Interaksi Obat Antipsikotik Pada Pengobatan Pasien Skizofrenia Rawat Jalan Di Rsup H. Adam Malik Medan

(1)

INTERAKSI OBAT ANTIPSIKOTIK PADA PENGOBATAN

PASIEN SKIZOFRENIA RAWAT JALAN

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

SKRIPSI

OLEH:

DINI PERMATA SARI

NIM 111501126

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

INTERAKSI OBAT ANTIPSIKOTIK PADA PENGOBATAN

PASIEN SKIZOFRENIA RAWAT JALAN

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DINI PERMATA SARI

NIM 111501126

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

INTERAKSI OBAT ANTIPSIKOTIK PADA PENGOBATAN

PASIEN SKIZOFRENIA RAWAT JALAN

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

OLEH:

DINI PERMATA SARI NIM 111501126

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 3 Agustus 2015 Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji:

Prof. Dr. Urip Harahap., Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.

NIP 195301011983031004 NIP 195103261978022001

Prof. Dr. Urip Harahap., Apt.

Pembimbing II, NIP 195301011983031004

Dra. Nurminda Silalahi, M.Si., Apt Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., Apt. NIP 196206101992032001 NIP 195503121983032001

Marianne, S.Si., M.Si., Apt. NIP 198005202005012006

Medan, Agustus 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Wakil Dekan I,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt NIP 195807101986012


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyususnan skripsi yang berjudul Interaksi Obat Antipsikotik pada Pengobatan Pasien Skizofrenia Rawat Jalan di RSUP H. Adam Malik Medan. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil Dekan I Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama berkuliah di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap., Apt., dan Ibu Dra. Nurminda Silalahi, M.Si., Apt., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab, memberikan petunjuk dan saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Purnawati, MARS., selaku direktur SDM dan Pendidikan RSUP H. Adam Malik Medan yang telah meberikan izin melaksanakan penelitian di rumah sakit tersebut, kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., selaku ketua penguji, Ibu Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., Apt., dan Ibu Marianne , S.Si., M.Si., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran untuk penyempurnaan skripsi ini dan Bapak Dadang Irfan Husori, S.Si., M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing akademik serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.


(5)

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta. Ayahanda H. Amri Syarkawi B.Ac., dan Ibunda Hj. Yenny Warti, S.Pd., serta abangku Akip Amri S.E., dan Adikku Dani Fadila, yang telah memberikan semangat, doa, dan pengorbanan baik moril maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat Pricella, Kristanti, Dian, Asrika, Eka, Christica, Eka, Maria, Vicy, Nana, Yuni, dan Uci serta sahabat-sahabat seperjuangan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat dan kasih sayang yang tak ternilai dengan apapun.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, Agustus 2015

Dini Permata Sari NIM 111501126


(6)

INTERAKSI OBAT ANTIPSIKOTIK PADA PENGOBATAN PASIEN SKIZOFRENIA RAWAT JALAN

DI RSUP H. ADAM MALIK ABSTRAK

Obat antipsikotik telah menjadi terapi farmakologi utama untuk skizofrenia sejak tahun 1950-an. Pada pengobatan pasien skizofrenia obat antipsikotik biasanya dikombinasi dengan obat-obat lain seperti antikolinergik, dan antidepresan. Pemberian bersama obat-obatan lain dapat meningkatkan terjadinya interaksi obat yang boleh jadi merugikan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran potensi interaksi obat di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode retrospektif. Data interaksi obat diambil dari 88 rekam medis pasien skizofrenia rawat jalan selama bulan Agustus 2014 - Oktober 2014. Analisis data interaksi obat berpedoman dengan buku yang relevan (Drug Interaction Fact dan

Stockley’s Drugs Interaction). Selain itu juga digunakan situs internet terpecaya

Drugs.com dan Medscape.com.

Berdasarkan penelitian ditemukan dari 88 pasien skizofrenia rawat jalan yang berpotensi mengalami interaksi obat adalah sebanyak 74 pasien (85,09%). Golongan obat antipsikotik yang paling banyak diresepkan adalah clozapine (34,90%). Berdasarkan mekanisme interaksi, mekanisme interaksi farmakokinetik ditemukan sebanyak 23 kasus (10,85%), interaksi farmakodinamik 173 kasus (81,60%), dan interaksi unknown 16 kasus (7,55%). Berdasarkan tingkat keparahan, tingkat keparahan ringan ditemukan 3 kasus (1,42%), sedang 167 kasus (78,77%), dan berat 42 kasus (19,81%). Jenis interaksi obat yang memiliki insiden kejadian paling tinggi adalah clozapine dan trihexyphenidyl (28 kasus), olanzapine dan fluoxetine (20 kasus). Dengan menggunakan uji statistik Chi

Square Test ditemukan terdapat hubungan yang bermakna antara umur pasien dan

jumlah obat yang dikonsumsi dengan jumlah interaksi obat yang teridentifikasi. Kata kunci: Interaksi obat, antipsikotik, skizofrenia


(7)

DRUG INTERACTION OF ANTIPSYCHOTIC IN THE TREATMENT OF SCHIZOPHRENIA OUTPATIENTS

AT RSUP H. ADAM MALIK ABSTRACT

Antipsychotic drugs have become the primary pharmacological therapy for schizophrenia since the 1950. In the treatment of patients with schizophrenia antipsychotics are usually combined with other drugs like anticholinergic and antidepressant . Administration of other drugs together increase the possibility of drug interaction which may be detrimental to the patient . The present research was done to reveal the drug interaction problem in Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

It is a descriptive research that uses data collecting method retrospectively. The research resource is patient medical record. Data of drug interaction was retrieved from the medical records of 88 patiens schizophrenia outpatients during August 2014 - October 2014. Drugs interaction analysis is done by be based with relevant books (Drug Interaction Fact and Stockleys Drugs Interaction), it’s also use trusted internet sites Drugs.com and Medscape.com.

The result of this research showed that of 88 patients who potential experience drug interaction, 74 cases (85.09%). The most prescribe antipsychotic was clozapine (34.90%). There are 23 cases (10.85%) of phamacokinetics interaction, 173 cases (81.60%) of pharmacodynamic interaction and unknown mechanisms of interaction 16 cases (7.55%). Based on the severity, severity of minor 3 cases (1.42%), severity of moderate 167 cases (78.77%), and major 42 cases (19.81%). Drug interaction that have the highest incidence of occurrence is clozapine and trihexyphenidyl (28 cases), olanzapine and fluoxetine (20 cases). Using statistical analysis Chi Square it was revealed that there is significant correlation between age, the number of medication in one prescription with the number of drug interaction found.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

1.3 Perumusan Masalah ... 5

1.4 Hipotesis ... 5

1.5 Tujuan Penelitian ... 5

1.6 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Interaksi Obat ... 7

2.1.1 Mekanisme Interaksi Obat ... 7

2.1.2 Tingkat Keparahan Interaksi Obat ... 12


(9)

2.2.1 Definisi Skizofrenia ... 13

2.2.2 Epidemiologi Skizofrenia ... 14

2.2.3 Etiologi Skizofrenia ... 14

2.2.4 Patofisiologi Skizofrenia ... 16

2.2.5 Perjalanan Penyakit ... 17

2.2.6 Tipe - tipe Skizofrenia ... 18

2.2.7 Penatalaksanaan Skizofrenia ... 19

2.3 Rekam Medis ... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Jenis Penelitian ... 23

3.2. Populasi dan Sampel ... 23

3.2.1 Populasi ... 23

3.2.2 Sampel ... 24

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

3.3.1 Lokasi Penelitian ... 25

3.3.2 Waktu Penelitian ... 25

3.4 Defenisi Operasional ... 25

3.5 Instrumen Penelitian ... 26

3.5.1 Sumber Data ... 26

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data ... 26

3.5.3 Analisis Data ... 26

3.6 Bagan Alur Penelitian ... 27

3.7 Langkah Penelitian ... 28


(10)

4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 29

4.2 Gambaran Potensi Interaksi Obat Antipsikotik Subjek Penelitian ... 31

4.3 Gambaran Kejadian Potensi Interaksi Obat Antipsikotik Subjek Penelitian ... 32

4.4 Pola Penggunaan Obat Antipsikotik Subjek Penelitian ... 33

4.5 Jumlah Obat Antipsikotik yang Mengalami Potensi Interaksi Obat ... 35

4.6 Jenis Mekanisme Interaksi Obat Antipsikotik Subjek Penelitian ... 38

4.7 Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obat Antipsikotik pada Subjek Penelitian ... 39

4.8 Analisis Bivariat ... 41

4.8.1 Faktor Jenis Kelamin ... 41

4.8.2 Faktor Usia ... 42

4.8.3 Faktor Jumlah Obat ... 44

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Karakteristik subjek penelitian ... 29

4.2 Gambaran potensi interaksi obat antipikotik subjek penelitian ... 31

4.3 Jenis kejadian potensi interaksi obat antipsikotik subjek penelitian ... 33

4.4 Jumlah obat antipsikotik yang mengalami potensi interaksi ... 36

4.5 Jenis mekanisme interaksi obat antipsikotik subjek penelitian ... 38

4.6 Tingkat keparahan interaksi obat antipsikotik subjek penelitian ... 39

4.7 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan jenis kelamin pasien subjek penelitian ... .. 41

4.8 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan usia subjek penelitian ... 42

4.9 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan jumlah obat subjek penelitian ... 44


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat ... 4

3.1 Gambaran pelaksanaan penelitian ... 27

4.1 Diagram jenis mekanisme intraksi ... 38

4.2 Diagram tingkat keparahan interaksi obat ... 40

4.3 Diagram kejadian interaksi obat berdasarkan jenis kelamin ... 42

4.4 Diagram kejadian interaksi obat berdasarkan usia ... 43


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil analisis bivariat beberapa variabel bebas terhadap kejadian potensi interaksi obat dengan m enggunakan uji Chi-Square pada program SPSS Advanced Statistics 17 ... 51 2. Data potensi interaksi obat antipsikotik pada pasien

skizofrenia rawat jalan di RSUP H. Adam malik periode Agustus 2014 - Oktober 2014 ... 55 3. Kejadian potensi interaksi obat pasien skizofrenia rawat

jalan di RSUP H. Adam Malik periode Agustus 2014 – Oktober 2014 ... 66 4. Surat permohonan izin penelitian di RSUP H. Adam Malik ... 78 5. Surat izin melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik ... 79 6. Surat keterangan telah selesai melakukan penelitian


(14)

INTERAKSI OBAT ANTIPSIKOTIK PADA PENGOBATAN PASIEN SKIZOFRENIA RAWAT JALAN

DI RSUP H. ADAM MALIK ABSTRAK

Obat antipsikotik telah menjadi terapi farmakologi utama untuk skizofrenia sejak tahun 1950-an. Pada pengobatan pasien skizofrenia obat antipsikotik biasanya dikombinasi dengan obat-obat lain seperti antikolinergik, dan antidepresan. Pemberian bersama obat-obatan lain dapat meningkatkan terjadinya interaksi obat yang boleh jadi merugikan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran potensi interaksi obat di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode retrospektif. Data interaksi obat diambil dari 88 rekam medis pasien skizofrenia rawat jalan selama bulan Agustus 2014 - Oktober 2014. Analisis data interaksi obat berpedoman dengan buku yang relevan (Drug Interaction Fact dan

Stockley’s Drugs Interaction). Selain itu juga digunakan situs internet terpecaya

Drugs.com dan Medscape.com.

Berdasarkan penelitian ditemukan dari 88 pasien skizofrenia rawat jalan yang berpotensi mengalami interaksi obat adalah sebanyak 74 pasien (85,09%). Golongan obat antipsikotik yang paling banyak diresepkan adalah clozapine (34,90%). Berdasarkan mekanisme interaksi, mekanisme interaksi farmakokinetik ditemukan sebanyak 23 kasus (10,85%), interaksi farmakodinamik 173 kasus (81,60%), dan interaksi unknown 16 kasus (7,55%). Berdasarkan tingkat keparahan, tingkat keparahan ringan ditemukan 3 kasus (1,42%), sedang 167 kasus (78,77%), dan berat 42 kasus (19,81%). Jenis interaksi obat yang memiliki insiden kejadian paling tinggi adalah clozapine dan trihexyphenidyl (28 kasus), olanzapine dan fluoxetine (20 kasus). Dengan menggunakan uji statistik Chi

Square Test ditemukan terdapat hubungan yang bermakna antara umur pasien dan

jumlah obat yang dikonsumsi dengan jumlah interaksi obat yang teridentifikasi. Kata kunci: Interaksi obat, antipsikotik, skizofrenia


(15)

DRUG INTERACTION OF ANTIPSYCHOTIC IN THE TREATMENT OF SCHIZOPHRENIA OUTPATIENTS

AT RSUP H. ADAM MALIK ABSTRACT

Antipsychotic drugs have become the primary pharmacological therapy for schizophrenia since the 1950. In the treatment of patients with schizophrenia antipsychotics are usually combined with other drugs like anticholinergic and antidepressant . Administration of other drugs together increase the possibility of drug interaction which may be detrimental to the patient . The present research was done to reveal the drug interaction problem in Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.

It is a descriptive research that uses data collecting method retrospectively. The research resource is patient medical record. Data of drug interaction was retrieved from the medical records of 88 patiens schizophrenia outpatients during August 2014 - October 2014. Drugs interaction analysis is done by be based with relevant books (Drug Interaction Fact and Stockleys Drugs Interaction), it’s also use trusted internet sites Drugs.com and Medscape.com.

The result of this research showed that of 88 patients who potential experience drug interaction, 74 cases (85.09%). The most prescribe antipsychotic was clozapine (34.90%). There are 23 cases (10.85%) of phamacokinetics interaction, 173 cases (81.60%) of pharmacodynamic interaction and unknown mechanisms of interaction 16 cases (7.55%). Based on the severity, severity of minor 3 cases (1.42%), severity of moderate 167 cases (78.77%), and major 42 cases (19.81%). Drug interaction that have the highest incidence of occurrence is clozapine and trihexyphenidyl (28 cases), olanzapine and fluoxetine (20 cases). Using statistical analysis Chi Square it was revealed that there is significant correlation between age, the number of medication in one prescription with the number of drug interaction found.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Gangguan jiwa dapat menyerang semua usia. Sifat serangan penyakit biasanya akut tetapi juga bisa kronis atau menahun. Di masyarakat ada stigma bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan, dan aib bagi keluarga. Pandangan lain yang beredar di masyarakat bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh guna-guna orang lain. Ada kepercayaan di masyarakat bahwa gangguan jiwa timbul karena musuh roh nenek moyang masuk ke dalam tubuh seseorang kemudian menguasainya (Hawari, 2003).

Seiring dengan perkembangan zaman, penyakit ganguan jiwa atau mental merupakan masalah yang serius karena cukup banyak penderitanya. Salah satu dari penyakit gangguan mental adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan bentuk psikosis fungsional paling berat, dan menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah kronisitas (Ingram, dkk., 1995).

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kesehatan jiwa yang menjadi perhatian, dan dikategorikan dalam gangguan psikis yang paling serius karena menyebabkan penurunan fungsi manusia dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti kesulitan merawat diri sendiri, bekerja atau bersekolah, memenuhi kewajiban peran, dan membangun hubungan yang dekat dengan


(17)

seseorang. Skizofrenia mempunyai prevalensi sebesar 1% dari populasi di dunia (rata-rata 0,85%) dengan angka insiden skizofrenia adalah 1 per 10.000 orang pertahun. Riset kesehatan dasar tahun 2007 melaporkan angka kejadian skizofrenia di Indonesia adalah 4,6 per 1000 penduduk, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 1-3 per 1000 penduduk (Depakes RI, 2010).

Prevalensi skizofrenia hampir mirip pada satu negara dengan negara lain. Biasanya terjadi pada akhir remaja atau awal dewasa, jarang terjadi sebelum remaja atau setelah umur 40 tahun. Angka kejadian pada wanita sama dengan pria, namun perjalanan penyakit pada pria lebih awal dengan lebih banyak gangguan kognitif dan outcome yang lebih jelas daripada wanita (Sadock dan Sadock, 2007).

Skizofrenia cenderung berlanjut atau kronis, oleh karena itu terapi obat antipsikotik diberikan dalam jangka waktu relatif lama, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Obat antipsikotik telah menjadi terapi farmakologi utama untuk skizofrenia sejak 1950-an. Antipsikotik dapat digunakan untuk mengatasi skizofrenia dengan gejala halusinasi, delusi, dan untuk pencegahan kekambuhan. (Weinberger dan Harisson, 2011).

Obat-obat antipsikotik memiliki efek samping yang beragam dan sering kali mengakibatkan pasien skizofrenia tidak patuh menjalani terapi. Efek samping utama yang perlu menjadi perhatian adalah efek samping ekstrapiramidal, terutama karena penggunaan antipsikotik generasi lama, berupa distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan dorongan untuk terus bergerak. Pengatasan efek samping tersebut tergolong sulit dan umumnya bisa muncul setelah beberapa hari sampai beberapa minggu setelah penggunaan antipsikotik. Selain efek samping


(18)

ekstrapiramidal, efek samping lain adalah sedasi, sindrom neuroleptik malignant, gangguan kardiovaskular, efek antikolinergik dan antiadrenergik, gangguan metabolisme, kenaikan berat badan, serta disfungsi seksual (Dipiro, dkk., 2009).

Pasien penderita skizofrenia perlu penanganan khusus. Perlu terapi yang cukup lama untuk mengembalikan pasien seperti sediakala. Tingkat ringan atau beratnya gangguan dapat dilihat dari jenis penggunaan obat yang diberikan. Pada kondisi tertentu obat antipsikotik harus dikombinasikan dengan obat lain untuk mengurangi efek samping antipsikotik sehingga meningkatakan pengobatan. Pemberian obat antipsikotik bersama obat lain bisa mempengaruhi efek kerja ataupun interaksi (Cristoph, dkk., 2009).

Interaksi bisa terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman, atau agen kimia lainnya dalam lingkungan. Definisi yang lebih relevan adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya. Interaksi obat didefinisikan sebagai modifikasi efek suatu obat yang diakibatkan oleh obat lainnya sehingga keefektifan atau toksisitas suatu obat meningkat. Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat yang digunakan oleh individu (Stockley, 2008).

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai interaksi obat antipsikotik pada pasien skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik periode Agustus 2014 - Oktober 2014. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian bagi pemerintah daerah, khususnya profesional kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.


(19)

1.2Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang frekuensi kejadian interaksi obat antipsikotik pada pasien skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik. Variabel bebas (independent variable) pada peneitian ini adalah karakteristik pasien (usia dan jenis kelamin) dan karakteristik obat (jumlah obat yang diterima pasien). Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah interaksi obat antipsikotik. Hubungan kedua variabel tersebut digambarkan dalam kerangka pikir penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat

Interaksi obat

Frekuensi interaksi

Karakteristik obat:

Jumlah obat: a. dua obat b. tiga obat c. empat obat d. lima obat e. enam obat

Faktor risiko

Karakteristik pasien: Jenis kelamin: a. laki-laki b. perempuan Usia Pasien: a. 16-35 tahun b. 36-55 tahun c. 56-75 tahun

Mekanisme interaksi

Jenis obat yan berinteraksi

Tingkat keparahan

interaksi

Farmakokinetik Farmakodinamik

Unknown

a. ringan b. sedang c. berat


(20)

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. apakah kejadian potensi interaksi obat antipsikotik-obat di RSUP H. Adam Malik tinggi ?

b. apa saja jenis obat yang berinteraksi dengan obat antipsikotik di RSUP H. Adam Malik ?

c. apa saja tingkat keparahan yang timbul akibat interaksi yang terjadi ?

1.3Hipotesis

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. kejadian potensi interaksi obat antipsikotik-obat di RSUP H. Adam Malik adalah tinggi.

b. jenis obat yang berinteraksi dengan obat antipsikotik adalah beragam.

c. tingkat keparahan yang timbul akibat interaksi yang terjadi meliputi ringan, sedang, berat.

1.4Tujuan Penelitian

Berdasarkan penjelasan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk:

a. mengetahui kejadian potensi interaksi obat antipsikotik di RSUP H. Adam Malik.

b. mengetahui faktor–faktor yang mempengaruhi kejadian interaksi obat antipsikotik di RSUP H. Adam Malik.


(21)

c. mengetahui mekanisme, jenis obat dan tingkat keparahan interaksi obat antipsikotik-obat yang terjadi di RSUP H. Adam Malik.

1.5Manfaat Penelitian

Berdasarkan penjelasan di atas, manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. sebagai bahan kajian bagi pemerintah daerah, khususnya profesional kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.

b. sebagai informasi terkait frekuensi kejadian interaksi obat antipsikotik-obat, jenis obat yang berinteraksi dengan obat antipsikotik dan tingkat keparahan yang timbul akibat interaksi yang terjadi di RSUP H. Adam Malik.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Suatu interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat lain (Piscitelli dan Rodvolk, 2005).

Perubahan efek itu bisa juga disebabkan oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang lebih relevan terkait dengan pasien adalah ketika satu obat bersaing satu dengan yang lain (Stockley, 2008).

Interaksi obat dianggap penting secara klinis jika meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang sempit), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatika (Setiawati, 2007).

2.1.1 Mekanisme Interaksi Obat

Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat: 1. interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologinya (Stockley, 2008).


(23)

Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :

i. interaksi pada absorpsi obat

a. efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat (Stockley, 2008).

b. khelasi, dan mekanisme pembentukan kompleks

Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. (Stockley, 2008).

c. perubahan motilitas gastrointestinal

Sebagaian besar obat diserap di bagian atas usus kecil, oleh karena itu obat-obat yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi (Stockley, 2008).

d. induksi atau inhibisi protein transporter obat

Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat ini, transporter obat yang khas adalah P-glikoprotein (Stockley, 2008). e. malabsorpsi dikarenakan obat

Sejumlah obat-obat tertentu dapat mempengaruhi absopsi seperti neomisin. Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan obat (Stockley, 2008).


(24)

ii. Interaksi pada distribusi obat

a. interaksi ikatan protein

Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul yang tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).

iii.interaksi pada metabolisme obat

a. perubahan pada metabolisme fase pertama

Beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak berubah dalam urin, tetapi ada juga diantaranya secara kimia diubah menjadi senyawa lipid kurang larut, sehingga lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian, banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati. Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis) obat-obatan berubah menjadi senyawa yang lebih polar. Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).


(25)

b.induksi enzim

Keterlibatan enzim tertentu dapat meningkatkan laju metabolisme obat di dalam tubuh, sehingga obat lebih cepat di metabolism di dalam tubuh (Stockley, 2008).

c. inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk mensintesis sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu dua sampai tiga hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).

d. faktor genetik dalam metabolisme obat

Peningkatan pemahaman genetika telah menunjukkan bahwa beberapa isoenzim sitokrom P450 memiliki polimorfisme genetik, yang berarti bahwa beberapa dari populasi memiliki varian isoenzim yang berbeda aktivitasnya. Contoh yang paling terkenal adalah CYP2D6, yang sebagian kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari gejala (Stockley, 2008).


(26)

iv. interaksi pada ekskresi obat

a. perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus, sehingga akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10,5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).

b. perubahan ekskresi aktif tubular renal

Obat yang menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain untuk diekskresikan. Sebagai contoh, probenesid dapat mengurangi ekskresi penisilin dan obat lain. Dengan meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi banyak obat anionik lain di ginjal melalui transporter anion organik (Stockley, 2008).

c. perubahan suplai darah renal

Suplai darah ke ginjal dikendalikan oleh vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin dihambat, maka ekskresi beberapa obat melalui ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).

2. interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat


(27)

diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (Stockley, 2008).

a. interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersamaan maka efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan bersama ansiolitik, dan hipnotik dapat menyebabkan mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi sumsum tulang dan perpanjangan interval QT) (Stockley, 2008).

b. interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).

2.1.2 Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga level yaitu ringan, sedang, atau berat.

a. keparahan ringan

Interaksi dikatakan keparahan ringan jika interaksi yang terjadi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan ciprofloxacin oleh antasida ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, dkk., 2004).


(28)

b. keparahan sedang

Interaksi dikatakan keparahan sedang jika satu dari bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe intervensi/monitor sering diperlukan. Efek interaksi sedang mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit (Bailie, dkk., 2004).

c. keparahan berat

Interaksi dikatakan keparahan berat jika terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Piscitelli dan Rodvolk, 2005).

2.2 Konsep Skizofrenia 2.2.1 Definisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock dan Sadock, 2007).

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan (pendiam, dan sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif (Maramis, 2005).


(29)

2.2.2 Epidemiologi Skizofrenia

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya perjalanan penyakit pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 16-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki dari perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural. Skizofrenia cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah (Sadock dan Sadock, 2007).

Pasien skizofrenia berisiko meningkatkan penyalahgunaan zat, terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan nikotin. Sekitar sebagian dari penderita skizofrenia merupakan penggunaan obat-obatan secara berlebihan. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri (Maramis, 2005).

2.2.3 Etiologi Skizofrenia

Arif (2006) menjelaskan bahwa skizofrenia tidak disebabkan oleh penyebab tunggal, tetapi dari berbagai faktor yaitu:

a. faktor-faktor genetik (keturunan)

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gen yang diwarisi seseorang, sangat kuat mempengaruhi risiko seseorang mengalami skizofrenia. Studi pada


(30)

keluarga telah menunjukkan bahwa semakin dekat relasi seseorang dengan klien skizofrenia, maka besar risikonya untuk mengalami penyakit tersebut.

b. biokimia (ketidak seimbangan kimiawi otak)

Beberapa bukti menunjukkan bahwa skizofrenia mungkin berasal dari ketidak seimbangan kimiawi otak yang disebut neurotransmiter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamin. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinefrin tampaknya juga berperan.

c. neuroanatomi (kelainan struktur otak)

Beberapa teknik pencitraan, seperti Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah membatu para ilmuwan menemukan abnormalitas struktural spesifik pada otak klien skizofrenia. Misalnya, klien skizofrenia yang kronis cenderung memiliki ventrikel otak yang lebih besar. Mereka juga memiliki volume jaringan otak yang lebih sedikit dari pada orang normal. Klien skizofrenia menunjukkan aktivitas yang sangat rendah pada lobus frontalis otak. Ada juga kemungkinan abnormalitas dibagian-bagian lain otak seperti di lobus temporalis, basal ganglia, talamus, hipokampus, dan superior temporal girus.

d. faktor psikologis dan sosial

Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga.

Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic


(31)

mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang

memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Durand dan Barlow, 2007).

Keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orang tua terkadang terlalu mengekang anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya (Maramis, 2005).

2.2.4 Patofisiologi Skizofrenia

Patofisiologi skizofrenia dihubungkan dengan genetik dan lingkungan. Faktor genetik dan lingkungan saling berhubungan dalam patofisiologi terjadinya skizofrenia. Neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologinya adalah dopamin, serotonin, glutamat, peptida ,dan norepinefrin (Kaplan, dkk., 1997).

Pada pasien skizofrenia terjadi hiperaktivitas dopamin di nigrostriatal dan hipoaktivitas di mesolimbik dan mesokortik. Selain itu terjadi disfungsi glutamat dan abnormalitas serotonin, konsentrasi serotonin meningkat. Hiperdopaminergik pada sistem mesolimbik berkaitan dengan gejala positif, dan hipodopaminergik pada sistem mesokortis dan nigrostriatal bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan gejala ekstrapiramidal (Kaplan, dkk., 1997) .

Jalur dopaminergik saraf :

a. jalur nigrostriatal bertanggung jawab terhadap fungsi gerakan, kontrol sistem ekstrapiramidal, gangguan pergerakan (parkinson).

b. jalur mesolimbik bertanggung jawab terhadap control gairah, memori, prosesing stimulus, dan motivasi.


(32)

c. jalur mesokortik bertanggung jawab terhadap kontrol kognitif, komunikasi fungsi sosial, dan respon terhadap stress.

d. jalur tuberoinfendibularbertanggung jawab terhadap control regulasi pituitari dan hipotalamus, mengatur pelepasan prolaktin (Setiawati, 2007).

2.2.5 Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit skizofrenia dangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock dan Sadock, 2007).

Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia, walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock dan Sadock, 2007).

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri buruk sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu berupa penarikan diri dan perilaku aneh (Bailie, dkk., 2004)


(33)

2.2.6 Tipe-tipe Skizofrenia

Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of

Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation,

1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation, 2006). Berikut ini adalah tipe skizofrenia dari DSM-IV-TR 2006 (APA, 2006).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang dominan yaitu: a. tipe paranoid

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan, keagamaan, atau kesulitan untuk berkomunikasi) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif (APA, 2006).

b. tipe disorganized (tidak terorganisasi)

Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari (APA, 2006).

c. tipe katatonik

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang


(34)

berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia) (APA, 2006).

d. Tipe Undifferentiated

Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan (APA, 2006).

e. tipe residual

Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar (APA, 2006).

2.2.7 Penatalaksanaan Skizofrenia

Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik merupakan kelompok obat terbesar yang dipakai untuk mengobati gangguan mental. Secara khusus, obat-obat ini memperbaiki proses pikir dan perilaku klien dengan gejala-gejala psikotik. Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin dalam berbagai jalur di otak.


(35)

Antipsikotik atipikal juga meningkatkan keefektifan serotonin. Teorinya adalah bahwa gejala-gejala psikotik diakibatkan oleh ketidakseimbangan neurotramsmiter dopamin pada otak. Antipsikotik menghambat reseptor dopamin pada otak, sehingga memulihkan gejala-gejala psikotik (Kee dan Hayes, 1996).

Penggolongan antipsikotik dibagi dalam dua golongan besar, yakni antipsikotik tipikal dan antipsikotik atipikal.

a. antipsikotik tipikal, disebut juga sebagai obat antipsikotik konvensional, antipsikotik tipikal terutama efektif mengatasi simptom positif. Mekanisme kerjanya, antipsikotik tipikal bekerja dengan memblok reseptor dopamin di mesolimbik, mesokortik, nigostriatal dan tuberoinfundibular di pasca sinaptik neuron di otak, sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif . Walaupun sangat efektif, antipsikotik tipikal sering menimbulkan efek samping yang serius. Efek samping yang ditimbulkan yaitu berupa gejala ekstrapiramidal. Contoh obat antipsikotik tipikal antara lain haloperidol, thioridazine, ,fluphenazine, chlorpromazine, dan trifluoperazine. Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan antipsikotik atipikal. Tetapi ada pengecualian, diantaranya pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipsikotik konvensional (Kee dan Hayes, 1996).

a. Antipsikotik atipikal, atau bisa dikenal juga sebagai antipsikotik generasi kedua, sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA), bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak


(36)

yang menyebabkan rendahnya efek ekstrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif sekaligus mengatasi gejala positif. Satu teori bagaimana antipsikotik atipikal bekerja adalah teori "cepat-off". Antipsikotik atipikal memiliki afinitas rendah untuk reseptor D2 dan hanya mengikat pada reseptor secara longgar dan cepat dilepaskan.Antipsikotik atipikal secara cepat mengikat dan memisahkan dirinya pada reseptor D2 untuk memungkinkan transmisi dopamin normal. Mekanisme pengikat sementara ini membuat tingkat prolaktin normal, kognisi tidak terpengaruh, dan menyingkirkan efek ekstrapiramidal. Obat-obat ini terdiri dari clozapine, olanzapine, quetiapine, risperidone. Pada saat ini antipsikotik atipikal lebih dipilih untuk pengobatan terhadap pasien skizofrenia karena efek sampingnya yang kecil dan antipsikotik atipikal dapat mengobati gejala positif dan negatif (Kee dan Hayes, 1996).

2.3 Rekam Medis

Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan, untuk itu rekam medis ini harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Rekam medis untuk pasien yang rawat inap sekurang-kurangnya harus membuat data mengenai:

a. identitas pasien b. anamnesis c. riwayat penyakit

d. hasil pemeriksaan laboratorium e. diagnosis


(37)

f. persetujuan tindakan medis (informed consent) g. tindakan / pengobatan

h. catatan perawat

i. catatan observasi klinis dan hasil pengobatan, dan j. resume akhir dan evaluasi pengobatan

Rekam medis pasien ini wajib diisi pada semua tindakan medis yang diinstruksikan oleh dokter dan juga terhadap semua hasil observasi pada pasien selama dirawat, mengingat pentingnya arti rekam medis maka rekam medis ini harus dibubuhi tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan kesehatan. Selain itu, Permenkes Nomor 269 tahun 2008 tentang rekam medis ini juga melarang atau tidak memperbolehkan penghapusan tulisan dengan cara apapun juga, baik dengan menggunakan karet penghapus, tip-ex serta alat penghapus lainnya. Cukup dengan pencoretan, yaitu dengan sebuah garis, baru kemudian diparaf (Iskandar, 1998).


(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu dengan mengkaji informasi atau mengambil data yang telah lalu (Storm dan Kimmel, 2006).

3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi

Populasi target berupa data rekam medis pasien pada periode Agustus 2014 – Oktober 2014 adalah sebanyak 97 pasien. Dari populasi target, yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi dijadikan sebagai populasi studi. Populasi studi yang didapatkan adalah sebanyak 88 pasien. Berdasarkan rumus penentuan ukuran sampel diperlukan sebanyak 78 pasien, sehingga populasi studi sudah memenuhi syarat minimum jumlah sampel yang diperlukan. Subjek penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Kriteria inklusi merupkan persyaratan umum yang dapat diikutsertakan ke dalam penelitian. Adapun yang menjadi kriteria inklusi adalah:

a. pasien skizofrenia rawat jalan didiagnosis mengalami skizofrenia dengan berbagai subtipe yang mendapat terapi obat antipsikotik pada bulan Agustus 2014 – Oktober 2014.


(39)

b. Kategori semua usia. c. mendapat terapi ≥ 2 obat.

Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek tidak dapat diikutsertakan. Adapun yang menjadi kriteria eksklusi adalah

a. pasien skizofrenia mendapat monoterapi obat sehingga tidak dapat diidentifikasi adanya interaksi obat.

b. data rekam medis yang tidak lengkap, hilang dan tidak jelas (tidak memuat informasi dasar yang dibutuhkan dalam penelitian).

3.2.1 Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Dalam menghitung besarnya sampel untuk mengukur proporsi dengan derajat akurasi pada tingkat statistik yang bermakna (signifikan) dengan menggunakan formula yang sederhana, karena populasi lebih kecil dari 10.000, dalam menggunakan rumus sebagai berikut (Notoatmojo, 2010).

n = �

1+� (�2)

keterangan : N = Besar populasi n = Besar sampel

α = Tingkat kepercaan/ketepatan yang diinginkan 5% (0,05)

maka, n= 97


(40)

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik.

3.3.2 Waktu Peneitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 - Desember 2014.

3.4 Definisi Operasional

a. interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan bersamaan, atau apabila dua atau lebih obat berinteraksi sehingga aktivitas suatu obat atau lebih menjadi berubah.

b. interaksi farmakodinamik adalah interaksi obat yang bekerja pada reseptor, tempat kerja, atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang adiktif, sinergis, atau antagonis.

c. interaksi farmakokinetik adalah interaksi akibat perubahan yang terjadi pada adsorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi suatu obat oleh obat lain.

d. interaksi unknown adalah interaksi obat yang mekanismenya belum diketahui secara pasti.

e. interaksi dengan tingkat keparahan ringan adalah jika interaksi mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelainan.

f. interaksi dengan tingkat keparahan sedang adalah jika satu dari bahaya potensial mungkin teradi pada pasien, dan beberapa tipe intervensi/monitor sering diperlukan.


(41)

g. Interaksi dengan tingkat keparahan berat adalah jika terdapat permeabilitas yang tinggi membahayakan pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa

3.5 Instrumen Penelitian 3.5.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data dari rekam medis pasien skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Periode Agustus 2014 - Oktober 2014.

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dengan menggunakan data sekunder. Data yang dikumpulkan merupakan data penggunaan obat antipsikotik dari data rekam medis pasien skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik periode Agustus 2014 - Oktober 2014. Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:

a. mengelompokkan data rekam medis pasien berdasarkan kriteria inklusi.

b. mengelompokkan data penggunaan obat pasien meliputi data pasien (usia, jenis kelamin, jumlah obat yang diterima) dan data obat (nama obat, jenis obat, dosis, aturan pakai, dan cara pemberian).

c. menyeleksi data berdasarkan ada tidaknya interaksi obat yang terjadi pada rekam medis pasien berdasarkan literatur.

3.5.3 Analisis Data

Evaluasi data interaksi obat dilakukan secara teoritik berdasarkan studi literatur dengan menggunakan buku yang relevan yaitu Tatro Drug Interaction Facts, dan Stockley’s Drug Interaction. Selain itu juga digunakan situs internet


(42)

Gambar 3.1 Gambaran pelaksanaan penelitian

terpercaya untuk menentukan interaksi yaitu www.medscape.com, dan www.drugs.com. Ditentukan frekuensi interaksi obat antipsikotik-obat secara keseluruhan, dihitung seberapa besar pengaruh faktor risiko interaksi terhadap kejadian interaksi obat antipsikotik-obat menggunakan program SPSS versi 17.0. Analisis data untuk melihat adanya hubungan antara jenis kelamin pasien, usia, dan jumlah obat dalam satu resep dengan jumlah interaksi obat, menggunakan Chi

Square Test. Selain itu, dihitung juga presentase mekanisme interaksi obat baik

yang mengikuti mekanisme interaksi farmakokinetik, farmakodinamik, dan

unknown, serta ditentukan jenis - jenis obat yang sering berinteraksi dan tingkat

keparahan interaksinya.

3.6Bagan Alur Penelitian

Adapun gambaran dari pelaksanaan penelitian adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Rekam medis pasien skizofrenia

Pengelompokan data penggunaan obat pasien skizofrenia

Identifikasi faktor penyebab interaksi obat

Identifikasi interaksi obat

Perhitungan frekuensi interaksi obat

Penentuan mekanisme

Penentuan tingkat keparahan interaksi

Analisis data


(43)

3.7 Langkah Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. meminta rekomendasi dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik.

b. menghubungi kepala bidang pendidikan dan penelitian Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik untuk mendapatkan izin melakukan penelitian, dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas.

c. mengumpulkan semua data rekam medis pasien skizofrenia yang masuk dari bulan Agustus 2014 - Okober 2014 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik.

d. memilih data rekam medis yang menuliskan obat antipsikotik untuk pasien skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik.


(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap rekam medis pasien skizofrenia di RSUP H. Adam Malik periode Agustus 20014 - Oktober 2014 diperoleh seluruh data sebanyak 97 rekam medis pasien. Data yang diperoleh dari rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 88 pasien. Sedangkan yang tidak memenuhi syarat sebagai objek (ekslusi) sebanyak 9 pasien, yaitu 5 pasien mendapat monoterapi, dan 4 pasien dengan data rekam medis yang tidak jelas.

Berdasarkan sampel yang diambil dari 88 rekam medis pasien skizofrenia karakteristik umum pasien skizofrenia di RSUP H. Adam Malik periode Agustus 2014 - Oktober 2014 ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian

No. Karakteristik Subjek Jumlah Pasien (n=88)

%

1 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

57 31

64,77 35,23 2 Kelompok Usia

16-35 36-55 56-75

48 32 8

54,55 36,36 9,09 3 Jumlah Obat

Dua obat Tiga obat Empat obat Lima obat Enam obat

14 63 6 4 1

15,90 71,59 6,81 4,54 1,14


(45)

Berdasarkan hasil penelitian, dilihat dari karakteristik subjek, pasien yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak menggunakan antipsikotik dengan presentase 64,77% (Tabel 4.1). Prevalensi pria dan wanita adalah sama, tetapi kemunculan penyakit lebih awal pada pria (Fatemi dan Folsom, 2009). Hal ini besar kemungkinan adanya efek neuroprotektif hormon pada wanita dan kecenderungan yang lebih besar mendapatkan trauma kepala pada pria (Seeman, 2004). Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa pria akan lebih mungkin mengalami gangguan gejala negatif skizofrenia daripada wanita dan wanita lebih mungkin untuk memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada pria (Kaplan, dkk., 1997). Hasil penelitian ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurihara, dkk (2006) yang menemukan bahwa dari 39 pasien skizofrenia, 25 diantaranya adalah pria dan 14 lainnya wanita.

Kelompok pasien berdasarkan rentang umur diperoleh data pasien dengan usia 16-35 tahun persentasenya lebih tinggi yaitu 54,55%, dan tidak ditemukan pasien skizofrenia dengan umur < 16 tahun. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa penyakit sizofrenia biasanya baru muncul pada usia muda yaitu 15-30 tahun (Bertolote, 1992).

Lebih banyak pasien skizofrenia yang menggunakan obat antipsikotik pada rentang usia 16-35 dikarenakan pada rentang umur tersebut manusia memiliki beban hidup lebih berat dibandingkan dengan rentang umur lainnya sehingga menyebabkan stres. Stres pada rentang umur 16-35 tahun disebabkan masalah-masalah yang lebih kompleks, mencakup masalah-masalah ekonomi, pekerjaan yang terlalu berat, bahkan juga masalah keluarga yang juga kompleks (Philips, dkk., 2000).


(46)

Telah banyak penelitian yang menyebutkan terdapat hubungan yang nyata antara skizofrenia dengan stres. Teori diatesis stres menyebutkan seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. Stres dapat menyebabkan peningkatan sekresi neurotransmiter glutamat (suatu senyawa prekusor GABA) di daerah prefrontal kortek dan dopamin pada sistem limbik. Ketidak seimbangan neurotransmiter inilah yang mencetuskan terjadinya skizofrenia (Savioli, 2009).

4.2 Gambaran Potensi Interaksi Obat Antipsikotik Subjek Penelitian

Berdasarkan analisis terhadap 88 rekam medis pasien, persentase kejadian potensi interaksi obat sebesar 84,09%. Gambaran umum kejadian potensi interaksi obat ditunjukkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Gambaran potensi interaksi obat antipsikotik subjek penelitian No.

Kriteria Subjek

(Total Pasien n=88) Berinteraksi % Tidak

Berinteraksi

%

1 Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan 46 28 52,27 31,82 11 3 12,5 3,41

Jumlah 74 84,09 14 15,91

2 Kelompok Usia

16-35 36-55 56-75 36 31 7 40,91 35,23 7,95 12 1 1 13,63 1,14 1,14

Jumlah 74 84,09 14 15,91

3 Jumlah Obat

Dua obat Tiga obat Empat obat Lima obat Enam obat 5 58 6 4 1 5,68 65,91 6,82 4,54 1,14 9 5 0 0 0 10,23 5,68 0 0 0


(47)

Frekuensi potensi interaksi obat antipsikotik pada pasien skizofrenia terjadi pada 74 rekam medis pasien dengan presentase 84,09% (Tabel 4.2). Tingginya angka kejadian interaksi obat berkaitan dengan jumlah obat yang dikonsumsi pasien, dimana dalam penelitian ini pasien yang menerima 3 macam obat per resep lebih banyak mengalami interaksi obat. Peristiwa interaksi obat terjadi sebagai akibat penggunaan bersama-sama dua macam obat atau lebih. Apabila terjadi kegagalan pengobatan pada pasien, hal ini sangat jarang dikaitkan dengan interaksi obat padahal kemungkinan terjadinya interaksi obat cukup besar terutama pada pasien yang mengkonsumsi lebih dari 2 macam obat dalam waktu yang bersamaan.

Di Indonesia, sebuah hasil penelitian yang dilakukan di rumah sakit pendidikan Dr. Sardjito Jogjakarta menunjukkan bahwa interaksi obat terjadi pada 59% pasien rawat inap dan 69% pasien rawat jalan (Rahmawati, dkk., 2006).

Beberapa studi memperkirakan kejadian interaksi obat berkisar antara 2,2% sampai 30% pada pasien yang ada di rumah sakit dan 9,2% sampai 70,3% pada pasien luar rumah sakit. Berdasarkan data tersebut disimpulkan bahwa obat-obat yang potensial berinteraksi sulit untuk diketahui (Rahmawati, dkk., 2006).

4.3 Gambaran Kejadian Potensi Interaksi Obat Antipsikotik SubjekPenelitian

Berdasarkan analisis terhadap 88 rekam medis pasien, ditemukan gambaran kejadian potensi interaksi obat antipsikotik sebanyak 212 kasus. Gambaran umum kejadian potensi interaksi obat antipsikotik ditunjukkan pada Tabel 4.3.


(48)

Tabel 4.3 Jenis kejadian potensi interaksi obat antipsikotik subjek penelitian

No Nama Obat

Tingkat Keparahan Interaksi Obat Pola Mekanisme Interaksi Mekanisme interaksi Jumlah Kasus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

Clozapine - Trihexyphenidyl Olanzapine – Trihexyphenidyl Olanzapine – Fluoxetine Clozapine – Olanzapine Risperidone – Trihexyphenidyl Haloperidol – Trihexyphenidyl Fluoxetine - Trihexyphenidyl Clozapine – Fluoxetine Risperidone - Clozapine Quetiapine – Trihexyphenidyl Amitriptyline-Trihexyphenidyl Clozapine - Haloperidol Clozapine – Amitriptyline Olanzapine – Alprazolam Maproptiline -Trihexyphenidyl Trihexyphenidyl-Alprazolam Clozapine - Quetiapine Olanzapine – Maproptiline Olanzapine- Amitriptyline Risperidone – Amitriptyline Haloperidol – Olanzapine Quetiapine – Fluoxetine Risperidone – Alprazolam Fluoxetine – Alprazolam Clozapine – Lorazepam Risperidone – Quetiapine Clozapine – Ondansetron Clozapine – Ciprofloxacin Fluoxetine – Risperidone Haloperidol - Amitriptyline Risperidone – Olanzapine Olanzapine – Ciprofloxacin Fluoxetine – Ciprofloxacin Quetiapine – Alprazolam Quetiapine- Ondansetron Sedang Sedang Sedang Berat Sedang Sedang Sedang Berat Sedang Sedang Sedang Berat Berat Sedang Sedang Sedang Berat Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Ringan Berat Sedang Berat Berat Berat Berat Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Unknown Farmakodinamik Farmakokinetik Farmakokinetik Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Unknown Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakokinetik Unknown Farmakodinamik Farmakodinamik Farmakokinetik Farmakokinetik Farmakokinetik Farmakodinamik Farmakokinetik Famakodinamik Farmakodinamik Farmakodinamik Sinergis Sinergis Aditif Aditif Sinergis - Sinergis Metabolisme Metabolisme Sinergis Aditif Aditif Aditif Aditif Sinergis Sinergis Aditif Aditif Aditif Aditif Aditif Aditif Aditif Metabolisme - Aditif Aditif Metabolisme Metabolisme Metabolisme Aditif Metabolisme Aditif Aditif Aditif 28 21 20 12 12 11 9 8 8 7 7 6 6 6 5 5 4 4 4 4 3 3 3 3 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Total 212

4.4 Pola Penggunaan Obat Antipsikotik Subjek Penelitian

Obat antipsikotik dikelompokkan menjadi obat antipsikotik golongan tipikal dan golongan atipikal yang meliputi banyak obat pada masing-masing golongan, sehingga memberikan banyak pilihan untuk praktisi kesehatan dalam memberikan pengobatan. Tetapi antipsikotik yang digunakan di RSUP H. Adam


(49)

Malik jumlahnya terbatas. Pada penelitian ini didapatkan data obat antipsikotik yang paling banyak diresepkan pada pasien skizofrenia rawat jalan di RSUP H. Adam Malik adalah clozapine, olanzapine, risperidone, haloperidol, dan quetiapine. Hanya lima jenis obat antipsikotik yang digunakan yaitu satu jenis dari golongan tipikal dan empat lainnya dari golongan atipikal. Selain obat antipsikotik juga diberikan adjunctive drug. Adjunctive drug yang banyak diberikan adalah trihexyphenidyl, amitripilin, dan vitamin B kompleks.

Haloperidol merupakan derivat butirofenon termasuk antipsikotik golongan pertama. Haloperidol memiliki risiko tinggi terhadap timbulnya gejala ekstrapiramidal, termasuk sindrom parkinson. Obat ini bekerja dengan cara memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di postsinaptik mesolimbik otak (Kee dan Hayes, 1996).

Risperidone merupakan obat atipikal baru termasuk obat antipsikotik generasi kedua. Obat ini juga dilaporkan dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal (>10%) terutama menyebabkan diskenia setelah penggunaan selama 5 hari (Kee dan Hayes, 1996).

Olanzapine, clozapine, risperidone, quetiapine dan obat neuroleptik baru lainnya memiliki efek gejala ekstrapiramidal lebih sedikit jika dibandingkan dengan obat klasik (Kee dan Hayes, 1996).

Clozapine merupakan obat dengan risiko terendah menimbulkan efek samping gejala ekstrapiramidal. Di Amerika, clozapine tidak digunakan untuk terapi akut, tetapi digunakan untuk terapi refractory psikosis atau psikosis yang sulit untuk disembuhkan, hanya obat ini obat antipsikotik yang diakui FDA untuk mengatasi kekambuhan penyakit. Namun, clozapine memiliki efek samping yang


(50)

cukup menjadi perhatian dan harus diwaspadai yaitu dapat menurunkan jumlah sel darah putih pasien, sehingga harus selalu dipantau (Fatemi dan Folsom, 2009).

Di Eropa clozapine digunakan biasanya dalam waktu singkat (1 minggu) untuk menstabilkan pasien mania sampai moodnya stabil. Dari hasil penelitian yang membandingkan penggunaan clozapine dengan obat tipikal, clozapine dapat mengatasi sindrom positif, sindrom negatif dan kognitif tanpa menyebabkan gejala ekstrapiramidal, disamping itu obat ini dapat mengurangi depresi dan keinginan bunuh diri (Fatemi dan Folsom, 2009).

Selain obat antipsikotik, pasien skizofrenia di RSUP H. Adam Malik juga diberikan adjunctive drug. Adapun adjunctive drug yang banyak diberikan di RSUP H. Adam Malik adalah trihexyphenidyl, amitriptyline, dan vitamin B Kompleks. Adjunctive drug digunakan untuk mengurangi efek samping dari pemakaian antipsikotik. Trihexyphenidyl merupakan obat antimuskarinik yang berfungsi untuk mengurangi efek samping dari antipsikotik. Salah satu efek samping antipsikotik adalah gejala ekstrapiramidal. Amitriptilin merupakan antidepresan trisiklik. Diberikan sebagai terapi tambahan untuk menangani terjadinya depresi yang biasa terjadi sesudah psikose. Vitamin B kompleks diberikan karena pasien skizofrenia mengalami defisiensi Vitamin B kompleks. Bila vitamin B3 kurang, pembentukan serotoninpun berkurang. Serotonin yang berkurang dapat menyebabkan timbulnya depresi mentalis (Kee dan Hayes, 1996).

4.5 Jumlah Obat Antipsikotik yang Mengalami Potensi Interaksi

Berdasarkan analisis terhadap 88 rekam medis pasien, ditemukan obat- obat antipsikotik yang mengalami potensi interaksi obat. Jumlah obat antipsikotik yang mengalami potensi interaksi ditunjukkan pada Tabel 4.4.


(51)

Tabel 4.4 Jumlah obat antipsikotik yang mengalami potensi interaksi

No. Nama Obat Jumlah (n=212) %

1 Clozapine

Clozapine - Trihexyphenidyl Clozapine – Olanzapine Clozapine – Fluoxetine Clozapine – Risperidone Clozapine – Haloperidol Clozapine – Amitriptyline Clozapine – Quetiapine Clozapine – Ondansetron Clozapine – Ciprofloxacin

28 12 8 8 6 6 4 1 1

74 34,90

2 Olanzapine

Olanzapine – Trihexyphenidyl Olanzapine – Fluoxetine Olanzapine – Clozapine Olanzapine – Alprazolam Olanzapine – Maproptiline Olanzapine – Amitriptyline Olanzapine – Haloperidol Olanzapine – Risperidone Olanzapine – Ciprofloxacin

21 20 12 6 4 4 3 1 1

72 33,96

3 Risperidon

Risperidone – Trihexyphenidyl Risperidone – Clozapine Risperidone – Amitriptyline Risperidone – Quetiapine Risperidone – Fluoxetine

12 8 4 2 1

27 12,74

4 Haloperidol

Haloperidol – Trihexyphenidyl Haloperidol – Clozapine Haloperidol – Olanzapine Haloperidol – Amitriptyline

11 6 3 1

21 9,90

5 Quetiapine

Quetiapine – Trihexyphenidyl Quetiapine – Clozapine Quetiapine – Fluoxetine Quetiapine – Risperidone Quetiapine – Alprazolam Quetiapine – Ondansetron

7 4 3 2 1 1

18 8,50

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh obat antipsikotik tiga terbanyak yang sering mengalami potensi interaksi adalah clozapine 34,90%, olanzapine


(52)

paling banyak yang melibatkan clozapine adalah clozapine-trihexyphenidyl, clozapine-olanzapine.

Jenis kejadian potensi interaksi paling banyak yang melibatkan olanzapine adalah olanzapine-trihexyphenidyl, olanzapine-fluoxetine dan untuk risperidone adalah risperidone-trihexyphenidyl, risperidone-clozapine. Pengaruh kejadian potensi interaksi clozapine-trihexyphenidyl, olanzapine-trihexyphenidyl, dan risperidone-trihexyphenidyl diketahui dapat meningkatkan efek trihexyphenidyl, penurunan dosis satu atau kedua obat mungkin diperlukan jika efek samping berlebihan. Penurunan dosis trihexyphenidyl pada dosis terendah dianjurkan untuk menghindari efek yang tidak diinginkan. Dosis terendah trihexyphenidyl dapat diturunkan menjadi 1 mg dalam 1 hari (Drugs.com, 2015).

Pengaruh kejadian clozapine-olanzapine diketahui dapat meningkatan efek antidopaminergik, termasuk gejala ekstrapiramidal dan sindrom neuroleptik ganas. Perhatian dan pemantauan klinis dianjurkan jika kedua obat ini digunakan bersamaan (Drugs.com, 2015).

Pengaruh kejadian olanzapine-fluoxetine diketahui dapat meningkatkan efek antikolinergik, sistem saraf pusat atau efek pernapasan secara aditif meningkat. Pasien harus terus dipantau untuk mengetahui potensi efek samping berlebihan (Drugs.com, 2015).

Pengaruh kejadian potensi interaksi risperidone-clozapine ialah kemungkinan gangguan pada metabolisme sitokrom P450 2D6 di hati dari clozapine, sehingga dapat meningkatkan efek toksik clozapine. Manajemen yang dapat dilakukan ialah terus memantau respon klinis, memonitor kadar serum clozapine dan diperlukan penyesuaian dosis clozapine (Drugs.com, 2015).


(53)

Interaksi Farmakodinamik

Interaksi Farmakokinetik

Interaksi unknown 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90

4.6 Jenis Mekanisme Interaksi Obat Antipsikotik Subjek Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan jenis mekanisme interaksi farmakokinetik 23 kasus, interaksi farmakodinamik 173 kasus dan interaksi

unknown 16 kasus. Jenis mekanisme interaksi obat antipsikotik ditunjukkan pada

Tabel 4.5, dan Gambar 4.1.

Tabel 4.5 Jenis mekanisme interaksi obat antipsikotik subjek penelitian No. Mekanisme Interaksi

Obat

Jumlah Kasus %

1 2 3

Interaksi Farmakodinamik Interaksi Farmakokinetik Interaksi Unknown

173 23 16

81,60 10,85 7,55 Total 212

Gambar 4.1 Diagram jenis mekanisme interaksi obat

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh presentase mekanisme interaksi obat farmakodinamik dengan persentase 81,60%, farmakokinetik dengan persentase 10,85%, dan unknown dengan persentase 7,55%. Pada penelitian ini mekanisme potensi interaksi farmakodinamik lebih sering terjadi dikarenakan sebagian besar obat antipsikotik bekerja pada reseptor, yaitu reseptor dopamin dan serotonin. Oleh karenanya interaksi obat lebih banyak terjadi pada mekanisme


(54)

obat paling banyak adalah clozapine-trihexyphenidyl, olanzapine-fluoxetine. Pada interaksi farmakokinetik jenis kejadian potensi interaksi obat paling banyak adalah clozapine-fluoxetine dan clozapine-risperidon. Pada mekanisme interaksi

unknown jenis kejadian potensi interaksi obat paling banyak ialah haloperidol-

trihexyphenidyl dan haloperidol-olanzapine.

Beberapa kejadian interaksi obat sebenarnya dapat diprediksi sebelumnya dengan mengetahui efek farmakodinamik serta mekanisme farmakokinetika obat-obat tersebut. Pengetahuan mengenai hal ini akan bermanfaat dalam melakukan upaya pencegahan terhadap efek merugikan yang dapat ditimbulkan akibat interaksi obat. Dengan mengetahui mekanisme interaksi obat, farmasis dapat menentukan langkah yang tepat dalam pengatasan masalah tersebut. Farmasis dapat menentukan apakah suatu jenis interaksi obat dapat diatasi sendiri, ataukah memerlukan diskusi dengan klinisi/dokter (Utami, 2013).

4.7 Tingkat Keparahan Potensi Interaksi Obat Antipsikotik pada Subjek Penelitian

Berdasarkan analisis terhadap 88 rekam medis pasien ditemukan tingkat keparahan ringan 3 kasus, tingkat keparahan sedang 167 kasus dan tingkat keparahan berat 42 kasus. Tingkat keparahan potensi interaksi obat antipsikotik pada subjek Penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.6, dan Gambar 4.2.

Tabel 4.6 Tingkat keparahan potensi interaksi obat antipsikotik pada subjek

Penelitian

No. Tingkat Keparahan Potensi Interaksi

Jumlah Kasus %

1 2 3

Ringan Sedang Berat

3 167

42

1,42 78,77 19,81

Total 212


(55)

0 20 40 60 80 100

Ringan Sedang Berat

Gambar 4.2 Diagram tingkat keparahan interaksi obat

Kejadian potensi interaksi ringan yang banyak terjadi pada penelitian ini adalah fluoxetine-alprazolam diketahui potensi interaksi ini fluoxetine meningkatkan efek farmakologi alprazolam, manajemen untuk interaksi ini belum tersedia. Interaksi kategori sedang menyebabkan penurunan status klinis pasien. Pengobatan tambahan, rawat inap, atau diperpanjang dirawat di rumah sakit mungkin diperlukan (Tatro, 2009).

Kejadian potensi interaksi kategori sedang yang banyak terjadi adalah clozapine-trihexyphenidyl, diketahui clozapine meningkatkan efek trihexyphenidyl sehingga meningkatkan efek toksik trihexyphenidyl. Manajemen yang dilakukan adalah dengan menurunkan salah satu atau kedua obat jika efek samping berlebihan (Drugs.com, 2015).

Interaksi kategori berat adalah mengancam jiwa atau kerusakan permanen. Kejadian potensi interaksi kategori berat yang paling banyak terjadi dalam penelitian ini adalah antara olanzapine-clozapine diketahui kombinasi clozapine dan olanzapine dapat meningkatan efek antidopaminergik, termasuk gejala ekstrapiramidal dan sindrom neuroleptik ganas. Efek samping lain mungkin meningkat selama penggunaan cozapine dan olanzapine. Manajemen yang


(56)

dilakukan adalah memantau secara klinis terhadap pengguanaan kedua obat ini. Penilaian EKG rutin dapat mendeteksi perpanjangan QTc, tetapi tidak selalu efektif dalam mencegah aritmia. Pengobatan clozapine harus dihentikan jika interval QTc melebihi 500 msec (Drugs.com, 2015).

4.8 Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis secara simultan dari dua variabel. Hal ini dilakuan untuk melihat apakah salah satu variabel terkait dengan variabel lain. Kegunaan dari analisis bivariat adalah untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel atau lebih.

4.8.1 Faktor Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh secara umum subjek penelitian paling banyak adalah jenis kelamin laki-laki yaitu 64,77% (Tabel 4.1). Begitu pula kejadian potensi interaksi obat lebih banyak terjadi pada pasien berjenis kelamin laki-laki (Tabel 4.7).

Tabel 4.7 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan jenis kelamin subjek

Hasil analisis bivariat dengan Chi-Square Test antara variabel jenis kelamin dengan kejadian potensi interaksi obat menunjukkan keduanya tidak

Jenis Kelami

Potensi Interaksi Obat

% terhadap

total subje Nilai P Terjadi Potensi

Interaksi

Tidak Terjadi Potens Interaksi

Jumlah

% terhadap total jenis

kelamin

Jumlah

% terhadap total jenis

kelamin

Laki-laki 46 80,70 11 19,30 64,77

0,239

Perempuan 28 90,32 3 9,68 35,23


(57)

Laki-laki Perempuan 37,84%

62,16%

bermakna secara statistik (nilai p>0,05), dimana nilai hasil Chi Square Test didapat nila p 0,239, sehingga dalam penelitian ini faktor jenis kelamin tidak berhubungan dengan potensi interaksi obat. Hal ini disebabkan karena tidak ada perbedaan jenis obat yang diterima antara pasien laki-laki dan perempuan, keduanya mendapat jenis obat sama. Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan jenis kelamin ditunjukkan pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Diagram kejadian potensi interaksi obat berdasarkan jenis kelamin

4.8.2 Faktor Usia

Secara umum subjek adalah pasien dengan usia 16-35 tahun yaitu 54,55% (Tabel 4.1). Begitu pula kejadian potensi interaksi obat juga lebih banyak terjadi pada pasien berusia 16-35 tahun (Tabel 4.8).

Tabel 4.8 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan usia subjek penelitian

Usia

Potensi Interaksi Obat

% terhadap

total subje Nilai P Terjadi Potensi

Interaksi

Tidak Terjadi Potens Interaksi Jumlah % terhadap

total usia Jumlah

% terhadap total usia 16-35

tahun 36 75,00 12 25,00 54,55

0,031 36-55

tahun 31 96,88 1 3,12 36,36

56-75


(58)

16-35 tahun 36-55 tahun 56-75 tahun 48,65 %

41,89 % 9,46%

Gambar 4.4 Diagram kejadian potensi interaksi obat berdasarkan usia

Hasil analisis Chi-Square test dengan program SPSS versi 17.0 menunjukkan bahwa usia dengan potensi interaksi obat bermakna secara statistik yaitu nilai p 0,031 (Tabel 4.8). Ini berarti usia mempengaruhi terjadinya interaksi obat. Hasil analisis juga menampilkan presentase berdasarkan usia. Usia 16-35 tahun berpotensi interaksi obat 75,00%, pasein 36-55 tahun potensi interaksi obat 96,88% dan pasien usia 56-75 potensi interaksi obat 84,09% (Tabel 4.8) . Dari hasil penelitian, pasien dengan usia kategori tua lebih rentan mengalami potensi interaksi obat. Hal ini sama dengan penelitian Yulia (2011), pada pasien rawat inap di RSJ. Prof. HB. Sa’anin Padang, yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara umur pasien dengan frekuensi potensi interaksi obat.

Selain itu, penelitian Annisa (2012) juga menyatakan hal yang sama, terdapat hubungan antara umur pasien dengan kejadian interaksi obat. Interaksi obat pada kelompok usia geriatri terjadi pada profil farmakokinetik dan farmakodinamik. Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran cerna. Interaksi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor obat dan target organ


(59)

Tabel 4.9 Kejadian potensi interaksi obat berdasarkan jumlah obat subjek

Penelitian

berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus dikurangi.

4.8.3 Faktor Jumlah Obat

Secara umum subjek adalah pasien dengan tiga macam obat yaitu 71,59% (Tabel 4.1). Begitu pula kejadian potensi interaksi obat juga lebih banyak pada pasien yang mendapat tiga macam obat (Tabel 4.9).

Gambar 4.5 Diagram kejadian potensi interaksi obat berdasarkan jumlah obat

Jumlah Obat

Potensi Interaksi Obat

% terhadap total subje

Nilai P Terjadi Potensi

Interaksi

Tidak Terjadi Potensi Interaksi

Jumlah

% terhadap total jumla

Obat

Jumlah

% terhadap total jumlah

obat

Dua obat 5 35,71 9 64,29 15,91

0,000

Tiga obat 58 92,06 5 7,94 71,59

Empat obat 6 100 0 0 6,82

Lima obat 4 100 0 0 4,54

Enam obat 1 100 0 0 1,14

Total 74 84,09 14 15,91 100

1,34% Dua obat

Tiga obat Empat obat Lima obat Enam obat 78,38%

6,76% 5,40%


(60)

Hasil analisis Chi-Square test dengan program SPSS versi 17.0 menunjukkan bahwa jumlah obat dengan potensi interaksi obat bermakna secara statistik yaitu nilai p 0,000 (Tabel 3.9). Ini berarti jumlah obat mempengaruhi terjadinya interaksi obat. Kemungkinan terjadinya interaksi obat semakin besar dengan meningkatnya kompleksitas obat - obat yang digunakan dalam pengobatan saat ini dan kecenderungan praktik polifarmasi.

Suatu survey yang dilaporkan pada tahun 1977 mengenai polifarmasi pada penderita yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa insiden efek samping pada penderita yang mendapat 1-5 macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang mendapat 16-20 macam obat adalah 54%. Peningkatan efek samping obat yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat yang diberikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga semakin meningkat (Setiawati, 2007).

Peristiwa interaksi obat terjadi sebagai akibat penggunaan bersama-sama dua macam obat atau lebih. Apabila terjadi kegagalan pengobatan pada pasien, hal ini sangat jarang dikaitkan dengan interaksi obat sedangkan kemungkinan terjadinya interaksi obat cukup besar terutama pada pasien yang mengkonsumi lebih dari 5 obat dalam waktu yang bersamaan (Setawati, 2007).


(61)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan antara lain:

a. potensi interaksi obat antipsikotik terjadi pada pasien skizofrenia rawat jalan di RSUP H. Adam Malik adalah tinggi. Dari 88 rekam medis pasien 74 diantara nya mengalami potensi interaksi obat dengan frekuensi 84,09% (212 kasus). b. obat antipsikotik yang sering diresepkan untuk pasien skizofrenia rawat jalan di

RSUP H. Adam Malik adalah clozapine, olanzapine, risperidone, haloperidol dan quetiapine. Obat antipsikotik yang paling banyak berpotensi interaksi adalah clozapine 34,90%, olanzapine 33,64%, dan risperidone 12,62%. Jenis kejadian potensi interaksi paling banyak melibatkan clozapine adalah clozapine-trihexyphenidyl, dan clozapine-olanzapine. Jenis kejadian potensi interaksi paling banyak melibatkan olanzapine ialah olanzapine-trihexyphenydil, olanzapine-fluoxetine. Dan jenis kejadian potensi interaksi paling banyak melibatkan risperidone ialah antara risperidone-trihexyphenydil, dan risperidone-clozapine.

c. tingkat keparahan yang timbul akibat interaksi yang terjadi yaitu ringan, sedang, dan berat. Tingkat keparahan yang paling banyak terjadi ialah tingkat keparahan sedang dengan persentase 78,77% (167 kasus), berat 19,81% (42 kasus), dan ringan dengan presentase 1,42% (3 kasus).


(62)

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan:

a. untuk meminimalkan interaksi obat, diharapkan dokter menulis resep secara rasional berdasarkan standar pelayanan medis yang ada di RSUP H. Adam malik.

b. diharapkan kerja sama dokter dan apoteker dalam memonitoring interaksi obat antipsikotik terhadap pasien skizofrenia untuk meningkatkan efek pengobatan. Salah satunya dengan selalu menerapkan aspek terapeutical drug monitoring. c. efek samping pengobatan dapat ditulis lengkap dalam rekam medis pasien,

sehingga dapat digunakan untuk pemilihan terapi dan evaluasi pengobatan. d. bagi peneliti selanjutnya sebaiknya menggunakan lebih banyak subjek

penelitian untuk menggambarkan secara umum dan hasil yang didapat menjadi lebih akurat.


(1)

Lampiran 3. (Lanjutan)

77

menghasilkan perpanjangan klinis signifikan interval QTc.

29

Fluoxetine-Risperidone

Farmakokinetik Berat 1 Fluoxetine akan

meningkatkan efek risperidone dengan

mempengaruhi metabolisme enzim CYP2D6 di hati. Kemungkinan interaksi serius dan mengancam jiwa. Memantau secara ketat penggunaan fluoetine dan risperidon secara bersamaan dan mengganti alternatif obat lain jika ada.

30 Haloperidol

-Amitriptyline

Farmakokinetik Berat 1 Haloperidol dapat

meningkatkan konsentrasi serum antidepresan trisiklik dengan menghambat metabolisme mereka melalui CYP450 2D6. Ada laporan kasus kejang terkait dengan interaksi ini. Dosis yang lebih rendah dari antidepresan trisiklik mungkin diperlukan bila digunakan dengan haloperidol.

31

Risperidone-Olanzapine

Farmakodinamik Sedang 1 Penggunaan

bersamaan olanzapine dan risperidone dapat meningkatkan efek antidopaminergik, termasuk gejala ekstrapiramidal dan sindrom neuroleptik ganas. Pemantauan diperlukan bila agen dengan sifat antikolinergik digabungkan, terutama pada orang tua dan orang-orang dengan penyakit otak organik yang mendasari, yang cenderung lebih sensitif terhadap efek antikolinergik. Penurunan dosis antikolinergik mungkin diperlukan jika efek samping berlebihan .


(2)

Lampiran 3. (Lanjutan)

78

32

Olanzapine-ciprofloxacin

Farmakokinetik Sedang 1 Konsentrasi

plasma olanzapine mungkin meningkat, meningkatkan risiko efek samping (misalnya, sedasi, hipotensi ortostatik). Antibiotik kuinolon tertentu dapat menghambat metabolisme (CYP1A2) olanzapine. Amati respon klinis pasien dan menyesuaikan dosis olanzapine sesuai kebutuhan.

33

Fluoxetine-ciprofloxacin

Farmakodinamik Sedang 1 Penggunaan

bersamaan fluoxetine dan ciprofloxacin dapat meningkatkan interval QTc. Gunakan secara hati-hati dan pantau secara ketat.

34 Quetiapine–

Alprazolam

Farmakodinamik Sedang 1 Sistem saraf pusat

atau efek depresan pernapasan dapat secara aditif atau sinergis meningkat pada pasien yang memakai beberapa obat yang menyebabkan efek ini, terutama pada pasien usia lanjut atau lemah.

Selama penggunaan bersamaan obat ini, pasien harus dipantau potensi berlebihan terhadap SSP dan depresi pernafasan. Pasien rawat jalan harus dinasehati untuk menghindari kegiatan berbahaya yang memerlukan kewaspadaan mental dan koordinasi motorik.

35 Quetiapine –

Ondansetron

Farmakodinamik Sedang 1 Ada beberapa

kekhawatiran bahwa quetiapine mungkin memiliki efek kardiovaskular aditif dalam Penggunaan bersama dari quetiapine dengan obat lain yang dapat memperpanjang interval QT


(3)

Lampiran 3. (Lanjutan)

79

kombinasi dengan obat lain yang dikenal untuk memperpanjang interval QT elektrokardiogram

umumnya harus dihindari. Perhatian dan pemantauan klinis

diperlukan dan dianjurkan jika obat ini digunakan bersamaan.


(4)

(5)

(6)

Lampiran 6. Surat keterangan telah selesai melakukan penelitian di RSUP H.

Adam Malik