Tinjauan Yuridis terhadap Diversi dalam Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05 Pid.Sus-Anak 2016 PN.Bnj)

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara Hukum. 2 Hukum merupakan wujud dari

perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengemban
kepercayaan dan perlindungan penduduk, baik di dalam maupun di luar
wilayahnya termasuk juga di dalamnya terhadap anak. 3
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai
macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai
bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam
melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam
pelaksanaan peradilan pidana anak yang asing bagi dirinya. Anak perlu mendapat
perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik, dan
sosial. Oleh karena itu, anak memiliki peraturan hukum yang disebut dengan
hukum anak agar anak sebagai calon generasi penerus bangsa tetap terpelihara demi
masa depan bangsa dan negara. 4
Hukum Anak adalah sekumpulan peraturan hukum, yang mengatur tentang

anak. Pengaturan hukum tentang anak sudah tersebar dalam berbagai tingkat
perundang-undangan.Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu, meliputi:
Sidang Pengadilan Anak, Anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban
tindak pidana, Kesejahteraan Anak, Hak-hak Anak, Pengangkatan Anak, Anak
2

Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
antara norma dan realita, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 3
4
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 2 (selanjutnya disebut Buku 1)
3

1

Universitas Sumatera Utara

Terlantar, Kedudukan Anak, Perwalian, Anak Nakal,Anak yang berkonflik dengan
hukum (AKH) , dan lain sebagainya. 5

Semua aturan yang dibuat pemerintah tersebut bertujuan agar perlindungan
anak betul-betul dapat diaktualisasikan dalam realitas kehidupan untuk menjamin
agar anak tidak mendapatkan diskriminasi dalam menjalankan kehidupannya agar
tetap tumbuh dan berkembang secara layak, baik dari segi jasmani, rohani
maupun sosial. Salah satunya adalah dengan memberikan perlindungan khusus
kepada Anak yang berkonflik dengan Hukum (AKH). 6
Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi menimbulkan dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif pesatnya perkembangan antara lain terciptanya berbagai macam
produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh
melalui satelit dan meningkatnya pendapatan masyarakat. “Dampak negatifnya
antara lain semakin meningkatnya krisis nilai moral di masyarakat yang
berpotensi meningkatnya jumlah orang yang melawan hukum pidana dalam
berbagai bentuk” 7, contohnya: Kenakalan Anak 8 yang telah menyentuh ranah
tindak pidana pencabulan.
Kenakalan anak yang merupakan terjemahan dari istilah Juvenile
Delinquency (JD), adalah perbuatan anak yang melanggar hukum yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa termasuk kategori kejahatan, dalam hal ini termasuk

5


Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal.1
Menurut Ketentuan Umum UU SPPA, AKH adalah Anak yang berkonflik dengan
Hukum yang berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak
pidana
7
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal.1 (selanjutnya disebut Buku 1)
8
Kenakalan anak dalam hal ini, khususnya berupa perbuatan yang merupakan tindak
pidana
6

Universitas Sumatera Utara

perilaku pelanggaran anak terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus
diperuntukkan bagi mereka. 9
Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan
dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang yang semuanya dalam
lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya seorang laki-laki meraba kelamin

seorang perempuan.

Tindak pidana pencabulan di atur dalam kitab undang-

undang pidana (KUHP) pada bab XIV Buku ke- II yakni dimulai dari Pasal 289296 KUHP, yang selanjutnya dikategorikan sebagai kejahatan terhadap
kesusilaan. Perbuatan Pencabulan yaitu “Barang siapa dengan kekerasan atau
dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan
dilakukan padanya perbuatan dihukum karena salahnya melakukan perbuatan
melanggar kesopanan dengan hukum penjara selama-lamanya sembilan
tahun”. 10Tindak pidana pencabulan tidak hanya di atur dalam KUHP saja namun
di atur pula dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu Pasal 76D jo 81 atau
76E jo 82 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014tentang perubahan atas UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 11

9

Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 3
Lihat Pasal 289 KUHP
11
Lihat UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak

10

Universitas Sumatera Utara

Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan:
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain.”
Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 UU No. 35 Tahun
2014 yang menyatakan: 12
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam pasal 76D dipidana
penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)
(2) Ketentuan pidana berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain
(3) Dilakukan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga
kependidikan pidana ditambah 1/3 dari ancaman pidana.
atau,
Pasal 76E UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 82 UU No. 35 Tahun
2014 yang menyatakan:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga
kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepoertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dari rumusan pasal di atas dimana dalam proses penanganan dan
penyelesaiannya terdapat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
12

Lihat UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak


Universitas Sumatera Utara

Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah Pelaksana Undang-Undang
No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak
yang belum berumur 12 (dua belas) tahun, dan Peraturan Mahkamah Agung No. 4
Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 59 Tahun 2015 Tentang
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang berwenang
dalam memberikan perlindungan kepada anak dalam memberikan secara teknis
dan memantau pelaksanaan dalam menangani perlindungan anak termasuk juga
anak yang melakukan tindak pidana adalah Deputi bidang Perlindungan anak. 13
Ketentuan Umum dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 menjelaskan bahwa
untuk menyikapi fenomena kekerasan seksual terhadap anak maka diberikan efek
jera terhadap pelaku dan melakukan pencegahan agar tidak terjadi kekerasan
seksual terhadap anak namun tidak berlaku bagi pelaku anak. 14
Situasi kasus pencabulan anak-anak dibawah umur cukup memprihatinkan,
dimana kasus tersebut terjadi di lingkungan terdekat seperti: sekolah, tempat
ibadah, keluarga, dan sebagainya. Sehingga sulit saat ini untuk menentukan mana
wilayah yang aman dan ramah untuk anak-anak, ketika lingkungan terdekat anak

merupakan tempat utama yang sering menyumbang terjadi kasus pencabulan
tersebut. Kejahatan bidang seksual/pencabulan membutuhkan perhatian yang
serius karena dapat mengakibatkan persoalan komplikatif (serius dan beragam)

13

Lihat Pasal 16 PERPRES No. 59 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak
14
Lihat Penjelasan Ketentuan Umum Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjadi UndangUndang

Universitas Sumatera Utara

dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, terutama kehidupan kaum
perempuan, anak-anak dan masa depan suatu keluarga. 15
Tindak kejahatan 16 yang dilakukan anak sangat dipengaruhi beberapa faktor
lain di luar diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan
sebagainya 17, dan menyebabkan anak konflik hukum (selanjutnya disebut AKH).

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU
SPPA) Pasal 1 angka 2 bahwa Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan
anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum
(AKH) lebih dikhususkan terhadap anak sebagai pelaku suatu tindak pidana. Oleh
karena itu, Pertanggungjawaban pidana dikenakan pada anak yang berkonflik
dengan hukum dengan ketentuan yang telah secara tegas diatur dalam Pasal 1
angka 3 adalah anak yang berusia 12 (dua belas) tahun tetapi belum berusia 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, tidak terkecuali
terhadap anak yang melakukan pencabulan. Tindak pidana pencabulan yang
dilakukan oleh anak dirasakan telah meresahkan semua pihak khususnya para
orang tua maupun masyarakat dan perilaku tersebut seolah-olah tidak berbanding
lurus dengan usia pelaku.
Anak yang kebetulan melakukan kejahatan tetaplah anak, oleh karena itu ia
tetaplah untuk mendapatkan hak-haknya sebagai anak serta melakukan kewajiban

15

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual,
(Bandung: Refika Aditama, 2001), hal. 11-12

16
Tindak Kejahatan dalam hal ini, khususnya berupa pelanggaran hukum atau tindakan
kriminal
17
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana,
(Medan: USU Press, 2010), hal. 1 (selanjutnya disebut Buku 2)

Universitas Sumatera Utara

sebagai anak. 18 Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak
anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. 19
Kewajiban berarti sesuatu yang wajib diamalkan (dilakukan), keharusan, tugas
yang harus dilakukan. Anak melakukan kewajiban ini bukan semata-mata sebagai
beban, tetapi justru dengan melakukan kewajiban-kewajiban ini menjadikan anak
tersebut berpredikat “anak yang baik”. Anak yang baik tidak hanya meminta hakhaknya saja, tetapi akan melakukan kewajiban-kewajibannya. 20
Hak-hak anak yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak,
seperti: 21
1.
2.
3.

4.
5.
6.
7.
8.

Hak untuk beribadah menurut agama dan keyakinannya;
Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan;
Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran;
Hak untuk menyatakan pendapat;
Hak untuk mendapat perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan
seksual dan kekerasan;
Hak untuk rehabilitasi dan menerima bantuan sosial bagi anak
penyandang Disabilitas;
Hak untuk diasuh oleh Orang Tua;
Hak untuk memperoleh perlindungan.

Mengenai kewajiban anak bahwa setiap anak berkewajiban untuk: 22
1.
2.
3.
4.
5.

Menghormati orang tua, wali dan guru;
Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman;
Mencintai tanah air, bangsa dan negara;
Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
Melaksanakan etika dan ahklak yang mulia.

Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan
salah satu aset pembangunan nasional, patut dipertimbangkan dan diperhitungkan

18

Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011) Cet.Pertama, hal. 21
19
Lihat Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
20
Setya Wahyudi, Op.Cit., hal. 26
21
Lihat Pasal 4 s/d Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002
22
Lihat Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002

Universitas Sumatera Utara

dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas yang handal dan masa depan
yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib
bangsa akan sulit pula dibayangkan. 23
Memberikan pemenuhan hak terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,
pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak
Indonesia dengan menerbitkan berbagai peraturan perundangan yang merumuskan
perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu
implementasinya adalah dengan lahirnya UU SPPA, yang memberlakukan proses
pemeriksaan

khusus

bagi

anak

yang

melakukan

tindak

pidana

yang

penanganannya melibatkan beberapa lembaga negara, yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan,Departemen Hukum dan HAM, serta Departemen Sosial,
secara terpadu dengan mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anakanak. 24
Melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem
peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan
kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove)
seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana
dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap
lebih baik untuk anak. Berdasarkan pikiran tersebut, maka lahirlah konsep
diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan. 25

23

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung: PT. Alumni, 2010),

hal.1
24

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia Cetakan Keempat (Revisi), (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 212
(selanjutnya disebut Buku 2)
25
Marlina, Buku 2, Loc.Cit., hal. 1

Universitas Sumatera Utara

Diversi merupakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk
mengalihkan kasus pidana dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal.
Pertimbangan dilakukannya diversi didasarkan pada alasan untuk memberikan
keadilan kepada anak yang terlanjur melakukan tindak pidana serta memberikan
kesempatan pada anak untuk memperbaiki dirinya. 26Kriteria anak bisa di diversi
adalah anak berusia 12 (dua belas) sampai dengan belum berumur 18 (delapan
belas) tahun, meskipun sudah atau pernah kawin dengan tindak pidana yang
diancam penjara dibawah 7 (tujuh) tahun atau lebih dari 7 (tujuh) tahun dan bukan
merupakan pengulangan tindak pidana yang dikaji dari perspektif UU SPPA No.
11 Tahun 2012 dengan PERMA No. 4 Tahun 2014 dan PP No. 65 Tahun 2015. 27
Pengadilan Negeri Binjai Klas 1-B adalah pengadilan yang menangani
perkara pidana yang berkedudukan di Kabupaten/Kota khusus nya di wilayah
hukum Kota Binjai, merupakan lembaga yang berperan dalam menjalankan
program diversi yang telah menerapkan sistem peradilan pidana anak yang sesuai
dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 tahun 2012,
Peraturan Mahkamah Agung Repubik Indonesia No. 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi dan Penanganan Anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun dengan
memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dalam
proses peradilan pidana yang dihadapinya, meskipun proses peradilan pidana yang
harus dilalui anak jalurnya sama yaitu polisi, jaksa, pengadilan, Lembaga

26

M. Nasir Djamil, Anak Bukan untuk DihukumCetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), hal. 137
27
Lihat Pasal 7 ayat (2) UU SPPA No. 11 Tahun 2012, Pasal 3 PERMA No. 4 Tahun
2014 dan Pasal 91 PP No. 65 Tahun 2015

Universitas Sumatera Utara

Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara
(LPAS) dan Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS). Adanya polisi
yang khusus menangani perkara anak dan polisi khusus yang dimaksud tersebut
adalah penyidik Polri yang terpilih dan memiliki dedikasi dan memahami masalah
anak. Dapat di tetapkan sebagai Penyidik Anak maka ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi (Pasal 26 ayat (2)) UU SPPA), juga pada jaksa khusus anak, hakim anak,
lembaga pemasyarakatan khusus anak, lembaga penempatan anak sementara dan
lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial. 28
Salah satu contoh kasus pencabulan yang terjadi di Binjai pada bulan
Oktober 2015 dilakukan oleh anak laki-laki berumur 13 (tiga belas) tahun dan
korbannya anak perempuan berumur 5 (lima) tahun di tempat pengambilan air
wudhu Mushola Al-Burhan saat ingin melaksanakan sholat maghrib bersama
teman-temannya. Korban tidak tahu cara mengambil air wudhu dan meminta
diajarin oleh teman-temannya, akan tetapi tidak ada temannya yang bersedia
mengajarinya. Setelah semua teman korban selesai mengambil air wudhu korban
pun ditinggal sendirian di kamar wudhu, lalu anak/pelaku datang dan mengajari
korban untuk mengambil air wudhu dan setelah selesai mengajari korban
mengambil air wudhu lalu anak/pelaku tiba-tiba melepaskan celana pendek dan
celana

dalam

yang

dipakai

korban,

kemudian

anak/pelaku

juga

melorotkan/menurunkan celana ponggol dan celana dalamnya. Anak/pelaku
menggendong depan korban kemudian anak/pelaku memasukkan alat kelaminnya
yang telah menegang ke dalam alat kelamin/vagina korban dan menekannekannya sehingga korban merasa kesakitan dan setelah itu korban dan

28

Maidin Gultom, Buku 2, Loc.Cit., hal. 212

Universitas Sumatera Utara

anak/pelaku masing-masing mengenakan kembali celana pendek dan celana
dalamnya, selanjutnya korban dan anak/pelaku pergi melaksanakan sholat. 29
Kasus pencabulan yang dilakukan oleh anak tersebut diselesaikan dengan
kekeluargaan yang dimusyawarahkan dengan diversi di Pengadilan Negeri Binjai
Klas 1-B melihat karena anak/pelaku dan korban masih tergolong anak-anak di
bawah umur. Hal ini penting untuk menjaga/menghindarkan anak agar tidak
mengalami traumatik atas cap/label sebagai pelaku kejahatannya dan korban
dipulihkan dari masa lalunya yang dapat mempengaruhi perkembangan kehidupan
anak ke depannya.
Berdasarkan uraian diatas,Penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan
judul “Tinjauan Yuridis terhadap Diversi dalam perkara Anak sebagai
Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05/Pid. SusAnak/2016/PN.Bnj)” yang kemudian akan dibahas pada bab-bab selanjutnya
dalam skripsi ini.

B. Permasalahan
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai tindak pidana pencabulan yang
dilakukan oleh anak ?
2. Bagaimanakah penerapan diversi pada tindak pidana pencabulan yang
dilakukan oleh anak ?

29

Perkara Anak Pelaku Pencabulan dalam Penetapan No. 05/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Bnj

Universitas Sumatera Utara

3. Apakah hambatan dalam pelaksanaan proses diversi pada tindak pidana
pencabulan yang dilakukan oleh anak ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai tindak pidana pencabulan
yang dilakukan oleh anak.
2. Untuk mengetahui penerapan diversi terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana pencabulan
3. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan proses diversi
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan dan sejauh
mana proses peradilan dapat memberikan rasa keadilan terhadap
korban pencabulan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

2. Manfaat Penulisan
Disamping

tujuan

yang

akan

dicapai

sebagaimana

yang

dikemukakan diatas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk:
1. Manfaat secara Teoritis
Diharapkan dengan adanya skripsi ini dapat memberikan
informasi, masukan bagi pengembangan ilmu hukum pada
umumnya mengenai penetapan hakim yang menerapkan diversi

Universitas Sumatera Utara

terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan dimana
sebagai kajian hukumyang membawa dampak positif bagi anak.
2. Manfaat secara Praktis
Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam perkembagan ilmu hukum bagi masyarakat pada
umumnya dan para penegak hukum pada khususnya yang
berkaitan dengan masalah tindak pidana pencabulan yang terjadi
pada anak-anak dibawah umur.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil dari pemeriksaan dan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Pihak Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara mengenai judul ”Tinjauan
Yuridis terhadap Diversi dalam perkara Anak sebagai Pelaku Tindak
Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05/Pid. Sus-Anak/2016/PN.Bnj)”
Dinyatakan bahwa tidak adajudul yang sama. Walaupun ada seperti beberapa
judul skripsi yang diuraikan di bawah ini, dapat diyakinkan bahwa substansi
pembahasannya berbeda.
Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, gagasan pemikiran dan usaha penulis
sendiri tanpa ada penipuan, penjiplakan atau dengan cara lain yang dapat
merugikan pihak-pihak tertentu. Hasil dari upaya penulis telah dilakukan
penelusuran dalam berbagai judul skripsi dan disertasi serta mencari keteranganketerangan baik berupa buku-buku, internet, peraturan perundang-undangan dan
pihak-pihak lain yang sangat erat kaitannya dengan normatif-empiris terhadap
diversi dalam perkara anak sebagai pelaku tindak pidana pencabulan di

Universitas Sumatera Utara

Pengadilan Negeri Binjai. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang
Fakultas Hukum yang mirip adalah:
1. Nama: Dian Antasari Ginting (Skripsi)
Nim: 070200156
Judul: Penerapan Konsep Diversi dan Restorative Justice Sebagai
UpayaPerlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pada
Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan(Studi Kasus di
Kota Kabanjahe)
Permasalahan:
a. Bagaimana penerapan perlindungan hukum terhadap anak pelaku
tindak pidana dalam proses peradilan pidana anak di Kabanjahe?
b. Bagaimana penerapan konsep diversi dan restorative justice
sebagai upaya perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana
pada tahap penyidikan, penuntutan dan persidangan di Kabanjahe?
Yang ditemukan:
i.

Dalam memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak

pidanaseharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan perlu
diatur dalam suatuperaturan perundang-undangan khusus agar lebih
jelas dan terperinci. Perluadanya pedoman bagi penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan dan pengadilantentang prosedur peradilan
anak pelaku tindak pidana serta adanya penunjukan Penyidik anak

Universitas Sumatera Utara

di kepolisian, jaksa penuntut umum khusus anak dan hakim khusus
dalam pengangani anak pelaku tindak pidana.
ii.

Kepada

Kepolisian,

Kejaksaan

dan

Pengadilan

agar

menggunakan kewenangan diskresinya dengan mengadopsi konsep
diversi dan restorative justicedalam sistem peradilan pidana anak
2. Nama: Rahmaeni Zebua (Skripsi)
Nim: 100200155
Judul: Analisis Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam UndangUndang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Permasalahan:
a. Bagaimanakah sejarah perkembangan konsep diversi dan restorative
justicedalam menyelesaikan perkara anak?
b. Bagaimanakah penerapan konsep diversi dan restorative justice dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak?
c. Apakah kelemahan pengaturan yang terdapat pada UU No.11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut?
Yang ditemukan:
i.

Diharapkan adanya peraturan pelaksana terhadap undang-undang ini
sepertiPeraturan Pemerintah terkait diversi sebelum undang-undang
ini padaakhirnya berlaku. Peraturan ini juga harus dikaitkan dengan
adat istiadat dankebiasaan di dalam wilayah tertentu sebagai
penghargaan terhadap carapenyelesaian perkara anak di wilayah
tersebut.

Universitas Sumatera Utara

ii.

Pemerintah harus segera melakukan pelatihan teknis terhadap
Penyidik, penuntut umum, hakim, petugas kemasyarakatan dan para
tenaga social lainnya sehingga dapat menyelesaikan perkara anak
dengan baik. Pelatihan teknis tersebut dapat menjadi patokan terhadap
orang-orang yang telah layak untuk menyelesaikan perkara anak
terutama untuk di daerah-daerah.

iii.

Pemerintah juga harus meninjau kembali sanksi pidana yang
ditetapkan kepada Penyidik, penuntut umum dan hakim yang apabila
tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan diversi. Hal ini
masih dipandang tidak efisien karena memandang pemulihan sebagai
tujuan utama penyelesaian perkara anak.

3. Nama: Dr. Marlina, S.H., M. Hum., (Disertasi)
Nomor Pokok: 08101024/S-3 HK
Program Studi: S-3 Ilmu Hukum
Judul: Pengembangan Konsep Diversi dan Restoratif Justice dalam
Sistem Peradilan Anak di Indonesia (Suatu Studi di Kota Medan)
Permasalahan:
a.

Apakah ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah memasukkan prinsip-prinsip
Beijing Rules ? dan bagaimanakah pelaksanaan sistem peradilan pidana
anak di Indonesia pasca berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1997 ?
b.

Bagaimanakah

konsep

diversi

dan

restorative

justice

menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak ?

Universitas Sumatera Utara

c.

Bagaimana prospek pengembangan konsep diversi dan restorative

justice dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia ?
Yang ditemukan:
i. Mengingat bahwa ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, masih ditemukan kekurangan ketentuan dalam
memberikan perlindungan terhadap anak, maka secepatnya dilakukan
diversi terhadap Undang-Undang tersebut. Revisi dilakukan dengan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan ketentuan
internasional tentang perlindungan terhadap anak dalam proses peradilan
pidana anak.
ii. Aparat penegak hukum dan masyarakat harus bekerjasama dan
membangun persepsi yang sama tentang perlindungan terhadap anak.
Konsep diversi dan restorative justice merupakan dua konsep yang
bertujuan mencari alternatif peneyelesaian terhadap anak pelaku tindak
pidana. Konsep diversi dilaksanakan dengan memaksimalkan hak
diskresi yang dimiliki oleh aparat penegak hukum yang menangani anak
yang bermasalah dengan hukum. Konsep restorative justice harus
dijalankan dengan memberikan pemahaman terhadap korban, pelaku,
keluarga korban, dan keluarga pelaku serta masyarakat untuk bersamasama memutuskan tindakan yang tepat terhadap pelaku tindak pidana.
iii. Pengembangan

konsep

diversi

dan

restorative

justice

dalam

penyelesaian anak pelaku tindak pidana, harus mendapat perhatian dari
masyarakat dan aparat penegak hukum. Untuk itu perlunya sosialisasi
konsep diversi dan restorative justice secara luas dan berkelanjutan. Para

Universitas Sumatera Utara

akademisi diharapkan dapat berperan aktif mensosialisasikan konsep
tersebut dan pemerintah membuat kebijakan untuk mendukung
pelaksanaan konsep tersebut.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Diversi
Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion” pertama
kali dikemukakan sebagai kosakata pada laporan pelaksanaan peradilan anak yang
disampaikan Presiden Komisi Pidana Australia di Amerika serikat pada tahun
1960. 30
Konsep diversi di Indonesia muncul dikenalkan melalui sebuah acara-acara
seminar yang sering diadakan yang memberikan pengertian dan pemahamam
diversi, sehingga menimbulkan semangat dan keinginan untuk mempelajari jauh
lagi mengenai konsep diversi tersebut. Berdasarkan hasil seminar yang diketahui
bahwa, konsep diversi itu ditunjukan untuk memberikan perlindungan hukum bagi
anak yang berhadapan dengan hukum.Selanjutnya pada tahun 2004 di Jakarta
diadakan diskusi di antara aparat penegak hukum yang terkait dalam sistem
peradilan pidana anak untuk membicarakan langkah terbaik dalam upaya
penanganan terhadap anak pelaku tindak pidana. Setelah adanya diskusi tersebut
para hakim di Bandung secara intern membicarakan tentang langkah awal yang
dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang bermasalah
dengan hukum yaitu dengan mendirikan ruang sidang khusus anak dan ruang
tunggu khusus anak. 31

30

Marlina, Buku 2, Op. Cit., hal. 10
Ibid

31

Universitas Sumatera Utara

Konsep Diversi adalah Konsep untuk mengalihkan suatu kasus dari proses
formal ke proses informal. Proses Pengalihan ditujukan untuk memberikan
perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. 32
Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari
proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. 33
Definisi diversi menurut beberapa ahli diantaranya, Jack E. Bynum dalam
bukunya Juvenile Deliquence a Sosiological Approach, yaitu diversi adalah
sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku
tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. Menurut Romli
Artasasmita,

Diversi

yaitu

kemungkinan

hakim

menghentikan

atau

mengalihkan/tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap
anak selama proses pemeriksaan dimuka sidang. 34
Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan terhadap
anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak
menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan
memberikan stigmatisasai terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti
anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem
peradilan pidana.
Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem
peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi anak pelaku tindak
pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang
pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak inilah yang
32

Marlina, Buku 1, Op.Cit., hal.168
Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 11 tahun 2012
34
Marlina, Buku 2, Loc.Cit., hal. 10-11
33

Universitas Sumatera Utara

membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi dari
sistem peradilan pidana formal. 35Diskresi adalah pengalihan dari proses
pengadilan pidana secara formal ke proses non formal untuk diselesaikan secara
musyawarah. Pendekatan ini dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak
yang berkonflik dengan hukum. 36
Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan
hukum negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai
prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk
menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang
tuanya. Diversi tidak bertujuan mengabaikan hukum dan keadilan sama sekali,
akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk
membuat orang mentaati hukum. 37
Prinsip keadilan tetap dijunjung tinggi dalam penegakan hukum, tidak
terkecuali saat penerapan prinsip-prinsip diversi dilaksanakan. Keadilan
menempatkan kejujuran dan perlakuan yang sama terhadap semua orang. Petugas
dituntut tidak membeda-bedakan orang dengan prinsip tindakan yang berubah dan
berbeda. Pelaksanaan diversi bertujuan mewujudkan keadilan dan penegakan
hukum secara benar dengan meminimalkan pemaksaan pidana.
Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan
kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik dan kembali melalui jalur
non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya
memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak
pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum.
35

Ibid, hal. 11
Marlina, Buku 1, Op.Cit., hal. 19
37
Marlina, Buku 2, Op.Cit., hal. 14

36

Universitas Sumatera Utara

Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan
dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate
treatment). 38
Diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak,
menyelesaikan perkara pidana anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak
dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan
menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak. 39
Proses penanganan pidana anak dari tingkat penyidikan di Kepolisian,
Penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan Proses Persidangan di Pengadilan
oleh Majelis Hakim wajib untuk melakukan upaya diversi, dimaksudkan untuk
mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut. 40
Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang
tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan,
dan pekerja sosial profesional. Dalam hali diperlukan, musyawarah dapat
melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat. Proses diversi wajib
memperhatikan: 41
a. Kepentingan korban
b. Kesejahteraan dan tanggungjawab anak
c. Penghindaran stigma negatif
d. Penghindaran pembalasan
e. Keharmonisan masyarakat, dan
f.Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Pertimbangan

dilakukannya

diversi

didasarkan

pada

alasan

untuk

memberikan keadilan kepada pelaku yang telah terlanjur melakukan tindak pidana
serta memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya. Diversi
38

Ibid, hal. 15
Lihat Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
40
Setya Wahyudi, Op.Cit., hal. 56
41
Lihat Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012
39

Universitas Sumatera Utara

juga salah satu usaha untuk mengajak masyarakat untuk taat dan menegakan
hukum Negara, pelaksanaannya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai
prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk
menempuh jalur non pidana.
Terdapat tiga jenis pelaksanaan diversi, yaitu: 42
a. Berorientasi kontrol sosial (social control orientation). Dalam hal ini
aparat

penegak

hukum

menyerahkan

anak

pelaku

pada

pertanggungjawaban dan pengawasan masyarakat;
b. Berorientasi pada social service, yaitu pelayanan sosial oleh masyarakat
dengan melakukan fungsi pengawasan, perbaikan dan meyediakan
pelayanan bagi anak pelaku dan keluarganya;
c.

Berorientasi pada restorative justice, yaitu memberi kesempatan kepada
pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatannya kepada korban dan
masyarakat. Semua pihak yang terlibat dipertemukan untuk bersama-sama
mencapai kesepakatan, apa tindakan terbaik untuk anak pelaku ini.

2. Pengertian Anak Pelaku Tindak Pidana
Berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yakni: UndangUndang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta konvensi Internasional, yaitu
42

Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hal. 73-74 (selanjutnya
disebut Buku 3)

Universitas Sumatera Utara

Convention on the Rights of the Child sebagaimana telah diratifikasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi
tentang Hak-Hak Anak) sebagaimana telah diamandemen melalui Amandement to
Article 43 Paragraph 2 of the Convention on the Rights of the Child, yang telah
diratifikasi pula melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun
1998 tentang Pengesahan Amandement To Article 43 Paragraph 2 Of The
Convention On The Rights Of The Child (Perubahan Terhadap Pasal 43 ayat (2)
Konvensi tentang Hak-Hak Anak), bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun (termasuk anak yang
masih dalam kandungan), dan belum pula menikah. 43
Batas usia seseorang yang disebut sebagai anak-anak ketika melakukan
tindak pidana yaitu:
a. Untuk Perlindungan Anak diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1
ayat (1) menyatakan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
b. Untuk Peradilan Anak diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Pasal 1 ayat (1)

menyatakan “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”

43

Andika Wijaya dan Wida Peace, Darurat Kejahatan Seksual, (Jakarta: Sinar Grafika,
2016), hal. 84-85

Universitas Sumatera Utara

c. Untuk Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 1 ayat (3)
menyatakan “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya
disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.”
Di samping batasan usia maksimum anak yang ditentukan oleh undangundang di atas, usia kedewasaan anak juga dapat ditentukan oleh ketentuan
hukum dan disiplin ilmu yang lain, seperti: 44
a. Hukum Adat, seseorang dapat dinyatakan dewasa apabila ia sudah mentas
gawe atau kuat gawe;
b. Hukum Islam, seorang anak dapat dinyatakan dewasa apabila sudah
berakhil baliqh (sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk) atau sudah mengalami perkembangan fisik, seperti: bagi wanita
terdapat pertumbuhan bulu kelamin, perkembangan buah dada, dan sudah
mengeluarkan darah nifas atau menstruasi. Sedangkan bagi laki-laki,
sudah pernah bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, terdapat
pertumbuhan kumis, dan mengalami perubahan suara yang membesar
(Jawa: agor-agori). Jumhur Ulama berpendapat bahwa kedewasaan anak
rata-rata berusia 9 tahun;
c. Secara Psikologis, kedewasaan anak waniita lebih cepat dibanding dengan
anak laki-laki, kedewasaan anak wanita berada di usia 14-15 tahun dan
anak laki-laki berada di usia 16-17 tahun.

44

Bunadi Hidayat, Op.Cit., hal. 16

Universitas Sumatera Utara

Kenakalan anak, yang merupakan terjemahan dari istilah juvenile
delinquency, adalah perbuatan anak yang melanggar hukum yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa termasuk kategori kejahatan, dalam hal ini termasuk
perilaku pelanggaran anak terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus
diperuntukkan bagi mereka. 45
Romli Atmasasmita mengatakan bahwa deliquency adalah suatu tindakan
atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh
masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa delikuensi sebagai tingkah
laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Kenakalan remaja adalah terjemahan kata juvenile deliquency dan
dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan
remaja yang bersifat asosial, bertentangan dengan agama, dan ketentuanketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Remaja adalah yang dalam usia
di antara dua belas tahun dan di bawah delapan belas tahun serta belum menikah.
Kartini kartono menegaskan bahwa: Deliquency itu selalu mempunyai
konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh
anak-anak muda di bawah usia 22 (dua puluh dua) tahun. Menurut Sudarsono,
suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut
bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup atau

45

Paulus Hadisuprapto, Op.Cit., hal. 3

Universitas Sumatera Utara

suatu perbuatan yang anti sosial yang di dalamnya terkandung unsur-unsur anti
normatif. 46
Soedjono Dirdjosisworo mengatakan bahwa kejahatan dapat ditinjau dari: 47
a. Segi yuridis, yaitu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan
pelanggarnya diancam dengan sanksi;
b. Segi kriminologi, yaitu perbuatan yang melanggar norma-norma yang
berlaku di dalam masyarakat dan mendapat reaksi negatif dari masyarakat;
c. Segi psikologi, yaitu perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat
melanggar norma hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan
dari sipelaku perbuatan tersebut.
Masalah perilaku remaja termasuk perilaku penyimpangannya baik dalam
kadarnya yang sederhana maupun yang canggih, tetap merupakan masalah yang
aktual dan perlu dicermati. Pendekatan-pendekatan perlu dilakukan berdasarkan
atas pemahaman akan sifat dan karakteristik jiwa remaja dengan segala
permasalahan

kejiwaan

yang

dialaminya,

dan

berbagai

lingkungan

kemasyarakatan yang melingkupinya (utamanya yang dikhawatirkan menjadi
faktor kriminogen), serta tetap memperhatikan persepsi dan aspirasi para remaja
sendiri, sehingga dapat dilahirkan alternatif pengantisipasian yang “trep” dan
dapat diterima oleh kalangan remaja sendiri. 48
UU SPPA pada pasal 1 angka 3 menentukan bahwa Anak yang Berkonflik
dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak
yang melakukan tindak pidana, yang berumur 12(dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun. Perbuatan terlarang bagi anak adalah yang
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain
46

Maidin Gultom, Buku 2, Op.Cit., hal. 67
Ibid, hal. 68
48
Paulus Hadisuprapto, Op.Cit., hal.43-44

47

Universitas Sumatera Utara

yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam ketentuan
UU SPPA, istilah anak nakal tidak dikenal lagi, tetapi istilah anak yang berkonflik
dengan hukum. Pasal 1 angka 3 UU SPPA menentukan bahwa Anak yang
Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana. 49
Kedudukan keluarga sangat fundamental dan mempunyai peranan yang vital
dalam mendidik anak. Apabila pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak
cenderung melakukan tindakan kenakalan dalam masyarakat dan sering menjurus
ke tindakan kejahatan atau kriminal. Andi Mappiare menyatakan bahwa remaja
ingin bebas menentukan tujuan hidupnya sendiri, sedang orang tua takut
memberikan tanggungjawab kepada remaja sehingga terus membayangi
remajanya. Remaja ingin diakui sebagai orang dewasa sementara orang tua masih
tidak melepaskannya sebab belum cukup diberi kebebasan. Remaja sedang berada
dalam proses berkembang ke arah kematangan atau kemandirian, remaja
memerlukan bimbingan karena mereka belum memiliki pemahaman atau
wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan
arah kehidupannya. 50
Menurut B. Simanjuntak, kondisi-kondisi rumah tangga yang mungkin
dapat menghasilkan Anak Nakal adalah:
a. Ada anggota lainnya dalam rumah tangga itu sebagai penjahat, pemabuk,
emosional;

49

Maidin Gultom, Buku 2, Loc.Cit., hal. 68
Ibid

50

Universitas Sumatera Utara

b. Ketidakadaan salah satu atau kedua orang tuanya karena kematian,
perceraian atau pelarian diri;
c. Kurangnya pengawasan orang tua karena sikap masa bodoh, cacat
inderanya, atau sakit jasmani atau rohani;
d. Ketidakserasian karena adanya main kuasa sendiri, iri hati, cemburu,
terlalu banyak anggota kleluarganya dan mungkin ada pihak lain yang
campur tangan;
e. Perbedaan rasial, suku dan agama ataupun perbedaan adat istiadat, rumah
piatu, panti-panti asuhan.
Menurut A. Syamsudin Meliala dan E. Sumaryono, beberapa faktor
penyebab yang paling memengaruhi timbulnya kejahatan anak, yaitu:
a. Faktor lingkungan;
b. Faktor ekonomi;
c. Faktor psikologis.
Kartini kartono mengemukakan bahwa kriminalitas itu pada umumnya
merupakan kegagalan dari sistem pengontrol diri terhadap aksi-aksi instinktif;
juga

menampilkan

ketidakmampuan

seseorang

mengendalikan

emosi-

emosiprimitif untuk disalurkan pada perbuatan yang bermanfaat. Menurut Bismar
Siregar, kenakalan anak disebabkan oleh modernisasi, masyarakat belum siap
menerimanya. Rumah tangga terbengkalai, karena kedua orang tua saling
menunjang mencari nafkah rumah tangga, berakibat anak tersia-sia. 51
3. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan

51

Ibid, hal. 69

Universitas Sumatera Utara

Tindak pidana pencabulan dirumuskan dalam pasal 289 KUHP mengenai
perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan. Sebelum dijelaskan mengenai
pengertian pencabulan ada baiknya jika mengetahui terlebih dahulu mengenai
jenis-jenis pencabulan, yaitu sebagai berikut: 52

a. Seduction-turned-into-rape, yaitu pencabulan yang ditandai dengan
adanya relasi antara pelaku dengan korban. Jarang digunakan kekerasan
fisik dan tidak ada maksud mempermalukan. Yang dituju adalah kepuasan
si pelaku dan si korban menyesali dirinya, karena sikapnya yang kurang
tegas
b. Domination rape, yaitu pencabulan yang dilakukan oleh mereka yang
ingin menunjukkan kekuasaannya, misalnya, majikan yang mencabuli
bawahannya. Tidak ada maksud menyakitinya, Keinginannya yaitu
bagaimana memilikinya secara seksual.
c. Sadistic rape, yaitu pencabulan yang dilakukan secara sadistik. Si pelaku
mendapatkan kepuasan seksual bukan karena bersetubuh, tetapi karena
perbuatan kekerasan terhadap “genetalia” dan tubuh si korban.
d. Anger rape, merupakan ungkapan pencabulan yang karena kemarahan
dilakukan dengan sifat brutal secara fisik. Seks menjadi senjatanya dan
dalam hal ini tidak diperolehnya kenikmatan seksual. Yang dituju sering
kali keinginan untuk mempermalukan si korban.
e. Exploitation rape, merupakan jenis pencabulan di mana si wanita sangat
bergantung pada si pelaku, baik dari sosial maupun ekonomi. Sering kali
terjadi di mana si istri dipaksa oleh si suami. Kalaupun ada persetujuan, itu
52

Jenis-jenis pencabulan: http://www.suduthukum.com/2016/05/tindak-pidanapencabulan.html. Diakses pada Tanggal 30 Mei 2017 Pukul: 23.30 WIB

Universitas Sumatera Utara

bukan karena ada keinginan seksual dari si istri, melainkan sering kali
demi kedamaian rumah tangga.
Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul, sebagaimana
disebutkan di dalam pasal 289 KUHP, adalah segala perbuatan yang melanggar
kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang semua ada kaitannya dengan
nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,
meraba-rababuah dada, dan semua bentuk-bentuk perbuatan cabul. Persetubuhan
juga masuk dalam pengertian ini. 53
Pasal 289 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa dengn kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam
karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan,
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
Apabila rumusan pasal 289 tersebut rinci, akan terlihat Unsur-unsur
berikut: 54
a. Perbuatannya: memaksa;
b. Caranya: dengan:
i.

Kekerasan;

ii.

Ancaman kekerasan;

c. Objeknya: seseorang untuk:
i.

Melakukan; atau

ii.

Membiarkan dilakukan.

53

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentarkomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia,1996), hal. 212
54
Penjelasan umum Pasal 289 KUHP

Universitas Sumatera Utara

Walaupun undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur
kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan tindak pidana seperti yang
dimaksudkan dalam Pasal 289 itu harus dilakukan dengan sengaja, yakni karena
perbuatan memaksa orang lain tentunya tidak dapat dilakukan dengan tidak
disengaja. 55
Untuk

dapat

menyatakan

seorang

terdakwa

terbukti

mempunyai

kesengajaan dalam melakukan tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam
Pasal 289 KUHP, baik penuntut umum maupun hakim harus dapat
membuktikan: 56
a. Tentang adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memakai
kekerasan;
b. Tentang adanya kehendak atau maksud terdakwa untuk memaksa
seseorang;
c. Tentang adanya pengetahuan terdakwa bahwa yang ia paksakan
melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan, baik
oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.
Jika salah satu dari kehendak, maksud atau pengetahuan terdakwa itu
ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim akan memberikan putusan bebas dari
tuntutan hukum bagi terdakwa.
Menurut Prof. Simons, yang dimaksudkan dengan ontuchtige handelingen
atau tindakan-tindakan melanggar kesusilaan itu ialah: tindakan-tindakan yang
berkenaan dengan maksud-maksud untuk mendapat kesenangan dengan cara yang
bertentangan dengan pandangan umum tentang kesusilaan atau dengan kata lain
55

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan melanggar
norma kesusilaan dan norma kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 130
56
Ibid, hal. 131

Universitas Sumatera Utara

kata ontuchtige handelingen itu merupakan kata-kata yang mempunyai pengertian
yang sifatnya umum, sehingga termasuk pula dalam pengertiannya yakni
perbuatan-perbuatan melakukan hubungan kelamin seperti dimaksudkan dalam
Pasal 285 sampai dengan Pasal 287 KUHP. 57
Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anakanak antara lain: 58
a. Kurangnya kontrol sosial dari lingkungan akibatnya mudah terpengaruh
dengan rangsangan lingkungan seperti film atau gambar-gambar porno;
b. Kurang pengawasan orangtua dan anak terlalu dimanjakan dengan
kemajuan teknologi dalam penggunaan akses internet sehingga maraknya
anak di bawah umur terlibat dalam kejahatan terhadap kesusilaan. Contoh:
akibat akses internet yang cepat dan mudah diperoleh membuat anak
menonton film porno yang akhirnya ingin menyalurkan dorongan
seksualnya yang sudah tidak dapat ditahannya lagi;
c. Masa labil yang membuat anak mudah terpengaruh. Peran orangtua sangat
berpengaruh besar dalam menjaga dan mendidik anak-anak hingga
orangtua harus memantau keadaan anak-anak apalagi saat keluar rumah.
Upaya-upaya dalam me

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Tindak Pidana Pemerkosaan Seorang Ayah Kepada Anak Kandung Ditinjau Dari Psikologi Kriminil (Studi Kasus Putusan NO.166/PID.B/2009/PN-KIS)

1 60 142

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

PENERAPAN DIVERSI DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN DENGAN PELAKU ANAK Penerapan Diversi Dalam Tindak Pidana Pencabulan Dengan Pelaku Anak (Dalam Perkara Nomor: 02/Pen.Pid.Diversi/2014/PN.Skt).

0 6 17

Tinjauan Yuridis terhadap Diversi dalam Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05 Pid.Sus-Anak 2016 PN.Bnj)

0 3 5

Tinjauan Yuridis terhadap Diversi dalam Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05 Pid.Sus-Anak 2016 PN.Bnj)

0 0 16

Tinjauan Yuridis terhadap Diversi dalam Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05 Pid.Sus-Anak 2016 PN.Bnj)

0 0 1

Tinjauan Yuridis terhadap Diversi dalam Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Penetapan No. 05 Pid.Sus-Anak 2016 PN.Bnj)

0 0 15