Polifarmasi Dan Interaksi Obat Pada Pasien Usia Lanjut Rawat Jalan Dengan Penyakit Metabolik Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pasien Usia Lanjut
2.1.1 Pengertian usia lanjut
Menurut Undang-Undang No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut
usia, yang dimaksud dengan usia lanjut adalah penduduk yang telah mencapai
usia 60 tahun ke atas. Diperkirakan pada tahun 2000 di dunia terdapat 138 juta
orang usia lanjut, dengan perincian di Cina 32 juta orang, di India 17 juta orang,
dan di Indonesia 15,3 juta orang. Berdasarkan sensus penduduk usia lanjut di
Indonesia sebanyak 18,04 juta orang atau 7,59% dari keseluruhan jumlah
penduduk di Indonesia, penduduk usia lanjut perempuan lebih banyak dari jumlah
penduduk laki-laki (BPS, 2010).
Seorang praktisi medik dalam praktiknya sehari-hari sering dihadapkan
pada berbagai masalah pengobatan yang kadang memerlukan pertimbangan
khusus misalnya pada pasien usia lanjut. Pertimbangan pemberian obat pada usia
lanjut tidak saja diambil berdasarkan ketentuan dewasa tapi perlu beberapa
penyesuaian seperti dosis dan perhatian lebih besar terhadap kemungkinan efek
samping karena adanya perbedaan fungsi organ-organ tubuh dan lebih rentannya
usia lanjut terhadap efek samping/efek toksik obat (Ismayadi, 2004).
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 di Yogyakarta menyatakan

bahwa pasien usia lanjut selama rawatan di rumah sakit mendapatkan 2-20 jenis
obat. Sebanyak 31% dari pasien tersebut memperoleh lebih dari 10 jenis obat

9

selama dirawat di rumah sakit. Peneliti juga mendapatkan sebanyak 63% pasien
menerima pengobatan yang tidak diperlukan (Rahmawati, et al., 2009).
2.1.2 Perubahan fisiologis pada pasien usia lanjut
Kemunduran fungsi organ merupakan salah satu akibat proses menua
menyebabkan perubahan pada usia lanjut antara lain:
a. Perubahan system muskuluskeletal
Pada usia lanjut perubahan sistem muskuluskeletal yang sering terjadi
ialah tulang kehilangan densitas dan semakin rapuh sehingga menyebabkan
pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, begitu juga dengan
persendian semakin kaku. Selain itu tendon mengkerut dan mengalami
sklerosis sehingga pergerakan lansia menjadi lambat dan ototnya mudah
mengalami kram dan tremor (Taliaferro, 2001).
b. Perubahan system kardiopulmonal
Umumnya sistem kardiovaskuler pada usia lanjut mengalami perubahan
yaitu kehilangan elastisitas arteri maupun aorta, tetapi katup jantung justru

menebal dan menjadi kaku. Hal ini menyebabkan kemampuan jantung untuk
memompa darah menurun sehingga terjadi penurunan kontraksi dan volume
kardiopulmonal tetapi terjadi peningkatan nadi dan tekanan sistolik (Donatus,
1999).
c. Sistem pencernaan
Terkait dengan sistem pencernaan, kemunduran yang sering terjadi adalah
pada esofagus yaitu gerakan peristaltik rendah sehingga usia lanjut cenderung
mengalami disfagia, nyeri dan muntah. Asam lambung menurun sehingga
sensitivitas rasa lapar juga menurun dan waktu pengosongan lambung juga

10

menurun. Pada pankreas terjadi penurunan jumlah sekresi pankreatik biasanya
terjadi setelah usia 40 tahun begitu juga terjadi penurunan pengeluaran enzim
sesuai dengan bertambahnya usia. Penurunan aktivitas enzim berhubungan
dengan pencernaan lemak. Melemahnya peristaltik usus pada lansia akan
menyebabkan konstipasi (Donatus, 1999).
d. Perubahan sistem perkemihan
Perubahan yang signifikan pada sistem perkemihan pada usia lanjut ialah.
menurunnya laju filtrasi glomerulus, ekskresi dan reabsorbsi oleh ginjal,

penurunan kapasitas kandung kemih dan penyempitan saluran kemih. Pada usia
40 tahun aliran darah keginjal perlahan mulai menurun (Donatus, 1999).
e. Perubahan sistem endokrin
Pada lansia produksi semua hormon akan menurun begitu pula dengan
aktivitas tiroid, penurunan Basal Metabolic Rate (BMR), penurunan pertukaran
zat dan produksi hormon seperti progesteron, estrogen dan testosterone
(Donatus, 1999).
f. Perubahan sistem neurologis
Gangguan neurologis pada lansia disebabkan perubahan struktur dan
fungsi saraf. Perubahan ini tergantung pada banyak faktor termasuk faktor
genetik serta area otak yang mengalami kerusakan. Pada usia lanjut berat otak
menurun 10- 20% (setiap orang sel saraf otaknya berkurang setiap hari),
pengecilan saraf pancaindra seperti penglihatan berkurang, pengecilan saraf
penciuman, meningkatnya sensitivitas terhadap perubahan suhu karena
rendahnya ketahanan terhadap dingin (Donatus, 1999).

11

2.1.3 Prevalensi penyakit pada pasien usia lanjut
Penyakit yang sering terjadi pada usia lanjut adalah muskuloskeletal,

kardiovaskuler, urogenital, dan pernafasan lebih banyak dialami lanjut usia pria
dibandingkan wanita. Sedangkan penyakit digestif dan metabolik lebih banyak
dijumpai pada lanjut usia wanita. Semakin banyak penyakit kronis yang dialami
lansia terjadi kecenderungan menurunnya kualitas hidup (Yenny, et al., 2006).
Berdasarkan penelitian Sudijanto Kamso ditentukan prevalensi penyakit
metabolik adalah 14,9%, wanita 18,2% dan pria 6,6% (Sudijanto, 2007).
2.2 Polifarmasi
Polifarmasi berarti penggunaan obat banyak sekaligus terhadap pasien,
melebihi yang dibutuhkan terkait dengan perkiraan diagnosis. Pasien yang berusia
lanjut biasanya menderita lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang sering di
derita usia lanjut adalah hipertensi, gagal jantung, dan infark serta gangguan ritme
jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi hati, dan ginjal. Juga terdapat
berbagai keadaan yang khas dan sering mengganggu lansia seperti gangguan
fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua itu
menyebabkan pasien usia lanjut mendapatkan pengobatan yang relatif banyak
jenisnya (Roy dan Varsha, 2005). Polifarmasi termasuk meresepkan obat melebihi
indikasi klinik, pengobatan mencakup setidaknya satu obat yang tidak diperlukan,
penggunaan empiris 5 obat atau lebih, yang jelas polifarmasi mengandung risiko
lebih besar dari manfaat yang didapat (Rahmawati, et al., 2006).
Efek samping interaksi antara obat yang serius dapat terjadi pada

penggunaan polifarmasi pada kelompok pasien tertentu, misalnya usia lanjut,

12

pasien dengan sakit serius, pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal, pasien
yang mendapat obat lebih dari satu dokter dan kelompok obat yang sering
menimbulkan interaksi misalnya obat dengan proses metabolism jenuh (teofilin,
dan fenitoin), obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, dan warfarin), obat
berpotensi toksik (aminoglikosida, sitostatika, monoamine oksidase inhibitor) dan
obat yang mempunyai kurva respon dosis yang curam (khlorpropamid dan
verafamil) (Masjoer, 1998).
2.3 Interaksi obat
Ketika dua atau lebih obat dikonsumsi secara bersamaan atau hampir
bersamaan kemungkinan akan terjadi interaksi. Interaksi yang terjadi ini bisa
menambah atau mengurangi efektivitas maupun efek samping obat, bahkan bisa
saja interaksi menyebabkan efek samping baru, yang seharusnya tidak muncul jika
obat dikonsumsi secara tidak bersamaan. Secara teoritis, peluang terjadinya
interaksi obat sebanding dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Karena itu,
seseorang yang mengkonsumsi beberapa obat dalam waktu bersamaan,
kemungkinan memiliki risiko interaksi cukup besar. Adanya interaksi obat juga

bisa menyebabkan peningkatan biaya karena kemungkinan adanya efek samping
yang harus ditangani. Selain itu interaksi obat juga bisa menyebabkan munculnya
penyakit yang seharusnya bisa dicegah.
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping,
seperti halnya efek farmakologis, efek samping obat juga merupakan hasil
interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam
sistem biologik tubuh. Interaksi obat dapat terjadi antara obat-obat, obat–
makanan, dan obat – herbal (Prasetya, 2011).

13

Telah diketahui bahwa penyakit dan kesehatan pada usia lanjut tidaklah
sama dengan penyakit dan kesehatan pada golongan populasi usia lainnya, yaitu
dalam hal: penyakit pada usia lanjut cenderung bersifat multipel, merupakan
gabungan

antara

penurunan


fisiologik/alamiah

dan

berbagai

proses

patologik/penyakit; penyakit biasanya bersifat kronis, menimbulkan kecacatan
bahkan kematian; usia lanjut juga rentan terhadap berbagai penyakit akut serta
diperberat dengan kondisi daya tahan tubuh rendah; kesehatan usia lanjut juga
sangat dipengaruhi oleh faktor psikis, sosial dan ekonomi; dan pada usia lanjut
seringkali terjadi penyakit iatrogenic (akibat banyaknya obat yang dikonsumsi)
(Pranarka, 2006).
2.4 Mekanisme interaksi obat
Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B)
dengan satu dari dua mekanisme berikut:
a. modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di
cairan jaringan (interaksi farmakodinamik).
b. mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi

farmakokinetik). Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena:
i. indeks terapi obat B sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan
menyebabkan kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan
menyebabkan toksisitas).
ii. kurva dosis-respon curam (sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi
plasma akan menyebabkan perubahan efek secara substansial).
iii. untuk kebanyakan obat, kondisi ni tidak dijumpai, peningkatan sedikit besar
konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin

14

hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas
keamanannya lebar.
iv. sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi
yang sempit sehingga interaksi obat dapat menyebabkan masalah, sebagai
contoh obat antitrombotik, antiepilepsi, litium, dan obat-obat imunosupresan
(Hashem, 2005).
2.4.1 Interaksi farmakokinetik
Interaksi ini terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi,
metabolism, dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi

jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologinya (Martin,
2009).
a. interaksi obat pada level absorbsi contoh arang aktif dimaksudkan bertindak
sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan over dosis obat atau
untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi
penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Contoh lainantibakteri
tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan kalsium dan besi membentuk
kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek antibakteri. Propantelin
misalnya, menghambat pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan
parasetamol

(asetaminofen),

sedangkan

metoklopramid

memiliki

efek


sebaliknya (Stockley, 2008).
b. interaksi obat pada level distribusi meliputi:
i. interaksi pada ikatan protein
Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui
sirkulasi darah. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel. Hanya

15

molekul obat yang tidak terikat yang bebas dan aktif secara farmakologi
(Stockley, 2008).
ii. induksi dan inhibisi protein transpor obat
Distribusi obat ke otak dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh
aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif
membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat
yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat
obat ke dalam otak, sehingga meningkatkan efek samping obat di SSP
(Stockley, 2008).
c. interaksi obat pada level metabolisme
i. perubahan pada metabolisme fase pertama

Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat, pertama, reaksi tahap I
(melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obat akan menjadi
senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya
obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai
glukuronidasi) untuk membuat senyawa tidak aktif. Mayoritas reaksi
oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).
ii. induksi Enzim
Ketika barbiturate digunakan dalam jangka lama sebagai hipnotik, perlu
terus dilakukan peningkatan dosis untuk mencapai efek terapi yang sama,
disebabkan karena barbiturate meningkatkan aktivitas enzim mikrosom
sehingga meningkatkan laju metabolism dan ekskresinya sendiri (Stockley,
2008).

16

iii. inhibisi enzim
Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat
terakumulasi di dalam tubuh dan bisa menimbulkan toksisitas. Jalur
metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh
isoenzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).
iv. faktor genetik dalam metabolisme obat
Isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, artinya beberapa
dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitasnya. Contoh
yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian kecil memiliki varian
aktivitas yang rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian
lagi memiliki isozim cepat sehingga kemampuan yang berbeda dalam
metabolisme ini dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien mengalami
toksisitas sementara yang lain tidak (Stockley, 2008).
v. interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi
Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim
ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan
bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol
meningkatkannya (Stockley, 2008).
d. interaksi pada ekskresi obat
i.

perubahan pH urin
Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5)
sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut air, yang tidak
dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap berada dalam
urin dan dikeluarkan dari tubuh. Perubahan pH yang menyebabkan jumlah

17

obat dalam bentuk terionisasi meningkat, akan meningkatkan hilangnya obat
dari tubuh (Stockley, 2008).
ii.

perubahan ekskresi aktif tubular renal
Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus
ginjal dapat bersaing satu sama lain untuk diekskresi. Sebagai contoh,
probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat lainnya (Stockley, 2008).

iii.

perubahan aliran darah renal
Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator
prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi
beberapa obat dari ginjal berkurang (Stockley, 2008).

2.4.2 Interaksi farmakodinamik
Interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis,
antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena
kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan
tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (Martin, 2009).
a. Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan
efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan susunan saraf
pusat, jika diberikan bersama dengan obat (misalnya ansiolitik, hipnotik, dan
lain-lain), dapat menyebabkan mengantuk berlebihan (Stockley, 2008).
b. Interaksi antagonis atau berlawanan
Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan
yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang

18

waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K.
Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan
waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat
terapi pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).
2.5 Perubahan pada usia lanjut yang berkaitan dengan penggunaan obat
Pasien usia lanjut memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda dari pasien
usia muda akibat penyakit yang beragam dan kerumitan rejimen pengobatan
adalah hal yang sering terjadi pada pasien usia lanjut. Proses menua dapat
mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat, sehingga berpotensi
interaksi.
2.5.1 Interaksi farmakokinetik obat
Proses penuaan menyebabkan menurunnya fungsi organ, baik akibat
proses degenerasi yang secara alamiah akan dialami oleh setiap orang, maupun
akibat penyakit yang diderita sebelumnya (Donatus,1999; Granfinkel, 2007).
Absorpsi suatu obat pada usia lanjut dapat berubah disebabkan adanya
perubahan fisiologis pada usia lanjut, seperti menurunnya sekresi asam lambung
(25 –35%), aliran darah ke saluran cerna, produksi tripsin pankreatik, gerakan
saluran cerna atau waktu pengosongan lambung dan jumlah sel pengabsopsi. Obat
yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna ke dalam sistem
sirkulasi. Keadaan yang dapat mempengaruhi absorpsi obat pada usia lanjut antara
lain perubahan kebiasaan makan, tingginya konsumsi obat-obatan non resep
(misalnya antasida, laksansia) dan menurunnya kecepatan pengosongan lambung
(Donatus, 1999; Granfinkel, 2007).

19

Sesuai dengan pertambahan usia maka terjadi perubahan komposisi tubuh.
Komposisi tubuh manusia sebagian besar dapat digolongkan pada komposisi
cairan tubuh dan lemak. Pada bayi, komposisi terbesar adalah cairan tubuh dan
setelah dewasa diganti dengan massa otot. Setelah dewasa sampai usia lebih tua
jumlah air tubuh akan berkurang dan massa otot pun menurun. Pada usia lanjut
akan terjadi peningkatan lemak tubuh. Persentasi lemak pada usia dewasa sekitar
8-20% (laki-laki) dan 33% pada perempuan dan pada usia lanjut meningkat 33%
pada

laki-laki

dan 40-50%

pada

perempuan. Keadaan

tersebut

akan

mempengaruhi distribusi obat plasma, dimana distribusi obat larut lemak akan
meningkat dan distribusi obat larut air akan menurun (Darmansjah, 1994).
Penurunan fungsi hati tidak sebesar penurunan fungsi ginjal karena hati
memiliki kapasitas yang lebih besar. First – pass effect dan pengikatan protein
berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan secara oral
diserap oleh usus dan sebagian besar melalui vena porta dan langsung masuk ke
hati sebelum melalui sirkulasi darah umum. Hati akan melakukan metabolisme
obat yang disebut first pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar
plasma obat hingga 30% atau lebih. Obat yang diberikan secara intravena tidak
akan melalui hati lebih dahulu tetapi langsung masuk ke sirkulasi darah umum.
Pengikatan protein juga dapat menimbulkan efek samping serius dimana obat
yang terikat banyak dengan protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi
untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama
menjadi tinggi dalam darah dan menimbulkan efek samping. Walfarin misalnya,
diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian
yang bebas dan aktif. Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh

20

protein, aspirin menggeser ikatan walfarin dengan protein sehingga kadar walfarin
bebas menjadi naik yang akhirnya menimbulkan efek samping pendarahan
spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intesitas pendarahan.
Banyaknya obat geser-menggeser dalam proses protein-binding bila beberapa obat
diberikan bersamaan. Sebagian mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi
untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita
(Darmansjah, 1994).
Perubahan paling berarti pada usia lanjut ialah menurunnya fungsi ginjal
ditandai dengan menurunnya Glomerulus Filtration Rate (GFR) dan creatinine
clearance walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar creatininnya normal.

Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang yang mengakibatkan
bertambah lamanya kerja obat. Obat yang mempunyai waktu paruh panjang perlu
diberikan dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Pemberian
obat pada pasien usia lanjut tanpa memperhitungkan fungsi ginjal sebagai organ
yang akan mengekskresikan obat akan berdampak pada kemungkinan terjadinya
akumulasi obat sehingga menimbulkan efek toksik (Anonim, 2012).
2.5.2 Interaksi farmakodinamik obat
Interaksi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan perubahan
obat pada reseptor dan organ target, sehingga sensitivitas terhadap efek obat
menjadi lain. Ini menyebabkan dosis mungkin harus disesuaikan dan sering harus
dikurangi. Misalnya opioid dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat
nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis normal dapat
menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti

21

klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang
terlalu besar) pada lansia.
Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia
lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu α1 adrenergic blocker,
dapat menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide
dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya (Darmansjah, 1994)
2.6 Penyakit Metabolik
Berdasarkan The National Cholesterol Education Program Third Adult
Treatment Panel (NCEP-ATP III), sindrom metabolik adalah seseorang dengan

memiliki sedikitnya 3

dari kriteria berikut, a. obesitas abdominal (lingkar

pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm); b. peningkatan kadar
trigliserida darah (≥150 mg/dL, atau ≥1,69 mmol/ L); c. penurunan kadar
kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada wanita