Hubungan Pengetahuan dan Sikap Wanita Pekerja Seks (WPS) terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS) di Medan Johor tahun 2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya
pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum
memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hambatan
seperti timbulnya resistensi terhadap obat, pengaruh faktor lingkungan yang makin
memberikan kemudahan terjadinya penularan atau penyebaran infeksi menular
seksual, kesulitan dalam menegakkan diagnosis, pengobatan yang tidak tepat, dan
faktor stigma yang masih terus dikaitkan dengan penderita IMS. (Direktorat PPM
& PLP, Kemenkes RI 2012).
Menurut World Health Organization (WHO, 2011), pencegahan infeksi
menular seksual terdiri dari dua bagian, yakni pencegahan primer dan pencegahan
sekunder. Pencegahan primer terdiri dari penerapan perilaku seksual yang aman.
Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan dengan menyediakan pengobatan dan
perawatan seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta pemberian
dukungan atau pelayanan kesehatan pada pasien yang sudah terinfeksi oleh

penyakit menular seksual.
Menurut Djiwandono (2012) penularan IMS sebagian

adalah melalui

hubungan seksual (90%), sedangkan cara lainnya yaitu melalui tranfusi darah,
jarum suntik, ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dan lain-lain. Sumber

1
Universitas Sumatera Utara

2

penularan utama adalah pekerja seks komersial (80%). IMS sering juga disebut
penyakit kelamin, penyakit veneral, ataupun infeksi menular seksual (IMS)/
penyakit kelamin (venereal diseases) telah lama dikenal dan beberapa di antaranya
sangat populer di Indonesia, yaitu sifilis dan gonoroe. Dengan semakin majunya
peradaban dan ilmu pengetahuan, makin banyak pula ditemukan penyakit-penyakit
baru, dan istilah venereal diseases berubah menjadi sexually transmitted diseases
atau IMS.

Angka kejadian IMS saat ini cenderung meningkat di Indonesia. Ini bisa
dilihat dari angka kesakitan IMS di Indonesia pada tahun 2015 adalah sebanyak
19.973 kasus kejadian IMS. Angka kesakitan ini mengalami peningkatan bila
dibandingakan dengan hasil survei pada tahun 2012 yaitu sebanyak 16.110 kasus
kejadian IMS, dam pada tahun 2010 sebanyak 11.141 kasus Kejadian IMS di
Indonesia. Penyebarannya sulit ditelusuri sumbernya, sebab tidak pernah dilakukan
registrasi terhadap penderita yang ditemukan. Jumlah penderita yang sempat terdata
hanya sebagian kecil dari jumlah penderita sesungguhnya (Kemenkes RI, 2015)
Kecenderungan kian meningkatnya penyebaran penyakit kelamin ini akibat
perilaku seksual yang berganti-ganti pasangan, berkorelasi pula dengan
kecenderungan semakin meningkatnya angka WPS yang tertular IMS, setelah
ditutupnya lokalisasi dan sulitnya pemerintah melakukan kontrol karena tidak ada
lagi kewenangan. Dilain pihak hubungan seksual pra nikah dan diluar nikah cukup
tinggi, sehingga penularan IMS dari para WPS tersebut akan dengan cepat
meningkatkan jumlah penderita (Handayani, 2013)

Universitas Sumatera Utara

3


Menurut WHO (2011) IMS merupakan salah satu dari sepuluh penyebab
kematian akibat penyakit yang tidak menyenangkan pada dewasa muda laki-laki
dan penyebab kedua terbesar pada dewasa muda perempuan di negara berkembang.
Dewasa dan remaja (15-24 tahun) merupakan 25% dari semua populasi yang aktif
secara seksual, tetapi memberikan kontribusi hampir 50% dari semua kasus IMS
baru yang didapat. Kasus- kasus IMS yang terdeteksi hanya menggambarkan 5080% dari semua kasus IMS yang ada di Amerika.
Berdasarkan laporan triwulan ketiga tahun 2015 Surveilans AIDS Ditjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) Kemeneks
RI , dari jumlah 19.4973 kasus AIDS di Indonesia diketahui persentase berdasarkan
jenis kelamin yaitu 74,5% perempuan dan 25,5% laki-laki. Kasus terbanyak
ditemukan di Propinsi Jawa Barat dengan jumlah penderita 3.233 orang. Disusul
Provinsi lainnya yaitu Jawa Timur 3.133 orang, DKI Jakarta 2811 orang, Papua
2681 orang, Bali 1506 orang, Kalimantan Barat 730 orang, Jawa Tengah 669 orang,
Sumatera Utara 485 orang, Riau 371 orang, dan Kepulauan Riau 333 orang. Rate
kumulatif kasus AIDS nasional mencapai 8,15 per 100.000 penduduk.
Estimasi populasi rawan tertular HIV di Indonesia tahun 2015 sebesar
193.000. Pada tahun 2014 diproyeksikan jumlah infeksi baru HIV usia 15-49 tahun
sebesar 79.200 dan proyeksi untuk ODHA usia 15-49 tahun sebesar 501.400 kasus
.Sampai dengan Desember 2015 terdapat 13.858 ODHA masih menerima
pengobatan ARV (60% dari yang pernah menerima ARV). Jumlah ODHA yang

masih dalam pengobatan ARV tertinggi dari Propinsi DKI Jakarta (6.135 orang),
Jawa Barat (1.724 orang), Jawa Timur (1.145 orang), Bali (811 orang), Jawa

Universitas Sumatera Utara

4

Tengah (436 orang), Papua (433 orang), Sumatera Utara (442 orang), Kalimantan
Barat (382 orang), Kepulauan Riau (335 orang), dan Sulawesi Selatan (314)
(Kemenkes RI, 2015).
Industri seks diperkirakan melibatkan 150.000 pekerja seks komersial
wanita. Penderita HIV pada wanita berisiko tinggi ini cukup tinggi. Di Merauke,
misalnya, 26,5% pekerja seks komersial wanita telah terinfeksi HIV. Penggunaan
kondom pada hubungan seksual terakhir dilakukan oleh sekitar 41% pekerja seks
komersial. Diperkirakan ada 7-10 juta pelangan seks pria di Indonesia, namun
menunjukkan hanya sekitar 10% dari pelanggan yang menggunakan kondom secara
konsisten untuk melindungi dirinya dari risiko penularan saat melakukan transaksi
seks secara komersial (Daili, 2011).
Angka penyakit IMS di kalangan WPS (Pekerja Seks Komersial) tiap
tahunnya menunjukkan peningkatan. Saat ini diperkirakan 80%-90% WPS

terjangkit IMS seperti : Neisseria gonorrhoeae, herpes simplex vinio tipe 2 dan
clamidia. IMS yang berarti suatu infeksi kebanyakkan ditularkan melalui hubungan
seksual (oral, anal dan lewat vagina). Harus diperhatikan bahwa IMS menyerang
sekitar alat kelamin, tetapi gejalanya dapat muncul dan menyerang mata, mulut,
saluran pencernaan, hati, otak dan organ tubuh lainnya. Ada beberapa penyakit IMS
yang disebabkan oleh virus seperti : HIV, herpes kelamin dan hepatitis B adalah
contoh IMS yang tidak dapat disembuhkan. Herpes kelamin memiliki gejala yang
muncul hilang dan bisa terasa sangat sakit jika penyakit tersebut sedang aktif. Pada
herpes,obat-obatan hanya bisa digunakan untuk mengobati gejala saja, tetapi virus
yang menyebabkan herpes tetap hidup di dalam tubuh selamanya (Daili, 2011)

Universitas Sumatera Utara

5

Kurangnya pengetahuan pekerja seks komersial sangat berpengaruh
terhadap pengetahuan dalam pencegahan infeksi menular seksual. Beberapa temuan
fakta memberikan implikasi program, yaitu manakala pengetahuan dari pekerja
seks komersial kurang maka penggunaan kondom sebagai pencegahan IMS juga
menurun.

Penelitian prevalensi IMS pada WPS, yang diselenggarakan oleh Sub
Direktorat AIDS dan PMS, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Depertemen Kesehatan Indonesia bekerjasama dengan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan pada tahun 2013, melaporkan
bahwa 7 kota yang diteliti terdapat 62%-93% WPS jalanan yang terinfeksi IMS,
54%-74% WPS lokalisasi, dan 48%-77% WPS tempat hiburan. Khusus di kota
Medan dilaporkan terdapat 57% WPS lokalisasi dan 68% WPS jalanan yang
terinfeksi lebih dari satu penyakit IMS, salah satu lokasi yang menjadi tempat
transaksi WPS ialah di Medan Johor yang merupakah salah satu kawasan elit di
kota Medan. Pada WPS lokalisasi prevalensi IMS tertinggi adalah gonore (31%),
klamidia (22%), bacterial vaginosis (16%), infeksi ganda gonore dan klamidia
(9%), sifilis laten lanjut (5%), kandidiasis vaginalis (4%) dan trikomoniasis (3%)
(Ahnaf dkk, 2013).
IMS terus meningkat setiap tahun di kota Medan. Peningkatan penyakit ini
terbukti sejak tahun 2010 meningkat 15,4% sedangkan pada tahun 2012 terus
menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%, sementara pada tahun 2015 meningkat
menjadi 22,1%. Setiap orang bisa tertular penyakit menular seksual.
Kecenderungan kian meningkatnya penyebaran penyakit ini disebabkan seksual

Universitas Sumatera Utara


6

yang bergonta-ganti pasangan, dan adanya hubungan seksual pranikah dan diluar
nikah yang cukup tinggi. Kebanyakan penderita penyakit menular seksual adalah
remaja usia 15-29 tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular karena tertular dari
ibunya (Lestari, 2013).
Untuk mencegah masalah semakin meningkatnya angka kejadian PMS dan
HIV/AIDS khususnya pada pekerja seks komersial, ada beberapa pencegahan yang
dapat dilakukan, yaitu : Memutuskan rantai penularan infeksi PMS, Mencegah
berkembangnya PMS serta komplikasinya, Tidak melakukan hubungan seksual
dengan berganti-ganti pasangan, Menggunakan kondom saat berhubungan seksual.
Dengan melakukan pencegahan tersebut maka rantai penularan PMS dapat terputus
dan komplikasi tidak akan terjadi (Iwan, 2012).
Faktor-faktor yang memengaruhi tindakan individu termasuk dalam hal
pencegahan IMS yang dilakukan oleh WPS salah satunya ialah dilihat dari faktor
umur, menurut Nototmodjo (2010) umur seseorang dapat memengaruhi
pengetahuannya akan sesuatu hal, seseorang yang memiliki usia yang lebih dewasa
memiliki tingkat pemhaman yang lebih baik akan suatu stimulus yang terjadi. Hasil
penelitian Handayanai (2014) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh umur WPS

dengan tindakan baik WPS terhadap IMS. Selain pengetahuan jenis pekerjaan dan
pendapatan seseorang juga memengaruhi responnya akan stimulus tertentu.
Menurut Kartono (2013), hal yang melatar belakangi seseorang menjadi WPS ialah
kehidupan perekonomian yang sulit yang menyebabkan seseorang untuk memilihi
menjadi seorang WPS.

Universitas Sumatera Utara

7

Tingkat pendidikan seseorang juga mampu melatarbelakangi pengetahun
dan respon akan stimulus tertentu. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan
yang tinggi ditutuntut untuk memiliki tingkat pengetahuan dan pemahaman yang
lebih baik termasuk dalam tindakan tertentu. Menurut hasil penelitian Chandra
(2012) menunjukkan bahwa ada hubungan tingkat pendidikan WPS dengan
pengetahuan WPS terhadap pencegahan IMS, semakin baik tingkat pendidikan
WPS maka akan semakin baik pengetahuannya terhadap pencegahan IMS.
Menurut Ahnaf (2013) dukungan rekan sesama WPS juga menjadi salah
satu faktor yang mendukung tindakan baik pada WPS terhadap pencegahan IMS,
kemauan dan kemampuan WPS untuk mendukung dan mengingatkan sesama rekan

WPS untuk memiliki tindakan yang baik terhadap pencegahan IMS, seperti
mengingatkan sesama rekan WPS untuk menggunakkan kondom ketika
berhubungan seksual, menemani rekan WPS untuk memeriksakan secara rutin
kondisi kesehatan ke layanan kesehatan terpadu dan sebagainya. Hasil penelitian
Suyandi (2014) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara dukungan rekan WPS
untuk mengingatkan perilaku yang baik terhadap pencegahan IMS dengan periku
pencegahan IMS yang dilkukan oleh WPS.
Penelitian yang dilaksanakan oleh Suyandi (2014) menunjukkan hasil
bahwa pengetahuan WPS sebesar 47,1% ditemukan WPS yang berpengetahuan
baik melaksanakan tindakan pencegahan infeksi menular seksual. Uji statistik Chi
Square menunjukkan variabel pengetahuan nilai p < 0,05 dengan demikian
diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan yang
dimiliki oleh WPS dengan tindakan pencegahan HIV-AIDS oleh WPS di

Universitas Sumatera Utara

8

Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang. Hasil penelitian sikap WPS yang
bersikap positif sebesar 60,8% melakukan tindakan pencegahan infeksi menular

seksual. Uji statistik Chi Square menunjukkan variabel sikap nilai p < 0,05 dengan
demikian diketahui bahwa sikap berhubungan dengan tindakan pencegahan infeksi
menular seksual. Mengacu pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan bahwa sikap
WPS berhubungan dengan pelaksanaan tindakan pencegahan IMS. Sikap WPS
yang positif cenderung melakukan tindakan pencegahan IMS artinya dengan
adanya sikap yang positif yang dimiliki WPS terhadap IMS akan memicu WPS
tersebut untuk melakukan tindakan pencegahan IMS.
Hasil penelitian Handayani (2014) menunjukkan bahwa Dari 50 orang
pekerja seks (WPS) terdapat 41 orang (82%) dengan pengetahuan kurang, dengan
pengetahuan cukup ada 8 orang (16,0%) dan hanya 1 orang (2%) dengan
pengetahuan baik tentang infeksi menular seksual. Sikap responden tentang infeksi
menular seksual (IMS) diperoleh bahwa lebih banyak responden memiliki sikap
kurang yaitu sebanyak 33 orang (66,0%), dengan sikap cukup ada sebanyak 16
orang (32,0%),dan memiliki sikap baik hanya sebanyak 1 orang (2,0%).
Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi penanggulangan AIDS (KPA)
Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2015 terhadap jumlah estimasi WPS, di
Sumatera Utara terdapat 20.156 orang WPS yang terdata, di kota Medan sendiri
terdapat 468 orang WPS berdasarkan estimasi data terbaru pemetaan Desember
2015 yang tersebar di beberapa lokasi yang biasa dijadikan sebagai tempat transaksi
WPS di Medan, termasuk salah satunya di Medan Johor sebagai salah satu wilayah

elit di kota Medan, fenomena gunung es juga berlaku pada WPS, dalam

Universitas Sumatera Utara

9

kenyataannya di masyarakat komunitas ini terselubung dan lebih tertutup
keberadaannya, hal ini sangat menjadi kekhawatiran akan dapat meningkatnya
risiko seseorang yang berhubungan seks dengannya terkena Infeksi Menular
Seksual (IMS). Beberapa lokasi yang sering menjadi tempat transaksi WPS ialah
seperti di Medan Baru, Medan Tuntungan, Medan Kota, Medan Petisah, dan Medan
Johor.
Terdapat beberapa lokasi yang memang menjadi tempat-tempat transaksi
WPS di kota Medan dan memang terlihat terbuka di mata masyarakat. Salah satu
lokasi yang menjadi tempat transaksi WPS ialah di Medan Johor. Transaksi WPS
di Medan Johor cenderung tertutup, salah satu alasan ialah para WPS di Medan
Johor cenderung bekerja sendiri dengan memanfaatkan media sosial, tidak terbuka
seperti lokasi prostitusi pada umumnya dan melakukan transaksi WPS di
perumahan yang ada di Medan Johor.
Berdasaskan survey awal yang dilakukan oleh penulis pada bulan Agustus
2016, bahwa terdapat beberapa tempat di Medan Johor yang menjadi lokasi para
WPS untuk menjajakan diri. Para WPS juga ternyata memanfaatkan media sosial
untuk menjajakan dirinya. Hasil wawancara singkat dengan lima orang WPS yang
penulis temui diketahui bahwat empat orang WPS menyadari bahwa perilaku
seksual mereka beresiko tinggi terhadap penularan infeksi penyakit menular
seksual. Seluruh WPS yng diwawancarai menyatakan bahwa sangat jarang sekali
pergi ke fasilitas layanan kesehatan untuk memeriksakan kondisi kesehatannya.
Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa lima orang WPS tersebut
memiliki pengetahuan yang kurang baik mengenai tindakan pencegahan IMS,

Universitas Sumatera Utara

10

seperti tidak tahu adanya layanan khusus yang disediakan oleh fasilitas kesehatan
seperti Puskesmas untuk para WPS memeriksakan kondisi kesehatannya atas
kemungkinan terkena infeksi IMS, selain itu juga seluruh WPS menyatakan belum
pernah mendapatkan sosialisasi kesehatan mengenai pencegahan IMS dari petugas
kesehatan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis berkeinginan untuk
melakukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan sikap pekerja seks
(WPS) terhadap tindakan pencegahan penyakit menular seksual (PMS) di Medan
Johor tahun 2016.
1.2

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan

masalah dari penelitian ini adalah mengenai “Bagaimana Hubungan Pengetahuan
dan Sikap Wanita Pekerja Seks (WPS) terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
Menular Seksual (PMS) di Medan Johor tahun 2016?”.
1.3

Tujuan Penelitian

1.3.1

Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

pengetahuan dan sikap wanita pekerja seks (WPS) terhadap tindakan pencegahan
penyakit menular seksual (PMS) di Medan Johor tahun 2016.
1.3.1

Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui gambaran karakteristik responden yang meliputi umur, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, dan lama menjadi WPS.

Universitas Sumatera Utara

11

2. Mengetahui

gambaran

pengetahuan

responden

terhadap

tindakan

pencegahan penyakit menular seksual (PMS) pada pekerja seks (WPS) di
Medan Johor tahun 2016.
3. Mengetahui gambaran sikap responden terhadap tindakan pencegahan
penyakit menular seksual (PMS) pada pekerja seks (WPS) di Medan Johor
tahun 2016.
4. Mengetahui gambaran tindakan pencegahan terhadap penyakit menular
seksual (PMS) yang dilakukan oleh pekerja seks (WPS) di Medan Johor
tahun 2016.
5. Mengetahui

hubungan

pengetahuan

responden

terhadap

tindakan

pencegahan penyakit menular seksual (PMS) pada pekerja seks (WPS) di
Medan Johor tahun 2016.
6. Mengetahui hubungan sikap responden terhadap tindakan pencegahan
penyakit menular seksual (PMS) pada pekerja seks (WPS) di Medan Johor
tahun 2016.
1.4

Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ho :

Tidak ada

hubungan pengetahuan dan sikap wanita pekerja

seks (WPS) terhadap tindakan pencegahan penyakit menular seksual
(PMS) di Medan Johor tahun 2016.
2. Ha :

Ada hubungan

pengetahuan dan sikap wanita pekerja seks

(WPS) terhadap tindakan pencegahan penyakit menular seksual
(PMS) di Medan Johor tahun 2016.

Universitas Sumatera Utara

12

1.5

Manfaat Penelitian

1. Bagi institusi (Dinas Kesehatan kota Medan, Puskesmas Medan Johor, dan
petugas/kader kesehatan) sebagai bahan masukan untuk mengembangkan
metode terbaru dan pendekatan pendidikan kesehatan yang aplikatif untuk
meningkatkan pengetahuan dan sikap sikap pekerja seks l (WPS) dengan
tindakan pencegahan penyakit menular seksual (PMS) di Medan Johor
2. Bagi Universitas Sumatera Utara, sebagai literatur kepustakaan di bidang
penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan sikap wanita pekerja seks
(WPS) terhadap tindakan pencegahan penyakit menular seksual (PMS) di
Medan Johor tahun 2016.
3. Bagi peneliti lain, diharapkan dapat digunakan sebagai perbandingan atau
bahan referensi bagi penelitian dengan objek yang sama di masa mendatang.

Universitas Sumatera Utara