Kejadian Relaps Penderita Sindrom Nefrotik pada Anak Tahun 2011-2012 di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Relaps
2.1 Definisi Relaps
Relaps (kambuh) adalah munculnya kembali penyakit setelah periode
bebas penyakit atau relaps adalah proteinuria≥ 2+ (proteinuria) ≥ 40 mg/ m² LPB/
jam) setelah respon awal kurang dari 4× per tahun pengamatan (Nizar MD, 2013).

2.2 Definisi Sindrom Nefrotik
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria,
hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (Ngastiyah, 1997).
Sindrom ini dapat terjadi karena adanya faktor yang menyebabkan
premeabilitas glomerulus (Hidayat & Aziz A., 2006).
Penyakit ini terjadi tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Biasanya berupa
oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat
(Mansjoer Arif, et al., 1999).
Terdapat beberapa definisi terkait dengan SN. Remisi adalah proteinuria
negatif atau trace proteinuria < 4mg/m² LPB/ jam) selama 3 hari berturut-turut
dalam 1 minggu. Relaps adalah proteinuria≥ 2+ (proteinuria) ≥ 40 mg/


m² LPB/

jam) setelah respon awal kurang dari 4× per tahun pengamatan. Relaps sering
(relaps frekuen) adalah relaps≥ 2× dalam 6 bulan pertama setelah respon awal
atau ≥ 4× dalam periode 1 tahun. Dependen steroid adalah relaps 2× berurutan
pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari pengobatan
dihentikan. Resisten steroid didefinisikan sebagai tidak terjadinya remisi pada
pengobatan prednison dosis penuh ( full dose ) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
Sensitif steroid adalah remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu (Nizar MD, 2013).
2.3. Anatomi Ginjal
Ginjal terselubungi oleh suatu lapis jaringan fibrosa yang disebut hilum

Universitas Sumatera Utara

yang tampak halus akan tetapi kuat. Lapisan ini menyelubungi ginjal dengan
sangat ketat, tetapi dapat terbuka dengan mudah. Di bawah lapisan tersebut maka
dapat terlihat ginjal dengan permukaannya yang halus dan berwarna merah tua. Di
tengah-tengah ginjal terdapat rongga yang disebut sinus; rongga tersebut juga

terlapisi oleh hilum (Gray, 1995).
Segala benda seperti pembuluh darah dan duktus ekskretorik akan
memasuki ginjal melalui fisura tersebut. Duktus ekskretorik ginjal, ureter setelah
masuk ke dalam ginjal akan melebar seperti sebuah kerucut, struktur ini
dinamakan pelvis. Pelvis akan bercabang menjadi dua atau tiga percabangan yang
akan memisah lagi yang disebut dengan calices atau infundibula; semua struktur
tersebut berada di dalam rongga ginjal (Gray, 1995).
Bagian korteks dari ginjal berwarna merah muda, lunak, granular, dan
mudah terlaserasi. Bagian yang memisah sisi-sisi dari dua piramid dimana arteri
dan nervus masuk, dan dimana vena dan kelenjar limfe keluar dari ginjal disebut
cortical coloumn atau columna Bertini; sementara porsi yang menghubungkan
antara satu cortical coloumn dengan yang lainnya disebut cortical arch dengan
kedalaman yang bervariasi dari 0,8-1,3 cm (Gray, 1995).
Bagian medulla dari ginjal, seperti yang telah ditulis sebelumnya,
berwarna merah, striated, dan memiliki massa berbentuk kerucut, pyramids of
Malpighi; jumlahnya bervariasi dari 8-18 bergantung pada pembentukan lobus
organ pada masa embrional (Gray, 1995).
Tubuli uriniferi yang membentuk sebagian besar dari ginjal mulai dari
korteks ginjal, lalu membentuk suatu sirkuit melalui korteks dan medulla, dan
akhirnya berakhir di apeks Malpighian pyramids dimana cairan yang berada di

dalam tubulus tersebut mengalir ke kaliks yang berada di dalam sinus ginjal. Bila
permukaan dari salah satu papila diamati, maka dapat terlihat bahwa permukaan
papila tersebut bertaburkan dengan depresi-depresi yang berjumlah 16-20, dan
bila sediaan ginjal yang segar diberi tekanan maka dapat terlihat cairan yang
terpancarkan dari depresi-depresi tersebut. Depresi-depresi tersebut bermula di
korteks sebagai Malphigian bodies, badan-badan tersebut hanya terdapat pada
bagian korteks ginjal. Setiap badan tersebut terbagi atas dua bagian: suatu

Universitas Sumatera Utara

gumpalan pembuluh darah, Malphigian tuft; dan suatu membran pembungkus,
Malphigian capsule, atau capsule of Bowman (Gray, 1995).
Tubuli

uriniferi

yang

bermula


pada

Malphigian

bodies

dalam

perjalanannya melewati korteks dan medulla dari ginjal. Setelah melewati
Malphigian capsule akan ada suatu penyempitan yang disebut neck atau leher dari
tubulus tersebut. Setelah itu maka tubulus akan berbelit pada bagian korteks
membentuk proximal convoluted tubule. Dalam perjalanannya ke daerah medulla
tubulus membentuk suatu spiral yang disebut spiral tube of Schachowa. Pada
daerah medulla, tubulus tiba-tiba mengecil dan melandai ke dalam piramid dengan
kedalaman yang bervariasi membentuk descending limb of Henle’ s loop; lalu
tubulus akan melengkung naik (loop of Henle), membesar membentuk ascending
limb of Henle’ s loop dan kembali memasuki ke korteks. Ascending limb of Henle
lalu membentuk distal convoluted tubule yang menyerupai proximal convoluted
tubule; ini akan berakhir dengan suatu lengkungan yang memasuki collecting tube
(Gray, 1995).

2.4. Fisiologi Ginjal
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi
yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus.
Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang
mendapat

darah

20%

dari

seluruh

cardiac

output

(Rauf,


2002).

2.4.1.Faal Glomerolus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang
dapat masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar
dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume
ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut glomerula filtration rate
(GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR
normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak (Rauf,
2002).

Universitas Sumatera Utara

2.4.2. Faal Tubulus

Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari
zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Sebagaimana
diketahui, GFR : 120 ml / menit / 1,73 m2, sedangkan yang direabsorbsi hanya
100 ml / menit, sehingga yang diekskresi hanya 1 ml / menit dalam bentuk urin
atau dalam sehari 1440 ml (urin dewasa) (Rauf, 2002).

Pada anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan
umur : (Rauf, 2002).

a) 1-2 hari : 30-60 ml
b) 3-10 hari : 100-300 ml
c) 10 hari-2 bulan : 250-450 ml
d) 2 bulan-1 tahun : 400-500 ml
e) 1-3 tahun : 500-600 ml
f ) 3-5 tahun : 600-700 ml
g) 5-8 tahun : 650-800 ml
h) 8-14 tahun : 800-1400 ml

2.4.3. Faal Tubulus Proksimal

Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak
melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di
glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein, asam amino dan glukosa
yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl,
Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat), H2O dan urea.
Zat-zat yang diekskresi asam dan basa organik (Rauf, 2002).


Universitas Sumatera Utara

2.4.4. Faal loop of henle

Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan
ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih
hipotonik (Rauf, 2002).

2.4.5. Faal tubulus distalis dan duktus koligentes

Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan
cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen.
(Rauf, 2002).

2.5. Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi.
Umumnya etiologi dibagi menurut (Mansjoer Arif, et al., 1999), yaitu:
2.5.1. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.
Resisten terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien
meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya (Mansjoer Arif, et al., 1999).
2.5.2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :



Malaria kuartana atau parasit lainnya.



Glumerulonefritis akut atau kronik,



Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.




Trombosis vena renalis.



Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.
Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif
hipokomplementemik (Mansjoer Arif, et al., 1999).

2.5.3. Sindrom nefrotik idiopatik

Universitas Sumatera Utara

Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindrom nefrotik primer.
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churk dkk membaginya menjadi :
(Mansjoer Arif, et al., 1999).
a.

Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu.


Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding kapiler
glomerulus (Mansjoer Arif, et al., 1999).

2.5.3.1. Glomerulus Membranosa (Nefropati Membranosa)
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar
tanpa proliferasi sel (Mansjoer Arif, et al., 1999).

2.5.3.2. Glomerulonefritis Proliferatif
Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel
mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel
yang menyebabkan kapiler tersumbat, dengan penebalan batang lobular, terdapat
prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular, dengan
bulan sabit (crescent), didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel
epitel sampai kapsular dan viseral (Mansjoer Arif, et al., 1999).
Prognosis buruk, glomerulonefritis membranoproliferatif, proliferasi sel
mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran basalis di
mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA rendah dan lain-lain perubahan
proliferasi yang tidak khas (Mansjoer Arif, et al., 1999).
2.5.3.3. Glomerulosklerosis Fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai
atrofi tubulus (Mansjoer Arif, et al., 1999).

2.6. Patofisiologi
Terjadi proteinuria akibat peningkatan permiabilitas membran glomerulus.
Sebagian besar protein dalam urin adalah albumin sehingga jika laju sintesis hepar

Universitas Sumatera Utara

dilampui, meski telah berusaha ditingkatkan, terjadi hipoalbuminemia. Hal ini
menyebabkan retensi garam dan air (Mansjoer Arif, et al., 1999).
Menurunnya tekanan osmotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan
yang berpindah dari sistem vaskuler kedalam ruang cairan ekstra seluler.
Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem imun angiotensin,
menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut (Mansjoer Arif, et al., 1999).
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan
peningkatan konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia) (Mansjoer Arif, et
al., 1999).
Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan
karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia atau defisiensi seng (Mansjoer Arif, et
al., 1999).
Sindrom nefrotik (SN) dapat terjadi dihampir setiap penyakit renal intrinsik
atau sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit
ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada
orang dewasa termasuk lansia (Mansjoer Arif, et al., 1999).

2.7. Gejala klinis
Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya
bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan
cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar

mata

(periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah
(Betz & Cecily L., 2002).
a. Edema.
b. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa
c.Pucat
d.Hematuri
e. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
f. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan
umumnya terjadi.

Universitas Sumatera Utara

g.Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang) (Betz & Cecily L., 2002).

2.8. Komplikasi

1.

Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat

hipoalbuminemia.
2.

Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang

menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
3.

Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga

terjadi peninggian fibrinogen plasma.
4.

Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal (Rauf,

2002).

2.9. Penatalaksanaan
2.9.1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan
mengurangi

sindrom

nefrotik hanya

bersifat

simptomatik,

untuk

atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan

hipoalbuminemia mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu:

a.

Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang
lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan
menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.

b.

Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4 gram/kgBB/hari,
dengan garam minimal bila edema masih berat. Bila edema berkurang dapat
diberi garam sedikit.

c.

Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan
diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya
edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hididroklortiazid (25-50 mg/hari) selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan
intravaskuler berat.

Universitas Sumatera Utara

d.

Dengan antibiotik bila ada infeksi.

e.

Diuretikum

f.

Kortikosteroid

International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)
mengajukan cara pengobatan sebagai berikut :
1)

Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas
permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.

2)

Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis
40 mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60
mg/hari. Bila terdapat respons, maka pengobatan ini dilanjutkan secara
intermitten selama 4 minggu.

3)

Tapering-off : prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg,
20 mg, 10 mg sampai akhirnya dihentikan.

4)

Lain-lain
Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada
gagal jantung, diberikan digitalis (Behrman, 2000).

2.9.2. Penatalaksanaan Keperawatan

Pasien sindrom nefrotik perlu dirawat di rumah sakit, karena memerlukan
pengawasan dan pengobatan yang khusus. Masalah pasien yang perlu
diperhatikan adalah edema yang berat (anasarka), diet, resiko komplikasi,
pengawasan mengenai pengobatan atau gangguan rasa aman dan nyaman, dan
kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit pasien.
Pasien sindrom nefrotik dengan anasarka perlu istirahat di tempat tidur,
karena dengan keadaan edema yang berat menyebabkan pasien kehilangan
kemampuannya untuk bergerak. Selama edema masih berat semua keperluan
harus ditolong di atas tempat tidur.

Universitas Sumatera Utara

a.

Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga thoraks
akan menyebabkan sesak nafas.

b.

Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan
memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih rendah
dan akan menyebabkan edema hebat).

c.

Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk
mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah terjadi
keadaan skrotum akhirnya pecah dan menjadi penyebab kematian pasien).
Bila edema telah berkurang diperbolehkan pasien melakukan kegiatan

sesuai kemampuannya, tetapi tetap didampingi atau dibantu oleh keluarga atau
perawat dan pasien tidak boleh kelelahan. Untuk mengetahui berkurangnya edema
pasien perlu ditimbang setiap hari, di ukur lingkar perut pasien. Selain itu
perawatan pasien dengan sindroma nefrotik, perlu dilakukan pencatatan masukan
dan pengeluaran cairan selama 24 jam. Pada pasien dengan sindroma nefrotik
diberikan diet rendah protein yaitu 1,2-2,0 gram/kgBB/hari dan cukup kalori yaitu
35 kal/kgBB/hari serta rendah garam (1 gram/hari). Bentuk makanan disesuaikan
dengan keadaan pasien, bisa makanan biasa atau lunak (Ngastiyah, 2005).
Pasien dengan sindrom nefrotik mengalami penurunan daya tahan tubuh
yang mengakibatkan mudah terkena infeksi. Komplikasi pada kulit akibat infeksi
streptococcus dapat terjadi. Untuk mencegah infeksi tersebut, kebersihan kulit
perlu diperhatikan dan alat-alat tenun atau pakaian pasien harus bersih dan kering.
Antibiotik diberikan jika ada infeksi, dan diberikan pada waktu yang sama. Jika
pasien diperbolehkan pulang, orang tua pasien perlu diberikan penjelasan
bagaimana merawat anak yang menderita penyakit sindrom nefrotik. Pasien
sendiri perlu juga diterangkan aktivitas apa yang perlu dilakukan dan kepatuhan
tentang dietnya masih perlu diteruskan sampai pada saatnya dokter mengizinkan
bebas diet. Memberikan penjelasan pada keluarga bahwa penyakit ini sering
kambuh atau berubah menjadi lebih berat jika tidak terkontrol secara teratur, oleh
karena itu orang tua atau pasien dianjurkan kontrol sesuai waktu yang ditentukan
(biasanya 1 bulan sekali) (Ngastiyah, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.10. Pemeriksaan Penunjang
2.10.1.

Pemeriksaan Urin

Urinalisis adalah tes pertama kali digunakan dalam diagnosis sindrom
nefrotik. Proteinuria nefrotik akan terlihat oleh 3 + atau 4 + pada dipstick
bacaan, atau dengan pengujian semi kuantitatif oleh asam sulfosalicylic. Sebuah 3
+ merupakan

300

mg/dL

dari

protein

urin atau lebih,

L atau lebih dan dengan demikian dalam kisaran

nefrotik.

yaitu

3

g/

Pemeriksaan

dipsticks kimia albumin adalah protein utama yang diuji.

a. Protein urin

: > 3,5 gram/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari

b. Urinalisa

: cast hialin dan granular, hematuria

c. Dipstick urin

: positif untuk protein dan darah

d. Berat jenis urin : meningkat (normal : 285 mOsmol)

2.10.2. Darah

a. Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
b. Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100 ml)
Albumin menurun ( N : 6,2-8,1 mg/ 100 ml). Hal ini disebut sebagai
hipoalbumenia (nilai kadar albumin dalam darah < 2,5 gram/ 100 ml).
Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat katabolisme
protein yang terjadi di tubuh ginjal. Peningkatan katabolisme merupakan
faktor tambahan terjadinya hipoalbuminemia selain dari protein uria
(albuminuria). Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema
mukosa usus sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat
menimbulkan hipoproteinemia. Pada umumnya edema anasarka terjadi
bila kadar albumin darah < 2 gram/100ml, dan syok hipovolemia terjadi
biasanya pada kadar < 1 gram/100ml (Betz, 2002).
c. Pemeriksaan Diagnostik
1.

Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan.

Universitas Sumatera Utara

2.

USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan
ginjal atau pembentukkan jaringan parut yang tidak spesifik pada
glomeruli (Betz, 2002).

Universitas Sumatera Utara