupakan fakta fisik belaka, sehingga
penjelasan mengenai kumpulan bangsa-bangsa agar dapat benar dikatakan
sebagai masyarakat internasional memerlukan faktor pengikat yang bersifat
metafisik (nonmateriil), yang mengakari realitas fisik tersebut. Faktor
pengikat yang metafisik tersebut adalah kesamaan hukum antara bangsabangsa di dunia, betapa pun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku
di masing-masing negara. Asas pokok hukum mengenai adanya kesamaan
inilah yang dalam studi mengenai sumber hukum formil disebut dengan asas
hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Tampak kental
corak filsafat hukum kodrat dalam asas ini. 3
Untuk memperjelas konsep mengenai Indonesia sebagai anggota
masyarakat internasional yang telah meratifikasi ICCPR, rancangan
epistemologis yang perlu dibangun adalah pemahaman mengenai kenyataan
2
_Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional , cet. 3, (Bandung:
Alumni, 2012), hlm. 12-13.
3
_Ibid., hlm. 14.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
262
Indonesia sebagai salah satu subyek hukum internasional dan ICCPR sebagai
salah satu bentuk perjanjian sebagai sumber hukum internasional. Subyek
hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut
hukum internasional, sehingga anggapan klasiknya adalah bahwa yang
memenuhi definisi ini hanyalah negara. J. G. Starke juga menyebut bahwa
negara adalah subyek utama hukum internasional. 4 Di samping itu, terdapat
pula pandangan yang menjelaskan definisi subyek hukum internasional
secara lebih luas, yaitu kepada pihak-pihak yang juga memiliki hak dan
kewajiban tersebut namun sifatnya terbatas. Jika mengikuti perspektif
demikian, subyek hukum internasional adalah: a. negara; b. Tahta Suci
Vatikan; c. Palang Merah Internasional; d. organisasi internasional; e. orang
perorangan; dan f. pemberontak dan pihak dalam sengketa ( belligerent).5
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara sebagai subyek
hukum internasional.
Sumber materiil hukum internasional merupakan bahan-bahan
aktual yang digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan
hukum yang berlaku bagi suatu situasi tertentu.6 Sumber hukum
internasional secara positif diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah
Internasional (Statute of The International Court of Justice ). Dijelaskan
bahwa dalam hal mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah
Internasional akan mempergunakan: a. perjanjian internasional; b. kebiasaan
internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima
sebagai hukum; c. prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab; dan d. keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling
4
_J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional [Introduction to International
Law], diterjemahkan oleh Sumitro L. S. Danuredjo dan Lukas Ginting, (Jakarta: Aksara
Persada Indonesia, 1988), hlm. 83.
5
_Kusumaatmadja, Op. Cit., hlm. 98-110.
6
_Starke, Op. Cit., hlm. 31.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
263
terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan
kaidah hukum. 7 Boer Mauna menjelaskan bahwa definisi perjanjian
internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah
satu subyek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan
berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat hukum. 8 Untuk mengikatkan
diri dengan ICCPR, Indonesia melakukan ratifikasi (pengesahan) melalui UU
No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
B.
HAK UNTUK HIDUP DALAM ICCPR
Hak untuk hidup (right to life) dalam ICCPR diatur dalam Pasal 6
ICCPR. Pasal 6 ayat (1) ICCPR merumuskan bahwa setiap orang berhak atas
hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak tersebut wajib dilindungi
oleh hukum dan tidak seorang pun dapat dirampas hak untuk hidupnya
secara sewenang-wenang. Selanjutnya pasal 6 ayat (2) ICCPR menjelaskan
bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan pidana mati, putusan
pidana mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling
serius (the most serious crimes)9 sesuai dengan hukum yang berlaku pada
saat dilakukannya kejahatan tersebut, serta tidak bertentangan dengan
ketentuan ICCPR dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi
Kejahatan Genosida. Pidana mati hanya dapat dilaksanakan atas dasar
7
_Kusumaatmadja, Op. Cit., hlm. 114-115.
_Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, ed. 2, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 85-88.
9
_International Commission against the Death Penalty dalam publikasinya “The
Death Penalty and The “Most Serious Crimes”, A Country-by-country Overview of the
Death Penalty in Law and Practice in Retentionist State,” (Februari 2013) hlm. 4
menjelaskan bahwa UN Special Rapporteur menafsirkan “most serious crimes” dengan
“cases where it can be shown that there was an intention to kill, which resulted in the loss of
life ”.
8
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
264
keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
Pasal 6 ayat (3) ICCPR merumuskan bahwa apabila suatu perampasan
kehidupan merupakan kejahatan genosida, harus dipahami, bahwa tidak satu
pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara Pihak,
untuk mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan
dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan bagi
Kejahatan Genosida. Kemudian Pasal 6 ayat (4) ICCPR menjelaskan bahwa
setiap orang yang telah dijatuhi pidana mati berhak untuk memohon
pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau
penggantian pidana mati dapat diberikan dalam semua kasus. Pasal 6 ayat (5)
ICCPR menjelaskan bahwa pidana mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan
yang dilakukan oleh seseorang di bawah delapan belas tahun dan tidak boleh
dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung. Pasal 6 ayat (6)
menutup ketentuan Pasal 6 ICCPR dengan menentukan bahwa tidak ada
satupun ketentuan dalam Pasal 6 ICCPR yang boleh dipakai untuk menunda
atau mencegah penghapusan pidana mati oleh Negara yang menjadi Pihak
dalam ICCPR. 10
William A. Schabas menyebut bahwa ketentuan dalam Pasal 6
ayat (6) ini “really more programmatic than normative”11 (“benar-benar
lebih bersifat programatik daripada normatif” – terjemahan oleh penulis) dan
“… the word ‘abolition’ appears in two separate paragraphs, 2 and 6,
indicating that the Covenant contemplates abolition , without however
10
_United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights , Psl. 6.
_William A. Schabas, “The Abolition of Capital Punishment from an
International Law Perspective,” (makalah disampaikan pada International Society for the
Reform of Criminal Law 17th International Conference “Convergence of Criminal Justice
Systems – Bridging the Gaps, The Hague, 24-28 Agustus 2003), hlm. 4.
11
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
265
imposing an immediate obligation of States parties”12 (“… kata ‘abolisi’
muncul dalam dua paragraf terpisah, yaitu paragraf 2 dan 6, menunjukkan
bahwa Kovenan merenungkan tentang abolisi, dengan tanpa memaksakan
kewajiban tersebut secara secepatnya kepada Negara Pihak” – terjemahan
oleh penulis). Menarik kesimpulan berdasarkan uraian di atas, penulis
berpandangan bahwa meskipun Indonesia belum meratifikasi Second
Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political
Rights, yang mengharuskan negara pihak dalam protokol tersebut untuk
menghapuskan pidana mati, 13 Indonesia harus tetap mengusahakan
pencegahan penjatuhan pidana mati dengan arah tujuan yang jelas:
penghapusan pidana mati dalam sistem hukum nasional.
C.
PIDANA MATI DALAM KUHP DAN UU LAIN
Pidana mati adalah salah satu bentuk pidana pokok yang diatur
Pasal 10 KUHP. Pasal 10 KUHP menjelaskan bahwa pidana terdiri atas
pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok tersebut terdiri atas: a.
pidana mati; pidana penjara; c. pidana kurungan; dan d. pidana denda. Pidana
tambahan berbentuk: a. pencabutan hak-hak tertentu; b. perampasan barangbarang tertentu; c. pengumuman putusan hakim.14 Dalam KUHP, pidana
mati diancamkan dalam Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3),
Pasal 140, Pasal 340, Pasal 365 ayat (4), Pasal 444, dan Pasal 368 ayat (2).
KUHP yang diterapkan di Indonesia sekarang pada hakikatnya dibuat oleh
penjajah Belanda dan dirumuskan dalam alam pikir masa penjajahan. Alam
pikir masa penjajahan demikian penulis pandang telah tidak cocok dengan
12
_William A. Schabas, The Abolition of the Death Penalty in International Law,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), hlm. 47.
13
_United Nations, Second Optional Protocol to the International Covenant on
Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty, Psl. 1.
14
_R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 16 (Pasal 10
KUHP).
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
266
perkembangan hukum, baik di kancah nasional maupun internasional dewasa
ini.
Pasal dengan ancaman pidana mati selain dalam KUHP terdapat
pula dalam UU lain. Tim Imparsial menjelaskan dalam buku “Menggugat
Hukuman Mati di Indonesia” bahwa setidaknya terdapat 13 UU lain yang
memiliki pidana mati sebagai salah satu ancaman pidananya, di antaranya
yaitu:15 a. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika pada Pasal 59 ayat (2);
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada Pasal 80 ayat (1), (2), dan
(3), Pasal 81 ayat (3), Pasal 82 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 83; c. UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi pada Pasal 2 ayat (2); d. UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada Pasal 36, Pasal 37, Pasal
41 dan Pasal 42 ayat (3); d. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme pada Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16; dan e. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak pada Pasal 89 ayat (1).
D.
PIDANA MATI MENURUT PUTUSAN MK NOMOR 2-
3/PUU-V/2007
Jika dibandingkan dengan ketentuan pidana mati dalam KUHP,
uraian mengenai putusan ini penulis pandang penting untuk menggambarkan
pergeseran paradigma mengenai pidana mati dalam konstelasi pemikiran
hukum Indonesia. Putusan ini dapat dijadikan dasar pemahaman mengenai
“perlakuan khusus” terhadap pidana mati yang juga diterapkan dalam RUU
KUHP. Isu pokok permohonan dalam Putusan ini adalah apakah ketentuan
pidana mati dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3)
_Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. “Pasal Hukuman Mati dalam
Perundang-undangan,” Asasi, (November-Desember 2014), hlm. 14.
15
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
267
huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2)
huruf a, dan ayat (3) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
(sekarang telah digantikan oleh UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD NRI 1945).16 Ketentuan pidana mati dalam pasal-pasal tersebut
dipandang oleh Pemohon melanggar Pasal 28 A, Pasal 281 ayat (1) dan ayat
(4) UUD NRI 1945.17 Pasal 28A UUD NRI 1945 menentukan bahwa “Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya” dan Pasal 28I UUD NRI 1945 ayat (1) menentukan bahwa:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Kemudian, Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945 menjelaskan bahwa
“Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
MK dalam pertimbangannya memandang bahwa terdapat dua
argumen yang dijadikan Pemohon sebagai landasan pembenarnya, yaitu: a.
pencantuman pidana mati dalam UU Narkotika bertentangan dengan UUD
NRI 1945, secara khusus dengan Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I
ayat (4) UUD NRI 1945; serta b. pencantuman pidana mati dalam UU
Narkotika bertentangan dengan keberadaan Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional yang menghendaki dihapusnya pidana mati. Untuk
16
_Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007,
hlm. 402. Uraian dalam subjudul ini menggunakan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007
tersebut sebagai referensi pokok.
17
_Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Psl. 28.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
268
dalil pertama, pada pokoknya MK menjelaskan bahwa jika dilihat dari
perspektif original intent pembentuk UUD NRI 1945, seluruh hak asasi
manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD NRI 1945 keberlakuannya
dapat dibatasi. Semangat pembatasan inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD
NRI 1945.18 Lebih lanjut, MK menjelaskan bahwa: 19
Original intent pembentuk UUD 1945 (MK menggunakan
terminologi “UUD 1945” bukan “UUD NRI 1945” – tambahan oleh penulis)
yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat
oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan
yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945
tersebut. Jadi, secara penafsiran sistematis ( sistematische interpretatie), hak
asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD
1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Maka, berdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpandangan
bahwa hak untuk hidup tidaklah bersifat mutlak. Selanjutnya, mengenai dalil
kedua, MK pada pokoknya berpandangan bahwa berdasarkan ketentuan
ICCPR, pidana mati masih dapat dijatuhkan pada “the most serious crimes”,
yang mana MK memandang bahwa kejahatan narkotika dapat disetarakan
dengan “the most serious crimes” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.
Penulis memandang bahwa terdapat pertimbangan yang menarik
dalam putusan ini. MK menjelaskan bahwa terlepas dari pendapat MK
18
_Pasal 28J UUD NRI 1945 terdiri dari dua ayat. Ayat (1) menjelaskan bahwa
“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Ayat (2) menjelaskan bahwa:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
19
_Indonesia, Putusan…, Op. Cit., hlm. 412.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
269
perihal tidak bertentangannya pidana mati dengan UUD NRI 1945 bagi
kejahatan-kejahatan tertentu dalam UU Narkotika yang dimohonkan
pengujiannya, 20 MK berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan
hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-perundangan
yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun
pelaksanaan hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia harus
memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut:21
a.
pidana mati bukan lagi merupakan pokok, melainkan sebagai
pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
b.
pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama
sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji
dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama
20 tahun;
c.
pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang
belum dewasa;
d.
eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan
seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan
hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa
tersebut sembuh.
Empat poin pertimbangan ini menarik, karena menurut penulis
MK memahami bahwa pidana mati adalah jenis pidana yang irrevocable (tak
dapat dipulihkan) dan harus diadakan pembatasan terhadapnya. Pembatasanpembatasan ini haruslah dilakukan dengan memperhatikan empat poin yang
jelas-jelas merupakan afirmasi (penegasan, peneguhan) norma hukum dalam
Pasal 6 ICCPR. Hal demikian menurut penulis adalah implementasi
20
_Dapat pula dibaca dalam Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma
Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), hlm. 103-116.
21
_Indonesia, Putusan…, Op. Cit., hlm. 430-431.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
270
ketentuan ICCPR dalam hukum nasional. Empat poin di atas tersebut yang
kemudian kita temukan juga dalam ketentuan RUU KUHP mengenai pidana
mati. Juga merupakan hal yang menarik menurut penulis, bahwa Putusan
MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 ini bukanlah merupakan keputusan bulat oleh
sembilan orang Hakim Konstitusi. Tiga orang Hakim Konstitusi yaitu
Achmad Roestandi, M. Laica Marzuki, dan Maruarar Siahaan mempunyai
pendapat berbeda (dissenting opinion) bahwa pidana mati yang tujuan
utamanya mencabut hak untuk hidup seseorang bertentangan dengan UUD
NRI 1945.
E.
PIDANA MATI DALAM RUU KUHP
Penulis
memandang
bahwa
RUU
KUHP
sebagai
ius
constituendum (hukum yang dicita-citakan) dapat memberikan gambaran
mengenai “masa depan” pidana mati di Indonesia. Afirmasi terhadap
ketentuan ICCPR tersebut dirumuskan dengan semakin terperinci dalam
RUU KUHP. Bahkan RUU KUHP mengatur beberapa hal yang tidak diatur
dalam pembatasan pidana mati dalam ICCPR.
Pasal 65 RUU KUHP menjelaskan bahwa pidana pokok terdiri
atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana
denda; dan e. pidana kerja sosial. Urutan pidana tersebut menentukan berat
ringannya pidana. 22 Terdapat perbedaan pengaturan mengenai pidana pokok
dalam KUHP dan RUU KUHP. Dapat dilihat bahwa dalam RUU KUHP,
pidana mati tidak lagi termasuk dalam pidana pokok, berbeda dengan pidana
pokok versi KUHP yang memasukkan pidana mati sebagai jenis pidana
pokok. Pidana pokok dalam RUU KUHP memiliki tempat yang “khusus”,
22
_Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Psl. 65.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
271
karena Pasal 66 RUU KUHP mengatur bahwa pidana mati merupakan
pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. 23
Penulis berpendapat bahwa pengaturan ini secara implisit menyatakan bahwa
pidana mati adalah jenis pidana yang hanya dapat dipertimbangkan pada
kasus-kasus tertentu, serta pengancamannya harus secara alternatif agar tetap
ada kemungkinan menjatuhkan putusan berbentuk pidana perampasan
kemerdekaan yang lebih ringan dibanding pidana mati.
Dalam RUU KUHP, pidana mati diatur lebih terperinci dalam
Paragraf 11 tentang Pidana Mati, Pasal 87 hingga Pasal 90. Menurut penulis,
hal tersebut menarik sebab pidana mati diuraikan dalam pasal-pasal yang
mengatur dengan detail mengenai konsep dan pelaksanaan pidana mati yang
cukup memperhatikan keadaan terpidana mati karena memungkinkan adanya
perubahan dari pidana mati ke pidana perampasan kemerdekaan. Dalam
Rancangan Penjelasan UU KUHP, dijelaskan bahwa: 24
Pidana mati yang ditentukan dalam pasal tersendiri untuk
menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai
upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana
yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis
pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Pidana mati
dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan,
sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana
diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu
dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana perampasan kemerdekaan.
23
_Ibid., Psl. 66. Dijelaskan pula dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru , cet. 4,
(Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 94-95.
24
_Ibid., Penjelasan, Bagian Umum butir 6.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
272
Pasal 87 hingga Pasal 90 RUU KUHP tersebut secara lengkap
penulis kutipkan:25
Pasal 87
Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir
untuk mengayomi masyarakat.
Pasal 88
(1) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai
mati oleh regu tembak.
(2) Pelaksanaan pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dilaksanakan di muka umum.
(3) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang
yang sakit jiwa ditunda hingga wanita tersebut melahirkan
atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
(4) Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan
grasi bagi terpidana ditolak oleh Presiden.
Pasal 89
(1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa
percobaan selama 10 ( sepuluh) tahun, jika:
a.
reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
b.
terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan
untuk diperbaiki;
25
_Ibid., Psl. 87-90.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
273
c.
kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana
tidak terlalu penting; dan
d.
ada alasan yang meringankan.
(2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji
maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup
atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan
keputusan
menteri
yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang
terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana
mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pasal 90
Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati
tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana
melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana
seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Berdasarkan ketentuan Pasal 87 hingga Pasal 90 RUU KUHP,
penulis berpandangan bahwa ketentuan mengenai pembatasan-pembatasan
pidana mati dalam pasal-pasal tersebut diambil dari dan bersesuaian dengan
ketentuan Pasal 6 ICCPR, bahkan dirumuskan dengan lebih tegas dan
terperinci. Pasal 87 hingga Pasal 90 RUU KUHP menguraikan alasan-alasan
dan hal-hal teknis mengenai “pengampunan” terhadap terpidana mati,
sehingga
ketentuan
dalam
RUU
KUHP
memperhatikan hak terpidana mati.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
penulis
pandang
lebih
274
I.
KESIMPULAN
Untuk menutup tulisan ini, ada beberapa hal yang penulis pandang
patut disampaikan. Pertama , RUU KUHP sebagai ius constituendum hukum
pidana Indonesia telah menjadikan pidana mati sebagai pidana pokok yang
bersifat khusus dan terdapat banyak pembatasan dalam hal penjatuhan pidana
mati. Kedua , meskipun demikian, tetap saja pidana mati belum dihapuskan
dalam hukum Indonesia. Namun, dengan adanya pengetatan pengaturan ini,
penulis mengharapkan adanya moratorium penjatuhan pidana mati dan
pemidanaan tersebut dialihkan pada pilihan alternatif yaitu pidana
perampasan kemerdekaan. Ketiga , diperlukan adanya pemahaman di benak
para jaksa dan hakim mengenai konsep “kekhususan” pidana mati dalam
RUU KUHP ini, sehingga tuntutan dan putusan yang menjatuhkan pidana
mati dapat dicegah (setidaknya dikurangi). Tujuan jangka panjangnya adalah
penghapusan pidana mati di Indonesia secara perlahan-lahan. Dengan terus
berkurangnya penjatuhan pidana mati, penulis mengharapkan di masa depan
pidana mati benar-benar sudah tidak lagi dijatuhkan dan jalan menuju
penghapusan pidana mati menjadi semakin nyata.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
275
DAFTAR PUSTAKA
Konstitusi
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 2-3/PUUV/2007.
Perjanjian Internasional
United Nations. International Covenant on Civil and Political Rights.
United Nations. Second Optional Protocol to the International Covenant on
Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death
penalty.
Buku
Arief, Barda Nawawi. Bunga
Rampai
Kebijakan
Perkembangan Penyusunan Konsep
Hukum Pidana:
KUHP
Baru,
cet. 4.
Jakarta: Kencana, 2014.
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional, cet. 3. Bandung:
Alumni, 2012.
Mauna, Boer. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global, ed. 2.
Bandung,: Alumni, 2005.
Schabas, William A. The Abolition of the Death Penalty in International
Law. Cambridge: Cambridge
University Press, 2002.
Soerodibroto, R. Soenarto. KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge
Raad.
Persada, 2006.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
Jakarta:
RajaGrafindo
276
Starke, J. G. Pengantar Hukum Internasional [Introduction to International
Law]. Diterjemahkan oleh Sumitro L. S. Danuredjo dan Lukas
Ginting. Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1988.
Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan . Bandung: Lubuk
Agung, 2011.
Rancangan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana .
Artikel
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. “Pasal Hukuman Mati dalam
Perundang-undangan.” Asasi,
(November-Desember 2014): 1
– 24.
International Commission against the Death Penalty. “The Death Penalty and
The “Most Serious Crimes”, A Country-by-country Overview of
the Death Penalty in Law and Practice in Retentionist
State.”
(Februari 2013): 1 – 39.
Makalah
Schabas, William A. “The Abolition of Capital Punishment from an
International Law Perspective.”
Makalah
disampaikan
pada
International Society for the Reform of Criminal Law 17 th
International Conference “Convergence of Criminal Justice
Systems – Bridging the Gaps, The
2003.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
Hague, 24-28 Agustus
277
BIODATA PENULIS
Penulis merupakan mahasiswa FHUI Angkatan 2012. Pernah mengemban
amanah sebagai Ketua Pelaksana Simposium Hukum Nasional FHUI 2013
dan Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FHUI 2014.
Beberapa waktu lalu menjadi Ketua Delegasi Constitutional Drafting FHUI
yang meraih Juara I Kompetisi Constitutional Drafting - Sidang Semu MPR
RI pada Padjadjaran Law Fair Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Tahun 2015. Sekarang sedang menjabat sebagai Ketua Mahkamah
Mahasiswa UI 2015.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
FHUI) merupakan salah satu badan otonom di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia yang bergerak di ranah kegiatan penalaran dan pengkajian
ilmiah terutama di bidang hukum. Berdiri sejak tahun 1988, LK2 FHUI diresmikan
menjadi badan otonom pada tanggal 29 Mei 1999 melalui SK Mendikbud No.
155/U/1988
dengan
mengacu
pada
ketetapan
BPM
FHUI
No.
02/BPM/FHUI/V/1988 dan ketetapan Musma UI No. 8/Tap/Musma UI/1999 dan
ketetapan BPM FHUI No. 02/BPM FHUI/V/1999. Lembaga ini lahir sebagai
jawaban atas tantangan perkembangan intelektual dewasa ini yang semakin
kompleks dengan mahasiswa sebagai salah satu aktor kuncinya.
Melalui berbagai kegiatan seperti diskusi rutin, forum debat, workshop dan
seminar, LK2 FHUI berfungsi menjadi wadah bagi anggota-anggotanya untuk
mengembangkan kemampuan ilmiah mereka, diantaranya kemampuan analisis dan
berpikir kritis. Tujuannya, untuk menumbuhkembangkan pola pikir ilmiah pada
anggota LK2 FHUI khususnya mahasiswa pada umumnya, serta menjadikan LK2
FHUI ini sebagai lembaga kajian yang responsif, proaktif dan dapat membentuk
opini publik melalui kegiatan ilmiahnya. Diharapkan melalui kegiatan-kegiatan
tersebut LK2 FHUI dapat membentuk insan cendekia yang mampu berkontribusi
nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Utamanya ilmu pengetahuan hukum.
Sebagai sebuah organisasi, LK2 FHUI memiliki organ-organ yang
memungkinkannya bekerja sesuai tujuan yang ditetapkan. Organ-organ tersebut
adalah sebagai berikut:
Direktur Eksekutif
Sekretaris Umum
Bendahara Umum
Bidang Kajian Ilmiah
Bidang Penelitian
Bidang Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia
Bidang Literasi dan Penulisan
Biro Kesekretariatan Organisasi
Biro Hubungan Masyarakat
Biro Jurnalistik
Biro Wirausaha
Ruang Student Center Gedung F
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Depok, 16424
www.lk2fhui.com
Analisis Hukum Mengenai Peran Indonesia dalam Kerangka Kerjasama Regional
untuk Menangkal Praktik Dumping di Era Perdagangan Global: Studi Kasus Terigu
Impor Turki – Ariawan Gunadi
Reaktualisasi Timor Gap Treaty 1989 dalam Kerangka Pengembangan Mata Kuliah
Hukum Sumber Daya Alam - Idris
Kekosongan Hukum Perlindungan ABK di Luar Negeri - June Kuncoro H.
Masalah Penangkapan dan Penahanan ‘Manusia Perahu’ Terkait Illegal Fishing di
Wilayah Perairan Indonesia dalam Perspektif Hukum Internasional - Davina
Oktivana
Urgensi Pengakuan Hukum Kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender di
Indonesia: Perspektif Partikularisme HAM – Rachminawati
Pengaruh United Nations Convention For Corruption terhadap Pemberantasan
Korupsi Indonesia dan Hubungan Indonesia dengan Dunia Internasional – Adipa
Rizky Putra
Prinsip Non-Refoulement dalam Hukum Internasional: Bentuk Perlindungan HAM
bagi Manusia Perahu Rohingya - Alfiana Qisthi
Agresi dalam Perspektif Hukum Internasional dan Kaitannya dengan Masyarakat
Berbasis Global - Ananda K. Sukarmaji
Hukum Internasional: Implementasi dan Efeknya dalam Kasus ICCPR - Angela
Vania Rustandi
Relevansi PBB di Abad ke-21: Apakah PBB Terjebak Konsepsi LBB? - Bella
Nathania
Masa Depan Pidana Mati di Indonesia: Afirmasi Ketentuan International Covenant
on Civil and Political Rights dalam Hukum Nasional Indonesia - Dion Valerian
Peran Konvensi Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Melindungi
Kelompok Minoritas: Ketentuan Pidana Hate Speech di Indonesia - Diovio Alfath
Urgensi Indonesia dalam Meratifikasi Protokol Kyoto: Backfire? - Fadilla Rahmatan
Putri
The Rapidly Changing Landscape Of International Relations: A Political-Economic
Survey of Issues and Potential Research Agenda - Justin Ian Manjares
Kekuatan Mengikat Hukum Internasional: Sebuah Analisis atas Keberlakuan Resolusi
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa - Sherley Mega Sandiori
Hukum Perdagangan Internasional serta Isu Lingkungan sebagai Batasan dalam
Perdagangan Internasional - Stephanie Pretty Rizka Juwana
i
Volume 5, Juni 2015
Penanggung Jawab Redaksi
Ananda Kurniawan Sukarmaji
Pemimpin Umum
Amanda S. Besar
Wakil Pemimpin Umum
Aristyo Rizka Darmawan
Anbiya Annisa
Pemimpin Redaksi
Ni Made Chyntia Trisna Eva Dewi
Redaktur Pelaksana
Ad’jdam Riyange Zulfachmi Sugeng
Staf Redaksi
Annisa Sholihah
Rizka Nadhira
Thareq Akmal Hibatullah
M. Fatwa Faturohman
Desain dan Tata Letak
Elizabeth Elysia
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
ii
PENGANTAR REDAKSI
Dunia telah mengalami perubahan dan perkembangan akibat
globalisasi. Kenyataan tersebut membuat Indonesia dan negara lainnya bisa
berhubungan satu sama lain dengan mudah. Hubungan yang bersifat kerja
sama tersebut tidak jarang melibatkan kepentingan negara sebagai bagian
dari masyarakat internasional. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan
sebuh instrumen yang berfungsi untuk menjamin dan melindungi
kepentingan masyarakat internasional, instrumen tersebut adalah hukum
internasional.
Penerapan hukum internasional
antaranya:
mencakup berbagai sektor, di
politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Namun, penerapan hukum internasional dalam berbagai negara seringkali
tidak sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Salah satu contoh kasus
yang saat ini sedang dibicarakan di Indonesia adalah pro dan kontra death
penalty bagi terpidana kasus narkotika. Berdasarkan fakta tersebut, penting
bagi setiap orang, tidak hanya terbatas bagi yang berkecimpung dalam
bidang ilmu hukum, untuk mengetahui bagaimana sebenarnya penerapan
hukum internasional di berbagai negara dan berbagai sektor sebagai bahan
perbandingan. Hal ini menjadi perlu, mengingat kepentingan masyarakat
seluruh negara dalam lalu lintas internasional semakin berkembang.
Melalui Juris ini, jurnal hukum dari Lembaga Kajian dan
Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kami dari tim redaksi
berharap bahwa para pembaca akan mendapatkan manfaat dari jurnal-jurnal
yang terkumpul. Tidak hanya untuk menambah wawasan, tetapi juga untuk
menimbulkan ketertarikan terhadap isu yang relevan saat ini. Harapannya,
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
iii
akan muncul karya-karya berikutnya dari kalangan praktisi, akademisi, dan
khususnya mahasiswa.
Akhir kata, kami dari Tim Redaksi berharap, bahwa kehadiran
Juris dapat bermanfaat bagi para pembaca. Untuk itu, demi perbaikan edisiedisi berikutnya, kami sangat mengharapkan kritik yang membangun dari
semua pihak.
Selamat membaca,
Tim Redaksi Juris
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
iv
SAMBUTAN DIREKTUR EKSEKUTIF LK2
FHUI
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Seperti yang dikatakan Aristoteles, manusia adalah makhluk sosial
yang tidak dapat hidup sendiri, manusia saling membutuhkan satu sama lain.
Hal ini adalah yang mendasari bagaimana kita menjalani hidup ini dalam
segala aspek. Hal ini juga terkait dengan kenyataan bahwa masyarakat dunia
juga saling berhubungan satu sama lain. Tentunya diperlukan suatu
instrumen yang berfungsi untuk menjamin dan melindungi kepentingan
masyarakat internasional. Hal ini juga berhubungan dengan keamanan dan
ketertiban yang ada di antara masyarakat internasional. Instrumen atau
manifetasi dari hal yang diperlukan tersebut berupa hukum internasional.
Adanya hukum internasional ini tidak semata hanya suatu peraturan atau
konvensi yang mengikat tanpa menyerap berbagai sektor kehidupan dari
masyarakat internasional sendiri, seperti: ekonomi, politik, sosial, budaya,
pertahanan, dan keamanan. Hal ini juga meng-aminkan bahwa hukum
terletak pada poros di setiap aspek kehidupan kita dan memperlihatkan
betapa penting eksistensi hukum tersebut maupun implementasinya. Tidak
berbeda dalam hal adanya hukum internasional, yang mencakup seluruh
masyarakat internasional. Pada dasarnya, hukum internasional telah
melibatkan negara nasional sebagai subjek hukumnya ke dalam suatu
masyarakat internasional. Masyarakat hukum internasional dituntut untuk
memahami bagaimana sebenarnya permasalahan dan penerapan hukum
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
v
internasional secara global dan dalam berbagai sektor sebagai bahan
perbandingan. Hal ini menjadi perlu mengingat kepentingan masyarakat
seluruh negara dalam lalu lintas internasional yang semakin berkembang.
Penjabaran yang di atas inilah yang menjadi latar belakang Juris
kali ini memilih tema “Menyongsong Masyarakat Hukum Berbasis Global”.
Diharapkan dengan diangkatnya tema ini dapat membangkitkan kepedulian
akademisi, praktisi, dan mahasiswa, khususnya anggota LK2 FHUI terhadap
permasalahan hukum internasional. Juris kali ini membuka kesempatan para
penulis untuk mengeksplorasi isu-isu hukum internasional dari berbagai
persepektif disiplin ilmu hukum, disertai dari berbagai sektor yang juga
sudah disebutkan. Pada akhirnya, diharapkan kepedulian dengan menulis di
Juris Volume 5 ini akan melahirkan pemikiran kritis serta ide-ide solutif
yang efektif dan efisien untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada.
Dalam Juris ini terdapat beberapa judul, yaitu: 1) Analisis Hukum Mengenai
Peran Indonesia dalam Kerangka Kerjasama Regional untuk Menangkal
Praktik Dumping di Era Perdagangan Global: Studi Kasus Terigu Impor
Turki; 2) Reaktualisasi Timor Gap Treaty 1989 dalam Kerangka
Pengembangan Mata Kuliah Hukum Sumber Daya Alam; 3) Kekosongan
Hukum Perlindungan ABK di Luar Negeri; 4) Masalah Penangkapan dan
Penahanan “Manusia Perahu” Terkait Illegal Fishing di Wilayah Perairan
Indonesia dalam Perspektif Hukum Internasional; 5) Urgensi Pengakuan
Hukum Kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender di Indonesia:
Perspektif Partikularisme HAM, 6) Pengaruh United Nations Convention for
Corruption terhadap Pemberantasan Korupsi Indonesia dan Hubungan
Indonesia dengan Dunia Internasional; 7) Prinsip Non-Refoulement dalam
Hukum Internasional: Bentuk Perlindungan HAM bagi Manusia Perahu
Rohingya; 8) Agresi dalam Perspektif Hukum Internasional dan Kaitannya
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
vi
dengan Masyarakat Berbasis Global; 9) Hukum Internasional: Implementasi
dan Efeknya dalam Kasus ICCPR; 10) Relevansi PBB di Abad ke-21:
Apakah PBB Terjebak Konsepsi LBB?; 11) Masa Depan Pidana Mati di
Indonesia: Afirmasi Ketentuan International Convention Civil and Political
Rights dalam Hukum Nasional Indonesia; 12) Peran Konvensi Internasional
untuk Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Melindungi Kelompok Minoritas:
Ketentuan Pidana Hate Speech di Indonesia; 13) Urgensi Indonesia dalam
Meratifikasi Protokol Kyoto: Backfire? ; 14) The Rapidly Changing
Landscape Of International Relations: A Political-Economic Survey of
Issues and Potential Research Agenda ; 15) Sebuah Analisis atas
Keberlakuan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa; dan
16) Hukum Perdagangan Internasional serta Isu Lingkungan sebagai Batasan
dalam Perdagangan Internasional.
Sebagaimana disebutkan, Juris merupakan jurnal terbitan LK2
FHUI sebagai wadah bagi para praktisi, akademisi, dan mahasiswa,
khususnya mahasiswa LK2 FHUI untuk menyumbangkan hasil pemikiran
dan gagasan sesuai dengan tema yang telah ditentukan. Semoga Juris sebagai
salah satu corong produk ilmiah yang dikeluarkan LK2 FHUI dapat menjadi
suatu hal yang bermanfaat bagi masyarakat luas dan penulis sendiri.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah mendukung terbitnya Juris Volume 5 ini. Sukses untuk kita
semua.
Ananda K. Sukarmaji
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Keilmuan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
vii
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi…………………………………………………………… ii
Sambutan Direktur Eksekutif LK2 FHUI……………………………….......iii
Daftar Isi………………………………………………………………….…vii
Analisis Hukum Mengenai Peran Indonesia dalam Kerangka Kerjasama
Regional untuk Menangkal Praktik Dumping di Era Perdagangan Global:
Studi Kasus Terigu Impor Turki (Oleh: Ariawan Gunadi)…………………...1
Reaktualisasi Timor Gap Treaty 1989 dalam Kerangka Pengembangan Mata
Kuliah Hukum Sumber Daya Alam (Oleh: Idris)…………………………...25
Kekosongan Hukum Perlindungan ABK di Luar Negeri (Oleh: June Kuncoro
Hadiningrat)………………………………………………………………... 97
Masalah Penangkapan dan Penahanan ‘Manusia Perahu’ Terkait Illegal
Fishing
di
Wilayah Perairan Indonesia
dalam
Perspektif Hukum
Internasional (Oleh: Davina Oktivana)…………………………………… 116
Urgensi Pengakuan Hukum Kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender
di Indonesia: Perspektif Partikularisme HAM (Oleh: Rachminawati)…… 142
Pengaruh
United
Nations
Convention
for
Corruption
terhadap
Pemberantasan Korupsi Indonesia dan Hubungan Indonesia dengan Dunia
Internasional (Oleh: Adipa Rizky Putra)………………………………….. 176
Prinsip Non-Refoulement dalam Hukum Internasional: Bentuk Perlindungan
HAM bagi Manusia Perahu Rohingya (Oleh: Alfiana Qisthi)……………. 187
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
viii
Agresi dalam Perspektif Hukum Internasional dan Kaitannya dengan
Masyarakat Berbasis Global (Oleh: Ananda K. Sukarmaji)……………… 206
Hukum Internasional: Implementasi dan Efeknya dalam Kasus ICCPR
(Oleh: Angela Vania Rustandi)…………………………………………… 224
Relevansi PBB di Abad ke-21: Apakah PBB Terjebak Konsepsi LBB?
(Oleh: Bella Nathania)……………………………………………………. 240
Masa Depan Pidana Mati di Indonesia: Afirmasi Ketentuan International
Convention Civil and Political Rights dalam Hukum Nasional Indonesia
(Oleh: Dion Valerian)……………………………………………………... 259
Peran Konvensi Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik dalam
Melindungi Kelompok Minoritas: Ketentuan Pidana Hate Speech di
Indonesia (Oleh: Diovio Alfath)………………………………………….. 278
Urgensi Indonesia dalam Meratifikasi Protokol Kyoto: Backfire? (Oleh:
Fadilla Rahmatan Putri)…………………………………………………... 298
The Rapidly Changing Landscape Of International Relations: A PoliticalEconomic Survey of Issues and Potential Research Agenda (Oleh: Justin Ian
Manjares)…………………………………………………………………. 310
Kekuatan Mengikat Hukum Internasional: Sebuah Analisis atas Keberlakuan
Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Oleh: Sherley
Mega Sandiori)……………………………………………………………. 336
Hukum Perdagangan Internasional serta Isu Lingkungan sebagai Batasan
dalam Perdagangan Internasional (Oleh: Stephanie Pretty Rizka Juwana). 349
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
259
MASA DEPAN PIDANA MATI DI INDONESIA: AFIRMASI
KETENTUAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND
POLITICAL RIGHTS DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA
Dion Valerian 1
Abstract
Indonesia as a part of the international society has ratified The
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) through Law
Number 12 of the Year 2005. Rule witihin the ICCPR that is used to be an
analytical basis for this essay is Article 6 of the ICCPR that regulates the
right to life and matters about the restriction of the death penalty
penalization within states that have not abolished the death penalty. In
Indonesia’s own positive law, the death penalty is one of the primary
penalty forms according to Article 10 of the Penal Code of Indonesia. The
Constitutional Court of Indonesia through Decision Number 2-3/PUUV/2007 also has decided the constitutionality of the death penalty. In the
agenda of Indonesian criminal law reform, there is the Draft of the Penal
Code of Indonesia which also regulates about the penalization of the death
penalty but the regulation is essentially different with the regulation in the
Penal Code of Indonesia that exists now. How is the connection between the
ICCPR rules and Indonesian national law about the death penalty? To
provide a proper answer to this question, the author investigates and
analyses the layers of rules that regulate the death penalty in the ICCPR, the
Penal Code of Indonesia, the Decision of the Constitutional Court of
Indonesia Number 2-3/PUU-V/2007 and the Draft of the Penal Code of
Indonesia.
Keywords: death penalty, draft of the penal code of Indonesia, ICCPR
1
Mahasiswa FHUI Angkatan 2012. Pernah menjadi Ketua Delegasi FHUI yang
meraih Juara 1 Kompetisi Constitutional Drafting – Sidang Semua MPR RI Padjajaran Law
Fair Fakultas Hukum Universitas Indonesia Padjajaran 2015. Sekarang sedang mengemban
amanah sebagai Ketua Mahkamah Mahasiswa UI 2015.
260
I.
PENDAHULUAN
Ide awal tulisan ini lahir dari rasa keingintahuan penulis terhadap
hubungan antara pengaturan hak untuk hidup dalam Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) yang di dalamnya mengatur tentang pidana mati,
dengan ketentuan pidana mati dalam sistem hukum nasional Indonesia.
Pengembangan terhadap ide awal itu membawa penulis pada analisis
mengenai posisi Indonesia dalam masyarakat internasional dan hak untuk
hidup dalam ICCPR. Selain itu, untuk mengetahui lebih dalam mengenai
pidana mati di Indonesia, penulis melakukan analisis terhadap pengaturan
mengenai pidana mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dan undang-undang lain, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 23/PUU-V/2007, dan ketentuan pidana mati dalam Rancangan UndangUndang (RUU) KUHP.
Ternyata, penulis mendapati adanya dinamika dan perkembangan
pemikiran mengenai pidana mati apabila dilihat dari tiga dokumen hukum
tersebut. Penulis juga menemukan terdapatnya keterkaitan antara ketentuan
ICCPR dengan Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 dan RUU KUHP yang
saling berkelindan-paut. Uraian dalam tulisan ini penulis pisahkan dalam
beberapa subjudul untuk memudahkan pembaca dalam memahaminya.
II. ISI
A.
INDONESIA DAN MASYARAKAT INTERNASIONAL
Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa eksistensi hukum
internasional mengharuskan adanya suatu masyarakat internasional yang
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
261
diatur oleh tertib hukum internasional tersebut, sehingga eksistensi
masyarakat internasional-lah yang menjadi landasan sosiologis adanya
hukum internasional. Masyarakat internasional menjadi ada ketika terdapat
dua unsur, yaitu adanya negara-negara dan adanya hubungan yang tetap
antara negara-negara tersebut sebagai anggota masyarakat internasional.
Hubungan yang tetap itu merupakan manifestasi atas adanya sifat saling
membutuhkan antara masing-masing anggota masyarakat internasional
tersebut. Kepentingan bersama berupa hubungan internasional itu perlu
ditertibkan, diatur dan dipelihara sehingga dibutuhkan hukum untuk
menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang
teratur.2
Dua unsur yang telah diuraikan di atas, menurut pendapat Mochtar
Kusumaatmadja, hanyalah
merupakan fakta fisik belaka, sehingga
penjelasan mengenai kumpulan bangsa-bangsa agar dapat benar dikatakan
sebagai masyarakat internasional memerlukan faktor pengikat yang bersifat
metafisik (nonmateriil), yang mengakari realitas fisik tersebut. Faktor
pengikat yang metafisik tersebut adalah kesamaan hukum antara bangsabangsa di dunia, betapa pun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku
di masing-masing negara. Asas pokok hukum mengenai adanya kesamaan
inilah yang dalam studi mengenai sumber hukum formil disebut dengan asas
hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. Tampak kental
corak filsafat hukum kodrat dalam asas ini. 3
Untuk memperjelas konsep mengenai Indonesia sebagai anggota
masyarakat internasional yang telah meratifikasi ICCPR, rancangan
epistemologis yang perlu dibangun adalah pemahaman mengenai kenyataan
2
_Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional , cet. 3, (Bandung:
Alumni, 2012), hlm. 12-13.
3
_Ibid., hlm. 14.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
262
Indonesia sebagai salah satu subyek hukum internasional dan ICCPR sebagai
salah satu bentuk perjanjian sebagai sumber hukum internasional. Subyek
hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut
hukum internasional, sehingga anggapan klasiknya adalah bahwa yang
memenuhi definisi ini hanyalah negara. J. G. Starke juga menyebut bahwa
negara adalah subyek utama hukum internasional. 4 Di samping itu, terdapat
pula pandangan yang menjelaskan definisi subyek hukum internasional
secara lebih luas, yaitu kepada pihak-pihak yang juga memiliki hak dan
kewajiban tersebut namun sifatnya terbatas. Jika mengikuti perspektif
demikian, subyek hukum internasional adalah: a. negara; b. Tahta Suci
Vatikan; c. Palang Merah Internasional; d. organisasi internasional; e. orang
perorangan; dan f. pemberontak dan pihak dalam sengketa ( belligerent).5
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara sebagai subyek
hukum internasional.
Sumber materiil hukum internasional merupakan bahan-bahan
aktual yang digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan
hukum yang berlaku bagi suatu situasi tertentu.6 Sumber hukum
internasional secara positif diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah
Internasional (Statute of The International Court of Justice ). Dijelaskan
bahwa dalam hal mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah
Internasional akan mempergunakan: a. perjanjian internasional; b. kebiasaan
internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima
sebagai hukum; c. prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab; dan d. keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling
4
_J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional [Introduction to International
Law], diterjemahkan oleh Sumitro L. S. Danuredjo dan Lukas Ginting, (Jakarta: Aksara
Persada Indonesia, 1988), hlm. 83.
5
_Kusumaatmadja, Op. Cit., hlm. 98-110.
6
_Starke, Op. Cit., hlm. 31.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
263
terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan
kaidah hukum. 7 Boer Mauna menjelaskan bahwa definisi perjanjian
internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah
satu subyek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan
berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat hukum. 8 Untuk mengikatkan
diri dengan ICCPR, Indonesia melakukan ratifikasi (pengesahan) melalui UU
No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
B.
HAK UNTUK HIDUP DALAM ICCPR
Hak untuk hidup (right to life) dalam ICCPR diatur dalam Pasal 6
ICCPR. Pasal 6 ayat (1) ICCPR merumuskan bahwa setiap orang berhak atas
hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak tersebut wajib dilindungi
oleh hukum dan tidak seorang pun dapat dirampas hak untuk hidupnya
secara sewenang-wenang. Selanjutnya pasal 6 ayat (2) ICCPR menjelaskan
bahwa di negara-negara yang belum menghapuskan pidana mati, putusan
pidana mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling
serius (the most serious crimes)9 sesuai dengan hukum yang berlaku pada
saat dilakukannya kejahatan tersebut, serta tidak bertentangan dengan
ketentuan ICCPR dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi
Kejahatan Genosida. Pidana mati hanya dapat dilaksanakan atas dasar
7
_Kusumaatmadja, Op. Cit., hlm. 114-115.
_Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, ed. 2, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 85-88.
9
_International Commission against the Death Penalty dalam publikasinya “The
Death Penalty and The “Most Serious Crimes”, A Country-by-country Overview of the
Death Penalty in Law and Practice in Retentionist State,” (Februari 2013) hlm. 4
menjelaskan bahwa UN Special Rapporteur menafsirkan “most serious crimes” dengan
“cases where it can be shown that there was an intention to kill, which resulted in the loss of
life ”.
8
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
264
keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
Pasal 6 ayat (3) ICCPR merumuskan bahwa apabila suatu perampasan
kehidupan merupakan kejahatan genosida, harus dipahami, bahwa tidak satu
pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara Pihak,
untuk mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan
dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan bagi
Kejahatan Genosida. Kemudian Pasal 6 ayat (4) ICCPR menjelaskan bahwa
setiap orang yang telah dijatuhi pidana mati berhak untuk memohon
pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau
penggantian pidana mati dapat diberikan dalam semua kasus. Pasal 6 ayat (5)
ICCPR menjelaskan bahwa pidana mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan
yang dilakukan oleh seseorang di bawah delapan belas tahun dan tidak boleh
dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung. Pasal 6 ayat (6)
menutup ketentuan Pasal 6 ICCPR dengan menentukan bahwa tidak ada
satupun ketentuan dalam Pasal 6 ICCPR yang boleh dipakai untuk menunda
atau mencegah penghapusan pidana mati oleh Negara yang menjadi Pihak
dalam ICCPR. 10
William A. Schabas menyebut bahwa ketentuan dalam Pasal 6
ayat (6) ini “really more programmatic than normative”11 (“benar-benar
lebih bersifat programatik daripada normatif” – terjemahan oleh penulis) dan
“… the word ‘abolition’ appears in two separate paragraphs, 2 and 6,
indicating that the Covenant contemplates abolition , without however
10
_United Nations, International Covenant on Civil and Political Rights , Psl. 6.
_William A. Schabas, “The Abolition of Capital Punishment from an
International Law Perspective,” (makalah disampaikan pada International Society for the
Reform of Criminal Law 17th International Conference “Convergence of Criminal Justice
Systems – Bridging the Gaps, The Hague, 24-28 Agustus 2003), hlm. 4.
11
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
265
imposing an immediate obligation of States parties”12 (“… kata ‘abolisi’
muncul dalam dua paragraf terpisah, yaitu paragraf 2 dan 6, menunjukkan
bahwa Kovenan merenungkan tentang abolisi, dengan tanpa memaksakan
kewajiban tersebut secara secepatnya kepada Negara Pihak” – terjemahan
oleh penulis). Menarik kesimpulan berdasarkan uraian di atas, penulis
berpandangan bahwa meskipun Indonesia belum meratifikasi Second
Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political
Rights, yang mengharuskan negara pihak dalam protokol tersebut untuk
menghapuskan pidana mati, 13 Indonesia harus tetap mengusahakan
pencegahan penjatuhan pidana mati dengan arah tujuan yang jelas:
penghapusan pidana mati dalam sistem hukum nasional.
C.
PIDANA MATI DALAM KUHP DAN UU LAIN
Pidana mati adalah salah satu bentuk pidana pokok yang diatur
Pasal 10 KUHP. Pasal 10 KUHP menjelaskan bahwa pidana terdiri atas
pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok tersebut terdiri atas: a.
pidana mati; pidana penjara; c. pidana kurungan; dan d. pidana denda. Pidana
tambahan berbentuk: a. pencabutan hak-hak tertentu; b. perampasan barangbarang tertentu; c. pengumuman putusan hakim.14 Dalam KUHP, pidana
mati diancamkan dalam Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3),
Pasal 140, Pasal 340, Pasal 365 ayat (4), Pasal 444, dan Pasal 368 ayat (2).
KUHP yang diterapkan di Indonesia sekarang pada hakikatnya dibuat oleh
penjajah Belanda dan dirumuskan dalam alam pikir masa penjajahan. Alam
pikir masa penjajahan demikian penulis pandang telah tidak cocok dengan
12
_William A. Schabas, The Abolition of the Death Penalty in International Law,
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002), hlm. 47.
13
_United Nations, Second Optional Protocol to the International Covenant on
Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty, Psl. 1.
14
_R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 16 (Pasal 10
KUHP).
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
266
perkembangan hukum, baik di kancah nasional maupun internasional dewasa
ini.
Pasal dengan ancaman pidana mati selain dalam KUHP terdapat
pula dalam UU lain. Tim Imparsial menjelaskan dalam buku “Menggugat
Hukuman Mati di Indonesia” bahwa setidaknya terdapat 13 UU lain yang
memiliki pidana mati sebagai salah satu ancaman pidananya, di antaranya
yaitu:15 a. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika pada Pasal 59 ayat (2);
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada Pasal 80 ayat (1), (2), dan
(3), Pasal 81 ayat (3), Pasal 82 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 83; c. UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi pada Pasal 2 ayat (2); d. UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada Pasal 36, Pasal 37, Pasal
41 dan Pasal 42 ayat (3); d. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme pada Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16; dan e. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak pada Pasal 89 ayat (1).
D.
PIDANA MATI MENURUT PUTUSAN MK NOMOR 2-
3/PUU-V/2007
Jika dibandingkan dengan ketentuan pidana mati dalam KUHP,
uraian mengenai putusan ini penulis pandang penting untuk menggambarkan
pergeseran paradigma mengenai pidana mati dalam konstelasi pemikiran
hukum Indonesia. Putusan ini dapat dijadikan dasar pemahaman mengenai
“perlakuan khusus” terhadap pidana mati yang juga diterapkan dalam RUU
KUHP. Isu pokok permohonan dalam Putusan ini adalah apakah ketentuan
pidana mati dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3)
_Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. “Pasal Hukuman Mati dalam
Perundang-undangan,” Asasi, (November-Desember 2014), hlm. 14.
15
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
267
huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2)
huruf a, dan ayat (3) huruf a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
(sekarang telah digantikan oleh UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD NRI 1945).16 Ketentuan pidana mati dalam pasal-pasal tersebut
dipandang oleh Pemohon melanggar Pasal 28 A, Pasal 281 ayat (1) dan ayat
(4) UUD NRI 1945.17 Pasal 28A UUD NRI 1945 menentukan bahwa “Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya” dan Pasal 28I UUD NRI 1945 ayat (1) menentukan bahwa:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Kemudian, Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945 menjelaskan bahwa
“Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
MK dalam pertimbangannya memandang bahwa terdapat dua
argumen yang dijadikan Pemohon sebagai landasan pembenarnya, yaitu: a.
pencantuman pidana mati dalam UU Narkotika bertentangan dengan UUD
NRI 1945, secara khusus dengan Pasal 28A, Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I
ayat (4) UUD NRI 1945; serta b. pencantuman pidana mati dalam UU
Narkotika bertentangan dengan keberadaan Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional yang menghendaki dihapusnya pidana mati. Untuk
16
_Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007,
hlm. 402. Uraian dalam subjudul ini menggunakan Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007
tersebut sebagai referensi pokok.
17
_Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Psl. 28.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
268
dalil pertama, pada pokoknya MK menjelaskan bahwa jika dilihat dari
perspektif original intent pembentuk UUD NRI 1945, seluruh hak asasi
manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD NRI 1945 keberlakuannya
dapat dibatasi. Semangat pembatasan inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD
NRI 1945.18 Lebih lanjut, MK menjelaskan bahwa: 19
Original intent pembentuk UUD 1945 (MK menggunakan
terminologi “UUD 1945” bukan “UUD NRI 1945” – tambahan oleh penulis)
yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat
oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan
yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945
tersebut. Jadi, secara penafsiran sistematis ( sistematische interpretatie), hak
asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD
1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Maka, berdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpandangan
bahwa hak untuk hidup tidaklah bersifat mutlak. Selanjutnya, mengenai dalil
kedua, MK pada pokoknya berpandangan bahwa berdasarkan ketentuan
ICCPR, pidana mati masih dapat dijatuhkan pada “the most serious crimes”,
yang mana MK memandang bahwa kejahatan narkotika dapat disetarakan
dengan “the most serious crimes” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.
Penulis memandang bahwa terdapat pertimbangan yang menarik
dalam putusan ini. MK menjelaskan bahwa terlepas dari pendapat MK
18
_Pasal 28J UUD NRI 1945 terdiri dari dua ayat. Ayat (1) menjelaskan bahwa
“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Ayat (2) menjelaskan bahwa:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
19
_Indonesia, Putusan…, Op. Cit., hlm. 412.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
269
perihal tidak bertentangannya pidana mati dengan UUD NRI 1945 bagi
kejahatan-kejahatan tertentu dalam UU Narkotika yang dimohonkan
pengujiannya, 20 MK berpendapat bahwa ke depan, dalam rangka pembaruan
hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-perundangan
yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun
pelaksanaan hukuman mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia harus
memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal berikut:21
a.
pidana mati bukan lagi merupakan pokok, melainkan sebagai
pidana yang bersifat khusus dan alternatif;
b.
pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama
sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji
dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama
20 tahun;
c.
pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang
belum dewasa;
d.
eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan
seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan
hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa
tersebut sembuh.
Empat poin pertimbangan ini menarik, karena menurut penulis
MK memahami bahwa pidana mati adalah jenis pidana yang irrevocable (tak
dapat dipulihkan) dan harus diadakan pembatasan terhadapnya. Pembatasanpembatasan ini haruslah dilakukan dengan memperhatikan empat poin yang
jelas-jelas merupakan afirmasi (penegasan, peneguhan) norma hukum dalam
Pasal 6 ICCPR. Hal demikian menurut penulis adalah implementasi
20
_Dapat pula dibaca dalam Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma
Pemidanaan, (Bandung: Lubuk Agung, 2011), hlm. 103-116.
21
_Indonesia, Putusan…, Op. Cit., hlm. 430-431.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
270
ketentuan ICCPR dalam hukum nasional. Empat poin di atas tersebut yang
kemudian kita temukan juga dalam ketentuan RUU KUHP mengenai pidana
mati. Juga merupakan hal yang menarik menurut penulis, bahwa Putusan
MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 ini bukanlah merupakan keputusan bulat oleh
sembilan orang Hakim Konstitusi. Tiga orang Hakim Konstitusi yaitu
Achmad Roestandi, M. Laica Marzuki, dan Maruarar Siahaan mempunyai
pendapat berbeda (dissenting opinion) bahwa pidana mati yang tujuan
utamanya mencabut hak untuk hidup seseorang bertentangan dengan UUD
NRI 1945.
E.
PIDANA MATI DALAM RUU KUHP
Penulis
memandang
bahwa
RUU
KUHP
sebagai
ius
constituendum (hukum yang dicita-citakan) dapat memberikan gambaran
mengenai “masa depan” pidana mati di Indonesia. Afirmasi terhadap
ketentuan ICCPR tersebut dirumuskan dengan semakin terperinci dalam
RUU KUHP. Bahkan RUU KUHP mengatur beberapa hal yang tidak diatur
dalam pembatasan pidana mati dalam ICCPR.
Pasal 65 RUU KUHP menjelaskan bahwa pidana pokok terdiri
atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana
denda; dan e. pidana kerja sosial. Urutan pidana tersebut menentukan berat
ringannya pidana. 22 Terdapat perbedaan pengaturan mengenai pidana pokok
dalam KUHP dan RUU KUHP. Dapat dilihat bahwa dalam RUU KUHP,
pidana mati tidak lagi termasuk dalam pidana pokok, berbeda dengan pidana
pokok versi KUHP yang memasukkan pidana mati sebagai jenis pidana
pokok. Pidana pokok dalam RUU KUHP memiliki tempat yang “khusus”,
22
_Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Psl. 65.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
271
karena Pasal 66 RUU KUHP mengatur bahwa pidana mati merupakan
pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. 23
Penulis berpendapat bahwa pengaturan ini secara implisit menyatakan bahwa
pidana mati adalah jenis pidana yang hanya dapat dipertimbangkan pada
kasus-kasus tertentu, serta pengancamannya harus secara alternatif agar tetap
ada kemungkinan menjatuhkan putusan berbentuk pidana perampasan
kemerdekaan yang lebih ringan dibanding pidana mati.
Dalam RUU KUHP, pidana mati diatur lebih terperinci dalam
Paragraf 11 tentang Pidana Mati, Pasal 87 hingga Pasal 90. Menurut penulis,
hal tersebut menarik sebab pidana mati diuraikan dalam pasal-pasal yang
mengatur dengan detail mengenai konsep dan pelaksanaan pidana mati yang
cukup memperhatikan keadaan terpidana mati karena memungkinkan adanya
perubahan dari pidana mati ke pidana perampasan kemerdekaan. Dalam
Rancangan Penjelasan UU KUHP, dijelaskan bahwa: 24
Pidana mati yang ditentukan dalam pasal tersendiri untuk
menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai
upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana
yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis
pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Pidana mati
dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan,
sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana
diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu
dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana perampasan kemerdekaan.
23
_Ibid., Psl. 66. Dijelaskan pula dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru , cet. 4,
(Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 94-95.
24
_Ibid., Penjelasan, Bagian Umum butir 6.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
272
Pasal 87 hingga Pasal 90 RUU KUHP tersebut secara lengkap
penulis kutipkan:25
Pasal 87
Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir
untuk mengayomi masyarakat.
Pasal 88
(1) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai
mati oleh regu tembak.
(2) Pelaksanaan pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dilaksanakan di muka umum.
(3) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang
yang sakit jiwa ditunda hingga wanita tersebut melahirkan
atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
(4) Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan
grasi bagi terpidana ditolak oleh Presiden.
Pasal 89
(1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa
percobaan selama 10 ( sepuluh) tahun, jika:
a.
reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
b.
terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan
untuk diperbaiki;
25
_Ibid., Psl. 87-90.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
273
c.
kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana
tidak terlalu penting; dan
d.
ada alasan yang meringankan.
(2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji
maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup
atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan
keputusan
menteri
yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang
terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana
mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pasal 90
Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati
tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana
melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana
seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Berdasarkan ketentuan Pasal 87 hingga Pasal 90 RUU KUHP,
penulis berpandangan bahwa ketentuan mengenai pembatasan-pembatasan
pidana mati dalam pasal-pasal tersebut diambil dari dan bersesuaian dengan
ketentuan Pasal 6 ICCPR, bahkan dirumuskan dengan lebih tegas dan
terperinci. Pasal 87 hingga Pasal 90 RUU KUHP menguraikan alasan-alasan
dan hal-hal teknis mengenai “pengampunan” terhadap terpidana mati,
sehingga
ketentuan
dalam
RUU
KUHP
memperhatikan hak terpidana mati.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
penulis
pandang
lebih
274
I.
KESIMPULAN
Untuk menutup tulisan ini, ada beberapa hal yang penulis pandang
patut disampaikan. Pertama , RUU KUHP sebagai ius constituendum hukum
pidana Indonesia telah menjadikan pidana mati sebagai pidana pokok yang
bersifat khusus dan terdapat banyak pembatasan dalam hal penjatuhan pidana
mati. Kedua , meskipun demikian, tetap saja pidana mati belum dihapuskan
dalam hukum Indonesia. Namun, dengan adanya pengetatan pengaturan ini,
penulis mengharapkan adanya moratorium penjatuhan pidana mati dan
pemidanaan tersebut dialihkan pada pilihan alternatif yaitu pidana
perampasan kemerdekaan. Ketiga , diperlukan adanya pemahaman di benak
para jaksa dan hakim mengenai konsep “kekhususan” pidana mati dalam
RUU KUHP ini, sehingga tuntutan dan putusan yang menjatuhkan pidana
mati dapat dicegah (setidaknya dikurangi). Tujuan jangka panjangnya adalah
penghapusan pidana mati di Indonesia secara perlahan-lahan. Dengan terus
berkurangnya penjatuhan pidana mati, penulis mengharapkan di masa depan
pidana mati benar-benar sudah tidak lagi dijatuhkan dan jalan menuju
penghapusan pidana mati menjadi semakin nyata.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
275
DAFTAR PUSTAKA
Konstitusi
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Putusan Nomor 2-3/PUUV/2007.
Perjanjian Internasional
United Nations. International Covenant on Civil and Political Rights.
United Nations. Second Optional Protocol to the International Covenant on
Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death
penalty.
Buku
Arief, Barda Nawawi. Bunga
Rampai
Kebijakan
Perkembangan Penyusunan Konsep
Hukum Pidana:
KUHP
Baru,
cet. 4.
Jakarta: Kencana, 2014.
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional, cet. 3. Bandung:
Alumni, 2012.
Mauna, Boer. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global, ed. 2.
Bandung,: Alumni, 2005.
Schabas, William A. The Abolition of the Death Penalty in International
Law. Cambridge: Cambridge
University Press, 2002.
Soerodibroto, R. Soenarto. KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge
Raad.
Persada, 2006.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
Jakarta:
RajaGrafindo
276
Starke, J. G. Pengantar Hukum Internasional [Introduction to International
Law]. Diterjemahkan oleh Sumitro L. S. Danuredjo dan Lukas
Ginting. Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1988.
Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan . Bandung: Lubuk
Agung, 2011.
Rancangan Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana .
Artikel
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. “Pasal Hukuman Mati dalam
Perundang-undangan.” Asasi,
(November-Desember 2014): 1
– 24.
International Commission against the Death Penalty. “The Death Penalty and
The “Most Serious Crimes”, A Country-by-country Overview of
the Death Penalty in Law and Practice in Retentionist
State.”
(Februari 2013): 1 – 39.
Makalah
Schabas, William A. “The Abolition of Capital Punishment from an
International Law Perspective.”
Makalah
disampaikan
pada
International Society for the Reform of Criminal Law 17 th
International Conference “Convergence of Criminal Justice
Systems – Bridging the Gaps, The
2003.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI
Hague, 24-28 Agustus
277
BIODATA PENULIS
Penulis merupakan mahasiswa FHUI Angkatan 2012. Pernah mengemban
amanah sebagai Ketua Pelaksana Simposium Hukum Nasional FHUI 2013
dan Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FHUI 2014.
Beberapa waktu lalu menjadi Ketua Delegasi Constitutional Drafting FHUI
yang meraih Juara I Kompetisi Constitutional Drafting - Sidang Semu MPR
RI pada Padjadjaran Law Fair Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Tahun 2015. Sekarang sedang menjabat sebagai Ketua Mahkamah
Mahasiswa UI 2015.
Volume 5, Juni | Juris LK2 FHUI