KEDUDUKAN HUKUM ANAK TIRI SEBAGAI AHLI W (1)
KEDUDUKAN HUKUM ANAK TIRI SEBAGAI AHLI WARIS
DALAM HUKUM WARIS ISLAM DAN KUHPERDATA
LEGAL POSITION STEP CHILDREN AS HEIR ISLAMIC IN HERITANCE LAW AND CIVIL
CODE
Mefita Fitri Lia Fandi, Hj. Liliek Istiqomah, S.H., M.H., Firman Floranta Adonara, S.H., M.H.
Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Jember (UNEJ)
Jln. Kalimantan 37, Jember 68121
E-mail: [email protected]
Abstrak
Kasus tentang sengketa waris yang terjadi sebagai berikut: pada awalnya pewaris mempunyai 5 (lima) anak,
yaitu 4 anak kandung dan 1 anak tiri, pada saat si pewaris meninggal maka 5 anak tersebut mendapatkan
warisan, 4 anak kandung tersebut ternyata menggugat anak tiri yang mendapatkan warisan tersebut. Tujuan
penulisan skripsi ini adalah pertama, untuk mengetahui tentang kedudukan anak tiri dalam hukum Islam dan
bagaimana cara anak tiri mendapatkan harta warisan menurut hukum Islam; dan kedua untuk mengetahui
tentang kedudukan anak tiri dalam KUHPerdata dan bagaimana cara anak tiri mendapatkan harta warisan
menurut KUHPerdata. Adapun tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah Yuridis Normatif.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Pendekatan Perundang-Undangan
(Statute Approach) dan dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Bahan hukum yang digunakan
adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian yang dapat diambil dari permasalahan
yang ada adalah Kedudukan anak tiri dalam hukum waris perdata adalah bukan sebagai ahli waris, hal ini sesuai
dengan Pasal 832 KUH Perdata sedangkan kedudukan anak tiri dalam hukum waris islam adalah bukan sebagai
ahli waris. Hal ini didasarkan pada pasal 171 huruf c kompilasi hukum islam, Sedangkan mengenai cara
mendapatkan warisan jika dikaitkan dengan kasus maka anak tiri bisa mendapatkan harta warisan menurut
kompilasi hukum islam yaitu dengan cara wasiat dan hibah, hal ini tertuang dalam pasal 194 ayat (2), pasal 195
ayat (2), pasal 210 ayat (1) dan pasal 211 kompilasi hukum islam. Sedangkan menurut hukum waris barat, anak
tiri bisa mendapatkan harta warisan dengan cara testament atau wasiat.
Kata kunci : hukum waris, hukum waris islam, anak.
Abstract
The case is about disputes of inheritance that occurred as follows: at first, the heir has 5 children, consist of 4
biological children and 1 stepchild. While the heir died, then 5 children will get inheritance. But apparently, 4
biological children sued stepchild’s legacy. The purpose of writing this paper is first, to know about the position
of stepchildren in Islamic law and how they get the inheritance according to Islamic law; Second to find out
about the position of stepchildren in the Civil Code and how they get the inheritance according to the Civil
Code. The type of research that used in this paper is The Normative Juridical. The approach that used in this
paper is The Approach of Legislation (Statute Approach) and Conceptual Approach (Conceptual Approach).
Legal materials that used are primary legal materials and secondary legal materials. The results that can be
taken from the existing problems are position of the stepchildren in the legal heir of Civil Code is not as heirs. It
is in accordance with Civil Code article 832. In the other hand, the position of stepchildren in Islamic law of
inheritance is not as heir. It is based on article 171-c, compilation of Islamic law. And about how to obtain the
legacy, it is related with the case, so the stepchildren can get inheritances according to Islamic law compilation
which is by will and grant. It is stated in article 194 paragraph (2), article 195 paragraph (2), article 210
paragraph (1) and article 211 compilation of Islamic law. While according to the west law of inheritance,
stepchildren can get inheritance by the testament.
Keywords:
inheritance law, Islamic law of inheritance, children.
PENDAHULUAN
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum
kekeluargaan yang memegang peranan penting,
bahkan menentukan dan mencerminkan sistem
kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.
Hukum kewarisan sangat erat hubungannya dengan
kehidupan manusia karena terkait dengan harta
kekayaan dan manusia yang satu dengan yang
lainnya. Kematian atau meninggal dunia adalah
peristiwa yang pasti akan dialami oleh seseorang,
karena kematian merupakan akhir dari perjalanan
hidup seorang manusia. Jika orang yang meninggal
dunia yang dikenal dengan pewaris meninggalkan
keluarga dan harta kekayaan yang disebut warisan,
dengan cara apa kita akan menyelesaikan atau
membagi warisan yang ditinggalkan oleh pewaris
serta hukum apa yang akan diterapkan untuk
membagi warisan tersebut. Hukum yang membahas
tentang peralihan harta peninggalan, pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang
meninggal dunia, diatur dalam hukum kewarisan. Di
Indonesia, sampai saat ini masih menggunakan 3
(tiga) sistem hukum kewarisan, yaitu sebagai
berikut1:
a) Hukum Kewarisan Adat
Sistem Hukum kewarisan adat beraneka ragam, hal
ini dipengaruhi oleh bentuk masyarakat di berbagai
daerah lingkungan hukum adat dan sifat kekerabatan
berdasarkan keturunan. Setiap sistem keturunan
memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang
satu dengan yang lainnya saling berbeda. Dalam
hukum adat mengenal tiga sistem hukum kewarisan
yang sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan,
yaitu Sistem Kewarisan Individual, Sistem
Kewarisan Kolektif, Sistem Kewarisan Mayorat.
Dasar hukum berlakunya hukum adat ini terdapat
1 Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia
dalam perspektif Islam, Adat dan Bw, Bandung,
Refika Aditama, hal. 53
dalam pasal 131 I.S. (Indische Staatssregeling) ayat
(2) b (Stb 1925 No. 415 Jo. 577), termasuk juga
berlakunya hukum waris adat yaitu: “Bagi golongan
Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur Asing
dan bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut,
berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas
agama, dan kebiasaan mereka”. Hukum adat
mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri, yang
berbeda dengan hukum Islam maupun hukum
perdata, hal ini disebabkan karena latar belakang
pikiran bangsa Indonesia dengan masyarakat yang
bhineka tunggal ika.
b) Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan yang lazim disebut dengan
hukum Faraid merupakan bagian dari keseluruhan
hukum Islam yang khusus mengatur dan membahas
tentang proses peralihan harta peninggalan dan hakhak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal
dunia kepada yang masih hidup. Buku II Pasal 171
huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan
bahwa yang dimaksud hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dasar
hukum kewarisan Islam diatur dengan tegas dalam
Al-Qur’an, diantaranya dalam firman Allah dalam
surat An-Nisa ayat 7, yang artinya sebagai berikut:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
Agama Islam mengatur cara pewarisan itu
berasaskan keadilan antara kepentingan anggota
keluarga, kepentingan agama dan kepentingan
masyarakat. Hukum Islam tidak hanya memberi
warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi
juga memberi warisan kepada keturunan kedua
suami isteri itu, baik secara garis lurus kebawah,
garis lurus ke atas, atau garis ke samping, baik lakilaki atau perempuan. Dengan alasan demikian maka
hukum kewarisan Islam bersifat individual. Oleh
karenanya hukum kewarisan Islam memiliki corak
yang berbeda dangan hukum kewarisan adat
maupun hukum kewarisan perdata barat. Corak atau
karakteristik hukum kewarisan Islam tersebut tidak
ditemui dalam hukum kewarisan KUH Perdata dan
Hukum Waris Adat.
c) Hukum Kewarisan Perdata Barat
Sistem kewarisan yang tertuang dalam
Burgerlijk Wetboek (BW) atau (Kitab UndangUndang Hukum Perdata) yang menganut sistem
individual, dimana setelah pewaris meninggal dunia
maka harta peninggalan pewaris haruslah segera
dilakukan pembagian kepada ahli waris. Berlakunya
Burgerlijk Wetboek (BW) berdasarkan pada
ketentuan:
a. Pasal 131 jo 163 I.S. (Indische
Staatsregeling) yaitu hukum waris yang
diatur dalam KUHPerdata berlaku bagi
orang-orang Eropa dan mereka yang
dipersamakan dengan orang-orang Eropa
tersebut;
b. Staatsblad 1917 No. 129 yaitu hukum waris
yang diatur dalam KUHPerdata berlaku bagi
orang-orang Timur Asing Tionghoa;
c. Staatsblad 1924 No. 557 jo. Staatsblad 1917
No. 12 yaitu hukum waris yang diatur dalam
KUHPerdata berlaku bagi orang-orang Timur
Asing lainnya dan orang-orang Indonesia
yang menundukkan diri kepada hukum
Eropa. Sekarang ini Staatsblad tersebut tidak
berlaku lagi setelah adanya UUD RI 1945
yang tidak mengenal penggolongan penduduk
Indonesia. Penggolongan yang sekarang
dikenal yaitu “Warga Negara Indonesia dan
Warga Negara Asing”.
Hukum waris KUHPerdata diartikan sebagai
berikut: “Kesemuanya kaidah hukum yang mengatur
nasib kekayaan seseorang setelah ia meninggal
dunia dan menentukan siapa orangnya yang dapat
menerimanya. Pewarisan akan dilaksanakan setelah
ada seseorang yang meninggal dunia dengan
meninggalkan harta kekayaan dan ada ahli waris
yang berhak atas harta peninggalan tersebut,
sebagaimana Pasal 830 KUHPerdata menyatakan
bahwa pewarisan hanya berlangsung karena
kematian.
Dari pemaparan diatas maka penulis ingin
mengangkat suatu kasus tentang sengketa waris
yang terjadi sebagai berikut: pada awalnya pewaris
mempunyai 5 (lima) anak, yaitu 4 anak kandung dan
1 anak tiri, pada saat si pewaris meninggal maka 5
anak tersebut mendapatkan warisan, 4 anak kandung
tersebut ternyata menggugat anak tiri yang
mendapatkan
warisan
tersebut.
Adapun
permasalahan yang didapat latar belakang diatas,
maka akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah Kedudukan Hukum Anak Tiri
Sebagai Ahli Waris Dalam Hukum Waris Islam
dan KUHPerdata?
2. Bagaimanakah Cara Anak Tiri Mendapatkan
Harta Warisan Menurut Hukum Waris Islam
dan KUHPerdata?
METODE PENELITIAN
Guna mendukung tulisan tersebut menjadi sebuah
karya
tulis
ilmiah
yang
dapat
di
pertanggungjawabkan maka metode penelitian
dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe
penelitian yuridis normatif (legal research) dengan
pendekatan undang-undang (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conseptual approach)
dengan bahan hukum primer Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia (Burgerlijk Wetboek),
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Bahan
hukum sekunder yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah buku-buku literatur, kamus
hukum, dan tulisan-tulisan tentang hukum. Langkah
selanjutnya yang digunakan dalam melakukan suatu
penelitian hukum yaitu mengidentifikasi fakta
hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan
dan menetapkan permasalahan yang dibahas.
Kemudian melakukan pengumpulan bahan-bahan
hukum dan bahan-bahan non hukum yang sekiranya
dipandang
mempunyai
relevansi
dengan
permasalahan. Setelah itu melakukan telaah
permasalahan yang akan dibahas. Lalu memberikan
preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah
dibangun didalam kesimpulan.
PEMBAHASAN
Harta adalah salah satu benda berharga yang dimiliki
manusia.Karena
harta
itu,
manusia
dapat
memperoleh apapun yang dikehendakinya. Salah
satu cara memperoleh harta itu adalah melalui jalur
warisan yaitu memperoleh sejumlah harta yang
diakibatkan meninggalnya seseorang. Tentunya cara
ini pun harus sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku, khususnya hukum Islam. Melalui berbagai
syarat dan ketentuan yang di atur dalam hukum
Islam tersebut diharapkan seorang generasi penerus
keluarga atau anak dari salah satu orang tua yang
meninggal dapat memperoleh harta peninggalan
orang tuanya dengan tidak menzhalimi atau
merugikan orang lain.
Hukum kewarisan merupakan hukum yang
mengatur tentang segala sesuatu yang berkenaan
dengan peralihan hak dan/atau kewajiban atas harta
kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia
kepada ahli warisnya. Dalam Kompilasi Hukum
Islam disebutkan Hukum Kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagian masing-masingnya. Hukum Islam
tidak hanya memberi warisan kepada pihak suami
atau isteri saja, tetapi juga memberi warisan kepada
keturunan kedua suami isteri itu, baik secara garis
lurus kebawah, garis lurus ke atas, atau garis ke
samping, baik laki-laki atau perempuan. Dengan
alasan demikian maka hukum kewarisan Islam
bersifat individual.
Pengertian–pengertian tentang hukum waris
diatas jika dikaitkan dengan kasus maka sudah
sesuai. Hal ini mengacu pada kasus posisi
pemberian warisan oleh pak subhan kepada anak–
anaknya setelah meninggal dunia yaitu berupa
sebidang tanah yang tidak diketahui berapa luasnya.
Adapun anak–anaknya yaitu ari, budi, cahyono,
dodik, fandi. Dari 5 orang anaknya tersebut 4
diantaranya merupakan anak kandung dari pak
subhan buah hasil perkawinan pertamanya dengan
julaikha yaitu ari, budi, dodik, dan fandi, sedangkan
cahyono
merupakan
anak
bawaan
hasil
pernikahannya dengan istri yang kedua yaitu
jumroh.
Menurut penulis, jika dikaitkan dengan
pengertian hukum waris menurut Hasbi, maka
permasalahan tersebut merupakan permasalahan
waris, karena sudah tentu siapa–siapa yang berhak
mendapatkan warisan, dan siapa–siapa yang tidak
berhak mendapatkan warisan, dengan disertai
berapa bagian masing–masing dari ahli waris.
Sedangkan jika ditinjau dari pengertian hukum
waris menurut ahmad zahari, permaslahan atau
kasus diatas juga merupakan suatu permasalahan
waris, karena disini terjadi peralihan harta kekayaan
dari pak subhan kepada ahli warisnya yaitu ari, budi,
cahyono, dodik, fandi. Selain itu bagian–bagian
harta kekayaan tersebut juga wajib diperhatikan
mengingat antara ahli waris yang satu dengan yang
lain kemungkinan besar mempunyai perbedaan.
Selain itu tata cara mendapatkan warisan juga perlu
ditekankan, karena hal ini terkait dengan siapa saja
yang berhak mendapatkan warisan dan siapa yang
tidak berhak.
Akibat masih terdapatnya pluralisme hukum
di Indonesia, maka dikenallah hukum waris Islam,
hukum waris adat dan hukum waris Perdata Barat
yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata /Burgerlijk Wetboek/BW).
Permasalahan yang pertama-tama timbul bila
seseorang meninggal dunia adalah hukum waris
yang berhubungan erat dengan hukum apa yang
berlaku bagi orang yang meninggal dunia tersebut.
Sistem kewarisan menurut KUH Perdata
rmengikut pada sistem keluarga inti dengan
pembagian harta secara individual. Pokok–pokok
kewarisan yang diatur dalam hukum perdata dapat
dilihat dalam Pasal 1066 KUH Perdata, hal- hal
yang ditentukan yaitu :
a. Tidak, seorangpun yang mempunyai
bahagian
dalam
harta
peninggalan
diwajibkan menerima berlangsungnya harta
peninggalan itu dalam keadaan yang tak
terbagi.
b. Pemisahan harta itu setiap waktu dapat
dituntut, biarpun ada larangan untuk
melakukannya.
c. Namun dapatlah diadakan persetujuan untuk
selama suatu waktu tertentu tidak
melakukan pemisahan.
d. Perjanjian ini dapat mengikat selama lima
tahun, tetapi setelah tenggang waktu lewat,
perjanjian itu dapat diperbaharui.
Pengertian–pengertian tentang hukum waris
diatas jika dikaitkan dengan kasus maka sudah
sesuai. Hal ini mengacu pada kasus posisi
pemberian warisan oleh pak subhan kepada anak–
anaknya setelah meninggal dunia yaitu berupa
sebidang tanah yang tidak diketahui berapa luasnya.
Adapun anak–anaknya yaitu ari, budi, cahyono,
dodik, fandi. Dari 5 orang anaknya tersebut 4
diantaranya merupakan anak kandung dari pak
subhan buah hasil perkawinan pertamanya dengan
julaikha yaitu ari, budi, dodik, dan fandi, sedangkan
cahyono
merupakan
anak
bawaan
hasil
pernikahannya dengan istri yang kedua yaitu
jumroh.
Menurut penulis, jika dikaitkan dengan
pengertian hukum waris menurut wirjono, maka
permasalahan tersebut merupakan permasalahan
waris, karena sudah tentu siapa–siapa yang berhak
mendapatkan warisan, dan siapa–siapa yang tidak
berhak mendapatkan warisan, dengan disertai
berapa bagian masing–masing dari ahli waris.
Sedangkan jika ditinjau dari pengertian hukum
warismenurut pasal 830 KUHPerdata, permasalahan
atau kasus diatas juga merupakan suatu
permasalahan waris, karena disini terjadi peralihan
harta kekayaan dari pak subhan kepada ahli
warisnya yaitu ari, budi, cahyono, dodik, fandi.
Selain itu bagian–bagian harta kekayaan tersebut
juga wajib diperhatikan mengingat antara ahli waris
yang satu dengan yang lain kemungkinan besar
mempunyai perbedaan. Selain itu tata cara
mendapatkan warisan juga perlu ditekankan, karena
hal ini terkait dengan siapa saja yang berhak
mendapatkan warisan dan siapa yang tidak berhak.
Telah diketahui, bahwa di Indonesia berlaku
lebih dari satu sistem HukumPerdata yaitu, Hukum
Barat (Hukum Perdata Eropa), Hukum Adat dan
Hukum Islam. Ketiga sistem hukum tersebut
semuanya antara lain juga mengatur cara pembagian
harta warisan. Hukum Waris Perdata ini digunakan
bagi orang yang mengesampingkan Hukum Adat
Waris dalam mendapatkan penyelesaian pembagian
warisan. Hukum Waris adalah bagian dari Hukum
Kekayaan, akan tetapi erat sekali dengan Hukum
Keluarga, karena seluruh pewarisan menurut
undang-undang berdasarkan atas hubungan keluarga
sedarah dan hubungan perkawinan. Dengan
demikian ia masuk bentuk campuran antara bidang
yang dinamakan Hukum Kekayaan dan Hukum
Keluarga.
Dalam hal pewarisan, yang dapat diwarisi
yaitu hanya hak dan kewajiban yang meliputi bidang
harta kekayaan. Namun ada hak-hak yang
sebenarnya masuk bidang harta kekayaan tetapi
tidak dapat diwarisi. Selanjutnya ada juga hak-hak
yang bersumber kepada Hukum Keluarga namun
dapat diwarisi antara lain, hak untuk mengajukan
tuntutan agar ia diakui sebagai anaknya dan hak
untuk menyangkal keabsahan seorang anak. Dengan
demikian prinsipnya hanya hak dan kewajiban yang
meliputi harta kekayaan saja yang dapat diwarisi,
ternyata tidak dapat dipegang teguh dan terdapat
beberapa pengecualian.
Menurut kompilasi hukum Islam pasal 174
ayat (1), pasal 201, 211 maka cara mendapatkan
warisan adalah dengan:
a) Berdasarkan hubungan darah, wala,
hubungan
seagama
dan
hubungan
perkawinan.
b) Dengan berdasarkan wasiat.
Wasiat merupakan bagian dari hukum
kewarisan.
Pengertian
wasiat
ialah
pernyataan kehendak oleh seseorang
mengenai apa yang akan dilakukan terhadap
hartanya setelah meninggal dunia. Dalam
pelaksanannya terdapat beberapa syarat
yang harus dipenuhi agar terlaksana dengan
baik. Hal di atas merupakan pengertian
wasiat yang berhubungan dengan harta
peninggalan dalam hukum kewarisan.
Wasiat dapat juga diartikan nasihat-nasihat
atau kata-kata yang disampaikan atau
dikehendaki seseorang untuk dilaksanakan
setelah ia meninggal dunia. Wasiat yang
demikian berkaitan dengan hak kekuasaan
(tanggung jawab) yang akan dijalankan
setelah ia meninggal dunia, misal seseorang
berwasiat kepada orang lain agar menolong
mendidik anaknya kelak, membayar
hutangnya atau mengembalikan barang yang
pernah dipinjamnya.
Menurut pasal 171 huruf (f) KHI, yang
dimaksud dengan wasiat ialah pemberian sesuatu
kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah meninggal dunia. Definisi menurut KHI
tersebut berarti agar terjadi wasiat maka harus ada
rukun wasiat, yaitu pewasiat, penerima wasiat, dan
benda yang diwasiatkan. Sedangkan klausula wasiat
adalah suatu pemberian yang baru akan berlaku
(mempunyai kekuatan hukum tetap) apabila yang
memberikan telah meninggal dunia. Sehingga, pada
dasarnya wasiat dalam KHI merupakan pemberian
yang digantungkan pada kejadian tertentu baik
pemberian tersebut dengan atau tanpa persetujuan
dari yang diberi. Apabila seseorang ingin membuat
wasiat berdasarkan hukum Islam, maka orang
tersebut menuliskan kehendaknya tersebut dalam
suatu surat (yang disebut surat wasiat) tanpa dihadiri
oleh seorang notaris, hanya disaksikan oleh saksi
ketika membuat wasiat tersebut, dan menyimpannya
sampai batas waktu meninggal dunia. Atau cukup
dengan mengucapkan secara lisan sewaktu orang
tersebut masih hidup dan disaksikan oleh para saksi
saja, maka hal tersebut sudah bisa dikatakan sah
wasiatnya.
Menurut KHI seseorang yang akan membuat
surat wasiat bisa dilakukan secara lisan dihadapan
dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang
saksi atau bisa juga dicatatkan dihadapan seorang
notaris. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 195 ayat
1. Wasiat dari segi etimologi berasal dari Bahasa
Arab, yaitu washiyyah yang artinya pelepasan, yakni
pelepasan terhadap harta peninggalan yang
dilakukan seseorang sewaktu masih hidup, untuk
dilaksanakan setelah meninggal dunia. Sehingga
dengan adanya wasiat akan memungkinkan
seseorang yang mempunyai harta lebih untuk
menyisihkan sebagian harta tersebut dan tidak
dimasukkan ke dalam jumlah harta peninggalan
yang akan dibagi kepada ahli warisnya. Maka
setelah mempertimbangkan kebutuhan ahli waris,
sebagian harta tersebut akan diberikan pada pihak
lain yang masih membutuhkan, seperti kaum kerabat
yang miskin sedangkan ia bukan tergolong ahli
waris yang mendapatkan warisan.
c) Dengan berdasarkan hibah
Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum
waris Islam apabila diterapkan apaadanya
sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan
hadist masih menyisakan berbagai masalah
bila dihadapkan dengan realitas sosial
masyarakat Indonesia, diantaranya ahli
waris non muslim tidak menjadi ahli waris
dari pewaris muslim sehingga tidak akan
mendapat harta warisan. Kedua, masyarakat
Indonesia ada kecenderungan tidak ingin
membedakan hak waris anak laki-laki
dengan hak waris perempuan.Ketiga, anak
angkat dan orang tua angkat tidak saling
mewarisi karena tidak memiliki hubungan
kekerabatan.
Terkait
lagi
dengan
permasalahan hibah yang sampai saat ini
masih
aeda
perbedaan
mengenai
pemberiannya.
Hibah adalah pemberian ketika yang punya
harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan
ketika yang punya harta telah meninggal dunia.
Walaupun saat pemberiannya berbeda namun
keduanya memiliki hubungan yang sangat erat,
terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli
waris karena akan menentukan terhadap bagian
warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan
ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang
keberatan dengan adanya hibah tersebut, oleh
karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris,
satu pihak berpendapat bahwa hibah yang sudah
diberikan berbeda dengan warisan, sedangkan pihak
lain (ahli warisyang tidak menerima hibah)
menyatakan hibah yang sudah diterima merupakan
harta warisan yang sudah dibagi. Oleh karenanya
ahli waris yang sudah menerima hibah tidak akan
mendapat harta warisan lagi.
Berkaitan dengan masalah di atas pasal 211
KHI telah memberikan solusi, yaitu dengan cara
hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya
dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian
“dapat” dalam pasal tersebut bukan berartai
imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu
alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan
sengketa warisan. Sepanjang para ahli waris tidak
ada yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima
oleh sebagian ahli waris, maka harta warisan yang
belum dihibahkan dapat dibagikan kepada semua
ahli waris sesuai dengan porsinya masing-masing.
Tetapi apabila ada sebagian ahli waris yang
memperseoalkan hibah yang diberikan kepada
sebagian ahli waris lainnya, maka hibah tersebut
dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan
cara mengkalkulasikan hibah yang sudah diterima
dengan porsi warisan yang seharusnya diterima,
apabila hibah yang sudah diterima masih kurang
dari porsi warisan maka tinggal menambah
kekurangannya, dan kalau melebihi dari porsi
warisan maka kelebihan hibah tersebut dapat ditarik
kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang
kekurangan dari porsinya.
Menurut KUHPerdata pasal 832 dan pasal
899 maka cara mendapatkan warisan adalah dengan:
1. Secara ab intestato (ahli waris menurut undangundang),
Menurut pasal 832 KUH Perdata ada empat
golongan ahli waris ab intestato di mana
golongan kedua baru tampil jika golongan
pertama tidak ada dan demikian seterusnya.
Pembagian golongan ini meliputi:
(a) Golongan pertama yaitu anak-anak dan
keturunannya, serta isteri atau suami yang
masih hidup.
(b) Golongan kedua yaitu orang tua (ayah
dan/atau ibu), saudara-saudara dan
keturunannya tampil jika golongan pertama
tidak ada.
(c) Golongan ketiga yaitu golongan ini ialah
kakek dan/atau nenek dan/atau leluhur
mereka, yang tampil jika golongan kedua
tidak ada. Jika pewaris tidak meninggalkan
suami/isteri, keturunan dan saudara, tanpa
mengurangi ketentuan pasal 859 kuh
perdata, warisan dibagi dua bagian sama,
satu bagian untuk keluarga sedarah dalam
garis bapak ke atas dan satu bagian untuk
garis ibu ke atas (pasal 853 kuh perdata).
(d) Golongan keempat yaitu golongan ini ialah
sanak saudara dari garis ke samping seperti
paman, bibi, dengan hak pergantian kedu-
dukan tampil jika golongan ketiga tidak
ada.
Jika pewaris dan ahli waris sama-sama
meninggal tanpa dapat diketahui siapa yang lebih
dahulu meninggal, mereka dianggap meninggal
pada saat yang sama dan di antara mereka tidak terjadi saling mewaris (pasal 831 dan 894 KUH
Perdata). Jika semua golongan tidak ada, maka harta
warisan ini jatuh pada negara yang wajib melunasi
utang-utang pewaris sekadar harta warisan itu mencukupi.
2. Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk
dalam suatu wasiat)
Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat
wasiat dimana para ahli warisnya ditunjuk
dalam suatu wasiat/testamen. Surat wasiat atau
testamen adalah suatu pernyataan tentang apa
yang dikehendaki oleh si pewaris. Surat wasiat
berlaku setelah pembuat wasiat meninggal
dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Wasiat
ini sebagaimana tercantum dalam BW pasal
874, 875,879, 880, 890, 893, 894, 895, 897,
930, 944, 946, 947, 950, 951, 954, 988, yang
mana
didalamnya
mengatur
tentang
pembahasan wasiat.
Dari penjelasan diatas mengenai cara
mendapatkan warisan jika dikaitkan dengan kasus
maka anak tiri bisa mendapatkan harta warisan
menurut kompilasi hukum Islam yaitu dengan cara
wasiat dan hibah, hal ini tertuang dalam pasal 194
ayat (2), pasal 195 ayat (2), pasal 210 ayat (1) dan
pasal 211 kompilasi hukum Islam. Sedangkan
menurut hukum waris barat, anak tiri bisa
mendapatkan
harta
warisan
dengan
cara
terstamentair.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas maka penulis
memperoleh suatu kesimpulan yaitu sebagai berikut;
1. Kedudukan anak tiri dalam hukum waris
perdata adalah bukan sebagai ahli waris, hal ini
sesuai dengan Pasal 832 KUH Perdata
sedangkan kedudukan anak tiri dalam hukum
waris islam adalah bukan sebagai ahli waris.
Hal ini didasarkan pada pasal 171 huruf c
kompilasi hukum islam.
2. Dari penjelasan diatas mengenai cara
mendapatkan warisan jika dikaitkan dengan
kasus maka anak tiri bisa mendapatkan harta
warisan menurut kompilasi hukum islam yaitu
dengan cara wasiat dan hibah, hal ini tertuang
dalam pasal 194 ayat (2), pasal 195 ayat (2),
pasal 210 ayat (1) dan pasal 211 kompilasi
hukum islam. Sedangkan menurut hukum waris
barat, anak tiri bisa mendapatkan harta warisan
dengan cara terstamentair.
Berdasarkan pada uaraian kesimpulan diatas
maka terdapat beberapa saran. yaitu sebagai berikut:
1. Agar undang – undang lebih tegas lagi dalam
menetapkan kedudukan anak tiri sebagai ahli
waris atau bukan ahli waris karena anak tiri
merupakan anak yang hak-haknya wajib
diberikan agar keadilan bagi anak tiri benarbenar sesuai dengan hak asasinya. Selain itu
pasal-pasal yang menjelaskan tentang anak tiri
harus diperjelas mengingat sekarang ini banyak
permasalahan tentang anak tiri yang ingin
mendapatkan harta warisan.
2. Agar undang-undang mencantumkan pasalpasal dengan jelas terkait dengan cara-cara yang
bisa dilakukan oleh anak tiri dalam memperoleh
harta warisan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis Mefita Fitri Lia Fandi mengucapkan
terimakasih kepada Dosen Pembimbing utama Ibu
Hj. Liliek Istiqomah, S.H., M.H. dan Dosen
Pembimbing Pembantu Bpk. Firman Floranta
Adonara, S.H., M.H. yang telah membimbing, dan
mengarahkan penulis hingga penulisan jurnal ini
dapat diselesaikan dengan baik
DAFTAR BACAAN
Ahmad Rafiq, 1993, Fiqih Mawaris, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Ahmad Zahari, 2008, Hukum Kewarisan Islam, FH
Untan Press, Pontianak.
Amir Syarifuddin, 2008, Hukum Kewarisan Islam,
Kencana, Jakarta.
Departemen Agama Republik Indonesia, 1989, AlQur’an Dan Terjemahnya, CV. Jaya Sakti,
Surabaya.
Effendi Perangin, 2006, Hukum Waris, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia
dalam Perspektif Islam, Adat dan Bw,
Refika Aditama, Bandung.
Hasbi Ash-Shiddieqy, 1973, Fiqhul Mawaris, Bulan
Bintang, Jakarta.
Hasniah Hasan, 1987, Hukum Waris Dalam Islam,
Bina Ilmu, Surabaya.
H.R. Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2006,
Hukum Waris Islam, Refika Aditama,
Bandung.
M. Idris Ramulyo, 2006, Hukum Perkawinan,
Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat, Sinar Grafika, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
R.H.H.
Soeharjo,
1971,
Alqur’an
Dan
Terjemahannya, Yayasan Penyelenggaraan
Penterjemahan / Penfsiran Alqur’an, Jakarta.
Sudarsono, 1991, Hukum Waris dan Sistem
Bilateral, PT. Rineka Cipta, Jakarta
Suparman Usman, 2006, Hukum Perkawinan,
Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat, Sina Grafika, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang–Undang Hukum Perdata Indonesia
(Burgerlijk Wetboek).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung.
DALAM HUKUM WARIS ISLAM DAN KUHPERDATA
LEGAL POSITION STEP CHILDREN AS HEIR ISLAMIC IN HERITANCE LAW AND CIVIL
CODE
Mefita Fitri Lia Fandi, Hj. Liliek Istiqomah, S.H., M.H., Firman Floranta Adonara, S.H., M.H.
Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Jember (UNEJ)
Jln. Kalimantan 37, Jember 68121
E-mail: [email protected]
Abstrak
Kasus tentang sengketa waris yang terjadi sebagai berikut: pada awalnya pewaris mempunyai 5 (lima) anak,
yaitu 4 anak kandung dan 1 anak tiri, pada saat si pewaris meninggal maka 5 anak tersebut mendapatkan
warisan, 4 anak kandung tersebut ternyata menggugat anak tiri yang mendapatkan warisan tersebut. Tujuan
penulisan skripsi ini adalah pertama, untuk mengetahui tentang kedudukan anak tiri dalam hukum Islam dan
bagaimana cara anak tiri mendapatkan harta warisan menurut hukum Islam; dan kedua untuk mengetahui
tentang kedudukan anak tiri dalam KUHPerdata dan bagaimana cara anak tiri mendapatkan harta warisan
menurut KUHPerdata. Adapun tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah Yuridis Normatif.
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Pendekatan Perundang-Undangan
(Statute Approach) dan dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Bahan hukum yang digunakan
adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian yang dapat diambil dari permasalahan
yang ada adalah Kedudukan anak tiri dalam hukum waris perdata adalah bukan sebagai ahli waris, hal ini sesuai
dengan Pasal 832 KUH Perdata sedangkan kedudukan anak tiri dalam hukum waris islam adalah bukan sebagai
ahli waris. Hal ini didasarkan pada pasal 171 huruf c kompilasi hukum islam, Sedangkan mengenai cara
mendapatkan warisan jika dikaitkan dengan kasus maka anak tiri bisa mendapatkan harta warisan menurut
kompilasi hukum islam yaitu dengan cara wasiat dan hibah, hal ini tertuang dalam pasal 194 ayat (2), pasal 195
ayat (2), pasal 210 ayat (1) dan pasal 211 kompilasi hukum islam. Sedangkan menurut hukum waris barat, anak
tiri bisa mendapatkan harta warisan dengan cara testament atau wasiat.
Kata kunci : hukum waris, hukum waris islam, anak.
Abstract
The case is about disputes of inheritance that occurred as follows: at first, the heir has 5 children, consist of 4
biological children and 1 stepchild. While the heir died, then 5 children will get inheritance. But apparently, 4
biological children sued stepchild’s legacy. The purpose of writing this paper is first, to know about the position
of stepchildren in Islamic law and how they get the inheritance according to Islamic law; Second to find out
about the position of stepchildren in the Civil Code and how they get the inheritance according to the Civil
Code. The type of research that used in this paper is The Normative Juridical. The approach that used in this
paper is The Approach of Legislation (Statute Approach) and Conceptual Approach (Conceptual Approach).
Legal materials that used are primary legal materials and secondary legal materials. The results that can be
taken from the existing problems are position of the stepchildren in the legal heir of Civil Code is not as heirs. It
is in accordance with Civil Code article 832. In the other hand, the position of stepchildren in Islamic law of
inheritance is not as heir. It is based on article 171-c, compilation of Islamic law. And about how to obtain the
legacy, it is related with the case, so the stepchildren can get inheritances according to Islamic law compilation
which is by will and grant. It is stated in article 194 paragraph (2), article 195 paragraph (2), article 210
paragraph (1) and article 211 compilation of Islamic law. While according to the west law of inheritance,
stepchildren can get inheritance by the testament.
Keywords:
inheritance law, Islamic law of inheritance, children.
PENDAHULUAN
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum
kekeluargaan yang memegang peranan penting,
bahkan menentukan dan mencerminkan sistem
kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.
Hukum kewarisan sangat erat hubungannya dengan
kehidupan manusia karena terkait dengan harta
kekayaan dan manusia yang satu dengan yang
lainnya. Kematian atau meninggal dunia adalah
peristiwa yang pasti akan dialami oleh seseorang,
karena kematian merupakan akhir dari perjalanan
hidup seorang manusia. Jika orang yang meninggal
dunia yang dikenal dengan pewaris meninggalkan
keluarga dan harta kekayaan yang disebut warisan,
dengan cara apa kita akan menyelesaikan atau
membagi warisan yang ditinggalkan oleh pewaris
serta hukum apa yang akan diterapkan untuk
membagi warisan tersebut. Hukum yang membahas
tentang peralihan harta peninggalan, pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang
meninggal dunia, diatur dalam hukum kewarisan. Di
Indonesia, sampai saat ini masih menggunakan 3
(tiga) sistem hukum kewarisan, yaitu sebagai
berikut1:
a) Hukum Kewarisan Adat
Sistem Hukum kewarisan adat beraneka ragam, hal
ini dipengaruhi oleh bentuk masyarakat di berbagai
daerah lingkungan hukum adat dan sifat kekerabatan
berdasarkan keturunan. Setiap sistem keturunan
memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang
satu dengan yang lainnya saling berbeda. Dalam
hukum adat mengenal tiga sistem hukum kewarisan
yang sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan,
yaitu Sistem Kewarisan Individual, Sistem
Kewarisan Kolektif, Sistem Kewarisan Mayorat.
Dasar hukum berlakunya hukum adat ini terdapat
1 Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia
dalam perspektif Islam, Adat dan Bw, Bandung,
Refika Aditama, hal. 53
dalam pasal 131 I.S. (Indische Staatssregeling) ayat
(2) b (Stb 1925 No. 415 Jo. 577), termasuk juga
berlakunya hukum waris adat yaitu: “Bagi golongan
Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur Asing
dan bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut,
berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas
agama, dan kebiasaan mereka”. Hukum adat
mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri, yang
berbeda dengan hukum Islam maupun hukum
perdata, hal ini disebabkan karena latar belakang
pikiran bangsa Indonesia dengan masyarakat yang
bhineka tunggal ika.
b) Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan yang lazim disebut dengan
hukum Faraid merupakan bagian dari keseluruhan
hukum Islam yang khusus mengatur dan membahas
tentang proses peralihan harta peninggalan dan hakhak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal
dunia kepada yang masih hidup. Buku II Pasal 171
huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan
bahwa yang dimaksud hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dasar
hukum kewarisan Islam diatur dengan tegas dalam
Al-Qur’an, diantaranya dalam firman Allah dalam
surat An-Nisa ayat 7, yang artinya sebagai berikut:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
Agama Islam mengatur cara pewarisan itu
berasaskan keadilan antara kepentingan anggota
keluarga, kepentingan agama dan kepentingan
masyarakat. Hukum Islam tidak hanya memberi
warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi
juga memberi warisan kepada keturunan kedua
suami isteri itu, baik secara garis lurus kebawah,
garis lurus ke atas, atau garis ke samping, baik lakilaki atau perempuan. Dengan alasan demikian maka
hukum kewarisan Islam bersifat individual. Oleh
karenanya hukum kewarisan Islam memiliki corak
yang berbeda dangan hukum kewarisan adat
maupun hukum kewarisan perdata barat. Corak atau
karakteristik hukum kewarisan Islam tersebut tidak
ditemui dalam hukum kewarisan KUH Perdata dan
Hukum Waris Adat.
c) Hukum Kewarisan Perdata Barat
Sistem kewarisan yang tertuang dalam
Burgerlijk Wetboek (BW) atau (Kitab UndangUndang Hukum Perdata) yang menganut sistem
individual, dimana setelah pewaris meninggal dunia
maka harta peninggalan pewaris haruslah segera
dilakukan pembagian kepada ahli waris. Berlakunya
Burgerlijk Wetboek (BW) berdasarkan pada
ketentuan:
a. Pasal 131 jo 163 I.S. (Indische
Staatsregeling) yaitu hukum waris yang
diatur dalam KUHPerdata berlaku bagi
orang-orang Eropa dan mereka yang
dipersamakan dengan orang-orang Eropa
tersebut;
b. Staatsblad 1917 No. 129 yaitu hukum waris
yang diatur dalam KUHPerdata berlaku bagi
orang-orang Timur Asing Tionghoa;
c. Staatsblad 1924 No. 557 jo. Staatsblad 1917
No. 12 yaitu hukum waris yang diatur dalam
KUHPerdata berlaku bagi orang-orang Timur
Asing lainnya dan orang-orang Indonesia
yang menundukkan diri kepada hukum
Eropa. Sekarang ini Staatsblad tersebut tidak
berlaku lagi setelah adanya UUD RI 1945
yang tidak mengenal penggolongan penduduk
Indonesia. Penggolongan yang sekarang
dikenal yaitu “Warga Negara Indonesia dan
Warga Negara Asing”.
Hukum waris KUHPerdata diartikan sebagai
berikut: “Kesemuanya kaidah hukum yang mengatur
nasib kekayaan seseorang setelah ia meninggal
dunia dan menentukan siapa orangnya yang dapat
menerimanya. Pewarisan akan dilaksanakan setelah
ada seseorang yang meninggal dunia dengan
meninggalkan harta kekayaan dan ada ahli waris
yang berhak atas harta peninggalan tersebut,
sebagaimana Pasal 830 KUHPerdata menyatakan
bahwa pewarisan hanya berlangsung karena
kematian.
Dari pemaparan diatas maka penulis ingin
mengangkat suatu kasus tentang sengketa waris
yang terjadi sebagai berikut: pada awalnya pewaris
mempunyai 5 (lima) anak, yaitu 4 anak kandung dan
1 anak tiri, pada saat si pewaris meninggal maka 5
anak tersebut mendapatkan warisan, 4 anak kandung
tersebut ternyata menggugat anak tiri yang
mendapatkan
warisan
tersebut.
Adapun
permasalahan yang didapat latar belakang diatas,
maka akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah Kedudukan Hukum Anak Tiri
Sebagai Ahli Waris Dalam Hukum Waris Islam
dan KUHPerdata?
2. Bagaimanakah Cara Anak Tiri Mendapatkan
Harta Warisan Menurut Hukum Waris Islam
dan KUHPerdata?
METODE PENELITIAN
Guna mendukung tulisan tersebut menjadi sebuah
karya
tulis
ilmiah
yang
dapat
di
pertanggungjawabkan maka metode penelitian
dalam penulisan skripsi ini menggunakan tipe
penelitian yuridis normatif (legal research) dengan
pendekatan undang-undang (statute approach) dan
pendekatan konseptual (conseptual approach)
dengan bahan hukum primer Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia (Burgerlijk Wetboek),
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Bahan
hukum sekunder yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah buku-buku literatur, kamus
hukum, dan tulisan-tulisan tentang hukum. Langkah
selanjutnya yang digunakan dalam melakukan suatu
penelitian hukum yaitu mengidentifikasi fakta
hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan
dan menetapkan permasalahan yang dibahas.
Kemudian melakukan pengumpulan bahan-bahan
hukum dan bahan-bahan non hukum yang sekiranya
dipandang
mempunyai
relevansi
dengan
permasalahan. Setelah itu melakukan telaah
permasalahan yang akan dibahas. Lalu memberikan
preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah
dibangun didalam kesimpulan.
PEMBAHASAN
Harta adalah salah satu benda berharga yang dimiliki
manusia.Karena
harta
itu,
manusia
dapat
memperoleh apapun yang dikehendakinya. Salah
satu cara memperoleh harta itu adalah melalui jalur
warisan yaitu memperoleh sejumlah harta yang
diakibatkan meninggalnya seseorang. Tentunya cara
ini pun harus sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku, khususnya hukum Islam. Melalui berbagai
syarat dan ketentuan yang di atur dalam hukum
Islam tersebut diharapkan seorang generasi penerus
keluarga atau anak dari salah satu orang tua yang
meninggal dapat memperoleh harta peninggalan
orang tuanya dengan tidak menzhalimi atau
merugikan orang lain.
Hukum kewarisan merupakan hukum yang
mengatur tentang segala sesuatu yang berkenaan
dengan peralihan hak dan/atau kewajiban atas harta
kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia
kepada ahli warisnya. Dalam Kompilasi Hukum
Islam disebutkan Hukum Kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagian masing-masingnya. Hukum Islam
tidak hanya memberi warisan kepada pihak suami
atau isteri saja, tetapi juga memberi warisan kepada
keturunan kedua suami isteri itu, baik secara garis
lurus kebawah, garis lurus ke atas, atau garis ke
samping, baik laki-laki atau perempuan. Dengan
alasan demikian maka hukum kewarisan Islam
bersifat individual.
Pengertian–pengertian tentang hukum waris
diatas jika dikaitkan dengan kasus maka sudah
sesuai. Hal ini mengacu pada kasus posisi
pemberian warisan oleh pak subhan kepada anak–
anaknya setelah meninggal dunia yaitu berupa
sebidang tanah yang tidak diketahui berapa luasnya.
Adapun anak–anaknya yaitu ari, budi, cahyono,
dodik, fandi. Dari 5 orang anaknya tersebut 4
diantaranya merupakan anak kandung dari pak
subhan buah hasil perkawinan pertamanya dengan
julaikha yaitu ari, budi, dodik, dan fandi, sedangkan
cahyono
merupakan
anak
bawaan
hasil
pernikahannya dengan istri yang kedua yaitu
jumroh.
Menurut penulis, jika dikaitkan dengan
pengertian hukum waris menurut Hasbi, maka
permasalahan tersebut merupakan permasalahan
waris, karena sudah tentu siapa–siapa yang berhak
mendapatkan warisan, dan siapa–siapa yang tidak
berhak mendapatkan warisan, dengan disertai
berapa bagian masing–masing dari ahli waris.
Sedangkan jika ditinjau dari pengertian hukum
waris menurut ahmad zahari, permaslahan atau
kasus diatas juga merupakan suatu permasalahan
waris, karena disini terjadi peralihan harta kekayaan
dari pak subhan kepada ahli warisnya yaitu ari, budi,
cahyono, dodik, fandi. Selain itu bagian–bagian
harta kekayaan tersebut juga wajib diperhatikan
mengingat antara ahli waris yang satu dengan yang
lain kemungkinan besar mempunyai perbedaan.
Selain itu tata cara mendapatkan warisan juga perlu
ditekankan, karena hal ini terkait dengan siapa saja
yang berhak mendapatkan warisan dan siapa yang
tidak berhak.
Akibat masih terdapatnya pluralisme hukum
di Indonesia, maka dikenallah hukum waris Islam,
hukum waris adat dan hukum waris Perdata Barat
yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata /Burgerlijk Wetboek/BW).
Permasalahan yang pertama-tama timbul bila
seseorang meninggal dunia adalah hukum waris
yang berhubungan erat dengan hukum apa yang
berlaku bagi orang yang meninggal dunia tersebut.
Sistem kewarisan menurut KUH Perdata
rmengikut pada sistem keluarga inti dengan
pembagian harta secara individual. Pokok–pokok
kewarisan yang diatur dalam hukum perdata dapat
dilihat dalam Pasal 1066 KUH Perdata, hal- hal
yang ditentukan yaitu :
a. Tidak, seorangpun yang mempunyai
bahagian
dalam
harta
peninggalan
diwajibkan menerima berlangsungnya harta
peninggalan itu dalam keadaan yang tak
terbagi.
b. Pemisahan harta itu setiap waktu dapat
dituntut, biarpun ada larangan untuk
melakukannya.
c. Namun dapatlah diadakan persetujuan untuk
selama suatu waktu tertentu tidak
melakukan pemisahan.
d. Perjanjian ini dapat mengikat selama lima
tahun, tetapi setelah tenggang waktu lewat,
perjanjian itu dapat diperbaharui.
Pengertian–pengertian tentang hukum waris
diatas jika dikaitkan dengan kasus maka sudah
sesuai. Hal ini mengacu pada kasus posisi
pemberian warisan oleh pak subhan kepada anak–
anaknya setelah meninggal dunia yaitu berupa
sebidang tanah yang tidak diketahui berapa luasnya.
Adapun anak–anaknya yaitu ari, budi, cahyono,
dodik, fandi. Dari 5 orang anaknya tersebut 4
diantaranya merupakan anak kandung dari pak
subhan buah hasil perkawinan pertamanya dengan
julaikha yaitu ari, budi, dodik, dan fandi, sedangkan
cahyono
merupakan
anak
bawaan
hasil
pernikahannya dengan istri yang kedua yaitu
jumroh.
Menurut penulis, jika dikaitkan dengan
pengertian hukum waris menurut wirjono, maka
permasalahan tersebut merupakan permasalahan
waris, karena sudah tentu siapa–siapa yang berhak
mendapatkan warisan, dan siapa–siapa yang tidak
berhak mendapatkan warisan, dengan disertai
berapa bagian masing–masing dari ahli waris.
Sedangkan jika ditinjau dari pengertian hukum
warismenurut pasal 830 KUHPerdata, permasalahan
atau kasus diatas juga merupakan suatu
permasalahan waris, karena disini terjadi peralihan
harta kekayaan dari pak subhan kepada ahli
warisnya yaitu ari, budi, cahyono, dodik, fandi.
Selain itu bagian–bagian harta kekayaan tersebut
juga wajib diperhatikan mengingat antara ahli waris
yang satu dengan yang lain kemungkinan besar
mempunyai perbedaan. Selain itu tata cara
mendapatkan warisan juga perlu ditekankan, karena
hal ini terkait dengan siapa saja yang berhak
mendapatkan warisan dan siapa yang tidak berhak.
Telah diketahui, bahwa di Indonesia berlaku
lebih dari satu sistem HukumPerdata yaitu, Hukum
Barat (Hukum Perdata Eropa), Hukum Adat dan
Hukum Islam. Ketiga sistem hukum tersebut
semuanya antara lain juga mengatur cara pembagian
harta warisan. Hukum Waris Perdata ini digunakan
bagi orang yang mengesampingkan Hukum Adat
Waris dalam mendapatkan penyelesaian pembagian
warisan. Hukum Waris adalah bagian dari Hukum
Kekayaan, akan tetapi erat sekali dengan Hukum
Keluarga, karena seluruh pewarisan menurut
undang-undang berdasarkan atas hubungan keluarga
sedarah dan hubungan perkawinan. Dengan
demikian ia masuk bentuk campuran antara bidang
yang dinamakan Hukum Kekayaan dan Hukum
Keluarga.
Dalam hal pewarisan, yang dapat diwarisi
yaitu hanya hak dan kewajiban yang meliputi bidang
harta kekayaan. Namun ada hak-hak yang
sebenarnya masuk bidang harta kekayaan tetapi
tidak dapat diwarisi. Selanjutnya ada juga hak-hak
yang bersumber kepada Hukum Keluarga namun
dapat diwarisi antara lain, hak untuk mengajukan
tuntutan agar ia diakui sebagai anaknya dan hak
untuk menyangkal keabsahan seorang anak. Dengan
demikian prinsipnya hanya hak dan kewajiban yang
meliputi harta kekayaan saja yang dapat diwarisi,
ternyata tidak dapat dipegang teguh dan terdapat
beberapa pengecualian.
Menurut kompilasi hukum Islam pasal 174
ayat (1), pasal 201, 211 maka cara mendapatkan
warisan adalah dengan:
a) Berdasarkan hubungan darah, wala,
hubungan
seagama
dan
hubungan
perkawinan.
b) Dengan berdasarkan wasiat.
Wasiat merupakan bagian dari hukum
kewarisan.
Pengertian
wasiat
ialah
pernyataan kehendak oleh seseorang
mengenai apa yang akan dilakukan terhadap
hartanya setelah meninggal dunia. Dalam
pelaksanannya terdapat beberapa syarat
yang harus dipenuhi agar terlaksana dengan
baik. Hal di atas merupakan pengertian
wasiat yang berhubungan dengan harta
peninggalan dalam hukum kewarisan.
Wasiat dapat juga diartikan nasihat-nasihat
atau kata-kata yang disampaikan atau
dikehendaki seseorang untuk dilaksanakan
setelah ia meninggal dunia. Wasiat yang
demikian berkaitan dengan hak kekuasaan
(tanggung jawab) yang akan dijalankan
setelah ia meninggal dunia, misal seseorang
berwasiat kepada orang lain agar menolong
mendidik anaknya kelak, membayar
hutangnya atau mengembalikan barang yang
pernah dipinjamnya.
Menurut pasal 171 huruf (f) KHI, yang
dimaksud dengan wasiat ialah pemberian sesuatu
kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah meninggal dunia. Definisi menurut KHI
tersebut berarti agar terjadi wasiat maka harus ada
rukun wasiat, yaitu pewasiat, penerima wasiat, dan
benda yang diwasiatkan. Sedangkan klausula wasiat
adalah suatu pemberian yang baru akan berlaku
(mempunyai kekuatan hukum tetap) apabila yang
memberikan telah meninggal dunia. Sehingga, pada
dasarnya wasiat dalam KHI merupakan pemberian
yang digantungkan pada kejadian tertentu baik
pemberian tersebut dengan atau tanpa persetujuan
dari yang diberi. Apabila seseorang ingin membuat
wasiat berdasarkan hukum Islam, maka orang
tersebut menuliskan kehendaknya tersebut dalam
suatu surat (yang disebut surat wasiat) tanpa dihadiri
oleh seorang notaris, hanya disaksikan oleh saksi
ketika membuat wasiat tersebut, dan menyimpannya
sampai batas waktu meninggal dunia. Atau cukup
dengan mengucapkan secara lisan sewaktu orang
tersebut masih hidup dan disaksikan oleh para saksi
saja, maka hal tersebut sudah bisa dikatakan sah
wasiatnya.
Menurut KHI seseorang yang akan membuat
surat wasiat bisa dilakukan secara lisan dihadapan
dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang
saksi atau bisa juga dicatatkan dihadapan seorang
notaris. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 195 ayat
1. Wasiat dari segi etimologi berasal dari Bahasa
Arab, yaitu washiyyah yang artinya pelepasan, yakni
pelepasan terhadap harta peninggalan yang
dilakukan seseorang sewaktu masih hidup, untuk
dilaksanakan setelah meninggal dunia. Sehingga
dengan adanya wasiat akan memungkinkan
seseorang yang mempunyai harta lebih untuk
menyisihkan sebagian harta tersebut dan tidak
dimasukkan ke dalam jumlah harta peninggalan
yang akan dibagi kepada ahli warisnya. Maka
setelah mempertimbangkan kebutuhan ahli waris,
sebagian harta tersebut akan diberikan pada pihak
lain yang masih membutuhkan, seperti kaum kerabat
yang miskin sedangkan ia bukan tergolong ahli
waris yang mendapatkan warisan.
c) Dengan berdasarkan hibah
Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum
waris Islam apabila diterapkan apaadanya
sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan
hadist masih menyisakan berbagai masalah
bila dihadapkan dengan realitas sosial
masyarakat Indonesia, diantaranya ahli
waris non muslim tidak menjadi ahli waris
dari pewaris muslim sehingga tidak akan
mendapat harta warisan. Kedua, masyarakat
Indonesia ada kecenderungan tidak ingin
membedakan hak waris anak laki-laki
dengan hak waris perempuan.Ketiga, anak
angkat dan orang tua angkat tidak saling
mewarisi karena tidak memiliki hubungan
kekerabatan.
Terkait
lagi
dengan
permasalahan hibah yang sampai saat ini
masih
aeda
perbedaan
mengenai
pemberiannya.
Hibah adalah pemberian ketika yang punya
harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan
ketika yang punya harta telah meninggal dunia.
Walaupun saat pemberiannya berbeda namun
keduanya memiliki hubungan yang sangat erat,
terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli
waris karena akan menentukan terhadap bagian
warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan
ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang
keberatan dengan adanya hibah tersebut, oleh
karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris,
satu pihak berpendapat bahwa hibah yang sudah
diberikan berbeda dengan warisan, sedangkan pihak
lain (ahli warisyang tidak menerima hibah)
menyatakan hibah yang sudah diterima merupakan
harta warisan yang sudah dibagi. Oleh karenanya
ahli waris yang sudah menerima hibah tidak akan
mendapat harta warisan lagi.
Berkaitan dengan masalah di atas pasal 211
KHI telah memberikan solusi, yaitu dengan cara
hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya
dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian
“dapat” dalam pasal tersebut bukan berartai
imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu
alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan
sengketa warisan. Sepanjang para ahli waris tidak
ada yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima
oleh sebagian ahli waris, maka harta warisan yang
belum dihibahkan dapat dibagikan kepada semua
ahli waris sesuai dengan porsinya masing-masing.
Tetapi apabila ada sebagian ahli waris yang
memperseoalkan hibah yang diberikan kepada
sebagian ahli waris lainnya, maka hibah tersebut
dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan
cara mengkalkulasikan hibah yang sudah diterima
dengan porsi warisan yang seharusnya diterima,
apabila hibah yang sudah diterima masih kurang
dari porsi warisan maka tinggal menambah
kekurangannya, dan kalau melebihi dari porsi
warisan maka kelebihan hibah tersebut dapat ditarik
kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang
kekurangan dari porsinya.
Menurut KUHPerdata pasal 832 dan pasal
899 maka cara mendapatkan warisan adalah dengan:
1. Secara ab intestato (ahli waris menurut undangundang),
Menurut pasal 832 KUH Perdata ada empat
golongan ahli waris ab intestato di mana
golongan kedua baru tampil jika golongan
pertama tidak ada dan demikian seterusnya.
Pembagian golongan ini meliputi:
(a) Golongan pertama yaitu anak-anak dan
keturunannya, serta isteri atau suami yang
masih hidup.
(b) Golongan kedua yaitu orang tua (ayah
dan/atau ibu), saudara-saudara dan
keturunannya tampil jika golongan pertama
tidak ada.
(c) Golongan ketiga yaitu golongan ini ialah
kakek dan/atau nenek dan/atau leluhur
mereka, yang tampil jika golongan kedua
tidak ada. Jika pewaris tidak meninggalkan
suami/isteri, keturunan dan saudara, tanpa
mengurangi ketentuan pasal 859 kuh
perdata, warisan dibagi dua bagian sama,
satu bagian untuk keluarga sedarah dalam
garis bapak ke atas dan satu bagian untuk
garis ibu ke atas (pasal 853 kuh perdata).
(d) Golongan keempat yaitu golongan ini ialah
sanak saudara dari garis ke samping seperti
paman, bibi, dengan hak pergantian kedu-
dukan tampil jika golongan ketiga tidak
ada.
Jika pewaris dan ahli waris sama-sama
meninggal tanpa dapat diketahui siapa yang lebih
dahulu meninggal, mereka dianggap meninggal
pada saat yang sama dan di antara mereka tidak terjadi saling mewaris (pasal 831 dan 894 KUH
Perdata). Jika semua golongan tidak ada, maka harta
warisan ini jatuh pada negara yang wajib melunasi
utang-utang pewaris sekadar harta warisan itu mencukupi.
2. Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk
dalam suatu wasiat)
Dalam hal ini pemilik kekayaan membuat
wasiat dimana para ahli warisnya ditunjuk
dalam suatu wasiat/testamen. Surat wasiat atau
testamen adalah suatu pernyataan tentang apa
yang dikehendaki oleh si pewaris. Surat wasiat
berlaku setelah pembuat wasiat meninggal
dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Wasiat
ini sebagaimana tercantum dalam BW pasal
874, 875,879, 880, 890, 893, 894, 895, 897,
930, 944, 946, 947, 950, 951, 954, 988, yang
mana
didalamnya
mengatur
tentang
pembahasan wasiat.
Dari penjelasan diatas mengenai cara
mendapatkan warisan jika dikaitkan dengan kasus
maka anak tiri bisa mendapatkan harta warisan
menurut kompilasi hukum Islam yaitu dengan cara
wasiat dan hibah, hal ini tertuang dalam pasal 194
ayat (2), pasal 195 ayat (2), pasal 210 ayat (1) dan
pasal 211 kompilasi hukum Islam. Sedangkan
menurut hukum waris barat, anak tiri bisa
mendapatkan
harta
warisan
dengan
cara
terstamentair.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas maka penulis
memperoleh suatu kesimpulan yaitu sebagai berikut;
1. Kedudukan anak tiri dalam hukum waris
perdata adalah bukan sebagai ahli waris, hal ini
sesuai dengan Pasal 832 KUH Perdata
sedangkan kedudukan anak tiri dalam hukum
waris islam adalah bukan sebagai ahli waris.
Hal ini didasarkan pada pasal 171 huruf c
kompilasi hukum islam.
2. Dari penjelasan diatas mengenai cara
mendapatkan warisan jika dikaitkan dengan
kasus maka anak tiri bisa mendapatkan harta
warisan menurut kompilasi hukum islam yaitu
dengan cara wasiat dan hibah, hal ini tertuang
dalam pasal 194 ayat (2), pasal 195 ayat (2),
pasal 210 ayat (1) dan pasal 211 kompilasi
hukum islam. Sedangkan menurut hukum waris
barat, anak tiri bisa mendapatkan harta warisan
dengan cara terstamentair.
Berdasarkan pada uaraian kesimpulan diatas
maka terdapat beberapa saran. yaitu sebagai berikut:
1. Agar undang – undang lebih tegas lagi dalam
menetapkan kedudukan anak tiri sebagai ahli
waris atau bukan ahli waris karena anak tiri
merupakan anak yang hak-haknya wajib
diberikan agar keadilan bagi anak tiri benarbenar sesuai dengan hak asasinya. Selain itu
pasal-pasal yang menjelaskan tentang anak tiri
harus diperjelas mengingat sekarang ini banyak
permasalahan tentang anak tiri yang ingin
mendapatkan harta warisan.
2. Agar undang-undang mencantumkan pasalpasal dengan jelas terkait dengan cara-cara yang
bisa dilakukan oleh anak tiri dalam memperoleh
harta warisan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis Mefita Fitri Lia Fandi mengucapkan
terimakasih kepada Dosen Pembimbing utama Ibu
Hj. Liliek Istiqomah, S.H., M.H. dan Dosen
Pembimbing Pembantu Bpk. Firman Floranta
Adonara, S.H., M.H. yang telah membimbing, dan
mengarahkan penulis hingga penulisan jurnal ini
dapat diselesaikan dengan baik
DAFTAR BACAAN
Ahmad Rafiq, 1993, Fiqih Mawaris, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Ahmad Zahari, 2008, Hukum Kewarisan Islam, FH
Untan Press, Pontianak.
Amir Syarifuddin, 2008, Hukum Kewarisan Islam,
Kencana, Jakarta.
Departemen Agama Republik Indonesia, 1989, AlQur’an Dan Terjemahnya, CV. Jaya Sakti,
Surabaya.
Effendi Perangin, 2006, Hukum Waris, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia
dalam Perspektif Islam, Adat dan Bw,
Refika Aditama, Bandung.
Hasbi Ash-Shiddieqy, 1973, Fiqhul Mawaris, Bulan
Bintang, Jakarta.
Hasniah Hasan, 1987, Hukum Waris Dalam Islam,
Bina Ilmu, Surabaya.
H.R. Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2006,
Hukum Waris Islam, Refika Aditama,
Bandung.
M. Idris Ramulyo, 2006, Hukum Perkawinan,
Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat, Sinar Grafika, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
R.H.H.
Soeharjo,
1971,
Alqur’an
Dan
Terjemahannya, Yayasan Penyelenggaraan
Penterjemahan / Penfsiran Alqur’an, Jakarta.
Sudarsono, 1991, Hukum Waris dan Sistem
Bilateral, PT. Rineka Cipta, Jakarta
Suparman Usman, 2006, Hukum Perkawinan,
Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat, Sina Grafika, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang–Undang Hukum Perdata Indonesia
(Burgerlijk Wetboek).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam, Citra Umbara, Bandung.