Insidensi Sindrom Nefrotik Inisial pada Anak di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari Tahun 2011 sampai 2012

(1)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Nur Farhana Puteri binti Hamdan Tempat / Tanggal Lahir : Ipoh, Perak, Malaysia / 8 Januari 1991

Agama : Islam

Alamat : Jalan Dr. Mansur, Gang Kenari No. 6, Kelurahan Padang Bulan, Medan Selayang, 20131 Medan Orang Tua : Ayah : Hamdan bin Mohamed Shith

Ibu : Nur Amalina Lee binti Abdullah Riwayat Pendidikan : 1. SK Jelapang, Ipoh (1998-2001)

2. SK Jati, Ipoh (2002-2003) 3. SMK Jati, Ipoh (2004-2008)

4. Universiti Malaya, KL (2009-2010)

5. Universitas Sumatera Utara (2010-Sekarang) Riwayat Organisasi : 1. Setiausaha Kelas, SK Jati (2002-2003)

2. Setiausaha Kelas, SMK Jati (2004-2008) 3. Setiausaha Kadet Remaja Sekolah, SMK Jati

(2006-2008)

4. Setiausaha Kelab Komputer, SMK Jati (2006) 5. Pengerusi Kelab Komputer, SMK Jati (2007-

2008)

6. Setiausaha Kelab Badminton, SMK Jati (2008) 7. Setiausaha Rumah Sukan Uranus, SMK Jati


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

LAMPIRAN 6

DATA INDUK

NO. UMUR

KELOMPOK UMUR

JENIS

KELAMIN STATUS GIZI

TINGKAT PENDIDIKAN

ORANG TUA

1 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Kurang Sekolah Dasar 2 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 3 13 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 4 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Kurang Sekolah Dasar 5 9 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk

Sekolah Menengah Atas 6 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 7 2 0-4 tahun Perempuan Gizi Buruk Sekolah Dasar 8 2 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 9 12 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 10 14 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik Tidak Bersekolah 11 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang

Sekolah Menengah Pertama 12 9 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 13 7 5-9 tahun Laki-laki Gizi Kurang

Sekolah Menengah Pertama 14 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 15 4 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar 16 8 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 17 13 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 18 11 10-14 tahun Perempuan Gizi Kurang

Sekolah Menengah Pertama 19 7 5-9 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar 20 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Pendidikan Tinggi 21 14 10-14 tahun Perempuan Gizi Buruk

Sekolah Menengah Pertama 22 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 23 12 10-14 tahun Perempuan Gizi Kurang Sekolah Dasar 24 15 15-19 tahun Perempuan Gizi Baik Tidak Bersekolah 25 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Pendidikan Tinggi


(8)

26 13 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 27 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Kurang

Sekolah Menengah Pertama 28 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 29 8 5-9 tahun Perempuan Gizi Kurang Pendidikan Tinggi 30 5 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 31 11 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 32 7 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk

Sekolah Menengah Atas 33 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 34 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 35 9 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 36 10 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 37 14 10-14 tahun Perempuan Gizi Kurang

Sekolah Menengah Pertama 38 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang

Sekolah Menengah Atas 39 5 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 40 8 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Tidak Bersekolah 41 13 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 42 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 43 9 5-9 tahun Perempuan Gizi Kurang Sekolah Dasar 44 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Kurang Pendidikan Tinggi 45 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 46 2 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 47 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Kurang

Sekolah Menengah Pertama 48 14 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 49 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 50 9 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk Sekolah Dasar 51 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Buruk Pendidikan Tinggi 52 7 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 53 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 54 8 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 55 13 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 56 11 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama


(9)

57 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Kurang

Sekolah Menengah Pertama 58 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk Sekolah Dasar 59 14 10-14 tahun Perempuan Gizi Kurang Sekolah Dasar 60 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 61 12 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 62 15 15-19 tahun Laki-laki Gizi Lebih Sekolah Dasar 63 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 64 13 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 65 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 66 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar 67 8 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 68 5 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Pendidikan Tinggi 69 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar 70 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Kurang

Sekolah Menengah Pertama 71 7 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 72 13 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 73 10 10-14 tahun Laki-laki Gizi Kurang

Sekolah Menengah Pertama 74 4 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Pendidikan Tinggi 75 4 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 76 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 77 9 5-9 tahun Perempuan Gizi Buruk

Sekolah Menengah Pertama 78 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 79 5 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 80 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 81 14 10-14 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar 82 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 83 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 84 15 15-19 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 85 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar 86 13 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 87 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar


(10)

88 3 0-4 tahun Perempuan Gizi Kurang Pendidikan Tinggi 89 8 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 90 5 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 91 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 92 4 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 93 10 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 94 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Kurang

Sekolah Menengah Atas 95 4 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 96 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 97 9 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 98 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar 99 5 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 100 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 101 14 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 102 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Kurang

Sekolah Menengah Atas 103 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 104 2 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 105 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 106 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Buruk

Sekolah Menengah Atas 107 6 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 108 13 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 109 7 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 110 9 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 111 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk Sekolah Dasar 112 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 113 12 10-14 tahun Laki-laki Gizi Kurang

Sekolah Menengah Atas 114 3 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 115 8 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 116 5 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 117 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Menengah


(11)

Atas 118 4 0-4 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar 119 7 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 120 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 121 4 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 122 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk

Sekolah Menengah Atas 123 9 5-9 tahun Perempuan Gizi Kurang

Sekolah Menengah Atas 124 3 0-4 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 125 5 5-9 tahun Perempuan Gizi Baik

Sekolah Menengah Pertama 126 12 10-14 tahun Perempuan Gizi Baik Sekolah Dasar 127 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Baik

Sekolah Menengah Atas 128 9 5-9 tahun Laki-laki Gizi Buruk

Sekolah Menengah Atas 129 2 0-4 tahun Laki-laki Gizi Baik Sekolah Dasar 130 6 5-9 tahun Laki-laki Gizi Kurang Sekolah Dasar


(12)

PEKERJAAN BAPA PEKERJAAN IBU

ETIOLOGI SINDROM NEFROTIK (SN)

Tidak Bekerja Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer Petani Lain-lain SN Idiopatik/Primer Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer TNI/POLRI Karyawan Swasta SN Sekunder Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Lain-lain SN Sekunder

Lain-lain Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Karyawan Swasta Petani SN Idiopatik/Primer

Petani Tidak Bekerja SN Sekunder Tidak Bekerja Petani SN Idiopatik/Primer

Petani Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Lain-lain SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Lain-lain Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Karyawan Swasta SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer

Petani Petani SN Sekunder

Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Petani SN Idiopatik/Primer Petani Lain-lain SN Idiopatik/Primer Lain-lain Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer TNI/POLRI Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Karyawan Swasta SN Idiopatik/Primer Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Lain-lain SN Idiopatik/Primer Lain-lain TNI/POLRI SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Petani SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tukang/Buruh SN Sekunder

Petani Petani SN Idiopatik/Primer Lain-lain Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer


(13)

Tukang/Butuh Karyawan Swasta SN Sekunder Tidak Bekerja Lain-lain SN Idiopatik/Primer

Petani Petani SN Idiopatik/Primer Lain-lain Lain-lain SN Idiopatik/Primer PNS/ABRI Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer

Petani Petani SN Sekunder

Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Lain-lain Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Karyawan Swasta SN Idiopatik/Primer Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Sekunder

Petani Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer TNI/POLRI Lain-lain SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Petani SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Karyawan Swasta Lain-lain SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Sekunder

Petani Petani SN Idiopatik/Primer Lain-lain Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer Petani Lain-lain SN Idiopatik/Primer Karyawan Swasta Petani SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Petani SN Idiopatik/Primer Petani Lain-lain SN Idiopatik/Primer Lain-lain Karyawan Swasta SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer PNS TNI/POLRI SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Karyawan Swasta Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Lain-lain SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer


(14)

Lain-lain Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Sekunder Karyawan Swasta Lain-lain SN Idiopatik/Primer

Petani Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer Lain-lain Lain-lain SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Petani SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Lain-lain Petani SN Idiopatik/Primer Petani Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Lain-lain SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Sekunder

Petani Petani SN Idiopatik/Primer Lain-lain Tukang/Buruh SN Idiopatik/Primer

Petani Tidak Bekerja SN Sekunder Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Karyawan Swasta Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Lain-lain SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Lain-lain Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Petani SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer

Petani Lain-lain SN Sekunder

Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer


(15)

Lain-lain Petani SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Lain-lain SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer

Petani Petani SN Sekunder

Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Petani Petani SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tidak Bekerja Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Lain-lain SN Idiopatik/Primer Petani Tidak Bekerja SN Idiopatik/Primer Tukang/Butuh Lain-lain SN Idiopatik/Primer


(16)

LAMPIRAN 7

HASIL ANALISA DATA

Analisa data berdasarkan kelompok umur :

Umur Pasien Berdasarkan Kelompok

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

0-4 tahun 37 28.5 28.5 28.5

5-9 tahun 57 43.8 43.8 72.3

10-14 tahun 33 25.4 25.4 97.7

15-19 tahun 3 2.3 2.3 100.0

Total 130 100.0 100.0

Analisa data berdasarkan jenis kelamin :

Jenis Kelamin Pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid

Laki-laki 74 56.9 56.9 56.9

Perempuan 56 43.1 43.1 100.0

Total 130 100.0 100.0

Analisa data berdasarkan status gizi :

Status Gizi Pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Gizi Buruk 12 9.2 9.2 9.2

Gizi Kurang 32 24.6 24.6 33.8

Gizi Baik 85 65.4 65.4 99.2

Gizi Lebih 1 .8 .8 100.0


(17)

Analisa data berdasarkan tingkat pendidikan orang tua :

Tingkat Pendidikan Orang Tua Pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Tidak Bersekolah 3 2.3 2.3 2.3

Sekolah Dasar 49 37.7 37.7 40.0

Sekolah Menengah

Pertama 33 25.4 25.4 65.4

Sekolah Menengah Atas 37 28.5 28.5 93.8

Pendidikan Tinggi 8 6.2 6.2 100.0

Total 130 100.0 100.0

Analisa data berdasarkan pekerjaan bapak :

Pekerjaan Bapak Pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Tidak Bekerja 17 13.1 13.1 13.1

Petani 48 36.9 36.9 50.0

Tukang/Butuh 32 24.6 24.6 74.6

PNS

TNI/POLRI

1 4

0.8 3.1

0.8 3.1

75.4 78.5

Karyawan Swasta 13 10.0 10.0 88.5

Lain-lain 15 11.5 11.5 100.0


(18)

Analisa data berdasarkan pekerjaan ibu :

Pekerjaan Ibu Pasien

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Tidak Bekerja 58 44.6 44.6 44.6

Petani 33 25.4 25.4 70.0

Tuknag/Buruh 11 8.5 8.5 78.5

PNS

TNI/POLRI

0 2

0 1.5

0 1.5

0 80.0

Karyawan Swasta 6 4.6 4.6 84.6

Lain-lain 20 15.4 15.4 100.0

Total 130 100.0 100.0

Analisa data berdasarkan etiologi sindrom nefrotik :

Etiologi Sindrom Nefrotik

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid

SN Idiopatik/Primer 116 89.2 89.2 89.2

SN Sekunder 14 10.8 10.8 100.0


(19)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, O.B., Boschi-Pinto, C., Lopez, A.D., Murray, C.J.L., Lozano, R., Inoue M., 2001. Age Standardization of Rates: a New WHO Standard (GPE Discussion Paper Series: No. 31), Geneva: World Health Organization Al Salloum, A.A., Muthanna, A., Bassrawi, R., Al Shehab, A.A., Al Ibrahim, A.,

Islam, M.Z., et al., 2012. Long-term Outcome of the Difficult Nephrotic Syndrome in Children. Saudi Journal Of Kidney Diseases And

Transplantation: An Official Publication Of The Saudi Center For Organ Transplantation, Saudi Arabia; 23(5): 965-972

Alfiler, C.A., Yap, H., Chiu, M., 2003. Pediatric Nephrology Around The World : Asia. In: Avner, E.D., Harmon, W.E., Niaudet, P., Pediatric Nephrology. 5th ed. USA: Springer, 1517-1524

Ali, U., Bagga, A., Banerjee, S., Kanitkar, M., Phadke, K.D., Senguttuvan, P., et al., 2008. Management of Steroid Sensitive Nephrotic Syndrome: Revised Guidelines.

Amir, A., 2008. Rekam Medis. Dalam: Hanafiah, M.J., Sp.Og(K), Amir, A.,

Sp.F(K). Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 62-71

Bagga, A., Mantan, M., 2005. Nephrotic Syndrome in Children. Indian J Med

Res, 122(1): 13-28

E. Pelayanan Pengobatan / Perawatan, 2004. Dalam: Definisi Operasional:

Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Timur. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 13-14

Eddy, A.A., Symons, J.M., 2003. Nephrotic syndrome in childhood. The Lancet, 362(1): 629-639


(20)

Gipson, D.S., Massengill, S.F., Yao, L., Nagaraj, S., Smoyer, W.E., Mahan, J.D., et al. 2009. Management of Childhood Onset Nephrotic Syndrome.

Pediatrics, 124(2): 747-757

Gulati, A., Bagga, A., Gulati, S., Mehta, K.P., Vijayakumar, M., 2009.

Management of Steroid Resistant Nephrotic Syndrome. Indian Pediatrics, 46(1): 35-47

Hodson, E.M., 2003. The Management of Idiopathic Nephrotic Syndrome in Children. Paediatric Drugs, 5(5): 335-349

Lane, J.C., MD, Langman, C.B., MD, Finberg, L., MD, Spitzer, A., MD, Windle,

M.L., PharmD, 2013. Pediatric Nephrotic Syndrome. Medscape

Reference : Drugs, Diseases & Procedures. Available from : May 2013]

Leung, A.K.C., MBBS, Wong, A.H.C., MD, 2010. Proteinuria in Children.

American Family Physician, 82(6): 645-651

Liapis, H., 2008. Molecular Pathology of Nephrotic Syndrome in Childhood: A Contemporary Approach to Diagnosis. Pediatric and Developmental

Pathology, 11(4): 254–263

MacHardy, N., Miles, P.V., Massengill, S.F., Smoyer, W.E., Mahan, J.D.,

Greenbaum, L., et al., 2009. Management patterns of childhood-onset nephrotic syndrome. Pediatric Nephrology, 24(11):2193–2201

Madani, A., Isfahani, S.T., Rahimzadeh, N., Fereshtehnejad, S.M., Hoseini, R., Moghtaderi, M., et al., 2010. Effect of Levamisole in Steroid-Dependent Nephrotic Syndrome. Iranian Journal of Kidney Diseases, 4(4): 292-296 Manrique-Rodríguez, S., Fernandez-Llamazares, C., Sanjurjo-Saez, M., 2010.


(21)

Pharmacotherapeutic Review and Update of Idiopathic Nephrotic Syndrome in Children. Pharmacy World & Science: PWS, 32(3): 314-321 Mubarak, M., Kazi, J., 2013. Study of nephrotic syndrome in children: Importance

of light, immunoflourescence and electron microscopic observations to a correct classification of glomerulopathies. Nefrologia, 33(2): 237-342 Nanjundaswamy, H., Phadke, K.D., 2002. Steroid Sensitive Nephrotic

Syndrome. Indian Journal Of Pediatrics, 69(12): 1059-1063

Noer, M.S., 2005. Predictors of Relapse in Steroid-Sensitive Nephrotic Syndrome.

Noer, M.S., 2011. Sindrom Nefrotik Idiopatik. Dalam: Noer, M.S., Soemyarso, N.A., Subandiyah, K., Prasetyo, R.V., Alatas, H., Tambunan, T., dkk,

Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta : Unit Kerja Koordinasi Nefrologi

IDAI, 72-88

Pais, P., Avner, E.D., 2011. Nephrotic Syndrome. In: Kliegman, R.M., MD,

Stanton, B.F., MD, Saint GemeIII, J.W., MD, Schor, N.F., MD PhD, Behrman, R.E., MD, ed. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. USA: Elsevier, 1801-1807

Rosita, I.R., Muryawan, M.H., 2012. Perbadaan Kualitas Hidup Anak dengan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid dan Sindrom Nefrotik Relaps. Medica

Hospitalia, 1(1): 42-46

Rothenberg, M.B., Heymann, W., 1957. The Incidence of the Nephrotic Syndrome in Children. Pediatrics, 19(3): 446-452

Pavel Geier, P., Juřenčák, R., Zapletalová, J., 2006. Treatment of the first episode of nephrotic syndrome in children. Pediatric Nephrology, 21(11): 1779– 1780


(22)

et al., 2012. Risk Factor for Relapse in Childhood Nephrotic Syndrome - A Hospital Based Retrospective Study. Faridpur Medical College Journal,

7(1): 18-22

Simatupang, D.F., Damanik, M.P., Sadjimin, T., 2007. Perbedaan Tingkat

Kualitas Hidup Anak dengan Sindrom Nefrotik Primer Kelainan Minimal Dan Bukan Kelainan Minimal di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Sari Pediatri, 9(3): 220-226

Timmreck, T.C., 2001. Ukuran Status Kesehatan dalam Epidemiologi : Morbiditas – Rate dan Rasio. Dalam: Timmreck, T.C., Epidemiologi Suatu Pengantar. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 126-161

Tune, B.M., Mendoza, S.A., 1997. Treatment of the Idiopathic Nephrotic

Syndrome: Regimens and Outcomes in Children and Adults. Journal of

the American Society of Nephrology, 8(5): 824-832

Wila Wirya IGN, 2002. Sindrom Nefrotik. Dalam: Alatas, H., Tambunan, T., Trihono, P.P., Pardede, S.O., ed. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 381-426


(23)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

GAMBAR 3.1 – Kerangka konsep insidensi sindrom nefrotik inisial pada

anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012.

3.2 Definisi Operasional

1. Insidensi adalah jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam suatu periode waktu dibandingkan dengan unit populasi tertentu dalam periode waktu tertentu (Timmreck, 2001).

2. Sindrom nefrotik adalah suatu manifestasi penyakit glomerular, ditandai dengan proteinuria berat hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia (Noer, 2011).

3. Sindrom nefrotik inisial adalah sindrom nefrotik yang pertama kali didapat.

4. Anak menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the

Child) adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun,

kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak yang - Usia

- Jenis Kelamin - Status Gizi

- Tingkat Pendidikan Orang Tua

- Pekerjaan Orang Tua - Etiologi

Sindrom nefrotik inisial pada anak yang dirawat inap dan dirawat jalan


(24)

ditentukan bahwa usia dewasa telah mencapai lebih awal, dan menurut UndangUndang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

5. Rawat inap menurut Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur (2004) adalah pelayanan pengobatan kepada penderita di suatu fasilitas pelayanan kesehatan yang oleh karena penyakitnya penderita harus menginap di fasilitas kesehatan tersebut.

6. Rawat jalan menurut Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur (2004) adalah pelayanan pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan dengan tidak harus menginap di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut baik didalam gedung dan diluar gedung.

7. Rekam medis adalah kumpulan keterangan tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan, dan catatan segala kegiatan para pelayan kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu (Amir, 2007)

8. Usia adalah lamanya hidup pasien sindrom nefrotik yang dihitung berdasarkan tahun sejak pasien lahir, sesuai yang tercatat pada rekam medis.

9. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien sindrom nefrotik sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

a. Laki-laki b. Perempuan

10. Status gizi adalah status gizi pasien sindrom nefrotik sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

a. Gizi buruk b. Gizi kurang c. Gizi baik d. Gizi lebih

11. Tingkat pendidikan orang tua adalah tingkat pendidkan orang tua pasien sindrom nefrotik sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:


(25)

a. Tidak bersekolah b. Sekolah Dasar (SD)

c. Sekolah Menengah Pertama (SMP) d. Sekolah Menengah Atas (SMA) e. Pendidikan Tinggi (PT)

12. Pekerjaan orang tua adalah pekerjaan orang tua pasien sindrom nefrotik sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

a. Tidak bekerja b. Petani

c. Tukang/Buruh d. PNS

e. TNI/POLRI f. Karyawan Swasta g. Lain-lain

13. Etiologi adalah penyebab sindrom nefrotik pada pasien sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas :

a. Sindrom nefrotik idiopatik/primer b. Sindrom nefrotik sekunder

c. Sindrom nefrotik kongenital

3.2.1 Cara Ukur

Semua variabel penelitian diukur dengan survei rekam medis.

3.2.2 Alat Ukur

Semua variabel penelitian diukur dengan menggunakan rekam medis.

3.2.3 Hasil Ukur

Untuk data kuantitatif diukur rata-rata dan untuk data kualitatif diukur persentase.


(26)

3.2.4 Skala Pengukuran

Skala nominal digunakan untuk mengukur jenis kelamin, pekerjaan orang tua, dan etiologi sindrom nefrotik. Skala ordinal digunakan untuk mengukur status gizi dan tingkat pendidikan orang tua. Skala rasio digunakan untuk mengukur umur.


(27)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat retrospective dimana akan dihitung insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah

cross-sectional study, dimana akan dilakukan pengumpulan data berdasarkan

rekam medis di RSUP. H. Adam Malik Medan.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai dari pengumpulan data dan pengerjaan proposal dari bulan April hingga Juni 2013 dan pengerjaan interpretasi hasil pengumpulan data dan penelitian mulai dari bulan Agustus hingga Desember 2013.

4.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan dengan pertimbangan yaitu tersedianya data pasien anak dengan sindrom nefrotik inisial dari tahun 2011 sampai 2012 dan belum pernah dilakukan penelitian tentang insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak yang dirawat inap dan dirawat jalan di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012.


(28)

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua data pasien anak dengan sindrom nefrotik inisial yang dirawat inap dan dirawat jalan di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian adalah data semua pasien anak dengan sindrom nefrotik inisial yang dirawat inap dan dirawat jalan di RSUP. H. Adam Malik Medan dari bulan Januari 2011 sampai Desember 2012. Teknik mengumpul sampel menggunakan teknik total sampling, dimana seluruh populasi digunakan sebagai sampel.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan berupa data sekunder yaitu rekam medis pasien anak dengan sindrom nefrotik inisial yang dirawat inap dan dirawat jalan dimana hal yang diperlukan dalam menghitung insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak dicatat dan diuraikan berdasarkan kebutuhan peneliti.

4.5 Metode Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan, dimasukkan ke dalam komputer kemudian dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan program di komputer. Data disajikan dalam bentuk narasi dan tabel.


(29)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, D.I. Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas ±10 ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 km. 12, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel

Berdasarkan data rekam medis, jumlah pasien sindrom nefrotik inisial yang berobat di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012 adalah sebanyak 130 kasus. Karakteristik yang akan dinilai adalah berdasarkan umur, jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan etiologi dari sindrom nefrotik. Selanjutnya barulah dihitung insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak.


(30)

5.1.2.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Gizi, Tingkat Pendidikan Orang Tua, dan Pekerjaan Orang Tua

Karakteristik sampel berdasarkan umur, jenis kelamin, stutus gizi, tingkat pendidikan orang tua, dan pekerjaan rang tua dapat dilihat pada Tabel 5.1. Karakteristik sampel berdasarkan umur telah disusun menjadi kelompok umur, sesuai dengan ketentuan internasional (WHO, 2001) dan karakteristik sampel berdasarkan status gizi telah disusun berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011.


(31)

Tabel 5.1 – Karakteristik Sampel Berdasarkan Kelompok Umur, Jenis Kelamin, Status Gizi, Tingkat Pendidikan Orang Tua, dan Pekerjaan Ibu dan Bapa

Variabel Frekuensi (%)

Kelompok Umur

0 - 4 tahun 37 (28.5)

5 - 9 tahun 57 (43.8)

10 - 14 tahun 33 (25.4)

15 - 19 tahun 3 (2.3)

Jenis Kelamin

Laki-laki 74 (56.9)

Perempuan 56 (43.1)

Status Gizi

Gizi buruk 12 (9.2)

Gizi kurang 32 (24.6)

Gizi baik 85 (65.4)

Gizi lebih 1 (0.8)

Tingkat Pendidikan Orang Tua

Tidak bersekolah 3 (2.3)

Sekolah Dasar (SD) 49 (37.7)

Sekolah Menengah Pertama (SMP) 33 (25.4) Sekolah Menengah Atas (SMA) 37 (28.5)

Pendidikan Tinggi (PT) 8 (6.2)

Pekerjaan Bapak

Tidak Bekerja 17 (13.1)

Petani 48 (36.9)

Tukang/Buruh 32 (24.6)

PNS 1 (0.8)

TNI/POLRI 4 (3.1)

Karyawan Swasta 13 (10.0)

Lain-lain 15 (11.5)

Pekerjaan Ibu

Tidak Bekerja 58 (44.6)

Petani 33 (25.4)

Tukang/Buruh 11 (8.5)

PNS 0 (0)

TNI/POLRI 2 (1.5)

Karyawan Swasta 6 (4.6)


(32)

Dari Tabel 5.1 diketahui bahwa kelompok umur 5 – 9 tahun mempunyai jumlah pasien yang terbanyak dengan 57 pasien (43.8%) dan yang paling sedikit pada kelompok umur 15 - 19 tahun dengan hanya 3 pasien (2.3%). Umur rata-rata adalah 7.36 dengan pasien termuda yang ditemuka n berumur 2 tahun, tertua berumur 15 tahun, dan lebih sering terjadi pada laki-laki (56.9%) dibandingkan perempuan (43.1%). Sindrom nefrotik juga sering terjadi pada pasien dengan status gizi baik (65.4%).

Pada penelitian ini, dijumpai tingkat pendidikan orang tua pasien paling banyak adalah sampai sekolah dasar (37.7%). Selain itu, kebanyakan bapak pasien bekerja sebagai petani (36.9%) dan kebanyakan ibu pasien tidak bekerja (44.6%).

5.1.2.2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Etiologi

Tabel 5.2 – Karakteristik Sampel Berdasarkan Etiologi

Etiologi Sindrom Nefrotik Frekuensi (%)

Idiopatik/Primer 116 (89.2)

Sekunder 14 (10.8)

Dari Tabel 5.2, didapati sindrom nefrotik idiopatik/primer (89.2%) lebih sering terjadi berbanding sindrom nefrotik sekunder (10.8%).

5.1.2.3 Insidensi Sindrom Nefrotik Inisial

Dari penelitian, total populasi pasien dengan sindrom nefrotik di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012 adalah sebanyak 130 pasien. Dari tahun 2011 sampai 2012, terdapat 2,241,380 kasus baru penyakit pada anak yang terdaftar di RSUP. H. Adam Malik Medan.


(33)

Tabel 5.3 – Insidensi Sindrom Nefrotik Inisial

Insidensi Frekuensi (%)

Sindrom Nefrotik Inisial 130 (5.8) Penyakit Lain 2,241,250 (94.2)

Dari Tabel 5.3, insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak adalah 5.8 kasus per 100.000 anak.

5.2 Pembahasan

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat retrospective dimana telah dihitung insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak. Penelitian ini dilakukan karena berdasarkan adanya kenyataan dari Alfiler dkk (2003) bahwa sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu penyakit ginjal yang paling sering dijumpai pada anak-anak. Karakteristik yang akan dinilai adalah berdasarkan umur, jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan orang tua, sosioekonomi keluarga, dan etiologi dari SN.

Pada penelitian ini, umur pasien dibagi mengikut kelompok umur sesuai standar internasional (WHO, 2001). Didapati bahwa kelompok umur 5 – 9 tahun mempunyai jumlah pasien yang terbanyak (43.8%), manakala kelompok umur 15 - 19 tahun mempunyai jumlah pasien paling sedikit (2.3%). Pada penelitian ini, umur rata-rata adalah 7.36 dengan pasien termuda yang ditemukan berumur 2 tahun, dan tertua berumur 15 tahun. Hasil yang diperoleh sejalan dengan penelitian yang dijalankan oleh Wila Wirya (2002) yang menyatakan bahwa SN di Indonesia terjadi pada anak kurang dari 14 tahun dengan timbulnya penyakit pada usia 18 bulan hingga 6 tahun.

Dari segi jenis kelamin, didapati pasien SN lebih sering terjadi pada anak laki-laki (56.9%) dibanding dengan anak perempuan (43.1%). Hasil ini sama dengan hasil penelitian yang dijalankan oleh Wila Wirya


(34)

(2002) yang menyatakan bahwa rasio antara laki-laki dan perempuan pada anak sekitar 2 : 1.

Selain itu, dijumpai SN lebih sering terjadi pada pasien dengan status gizi baik (65.4%) seiring dengan hasil penelitian yang dijalankan oleh Noer (2005) yang menjumpai anak dengan status gizi baik, yaitu sebanyak 64.7%, lebih sering terjadi SN dan SN relaps.

Tingkat pendidikan orang tua pasien juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya SN. Dijumpai orang tua pasien dengan tingkat pendidikan sampai tingkat sekolah dasar (37.7%) lebih sering dijumpai anaknya menderita SN. Sesuai dengan hasil penelitian Simatupang dkk (2007), yaitu sebanyak 53.5%, dan Rosita dkk (2012), yaitu sebanyak 34.3%, dijumpai tingkat pendidikan orang tua anak yang menderita SN sebagian besar adalah sampai tingkat sekolah dasar.

Pekerjaan orang tua juga dilihat sebagai salah satu faktor risiko terjadinya SN. Pada penelitian ini, pekerjaan bapka yang sering dijumpai adalah petani (36.9%) dan kebanyakan ibu pasien tidak bekerja (44.6%). Namun begitu, di dalam rekam medis tidak dinyatakan jumlah penghasilan keluarga. Oleh karena itu, keadaan sosioekonomi keluarga tidak ketahui dan tidak dapat dibandingkan dengan penelitian lainnya.

SN pada umumnya dapat dibagi menjadi idiopatik/primer dan sekunder berdasarkan etiologi. SN juga dapat dikaitkan dengan kelainan genetik yang disebut sebagai SN kongenital (hadir sejak lahir hingga usia 3 bulan). Pada penelitian ini hanya dijumpai SN idiopatik/primer dan SN sekunder. Didapati sebanyak 116 pasien (89.2%) menderita sindrom nefrotik idiopatik/primer, manakala sebanyak 14 pasien (10.8%) menderita sindrom nefrotik sekunder. Penyebab SN sekunder yang dijumpai adalah karena infeksi, gagal ginjal dan nefrolitiasis. Hasil ini sejalan dengan penelitian Wila Wirya (2002) yang menyatakan bahwa 90% anak menderita SN idiopatik/primer.


(35)

Dari penelitian, total pasien dengan sindrom nefrotik inisial di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari tahun 2011 sampai 2012 adalah sebanyak 130 pasien. Setelah dihitung, dijumpai insidensi pasien dengan sindrom nefrotik inisial adalah sebanyak 5.8 kasus per 100.000 anak. Berdasarkan penelitian Rothenberg (1957), rata-rata kasus sindrom nefrotik inisial setiap tahun adalah 10.8 dengan jumlah kasus baru SN 6.9 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur 0 – 9 tahun.


(36)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Insidensi sindrom nefrotik inisial di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012 adalah rendah, yaitu sebanyak 5.8 kasus per 100.000 anak.

2. Umur paling banyak adalah pada kelompok umur 5 - 9 tahun. 3. Jenis kelamin paling banyak adalah jenis kelamin laki-laki. 4. Status gizi paling banyak adalah dengan status gizi baik.

5. Tingkat pendidikan orang tua paling banyak adalah orang tuanya yang tingkat pendidikannya sampai sekolah dasar.

6. Pekerjaan bapa paling banyak adalah petani dan kebanyakan ibu tidak bekerja.

7. Sindrom nefrotik idiopatik/primer lebih sering terjadi berbanding sindrom nefrotik sekunder.

6.2 Saran

Adapun saran pada penelitian ini, yaitu :

1. Bagi Bagian Rekam Medis RSUP. H. Adam Malik Medan diharap dapat menyimpan informasi pasien seperti rekam medis dengan lebih baik.

2. Pada dokter yang menulis informasi pada rekam medis diharap dapat mencatat dengan lengkap dan teratur segala informasi yang penting sehingga dapat digunakan untuk penelitian yang akan datang.


(37)

3. Pada peneliti selanjutnya diharap dapat melakukan penelitian mengenai faktor lain yang dapat meningkatkan insidensi sindrom nefrotik di RSUP. H. Adam Malik Medan.


(38)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom nefrotik, suatu manifestasi penyakit glomerular, ditandai dengan proteinuria berat (ekskresi protein ≥ 40 mg/m2LPB/jam, atau rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg, atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia (Pais, Avner, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik, antara lain (Noer, 2011, Bagga, Mantan, 2005, Nanjundaswamy, Phadke, 2002):

1. Remisi : Proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.

2. Relaps : Proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.

3. Relaps jarang : Relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan. 4. Relaps sering : Relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah

respon awal, atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun.

5. Sensitif steroid : Remisi tercapai dalam 4 minggu atau kurang setelah pengobatan steroid dosis penuh (full dose).

6. Dependen steroid : Relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan, atau dalam waktu 14 hari setelah pengobatan steroid dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.

7. Resisten steroid : tidak terjadi remisi setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh (full dose).


(39)

2.2 Etiologi

Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik memiliki bentuk sindrom nefrotik primer atau idiopatik (Tabel 2.1). Lesi glomerulus yang berhubungan dengan sindrom nefrotik idiopatik termasuk penyakit kelainan minimal (yang paling umum), glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membranoproliferatif, nefropati membranosa dan proliferasi mesangial difus. Etiologi-etiologi ini memiliki distribusi usia yang berbeda (Gambar 2.1) (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik juga mungkin sekunder terhadap penyakit sistemik seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schönlein, keganasan (limfoma dan leukemia), dan infeksi (hepatitis, HIV, dan malaria) (Tabel 2.1) (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik juga bisa disebabkan oleh kelainan genetik. Sindrom nefrotik kongenital (hadir sejak lahir hingga usia 3 bulan) telah dikaitkan dengan kelainan pada gen nephrin (NPHS1), fosfolipase C epsilon 1 gen (PLCE1), dan gen supresor tumor Wilms.Selain itu, sindrom genetik lainnya telah dikaitkan dengan sindrom nefrotik, seperti sindrom Nail-patella, sindrom Pierson, Schimke immuno-osseus displasia, dan lain-lain (Lane, 2013).


(40)

Tabel 2.1 – Penyebab Sindrom Nefrotik Pada Anak

KELAINAN GENETIK

Sindrom Nefrotik (Tipikal) :

Sindrom nefrotik congenital tipe Finnish (Kehilangan nephrin)

Glomerulosklerosis fokal segmental (mutasi pada podocin, α-actinin 4, TRPC6)

Sklerosis mesangial difus (mutasi pada rantai laminin β2)

Sindrom Denys-Drash (mutasi pada factor transkripsi WT1)

Proteinuria Dengan atau Tanpa Sindrom Nefrotik :

Sindrom Nail-patella (mutasi pada factor transkripsi LMX1B)

Sindrom Alport (mutasi pada gen biosintesis kolagen)

Sindrom Multisistem Dengan atau Tanpa Sindrom Nefrotik :

Sindrom Galloway-Mowat

Penyakit Charcot-Marie-Tooth

Sindrom Jeune

Sindrom Cockayne

Sindrom Laurence-Moon-Biedl-Bardet

Gangguan Metabolik Dengan atau Tanpa Sindrom Nefrotik :

Sindrom Alagille

Defisiensi α1 Antitrypsin

Penyakit Fabry

Acidemia glutarat

Penyakit penyimpanan glikogen

Sindrom Hurler

Gangguan Lipoprotein

Sitopati mitokondria

Penyakit sel sabit (Sickle cell disease)

SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK

Penyakit kelainan minimal

Glomerulosklerosis fokal segmental

Nefropati membranosa

PENYEBAB SEKUNDER

Infeksi :

Hepatitis B, C

HIV-1 Malaria Sifilis Toksoplasmosis Obat-obatan : Penicillamine Emas

Obat anti-inflamasi nonsteroidal

Pamidronate

Interferon

Mercury

Heroin

Lithium

Gangguan Imun atau Alergi :

Penyakit Castleman

Penyakit Kimura

Sengatan lebah

Alergi makanan

Terkait Dengan Penyakit Malignan :

Limfoma

Leukemia

Hiperfiltrasi Glomerulus :

Oligomeganephronia

Obesitas morbid


(41)

Gambar 2.1 - Hasil biopsi ginjal dari 223 anak-anak dengan proteinuria

dirujuk untuk biopsi ginjal diagnostik (Glomerular Disease Collaborative

Network, J. Charles Jennette, MD, Hyunsook Chin, MS, and D.S. Gipson,

2007). n, jumlah pasien, C1Q, nefropati, FSGS, glomerulosklerosis fokal segmental, MCNS, sindrom nefrotik kelainan minimal; MPGN, glomerulonefritis membranoproliferative.

2.3 Patofisiologi

Kelainan yang mendasari sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus, yang meyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan ekstensif proses kaki podocyte (ciri khas sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran penting untuk podocyte. Sindrom nefrotik idiopatik adalah berhubungan dengan gangguan yang kompleks dalam sistem kekebalan/imun tubuh, terutama imunitas diperantarai sel T (T cell–

mediated immunity). Pada glomerulosklerosis fokal segmental, suatu

faktor plasma, yang mungkin dihasilkan oleh subset limfosit aktif, mungkin bertanggung jawab untuk peningkatan permeabilitas dinding kapiler. Atau, mutasi pada protein podocyte (podocin, α-actinin 4) dan

MYH9 (gen podocyte) dapat berhubungan dengan glomerulosklerosis fokal segmental. Sindrom nefrotik resisten steroid (steroid-resistant

nephrotic syndrome) dapat dikaitkan dengan mutasi pada NPHS2

(podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari proses filtrasi glomerulus, seperti pori celah (slit pore), dan termasuk nephrin, NEPH1, dan protein yang terkait dengan CD-2 (Pais, Avner, 2011).


(42)

Untuk mekanisme pembentukan edema pada sindrom nefrotik, hilangnya protein urin masif menyebabkan hipoalbuminemia, yang menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma dan transudasi cairan dari kompartemen intravaskular ke ruang interstisial. Penurunan volume intravaskular menurunkan tekanan perfusi ginjal, yang mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangsang reabsorpsi natrium di tubular. Penurunan volume intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antidiuretik, yang meningkatkan reabsorpsi air dalam collecting

duct (Pais, Avner, 2011).

Teori ini tidak berlaku untuk semua pasien dengan sindrom nefrotik karena beberapa pasien sebenarnya ada peningkatan volume intravaskular dengan kadar renin dan aldosteron plasma berkurang. Oleh karena itu, faktor-faktor lain, termasuk aviditas ginjal primer (primary

renal avidity) untuk natrium dan air, mungkin terlibat dalam pembentukan

edema pada beberapa pasien dengan sindrom nefrotik (Pais, Avner, 2011). Dalam keadaan nefrotik, tingkat lipid dalam darah/serum (kolesterol, trigliserida) yang meningkat adalah disebabkan dua alasan. Hipoalbuminemia merangsang sintesis protein hepatik umum, termasuk sintesis lipoprotein. Ini juga mengapa sejumlah faktor koagulasi meningkat, lalu meningkatkan risiko trombosis. Selain itu, katabolisme lipid berkurang akibat dari pengurangan kadar lipoprotein lipase plasma yang berkaitan dengan peningkatan kehilangan enzim ini ini melalui urin (Pais, Avner, 2011).

Pasien dengan sindrom nefrotik berada ada peningkatan risiko infeksi (sepsis, peritonitis, pielonefritis), terutama dengan organisme berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza. Beberapa alasan untuk hal ini termasuk hilangnya faktor komplemen C3b, opsonins seperti properdin faktor B, dan imunoglobulin dalam urin. Faktor


(43)

risiko tambahan adalah penggunaan obat imunosupresif untuk mengobati sindrom nefrotik (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik adalah keadaan hiperkoagulasi yang disebabkan beberapa faktor yaitu stasis vaskular, peningkatan produksi hepatik fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya, penurunan kadar faktor antikoagulan serum, peningkatan produksi trombosit plasma (sebagai reaktan fase akut), dan peningkatan agregasi platelet. Koagulopati dimanifestasi dengan kejadian tromboemboli (Pais, Avner, 2011).

2.4 Sindrom Nefrotik Idiopatik/Primer

Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik/primer. Sindrom nefrotik idiopatik berhubungan dengan penyakit glomerulus primer tanpa bukt i adanya penyebab penyakit sistemik tertentu. Sindrom nefrotik idiopatik mempunyai beberapa tipe secara histologis: penyakit kelainan minimal, proliferasi mesangial, glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa, dan glomerulonefritis membranoproliferatif (Pais, Avner, 2011).

2.4.1 Manifestasi Klinis

Sindrom nefrotik idiopatik lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan (2: 1) dan paling sering muncul antara usia 2 dan 6 tahun (lihat Gambar 2.1). Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) terjadi pada 85% hingga 90% pasien dibawah usia 6 tahun. Sebaliknya, hanya 20% hingga 30% dari remaja yang tampil untuk pertama kalinya dengan sindrom nefrotik memiliki SNKM. Penyebab yang lebih umum dari sindrom nefrotik idiopatik pada kelompok usia yang lebih tua adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Insidensi GSFS dapat meningkat, mungkin lebih umum pada pasien Afrika-Amerika, Hispanik, dan Asia (Pais, Avner, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).


(44)

Anak-anak biasanya tampil dengan edema ringan, yang awalnya terdapat di sekitar mata dan di ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik awalnya dapat disalah diagnosis sebagai gangguan alergi karena adanya pembengkakan periorbital yang menurun sepanjang hari. Dengan waktu, edema menjadi generalisasi, dengan adanya perkembangan asites, efusi pleura, dan edema genital. Anoreksia, iritabilitas, nyeri abdomen, dan diare adalah gejala umum. Fitur penting dari sindrom nefrotik idiopatik kelainan minimal adalah ketiadaan hipertensi dan gross hematuria (sebelumnya disebut fitur nephritik) (Pais, Avner, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

Diagnosis differensial anak yang ditandai dengan edema mencakup enteropati kehilangan protein, gagal hati, gagal jantung, glomerulonefritis akut atau kronis, dan malnutrisi protein. Diagnosis selain SNKM harus dipertimbangkan pada anak dibawah usia 1 tahun, riwayat keluarga positif sindrom nefrotik, adanya temuan ekstrarenal (misalnya, artritis, ruam, anemia), hipertensi atau edema paru, insufisiensi ginjal akut atau kronis, dan gross hematuria (Pais, Avner, 2011).

2.4.2 Pemeriksaan Penunjang

Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk menetapkan apakah adanya sindrom nefrotik, karena hipoalbuminemia dapat terjadi tanpa adanya proteinuria (seperti pada enteropati kehilangan protein), dan edema dapat terjadi tanpa adanya hipoalbuminemia (misalnya, pada angioedema, kebocoran kapiler, insufisiensi vena, gagal jantung kongestif) (Lane, 2013).

Dalam rangka menetapkan adanya sindrom nefrotik, tes laboratorium harus mengkonfirmasi (1) proteinuria nefrotik, (2) hipoalbuminemia, dan (3) hiperlipidemia (Lane, 2013, Nanjundaswamy, Phadke, 2002). Oleh karena itu, pengujian laboratorium awal harus mencakup sebagai berikut:


(45)

1. Protein urin - Dengan ekskresi protein ≥ 40 mg/m2LPB/jam atau > 50 mg/kgBB/24 jam, atau rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg, atau dipstick ≥ 2+

2. Albumin serum - Kurang dari 2,5 g/dL

3. Panel lipid - Peningkatan kolesterol total, kolesterol low-density

lipoprotein (LDL), peningkatan trigliserida dengan hipoalbuminemia

berat, kolesterol high-density lipoprotein (HDL) (normal atau rendah) Setelah menentukan adanya sindrom nefrotik, tugas selanjutnya adalah untuk menentukan apakah sindrom nefrotik primer (idiopatik) atau sekunder terhadap gangguan sistemik dan, jika sindrom nefrotik idiopatik (SNI) telah ditentukan, apakah ada tanda-tanda penyakit ginjal kronis , insufisiensi ginjal, atau tanda-tanda yang dapat mengecualikan kemungkinan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (Lane, 2013, Nanjundaswamy, Phadke, 2002). Oleh karena itu, di samping tes di atas, berikut ini harus dimasukkan dalam hasil pemeriksaan:

1. Jumlah sel darah lengkap (Complete Blood Count (CBC)) – Peningkatan hemoglobin dan hematokrit, jumlah trombosit meningkat 2. Panel metabolik - Elektrolit serum rendah, BUN dan kreatinin tinggi,

kalsium rendah, fosfor, dan kadar kalsium terionisasi normal

3. Pengujian untuk HIV, hepatitis B dan C - Pertimbangkan pemeriksaan enzim hati, seperti alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST), ketika skrining untuk penyakit hati.

4. Studi komplemen (C3, C4) – Kadar rendah

5. Antibodi antinuklear (ANA), antibodi anti–double-stranded DNA (pada pasien yang dipilih)

Pada pasien dengan SNI dapat terjadi kehilangan protein yang mengikat vitamin D, yang dapat mengakibatkan tingkat vitamin D rendah, dan globulin yang mengikat tiroid, yang dapat mengakibatkan kadar hormon tiroid yang rendah. Pertimbangan harus diberikan, terutama pada


(46)

anak yang sering kambuh atau sindrom nefrotik resisten steroid, untuk melakukan pengujian untuk 25-OH-vitamin D, 1,25-di (OH)-vitamin D, T4 bebas, dan thyroid-stimulating hormone (TSH) (Lane, 2013).

Tes dan prosedur lain pada pasien tertentu mungkin termasuk yang berikut:

1. Studi genetik - Mutasi NPHS1, NPHS2, WT1, dan LAMB2

2. Ultrasonografi ginjal - Ginjal biasanya membesar karena edema jaringan

3. Radiografi dada - Radiografi dada diindikasi pada anak dengan gangguan pernapasan. Efusi pleura adalah umum, namun edema paru jarang terjadi

4. Uji Mantoux - Harus dilakukan sebelum pengobatan steroid untuk menyingkirkan infeksi TB.

5. Biopsi ginjal - Biopsi ginjal juga harus dilakukan apabila hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, atau laboratorium menunjukkan sindrom nefrotik sekunder atau sindrom nefrotik primer selain SNKM

Umur memainkan peran penting dalam evaluasi diagnostik sindrom nefrotik. Anak-anak yang mengalami sindrom nefrotik dibawah usia 1 tahun harus dievaluasi untuk sindrom nefrotik kongenital (Lane, 2013). Selain tes di atas, bayi harus dilakukan tes berikut:

1. Infeksi kongenital (sifilis, rubella, toksoplasmosis, sitomegalovirus, HIV)

2. Biopsi ginjal

3. Tes genetik untuk mutasi NPHS1, NPHS2, WT1, dan LAMB2 sebagaimana dibimbing berdasarkan temuan biopsi dan presentasi klinis

Kadang-kadang, pasien dengan sindrom nefrotik juga menunjukkan atau membentuk tanda-tanda klinis dari abdomen akut, yang sering karena peritonitis. Diagnosis biasanya dapat dibuat secara klinis dan


(47)

dikonfirmasi dengan pemeriksaan bakteriologis dari aspirasi cairan peritoneal. Organisme yang paling sering dijumpai pada peritonitis adalah

Streptococcus pneumoniae, namun bakteri enterik usus juga dapat

menyebabkan peritonitis. Penatalaksanaan adalah secara medis daripada bedah (Lane, 2013).

2.4.3 Histopatologi

Klasifikasi kelainan histopatologis glomerulus pada sindrom nefrotik yang digunakan sesuai dengan rekomendasi Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop electron dan imunofluoresensi. Pada Tabel 2.2, dipakai istilah/terminologi yang sesuai dengan laporan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) (1970) dan Habib dan Kleinknecth (1971) (Wirya, 2002, Bagga, Mantan, 2005, Mubarak, Kazi, 2013).

Tabel 2.2 – Klasifikasi Kelainan Glomerulus Pada Sindrom Nefrotik Primer

Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS)

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif Glomerulonefritis kresentik (GNK)

Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotelial GNMP tipe II dengan deposit intramembran

GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial Glomerulopati membranosa (GM)


(48)

2.4.4 Diagnosa Differensial

Diagnosa differensial dari sindrom nefrotik adalah (Leung, Wong, 2010): 1. Glomerulonefritis poststreptococcal

2. Sindrom Alport

3. Henoch-Schönlein purpura

4. Systemic lupus erythematosus (SLE)

5. Diabetes mellitus

6. Sindrom nefrotik congenital

7. Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) 8. Glomeruloskleresis fokal segmental (GSFS)

9. Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) 10. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)

11. Glomerulopati membranosa (GM) 12. Keganasan (malignancy)

13. Acute tubular necrosis

14. Acute tubulointerstitial nephritis

15. Polycystic kidney disease

16. Proximal renal tubular acidosis

17. Pyelonephritis

18. Toksin

2.4.5 Penatalaksanaan

Pada sindrom nefrotik pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis isoniazid (INH) bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps hanya dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi


(49)

muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002)

2.4.5.1 Dietetik

Diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (recommended

daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari dengan kalori yang

adekuat.

• Lemak dapat diberikan dengan jumlah yang tidak melebihi 30% jumlah total kalori keseluruhan, lebih dianjurkan memberikan karbohidrat kompleks daripada gula sederhana.

• Restriksi garam dan cairan tidak diperlukan pada sebagian besar kasus sindrom nefrotik sensitif steroid.

• Diet rendah garam (1-2 g/hari atau 2 mmol/kg/hari) plus menghindari makanan ringan yang asin, dianjurkan selama anak mengalami edema atau hipertensi (Noer, 2011, Gipson, et al., 2009, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

2.4.5.2 Edema/Sembab

• Sebagian pasien dengan sembab ringan tidak memerlukan diuretik.

• Pasien dengan sembab nyata tanpa deplesi volume intravaskular diberikan furosemid 1-3 mg/kgBB/hari 2 kali sehari. Bila tidak ada respons, dosis dinaikkan sampai 4-6 mg/kgBB/hari bersama dengan spironolakton (antagonis aldosteron) 2-3 mg/kg/hari, sebagai potassium-sparing agent (diuretik hemat kalium). Bila dengan terapi tersebut masih gagal, dapat ditambahkan thiazide (hidroklorotiazid). Kadang-kadang perlu diberikan furosemid bolus intravena atau infus.


(50)

Intake air tidak perlu direstriksi, kecuali pada pasien dengan

sembab hebat. Pada keadaan tersebut, intake cairan dibatasi sesuai dengan insensible loss plus jumlah urin sehari sebelumnya.

• Terapi diuretik kadang-kadang tidak efektif bahkan dapat membahayakan pasien yang mengalami hipoalbuminemia (albumin serum < 1,5 g/dL) plus deplesi volume intravascular. Pemberian infuse albumin 20% (kadang-kadang diperlukan beberapa kali infus) dengan furosemid dapat memacu diuresis dan mengurangi sembab.

• Bila pemberian diuretik tidak berhasil mengurangi edema (edema refrakter), biasanya disebabkan oleh hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin ≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20 hingga 25% dengan dosis 1 g/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstitial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intarvena 1-2 mg/kgBB.

• Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20 ml/kgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung.

• Bila diperlukan, albumin atau plasma dapat diberikan selang sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran cairan dan mencegah

overload cairan (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002). 2.4.5.3 Pengobatan Inisial Sindrom Nefrotik

Prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2LPB/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi 3 dosis diberikan setiap hari selama 4 minggu, dilanjutkan dengan prednisone dosis 40 mg/m2LPB/hari (2/3 dosis penuh), dapat diberikan secara

intermitent (3 hari berturut-turut dalam 1 minggu) atau alternating


(51)

• Bila remisi terjadi dalam 4 minggu pertama, maka prednisone

intermittent/alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari diberikan selama 4 minggu.

• Bila remisi tidak terjadi pada 4 minggu pertama, maka pasien tersebut didiagnosis sebagai sindrom nefrotik resisten steroid (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

2.4.5.4 Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps

• Prednison dosis penuh setiap hari (dosis tunggal atau terbagi) sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent/alternating (dosis tunggal pada pagi hari) dosis 40 mg/m2LPB/hari selama 4 minggu.

• Bila sampai pengobatan dosis penuh selama 4 minggu tidak juga terjadi remisi, maka pasien didiagnosis sebagai sindrom nefrotik resisten steroid dan harus diberikan terapi imunosupresif lain (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

2.4.5.5 Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering atau Dependen Steroid

• Prednison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison

intermittent/alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari diturunkan

perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6 hingga 12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.

• Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB

alternating, tetapi < 1,0 mg/kgBB alternating tanpa efek samping

yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol dosis 2,5 mg/kgBB dosis tunggal selang sahari, selama 4 hingga 12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA). Diberikan


(52)

CPA dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 8 hingga 12 minggu (Madani, et al., 2010).

• Pada sindrom nefrotik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik (siklofosfamid (CPA)) dianjurkan pemberian siklosporin (suatu inhibitor calcineurin) dengan dosis 5-6 mg/kgBB/hari (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

2.4.5.6 Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid

• Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien sindrom nefrotik resisten steroid sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis (Noer, 2011, Gipson, et al., 2009).

• Sitostatik oral : siklofosfamid (CPA) 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan.

• Prednison dosis 40 mg/m2LPB/hari alternating selama pemberian siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

• Atau, siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan, dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien.

Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan) (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).


(53)

2.4.5.7 Pemberian Non Imunosupresif untuk Mengurangi Proteinuria

• Pada pasien sindrom nefrotik yang telah resisten terhadap obat kortikosteroid, sitostatik, dan siklosporin (atau tidak mampu membeli obat ini), dapat diberikan diuretik (bila ada edema) dikombinasikan dengan inhibitor ACE (angiotensin converting

enzyme) untuk mengurangi proteinuria.

• Jenis obat ini yang biasa dipakai adalah kaptopril 0,3 mg/kgBB, 3 kali sehari, atau enalapril 0,5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.

• Tujuan pemberian inhibitor ACE juga untuk menghambat terjadinya gagal ginjal terminal (renoprotektif), dapat dikombinasikan dengan golongan anti reseptor bloker (ARB) misalnya losaktan 0,75 mg/kgBB dosis tunggal (Noer, 2011, Nanjundaswamy, Phadke, 2002).

2.4.6 Komplikasi

Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik. Anak-anak yang kambuh telah terjadi peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri karena kehilangan imunoglobulin dan faktor B properdin dari urin, cacat imunitas cell-mediated, terapi imunosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites bertindak sebagai medium kultur potensial. Peritonitis bakterial spontan adalah infeksi umum, namun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kemih juga dapat dilihat. Meskipun Streptococcus

pneumonia adalah organisme yang paling umum yang menyebabkan

peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli juga dapat ditemui. Keluarga pasien harus diberi konseling untuk mencari bantuan medis jika anak tampak sakit, mengalami demam, atau mengeluh sakit abdomen terus-menerus. Apabila terjadi kecurigaan yang tinggi untuk bacterial peritonitis, evaluasi cepat (termasuk kultur darah dan cairan peritoneal), dan inisiasi awal terapi antibiotik sangat penting (Al Salloum, et al., 2012, Pais, Avner, 2011, Bagga, Mantan, 2005).


(54)

Anak-anak dengan sindrom nefrotik harus menerima vaksin pneumokokus serotype-23 (selain vaksin pneumokokus konjugat 7-valent), diberikan sesuai dengan jadwal imunisasi rutin, idealnya diberikan ketika anak berada dalam fase remisi dan terapi selang sehari. Vaksin virus hidup tidak boleh diberikan kepada anak-anak yang menerima steroid dosis tinggi harian atau selang sehari (≥ 2 mg/kg/ hari prednison atau yang setara, atau ≥20 mg/hari jika anak memiliki berat >10kg). Vaksin dapat diberikan setelah terapi kortikosteroid telah dihentikan selama sekurangnya 1 bulan. Anak dengan nefrotik nonimmune yang kambuh, jika terkena varicella, harus menerima immunoglobulin varicella-zoster (1 dosis ≤ 96 jam setelah eksposur yang signifikan). Vaksin influenza harus diberikan secara tahunan (Al Salloum, et al., 2012, Pais, Avner, 2011, Bagga, Mantan, 2005).

Anak-anak dengan sindrom nefrotik juga mengalami peningkatan risiko kejadian tromboemboli. Insidensi komplikasi ini pada anak-anak adalah 2% hingga 5%, yang merupakan risiko yang jauh lebih rendah dibandingkan orang dewasa dengan sindrom nefrotik. Trombosis baik arteri dan vena dapat dilihat, termasuk trombosis vena ginjal, emboli paru, trombosis sinus sagital, dan trombosis kateter arteri dan vena. Risiko trombosis terkait dengan peningkatan faktor prothrombotik (fibrinogen, trombositosis, hemokonsentrasi, imobilisasi relatif) dan penurunan faktor fibrinolitik (kehilangan antitrombin III, protein C dan S urin). Antikoagulan profilaksis tidak dianjurkan pada anak-anak kecuali sebelumnya pernah ada riwayat tromboemboli. Untuk meminimalkan risiko komplikasi tromboemboli, penggunaan agresif obat diuretik dan penggunaan kateter indwelling harus dihindari jika mungkin. Hiperlipidemia, terutama pada pasien dengan sindrom nefrotik yang rumit, dapat menjadi faktor risiko penyakit jantung; infark miokard merupakan komplikasi yang jarang pada anak-anak. Telah dikemukakan bahwa obat penghambat 3-hydroxy-3-methylglutaryl koenzim A (HMG-CoA) reductase


(55)

harus digunakan untuk mengobati hiperlipidemia yang terlihat pada sindrom nefrotik persisten, namun data terkontrol mengenai risiko atau manfaatnya tidak tersedia (Al Salloum, et al., 2012, Pais, Avner, 2011).

2.4.7 Prognosis

Meskipun tidak ada cara yang terbukti untuk memprediksi perjalanan penyakit anak secara individu, anak-anak yang member respon dengan cepat terhadap steroid dan mereka yang tidak kambuh semula selama 6 bulan pertama setelah diagnosis cenderung jarang kambuh sindrom nefrotiknya. Untuk meminimalkan efek psikologis dari kondisi dan terapinya, anak-anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tidak boleh dianggap sakit kronis dan boleh berpartisipasi dalam semua kegiatan anak sesuai dengan usia dan mempertahankan diet yang tak terbatas ketika dalam fase remisi (Pais, Avner, 2011, Al Salloum, et al., 2012).

Anak-anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid, paling sering disebabkan oleh GSFS, umumnya memiliki prognosis yang jauh lebih buruk. Anak-anak dapat terjadi insufisiensi ginjal progresif, akhirnya mengarah ke stadium akhir penyakit ginjal yang memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal. Sindrom nefrotik berulang/rekuren terjadi pada 30% hingga 50% dari penerima transplantasi dengan GSFS (Pais, Avner, 2011, Al Salloum, et al., 2012).

2.5 Sindrom Nefrotik Sekunder

Sindrom nefrotik dapat terjadi sebagai karakteristik sekunder dari penyakit glomerulus. Nefropati membranosa, glomerulonefritis membranoproliferatif, glomerulonefritis pascainfektsi, nefritis lupus, dan nefritis Henoch-Schönlein purpura semua dapat memiliki komponen nefrotik (lihat Tabel 2.1). Sindrom nefrotik sekunder harus dicurigai pada pasien diatas usia 8 tahun dan mereka dengan hipertensi, hematuria,


(56)

disfungsi ginjal, gejala ekstrarenal (ruam, arthralgia, demam), atau penurunan tingkat komplemen serum (Pais, Avner, 2011).

Di daerah tertentu di dunia, malaria dan schistosomiasis adalah penyebab utama dari sindrom nefrotik. Agen infeksi lainnya yang terkait dengan sindrom nefrotik termasuk virus hepatitis B, virus hepatitis C, filaria, kusta, dan HIV (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik telah dikaitkan dengan malignansi, khususnya pada populasi orang dewasa. Pada pasien dengan tumor padat, seperti karsinoma pada paru-paru dan saluran pencernaan, patologi ginjal sering menyerupai glomerulopati membranosa. Kompleks imun terdiri dari antigen tumor dan antibodi spesifik tumor mungkin memediasi keterlibatan ginjal. Pada pasien dengan limfoma, terutama limfoma Hodgkin, patologi ginjal paling sering menyerupai sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM). Mekanismenya adalah bahwa limfoma menghasilkan limfokin yang meningkatkan permeabilitas dinding kapiler glomerulus. Sindrom nefrotik dapat terjadi sebelum atau setelah keganasan terdeteksi, setelah regresi tumor, dan kembali jika tumor berulang (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik juga dapat terjadi selama terapi dengan berbagai obat-obatan dan bahan kimia. Gambaran histologis dapat menyerupai glomerulopati membranosa (penisilamin, kaptopril, anti-inflamasi nonsteroid, senyawa merkuri), SNKM (probenesid, ethosuximide, methimazole, lithium), atau glomerulonefritis proliferatif (procainamide, chlorpropamide, phenytoin, trimethadione, paramethadione) (Pais, Avner, 2011).

2.6 Sindrom Nefrotik Kongenital

Sindrom nefrotik memiliki prognosis yang buruk apabila terjadi dalam 1 tahun kehidupan, bila dibandingkan dengan sindrom nefrotik yang terjadi


(57)

pada masa kanak-kanak. Sindrom nefrotik kongenital didefinisikan sebagai sindrom nefrotik yang hadir pada saat lahir atau dalam 3 bulan kehidupan. Sindrom nefrotik kongenital dapat diklasifikasikan sebagai primer atau sebagai sekunder untuk beberapa etiologi seperti infeksi di rahim (sitomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis, hepatitis B dan C, HIV), lupus eritematosus sistemik infantil, atau paparan merkuri (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik kongenital primer adalah disebabkan berbagai sindrom yang diwariskan sebagai gangguan resesif autosomal. Sejumlah kelainan struktural dan fungsional dari barrier filtrasi glomerulus menyebabkan sindrom nefrotik kongenital yang telah dijelaskan. Barrier filtrasi glomerulus, baik ukuran dan muatan selektif, terdiri dari 3 lapisan: endotelium fenestrated, membran basal glomerulus, dan podocyte foot

processes. Podosit saling berhubungan dengan menjembatani struktur,

celah diafragma, yang bertindak sebagai filter ukuran, sedangkan membran basal glomerulus membatasi molekul berdasarkan muatan ion mereka (Pais, Avner, 2011).

Dalam studi kohort di Eropa menunjukkan anak-anak dengan sindrom nefrotik kongenital, 85% menunjukkan penyakit, menyebabkan mutasi di 4 gen (NPHS1, NPHS2, WT1, dan LAMB2), 3 yang pertama yang mengkode komponen penghalang filtrasi glomerulus. Sindrom nefrotik kongenital tipe Finnish disebabkan oleh mutasi pada gen NPHS1 atau NPHS2, yang mengkode nephrin dan podocin, komponen-komponen penting dari celah diafragma. Bayi yang terkena paling sering terlihat saat lahir dengan edema akibat proteinuria masif, dan mereka biasanya dilahirkan dengan plasenta membesar (> 25% dari berat bayi). Hipoalbuminemia berat, hiperlipidemia, dan hypogammaglobulinemia adalah hasil dari hilangnya penyaringan selektivitas pada penghalang filtrasi glomerulus. Diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan adanya


(58)

Sindrom Denys-Drash disebabkan oleh mutasi pada gen WT1, yang menghasilkan fungsi podosit abnormal. Pasien datang dengan onset awal sindrom nefrotik, insufisiensi ginjal progresif, ambigu genitalia, dan tumor Wilms (Pais, Avner, 2011).

Mutasi pada gen LAMB2, terlihat pada sindrom Pierson,

menyebabkan kelainan β2 laminin, komponen penting dari glomerulus dan membran basal okular. Selain sindrom nefrotik kongenital, bayi yang terkena menunjukkan bilateral microcoria (penyempitan tetap pupil) (Pais, Avner, 2011).

Tanpa memperhatikan dari etiologi sindrom nefrotik kongenital, diagnosis dibuat secara klinis pada bayi baru lahir atau bayi yang menunjukkan edema generalisasi berat, pertumbuhan dan gizi yang buruk dengan hipoalbuminemia, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, hipotiroidisme (karena kehilangan globulin pengikat tiroksin urin), dan meningkatkan risiko trombotik. Kebanyakan bayi memiliki insufisiensi ginjal progresif (Pais, Avner, 2011).

Sindrom nefrotik kongenital sekunder dapat diterapi dengan pengobatan penyebab yang mendasari, seperti sifilis. Pengelolaan sindrom nefrotik kongenital primer meliputi perawatan suportif intensif dengan albumin intravena dan diuretik, pemberian rutin intravena globulin-gamma, dan dukungan nutrisi yang agresif (sering parenteral),

angiotensin-converting enzyme inhibitor, angiotensin II receptor inhibitor,

dan penghambat sintesis prostaglandin atau bahkan nefrektomi unilateral. Jika manajemen konservatif gagal, dan pasien menderita anasarka persisten atau infeksi berat berulang, nefrektomi bilateral dilakukan dan dialisis kronis dimulai. Transplantasi ginjal adalah pengobatan definitif sindrom nefrotik kongenital, meskipun kekambuhan dari sindrom nefrotik telah dilaporkan terjadi setelah transplantasi (Pais, Avner, 2011).


(59)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik pada anak (pediatrik), juga dikenal sebagai nefrosis, ditandai oleh kehadiran proteinuria masif, edema, hipoalbuminemia dan dapat disertai hiperlipidemia. Proteinuria masif pada anak-anak adalah ekskresi protein lebih dari 40 mg/m2/jam. Nilai rasio albumin/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg menunjukkan proteinuria nefrotik dan berkorelasi dengan hasil dari 24-jam pengambilan urin. Sindrom nefrotik inisial adalah sindrom nefrotik yang pertama kali didapat, tidak termasuk relaps dan yang resisten steroid (Lane, 2013, Noer, 2011).

Penyakit glomerular yang menyebabkan sindrom nefrotik pada umumnya dapat dibagi menjadi primer dan sekunder berdasarkan etiologi (Lane, 2013). Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila penyakit ini timbul sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Insidensi penyakit sindrom nefrotik primer ini 2 hingga 7 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidensi di Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan pada anak sekitar 2 : 1 dengan timbulnya penyakit pada usia 18 bulan hingga 6 tahun (Wirya, 2002, Noer, 2005).

Sindrom nefrotik primer (SNP), juga dikenal sebagai sindrom nefrotik idiopatik (SNI), terkait dengan penyakit glomerular intrinsik pada ginjal dan tidak berhubungan dengan penyebab sistemik. Berbagai macam


(60)

lesi glomerular dapat dilihat pada SNI yaitu sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM), glomerulosklerosis fokal ssegmental (GSFS), nefropati membranosa/glomerulopati membranosa (GM), glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP), glomerulonefritis proliferasi mesangial difus (GNPMD) dan lain-lain (Lane, 2013).

Menurut definisi, sindrom nefrotik sekunder mengacu pada etiologi ekstrinsik pada ginjal. Penyebab sekunder dari sindrom nefrotik termasuk Henoch-Schönlein purpura (HSP), lupus eritematosus sistemik, diabetes mellitus, sifilis, infeksi human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis B dan C, keganasan, vaskulitis, dan paparan obat (misalnya, heroin, merkuri) (Lane, 2013).

Sindrom nefrotik juga bisa disebabkan oleh kelainan genetik. Sindrom nefrotik kongenital (hadir sejak lahir hingga usia 3 bulan) telah dikaitkan dengan kelainan pada gen nephrin (NPHS1), fosfolipase C epsilon 1 gen (PLCE1), dan gen supresor tumor Wilms.Selain itu, sindrom genetik lainnya telah dikaitkan dengan sindrom nefrotik, seperti sindrom Nail-patella, sindrom Pierson, Schimke immuno-osseus displasia, dan lain-lain (Lane, 2013).

Suatu penelitian yang dilakukan di seluruh rumah sakit di Indonesia dari tahun 1984 hingga 1988 menunjukkan salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak adalah sindrom nefrotik (35%). Penelitian sama yang dilakukan dari tahun 1991 hingga 1995 menunjukkan sindrom nefrotik masih merupakan penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, yaitu sebanyak 41.4% (Alfiler, Yap, Chiu, 2003). Sehingga kini, masih belum ada penelitian tentang insidensi sindrom nefrotik pada anak di Medan mahupun di Sumatera Utara. Oleh karena tiadanya penelitian tentang masalah ini, maka saya lakukanlah penelitian tentang insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak.


(61)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah yang diteliti adalah berapakah insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui insidensi sindrom nefrotik inisial pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui manifestasi klinis dan penegakan diagnosis sindrom nefrotik pada anak..

2. Mengetahui penatalaksanaan sindrom nefrotik pada anak.

3. Mengetahui komplikasi dan prognosis sindrom nefrotik pada anak. 4. Mengetahui faktor umur, jenis kelamin, dan status gizi anak yang

mempengaruhi terjadinya sindrom nefrotik.

5. Mengetahui tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua anak dengan sindrom nefrotik.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. RSUP. H. Adam Malik, Medan supaya data atau hasil penelitian dapat digunakan untuk memperbaharui dan menambahkan informasi tentang insidensi sindrom nefrotik pada anak di institusi ini.

2. Masyarakat supaya data atau hasil penelitian ini dapat memberi informasi tambahan tentang faktor risiko, penyebab dan tatalaksana sindrom nefrotik pada anak.


(62)

3. Individu supaya dapat mengetahui angka kejadian dan faktor risiko sindrom nefrotik pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun 2011 sampai 2012.

4. Digunakan oleh peneliti lain sebagai rujukan berkaitan dengan masalah yang sama.


(63)

ABSTRAK

Latar Belakang : Sindrom nefrotik merupakan salah satu penyakit ginjal yang

paling sering ditemukan pada anak-anak dan ditandai dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia. Insidensi sindrom nefrotik di Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan sekitar 2 : 1 dengan timbulnya penyakit pada usia 18 bulan hingga 6 tahun. Penyakit sindrom nefrotik idiopatik/primer sering ditemukan pada 90% pada kasus anak.

Tujuan : Penelitian ini dijalankan untuk mengetahui insidensi sindrom nefrotik

inisial pada anak di RSUP. H. Adam Malik, Medan dari tahun 2011 sampai 2012.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bersifat retrospective dengan pengumpulan data dari rekam medis pasien sindrom nefrotik

dari tahun 2011 sampai 2012 di RSUP. H. Adam Malik, Medan. Terdapat 130 kasus anak dengan sindrom nefrotik inisial. Karakteristik yang akan dinilai adalah berdasarkan umur, jenis kelamin, status gizi, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan etiologi dari sindrom nefrotik.

Hasil : Hasil yang diperoleh dari tahun 2011 sampai 2012, insidensi sindrom

nefrotik inisial adalah sebanyak 5.8 kasus per 100.000 anak. Sindrom nefrotik sering ditemukan pada pasien kelompok umur 5 – 9 tahun (43.8%), laki-laki (56.9%), status gizi baik (64.6%), tingkat pendidikan orang tuanya sampai sekolah dasar (37.7%), pekerjaan bapaknya petani (36.9%), dan ibunya tidak bekerja (44.6%).Sindrom nefrotik idiopatik/primer (89.2%) lebih sering terjadi berbanding sindrom nefrotik sekunder (10.8%).

Kesimpulan : Insidensi sindrom nefrotik inisial adalah 5.8 kasus per 100.000

anak. Sindrom nefrotik lebih banyak ditemukan pada pasien umur 5 – 9 tahun, laki-laki, status gizi baik, tingkat pendidikan orang tuanya sampai sekolah dasar, pekerjaan bapaknya petani, dan ibunya tidak bekerja. Sindrom nefrotik yang banyak ditemukan adalah sindrom nefrotik idiopatik/primer.


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ……… i

ABSTRAK ………... ii

ABSTRACT ………. iii

KATA PENGANTAR ………. iv

DAFTAR ISI ………....vi

DAFTAR TABEL ………... viii

DAFTAR GAMBAR ………... ix

DAFTAR SINGKATAN ………. x

DAFTAR LAMPIRAN ………... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ………... 1

1.1 Latar Belakang …...………... 1

1.2 Rumusan Masalah …..………... 3

1.3 Tujuan Penelitian …...………... 3

1.4 Manfaat Penelitian ….………... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……….. 5

2.1 Definisi ……….. 5

2.2 Etiologi ……….. 6

2.3 Patofisiologi ……….. 8

2.4 Sindrom Nefrotik Idiopatik/Primer ………... 10

2.4.1 Manifestasi Klinis ………. 10

2.4.2 Pemeriksaan Penunjang ……… 11

2.4.3 Histopatologi ………. 14

2.4.4 Diagnosa Differensial ………... 15

2.4.5 Penatalaksanaan ……… 15

2.4.6 Komplikasi ……… 20


(2)

2.6 Sindrom Nefrotik Kongenital ………... 23

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONIL …… 26

3.1 Kerangka Konsep ……….. 26

3.2 Definisi Operasionil ……….. 26

BAB 4 METODE PENELITIAN ………... 30

4.1 Jenis Penelitian ………..30

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ………... 30

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ……… 31

4.4 Metode Pengumpulan Data ………... 31

4.5 Metode Analisis Data ……… 31

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….32

5.1 Hasil Penelitian ………..32

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ………...32

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel …..……….. 32

5.1.2.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Gizi, Tingkat Pendidikan Orang Tua Dan Pekerjaan Orang Tua ….………...….33

5.1.2.2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Etiologi …...………35

5.1.2.3 Insidensi Sindrom Nefrotik Inisial ...………. 35

5.2 Pembahasan ………...36

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ……….39

6.1 Kesimpulan ………39

6.2 Saran ………..39

DAFTAR PUSTAKA ……….. 41 LAMPIRAN


(3)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman Tabel 2.1 Penyebab Sindrom Nefrotik Pada Anak ………... 7 Tabel 2.2 Klasifikasi Kelainan Glomerulus Pada Sindrom

Nefrotik Primer ………. 14 Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Kelompok Umur,

Jenis Kelamin, Status Gizi, Tingkat Pendidikan Orang Tua dan Pekerjaan Ibu dan Bapa ……….…... 34 Tabel 5.2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Etiologi ……..………… 35 Tabel 5.3 Insidensi Sindrom Nefrotik ………... 36


(4)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman Gambar 2.1 Hasil biopsi ginjal dari 223 anak-anak dengan

proteinuria dirujuk untuk biopsi ginjal diagnostik ………… 8 Gambar 3.1 Kerangka konsep insidensi sindrom nefrotik inisial

pada anak di RSUP. H. Adam Malik Medan dari tahun

2011 sampai 2012 ………. 26


(5)

DAFTAR SINGKATAN

GM : Glomerulopati membranosa GNK : Glomerulonefritis kresentik GNKL : Glomerulonefritis kronik lanjut

GNMP : Glomerulonefritis membranoproliferatif GNPMD : Glomerulonefritis proliferasi mesangial difus GSFG : Glomerulosklerosis fokal global

GSFS : Glomerulosklerosis fokal segmental HIV : Human immunodeficiency virus

ISKDC : International Study of Kidney Disease in Children LPB : Lapangan pandang besar

SN : Sindrom nefrotik

SNI : Sindrom nefrotik idiopatik

SNKM : Sindrom nefrotik kelainan minimal SNP : Sindrom nefrotik primer


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Izin Survei Awal Penelitian Lampiran 3 Izin Studi Pendahuluan Lampiran 4 Izin Penelitian

Lampiran 5 Ethical Clearance Lampiran 6 Data Induk

Lampiran 7 Hasil Analisa Data